BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nasib bangsa di masa mendatang tergantung keadaan generasi muda sekarang .karena itu, perlu dilakukan usaha-usaha untuk membentuk kondisi generasi muda dalam keadaan sehat secara fisik, mental, dan social. Salah satu diantaranya ialah perhatian penuh terhadap kesejahteraan anak. Pembinaan sedini mungkin mengandung arti bahwa pembinaan generasi muda harus dimulai sejak prasekolah sejak individu masih berada dalam keluarga. Keluarga sebagai kesatuan social terkecil merupakan lingkungan yang pertama dan utama bagi anak yang sangat penting bagi pembangunan, khususnya mengenai peletakan dasar pembangunan mental dan pembentukan pribadi anak. Dalam keluarga anak mendapatkan pendidikan yang pertama kali yang kemudian disambungkan atau dilanjutkan di tempat pendidikan lain. Orang tua, ayah dan ibu sebagai penanggung jawab keluarga menjadi semakin penting. Orang tua harus mampu menciptakan kondisi lingkungan keluarga menjadi lingkungan yang kondusif bagi kencenderungan tingkah laku melindungi dan mensejahterakan anak. Perkembangan yang optimal akan menjadi anak mencapai aktualisasi diri, menjadi orang yang periang, mudah menyesuaikan diri dan sempurna baik secara fisik maupun mental. Karena itu apabila keluarga
1
telah memberikan dasar yang kuat, maka keadaan anak selanjutnya tidak menjadi masalah yang rumit. Sikap seorang anak sangat dipengaruhi oleh sikap dan tingkah laku pengasuhnya yang bertanggung jawab merawat anak-anak selama dua tahun pertama hidupnya. Tidak peduli apakah ia menjadi optimis atau seorang pesimis, seorang yang dingin atau penuh kemarahan , seorang yang ragu-ragu, semuanya ini sangat dipengaruhi oleh pola asuh yang diberikan orang tua terutama ibu.oleh karena itu peran ibu dan para pengasuh sebagai orang yang terdekat dengan anak merupakan hal sangat penting. Pola asuh merupakan suatu cara atau system untuk merawat, menjaga, dan mendidik anak yang berlangsung lama dan berkesinambungan sehingga dapat mempengaruhi sikap, tingkah laku seseorang yang dilakukan oleh orang tua. Ibu selalu menyayangi dan memperhatikan kebutuhan anaknya dan menginginkan yang terbaik bagi anak-anaknya, walaupun berbeda beda pola asuh masing –masing keluarga. Ada ibu yang sangat keras menggunakan otoritasnya, sangat mengontrol dan membatasi tingkah laku anaknya. Tetapi sebaliknya ada ibu yang bersikap serba boleh terhadap anaknya, ibu tidak mengontrol kegiatan anaknya, semuanya diserahkan sepenuhnya kepada anak. Disamping itu ada ibu yang saling berdialog dengan anaknya, ibu mendengarkan apa yang dikemukakan oleh anaknya. Anak diberi kesempatan bertukar pikiran dengan ibu dan ibu menganggapnya sebagai anak yang mempunyai arti.dengan meningkatkannya pendidikan wanita, timbul kesadaran untuk mengembangkan diri maupun
2
melakukan kegiatan sosial.demikian juga halnya dampak dari krisis moneter menyebabkan bertambahnya kebutuhan yang tidak dapat terpenuhi karena semakin mahalnya harga-harga. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut salah satu caranya adalah menambah penghasilan keluarga. Akhirnya, kalau biasnya ayah yang berkerja sekarang ibupun ikut bekerja. Ibu yang bekerja diluar rumah harus pandai-pandai mengatur waktu untuk keluarga, karena pada hakekatnya seorang ibu mempunyai tugas utama yaitu mengatur urusan rumah tangga termasuk mengawasi, mengatur dan membimbing anak-anak. Apalagi ibu mempunyai anak yang masih kecil maka seorang ibu harus tahu betul bagaimana mengatur waktu dengan bijaksana. Seorang anak usia dini masih sangat tergantung pada ibunya. Karena anak belum mampu melakukan tugas pribadinya seperti makan, mandi , belajar dan sebagainya . mereka masih perlu bantuan dari orang tua dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Bila anak dititipkan pada seorng pembantu atau baby sitter maka ibu harus tau betul bahwa pengasuh tersebut mampu membimbing dan membanu anak-anak dalam melakukan pekerjaannya . kalau pengasuh ternyata tidak dapat melakukannya maka anak-anak yang akan menderita kerugian . pembentukan kepribadian anak dimulai ketika anka berusia 0-5 tahun,termasuk didalamnya kepercayaan diri. Anak akan belajar dari orangorang dan lingkungan sekitarnya tentang hal-hal yang dilakukan oleh orang-orang disekitarnya. Kadang-kadang karena lingkungan yang kurang mendukung sewaktu anak masih kecil akan mengakibatkan dampak negative bagi
3
pertumbuhan kepribadian anak pada usia selanjutnya (Soenarto dan Sumarsih, 1996).oleh karena itu ibu yang bekerja di luar rumah harus bijaksana mengatur waktu. Keterlibatan ibu dalam aktivitasnya di luar rumah akan bermanfaat bagi peningkatan fungsi dan perannya dalam keluarga apa bila tidak berdasarkan atas motif untuk melepaskan diri dari peran domestic wanita. Ibu yang harus berangkat kerja pagi hari dan pulang sore hari tetap harus meluangkan waktu untuk berkomunikasi , bercanda , dan memeriksa tugas- tugas sekolah anak, meskipun ibu sangat lelah setelah seharian kerja. Tetapi pergorbanan tersebut akan menjadi suatu kebahagiaan jika anak- anaknya bertumbuh menjadi pribadi yang pribadi yang kuat dan stabil. Sedangkan untuk ibu yang tinggal di rumah pun harus mampu mengatur waktu dengan bijaksana. Walaupun banyak waktu untuk bersama anak tetap yang paling penting adalah kualitas hubungan interpersonal antara ibu dan anak. Berdasarkan hasil penelitian para ahli tentang pola asuh orang tua dapat di ambil intinya bahwa peranan ibu sangat penting dalam pembentukan kepribadian anak. Salah satu pakar yang membagi pola asuh orang tua adalah Hurlock (1980) yang membedakan pola asuh menjadi tiga yaitu otoriter, demokratis, dan permisif. Anak yang di asuh dengan pola demokratis akan membentuk harga diri yang tinggi, tidak menolak bila dikritik, mandiri dan optimis dalam menghadapi semua persoalan yang ada pada dirinya, anak akan sensitif, menghargai peraturan dan mampu menilai dan mengontrol perilakuya sendiri.
4
Secara umum dalam pola asuh otoriter ibu sangat menanamkan disiplin dan menuntut prestasi yang tinggi pada anaknya. Hanya sayang ibu tidak memberikan kesempatan
pada
anak
untuk
mengungkapkan
pendapat,
sekaligus
menomorduakan anak. Kebalikan pola asuh otoriter adalah pola asuh permisif. Dalam golongan ini ibu dengan penuh kasih sayang dan perhatian. Namun, di sisi lain kendali ibu dan tuntutan prestasi pada anak rendah. Anak dibiarkan berbuat sesukanya tanpa beban kewajiban atau target apapun. Sifat percaya diri anak diperlukan dalam perkembangannya menjadi dewasa.kemungkinan besar ,orang yang percaya diri akan biasa menerima dirinya sendiri, siap menerima tantangan meski sadar ada kemungkinan salah. Rasa percaya diri dapat membantu anak menhadapi situasi dalam pergaulan dan menangani tugas lebih mudah. Kepercayaan diri merupakan sikap positif seorang individu yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilian positif baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan atau situasi yang dihadapinya.hal ini bukan berarti bahwa individu tersebut mampu dan kompeten melakukan segala sesuatu seorang diri, alias “ sakti.). Rasa percaya diri yang tinggi sebenarnya hanya merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan individu tersebut dimana ia merasa memiliki kompetensi, yakin, mampu dan percaya bahwa dia bisa karena didukung oleh pengalaman, potensi yang actual,prestasi serta harapan yang realistil terhadap diri sendiri.
5
Untuk anak-anak, rasa percaya diri membuat mereka mampu mengatasi tekanan dan penolakan dari teman- teman sebayanya.anak yang percaya diri mempunyai perangkat yang lebih lengkap untuk menghadapi situasi dan berani minta bantuan jika mereka memerlukannya. mereka jarang diusik .justru mereka sering mempunyai daya tarik yang membuat orang lain ingin bersahabat dengannya. Mereka Tidak takut untuk berprestasi baik di sekolah atau untuk menunjukkan bahwa mereka memang kreatif. Percaya diri bukan merupakan bawaan dari lahir, juga tidak jatuh dari langit. Anak-anak mudah sekali merasa rendah diri, merasa tidak mampu , tidak penting, karena ada banyak hal yang harus dipelajari, dan orang yang lebih tua tampak begitu pandai. Anak-anak memerlukan dorongan dan dukungan secara terus menerus. Jika orang tua atau guru dapat berperan dengan baik, anak-anak akan memiliki rasa percaya diri.jika anda membangun ras percaya diri dalam diri anak anda, tak ada istilah terlambat untuk memulai. Anda justru akan memberikan hadiah terbaik untuk anak anda dan diri anda sendiri. Kepercayaan diri pada anak dapat di bentuk dari pengalaman bersosialisasi dengan lingkungan. Sebagai contoh, pujian dari ibu tentang hasil kegiatan atau bantuan yang dilakukannya dapat menumbuhkan rasa percaya diri. Karena dengan itu anak merasa dihargai dan merasa dirinya berguna bagi orang lain. Tanamkan sikap bahwa berbuat salah bukanlah dosa yang terampuni, bahwa nilai seseoarang tidak selalu bias dihitung berdasarkan kesempurnaan hasil kerjanya. Yang penting bukan atau salah, tapi bagaimana cara dia melakukannya.
6
Jadikan ini sebagai pedoman untuk diri anda juga. Hormati dan hargai anak anda. Jangan mempermalukan dia didepan teman-teman sebayanya, atau didepan orang dewasa lainnya, atau didepan umum .jika anak anda berbuat salah, panggil ketempat yang sepi, atau bicarakan di rumah. Jika anda berbicara, gunakan nada suara seperti yang anda harapkan akan digunakan saat ia berbicara. Dengarkan anak anda dan dorong dia untuk berfikir mandiri. Belajar mempertahankan diri sendiri memerlukan kekuatan besar. Tempat terbaik untuk berlatih menjadi orang yang percaya diri di rumah. Hargai ide-ide yang dinyatakannya. Katakan berulang-ulang kepada anak anda bahwa anda percaya dia bisa. Dan bersikaplah positif di depan orang-orang lain tentang apa yang bias dilakukan anak anda. Dengan cara begitu , anak yakin bahwa anda bener-bener mempercayai kemampuannya Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang peneliti lakukan , TK Tarbiyatul Atfal yang berdiri sejak tahun 1980, memiliki 45 orang murid. Jumlah murid laki – laki 17 orang dan murid perumpuan 28 orang. Usia murid 4-6 tahun, dan jumlah staf pengajar ada 2 orang. Orang tua dari murid-murid tersebut ada yang bekerja (PNS, pedagang dan wiraswasta) dan ada pula yang tidak bekerja ( ibu rumah tangga ). Banyak diantara mereka (murid TK ) yang sulit berinteraksi dengan teman sebaya mereka,ada yang pendiam, bersikap dingin dan ragu-ragu, anak cemas berpisah dengan orang tua mereka dan ingin selalu ditunggui. Anak enggan untuk mencoba hal yang baru karena takut gagal. Ini menunjukkan bahwa anak tidak yakin
7
dengan dirinya. Misalnya saja dalam sebuah permainan lempar bola, apabila teman-temannya mampu untuk menangkap bola dari temannya. Anak akan menjadi pesimis dan tidak mau berusaha untuk mencoba lagi karena takut gagal, sehingga anak menjadi frustasi. Ini semua tidak lepas dari bagaimana peranan ibu dalam mendidik dan mengasuh anak, memberi kasih sayang, komunikasi yang berkualitas , dan penghargaan atas prestasi anak sekecil apapun prestasi yang dicapai anak dalam meningkatkanrasa percaya diri anak. Sehingga akan tumbuh menjadi individu yang mandiri yang memiliki harga diri yang tinggi dalam menjalani kehidupan. Berdasarkan latar belakang diatas, penulis tertarik untuk meneliti tentang hubungan pola asuh orang tua dengan pembentukan kepercayaan diri anak di TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Pegandon Kendal.
B. Perumusan Masalah Rumusan masalah penelitian ini adalah adakah hubungan pola asuh orang tua dengan kepercayaan diri anak di TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Pegandon Kendal.
8
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum: Mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan kepercayaan diri anak di TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Pegandon Kendal. 2. Tujuan Khusus: a.
Pola asuh orang tua
di TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Pegandon
Kendal. b. Kepercayaan diri anak dengan orang tua bekerja dan tidak bekerja. c. Hubungan pola asuh orang tua dengan kepercayaan diri anak di TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Pegandon Kendal.
D. Manfaat Penelitian 1. Bagi peneliti : Merangsang
peneliti untuk menambah wawasan dalam melaksanakan
penelitian dan mengadakan serta mengembangkan penelitian yang lebih luas dimasa yang akan datang. 2. Bagi Ibu atau Orang tua: Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan pada ibu dalam memberikan asuhan kepada anak baik untuk ibu yang bekerja maupun ibu yang tidak bekerja.
9
3. Bagi Ilmu Pengetahuan : Diharapkan dapat menambah bahasan tentang pola asuh anak dengan ibu yang bekerja dan ibu yang tidak bekerja. 4. Bagi Profesi Keperawatan : Menambah pengetahuan perawat dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan kepada klien baik individu , keluarga , kelompok dan masyarakat.
E. Bidang Ilmu Penelitian ini termasuk dalam ilmu keperawatan di bidang anak.
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Masa Prasekolah Awal Masa Prasekolah Pada umumnya orang berpendapat bahwa masa prasekolah merupakan masa yang terpanjang dalam rentang kehidupan saat dimana individu relatif tidak berdaya dan tergantung pada orang lain. Bagi kebanyakan anak, masa prasekolah sering kali dianggap tidak ada akhirnya sewaktu mereka tidak sabar. Menunggu saat yang didambakan yakni pengakuan dan masyarakat bahwa mereka bukan anak-anak lagi melainkan ‘orang-orang dewasa’. Periode awal berlangsung dari umur dua sampai enam tahun. (Hurlock,1980) Sebagian besar orang tua menganggap awal masa prasekolah sebagai usia yang mengundang masalah atau usia sulit. Awal masa prasekolah sebagai usia yang mengundang masalah atau usia sulit. Awal masa prasekolah sering terjadi masalah prilaku. Alasan mengapa masalah prilaku sering terjadi diawal masa prasekolah karena anak sedang dalam proses pengembangan kepribadian yang unik dan menuntut kebebasan yang pada umumnya kurang berhasil. para ahli psikologi sering menyebut usia prasekolah merupakan usia kelompok, masa dimana anak-anak mempelajari dasar-dasar perilaku sosial sebagai persiapan bagi
11
kehidupan sosial yang lebih tinggi yang diperlukan untuk penyesuaian diri pada waktu mereka masuk kelas satu. (Hurlock,1980) Karena perkembangan utama yang terjadi selama awal masa prasekolah berkisar diseputar penguasa dan pengendalian lingkungan, banyak ahli psikologi melabelkan awal masa prasekolah sebagai usia menjelajah, sebuah label yang menunjukan
bahwa
anak
ingin
mengetahui
lingkungannya,
bagaimana
mekanismenya, bagaimana perasaannya, dan bagaimana ia menjadi bagian dari lingkungan. Salah satu cara yang umum dalam menjelajahi lingkungan adalah dengan bertanya. Jadi, periode ini sering disebut sebagai usia bertanya.yang paling menonjol dalam periode ini adalah meniru pembicaraan dan tindakan orang lain. Oleh karena itu, periode ini juga dikenal sebagai usia meniru. Namun meskipun kencenderungan ini tampak kuat tetapi anak lebih menunjukkan kreativitas dalam bermain selama masa prasekolah dibandingkan dengan masamasa lain dalam kehidupannya. Dengan alasan ini, ahli psikologi juga menanamkan periode ini sebagai usia kreatif . Pada periode awal masa prasekolah begitu banyak hal yang harus dipelajari. Salah satu yang terpenting dan bagi banyak anak merupakan tugas perkembangan yang paling sulit adalah belajar untuk berhubungan secara emosional dengan orang tua. Saudara-saudara kandung, dan orang lain. Hubungan emosional pada bayi harus diganti dengan hubungan yang lebih matang. Anak harus belajar memberi dan menerima kasih sayang. singkatnya, ia harus belajar terikat keluar dari pada dirinya sendiri. Demikian pula halnya dengan pengertian
12
tentang benar dan salah. Pengetahuan tentang benar dan salah masih terbatas pada situasi rumah dan harus diperluas dengan pengertian benar dan salah dalam hubungannya dengan orang-orang diluar rumah terutama lingkungan tetangga, sekolah dan teman bermain. (Hurlock,1980) Tugas perkembangan awal masa prasekolah yang dasarnya telah diletakkan pada masa bayi diharapkan sudah dikuasai anak sebelum mereka masuk sekolah. Hurlock mengemukakan bahwa tugas perkembangan pada masa prasekolah meliputi perkembangan fisik, ketrampilan, berbicara, perkembangan emosi, sosialisasi, bermain dan perkembangan kepribadian. a. Perkembangan Fisik Pertumbuhan selama awal masa prasekolah berlangsung lambat dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan masa bayi. Pertambahan tinggi badan setiap tahunnya rata-rata tiga inchi. Pada usia enam tahun tinggi anak rata-rata 46 inchi. Pertumbuhan berat badan setiap tahunnya rata-rata tiga sampai lima pon. Pada usia enam tahun berat anak harus kurang lebih tujuh kali berat pada waktu lahir. Perbedaan dalam postur tubuh untuk pertama kali tampak jelas pada awal kanak-kanak. Ada yang posturnya gemuk lembek (endomorfik), ada yang kuat berotot (mesomorfik), dan ada lagi yang relative kurus (ektomorfik). Anak -anak yang cenderung bertubuh endomorfik lebih banyak jaringan lemaknya dari pada jaringan otot, yang cenderung mesomorfik mempunyai jaringan otot lebih banyak dari pada jaringan lemak, dan yang
13
bertubuh ektomorfik mempunyai otot-otot yang kecil dan sedikit jaringan lemak, tingkat pengerasan otot bervariasi pada bagian-bagian tubuh. Otot menjadi lebih besar, lebih kuat, dan lebih berat, sehingga anak tampak lebih kurus meskipun beratnya bertambah. Selama empat sampai enam bulan pertama dari awal masa prasekolah, empat gigi bayi yang terakhir yaitu geraham belakang, muncul. Selama setengah tahun terakhir gigi anak mulai tanggal digantikan oleh gigi tetap. yang pertama kali tumbuh yaitu gigi seri tengah. Bila awal masa prasekolah berakhir, pada umumnya anak memiliki satu atau dua gigi tetap didepan dan beberapa celah dimana gigi tetap akan tumbuh. b. Ketrampilan pada Awal Masa prasekolah Awal masa prasekolah merupakan masa yang ideal untuk mempelajari ketrampilan tertentu. Terdapat alasan. Pertama, anak sedang mengulang ulang dan karenanya dengan senang hati mau mengulang suatu aktivitas sampai mereka terampil melakukannya. kedua, anak-anak bersifat pemberani sehingga tidak terhambat oleh rasa takut kalau dirinya mengalami sakit atau diejek teman- temannya sebagaimana ditakuti anak yang lebih besar. Dan ketiga, anak mudah dan cepat belajar karena tubuh mereka masih sangat lentur dan ketrmpilan yang dimiliki baru sedikit sehingga ketrampilan yang baru dikuasai anak tidak mengganggu ketrampilan yang sudah ada. awal masa prasekolah dapat dianggap sebagai “saat belajar” untuk belajar ketrampilan . (Hurlock,1980)
14
Apabila anak tidak diberi kesempatan mempelajari ketrampilan tertentu, perkembangannya sudah memungkinkan dan ingin melakukannya karena berkembangannya keinginan untuk mandiri, maka mereka tidak saja akan kurang memiliki dasar ketrampilan yang telah dipelajari oleh temanteman sebayanya tetapi juga kurang memiliki motivasi untuk mempelajari berbagai keterampilan
pada saat diberi kesempatan. keterampilan yang
dipelajari anak bergantung sebagaian pada kesiapan kematangan terutama kesempatan yang diberikan untuk mempelajari dan bimbingan yang diperoleh dalam menguasai keterampilan secara cepat dan efisien. (Hurlock,1980) c. Kemajuan Berbicara pada Awal Masa prasekolah Selama awal masa prasekolah, anak memiliki keinginan yang kuat untuk belajar berbicara. Karena belajar berbicara merupakan sarana pokok dalam sosialisasi anak yang lebih mudah berkomunikasi dengan teman sebaya akan lebih mudah mengadakan kontak sosial dan lebih mudah diterima sebagai
anggota
kelompok
dari
pada
anak
yang
kemampuan
berkomunikasinya terbatas. (Hurlock,1980) Anak yang mengikuti kegiatan prasekolah akan mengalami rintangan baik dalam hal sosial maupun pendidikan kecuali bila ia pandai bicara seperti teman-teman sekelasnya. Belajar berbicara merupakan sarana untuk memperoleh kemandirian. Untuk meningkatkan komunikasi, anak harus menguasai dua tugas pokok yaitu yang pertama mereka harus meningkatkan kemampuan untuk mengerti apa yang dikatakan orang lain dan yang kedua,
15
mereka harus meningkatkan kemampuan bicaranya sehingga dapat dimengerti orang lain. (Hurlock,1980) d. Perkembangan Emosi Selama awal masa prasekolah emosi sangat kuat. Saat ini merupakan saat ketidakseimbangan dimana anak mudah terbawa ledakan-ledakan emosional sehingga sulit dibimbing dan diarahkan, hal ini tampak mencolok pada usia 4-6 tahun. Emosi yang umum pada awal masa prasekolah antara lain: 1) Amarah Penyebab amarah yang paling umum adalah pertengkaran mengenai permainan, tidak tercapainya keinginan dan serangan yang hebat dari anak lain. Anak mengungkapkan rasa marah dengan menangis, berteriak, menggertak , menendang, melompat –lompat atau memukul. 2) Takut Pembiasaan, peniruan, dan ingatan tentang pengalaman yang kurang menyenangkan berperan penting dalam menimbulkan rasa takut, seperti cerita-cerita, gambar-gambar, acara radio atau televisi, dan filmfilm dengan unsur yang menakutkan, pada mulanya reaksi terhadap rasa takut adalah panik, kemudian menjadi lebih khusus seperti lari, bersembunyi, menangis, menghindari situasi yang menakutkan.
16
3) Cemburu Anak menjadi cemburu bila ia mengira bahwa minat dan perhatian orang tua beralih kepada orang lain didalam keluarga, biasanya adik yang baru lahir. Anak yang lebih muda dapat mengungkapkan kecemburuannya secara terbuka atau menunjukkannya dengan kembali berprilaku seperti anak kecil, seperti mengompol, pura-pura sakit atau menjadi nakal. Perilaku ini semua bertujuan untuk menarik perhatian. 4) Ingin tahu Anak mempunyai rasa ingin tahu terhadap hal-hal yang baru dilihatnya, juga mengenai tubuhnya sendiri dan orang lain. Reaksi anak adalah dengan bertanya. 5) Iri Hati Anak sering iri hati mengenai kemampuan atau barang yang dimiliki orang lain. Iri hati ini diungkapkan dalam bermacam-macam cara, yang paling umum adalah mengeluh tentang barangnya sendiri. Dengan mengungkapkan keinginan untuk memiliki barang seperti dimiliki orang lain. 6) Gembira Anak merasa gembira karena sehat, situasi yang diharapkan, bencana kecil, berhasil melakukan tugas yang dianggap sulit. Ungkapan kegembiraaannya seperti tersenyum, tertawa, tertepuk tangan, melompatlompat, atau memeluk benda atau orang yang membuatnya bahagia .
17
7) Sedih Anak merasa sedih karena kehilangan segala sesuatu yang dicintai atau yang dianggap penting bagi dirinya, apakah itu orang, binatang, atau mainan. Secara khas
ungkapan kesedihannya dengan
menangis,
kehilangan minat terhadap kegiatan normalnya, termasuk makan. 8) Kasih Sayang Anak belajar mencintai orang, binatang, atau benda kesayangan. ia mengungkapkan kasih sayang secara lisan bila sudah besar tetapi ketika masih kecil anak menyatakannya secara fisik dengan memeluk, menepuk, dan mencium objek kasih sayangnya. e.
Perkembangan Sosialisasi Salah satu tugas perkembangan awal masa prasekolah yang penting adalah memperoleh latihan dan pengalaman yang diperlukan untuk menjadi anggota “kelompok” dalam akhir masa prasekolah. Jadi awal masa prasekolah sering disebut sebagai masa prakelompok. dasar sosialisasi diletakkan dengan meningkatnya hubungan antara anak dengan teman-teman sebayanya dari tahun ketahun. Pada sosialisasi awal anak menunjukkan minat yang nyata untuk melihat anak-anak lain dan berusaha mengadakan kontak sosial dengan mereka.ini dikenal dengan “bermain sejajar, yaitu bermain sendiri-sendiri, tidak bermain dengan anak- anak lain. Perkembagan berikutnya adalah bermain “asosiatif” dimana anak terlibat dalam kegiatanyang menyerupai
18
kegiatan anak-anak lain. Dengan meningkatnya kontak sosial, anak terlibat dalam “bermain kooperatif” dimana ia menjadi anggota kelompok dan saling berinteraksi . Sekalipun anak sudah bermain dengan anak lain, ia masih sering berperan sebagiai penonton, mengamati anak lain bermain tidak ikut terlibat dalam permainannya. Dari pengalaman mengamati ini anak belajar bagaimanba anak lain mengadakan kontak sosial dan bagaimana perilakunya dalam berbagai situasi sosial. Pola perilaku sosial anak misalnya dengan meniru sikap dan perilaku orang lain yang ia kagumi agar sama dengan kelompok, persaingan (keinginan untuk mengungguli dan mengalahkan orang lain yang dimulai dirumah dan kemudian berkembang dalam bermain dengan anak di luar rumah), kerjasama, membagi miliknya terutama mainan untuk anak lain. Lambat laun sifat mementingkan diri sendiri berubah menjadi sifat murah hati. Menjelamg berakhirnya awal mas prasekolah dukungan dari teman- teman menjadi lebih penting dari pada persetujuan orang -orang dewasa. Pada awal masa prasekolah terdapat pula perilaku yang tidak sosial seperti negativisme atau melawan otoritas orang dewasa, mencapai puncaknya pada usia 4 kemudian menurun, perilaku agresif, perilaku berkuasa atau merajai semakain meningkat dengan bertambah banyaknya kesempatan untuk kontak sosial, memikirkan diri sendiri karena cakrawala sosial anak terutama terbatas dirumah, anak sering kalau mementingkan diri sendiri, ledakan amarah yang sering disertai merusak benda disekitarnya, tidak peduli
19
miliknya sendiri atau milik orang lain. Namun, tiap-tiap pola perilaku yang tampaknya tidak sosial ataupun anti sosial ini penting ini sebagai pengalaman belajar yang memungkinkan anak mengerti apa yang di setujui oleh kelompok sosial serta apa yang dapat diterima dan tidak dapat diterima oleh kelompok. f.
Bermain pada Awal Masa prasekolah Masa awal prasekolah sering disebut sebagai tahap bermain. Hurlock (1980) mengatakan bahwa bermain dalam masa prasekolah adalah kegiatan yang serius, bahkan merupakan kegiatan pokok dalam masa prasekolah. Anak yang populer ingin bermain lebih banyak dengan anak-anak lain sedangkan anak yang secara sosial kurang diterima atau yang sudah merasa senang hanya sedikit persetujuan terpaksa bermain sendiri sepanjang waktu, anak yang kreatif menghabiskan sebagain besar waktu bermain untuk menciptakan sesuatu yang orisinil dari mainan-mainan dan alat bermain, sedangkan anak yang tidak kreatif mengikuti pola yang sudah dibuat oleh orang lain. Semakin banyak bimbingan yang diterima anak dalam bermain semakin besar variasi dalam kegiatan bermain dan semakin besar kegembiraan yang diperoleh anak.
g.
Perkembangan Sosislisasi Pola kepribadian mulai terbentuk pada awal masa prasekolah. Karena orang tua, saudara-saudara kandung, dan saudara yang lain merupakan dunia sosial bagi anak, maka bagaimana perlakuan dan perasaan mereka kepada anak merupakan faktor penting dalam pembentukan konsep diri, yaitu inti pola kepribadian . dengan berjalannya periode awal masa prasekolah, anak
20
semakin banyak berhubungan dengan teman-teman sebayanya, baik dilingkungan tetangga, dilingkungan prasekolah, atau dipusat perawatan anak. (Hurlock ,1980) Kondisi yang membentuk konsep diri pada awal masa prasekolah antara lain sebagai berikut: 1. Cara pelatihan anak yang digunakan adalah penting dalam membentuk konsep diri yang sedang berkembang. Pola asuh otoriter yang keras disertai banyaknya hukuman badan cenderung memupuk kebencian kepada semua orang yang berkuasa dan menimbulkan perasaan menyerah. 2. Cita-cita
orang
tua
terhadap
anaknya
berperan
penting
dalam
mengembangkan konsep dirinya. Kalau harapan mereka terlalu tinggi, anak cenderung gagal. Terlepas dari bagaimana anak bereaksi, kegagalan meninggalkan bekas-bekas yang tidak terhapuskan pada konsep diri dan meletakkan dasar-dasar untuk perasaan rendah diri dan tidak mampu. konsep diri yang negatif akan berpengaruh terhadap kepercayaan diri anak yang menjadi buruk. Anak takut untuk mencoba sesuatu yang baru karena pengalaman gagal tersebut. 3. Ketidaknyamanan
lingkungan,
apakah
karena
kematian,
penceraian
perpisahan atau mobilitas sosial berpengaruh buruk terhadap konsep diri anak karena ia merasa tidak aman dan merasa lain dari teman-teman sebaya.
21
4.
Posisi urutan anak-anak dalam keluarga dapat mempengaruhi kepribadian anak –anak didalam keluarga belajar memerankan peran khusus, sebagaian berhasil tidaknya anak dalam bersaing dengan saudara-saudara kandungnya. Berdasarkan uraian diatas bahwa masa prasekolah yaitu usia dua hingga enam tahun merupakan masa yang paling suylit terutama dihadapi oleh ibu atau pengasuh lainnya. Keberhasilan anak dimasa mendatang dipengaruhi oleh keberhasilannya pada awal masa prasekolah. Sehingga sangatlah perlu dukungan, bimbingan, perhatian, dan kasih sayang kepada anak diusia ini baik dari orang tua maupun orang-orang berada disekitar anak.
B. Kepercayaan Diri a. Pengertian Kepercayaan Diri Kepercayaan diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang mempunyai fungsi yang penting dalam kehidupan manusia karena dengan kepercayaan
diri
seseorang
akan
mengaktualisasikan
potensi
yang
dimilikinya. Walgito (1993) bahwa kepercayaan diri sebagai salah satu aspek kepribadian terbentuk dalam interaksi individu dengan lingkungannya khususnya lingkungan sosial. Angelis (2003) menjelaskan bahwa kepercayaan diri adalah suatu keyakinan dalam hati bahwa segala tantangan hidup apapun harus dihadapi dengan berbuat sesuatu.
22
Kepercayaan diri menurut Branden (dikutip walgito,1993) adalah kepercayaan seseorang pada kemampuan yang ada dalam dirinya. Hambly (1989) menambahkan bahwa kepercayaan diri adalah keyakinan diri yang dimiliki individu dalam menanggani segala situasi. Hakim (2002) menambahkan bahwa kepercayaan diri adalah suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek, kelebihan yang dimilikinya dan keyakinan mampu mencapai berbagai tujuan didalam hidupnya. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kepercayaan diri adalah keyakinan seseorang pada kemampuan yang dimilikinya, dalam mencapai berbagai tujuan didalam hidupnya. sehingga tidak perlu membandingkan dirinya dengan orang lain. b. Ciri-ciri kepercayaan diri Telah dikemukan diatas bahwa kepercayaan diri adalah suatu keadaan dalam diri seseorang yang berisi keyakinan tentang kemampuan melakukan dan menghasilkan sesuatu dengan sukses. Sobur (1985) bahwa anak yang memiliki kepercayanan diri adalah berani menghadapi resiko dan bertanggung jawab yang harus diterima dari tindakan yang dilakuakan yaitu kemungkinan mengalami kegagalan. Anthony (dikutip Irawati ,2002) ciri-ciri orang yang memiliki kepercayaan diri meliputi: 1. Jawab berarti mau menerima dan menanggung resiko dari perbuatannya.
23
2. Rasa aman berarti tidak memiliki ketakutan dan kecemasan yang dapat menghambat kepercayaan dirinya. 3. Harga diri berarti mampu menyadari segala kekurangan dan kelebihan sehingga tidak memiliki perasaan rendah diri. 4. Mandiri berarti hidup tidak bergantung pada orang lain dan selalu dapat mengembangkan , mengerjakan sesuatu tanpa menunggu orang lain. 5. Optimis berarti menyadari kemampuan yang dimiliki dan berusaha untuk memperoleh yang terbaik dalam kehidupannya. 6. Tidak mudah putus asa berati memiliki mental yang kuat untuk dapat menghadapi hal yang terburuk dan berani mencoba lagi setelah mengalami kegagalan. Lauster (1998.) ciri-ciri individu yang memiliki kepercayaan diri adalah optimis, bertanggung jawab atas keputusan dan perbuatannya, bersikap tenang, berani mengungkapkan pendapatnya. c. Faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri 1. Keadaan fisik Suryabrata (1984) berpendapat bahwa keadaan fisik individu akan berpengaruh terhadap kepercayaan diri individu yang memiliki fisik yang kurang sempurna akan menimbulkan perasaan tidak enak terhadap diri sendiri, karena merasa ada yang kurang dalam dirinya dibandingkan yang lainnya, keadaan ini membuat individu merasa kurang percaya diri dan kurang berharga.
24
2. konsep diri Adanya perbedaan sumber konsep diri antara laki-laki dan perempuan. Konsep diri laki-lak bersumber dari keberhasilan kerja persaingan dan kekuasaan, dimana laki-laki pada dasrnya dituntut untuk berperan diluar rumah sejak prasekolah, sehingga laki-laki menjadi lebih berani dalam menghadapi tantangan dan hal –hal baru. Sedangkan pada perempuan lebih banyak menghabiskan waktu dirumah, sehingga perhatiannya diluar dirinya kurang dominan dibandingkan perhatian terhadap dirinya dan lingkungan sekitar rumah saja. Hal yang mempengaruhi pola pikir dan keinginan perempuan cenderung menjadi seorang yang perasa dan kurang berani menunjukkan kemampuan serta kurang yakin dalam menghadapi hal-hal yang baru.ada beberapa karakterristik yang dapat membedakan antara laki-laki dan perempuan. Memiliki sifat feminim seperti cenderung sangat pasif, tidak terus terang, tidak percaya diri dan cenderung lemah lembut. Sedangkan laki-laki memiliki sifat maskulin seperti sangat agresif, sangat bebas, sangat dominan sering menggunakan logika dan sangat percaya diri. 3. Usia Kepercayaan diri terbentuk dan berkembang sejalan dengan berjalannya waktu, pada waktu masih muda kepercayaan diri begitu rapuh, karena pada waktu masih muda suatu penolakkan atau kegagalan akan dirasakan sebagai suatu yang sangat menyakitkan.
25
4. Dukungan sosial Menurut Loekomono (1983) bahwa rasa percaya diri pada individu dipengaruhi dalam hubungannya dengan orang-orang yang dianggapnya penting. Lingkungan dan kehidupan sehari-hari. Pendapat ini didukung oleh Natawidjaja (1998) untuk meningkatkan kepercayaan diri anak membutuhkan pihak lain yang yang dipercayainya, untuk mendorong keberaniannya mengambil keputusan. 5. Pendidikan Monks (dikutip Muljati, 2002) menyatakan bahwa tingkat pendidikan mempunyai pengaruh dalam menentukan kepercayaan diri, semakin tinggi pendidikan semakin banyak yang telah dipelajari dan ini berarti semakin individu mengenal diri baik kekurangan maupun kelebihannya. Semakin individu dapat menentukan standar sendiri keberhasilannya. Individu yang demikian mempunyai kepercayaan dalam menanggani sesuatu tanpa perasaan takut dan kwatir mengalami kegagalan., semakin tinggi tingkat pendidikanya semakin tinggi pula kepercayaan dirinya Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya faktor-faktor yang memperngaruhi kepercayaan diri yaitu keadaan fisik, konsep diri, usia, dukungan sosial, pendidikan. Pakar ilmu jiwa menemukan bahwa kepercayaan diri mulai terbentuk sejak bayi dalam kandungan dan berkembang lewat hubungan
26
anak dengan ibu atau pengasuhnya. Salah satu indikator yang penting anak yang percaya diri adalah ia melekat (attach) dengan ibu atau pengasuhnya. melekat disini bukan berarti tidak dapat dipisahkan. Melekat artinya anak memiliki keyakinan dikala ia lapar, ibu atau pengasuhnya hampir dapat dipastikan dating untuk mengurangi rasa laparnya. pada waktu anak merasa resah dan menanggis, ibu juga hampir selalu datang menghiburnya bila anak inggin bermain sendiri, ibu juga tidak sering menganggu keasyikannya ( Handojo, 1999) Menurut Gunarsa (1992) perkembangan kepercayaan diri anak mulai brerkembang sejak usia 0-1 tahun. Anak yang dipelihara dengan baik dan penuh kasih sayang akan menimbulkan perasaan aman bagi anak sehingga percaya pada lingkungan. Sebaliknya, apabila anak diabaikan maka perkembangan kepercayaan diri anak menjadi terhambat, anak tidak percaya kepada lingkungan dan memberikan penilian yang negatif terhadap lingkungannya pada usia 0-1 tahun pemberian Asi akan memberikan rasa aman bagi anak, dan merupakan awal memupuk rasa percaya diri anak. Handojo (1999) menambahkan bahwa kepercayaan diri itu mampu memultiplikasi dengan sendirinya. Setiap keberhasilan pada satu tugas, akan menambah kepercayaan diri anak untuk mencoba menyeleseaikan tugas baru yang lain. Rasa ingin tahu dan kepercayaan diri merupakan asset yang diperlukan anak untuk dapat belajar dengan sukses. Anak yang
27
tidak punya pengharapan bahwa ia akan sukses, biasanya juga tidak memiliki motivasi untuk mengasah kemampuannya. kalau ini berlangsung terus menerus anak akan bertumbuh menjadi seorang yang pesimis, raguragu, pemalu, sulit beradaptasi dengan lingkungan yang merupakan ciri anak yang kehilangan kepercayaan dirinya. Menurut Gunarsa (1992 ) anak yang percaya diri adalah anak yang kreatif anak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi untuk mencoba hal-hal yang baru,. Bahkan hal-hal yang berbahaya sekalipun.merupakn tugas ibu dan pengasuh lain dalam mendampingi anak dengan tidak memberikan kebebasan secara mutlak termasuk berkreasipun ada batas-batasanya, sehingga tidak membahayakan anak maupun orang lain. Sebaliknya ibu tidak ragu untuk melarang anak apabila membahayakan kesalamatan anak dan orang lain.
Namun harus diperhatikan bahwa untuk menentukan
berbahaya atau tidak harus berhati-hati, tetapi tidak pula menganggap semua berbahaya bagi anak karena akan menyebabkan kreatifitas anak tidak berkembang.ibu tidak hanya melarang atau memberi batasan tetapi juga menyediakan fasilitas yang lain untuk anak berkreasi, memberikan alternatif untuk permainan lain. Pada usia prasekolah merupakan masa bermain bagi anak. Memberikan keleluasaan bermain bersama dengan teman-temannya merupakan langkah yang baik untuk pembentukan kepercayaan diri anak . Memperbanyak hubungan anak dengan dunia luar, baik dengan teman –
28
teman sebaya maupun dengan yang berbeda usia akan menguatkan rasa diri anak. Sikap yang otoriter, penuh dengan larangan-larangan hanya akan merusak percaya diri pada anak. Larangan itu akan mematikan kreatifitas anak yang selanjutnya memperkuat rasa ketergantungan pada orang tua. agar anak bisa diarahkan melakukan segala sesuatu sendiri, ibu harus memulai dari hal-hal kecil kemudian meningkat kepada hal-hal yang lebih besar ( Purbasari, 2002) Orang
tua
dalam
hal
ini
ibu
sangat
berperan
untuk
merngembangkan kepercayaan diri anak. Karakteristik pengasuhan ibu untuk anak prasekolah berbeda dengan karekteristik pengasuhan ibu untuk usia
lain.
Karakteristik
pengasuhan
ibu
meliputi
pemeliharaan,
penerimaan, peka, mengizinkan anak untuk mengeksplorasi dan mengekspresikan diri, disiplin, penggunaan bahasa yang baik serta memberi batas-batasan atau aturan pada anak. Peran ibu mendapat hambatan jika ibu harus bekerja diluar rumah waktu yang dimilikiibu untuk mengasuh dan merawat anak menjadi jauh berkurang. Sehingga kemampuan sosialisasi anak untuk menerapkan nilai, normal, kebiasaan yang diperlukan untuk perkembangannya sebagai anggota masyarakat menjadi rendah karena anak tidak yakin apakah ia mampu untuk mengadakan interaksi tersebut. Hal senada yang dikemukan oleh Hurlock (1980) bahwa kalau ibu bekerja diluar rumah , perawatan harus diserahkan kepada sanak keluarga
29
atau pengasuh bayaran atau anak harus dititipkan kepusat perawatan anak. Kalau anak merasa senang dalam lingkungan baru dan menyukai pengasuhnya, ibu tidak akan senang dengan keadaan ini. Sebaliknya, kalau anak tidak merasa bahagia dan merasa aman, anak membenci karena tidak mengasuhnya dan ingin akan menyebabkan ibu merasa bersalah karena melalaikan peran orang tua. Kondisi ini dapat merusak perasaan aman dan kebersamaan yang berakibat anak menjadi rendah diri terutama apabila ia melihat hubungan anak-anak lain yang hangat dengan ibunya. Untuk meningkatkan diri anak sebagaian orang tua mengikutkan anak dalam perlombaan, misalnya lomba menggambar, menyanyi, menari, dan lain-lain. Mengikutkan anak dalam perlombaan menyebabkan potensi anak berkembang. Tetapi untuk memupuk kepercayaan diri padsa anak ukurannya bukan dalam menang atau kala.karena apabila anak mengalami kekalahan anak akan menjadi frustasi, kecewa, takut untuk mencoba lagi menyalakan orang lain atas kelahannya. Tetapi yang paling penting motivasi orang tua mengikutsertakan anak dalam lomba adalah untuk mengembangkan percaya diri anak, mengembangkan potensi yang dimiliki.sehingga kalaupun anak gagal anak tidak mudah menyerah. Ibu memberi pengertian kepada anak dengan lembut bahwa dalam perlombaan selau ada yang kalah dan menang. Cara ibu memberi tahukan kepada anak agar anak tetap percaya diri walaupun ia kalah, misalnya dengan berkata :
30
“nggak menang juga tidak apa-apa, tetap anak mama. Besok dicoba lagi dan lebih banyak latihan” (Gunarsa, 1992) Kepercayaan Diri Anak: a. Interaksi sosial Anak mampu bergaul dengan orang lain baik teman sebaya maupun tidak sebaya, sejenis maupun berlainan jenis. Disamping itu anak tidak merasa takut, canggung dengan kehadiran orang lain. Anak mampu berkomunikasi lancer dengan orang lain. b. Kemandirian Anak mampu melakukan tugas tanpa bantuan orang lain (berpakaian, mandi, bersisir), memusatkan perhatian pada tugas, anak mampu mengendalikan diri dalam suasana apapun. Tidak cemas berpisah dari ibu atau orang yang dekat dengan anak. c. Toleransi Anak bersedia membantu orang lain, mampu memahami orang lain, mau berbagi miliknya dengan teman, anak mau disuruh minta maaf jika dia berbuat kesalahan. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa anak yang memiliki kepercayaan diri yang tinggi adalah anak yang kreatif, berinisiatif, selalu berani mencoba hal-hal yang baru, memiliki perasaan yang aman dan nyaman akan lingkungannya, diterima dilingkungannya. Anak yakin akan kemampuannya.selain itu juga
31
anak mampu bersosialisasi dengan orang lain, anak tidak ragu-ragu, tidak mementingkan diri sendiri, berprilaku yang positif, mandiri, perasaan
gembira
adanya
motivasi
untuk
mengasahnya
kemampuannya.
C. Pola Asuh Orang Tua a. Pola asuh Anak Keluarga merupakan tempat untuk pertama kalinya seorang anak memperoleh pendidikan dan mengenal nilai-nilai maupun peraturanperaturan yang harus diikutinya yang mendasari anak untuk melakukan hubungan sosial dengan lingkungan yang lebih luas .Namun dengan adanya perbedaan latar belakang, pengalaman, pendidikan dan kepentingan dari orang tua, maka terjadilah keanekaragaman cara mendidik. Menurut Cole (1983) yang dimaksud dengan pola asuh orang tua adalah proses pendidikan yang
berlangsung
lama
dan
berkesinambungan
sehingga
dapat
mempengaruhi sikap tingkah laku seseorang yang dilakukan oleh orangtua. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Gunarsa (1995) yang mengemukakan bahwa pola asuh orang tua adalah cara mendidik anak sesuai dengan sifat dan titik berat orang tua dalam hubungan antar orang tua dan anak. Menurut Hurlock (1999) Pola asuh orang tua adalah suatu metode disiplin yang diterapkan orang tua terhadap anaknya Metode disiplin ini meliputi dua konsep yaitu konsep negative dan konsep positif. Menurut
32
konsep negative, disiplin berarti pengendalian dengan kekuasaan, ini merupakan suatu bentuk pengekangan melalui cara yang tidak disukai dan menyakitkan, sedangkan menurut konsep positif, disiplin berarti pendidikan dan bimbinngan yang lebih menekankan pada disiplin dan peengendalian diri. Lebih jauh Hurlock (1999) menyebutkan bahwa fase pokok dari pola asuh orang tua adalah untuk mengajarkan anak menerima pengekanganpengekangan yang diperlukan dan membantu mengarahkan emosi anak kedalam jalur yang berguna dan diterima secara sosial. Proses pendidikan yang berlangsung lama dan berkesinambungan sehingga dapat mempengaruhi sikap, tingkah laku seseorang yang dilakukan oleh orang tua (Nurbiati, 2005). Gunarsa (1995) mengatakan bahwa tidak ada orang tua yang dengan sengaja mendidik anak supaya tidak berhasil dalam hidupnya. Tetapi kenyataannya seringkali orang tua tanpa disadari mengambil suatu tertentu yang sebernarnya merupakan suatu sikap salah, tetapi itu di anggap benar menurut anggapan mereka atau umum. Pada dasarnya, pengasuhan anak merupakan anak merupakan proses yang penuh dinamika. Seiring pertumbuhan dan perkembangan anak salah satu kunci sukses pengasuhan anak adalah dengan mengembangkan komunikasi yang efektif antara ibu dan anak. Komunikasi antara ibu dan anak, idealnya bertujuan meningkatkan intelektual, emosi,moral, percaya diri, dan spiritual anak. Untuk itu dibutuhkan pengetahuan tentang pengasuhan
33
anak. Pengetahuan tersebut dapat diperoleh dari berbagai media, antara lain buku-buku, televise, pengalaman dari orang lain (termasuk orang kita), dan pengalaman yang didapat dari keterlibatan langsung dalam situasi pengasuhan. (Enoch,1999). b. Kategori pola asuh Kategori pola asuh orang tua digolongkan menjadi tiga model yaitu otoriter (Authoritarian), permisif, demokratis. 1. Authoritarian ( otoriter) Pola ini mengunaknan pendekatan yang memaksakan kehendak, suatu peraturan yang dicanangkan orang tua dan harus dituruti oleh anak. Pendekatan semacam ini biasanya kurng responsive pada hak dan keinginan anak. Komunikasi yang dilakukan lebih bersifat satu arah dan lebih sering berupa perintah, sehingga anak sebagi objek kurang didengar dan biasanya cenderung diam serta menutup diri. Hal ini membuat anak tidak memiliki pilihan dalam berperilaku, karena anak terlalu khawatir dengan apa yang diperintahkan orang tua dan biasanya takut membuat kesalahan. 2. Permisif Pola pengasuhan ini menggunakan pendekatan yang sangat responsif (bersedia mendengarkan) tetapi cenderung terlalu longgar.orang tua memiliki sikap yang relatif hangat dan menerima sang anak apa
34
adanya, kadang cenderung pada memanjakan. Anak terlalu dijaga, dituruti keinginannya dan diberi kebebasan untuk melakukan apa saja yang dia inginkan. Tetapi tidak diikuti dengan tindakan mengontrol atau menuntut anak untuk menampilkan prilaku tertentu, sehingga kadang-kadang anak merasa cemas mereka melakukan sesuatu yang salah atau benar. 3.
Demokratis Pola asuh ini menggunakan pendekatan rasional dan demokratis. Orang tua sangat memperhatikan kebutuhan anak dan mencukupinya dengan pertimbangan factor kepentingan dan kebutuhan yang realistis. Orang tua melakukan pengawasan, kebebasan dan tanggung jawab kepada anak dalam berakifitas secara wajar dan rasional. Orang tua menghargai minat anak dan mendorong keputusan anak untuk mandiri, tetapi tetap tegas dan konsisten dalam menentukan standar, kalau perlu menggunakan hukuman yang rasional sebagai upaya memperlihatkan kepada anak konsekuensi suatu bentuk pelanggaran. Orang tua dan anak saling menghargai hak-hak mereka satu sama lain. Orang tua menawarkan berbagai kehangatan dan menerima tingkah laku asertif anak mengenai peraturan , norma dan nilai-nilai. Salah satu yang terpenting dan bagi banyak anak merupakan tugas perkembangan
paling
sulit
adalah
perkembangan
kepribadian.
35
Kepercayaan diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang mempunyai fungsi penting. Berkenaan dengan pentingnya pemantauan bagi pembentukan kepercayaan diri anak, banyak ahlii menyebutkan bahwa kepercayaan diri merupakan salah satu kebutuhan dasar anak sebagai dasar untuk masa depan yang lebih baik (Gunarsa, 1992). Dengan dasar pertiinbangan yang paling berperan adalali pola pengasuhan ibu tanpa mengabaikan faktorfaktor lain yang mempengaruhi kepercayaan diri anak. Pola asuh ibu sendiri dipengaruhi oleh bcberapa faktor salah satunya adalah kesempatan ibu berada di rumah untuk berinteraksi dengan anaknya. Pola asuh ibu memegang peranan penting dalam memberikan standar perilaku dan sumber motivasi bagi anak untuk memenuhi peraturan tersebut. Berdasarkan teori Baumrind (1991), pola asuh ibu dibagi menjadi pola asuh ctoriter, pennisif, dan otoritatif. Anak yang dididik dengan pola asuh otoriter cenderung menarik diri, frustasi, cemas yang berlebihan, anak dituntut untuk selalu mentaati peraturan dan langsung memberikan hukuman tanpa memberikan kesempatan bagi anak untuk memberikan penjelasan mengapa berbuat kesalahan. Sementara anak yang dididik dengan pola asuh yang pennisif kurang menghargai orang lain, tidak mempunyai tanggung jawab, sulit dikendalikan, perilaku negatif di masyarakat. Dari hasil penelitian yang dilakukan Baumrind (1984), kedua pola asuh di atas memberikan konstribusi yang buruk bagi
36
pembentukan kepercayaan diri anak dan menyebubkan anak sangat bergantung kepada ibu dan pengasuh lain. Berbeda pada anak yang dibesarkan dengan pola asuh otoritatif atau demokratis, anak diberikan kebebasan untuk mengeksplorasi potensi yang dimiliki, berprestasi, berperilaku yang positif, keberhasilan sosialisasi, anak lebih bertanggung Jawab, dan memiliki kepercayaan din yang tmggi. (Baumrind, 1984) Faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh 1. Pendidikan Orang Tua Pendidikan dan pengalaman orang tua dalam perawatan anak akan mempengaruhi kesiapan mereka menjalankan peran pengasuhan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan antara lain : terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak, mengamati segala sesuatu dengan berorientasi paa masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak-anak dan menilai perkembangan fungsi keluarga dalam kepercayaan anak. Hasil riset menunjukkan bahwa orang tua yang telah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak akan lebih siap menjalankan peran asuh. Selain itu orang tua akan lebih mampu mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan anak yang normal (Supartini, 2004)
37
2. Hubungan suami istri Dalam pemberian pola asuh kepada anak, hubungan yang kurang harmonis antara suami istri akan berdampak kepada kemampuan orang tua dalam memberikan pola asuh secara bahagia (Supartini, 2004). Hubungan suami istri yang kurang harmonis dapat ditandai oleh keluarga yang sering bertengkar bahkan sering kali adanya kekerasan dalam keluarga antara kedua orang tua (Depkes, 1995). 3. Umur Orang Tua Usia antara 17 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk laki-laki mempunyai alasan yang kuat dengan kesiapan menjadi orang tua. Rentang usia tertentu adalah baik untuk menjalankan peran pengasuhan. Apabila terlalu muda atau terlalu tua, mungkin tidak dapat menjalankan peran tersebut secara optimal karena diperlukan kekuatan fisik dan psikososial (Supartini, 2004). D. Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua dengan Kepercayaan Diri Anak Baumrind mengatakan bahwa hubungan antara pola asuh dan karakteristik anak pada sampel prasekolah tetap kuat ketika dites kembali pada pertengahan masa prasekolah. Anak dengan orang tua yang otoritatif cenderung mempunyai skor yang lebih tinggi dalam pengukuran kepercayaan diri (self-confidence). Pola asuh otoritatif berhubungan dengan penyesuaian diri yang lebih positif terhadap trauma keluarga, seperti perceraian atau perkawinan kembali. Dalam penelitian
38
lebih lanjut anak-anak ini ditemukan lebih kompeten berdasarkan penilian teman sebaya, beberapa anak remaja serta pengamat dalam penelitian. Anak dengan pola asuh otoriter cenderung mempunyai skor yang lebih rendah pada pengukuran kepercayaan diri. Didapatkan skor rendah pada pengukuran hubungan sosial dengan teman sebaya dan dalam beberapa kondisi ditemukan tingkat yang tinggi dari agresi interpersonal. Anak dengan orang tua permisif lebih serring menunjukkan kesulitan dalam penyesuaian di sekolah, cenderung memiliki skor yang lebih tinggi pada rata-rata pengukuran agrivitas, pada remaja lebih cenderung terlibat dalam prilaku menyimpang serta prilaku bermasalah lainnya. Tipe pola asuh otoritatif umumnya menghasilakan anak yang lebih bertanggung jawab dan mengandalkan diri sendiri. Anak berkembang menjadi tidak bergantung ,agresif, bersahabat, dan kooperatif. Dua tipe lainnya, otoriter dan permisif menghasilkan ketergantungan pada anak.kedua tipe ini disimpulkan memiliki ide-ide yang realistik tentang anakanak.keduanya melihat bahwa anak dikendalikan oleh dorongan (impuls) yang primitive dan egois. Pola asuh otoriter menghasilkan anak yang patuh dirumah dan sering tergantung serta pasif dalam situasi otoritas lainnya. Anak sering menampilkan prilaku menarik diri.bersifat curiga, dan cenderung tidak puas. Di lain pihak, anak dengan pola asuh permisif sering kekurangan control diri dan kepercayaan diri. Anak dibesarkan dibawah pengaruh yang cenderung menimbulkan rasa takut akan pengalaman baru. Mungkin karena kebebasan tidak
39
terbatas yang diterima membuat anak tidak yakin prilaku bagaimana yang dapat diterima dalam iklim yang otoritatif E. Kerangka Teori Masa Prasekolah • Perkembangan fisik • Ketrampilan pada awal masa prasekolah • Kemajuan berbicara pada awal masa prasekolah • Perkembangan emosi • Perkembangan sosialisasi • Bermain pada awal masa prasekolah • Perkembangan kepribadian
Pola asuh orang • Otoriter • Pemisif • otoritatif
Kepercayaan diri anak
Faktor yang mempengaruhi • Tingkat pendidikan • Jumlah anak • Pengalaman (pengasuhan dari orang tua) • Umur orang tua • Hubungan suami istri
Faktor yang mempengaruhi • Toleransi • Interaksi sosial • kemandirian
Gambar 1 Hurlock, E.B, 1980, Developmental Psycology. A life-span .Approach,5th edition, MC Graw-Hill, Inc, New york.
40
F. Kerangka konsep Variabel independent ( bebas ) Pola asuh orang tua
Variabel dependent (terikat ) Kepercayaan diri anak
G. Variabel penelitian Variabel dalam penelitian terdiri dari variabel independent ( bebas ) dan variabel dependent ( terikat ) 7. Yang dimaksud dengan variabel independen dalam penelitian ini adalah pola asuh orang tua. 8. Yang dimaksud dengan variabel dependent dalam penelitian ini adalah kepercayaan diri anak H. Hipotesis Ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan kepercayaan diri anak.
41
BAB III METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif dengan menggunakan rancangan cross sectional, yaitu suiatu penelitian dimana variabelvariabel yang termasuk variabel dependent dan independent diobservasi sekaligus dalam waktu yang bersamaan (Notoatmojo, 2003)
B. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi adalah keseluruhan dari objek penelitian (Arikunto,2002), Populasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah ibu-ibu dari siswa-siswi di TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kendal. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 50 orang responden. 2. Sampel Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan sampling tertentu untuk bisa memenuhi atau mewakili populasi (Nursalam 2001).pada penelitian ini sampel diambil dan populasi ibu-ibu yang mempunyai anak yang sekolah di TK Tarbiyatul Athfal Penanggulan Pegandon Kendal dengan memperhatikan kriteria sebagai berikut:
42
a. Kriteria Inklusi Kriteria Inklusi adalah karakteristik umum yang harus dipenuhi oleh subyek sehingga dapat diikut sertakan dalam penelitian (Nursalam, 2003). Dalam penelitian criteria inklusinya adalah: 1) Ibu yang bersedia diteliti 2) Ibu yang putra-putrinya sekolah di TK Tarbiyatul Athfal Penanggulan Pegandon Kendal. b.
Kriteria Eksklusi Kriteria eksklusi adalah hal-hal yang menyebabkan sampel yang memenuhi kriteria tidak diikutsertakan dalam penelitian (Nursalam, 2003) .Dalam penelitian ini kriteria ekslusinya adalah : 1) Ibu yang tidak bersedia diteliti. 2) Ibu yang putra-putrinya sekolah di TK Tarbiyatul Athfal Penanggulan Pegandon Kendal. Cara
pengambilan
sampel
pada
penelitian
ini
adalah
menggunakan total sampling, dimana responden yang memenuhi kriteria inklusi dijadikan sampel. Dalam pengambilan sampel ada 50 orang responden dari siswa-siswi TK Tarbiyatul Athfal Penanggulan Pegandon Kendal.
43
C. Variabel Penelitian 1. Variabel Independen Variabel independent dalam penelitian ini adalah pola asuh orang tua. 2. Variabel Dependen Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kepercayaan diri anak. 3. Variabel moderator Variabel moderator dalam penelitian ini adalah pekerjaan ( Orang tua yang bekerja maupun yang tidak bekerja)
D. Definisi Operasional
Variabel
Definisi Operasional
Alat Ukur
1. Variabel
Pola asuh adalah suatu • Kuesioner
bebas: pola
cara atau sistem untuk
tertutup,
asuh
merawat, menjaga dan
dengan
mendidik anak yang
pertanyaan
berlangsung lama dan
dan
berkesinambungan
jawaban
sehingga
penilaian
dapat
Hasil Ukur • Jumlah
Skala
skor Ordinal
yang diperoleh 30
dengan
nilai
skor
pilihan • < 70% : kurang
mempengaruhi sikap,
untuk
tingkah laku seseorang
pertanyaan
, • > 70 % : baik
yang dilakukan oleh • Selalu (skor
44
Variabel
Definisi Operasional
Alat Ukur
orang tua.
4)
Hasil Ukur
Skala
• Sering (skor 3) • Jarang (skor 2) • Tak
pernah
(skor 1) 2. Variabel Kepercayaan terikat
: adalah
suatu tertutup, dengan
kepercayaan keyakinan diri
seseorang 25
pertanyaan
terhadap segala Aspek dan kelebihan
mencapai
hidupnya
skor Ordinal
yang diperoleh dengan
nilai
skor :
, • < 63% : rendah
dalam penilaian untuk • > 63% : tinggi berbagai pertanyaan
di
dalam favorable : sehingga • Selalu
tidak
perlu
membandingkan dirinya dengan orang lain.
pilihan
yang jawaban
dimilikinya,
tujuan
• Jumlah
diri Kuesioner
(Skor 4) • Sering (skor 3) • Kadang-
45
Variabel
Definisi Operasional
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala
kadang (Skor 2) • Tidak pernah (Skor 1) Sedangkan untuk penilaian untuk pertanyaan unfavorable : • Selalu (skor 4) • Tidak sering (skor 3) • Sering (skor 2) • Sangat sering (skor 1)
46
E. Instrumen Penelitian 1. Skala Pola Asuh Untuk mengetahui pola asuh pada subjek penelitian digunakan alat ukur berupa kuesioner tertutup yang di sesuaikan dengan umur subjek yaitu usia prasekolah. Skala pola asuh dilakukan dengan bobot 1-4yaitu skor 4 untuk jawaban “selalu”, 3 “untuk sering”, 2 untuk “jarang”, 1 untuk “tidak pernah”. Skala pola asuh terdiri dari 30 item yaitu, 11 item otoriter, 9 item permisif, 10 item otoritatif. 2. Skala Kepercayaan Diri Untuk mengukur kepercayaan diri anak digunakan alat ukur berupa kuesioner tertutup. Kuesioner ini diadaptasi bahasa karena subjek yang diteliti berumur lebih muda dan ditambah beberapa item untuk memperluas pertanyaan dalam kuesioner. Kuesioner kepercayaan diri menjadi 25 item favorable dan unfavorable yang menggunakan tiga aspek, yaitu (1) interaksi sosial adalah anak mampu bergaul dengan orang lain baik teman sebaya maupun tidak sebaya,sejenis maupun berlainan jenis.disamping itu anak tidak merasa
takut,canggung
dengan
kehadiran
orang
lain,anak
mampu
berkomunikasi lancer dengan orang lain.(2) kemandirian adalah anak mampu melakukan tugas tanpa bantuan orang lain, memusatkan perhatian pada tugas, anak mampu mengendalikan diri dalam suasana apapun, tidak cemas berpisah dari ibu atau orang yang dekat dengan anak.(3) toleransi adalah anak bersedia
47
membantu orang lain, mampu memahami orang lain mau berbagi miliknya dengan teman, anak mau disuruh minta maaf jika dia berbuat kesalahan. yang disusun dengan skala likert dengan bobot 1-4. pertanyaan yang favorable skor 4 untuk jawaban “selalu”,skor 3 untuk “sering”, skor 2 untuk “kadangkadang”,skor 1 untuk” tidak pernah. Jawaban pertanyaan unfavorable yaitu skor 4 untuk jawaban “selalu”,3 untuk “tidak sering”,2 untuk “sering”,1 untuk “sangat sering”. Semakin tinggi nilai yang diperoleh subjek dalam kuesioner ini semakin tinggi kepercayaan dirinya. Sebaliknya semakin rendah nilai yang diperoleh subjek semakin rendah kepercayaan dirinya.
F. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur Dilakukan uji coba item dan analisis item kuesioner kepercayaan diri anak kepada 50 orang siswa TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kendal, kemudian dilakukan analisis item dengan menguji korelasi antara skor item dengan skor total dengan pendekatan internal concistensy. Pendekatan konsistensi internal memerlukan hanya satubentuk tes yang dikenakan sekali saja pada kelompok subjek (Azwar, 2000).Korelasi yang tinggi menunjukkan kesesuaian antara fungsi item dengan fungsi ukur angket secara keseluruhan. Teknik yang digunakan adalah korelasi product moment dari Pearson, yaitu: rxy =
{∑ X
2
∑ XY − (∑ X )(∑ Y )/ n − (∑ X ) / n}{∑ Y − (∑ Y ) 2
2
2
}
/n
Keterangan X dan Y = Skor masing-masing skala n = Banyak Subjek
48
Menurut Sugiono (2003) keputusan ujinya adalah: Bila r hitung lebih besar dari r tabel artinya variabel tersebut valid. Bila r hitung lebih kecil dari r table artinya variabel tersebut tidak valid. Hasil ujicoba instrumen terhadap 15 diperoleh rxy > rtabel (0,514) yang berarti instrumen valid. Lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran. Reabilitas alat ukur pada prinsipnya menunjukkan sejauh mana suatu alat ukur dapat memberikan hasil pengukuran yang relative tidak berbeda bila dilakukan pengukuran kembali terhadap subjek yang sama (Azwar, 2000). Reabilitas alat ukur dalam penelitian ini diuji dengan alat uji reabilitas Alpha, yaitu: k 1− ∑ SJ α= k −1 S X 2
2
Keterangan k = Banyaknya belahan tes SJ2 = Varians belahan j; j = 1,2….k Sx = Varians skor tes Menurut sugiono (2003) dasar pengambilan keputusan uji reabilitas adalah sebagai berikut: -
Jika r alpha positif dan alpha > r tabel maka butir atau variabelnya tersebut tidak reliable.
-
Jika r alpha positif dan alpha < r tabel , maka butir atau variabel tersebut tidak reliable.
49
-
Jika alpha > r tabel tapi bertanda negatif , maka butir atau variabel tersebut akan tetap tidak reliabel. Hasil analisis reliabilitas diperoleh nilai alpha untuk kuesioner pola asuh
orang tua sebesar 0,9532 sedangkan untuk kuesioner kepercayaan diri anak sebesar 0,9345. Karena nilai alpha > r tabel (0,514) dapat disimpulkan bahwa kedua instrumen tersebut reliabel.
G. Metode Pengelahan Data dan Analisa Data 1. Prosedur Pengolahan Data Menurut Arikunto (1997) Pengelolahan data dilakukan dengan tahaptahap sebagai berikut : a. Editing Editing adalah pengecekan jumlah kuesioner, kelengkapan data, diantaranya kelengkapan identitas, lembar kuesioner dan kelengkapan isian kuesioner sehingga apabila mendapat ketidaksamaan dapat dilengkapi segera oleh peneliti. b. Coding Coding adalah melakukan pemberian kode berupa angka untuk memudahkan pengolahan data. Angka yang digunakan dalam penelitihan ini adalah 0 dan 1, angka 1 untuk jawaban yang sesuai dengan ketentuan ( ya ) dan angka 0 untuk jawaban yang tidak memenuhi ketentuan ( tidak ).
50
c. Data entry Data entry adalah memasukkan data yang diperoleh menggunakan fasilitas computer. d. Tabulating Tabulating adalah mengelompokkan data sesuai dengan tujuan penelitian kemudian dimasukkan dalam tabel yang sudah disiapkan. Setiap pertanyaan yang sudah diberi nilai hasilnya dijumlahkan dan diberi kategori sesuai dengan jumlah pertanyaan pada kuesioner. 2. Analisa Data Teknik analisa data yang dipakai adalah Chi-squre, hasil disajikan dalam distribusi frekuensi dengan rumus :
∑% =
∑ X × 100 n
Keterangan :
∑X
= Jumlah yang dihasilkan
N
= Jumlah sample
∑%
= Jumlah persen
Rumus Chi-squre yaitu : X Keterangan : X2
2
∑( f =
0
− fh )
2
fh
= Chi-squre
f0
= Frekuensi yang diobservasi
.fh
= Frekuensi yang diharapkan
51
Analisis data dipercepat dengan menggunakan computer program SPSS versi 10. penggolongan subyek dibagi kedalam tiga kategori yaitu tinggi, sedang, rendah ( Azwar, 2000 ). Cara lain untuk menilai hubungan antara variable adalah dengan nilai probabilitas ( p ). Dengan tingkat kepercayaan yang dipakai 5% maka nilai p = 0,05. suatu analisa data dikatakan ada hubungan apabila p < 0,05 dan sebaliknya jika p > 0,05 maka dikatakan tidak mempunyai hubungan.
H. Etika Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti mengajukan pemohonan ijin kepada kepala sekolah TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kendal. Untuk mendapatka persetujuan dengan menekannkan pada masalah penelitian yang meliputi : 1. Informed consent Merupakan cara persetujuan anatara peneliti dengan responden dengan memberiakn persetujuan melalui informed consent. Dengan memberikan lembar persetujuan pada responden sebelum penelitian dilaksanakan. Tujuan dari lemabar persetujuan ini sebagai bukti penyelenggaraan penelitian, tanggung gugat, dan agar responden mengerti maksud dan tujuan penelitian dan jika responden tidak bersedia maka peneliti harus menghormati hak responden.
52
2. Anonymity ( tanpa nama ) Merupakan etika dalam penelitian keperawatan dimana tidak dituliskan nama responden pada kuesioner dan hanya diberikan kode atau nomer responden. 3. Contidentiality ( kerahasiaan ) Semua informasi yang telah dikumpulkan dari responden dijamin keraharisnnya oleh peneliti. Hanya data tertentu saja yang disajikan dalam bentuk kesimpulan data.
53
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian ini mengungkap tentang hubungan antara pola asuh orang tua dengan kepercayaan diri anak di TK Tarbiyatul Athfal Penanggulan Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal. Data diperoleh dari pengisian kuesioner kepada orang tua anak dan selanjutnya dianalisis secara univariate dan bivariate. 1. Analisis Univariate a. Jenis Pekerjaan Ibu
Ibu dari anak di TK Tarbiyatul Athfal Penanggulan Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal yang menjadi responden penelitian ini sebagian besar tidak bekerja. Tabel 4.1.
Jenis Pekerjaan Ibu Anak TK Tarbiyatul Penanggulan Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal
Jenis Pekerjaan Frekuensi Tidak bekerja 41 Bekerja 9 Total 50 Sumber: data primer yang diolah tahun 2006
Persentase 82.0 18.0 100
Terlihat pada tabel di atas, sebanyak 41 ibu atau 82% tidak bekerja dan hanya sebagai ibu rumah tangga saja, selebihnya 9 ibu atau 18% bekerja di luar rumah. b. Gambaran Pola Asuh Orang Tua
54
Pola asuh orang tua diambil dengan kuesioner sebanyak 30 butir dengan skor terendah 1 dan skor tertinggi 4. Lebih lanjut gambaran pola asuh orang tua dari hasil penelitian dapat dilihat pada analisis deskriptif berikut. Tabel 4.2.
Pola Asuh Orang Tua Anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal
Pola asuh Frekuensi Baik 36 Kurang 14 Jumlah 50 Sumber: data primer yang diolah tahun 2006
Persentase 72 28 100
Terlihat dari tabel di atas, sebanyak 36 responden atau 72% memilik pola asuh yang baik, selebihnya 14 responden atau 28% dalam kategori kurang. c. Gambaran Umum Kepercayaan Diri Anak
Gambaran umum kepercayaan diri anak dilihat dari pengisian kuesioner sebanyak 25 butir penyataan dengan skor terendah 1 dan skor tertinggi 4. Tabel 4.3. Kepercayaan Diri Anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal Kepercayaan Diri Frekuensi Tinggi 25 Rendah 25 Jumlah 47 Sumber: data primer yang diolah tahun 2006
Persentase 50 50 100
Terlihat dari tabel di atas, sebanyak 25 anak atau 50% memiliki kepercayaan diri tinggi dan 25 anak lainnya atau 50% memiliki kepercayaan diri rendah.
55
56
2. Analisis Bivairate a. Perbedaan Pola Asuh Ibu Bekerja dan Tidak Bekerja
Perbedaan pola asuh ibu bekerja dan tidak bekerja dapat dilihat dari analisis chi square sebagai berikut. Tabel 4.4. Perbedaan Pola Asuh Ibu Anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal antara yang Bekerja dan Tidak Bekerja Pola asuh Total Kurang f % f % f % Tidak bekerja 29 70.7 12 29.3 41 100 Bekerja 7 77.8 2 22.2 9 100 2 χ hitung = 0,182; p value = 0,670 Sumber: data primer yang diolah tahun 2006 Jenis pekerjaan
Baik
Terlihat pada tabel di atas, dari 41 ibu yang bekerja, terdapat 29 ibu atau 70,7% memiliki pola asuh baik, selebihnya 12 ibu atau 29,3% memiliki pola asuh kurang baik. Dari 9 ibu yang bekerja, ternyata 7 ibu di antaranya atau 77,8%nya memiliki pola asuh baik dan 2 ibu atau 22,2% memiliki pola asuh kurang baik. Dari data di atas menunjukkan tidak ada perbedaan pola asuh antara ibu yang bekerja dan tidak bekerja yaitu cenderung dalam kategori baik. Simpulan ini didukung pula dari hasil uji chi square dan diperoleh
χ2 hitung = 0,182 dengan
p value = 0,670 > 0,05, yang berarti secara
signifikan tidak ada perbedaan yang nyata pola asuh yang digunakan
57
orang tua anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal antara yang bekerja dan tidak bekerja. b. Hubungan antara Pola Asuh Orang Tua dengan Kepercayaan Diri Anak Hubungan antara pola asuh orang tua dengan kepercayaan diri anak dapat dilihat dari analisis chi kuadrat seperti tercantum pada tabel berikut. Tabel 4.5. Tabulasi Silang Pola Asuh Orang Tua dengan Kepercayaan Diri Anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal Kepercayaan Diri Anak Rendah Tinggi Jumlah f % f % f % 14 39 22 61 36 100 11 79 3 21 14 100 χ2hitung = 6,49; p value = 0,012
Pola asuh orang tua Baik Kurang
Terlihat dari tabel di atas terdapat 36 anak mendapatkan pola asuh yang baik dan ternyata 22 anak di antaranya atau 61% memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan 14 anak atau 39% memiliki kepercayaan diri yang rendah. Terlihat dari tabel di atas, terdapat 14 anak mendapatkan pola asuh kurang dan ternyata 11 anak diantaranya atau 79% memiliki kepercayaan diri yang rendah dan sisanya 3 anak atau 21% memiliki kepercayaan diri tinggi. Berdasarkan hasil korelasi chi square diperoleh χ2 hitung
= 6,349 dengan p value = 0,012 < 0,05, yang berarti hipotesis yang
menyatakan ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan kepercayaan
58
diri anak di TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal.
59
B. Pembahasan 1. Pola Asuh Orang tua Anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal.
Keluarga merupakan tempat untuk pertama kalinya seorang anak memperoleh pendidikan dan mengenal nilai-nilai maupun peraturan-peraturan yang harus diikutinya yang mendasari anak untuk melakukan hubungan sosial dengan lingkungan yang lebih luas. Menurut Cole (1983,h.432) yang dimaksud dengan pola asuh orang tua adalah proses pendidikan yang berlangsung lama dan berkesinambungan sehingga dapat mempengaruhi sikap tingkah laku seseorang yang dilakukan oleh orangtua. Gunarsa (1995 ,h.116) juga mengemukakan bahwa pola asuh orang tua adalah cara mendidik anak sesuai dengan sifat dan titik berat orang tua dalam hubungan antar orang tua dan anak. Hurlock (1999 ,h.82) mendefinisikan bahwa pola asuh orang tua adalah suatu metode disiplin yang diterapkan orang tua terhadap anaknya. Berdasarkan hasil penelitian terlihat bahwa pola asuh orang tua anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal dalam kategori baik. Dari 50 responden yang diteliti terdapat 36 responden atau 72% memiliki pola asuh yang baik. Ini menunjukkan bahwa pola asuh yang dikembangkan kepada anak cenderung pola asuh demokratis. Pola asuh yang satu ini menggunakan pendekatan rasional dan demokratis. Orang tua sangat memperhatikan kebutuhan anak dan
60
mencukupinya dengan pertimbangan faktor kepentingan dan kebutuhan yang realistis. Orang tua melakukan pengawasan, kebebasan dan tanggung jawab kepada anak dalam berakifitas secara wajar dan rasional. Orang tua menghargai minat anak dan mendorong keputusan anak untuk mandiri, tetapi tetap tegas dan konsisten dalam menentukan standar, kalau perlu menggunakan hukuman yang rasional sebagi upaya memperlihatkan kepada anak konsekuensi suatu bentuk pelanggaran. Ciri lainnya orang tua dan anak saling menghargai hak-hak mereka satu sama lain. Orang tua menawarkan berbagai kehangatan dan menerima tingkah laku asertif anak mengenai peraturan , norma dan nilai-nilai. Namun demikian masih ada 28% orang tua yang memiliki pola asuh kurang baik. Hal ini menunjukkan bahwa ada indikasi pola asuh yang digunakan cenderung otoriter atau pola asuh yang satunya yaitu permisif. Pola asuh otoriter lebih mengunakan pendekatan yang memaksakan kehendak, suatu peraturan yang dicanangkan orang tua dan harus dituruti oleh anak. Pendekatan semacam ini biasanya kurng responsive pada hak dan keinginan anak. Komunikasi yang dilakukan lebih bersifat satu arah dan lebih sering berupa perintah, sehingga anak sebagi objek kurang didengar dan biasanya cenderung diam serta menutup diri, sebaliknya pada pola asuh permisif lebih menggunakan pendekatan yang sangat responsif (bersedia mendengarkan) tetapi cenderung terlalu longgar. Orang tua memiliki sikap yang relatif hangat
61
dan menerima sang anak apa adanya, kadang cenderung pada memanjakan. Anak terlalu dijaga, dituruti keinginannya dan diberi kebebasan untuk melakukan apa saja yang dia inginkan. Tetapi tidak diikuti dengan tindakan mengontrol atau menuntut anak untuk menampilkan prilaku tertentu, sehingga kadang-kadang anak merasa cemas mereka melakukan sesuatu yang salah atau benar. Berdasarkan data yang diperoleh ternyata ibu yang bekerja dan tidak bekerja memiliki pola asuh yang relatif sama yaitu cenderung baik , dan hanya sebagian yang kurang baik.
2. Kepercayaan Diri Anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal.
Kepercayaan diri menurut Angelis (2003,h.10) merupakan keyakinan dalam hati bahwa segala tantangan hidup apapun harus dihadapi dengan berbuat
sesuatu.
Kepercayaan
diri
menurut
Branden
(dikutip
walgito,1993,h.7) adalah kepercayaan seseorang pada kemampuan yang ada dalam dirinya. Hambly (1989,h.3) menambahkan bahwa kepercayaan diri adalah keyakinan diri yang dimiliki individu dalam menanggani segala situasi. Hakim (2002,h.6) menambahkan bahwa kepercayaan diri adalah suatu keyakinan seseorang terhadap segala aspek, kelebihan yang dimilikinya dan keyakinan mampu mencapai berbagai tujuan didalam hidupnya. Berdasarkan
62
data yang diperoleh ternyata seanyak 50% anak memiliki kepercayaan diri tinggi dan 50% anak memiliki kepercayaan diri kurang.
Dari data ini
menunjukkan bahwa sebagian siswa memiliki kepercayaan diri tinggi dalam arti mampu bertanggung jawab, merasa aman, memiliki harga diri, mandiri, optimis dan tidak mudah putus asa. Menurut Antony yang dikutip oleh Irawati, 2002, h. 10-11) menyatakan ciri-ciri orang yang memiliki kepercayaan diri yaitu mau menerima resiko dari perbuatannya, tidak merasa takut dan cemas, mampu menyadari kekurangan dan kelebihannya, tidak mudah bergantung pada orang lain, merasa optimis yaitu menyadari kemampuan yang dimiliki dan berusaha memperoleh yang terbaik dan tidak mudah putus asa. Namun demikian masih ada 50% lagi anak yang memiliki kepercayaan diri rendah. Hal ini menunjukkan bahwa anak tersebut belum menunjukkan
secara
optimal
ciri-ciri
kepercayaan
diri
yang
telah
dikemukakan tersebut. Kepercayaan diri anak dapat dilihat dari tiga indikator yakni interaksi sosial, kemandirian dan toleransi terhadap orang lain. Terkait dengan ketiga indikator tersebut, ternyata 64% anak masih memiliki interaksi sosial yang rendah, sebanyak 44% memiliki kemandirian yang rendah dan 44% siswa memiliki toleransi kepada ornag lain yang rendah. Dari data tersebut menunjukkan bahwa masih banyak anak yang kurang mampi berinteraksi sosial karema kurang memiliki kepercayaan diri, masih banyak anak yang
63
memiliki kemandirian yang rendah, masih banyak anak yang memiliki ketergantuan yang tinggi pada orang lain. Rasa toleransi dari siswa masih rendah, hal ini dimungkinkan karena kurangnya kepercayaan pada diri sendiri.
3. Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kepercayaan Diri Anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal.
Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dimana anak dapat berinteraksi. Pengaruh keluarga dalam pembentukan dan perkembangan kepribadian sangatlah besar artinya. Banyak faktor dalam keluarga yang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan anak. Salah satu faktor dalam keluarga yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian adalah praktik pengasuhan anak. Seperti diungkapkan oleh Brown dalam Tarsis Tarmudji yang menyatakan bahwa keluarga adalah lingkungan yang pertama kau menerima kehadiran anak. Dalam mengasuh anaknya orang tua dipengaruhi budaya yang ada di lingkungannya. Sebagai pengasuh dan pembimbing dalam keluarga, orang tua sangat berperan dalam meletakkan dasar perilaku bagi anak-anaknya. Sikap, perilaku dan kebiasaan orang tua selalu dilihat, dinilai, ditiru oleh anaknya kemudian semua itu secara sadar atau tidak sadar diresapinya kemudian menjadi kebiasaan bagi anak-anaknya. Hal demikian disebabkan karena anak mengidentifikasikan diri pada orang tuanya sebelum identifikasi dengan orang lain (Bonner dalam Tarsis Tamudji).
64
Pola asuh yang orang tua berhubungan erat dengan kepercayaan diri anak. Ada kecenderungan bahwa dari anak yang mendapatkan pola asuh baik (demokratis) memiliki kepercayaan diri yang tinggi. Dari data sebanyak 36 anak yang memperoleh pola asuh baik, 22 di antaranya memiliki kepercayaan diri tinggi, sebaliknya dari 14 responden yang memperoleh pola asuh kurang (bukan demokratis), ternyata 11 di antaranya memiliki kepercayaan diri rendah. Hasil uji chi square diperoleh p value = 0,012 < 0,05, yang berarti ada hubungan yang signifikan antara pola asuh dengan kepercayaan diri. Hasil penelitian ini mendukung pendapat Baumrind (1984) yang mengatakan bahwa hubungan antara pola asuh dan karakteristik anak pada sampel prasekolah tetap kuat ketika dites kembali pada pertengahan masa prasekolah. Kepercayaan diri anak salah satunya kemandirian terbentuk karena adanya pola asuh yang baik. Hal ini terbukti dari hasil uji chi square hubungan pola asuh dengan kemandirian diperoleh p value = 0,015 (lampiran). Ini membuktikan bahwa kemandirian anak yang cenderung tinggi berasal dari anak yang mendapatkan pola asuh baik (demokratis), sebaliknya anak yang memiliki kemandirian anak yang kurang berasal dari anak yang mendapatkan pola asuh oorites dan permisif. Anak dengan orang tua yang demokratis cenderung mempunyai skor yang lebih tinggi dalam pengukuran kepercayaan diri (self-confidence). Pola asuh demokratis berhubungan dengan penyesuaian diri yang lebih positif terhadap trauma keluarga, seperti perceraian atau perkawinan kembali. Dalam
65
penelitian lebih lanjut anak-anak ini ditemukan lebih kompeten berdasarkan penilian teman sebaya, beberapa anak remaja serta pengamat dalam penelitian. Anak dengan pola asuh otoriter cenderung mempunyai skor yang lebih rendah pada pengukuran kepercayaan diri. Didapatkan skor rendah pada pengukuran hubungan sosial dengan teman sebaya dan dalam beberapa kondisi ditemukan tingkat yang tinggi dari agresi interpersonal. Anak dengan orang tua permisif lebih sering menunjukkan kesulitan dalam penyesuaian di sekolah, cenderung memiliki skor yang lebih tinggi pada rata-rata pengukuran agrivitas, pada remaja lebih cenderung terlibat dalam prilaku menyimpang serta prilaku bermasalah lainnya. Tipe pola asuh demokratis umumnya menghasilkan anak yang lebih bertanggung jawab dan mengandalkan diri sendiri. Anak berkembang menjadi tidak bergantung ,agresif, bersahabat, dan kooperatif. Dua tipe lainnya, otoriter dan permisif menghasilkan ketergantungan pada anak. kedua tipe ini disimpulkan memiliki ide-ide yang realistik tentang anak-anak. keduanya melihat bahwa anak dikendalikan oleh dorongan (impuls) yang primitive dan egois. Pola asuh otoriter menghasilkan anak yang patuh dirumah dan sering tergantung serta pasif dalam situasi otoritas lainnya. Anak sering menampilkan prilaku menarik diri. bersifat curiga, dan cenderung tidak puas. Di lain pihak, anak dengan pola asuh permisif sering kekurangan control diri dan kepercayaan diri. Anak dibesarkan dibawah pengaruh yang cenderung menimbulkan rasa takut akan pengalaman baru. Mungkin karena kebebasan
66
tidak terbatas yang diterima membuat anak tidak yakin prilaku bagaimana yang dapat diterima dalam iklim yang demokratis. 4. Keterbatasan Penelitian
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan kepercayaan diri anak sangatlah kompleks. Adapun keterbatasan penelitian ini adalah: a. Waktu penelitian sangat singkat, yang dilakukan dalam satu hari, sehingga kuesioner tidak semua terisi oleh ibu-ibu di TK Tarbiyatul Athfal Penanggulan Pegandon Kendal b. Penelitian ini dilakukan secara cross-sectional yang berarti melihat pola asuh orang tua terhadap kepercayaan didik anak pada suatu saat saja, padahal perkembangan diri anak merupakan proses yang berjalan dan tidak dapat diobervasi secara sesaat.
67
BAB V PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil beberapa simpulan antara lain: 1. Pola asuh orang tua anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal tergolong baik (demokratis) yaitu sebesar 72%. 2. Kepercayaan diri anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal sebagaian dalam kategori tinggi (50%) dan sebagian lainnya tergolong rendah (50%) 3. Ada hubungan positif yang signifikan pola asuh orang tua dengan kepercayaan diri anak TK Tarbiyatul Atfal Penanggulan Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal (p value = 0.012). B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masih banyak anak yang memiliki kepercayaan diri rendah, oleh karena itu disarankan: 1. Kepada orang tua anak lebih memberikan pola asuh yang lebih demokratis dengan terus menerus untuk membangun kepercayaan diri anak. 2. Orang tua anak hendaknya lebih banyak mengurangi pola asuh yang bersifat otoriter yang dapat menghambat kepercayaan diri anak.
68
3. Perawat anak hendaknya ikut berperan aktif memberikan pola asuh yang lebih demokratis sehingga akan terbentuk kepercayaan diri anak yang lebih mantap. 4. Bagi peneliti lain hendaknya lebih meneliti dengan sampel yang lebih luas dan menambah variabel lain seperti pola didik dari guru, sebab guru juga memberikan kontribusi pula terhadap kepercayaan diri anak.
69