BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Rendahnya status gizi masyarakat masih banyak dialami oleh beberapa negara berkembang termasuk di Indonesia. Faktor yang ditimbulkan akibat kurang gizi dapat dicegah melalui intervensi dari negara yang bersangkutan. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) merupakan satu dari beberapa masalah yang serius untuk kelangsungan hidup dan kualitas sumber daya manusia. GAKI merupakan beberapa gejala yang timbul akibat kekurangan unsur iodium secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama. Iodium adalah sejenis mineral yang sangat dibutuhkan oleh tubuh yang digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan mahkluk hidup. GAKI berpengaruh pada prestasi anak di sekolah, kemampuan kreativitas orang dewasa menurun yang akan berdampak pada masalah sosial ekonomi (Atika, 2012). Pemerintah telah melakukan upaya penanggulangan GAKI sejak tahun 1974 secara nasional melalui upaya jangka pendek dan jangka panjang. Namun dalam pelaksanaanya masih ada kendala yang ditemukan seperti iodisasi garam. Penambahan iodium pada garam konsumsi dinyatakan sebagai cara yang tepat dan efektif guna mendapatkan hasil yang maksimum dalam pencapaian konsumsi garam beriodium di masyarakat, akan tetapi masih ditemukan rumah tangga yang mengkonsumsi garam kurang iodium dan diperkirakan sebagian garam berlabel iodium kandungan iodiumnya tidak sesuai dengan standar yang ditentukan dan
1
2
cara penyimpanan yang salah sehingga kandungan iodiumnya berkurang (Depkes, 2005). Proyek Intensifikasi Penanggulangan GAKI (IP-GAKI) dilaksanakan dari tahun 1997 sampai tahun 2003 dengan tujuan mempercepat penurunan prevalensi GAKI melalui pencapaian konsumsi garam beriodium untuk seluruh masyarakat. Survei prevalensi dan pemetaan GAKI pada awal pelaksanaan Proyek IP-GAKI (1997/1998) menunjukkan bahwa secara nasional angka rata-rata Total Goiter Rate (TGR) atau angka gondok total sebesar 9,8% dan proporsi rumah tangga yang mengkonsumsi garam beriodium dengan kadar cukup hanya 62,1%. Hasil survei tahun 2003 menunjukkan bahwa prevalensi TGR ini masih cukup besar yaitu 11,1% dan konsumsi garam beriodium telah mengalami peningkatan sebesar 73,26%. Garam beriodium merupakan salah satu produk yang wajib menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI), sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 29/M/SK/2/1995 tentang Pengesahan SNI dan Penggunaan Tanda SNI secara wajib terhadap 10 macam produk industri. Syarat mutu garam konsumsi beriodium SNI 01-3556.2-1994/Rev 2000 adalah kandungan KI03 minimal 30 ppm. Perusahan yang belum menerapkan SNI adalah industri kecil yang perlu dibina sistem manajemen mutu, pelatihan teknik produksi dan bantuan peralatan mesin iodisasi garam (Bappenas, 2004). Indonesia sebagai negara bahari yang beriklim tropis dengan dua pertiga wilayahnya laut dan panjang garis pantai 81.000 Km, namun produksi garam Indonesia tahun 2007-2010 sangat rendah hanya 1,4 juta ton per tahun. Produksi garam ini tidak cukup memenuhi kebutuhan dalam negeri pada tahun 2010 yang
3
mencapai 2,9 juta ton per tahun. Garam merupakan salah satu potret ironis industri Indonesia, dimana Indonesia sebagai negara bahari dengan potensi garam, namun garam yang dihasilkan sangat rendah (Kementerian Perindustrian, 2010). Distribusi garam beriodium dari perusahan ke masyarakat, tergantung dari kemampuan produksi dan pemasaran dalam suasana pasar bebas. Perusahan besar mampu melakukan distribusi antar pulau dan antar provinsi sedangkan perusahaan menengah dan kecil hanya mampu memasarkan produknya dalam satu provinsi atau bahkan satu kabupaten atau kota. Pemasaran akhir melalui pengecer formal (pasar besar, supermarket, toko bahan pangan) sampai dengan pengecer di perkotaan dan pedesaan. Pasar desa di daerah terpencil sulit terjangkau oleh distributor garam beriodium sehingga kebutuhan dipenuhi oleh distributor informal yang memasarkan garam krosok non iodium. Pemalsuan dan penipuan kandungan iodium dalam garam banyak terjadi di masyarakat sehingga diperlukan perhatian khusus Pemerintah Daerah. Dalam survei kecil di beberapa kota menunjukkan masih banyak kemasan garam yang mengklaim mengandung iodium padahal kandungan KIO3 kurang dari 30 ppm sebagaimana dipersyaratkan (Bappenas, 2004). Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukan persentase rumah tangga di Indonesia yang mengkonsumsi garam mengandung cukup iodium sebesar 77,1%, kurang iodium sebesar 14,8% dan tidak beriodium sebesar 8,1% dan ini berarti bahwa Indonesia belum mencapai target WHO yaitu Universal Salt Iodization (USI) minimal 90%. Persentase rumah tangga mengkonsumsi garam iodium tahun 2013 dibagi menjadi tiga kategori yaitu
4
kategori konsumsi cukup iodium, kurang iodium dan tidak mengandung iodium. Dilihat dari kategori konsumsi garam cukup iodium, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menempati peringkat pertama atau tertinggi yaitu 98,8% dan provinsi terendah adalah Provinsi Aceh sebesar 45,7%. Jika dilihat dari kategori konsumsi garam tidak beriodium, Provinsi Bali menempati peringkat teratas yaitu 30,1% dan peringkat terbawah adalah Kepulauan Bangka Belitung sebesar 0,3%. Hal ini bertolak belakang dengan kekayaan pulau Bali yang menarik perhatian wisatawan asing untuk berkunjung, Bali memiliki suatu kenyataan yang akan berpengaruh buruk terhadap kualitas generasi penerus. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomer 69 Tahun 1994 tentang pengadaan garam beriodium yang berisi tentang penanggulangan berbagai gangguan akibat kekurangan iodium melalui kegiatan iodisasi garam. Garam beriodium yang beredar harus sesuai dengan Standar Industri Indonesia (SII) atau Standar Nasional Indonesia (SNI). Akan tetapi, program iodisasi garam dirasakan belum optimal karena penggunaan garam beriodium di masyarakat masih rendah. Hal ini disebabkan oleh belum semua provinsi, kabupaten atau kota di Indonesia memiliki peraturan daerah (Perda) tentang GAKI sehingga penyediaan sarana dan prasarana iodisasi garam yang diperlukan produsen belum memadai dan cenderung sulit didapat, lemahnya koordinasi antar sektor terkait, lemahnya penegakan hukum, pemanfaatan monitoring yang belum optimal dan tidak ada tindak lanjut dari hasil monitoring (Devita, 2007). Peraturan Menteri Dalam Negeri No.63 Tahun 2010 tentang pedoman penanggulangan GAKI di daerah menyebutkan pemerintah daerah merupakan
5
penyelenggara urusan pemerintahan dalam penanggulangan GAKI di daerah. Salah satu isi peraturan ini adalah gubernur, bupati atau walikota menyiapkan kebijakan tentang penanggulangan GAKI mulai dari aspek produksi, distribusi, sanksi dan konsumsi garam beriodium. Akan tetapi tidak semua provinsi di Indonesia memiliki peraturan daerah tentang garam beriodium, salah satunya adalah Provinsi Bali. Hasil wawancara yang dilakukan pada tanggal 15 September 2013 dengan petugas gizi Dinas Kesehatan Provinsi didapatkan informasi bahwa pada tanggal 11 sampai 21 Maret 2003 dilaksanakan pengawasan mutu garam beriodium yang beredar di pasar dan masyarakat oleh Tim Lintas Sektor (Biro Ekonomi dan Pembangunan, Biro Hukum, Biro Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Sekretariat Daerah Bali, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan, Dinas Koperasi, Badan Pemerdayaan Masyarakat dan Pemerintah, Dinas Kesehatan dan Persatuan Ahli Gizi Bali. Hasil dari pengawasan tersebut adalah masih banyak garam non beriodium beredar di masyarakat, persediaan garam beriodium sangat terbatas khususnya di warung desa hampir tidak tersedia, hasil pemeriksaan Balai Besar POM menemukan garam iodium yang beredar hampir 45% mutu iodium dibawah 30 ppm. Hasil diatas diperkuat dengan data Dinas Perindag Provinsi Bali Tahun 2001 bahwa persediaan garam beriodium di Provinsi Bali hanya 357,24 ton bersumber dari Madura, Surabaya dan Lombok. Jika dibandingkan dengan kebutuhan garam beriodium penduduk Bali tahun 2001 sebesar 11.079,46 ton, berarti Bali masih kekurangan persediaan garam beriodium sebesar 10.722,22 ton.
6
Salah satu Kabupaten di Provinsi Bali yaitu Kabupaten Tabanan menunjukkan terjadi penurunan penggunaan garam beriodium dari 62,76% pada tahun 2012 menjadi 50,35% pada tahun 2013. Prevalensi penggunaan garam iodium rendah yang pertama ada di Puskesmas Kediri II dengan persentase 11,5%, kedua di Puskesmas Tabanan II dengan persentase 18,5% (Profil Dinkes Tabanan, 2013). Hasil survei awal yang dilakukan pada tanggal 10 September 2013 dengan melakukan tes iodium di Desa Subamia Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan. Setelah ditetesi dengan iodine test, dari 20 sampel garam yang dites menunjukkan hanya 5 sampel yang warna biru keunguan dan 15 sampel masih berwarna putih. Dilihat dari letak geografis Desa Subamia berada dekat pusat kota sehingga untuk mengakses garam beriodium sangat mudah, akan tetapi masyarakat masih banyak yang tidak mengkonsumsi garam beriodium. Hasil wawancara diperoleh informasi bahwa alasan beberapa ibu rumah tangga mengkonsumsi garam kiloan atau garam tidak beriodium karena lebih enak, murah dan lebih lama dipakai dan semuanya berujung pada masalah ekonomi masing-masing rumah tangga. Dukungan suami dalam pemilihan makanan hanya sebatas menu makanan, tidak pada bahan makanan contohnya garam. Ada tidaknya kandungan iodium dalam garam yang dikonsumsi, tidak diperhatikan oleh suami mereka. Hasil observasi, ibu rumah tangga menyimpan garam di dalam toples dan ditutup dengan alasan agar tidak kemasukan debu dan binatang. Dari hasil survei, warung di Desa Subamia jika dilihat dari segi bangunan tidak terlalu besar dan barang yang dijual adalah beras, gula, snack,
7
minuman botol dan bahan pokok makanan lainnya. Dari 3 warung yang dikunjungi, garam yang dijual adalah garam biasa atau kiloan. Pedagang mengatakan bahwa peminat garam beriodium sangat rendah. Beberapa hasil penelitian seperti penelitian Devita (2007) menyatakan bahwa setelah berlakukanya Keppres No. 69 Tahun 1994 Pemerintah Daerah Kabupaten Pati belum maksimal dalam pengadaan garam beriodium karena tampak pada target yang belum memenuhi harapan. Kedua faktor pendorong dan penghambat adalah komunikasi yang tidak berjalan baik atau optimal, penguasaan informasi dan cara komunikasi petugas masih kurang dan tidak efektif, adanya perbedaan dalam pemahaman isi Keppres No.69 Tahun1994 pada produsen garam dan petugas karena upaya sosialisasi yang masih kurang optimal dan usaha pemerintah yang tidak maksimal dalam peningkatan pengadaan garam beriodium, masih lemahnya penegakkan hukum pada produsen garam yang tidak menaati aturan dan pemalsuan merek garam. Penelitian yang dilakukan oleh Setiarini di Desa Belah Kecamatan Donorojo Kabupaten Pacitan (2010) didapatkan hasil bahwa masih banyak ibu rumah tangga yang menunjukkan proses memasak yang salah (73,2%) dikarenakan pengetahuan yang kurang tentang cara penggunan garam beriodium. Penelitian Hartati di Desa Sengo Selatan Kecamatan Belova di Kabupaten Luwu (2013) menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan ibu rumah tangga tentang akibat kekurangan garam beriodium dengan perilaku ibu rumah tangga terhadap penggunaaan garam beriodium di Desa Belova Kabupaten Luwu.
8
Penelitian Prawini (2013) yang dilaksanakan di Desa Lodtunduh Ubud Gianyar menyatakan masih banyak ibu rumah tangga yang kurang memahami pentingnya konsumsi garam beriodium dan cara penggunaan garam beriodium yang benar dan hal ini mempengaruhi sikap ibu rumah tangga yang secara umum menunjukkan sikap negatif terhadap garam beriodium karena rasa garam beriodium yang pahit pada masakan. Pemahaman yang kurang dan sikap negatif terhadap garam beriodium mempengaruhi sebagian besar perilaku ibu rumah tangga di Desa Lodtunduh sehingga tidak mengkonsumsi garam beriodium. Hasil survei pendahuluan didapatkan masih banyak ditemukan ibu rumah tangga yang tidak menggunakan garam beriodium untuk memasak dan belum pernah dilakukan penelitian tentang konsumsi dan distribusi garam beriodium di Desa Subamia sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian. Pemahaman ibu rumah tangga yang tidak menggunakan garam beriodium sangat penting untuk digali lebih mendalam untuk membantu pemerintah daerah dalam program peningkatan garam beriodium dan pencegahan GAKI di Provinsi Bali khususnya Kabupaten Tabanan. Berdasarkan latar belakang diatas, maka perlu dilakukan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi untuk memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian mengenai “konsumsi dan distribusi garam beriodium di Desa Subamia Kabupaten Tabanan
9
1.2 Rumusan Masalah Berdasakan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimanakah konsumsi garam beriodium di Desa Subamia Kabupaten Tabanan ? 2. Bagaimanakah penyimpanan garam beriodium di Desa Subamia Kabupaten Tabanan ? 3. Bagaimanakah ketersediaan dan distribusi garam beriodium di Desa Subamia Kabupaten Tabanan ? 4. Bagaimanakah peran dan keterlibatan faktor pendorong terhadap garam beriodium di Desa Subamia Kabupaten Tabanan ?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan Umum Untuk mengetahui konsumsi dan distribusi garam beriodium di Desa Subamia Kabupaten Tabanan pada Tahun 2014.
1.3.2
Tujuan Khusus Peneliti ingin mengetahui : 1.
Konsumsi garam beriodium di Desa Subamia Kabupaten Tabanan.
2.
Penyimpanan garam beriodium di Desa Subamia Kabupaten Tabanan.
3.
Distribusi garam beriodium di Desa Subamia Kabupaten Tabanan.
4.
Peran dan keterlibatan faktor pendorong terhadap garam beriodium di Desa Subamia Kabuapten Tabanan.
10
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1
Manfaat teoritis Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan referensi tentang garam beriodium.
1.4.2
Manfaat praktis 1. Sebagai
masukan
bagi
UPTD Puskesmas Tabanan
II dalam
meningkatkan kembali promosi kesehatan tentang GAKI dan dapat dijadikan sebagai dasar perencanaan dalam menentukan intervensi kegiatan pencegahan dan penanggulangan GAKI selanjutnya. 2. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Tabanan untuk secepatnya menyusun dan mengesahkan peraturan daerah yang mengatur tata niaga garam beriodium sehingga mampu untuk mendukung program GAKI dan menindak tegas bagi pihak yang melanggar. 3. Sebagai bahan masukan bagi Desa Pakraman Subamia agar garam beriodium dimasukan kedalam peraturan desa “awig-awig” untuk mendukung program pemerintah dalam penanggulangan gangguan akibat kekurangan garam beriodium (GAKI).