BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Aktifitas yang terus menerus akan menimbulkan masalah baru dan keluhan-keluhan pada tubuh kita, terutama pada sekitar leher, leher, dan belikat. Keluhan yang sering ditimbulkan, antara lain: nyeri otot, pegal di sekitar leher, bahu, belikat yang kaku, kesemutan pada lengan, sehingga gerak dan fungsinya menjadi terbatas. Keluhan itu juga dapat menyebar ke punggung atas, punggung bawah dan ekstremitas. Keluhan myofascial syndrome juga terjadi saat ada mikrotrauma diikuti postur yang jelek sehingga akan menyebabkan spasme otot dan tighness. Dalam penelitian Skootsky mengatakan bahwa nyeri otot pada tubuh bagian atas lebih sering terkena dibanding tubuh lain. Titik nyeri 84% terjadi pada otot M. Supraspinatus, Levator Scapula, Infra Spinatus, Scalenus. Otot M. Rhomboideus merupakan otot yang sering terkena (Lofriman,
2008).
Otot
Rhomboideus
adalah
otot
postural
yang
menyebabkan terjadinya retraksi dari scapula dan membawa shoulder ke arah posisi “bersiap”. Salah satu kondisi yang sering menimbulkan rasa nyeri diantaranya adalah myofascial syndrome. Myofascial Syndrome adalah gangguan nyeri regional yang ditandai dengan terderness otot dan nyeri. Myofascial Syndrome merupakan penyebab paling umum nyeri regional terus-menerus dan tension headache (Pillay, 2003). Adanya beban tegangan yang berlebihan yang diterima jaringan otot secara intermitten dan kronis akan menimbulkan cross bridge
1
2
dalam posisi kontraksi pada beberapa motor unit miofibril(taut band). Kondisi ini akan menstimulasi fibroblas dalam fascia untuk menghasilkan lebih banyak kolagen akan membuat perlengketan (cross link) pada jaringan myofascial yang apabila terdapat regangan, maka akan mengiritasi serabut saraf A delta dan C, sehingga menimbulkan nyeri. Pengikatan tropocollagen seolah-olah menginfiltrasi pada fascia dan miofibril, sehingga akan menyebabkan penjepitan pada saraf polimodal yang kemudian akan terjadi reaksi pada tubuh berupa adanya inflamasi. Apabila keadaaan ini berlangsung terus-menerus, ambang rangsang terhadap nyeri akan menurun, sebab saraf polimodal tidak memberikan adaptasi pada reaksi inflamasi. Nyeri pada Myofascial Syndrome merupakan implikasi ditandai adanya taut band yang berisi trigger point di dalam otot Rhomboideus. Implikasi klinis trigger point meliputi dua hal, yaitu aspek motorik dan sensorik. Aspek motorik ini meliputi gangguan fungsi motorik, kelemahan otot karena inhibisi motorik, kekakuan otot, dan keterbatasan LGS (Lingkup Gerak Sendi) karena kontraktur otot. Sedangkan aspek sensorik meliputi tenderness lokal, nyeri rujukan ke bagian lain, serta sensitisasi saraf perifer dan pusat. Adanya taut band ini membuat otot M. Rhomboideus mengalami penurunan performance akibat daya tahan dan kekuatan otot yang menurun. Penurunan daya tahan dan kekuatan otot diakibatkan karena adanya penurunan tingkat ekstensibilitas dan fleksibilitas otot akibat perlengketan fascia dan miofilamen dalam sarcomer taut band otot dan peningkatan konsentrasi secara abnormal dari Acetylcholine (ACh) dalam end plate taut band.
3
Perlengketan fascia dan miofilamen otot menyebabkan penurunan sirkulasi darah kapiler sekitar taut band, sedangkan abnormal up level dari ACh akan menyebabkan kenaikan frekuensi Miniatur End Plate Potential (MEPP) taut band, sehingga terjadi abnormal hiperkontraksi sel otot yang meningkatkan metabolisme lokal dan vasokontriksi kapiler karena aktifitas simpatik. Ketika ada aktifitas pekerjaan yang menggunakan otot M. Rhomboideus, contohnya adalah petugas kasir dan administrasi Rumah Sakit yang setiap hari duduk dalam waktu yang lama, pekerjaan tersebut jika dilakukan terus menerus akan menyebabkan otot Rhomboideus tegang. Apabila otot Rhomboideus tegang akan menimbulkan hipoksia dan ischemia dalam sel otot dan akhirnya mengakibatkan penurunan PH lokal dan keluarnya substansi-substansi yang dapat menstimulasi aktifitas nosiseptor otot dan dorsal horn medulla spinalis. Aktifitas nosiseptor ini akan menimbulkan spasme, hiperalgesi, mekanikallodynia baik lokal maupun rujukan. Trigger point merupakan faktor terbesar penyebab timbulnya musculoskeletal disorder yang sayangnya sering salah didiagnosa (Simons, 2003). Penelitian yang terbaru yang dimuat dalam jurnal milik Jan Dommerholt (2006) mulai menunjukkan bahwa di balik keluhan-keluhan nyeri yang diderita pasien banyak yang berhubungan dengan trigger point. Studi yang dilakukan David Simons (2003) dan dipaparkan dalam makalahnya menunjukkan dari 13 orang dengan 8 otot yang diteliti hanya satu orang yang tidak mempunyai trigger point, dua belas orang mempunyai trigger point di 8 ototnya dengan penyebaran yang berbeda-beda. Hal ini
4
menunjukkan bahwa banyak di antara kita yang sesungguhnya mempunyai trigger point, hanya saja karena berupa laten/pasif trigger point maka tidak begitu terasakan. Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa kasus myofasial dapat ditangani oleh fisioterapi dengan berbagai modalitas. Dalam hal ini fisioterapi berperan penting dalam menangani masalah tersebut. Berdasarkan KEPMENKES 1363 tahun 2008 Bab I, pasal I ayat 2 dicantumkan bahwa: “Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu dan atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak,
peralatan
(fisik, elektroterapis dan mekanis), pelatihan fungsi dan komunikasi.” Bentuk penanganan fisioterapi untuk mengatasi masalah-masalah yang ditimbulkan dari Myofascial Syndrome adalah menggunakan modalitas elektroterapi dan manual terapi. Berbagai modalitas fisioterapi yang dapat digunakan untuk kondisi Myofascial Syndrome, antara lain: Micro Wave Diathermy (MWD), Short Wave Diathermy (SWD), Infra Red Radiation (IRR), Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS), Ultrasound (US) dan Exercise. Di Rumah Sakit Islam Pondok Kopi penangan kasus Myofascial belum efektif di karenakan jumlah pasien yang banyak. Dari pengalaman lapangan penulis memilih Ultrasound dan tehnik Strain Counterstrain sebagai modalitas untuk mengurangi nyeri pada myofascial Syndrome Musculus Rhomboideus.
5
Ultrasound
merupakan
salah
satu
modalitas
fisioterapi
yang
menggunakan gelombang suara dengan frekuensi sangat tinggi yaitu 0,75Mhz-3Mhz (Tim Watson, 2012). Efek-efek yang ditimbulkan Ultrasound berupa efek mekanik, efek termal, efek piezoelektrik dan biologis. Pemberian Ultrasound dengan arah longitudinal ini pun akan menimbulkan efek efflurage ke arah proksimal. Bersamaan dengan efek dari deep penetration akan mengakibatkan inflamasi neurogenik pada jaringan otot dan facia, dalam hal ini otot Rhomboideus. Pemberian Ultrasound pada otot Rhomboideus menyebabkan elastisitas otot dimana otot tersusun atas dua macam filamen dasar, yaitu filament aktin dan filament miosin. Filamen aktin tipis dan filament miosin tebal, kedua filamen ini menyusun miofibril yang tersusun serabut otot yang akan kembali pada ukuran semula. Apabila otot Rhomboideus telah elastis maka bisa membuat regenerasi jaringan otot Rhomboideus lebih baik. Strain Counterstrain adalah teknik terapi manual, yang berarti terapis hanya menggunakan tangan mereka untuk menemukan dan memperbaiki kejang otot dan sendi disfungsi. Semua otot dalam tubuh memiliki ribuan reseptor mikroskopis yang disebut spindle otot, yang bertanggung jawab melonggarkan agar otot beristirahat. Spindle otot ini merupakan bagian dari refleks peregangan tubuh kita. Cara kerjanya dan teknik Strian Counterstrain adalah terapis mengidentifikasi bahwa otot Rhomboideus tegang. Otot bisa kejang terlihat atau teraba atau dapat diidentifikasi oleh "tender poin". Untuk melakukan terapi posisi otot Rhomboideus dalam posisi relaks dimana origo dan insercio di dekatkan sehingga otot ini
6
memendek dan tanpa ada tekanan pada musle spindle kemudian pada posisi tersebut otot benar benar dibuat rileks selama 90 detik, setelah otot Rhomboideus relaks maka nyeri otot Rhomboideus akan berkurang. Berdasarkan uraian di atas, penulis memandang penting untuk kondisi Myofascial Syndrome ini untuk diteliti, mengingat kajian fisioterapi adalah masalah yang berhubungan dengan gangguan gerak dan fungsi. Disamping itu, penulis ingin membuktikan efektifitas modalitas fisioterapi Ultrasound dan kombinasi Ultrasound dengan tekhnik Strain Counterstrain untuk mengurangi nyeri pada Myofascial SyndromeM. Rhomboideus. Oleh sebab itu, penulis akan memaparkan melalui penulisan skripsi yang bedudul “Kombinasi Strain Counterstrain Intervensi Ultrasound Dalam mengurangi Nyeri pada Myofascial Syndrome M. Rhomboideus”.
B.
Identifikasi Masalah Myofascial Syndrome adalah gangguan nyeri regional yang ditandai dengan tenderness otot dan nyeri dan merupakan penyebab paling umum nyeri regional terus-menerus dan nyeri berulang (Pillay, 2003). Myofascial Syndrome sendiri adalah sebuah sindrom yang muncul akibat teraktifitasnya sebuah atau beberapa trigger point dalam serabut otot. Faktor-faktor yang menyebabkan nyeri pada Myofascial Syndrome diantaranya adalah over used, trauma, degenerasi pada otot, postur yang buruk, inflamasi, ergonomi maupun kombinasi dari semuanya itu yang akan menghasilkan muscle tightness dan kontraksi abnormal dari otot skeletal, dimana kondisi-kondisi tersebut akan menyebabkan spasme lokal pada
7
ekstrafusal otot. Akibatnya akan timbul beberapa keluhan seperti nyeri sebagai gejala utama yang dirasakan pada Myofascial Syndrome. Pada kasus Myofascial Syndrome M. Rhomboideus yang sering terjadi adalah nyeri berulang, hal tersebut dikarenakan postur yang kurang baik. Untuk menegakkan diagnosa pada Myofascial Syndrome Musculus Rhomboideus dan memberikan intervensi yang tepat, maka fisioterapis harus melalui prosedur standar operasional berupa proses fisioterapi yang diawali dengan assesment (anamnesa, pemeriksaan umum, pemeriksaan fungsi gerak dasar, dan tes-tes khusus) dan temuannya. Pada Myofascial Syndrome M.Rhomboideus biasanya pasien mengeluh adanya nyeri pada bawah pundak hingga belikat. M.Rhomboideus menyebabkan posisi tegak dan ini membedakan dari musculus trapezius yang ada di atasnya. Untuk memastikan hal ini, mintalah pasien untuk meletakkan tangannya dibelakang tubuh dengan elbow fleksi dan shoulder pada posisi borgol. Kemudian mintalah untuk mendorong ke posterior dan berilah tahanan pada gerakan ini, maka M. Rhomboideus akan terpalpasi. Pertama, palpasi muscle bellynya yang oblique kemudian turunlah kebawah menyilang sekitar 2 inchi diantara processus spinosus dan sisi medial scapula. Kemudian palpasi M. Rhomboideus pada pada sisi yang lainnya sebagai perbandingan. Pemeriksaan Myofascial Syndrome M. Rhomboideus terdiri dari history taking, system review, screening, tes khusus dan pengukuran. Setelah dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan dan dipastikan bahwa kondisi tersebut adalah Myofascial Syndrome M.Rhomboideus, langkah fisioterapis berikutnya adalah merencanakan tujuan dan intervensi
8
fisioterapi. Intervensi fisioterapi yang diberikan bertujuan untuk mengurangi nyeri yang timbul, yaitu dengan modalitas Ultrasound dan teknik Strain Countersrain. Penulis menggunakan Ultrasound dengan frekuensi 1MHz dan gel sebagai media penghantar gelombang. Kemudian transduser Ultrasound digerakkan secara longitudinal. Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa ada efek yang lebih baik pada perbaikan jaringan jika digerakkan secara parallel stroke (longitudinal), terjadi stroke yang sejajar pada arah jaringan normal yang mendasarinya (Mary Bromiley, 2007). Hal ini akan mendapatkan penyerapan yang lebih meluas dan dalam bukan hanya pada daerah trigger point sebagai salah satu penyebab Myofascial Syndrome, tetapi juga pada area otot tersebut. Hal ini memungkinkan regenerasi jaringan dapat lebih membaik dan gelombang Ultrasound dapat diserap lebih optimal. Teknik Strain Counterstrain ini meletakkan dasar bagi rehabilitasi setiap kondisi yang menyakitkan.Teknik ini paling baik digunakan untuk kejang di setiap area tubuh, Posting operasi di setiap area tubuh, Mengembalikan postur lebih tegak (otot diperketat dapat menarik anda ke dalam sikap tubuh yang buruk) Sakit kronis dapatkah otot dalam spasme (hipertonik) tanpa orang menyadarinya. Orang mengalami penurunan mobilitas, sesak, atau tidak sama sekali jika otot lain kompensasi untuk itu. Teknik Strain Counterstrain telah dipelopori oleh Sharon Weiselfish, untuk melepaskan otot yang terkandung dalam arteri, vena, pembuluh getah bening dan lapisan dari beberapa organ internal. Teknik ini mengendurkan otot-otot skeletal dari daerah sekitarnya struktur dan kadang-kadang dapat
9
meningkatkan fungsi dari struktur dirilis (Jones, 2003). Setelah intervensi, fisioterapis harus melakukan evaluasi. Evaluasi dimaksudkan untuk mengetahui apakah ada perubahan nyeri atau tidak setelah dilakukan intervensi. Salah satu parameter yang digunakan untuk mengukur nyeri adalah Visual Analogue Scale (VAS). VAS ini diukur sebelum dan sesudah terapi dilakukan. Dalam penelitian tindakan Ultrasound maupun teknik strain counterstrain berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP).
C.
Perumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah yang diteliti sebagai berikut: 1. Apakah intervensi Ultrasound dapat mengurangi nyeri pada Myofascial Syndrome M. Rhomboideus? 2. Apakah Kombinasi Intervensi Strain Counterstrain dan Ultrasound dapat mengurangi Nyeri pada Myofascial Syndrome M.Rhomboideus? 3. Apakah Kombinasi Intervensi Strain Counterstrain dan Ultrasound dapat mengurangi Nyeri pada Myofascial Syndrome M.Rhomboideus lebih besar dibandingkan Intervensi Ultrasound?
D.
Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui kombinasi Intervensi Strain Counterstrain dan Ultrasound dapat mengurangi Nyeri lebih besar dari pada Intervensi Ultrasound pada Myofascial Syndrome M.Rhomboideus.
10
2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui kombinasi Intervensi Strain Counterstrain dan Ultrasound dapat mengurangi Nyeri pada Myofascial Syndrome M.Rhomboideus. b. Untuk mengetahui intervensi Ultrasound dapat mengurangi nyeri pada Myofascial Syndrome M. Rhomboideus.
E.
Manfaat Penelitian 1. Bagi Institusi Pendidikan a. Memberikan informasi terbaru tentang penanganan Myofascial Syndrome khususnya M. Rhomboideus. b. Dapat digunakan sebagai bahan acuan atau referensi bagi penelitian selanjutnya yang membahas hal yang sama. c. Dapat menambah khasanah ilmiah dalam dunia pendidikan pada khususnya. 2. Bagi Fisioterapis a. Agar dapat menjadi bahan referensi bagi rekan sejawat fisioterapi, mengenai Penurunan Nyeri pada Myofascial Syndrome M. Rhomboideus dengan menggunakan kombinasi Intervensi Strain Counterstrain dan Ultrasound. b. Menjadi dasar penelitian dan pengembangan ilmu fisioterapis di masa yang akan datang.
11
3. Bagi Penulis a. Peneliti
ingin
mengetahui
kombinasi
Intervensi
Strain
Counterstrain dan Ultrasound dapat mengurangi Nyeri pada Myofascial Syndrome M. Rhomboideus. b. Peneliti ingin membuktikan bagaimana kombinasi Intervensi Strain Counterstrain dan Ultrasound dapat mengurangi Nyeri pada Myofascial Syndrome M. Rhomboideus lebih besar dibandingkan hanya menggunakan intervensi Ultrasound.