1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nyeri leher adalah istilah umum untuk menggambarkan keluhan di area servikal, masyarakat umum biasanya menggambarkan dengan kata pegal-pegal, terasa berat, tidak nyaman, kaku, bahkan disertai sakit kepala dan menjalar ke lengan. Jika ditanyakan secara acak kemungkinan hampir 100% orang pernah mengeluh nyeri pada leher baik ringan ataupun berat. Secara umum keluhan nyeri leher ini bisa ditemui pada semua orang dengan berbagai jenis pekerjaan serta usia. Proses degenerasi memang berperan besar untuk menimbulkan keluhan nyeri leher, walaupun sekarang mulai sering dijumpai para pelajar bahkan pada tingkat sekolah dasar yang mendapat pengobatan karena keluhan nyeri leher. Postur yang buruk menjadi benang merah meningkatnya insidensi nyeri leher, posisi yang buruk selama berjam-jam para pekerja yang menggunakan komputer, membawa bawaan yang berat pada tas para pelajar, atau juga dikarenakan bermain game elektronik meningkatkan insidensi nyeri leher pada usia muda. Masyarakat lebih mengenal pijat untuk menangani nyeri leher, karena masyarakat indonesia percaya pijat dapat menurunkan keluhan pegal dan nyeri. Sering ditemui keluhan terjadi berulang-ulang dalam arti kata pasien menyatakan “sembuh” setelah dipijat, tapi tidak lama setelahnya kambuh lagi. Beberapa kasus keluhan makin bertambah setelah dipijat. Kondisi ini dikarenakan belum diketahui dengan jelas patologi apa yang menyebabkan keluhan dan masyarakat umum juga
2
banyak yang tidak mengetahui atau bahkan bingung harus kemana atau profesi apa yang ahli dalam menangani kasus ini. Diperkirakan 22% sampai 70 % dari populasi akan mengalami nyeri leher dalam satu waktu sepanjang hidup. Insidensi nyeri leher makin meningkat, pada waktu tertentu, 10% sampai 20% dari populasi mengalami nyeri leher dan 54 % nya mengalami dalam waktu enam bulan (Cote, 2000). Prevalensi nyeri leher meningkat sesuai dengan usia dan lebih sering terjadi pada wanita
usia 50
tahunan (Childs, 2008). Kasus nyeri leher juga menjadi salah satu kasus terbanyak yang terjadi di DKI Jakarta. Data dinas kesehatan DKI Jakarta menyebutkan penyakit pada sistem otot dan jaringan pengikat menempati urutan ke tiga dari sepuluh penyakit terbanyak di Jakarta Timur dan nyeri leher adalah salah satu bagian dari sekian banyak penyakit tersebut, dapat dilihat di tabel berikut ini : Tabel 1.1 Daftar 10 penyakit terbanyak di DKI Jakarta tahun 2010 NO 1.
JENIS PENYAKIT Infeksi Akut Pernafasan Atas
JUMLAH 1,664,430
2.
Penyakit Darah Tinggi
279,462
3.
Peny.Pd Sistem Otot & Jar.Pengikat
274,014
4.
Peny.Lain Pd Sal.Pernafasan Atas
266,409
5.
Penyakit Kulit Infeksi
220,167
6.
Penyakit Kulit Alergi
215,126
7.
Peny.Pulpa & Jar.Periapikal
214,648
8.
Diare (Tmsk Tersangka Kolera)
197,267
9.
Tonsilitis
114,091
10.
Gangguan Neurotik
109,814
Sumber: Sistem Pencatatan & Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP) Tahun 2010 http://111.67.77.202/dinkesdki/index.php?limitstart=10 diakses tanggal : 1 Oktober 2012
3
Walaupun kasus nyeri leher biasanya berprognosa baik, tapi angka kambuhannya dan ke arah kronik sangat tinggi (Hoping, 2001). Satu studi melaporkan bahwa 30% pasien dengan nyeri leher menjadi kronik dan 14 %nya mengalami keluhan lebih dari enam bulan. Survei terbaru menyebutkan 37% orang dengan keluhan nyeri leher masih mengalami masalah setidaknya dalam 12 bulan (Cote, 2004). Lima persen dari orang dewasa dengan nyeri leher akan mengalami disabilitas karena nyeri leher, mewakili masalah kesehatan yang serius. Pransky (2000) melaporkan, survei pada pekerja yang mengalami cidera pada leher dan anggota gerak atas, 44% tidak dapat bekerja lebih dari satu pekan dan 26% mengalami kekambuhan dalam satu tahun.
Beban ekonomi karena nyeri leher sangat tinggi, termasuk biaya pengobatan, kehilangan upah dan juga biaya kompensasi
lainnya.
Nyeri leher menepati
urutan kedua setelah low back pain dengan beban kompensasi pekerja tahunan tertinggi di Amerika. Di Swedia 18% biaya disabilitas dikarenakan nyeri leher dan nyeri bahu. Kira-kira 25% dari masyarakat yang menjalani rawat jalan fisioterapi mengeluh nyeri leher. Sebagai tambahan, pasien dengan nyeri leher sering kali mendapatkan pengobatan tanpa operasi oleh dokter atau fisioterapis (Bot, 2005).
Penyebab terjadinya nyeri leher diantaranya adalah ; proses degeneratif seperti osteoarthrosis dan spondyloarthrosis, gangguan pada diskus, spondilosis, cidera major langsung seperti wishplash injury, trauma yang disebabkan kesalahan posisi, gangguan pada otot, gangguan pada jaringan ikat dan saraf. Beberapa kasus merupakan kasus yang lebih serius seperti adanya massa tumor atau kanker, infeksi maupun kompresi pada spinal cord (Cote, 2004; Hill, 2004).
4
Keluhan nyeri leher dapat juga disertai keluhan tidak hanya di area sekitar leher, bahkan dapat menjalar ke bahu, kepala, atau lengan. Kebalikannya banyak juga kelainan di organ selain leher dapat menyebabkan keluhan nyeri leher, hal tersebut disebabkan faktor anatomi dan struktur leher yang berhubungan dengan temporomandibular, bahu, thorak bagian atas, dan juga kosta bagian atas. Salah satu penelitian mengunakan volunter orang sehat menemukan jika otot interspinosus servikal di stimulasi dengan injeksi noxius dengan hypertonic saline menyebabkan terjadinya somatic referral pain. Injeksi pada upper cervical menyebabkan nyeri menjalar ke kepala. Injeksi pada lower cervical menyebabkan nyeri menjalar ke dinding dada, gelang bahu dan lengan atas. Distensi pada sendi zygapophyseal dengan media kontras pada orang sehat menimbulkan keluhan pada caput humeri, tergantung segmen mana yang distimulasi. Pola yang sama juga ditemukan jika saraf yang mensarafi organ tersebut dilakukan stimulasi elektrik. Studi terbaru menemukan bahwa stimulasi elektrik maupun mekanik pada lower cervical menyebabkan nyeri pada dinding dada belakang dan juga area skapula dan penekanan pada ligamen longitudinal posterior menyebabkan nyeri pada dada depan (Bogduk, 2002).
Semua eksperimen dan observasi klinik mengindikasikan bahwa stimulus noxius dapat menyebabkan nyeri di kepala, lengan atas dan dinding dada. Tidak ada satupun eksperimen pada orang sehat yang melibatkan saraf spinal dan akar saraf. Oleh karena itu iritasi pada akar saraf tidak akan bisa menyebabkan nyeri (Bogduk, 2002).
5
Penjalaran nyeri yang luas yang disebabkan oleh gangguan pada leher yang menyebabkan keluhan pada
kepala, bahu dan juga dinding dada akan
menyebabkan kesulitan untuk menetapkan penyebab masalah. Sebagai contoh pasien yang menderita nyeri menjalar ke kepala, keluhan utamanya tentu nyeri kepala dan bukan nyeri leher, dan keluhan nyeri kepala ini bisa menyebabkan salah tafsir menjadi tension headache
jika masalah di leher tidak difahami.
Begitu juga dengan nyeri menjalar ke dada depan dapat disalah tafsirkan sebagai angina (Bogduk, 2002).
Walaupun gambaran patologi anatomi penyebab nyeri leher dapat dihubungkan dengan proses atau patologi degeneratif yang terlihat di gambaran radiologi, jaringan spesifik yang menyebabkan nyeri leher pada pasien seringkali tidak diketahui. Oleh karena itu, fisioterapis harus memeriksa gangguan fungsi otot, jaringan ikat, dan saraf
yang berhubungan dengan jaringan patologis yang
teridentifikasi saat ditemukan nyeri leher pada pasien, hal ini direkomendasikan berdasarkan theoritical/foundational evidence (Childs, 2008) Berdasarkan
rekomendasi
moderate
evidence
based,
klinisi
haruslah
mempertimbangkan faktor resiko usia di atas 40 tahun, disertai nyeri pinggang bawah, riwayat lama nyeri leher, aktivitas rutin bersepeda, kehilangan kekuatan pada tangan, sikap pencemas, kualitas hidup yang buruk, dan vitalitas rendah sebagai faktor predisposisi dari perkembangan nyeri leher kronik
Diantara banyak penyebab nyeri leher salah satunya adalah spondyloarthrosis. Spondyloarthrosis
merupakan
penyakit
degeneratif
dimana
ditemukan
penumbuhan osteofit pada korpus vertebra. Dalam sebuah penelitian ditemukan
6
sekitar 225 pasien yang membawa beban pada kepala mereka, 143 orang atau 63,6% nya ditemukan spondyloarthrosis, dan dari 80 orang yang tidak membawa beban dikepalanya ditemukan 29 orang atau 36%nya ditemukan terdapat spondyloarthrosis.
Pada
spondyloarthrosis
ditemukan
degenerasi
diskus
intervertebralis dan jaringan pengikat tulang belakang (ligamen) yang bukan kondisi langsung dari kelainan tulang belakang, melainkan efek dari pembebanan terus-menerus dan bertahun-tahun pada regio servikal yang disebabkan oleh banyak hal seperti postur yang salah (poor posture), jenis pekerjaan dan lain-lain yang menyebabkan trauma berulang pada leher.
Secara anatomi ditemukan diskus intervertebralis menjadi lebih tipis karena kekurangan cairan dan elastisitasnya, nukleus pulposus kehilangan cairan dan menjadi lebih banyak jaringan fibrous. Diskus intervertebralis menjadi tipis dan karena kekurangan cairan sehingga menyebabkan retak dan bercelah-celah pada anulus fibrosus dan menjadi lebih kasar dan dapat menyebabkan herniasi sebagai komplikasi kronik dari spondyloarthrosis. Proses degeneratif juga terjadi pada ligamen dan sendi facet yang menyebabkan penebalan dan
juga terjadi
pembentukan osteofit di pingir sendi dan juga pada korpus. Terjadi juga penumpukan cairan di sekitar sendi yg membuat ruang antar diskus menyempit serta osteofit menekan ligamen dan foramen intervertebralis yang menyebabkan sensasi nyeri. Perubahan permukaan sendi bisa menyebabkan gangguan gerak sendi. Kerusakan rawan sendi dan terbentuknya osteofit di permukaan sendi akan membatasi lingkup gerak sendi (Glynn, 2009).
7
Kondisi nyeri membuat orang menghindari untuk mengerakkan leher sehingga terjadi proses imobilisasi. Imobilisasi menyebabkan keluhan keterbatasan gerak leher dan tentunya menyebabkan immobilisasi dari segmen tersebut. Imobilisasi dapat terjadi pada posisi memendek ataupun memanjang. Komposisi otot berpengaruh terhadap respon imobilisasi, atropi lebih cepat terjadi pade otot tonic (slow-twitch)
yaitu otot-otot postural dibandingkan apada otot phasic (fast
twitch). Lamanya dan juga posisi imobilisasi juga berefek terhadap luasnya atropi dan kehilangan kekuatan dan power. Semakin lama imobilisasi semakin banyak atropi dan kehilangan kekuatan otot. Atropi bahkan bisa dimulai dalam beberapa hari saja sampai satu pekan (Kisner, 2007).
Segmen spondyloarthrosis yang sering terkena adalah pada servikal bawah yaitu C5-C6 C6-C7 atau lower cervical spondyloarthrosis. Pada lower cervical spondyloarthrosis paling sering ditemukan osteofit di belakang korpus
yang
dapat menyebabkan nyeri menjalar ke lengan dan dinding dada seperti penjelasan sebelumnya tentang stimulus mengunakan injeksi noxius salin hipertonik. Observasi klinik juga ditemukan parastesia dan juga berkurangnya bahkan menghilangnya kurva lordotik servikal (Bogduk, 2002).
Manajemen fisioterapi pada kasus lower cervical spondyloarthrosis salah satunya adalah bertujuan untuk mengurangi nyeri dengan intervensi fisioterapi. Intervensi yang diberikan diantaranya adalah terapi latihan dan elektroterapi. Terapi latihan yang efektif untuk mengurangi nyeri dengan gangguan keterbatasan gerak dengan patologi adanya osteofit adalah dengan stretching (Ylinen, 2007)
8
Terapi latihan adalah bagian dari intervensi fisioterapi. Fisioterapi awalnya dibentuk oleh tiga kata ; masase, medical gymnastic dan elektroterapi. Sejarahnya pada tahun 1894 didirikan perkumpulan
Chartered Society
of
Physiotherapy
sebagai
mesus terlatih dan menjadi Incorporated Society of Trained
Messeuses pada 1900. Pada tahun 1920 latihan menjadi suatu yang formal dan diakui sebagai bagian profesi maka perkumpulan perubah menjadi Chartered Society of massage and medical Gymnastics. Pada tahun 1944berganti nama menjadi Chartered Society of Physioterapy (CSP). Pada tahun 1985 Society of Remedial Gymnas and Recreational Therapist memilih dan menyetujui untuk bergabung dengan CSP. Dengan sejarah panjang tersebut maka sangat layak jika terapi latihan menjadi salah intervensi fisioterapi pilihan (Hussey, 2005).
Secara umum, intervensi stretching tidak boleh dilakukan pada
jaringan
inflamasi. Akan tetapi, beberapa posisi tubuh dapat mengurangi gejala keluhan walaupun agak sulit untuk diasumsikan apakah karena kekakuan jaringan atau fluid statis ,intervensi stretching ataupun gerak berulang ke arah yang terbatas bisa jadi cocok untuk dilakukan. Contohnya adalah gerak ektensi lumbal dapat mengurangi keluhan pada kasus gangguan pada diskus, walaupun awalnya pasien sebelumnya tidak bisa melakukan ekstensi lumbal (Kisner, 2007). Pada spondyloarthrosis, intervensi stretching boleh dilakukan dan dapat mengurangi gejala keluhan bahkan dalam kondisi akut. Intervensi stretching pada kondisi spondyloarthrosis akut akan mengurangi tekanan pada akar saraf karena adanya osteofit (bony spurs) dengan cara melebarkan foramen intervertebralis (Kisner, 2007).
9
Otot-otot leher adalah otot postural, jika terjadi imobilisasi lama maka akan beresiko terjadinya atropi. Menurut Kisner (2007) otot-otot postural/otot tonic (slow twich) lebih rentan menjadi atropi dari pada otot phasic (fast twich). Pada kasus lower cervical spondyloarthrosis selain terdapat masalah penekanan akar saraf karena adanya osteofit, terdapat juga gangguan otot sekitar leher karena imobilisasi yang beresiko terjadinya kelemahan dan atropi otot. Untuk menghindari dan menangani gangguan pada otot tersebut dibutuhkan intervensi berupa latihan otot aktif seperti metode contract relax stretching. Selain itu contract relax stretching juga dapat mengulur serat otot atau miofibril dibandingkan metode stretching sederhana seperti passive stretching yang mengulur miofasial saja.
Contract relax stretching adalah salah satu dari tipe intervensi stretching cara PNF. Metoda ini mengintegrasikan kontraksi otot aktif dalam bentuk gerak isometrik dengan intervensi stretching yang konon dapat menfasilitasi sekaligus menginhibisi aktivitas otot dan juga
meningkatkan kemungkinan otot yang
distretch tetap relaks seperti halnya sedang distretch. Aslinya
metode ini
dikenalkan oleh Knott dan Voss, dan telah digunakan selama bertahun-tahun. walapun efikasi prinsip neuorofisiologisnya masih menjadi pertanyaan, banyak studi menunjukkan stetching metode PNF ini efektif untuk meningkatkan fleksibilitas dan lingkup gerak sendi.
Selain efeknya terhadap kekuatan otot
karena adanya gerak isometrik, tidak ada konsensus yang menyatakan bahwa metode contract relax stretching lebih baik, lebih buruk atau sama saja dengan metode passive/ static stretching (Kisner, 2007).
10
Selain terapi latihan, elektroterapi juga dapat bermanfaat untuk mendukung pengurangan nyeri, salah satunya adalah Micro Wave Diathermy. Micro Wave Diathermy akan membuat vasodilatasi pembuluh darah lokal yang diharapkan akan memperlancar peredaran darah dan berefek sebagai transport sisa metabolik dan juga dapat meningkatkan suplai nutrisi ke jaringan otot, meningkatkan relaksasi otot dan juga ambang rangsang nyeri (Prentice, 2005). Micro wave diathermy juga digunakan sebagai persiapan terapi latihan, sehingga otot yang akan dilatih
menjadi lebih siap dan menurunkan resiko cidera. Karena jika
temperatur intramuskular meningkat maka daya ulur dari jaringan kontraktil dan non kontraktil juga akan meningkat. Pemberian heating juga dipercaya akan menurunkan resiko nyeri otot dan juga cidera jaringan lunak lainnya sesudah terapi latihan. Walaupun, tidak semua asumsi tentang aplikasi heating ini didukung oleh bukti klinis (Kisner, 2007).
Paparan di atas mendorong penulis untuk menggali lebih dalam tentang intervensi terpilih tersebut sebagai bahan penelitian skripsi dengan judul “Micro Wave Diathermy dan contract relax stretching lebik baik mengurangi nyeri dari pada Micro Wave Diathermy
dan passive stretching pada lower cervical
spondyloarthrosis”
Out put proses fisioterapi pada lower cervical spondyloarthrosis ini adalah pengurangan nyeri, dan nyeri adalah sensasi subjektif kualitatif yang harus diterjemahkan kepada data-data kuantitatif sehingga dapat dibandingkan secara objektif, maka agar evaluasi pengukuran tingkat nyeri setelah treatment dapat
11
terukur dengan tepat dan objektif penulis menggunakan Visual Analog Scale (VAS) sebagai alat ukur penilaian.
B. Identifikasi Masalah Salah satu proses fisioterapi adalah penegakan diagnosa fisioterapi yang diawali dari asesmen. Asesmen awal adalah berupa pernyataan keluhan pasien yang dilanjutkan dengan pertanyaan yang spesifik ke arah sebuah hipotesis tertentu. Pada kasus yang bersifat degeneratif seperti
lower cervical
spondyloarthrosis sering di dapat pasien mengeluh ketidak nyamanan, apakah itu berupa nyeri leher, pusing, kesemutan atau nyeri menjalar ke lengan pada pagi hari (morning sickness). Morning sickness atau starting pain merupakan salah satu tanda dari patologi degeneratif, untuk memastikannya dengan menggunakan test khusus. Pada tahap ini di harapkan fisioterapis sudah mendapatkan dua data spesifik yaitu patologi apa yang terjadi pada pasien tersebut dan jaringan spesifik apa yang terkena. Jika pasien dengan gangguan pada leher mengeluhkan adanya nyeri kepala, pusing, mual dan vertigo maka harus dicurigai adanya vertebro basiler insuficiency (Maitland, 2001). Ketepatan pemilihan pertanyaan berarah, screening dan juga pemeriksaan spesifik akan memilah kasus-kasus yang keluhannya hampir sama seperti pada kasus shoulder complex atau cervical discogenic problem. Pada kasus lower cervical spondyloarthrosis sering ditemukan gangguan postur pada pasien, terutama posisi leher. Beberapa pasien terlihat posisi forward head, beberapa terdapat deviasi ke lateral, tapi banyak juga yang
tidak
menunjukan perubahan postur. Dan hampir semua ditemukan spasme otot leher
12
sampai
ke
bahu.
Pemeriksaan
spesifik
pada
kasus
lower
cervical
spondyloarthrosis adalah dengan tes kompresi yaitu dengan memposisikan kepala pasien ekstensi penuh lalu diberikan manuver kompresi perlahan. Adanya tanda nyeri menyatakan lower cervical spondyloarthrosis adalah positif. Pemeriksaan
penunjang
seperti
rontgen
polos
menunjukkan
adanya
pengapuran pada area servikal. Foto rontgen menjadi data penunjang dan digunakan setelah fisioterapis melakukan serangkaian tahapan asesmen yang benar. Fisioterapis harus memiliki pengetahuan dasar untuk melakukan interpretasi sederhana dari foto rontgen. Salah satunya adalah bagaimana mengetahui gambaran foto vertebra servikal non patologis (normal) dan juga patologis seperti gambaran degenerasi vertebra servikal. Data penunjang tidak dapat memberikan informasi tentang keluhan ataupun tanda-tanda atau gejala penyakit. Data penunjang digunakan untuk verifikasi hasil temuan asesmen, memberikan data-data dalam ukuran tertentu, menguatkan diagnosis yang ditetapkan dan juga menjadi differential diagnose serta menjadi data objektif dalam mengevaluasi program yang sudah dilakukan. Setelah
dipastikan
bahwa
kasus
tersebut
adalah
lower
cervical
spondyloarthrosis maka fisioterapis dapat menentukan program yang akan dilakukan sesuai dengan problem yang ditemukan. Intervensi yang dilakukan untuk pengurangan nyeri pada kasus lower cervical spondyloarthrosis adalah dengan pemberian heating therapy berupa micro wave diathermy dan dilanjutkan dengan latihan passive stretching atau contract relax stretching.
13
C. Perumusan Masalah 1. Apakah intervensi MWD dan contract relax stretching dapat mengurangi nyeri pada kasus lower cervical spondyloarthrosis ? 2. Apakah intervensi MWD dan passive stretching dapat mengurangi nyeri pada kasus lower cervical spondyloarthrosis ? 3. Apakah intervensi MWD dan contract relax stretching lebih baik dalam mengurangi nyeri daripada MWD dan passive stretching pada kasus lower cervical spondyloarthrosis ?
D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui apakah intervensi MWD dan contract relax stretching lebih baik dalam \mengurangi nyeri dari pada intervensi MWD dan passive stretching pada kasus lower cervical spondiloarthrosis. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui
apakah
intervensi
MWD dan contract relax
stretching dapat mengurangi nyeri pada kasus lower cervical spondiloarthrosis. b. Untuk mengetahui apakah intervensi
MWD dan passive stretching
dapat mengurangi nyeri pada kasus lower cervical spondiloarthrosis. E. Manfaat Penelitian 1. Bagi Institusi Pendidikan
14
Penelitian ini bisa menjadi salah satu sumber referensi dan perbandingan dalam intervensi
fisioterapi pada kasus lower cervical spondiloarthrosis
terutama dalam hal pengurangan nyeri. 2. Bagi Institusi Pelayanan Fisioterapi Diharapkan dengan penelitian ini teman sejawat fisioterapis bisa mendapat pengetahuan lebih tentang alternatif penangganan kasus lower cervical spondiloarthrosis yang paling efektif dan efisien dalam hal pengurangan nyeri. 3. Bagi Peneliti Melalui penelitian ini, peneliti dapat mengetahui sejauh mana perbedaan dan manfaat pengurangan nyeri dari intervensi contract relax stretching passive stretching yang diawali dengan pemberian MWD pada kasus pasien dengan lower cervical spondyloarthrosis.