BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Anak adalah investasi dan harapan masa depan bangsa serta sebagai penerus
generasi di masa mendatang. Dalam siklus kehidupan, masa anak-anak merupakan fase dimana anak mengalami tumbuh kembang yang menentukan masa depannya. Perlu adanya optimalisasi perkembangan anak, karena selain krusial juga pada masa itu anak membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari orang tua atau keluarga sehingga secara mendasar hak dan kebutuhan anak dapat terpenuhi secara baik. Anak seharusnya dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang sehat jasmani dan rohani, cerdas, bahagia, bermoral tinggi dan terpuji, karena di masa depan mereka merupakan aset yang akan menentukan kualitas peradaban bangsa. Fenomena yang perlu mendapat perhatian saat ini adalah maraknya anak-anak terlantar. Meningkatnya angka penduduk miskin telah mendorong meningkatnya angka anak putus sekolah dan meningkatnya anak-anak terlantar. Pada umumnya anak-anak terlantar mengalami masalah ganda seperti kesulitan ekonomi, menderita gizi buruk, kurang perhatian dan kasih sayang orang tua, tidak bisa mendapat layanan pendidikan secara maksimal, dan lain sebagainya. Masalah yang dialami oleh anak di usia dini menyebabkan mereka terpaksa untuk bekerja menghidupi dirinya atau
1
keluarganya. Keadaan ini memicu anak untuk mencari uang dengan mudah tanpa modal pendidikan yang memadai yakni bekerja di sektor non-formal seperti memintaminta, mengamen, menjual koran dan lain sebagainya. Muncullah kemudian fenomena anak jalanan yang kini menjadi masalah serius yang harus cepat di selesaikan oleh pemerintah. Melihat kondisi perekonomian masyarakat di Indonesia, tidak heran mengapa masih ada saja komunitas anak jalanan. Kemiskinan merupakan akar keberadaan anak jalanan. Meskipun munculnya anak jalanan tidak melulu karena masalah ekonomi. Namun sebagian besar khususnya untuk anak jalanan di Indonesia, masalah ekonomi adalah alasan pertama mengapa para anak di bawah umur harus menghabiskan waktu masa mudanya di jalanan yang rawan kecelakaan dan tindakan kriminal. Istilah anak jalanan dikenal secara meluas semenjak Brazilia mempopulerkan kata tersebut, secara umum pengertian anak jalanan bisa beragam tergantung pemahaman masing-masing, namun secara garis besarnya anak jalanan adalah komunitas dimana keseluruhan anggota berusia di bawah umur, tidak terikat dengan keluarga tertentu dan hidup, tumbuh serta berkembang di jalanan Berbagai definisi muncul untuk mendeskripsikan anak jalanan diantaranya menurut William (1996) : “a street child ... Is any girl or boy who has not reached adulthood for whom the street (in the widest sense of the word, including unoccupied dwellings, wasteland, etc) has become her or his habitual abode and or
2
source of livinghood and who is inadequately protected, supervised or directed by responsible adults” Dapat dikatakan bahwa anak jalanan merupakan laki-laki atau perempuan yang belum dewasa dan tidak berada dibawah perlindungan orang dewasa yang bertanggung jawab atas dirinya dan tinggal di jalan sudah menjadi identitas dirinya. Drake (1989) juga memberikan definisi untuk anak jalanan yaitu anak muda yang tidak memiliki tempat tinggal yang menetap dan tidur di jalanan atau tempat terbuka saat malam hari. Di tempat lain UNICEF mendefinisikan anak jalanan sebagai anak pergi meninggalkan rumah, sekolah dan keluarga terdekat sebelum mereka berumur 16 (enam belas) tahun dan hidup secara nomaden di jalanan (UNICEF, 1997). Dalam penelitian ini anak jalanan didefinisikan sebagai anak yang berumur di bawah 18 tahun, ditinggalkan oleh orang tua atau orang dewasa yang terdekat, dan sebagian besar hidupnya di jalanan. Publik cenderung memiliki stigma negatif terhadap anak jalanan. Secara umum anak jalanan dianggap tidak beradab (uncivilized), sering melakukan tindakan merusak, dan meresahkan masyarakat. Anak jalanan hidup dibawah ancaman kekerasan, banyak anggota masyarakat percaya bahwa dengan melakukan kekerasan pada anak jalanan maka mereka akan pergi ( Roux and Smith, 1998). Banyak anak jalanan hidup di luar norma-norma hukum dan peraturan yang ada dan seringkali anak jalanan
dikriminalisasi meskipun mereka tidak melakukan tindak pidana apa
pun. Anggapan “ilegalitas” anak jalanan menjadi penyebab terjadinya pelecehan
3
dan
terancam penggusuran. Diskriminasi menciptakan masalah dan berdampak
terhadap
anak jalanan untuk mengakses layanan publik. Hal lain berasal dari
persepsi masyarakat yang mengkriminalisasikan anak sehingga anak jalanan semakin terkucilkan (Anna Lena Schmidt, 2003) Masyarakat menganggap anak jalanan merupakan pengganggu yang harus dihindari. Dengan perilaku yang dianggap menyimpang (pergi dari rumah, tinggal di jalanan, hidup bebas tanpa aturan), oleh masyarakat anak jalanan cenderung di marginalkan. Kondisi di jalanan seperti ketiadaan pengawasan dari orangtua, ketiadaan tempat untuk berlindung, kehidupan yang bebas, dan lain-lain membuat anak jalanan semakin rentan dengan kasus pelecehan seksual (Kristiyadi & Rianto, 2006). Studi yang dilakukan oleh Soedijar (1990) menunjukkan bahwa anak jalanan adalah anak yang berusia antara 7-15 tahun yang bekerja di jalanan dan dapat mengganggu ketentraman dan keselamatan orang lain serta membahayakan dirinya sendiri. Dalam studi tersebut persepsi masyarakat terhadap anak jalanan dianggap membahayakan orang lain dan dirinya sendiri, namun hal ini bukan menjadi alasan bahwa anak jalanan harus dihindari dan dimarginalkan. Permasalahan yang dihadapi anak jalanan merupakan permasalahan pelanggaran hak-hak anak karena Negara gagal memberikan perlindungan secara khusus kepada mereka. Instrumen Hukum HAM Internasional memandatkan Negara untuk memberikan perlindungan hukum secara khusus bagi kelompok yang terabaikan dalam masyarakat. Kewajiban Negara
4
mencakup kewajiban untuk melakukan intervensi dengan cara memfasilitasi kelompok anak yang dirampas hak-haknya, menghindari perampasan hak anak, dan melindungi anak jalanan dari perampasan hak. Dari perspektif HAM, gejala anak jalanan merupakan gambaran pelanggaran terhadap berbagai HAM, khususnya hak untuk hidup, kelangsungan hidup, tumbuh kembang, hak untuk dirawat oleh orang tua, hak atas perlindungan dari semua bentuk kekerasan fisik atau mental, cedera atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan lalai, penganiayaan atau eksploitasi , hak atas standar hidup yang memadai untuk fisik, mental, spiritual, moral dan sosial termasuk hak atas pangan, sandang, perawatan medis dan layanan sosial. Beberapa pasal KHA memiliki keterkaitan yang melindungi anak-anak jalanan. Pasal-pasal yang paling penting adalah Pasal 19, Pasal 20, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 39. Pasal 19 KHA menyatakan bahwa Negara harus mengambil semua langkah legislatif, administratif, sosial dan pendidikan yang tepat untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik atau mental, cedera atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan lalai, penganiayaan atau eksploitasi. Pasal 20 KHA membebankan Negara berkewajiban untuk menyediakan perlindungan khusus bagi anak yang kehilangan lingkungan keluarga dan menjamin pengasuhan alternative. Selanjutnya Pasal 26 KHA menandaskan bahwa Negara berkewajiban untuk memberikan perhatian kepada anak-anak dalam kondisi yang sangat sulit
mengupayakan pengembangan program-program sosial
untuk mendukung dinikmatinya hak-hak anak.
Sementara, Pasal 27 KHA
5
menekankan Negara mengakui hak setiap anak atas standar kehidupan yang memadai bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial anak. Pasal ini juga mengatur kewajiban Negara untuk
memberi bantuan material dan mendukung
program, terutama mengenai gizi, pakaian, dan perumahan. Kewajiban Negara yang lain dapat ditemukan pada Pasal 39 KHA yang menyebutkan kewajiban Negara mengambil langkah untuk meningkatkan penyembuhan fisik dan psikologis serta integrasi sosial seorang anak yang menjadi korban bentuk penelantaran apapun, eskploitasi atau penyalahgunaan Fenomena anak jalanan biasanya banyak terjadi di kota-kota besar namun tidak terlepas juga pada kota-kota kecil. Tidak terkecuali Kota Yogyakarta, Hampir di setiap sudut kota Yogyakarta dapat ditemui anak-anak jalanan yang sedang mencari nafkah baik itu mengamen, mengemis, atau menjual koran dll. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bevaola Kusumasari dkk (2014) menunjukkan bahwa anak-anak jalanan yang hidup dan mencari nafkah di setiap sudut kota mulai dari perempatan traffic light, pasar, tempat wisata seperti Malioboro, stasiun, dan terminal. Sebagian besar bukan
merupakan penduduk asli Yogyakarta. Mereka rata-rata
berasal dari kota-kota sekitar daerah DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) seperti misalnya Klaten, Purworejo, Banyumas, Semarang bahkan ada juga yang berasal dari luar Jawa. Mereka bekerja mulai dari pengamen, tukang parkir, tukang semir sepatu, pemulung, pedangan asongan dan lain sebagainya. Komposisi umur di tunjukkan beragam mulai dari kanak-kanak sampai remaja usia akhir.
6
Perlakuan terhadap anak jalanan di Yogyakarta dinilai masih sangat memprihatinkan. Banyaknya larangan dari Peraturan Daerah (Perda) bagi anak jalanan tidak diimbangi dengan solusi pemberdayaannya. Menurut Hamzal Wahyudin Salah satu Staff Sipil Politik lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta dalam konferensi pers yang dikutip dari situ berita National Geographic Indonesia “larangan mengamen, larangan berjualan di lampu merah, dan berbagai larangan dikeluarkan untuk anak jalanan. Namun pemerintah sendiri belum secara maksimal mengeluarkan
solusi
yang
baik
untuk
memberdayakan
mereka”
(http://nationalgeographic.co.id/, diunduh 19 Juni 2014). Kebijakan terkini yang dikeluarkan pemerintah dalam menangani permasalahan anak jalanan adalah Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA). Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) adalah program dukungan sosial khusus yang diselenggarakan Kementrian Sosial untuk menyelamatkan anak-anak yang rentan mengalami atau telah berada dalam situasi krisis perlindungan anak yang membahayakan keselamatan, kesejahteraan, dan kelangsungan tumbuh kembangnya di masa depan dalam hal ini termasuk juga anak jalanan. PKSA dikembangkan dan diselenggarakan dengan melibatkan dan bekerja sama dengan Pemerintah Daerah dan organisasi kemasyarakatan. PKSA diharapkan tumbuh menjadi sebuah model penanganan permasalahan sosial yang akan berkontribusi pada terbangunnya sistem layanan di seluruh tingkatan pemerintahan dan masyarakat dalam menjamin pemenuhan hak dasar anak dan terlindunginya anak
7
dari kondisi terlantar, kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah dan diskriminasi sehingga dapat terjaga kelangsungan hidupnya, tumbuh dan berkembang, serta dapat berpartisipasi secara optimal sesuai dengan potensinya. Program PKSA terbagi dalam beberapa klaster yaitu : Klaster 1 Anak Balita terlantar, Klaster 2 Anak terlantar, Klaster 3 Anak Jalanan, Klaster 4 Anak dengan kenakalan atau berhadapan dengan hukum, Klaster 5 Anak dengan kecacatatan, Klaster 6 anak yang membutuhkan perlindungan Khusus. (Pedemoan PKSA 2015). Penelitian ini fokus membahas evaluasi Program Penanggulangan anak Jalanan Berbasis Masyarakat yang dilakukan oleh Dinsosnakertrans bekerjasama dengan FKPSM Kota Yogyakarta dan dilakukan di Kota Yogyakarta. Salah satu peran penting dipegang oleh FK-PSM sebagai lembaga resmi dibawah naungan Dinsosnakertrans yang bertugas dan berintraksi langsung dengan anak jalanan di lapangan. FK-PSM sendiri resmi berdiri dengan adanya surat keputusan Wlikota No. 500 tentang Pembentukan Pengurus Forum Komunikasi Pekerja Sosial Masyarakat (FK-PSM) Kota Yogyakarta. Dalam Kepurusan Walikota No 500 tahun 2001 disebutkan, FK-PSM mempunyai tugas sebagai berikut: -
Melaksanakan kegiatan koordinasi, informasi dan edukasi bagi Pekerja Sosial Masyarakat (PSM)
-
Meningkatkan mutu pelayanan dan peranan Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) dalam menanggulangi masalah-masalah kesejahteraan sosial.
8
-
Mamantapkan dan melembagakan usaha kesejahteraan sosial diwilayahnya, baik oleh Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) maupun melalui kerjasama dengan pilar-pilar partisipan lainnya.
FK-PSM sebagai institusi di garis terdepan dalam menangani masalah anak jalanan, mempunyai beberapa prosedur kerja yang terusdiperbaharui guna menyesuaikan dengan kondisi lapanangan. Seperti yang disebutkan dalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No 1 Tahun 2012, Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) merupakan sebutan untuk mereka yang mempunyai jiwa pengabdian sosial, kemauan, dan kemampuan dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial, serta telah mengikuti bimbingan atau pelatihan dibidang kesejahteraan sosial. Perekrutan keanggotaan PSM juga didasarkan pada kemauan individu dengan hanya berdasarkan kesadaran akan kesejahteraan sosial dan mau berpartisipasi dalam kegiatan FK-PSM dengan tujuan penanganan masalah anak jalanan. keanggotaannya juga tidak dibatasi oleh profesi, usia, jenis kelamin dan faktor pembeda lainnya, melainkan hanya dengan berdasarkan kemauan dan loyalitasterhadap program yang akan dilakukan FK-PSM. Keputusan kepala Dinsosnakertrans Kota Yogyakarta No 253 tahun 2013, maka pada tanggal 1 Juli 2013 telah ditentukan keanggotaan FK-PSM yang kemudian mengalami sedikit perubahan nama menjadi IPSM (Ikatan Pekerja Sosial Masyarakat) sebanyak 80 anggota yang berasal dari instansi Dinsosnakertrans (8 orang), Dinas Ketertiban (1 orang), Polresta Kota Yogyakarta (1 orang) dan IPSM sendiri (70 orang).
9
Beberapa upaya yang telah dilakukan FK-PSM sebagai Institusi yang berhubungan langsung dengan anak jalanan adalah melakukan pendekatan dengan pola penanganan yang megedepankan fungsi masyarakat, dengan kata lain pola pendekatan yang dilakukan lebih humanis dengan beberapa cara teknis yang telah disusun oleh IPSM. Jika pada tahun-tahun sebelumnya Dinsosnakertras telah berhasil menjangkau
beberapa
anak
jalanan
dan
kemudian
memberikan
kegiatan
pendampingan serta pembinaan, maka pada tahun 2011 Dinsosnakertrans melaksanakan program penanganan anak jalanan berbasis masyarakat dengan konsep yang lebih humanis dan sebagai tindak lanjut terhadap pola penanganan pada tahun tahun sebelumnya. Masih terdapatnya aktivitas anak jalanan dibeberapa titik persimpangan jalan, menjadi salah satu asumsi dasar Dinsosnakertrans melalui FK-PSM untuk tetap melakukan kegiatan penjangkauan terhadap anak jalanan. Penanganan berbasis masyarakat menekankan kepada pola yang lebih humanis dengan para pekerja sosial masyarakat yang ditugaskan langsung berinteraksi dengan anak jalanan. para pekerja sosial masyarakat ini dibagi menjadi beberapa struktur tim dalam petunjuk makro Pelaksanaan Penanganan Anak Jalanan Berbasis Masyarakat Kota Yogyakarta tahu 2011, terdapat tiga struktur tim yaitu kelompok tim sapaan dan penjangkauan, kelompok tim pembinaan, dan kelompok tim pendampingan. Program penanganan anak jalanan berbasis masyarakat terbukti dapat mengurangi jumlah anak jalanan
10
secara signifikan. Sejak tahun 2009-2013 jumlah anak jalanan yang semula berjumlah 142 orang, berkurang menjadi 57 orang ( BPS, Kota Yogyakarta Dalam Angka 2014). Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, perlu dilihat bagaimana evaluasi Program Penanganan Anak jalanan Berbasis Masyarakat yang dilakukan oleh Dinsosnakertrans melalui IPSM di Kota Yogyakarta untuk menilai apakah penurunan jumlah anak jalanan di Kota Yogyakarta benar disebabkan oleh program tersebut. 1.2
Rumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di paparkan sebelumnya
masalah yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah : Bagaimana capaian Program Penanganan Anak Jalanan Berbasis Masyarakat di Kota Yogyakarta Oleh Disnsosnakertran melalui Ikatan Pekerja Sosial Masyarakat Kota Yogyakarta? 1.3
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui capaian Program Penanganan Anak
Jalanan Berbasis Masyarakat di Kota Yogyakarta oleh Disnsosnakertrans melalui Ikatan Pekerja Sosial Masyarakat Kota Yogyakarta 1.4
Manfaat Penelitian 1. Hasil Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran terhadap pemerintah maupun akademisi terkait dengan permasalahan anak jalanan di Kota Yogyakarta 11
2. Dapat memberikan tambahan bukti empiris terkait dengan problematika anak jalanan yang ada di Kota Yogyakarta.
12