BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Kondisi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika (narkotika, prekursor
narkotika dan psikotropika-red) saat ini telah mengalami perkembangan yang cukup memprihatinkan baik dari segi modus maupun karakteristik pelaku yang berasal dari kalangan yang berpendidikan (white collar crime) 1dan menggunakan teknologi canggih serta didukung jaringan organisasi yang luas (transnational crime). Oleh karena itu pengembangan kerjasama (networking and partnership) sebagai kebijakan kriminal (criminal policy) dalam memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sangat diperlukan karena kejahatan narkotika pada umumnya tidak dilakukan oleh orang perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisir (organized crime syndivate) antar negara secara rapi dan sangat rahasia dengan tujuan kejahatan yang dilakukan
dapat
terus
berkembang.
Selanjutnya
bahwa
kejahatan
narkotikayangbersifat transnasional (tidak mengenal batas-batas negara)sehingga
1
Sutherland dalam Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering Untuk Memberantas Kejahatan Di Bidang Kehutanan, Disampaikan Pada Seminar, Pemberantasan Kejahatan Hutan Melalui Penerapan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang diselenggarakan atas kerjasama Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan Pusat Pelapor dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Medan, tanggal 6 Mei 2004), bahwa konsep white collar crime adalah suatu “crime committed by a person respectability and high school status in the course of his occupation”. Kejahatan kerah putih ini sudah pada taraf transnasional, tidak lagi mengenal batas-batas wilayah negara sehingga mengharuskan bagi negara berkembang untuk menggunakan perangkat hukum yang tersedia untuk memberantas pelaku kejahatan.
1 Universitas Sumatera Utara
2
perlu
dilakukanpengembangan
kerjasama
internasional
dalam
penanggulangannya, baik secara regional maupun internasional. 2 Kondisi faktual kerjasama internasional yang dilakukan oleh Polri dalam penanggulangan kejahatan narkotika terorganisir dirasakan belum maksimal sehingga di dalam implementasinya dirasakan masih kurang efektif dengan indikator yakni: 3Pertama, kerjasama yang dilakukan hanya terbatas pada kesepakatan dan bantuan timbal balik tanpa mengintensifkan kerjasama secara operasional misalnya kerjasama antar negara dalam penanganan dan penangkapan terhadap pelaku kejahatan narkotika secara terpadu (integrated). Adapun kerjasama internasional 2
Kejahatan transnasional(Transnational Crime) adalah tindak pidana yang dilakukan oleh seorang warga negara dari suatu negara maupun warga negara asing atau digerakkan oleh warga negara asing atau barang bukti atau hasil kejahatan atau alat yang digunakan di negara lain atau produk illegal di negara lain atau terungkap jaringan organisasi kejahatan dari berbagai negara lain sehingga terpenuhi unsur-unsur tindak pidana transnasional. Upaya memerangi kejahatan Transnasional telah berlangsung lama, secara internasional didukung oleh PBB, antara lain melalui United Nation Convention Against Transnational Organized Crime di Palermo Nopember 2000 (Palermo Convention)menetapkan bahwa kejahatan-kejahatan yang termasuk transnational crime ada 5 (lima) jenis, yaitu : narkotika, pembantaian massal (genocide), uang palsu, kejahatan di laut bebas dan cyber crime. Dari semangat memerangi kejahatan lintas negara tersebut, pada tanggal 20 Desember 1997 negara-negara anggota Asean menyepakati “ASEAN Declaration on Transnational Crimes”. melalui pertemuan para Menlu ASEAN di Manila.Implementasi dari Deklarasi tersebut, adalah terbentuknya forum AMMTC (ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime) yang secara teknis operasional dilaksanakan oleh SOMTC (Senior Officer Meeting on Transnational Crime). Pada pertemuan AMMTC ke-2 tanggal 23 Juni 1999 telah disepakati 6 (enam) isu kejahatan yang termasuk isu kejahatan transnasional yaitu Terrorism, Illicit Drug Trafficking, Trafficking in person, Money Loundering, Arm Smuggling dan Sea Piracy. Kemudian dengan disepakatinya 2 (dua) isu kejahatan lainnya yaitu Cyber Crime dan International Economic Crime menjadi isu kejahatan transnasional pada pertemuan AMMTC ke-3 di Singapura tanggal 11 Oktober 2001, maka kejahatan transnasional menjadi 8 (delapan) isu yaitu : Terrorism, Illicit Drug Trafficking, Trafficking in person, Money Loundering, Arm Smuggling, Sea Piracy, Cyber Crime dan International Economic Crimemeliputi; Illicit drug trafficking (perdagangan gelap narkoba), Money loundering, Terrorism, Arm smuggling (penyelundupan senpi), Trafficking in Persons, Sea piracy (bajak laut), Economics crime & curency counterfeiting / Pemalsuan uang dan Cyber crime.Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Reserse Kriminal, Perkembangan Dan Penanggulangan Kejahatan Terhadap Kekayaan Negara Dan Kejahatan Transnasiona, Bahan Pembekalan Pasis Sespim Polri Dikreg ke-47 TP. 2008, hal. 2 3
Laporan Direktorat IV Bareskrim Mabes Polri, Pengembangan Kerjasama Internasional dalam Penanggulangan Kejahatan Narkotika Terorganisir, 2012
Universitas Sumatera Utara
3
dimaksud adalah masih terpaku pada kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tertentu dalam bingkai perjanjian ekstradisi, pertemuan-pertemuan rutin tahunan negara-negara regional Asia terkait kejahatan transnasional (SOMTC) ataupun kerjasama lembaga-lembaga kepolisian baik pada tingkat bilateral, regional maupun internasional (ASEANAPOL, INTERPOL) dengan sasaran kerjasama pada tugas-tugas pemberantasan kejahatan transnasional secara umum, belum secara khusus atau spesifik membahas tentang issu-issu kejahatan narkotika internasional dan sindikat pelakunya serta teknis kerjasama dalam penanggulangannya. Polri sendiri dalam kerangka pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika,disamping mengacu pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, juga mengacu pada Undang-Undang Narkotika yang merumuskan suatu perbuatan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sebagai tindak pidana. Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, landasan hukum dalam pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang
Narkotika
dan
Undang-Undang
Nomor
5
Tahun
1997
tentang
Psikotropika. 4Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ini secara
4
Lihat Pertimbangan huruf e Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs And Psychotropic Substance, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika,1988), bahwa Pemerintah Republik Indonesia memandang perlu untuk bersama-sama dengan anggota masyarakat dunia lainnya aktif mengambil bagian dalam upaya memberantas peredaran gelap narkotika dan psikotropika, oleh karena itu telah menandatangani United Nations Convention Againts Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988) di Wina, Australia pada tanggal 17 Maret 1989 dan telah pula
Universitas Sumatera Utara
4
tegas menguraikan beberapa perbuatan mulai dari mengimpor, mengekspor, memproduksi,
menanam,
menyimpan,
mengedarkan,
dan/atau
menggunakan
narkotika, yang jika dilakukan tanpa pengendalian dan pengawasan dari pihak yang berwenang, dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. 5 Ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merupakan ketentuan hukum tentang perbuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi pidana bagi yang melanggar ketentuan tersebut. 6 Pelanggaran atas ketentuan hukum pidanadisebut sebagai tindak pidana, perbuatan pidana, delik,
meratifikasi Konvensi Tunggal Narkotika 1961 dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1976 dan Konvensi Psikotropika 1971, dengan undang-undang Nomor 8 Tahun 1996, serta membentuk UndangUndang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. 5
Perbedaan mendasar UU No. 22 tahun 1997 dengan UU No. 35 tahun 2009 yakni: Pertama, undang-undang baru tersebut lebih tegas dan jerat hukumnya pun lebih berat. Kedua, dibandingkan undang-undang lama, seperti seseorang mengetahui keluarganya ada yang memakai Narkoba, namun tidak dilaporkan, maka yang bersangkutan akan dikenai hukuman 6 bulan penjara. Ketiga, memuat ancaman hukuman bagi penyidik dan jaksa yang tidak menjalankan aturan setelah menyita barang bukti narkotika. Keempat, hakim berwenang meminta terdakwa kasus narkotika membuktikan seluruh harta kekayaan dan harta benda istri/suami, anak, dan setiap orang atau korporasi bukan dari kejahatan Narkoba yang dilakukannya. Jika tidak dapat membuktikan, hakim akan memutuskan harta tersebut sebagai milik Negara. Kelima, para pengguna Narkoba yang dihukum penjara dan terbukti menjadi korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial. Tempat ia menjalani rehabilitasi ditunjuk oleh pemerintah dan masa rehabilitasi dihitung sebagai masa hukuman. Keenam, Narkoba jenis psikotropika yang selama ini masuk dalam golongan 1 dan 2 seperti shabu-shabu dan ekstasi, dijadikan narkotika golongan 1. 6
Sudarto, Hukum Pidana I, cetakan ke II, (Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Undip, 1990), hal. 12, bahwa fungsi khusus bagi hukum pidana ialah melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya (rechtsgiiterschutz) dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan sanksi yang terdapat pada cabang hukum lainnya. Kepentingan-kepentingan hukum (benda-benda hukum) ini boleh dari orang seorang dari badan atau dari kolektivitasnya. Sanksi yang tajam itu dapat mengenai harta benda, kehormatan, badan dan kadang-kadang nyawa seseorang yang memperkosa benda-benda hukum itu. Dapat dikatakan bahwa hukum pidana itu memberi aturan-aturan untuk menanggulangi perbuatan jahat.
Universitas Sumatera Utara
5
peristiwa pidana dan banyak istilah lainnya. 7Pelakunya dapat diancam sanksi sebagaimana diatur dalam undang-undang ini. 8 Pelaksanaan tugas pokok Polri, khususnya dalam penegakan hukum untuk menanggulangi kejahatan narkotika yang terorganisir dengan jaringan yang luas, maka Polri diberikan kewenangan untukmelakukan kerjasama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional sekaligus mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional. 9 Pada prakteknya, kerjasama internasional yang dilakukan oleh Polri dalam penanggulangan peredaran gelap narkotikaberskala internasional, terutama untuk melakukan tindakan pemberantasan (represif) mengalami beberapa kendala, antara lain 10: 1.
Keterbatasan kewenangan sesuai batas negara dan yurisdiksi. Kewenangan penegakan hukum dibatasi oleh suatu wilayah negara yang berdaulat penuh sebagai batas dari yurisdiksi hukum yang dimilikinya. Sedangkan di sisi lain para pelaku kejahatan dapat bergerak dengan lebih bebas melewati batas negara sepanjang didukung dengan dokumen keimigrasian yang memadai. Memang telah ada upaya dan kesepakatan kerjasama untuk menangani kejahatan, namun dalam pelaksanaannya harus melalui proses birokrasi yang cukup rumit, sehingga tidak mudah bagi suatu negara dalam mengungkap suatu kasus yang bersifat transnasional tanpa kerja sama antar negara yang benar-benar diatur secara jelas sehingga
7
Munculnya istilah-istilah ini merupakan terjemahan dari kata “Strafbaarfeit”, terjemahan dilakukan berdasarkan kemampuan para ahli hukum sehingga tidak ada terjemahan baku. 8
Pasal 10 KUH Pidana menyebutkan: Pidana terdiri dari: a. pidana pokok yang meliputi pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda, b. Pidana tambahan yang terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim. 9
Pasal 15 ayat (2) huruf h dan j UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
10
Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Reserse Kriminal,Ibid, hal. 3
Universitas Sumatera Utara
6
2.
3.
memudahkan institusi penegak hukum terkait dalam mengungkap dan menangani kasusnya. Perbedaan sistem hukum. Terdapat kendala yuridis antara lain disebabkan adanya perbedaan sistem hukum pidana masing-masing negara, misalnya dalam kerangka pertanggungjawaban pidana yang berlaku di Indonesia berdasarkan sistem hukum yang dianut. 11 Ada negara yang menganut sistim continental dan ada pula yang menganut sistim anglo saxon. Perbedaan besar terutama terdapat dalam sistem peradilan pidana yaitu ada yang menganut Due Process Model/DPM (lebih menitikberatkan pada perlindungan HAM bagi tersangka, sehingga menimbulkan birokrasi yang cukup panjang dalam peradilan pidana) dan ada yang memilih Crime Control Model/CCM (menekankan efisiensi dan efektivitas peradilan pidana dengan berlandaskan asas praduga tak bersalah) dengan menitikberatkan pada proses yang lebih praktis. Ekstradisi, sesuai dengan Pacta Sunservanda, yaitu prinsip hukum internasional yang artinya bahwa setiap negara harus mentaati dan melaksanakan perjanjian yang telah ditandatangani atau disepakatinya. Perjanjian ekstradisi antara dua negara yang berkepentingan (bilateral) merupakan landasan kepastian hukum untuk memburu para pelanggar hukum dan dapat ditindaklanjuti dengan proses hukum selanjutnya, seperti pengembalian aset-aset hasil kejahatannya yang diduga merupakan hasil kejahatan narkotika yang telah dicuci oleh pelaku dengan melakukan money laundering model. 12 Payung hukum
11
Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal. 67. bahwa prinsip pertanggungjawaban pidana di dalam KUH Pidana pada dasarnya dapat diminta pertanggungjawabkan kepada diri seseorang pelaku tindak pidana harus memenuhi 4 (empat) persyaratan sebagai berikut: Pertama, ada suatu tindakan (commission atau ommission) oleh si pelaku. Kedua, yang memenuhi rumusan-rumusan delik dalam undang-undang. Ketiga, tindakan itu bersifat “melawan hukum” atau unlawful serta pelakunya harus dapat dipertanggungjawabkan. 12
Sunu W. Purwoko, Money Laundering,Praktek Dan Pemberantasannya, Karyawan PT Bank Ekspor Indonesia (Persero), BEI NEWS Edisi 7 Tahun II, Oktober-Desember 2001, bahwa Modus kejahatan pencucian uang dari waktu ke waktu semakin kompleks dengan menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup complicated. Secara sederhana, kegiatan ini pada dasarnya dapat dikelompokkan pada tiga pola kegiatan, yakni: placement, layering dan integration. Placement, merupakan upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktifitas kejahatan penyalahgunaan Narkoba ke dalam system keuangan. Dalam hal ini terdapat pergerakan fisik uang tunai hasil kejahatan, baik melalui penyeludupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang berasal dari kejahatan penyalahgunaan Narkoba dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah, ataupun dengan memecah uang tunai dalam jumlah besar menjadi jumlah kecil ataupun didepositokan di bank atau dibelikan surat berharga seperti misalnya saham-saham atau juga mengkonversikan kedalam mata uang lainnya atau transfer uang kedalam valuta asing. Layering, diartikan sebagai memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya yaitu aktifitas kejahatan yang terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan. Dalam hal ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ketempat lainnya
Universitas Sumatera Utara
7
4.
ekstradisi di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979. Sampai saat ini Indonesia baru memiliki beberapa Perjanjian Ekstradisi dengan 6 (enam) negara yaitu dengan Malaysia (UU 9/1974), Filipina (UU 10/1976), Thailand (UU 2 /1978), Australia (UU 8/1984), Hongkong (UU 1/2001). Sedangkan dengan Singapura, masih dalam bentuk perjanjian / Extradition Treaty, belum dalam bentuk UU. Yang masih dalam perencanaan adalah dengan RRC dan Kanada. Dari fakta tersebut terungkap bahwa mekanisme ekstradisi tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya upaya untuk menanggulangi kejahatan internasonal oleh Polri, karena sekalipun sudah ada perjanjian ekstradisi, dalam prakteknya proses penyerahan seorang pelaku kejahatan dari satu negara ke negara lain, juga harus melalui proses yang tidak sederhana. Perjanjian bantuan timbal balik di bidang proses pidana, bagi negaranegara yang belum memiliki perjanjian ekstradisi, masih terbuka kemungkinan terjadinya penyerahan seorang pelaku kejahatan berikut aset-asetnya dari satu negara ke negara lain. Prinsip ini tercantum dalam United Nation (UN) Model tentang Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (MLA) 1990. Di dalamnya dianut prinsip surrender of property yakni negara yang dimintakan ekstradisi bisa menyerahkan pelaku berikut aset hasil kejahatannya. MLA merupakan upaya memberikan bantuan kerjasama penerapan hukum dalam penanganan kasus kriminal yang biasanya dilakukan dengan azas resiprokal (timbal balik). Indonesia telah menandatangani MLA dengan sejumlah negara ASEAN, termasuk Singapura, pada tahun
melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didesain untuk menyamarkan/mengelabui sumber dana “haram” tersebut. Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin ke rekening-rekening perusahaan-perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank, terutama di negara-negara yang tidak kooperatif dalam upaya memerangi kegiatan pencucian uang. Integration, yaitu upaya untuk menetapkan suatu landasan sebagai suatu ’legitimate explanation’ bagi hasil kejahatan. Disini uang yang di ‘cuci’ melalui placement maupun layering dialihkan kedalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktifitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang di-laundry. Pada tahap ini uang yang telah dicuci dimasukkan kembali kedalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum. Lihat juga, Edi Setiadi, Hukum Pidana Ekonomi, (Bandung: Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, 2004), hal. 71, bahwa instrumen yang paling dominan dalam tindak pidana pencucian uang biasanya menggunakan perbankan, salah satu alasan penggunaan perbankan sebagai instrumen yang dominan digunakan oleh pelaku didasarkan pada penawaran instrumen keuangan yang paling banyak bila dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya. Pemanfaatan bank dalam pencucian uang dapat berupa: Menyimpan uang hasil tindak pidana dengan nama palsu; Menyimpan uang di bank dalam bentuk deposito/tabungan/rekening/giro. Menukar pecahan uang hasil kejahatan dengan pecahan lainnya yang lebih besar atau lebih kecil. Menggunakan fasilitas transfer. Melakukan transaksi eksportimport fiktif dengan menggunakan L/C dengan memalsukan dokumen bekerjasama dengan oknum terkait dan Pendirian/pemanfaatan bank gelap.
Universitas Sumatera Utara
8
2003, namun dalam pelaksanaannya masih mengalami beberapa kendala diantaranya yurisdiksi. 13 Kejahatan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika bukan semata-mata menjadi masalah dalam negeri suatu negara melainkan telah menjadi masalah yang melintasi batas antar negara atau berdimensi internasional dengan jaringan organisasi yang luas. 14 Sehingga dalam upaya penanggulangan terhadap kejahatan peredaran gelap narkotika harus dilakukan secara bersama yang melibatkan kerjasama lintas negara. Instrumen internasional yang memuat kebijakan mengenai narkotika dan psikotropika seperti halnya konvensi-konvensi tentu juga harus diperhatikan. Indonesia telah meratifikasi beberapa kesepakatan internasioal termasuk yang diratifikasi belakangan adalah “The United Nations Convention Againts Illict Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988” dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 dan pengaturan psikotropika berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 yang bertujuan untuk menjamin ketersediaan guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan, mencegah penyalahgunaan psikotropika serta
13
Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia Badan Reserse Kriminal,Op.cit, hal. 4
14
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, ( Semarang: BP. Universitas Diponegoro, 2002), hal, 190-192 bahwa elemen Internasional lainnya terdiri dari atas ancaman baik langsung maupun tidak langsung terhadap kedamaian dunia dan menimbulkan perasaan terguncang terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Merujuk Konvensi PBB tentang kejahatan transnasional yang terorganisir, di Palermo Tahun 2000 telah memberikan karakteristik tentang kejahatan transnasional sebagai berikut: a. Dilakukan lebih dari satu negara. b. Dilakukan di suatu negara tetapi bagian substansi dari persiapan, perencanaan, petunjuk atau pengendaliannya dilakukan di negara lain. c. Dilakukan di sebuah negara tetpai melibatkan organisasi kejahatan yang terikat dalam tindak kejahatan lebih dari satu negara. d. Dilakukan di suatu negara, tetapi menimbulkan efek substansial bagi negara-negara lain.
Universitas Sumatera Utara
9
pemberantasan peradaran gelap psikotropika. Penyelenggaraan konferensi tentang psikotropika pertama kali dilaksanakan oleh The United Nations Conference for the Adoption of Protocol on Pscyhotropic Substances mulai tanggal 11 Januari-21 Februari di Wina, Australia telah menghasilkan Convention Psyhotropic Substances 1971. Materi muatan konvensi tersebut berdasarkan pada resolusi The United Nations Economic and Social Council Nomor 1474 (XLVIII) tanggal 24 Maret 1970 merupakan aturan-aturan untuk disepakati menjadi kebiasaan internasional sehingga harus dipatuhi oleh semua negara. 15 Baik konvensi maupun undang-undang kesemuanya
menekankan
begitu
pentingnya
penanggulangan
terhadap
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika untuk dilakukan secara bersamasama. Berdasarkan
aspek
kebijakan
yang
menyatakan
bahwa
masalah
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotikaadalah masalah internasional, sehingga kerjasama internasional perlu terus dikembangkan, bukan saja mencakup antar negara melainkan kerjasama antara negara-negara dengan organisasi-organisasi internasional yang bergerak menangani masalah ini. 16 Konsekuensi dijadikannya masalah tersebut
15
Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 1. 16
Ibid, hal. 52 bahwa dalam konteks hubungan hukum Internasional secara subtansial telah mengatur beberapa hal, yakni: a. Merupakan perangkat hukum Internasional yang mengatur kerjasama Internasional tentang penggunaan dan peredaran psikotropika. b. Lebih menjamin kemungkinan penyelenggaraan kerja sama dengan negara-negara lain dalam pengawasan peredaran psikotropika dan usaha-usaha penanggulangan atas penyalahgunaan psikotropika.
Universitas Sumatera Utara
10
menjadi masalah internasional sehingga dalam upaya-upaya penanggulangannya, Polri dituntut mampu bekerja sama dengan lembaga-lembaga kepolisian negara lain, 17termasuk memberdayakan hukum pidana internasional.
B.
Rumusan Masalah Identifikasi masalah dalam penelitian ini difokuskan untuk menemukan suatu
pemecahan masalah yang telah diidentifikasi dalam permasalahan. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana
pengaturan
kerjasama
internasional
(instrumen
internasional) dalam penanggulangan kejahatan narkotika yang terorganisir? 2.
Bagaimana peran Polri dalam pengembangan kerjasama internasional guna menanggulangi kejahatannarkotika yang terorganisir?
3.
Apakendala dan upaya dalam pengembangan kerjasama internasional guna penanggulangan kejahatannarkotikayang terorganisir?
c. Dari aspek kepentingan dalam negeri, Indonesia dapat lebih mengonsolidasikan upaya pencegahan dan perlindungan kepentingan masyarakat umum, terutama generasi muda terhadap akibat buruk yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan psikotropika. d. Disamping itu, tindakan tersebut akan memperkuat dasar-dasar tindakan Indonesia dalam melakukan pengaturan yang komprehensif mengenai peredaran psikotropika di dalam negeri. e. Dengan demikian, penegakan hukum terhadap tindak pidana penyalahgunaan psikotropika akan lebih dapat dimantapkan. 17
Dalam penjelasan Pasal 15 ayat (2) huruf j undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian telah menyebutkan bahwa kepolisian negara berwenang untuk mengadakan hubungan kerjasama dengan International Criminal Police Organization (ICPO-Interpol) dan Asianapol, dalam hal ini Polri berfungsi sebagai National Central Bureau ICPO-Interpol Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
11
C.
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah dikemukakan diatas maka
tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah: 1.
Untuk mengetahui ketentuan internasional yang mengatur tentang kerjasama penanggulangankejahatan narkotikayang terorganisir.
2.
Untuk mengetahui peran Polri dalam pengembangan kerjasama internasional
guna
menanggulangi
kejahatan
narkotika
yang
terorganisir. 3.
Untuk mengetahui kendala dan upaya dalam pengembangan kerjasama internasional guna menanggulangikejahatannarkotikayang terorganisir.
D.
Manfaat Penelitian Bertitik tolak dari tujuan penulisan yang didasarkan pada tujuan penelitian
yaitu:“…… to discover answers to questions through the application of scientific procedures. These procedures have been developed in order to increase the likelihood that the information gathered will be relevant to the question asked and will be reliable and unbiased. 18Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau kegunaan baik yang bersifat praktis maupun teoritis. Secara teoritis adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang kerjasama internasional untuk menanggulangi tindak pidana 18
Calire Seltz et.,al: 1977, seperti dikutip oleh Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 1986), hal. 9
Universitas Sumatera Utara
12
narkotika terorganisir. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan pranata peraturan hukum dalam pemberantasan tindak pidana narkotika. Sedangkan secara praktis memberikan masukan kepada aparat penegak hukum dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system) khususnya penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika untuk mengambil beberapa tindakan pemberantasan yang melibatkan antar negara, sehingga dapat mengantisipasi implikasi tindakan yang menghambat pemberantasan narkotika baik secara global, regional maupun nasional, selanjutnya penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak yang terkait dengan pemberantasan tindak pidana narkotika dalam mengambil beberapa rangkaian kebijakan, misalnya Polri maupun BNN.
E.
Keaslian Penelitian Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan
Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa penelitian tentang Peran Polri Dalam Mengembangkan
Kerjasama
Internasional
Guna
Penanggulangan
Kejahatan
Narkotika Yang Terorganisirbelum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama walaupun ada beberapa judul tesis yang membahas tentang tindak pidana narkotika,antara lain: Pertama, Anjan Pramuka Putra, tesis pada tahun 2008 dengan judul Analisis Yuridis Penerapan Sistem Pemidanaan terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba, dengan permasalahan yakni 1)Bagaimanapengaturan sistem pemidanaan terhadap pelaku penyalahgunaan
Universitas Sumatera Utara
13
narkoba di Indonesia?, 2) Bagaimana penerapan sistem pemidanaan oleh aparat penegak hukum khususnya hakim terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkoba? dan 3) Bagaimana hambatan-hambatan di dalam menerapkan sistem pemidanaan terhadap pelaku penyalahgunaan narkoba?Kedua, Agustina Wati Nainggolan, tesis pada tahun 2009, dengan judul Analisis terhadap Putusan Hakim dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkoba (studi terhadap putusan Pengadilan Negeri Medan), dengan permasalahan yakni: 1) Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam membuat putusan tentang tindak pidana penyalahgunaan narkoba di Pengadilan Negeri Medan?, 2) Mengapa putusan hakim tidak membuat efek jera terhadap pelaku tindak pidana narkoba? dan 3) Apakah putusan hakim dalam tindak pidana narkoba telah mencapai tujuan hukum yaitu memberi rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan? Meskipun demikian, permasalahan dan penyajian dari penelitian ini tidaklah samadengan penelitian-penelitian tersebut. Permasalahan dan penyajian dalam penelitian ini merupakan hasil dari pemikiran dan ide penulis sendiri yang didasarkan pada referensi buku-buku dan informasi darimedia cetak serta elektronik. Mengacu kepada alasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah.
Universitas Sumatera Utara
14
F.
Kerangka Teori dan Konsepsional 1.
Kerangka Teori Penanggulangan dan pencegahan kejahatan melalui pendekatan teori
criminal policy dapat dilakukan dengan sarana “Penal“ dan “Non Penal“, keduanya harus berjalan secara seimbang. Criminal policy diartikan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. 19 Defenisi ini diambil dari defenisi Marc Ancel yang merumuskan sebagai “the rational organization of the control of crime by society”. 20 Bertolak dari pengertian yang dikemukakan Marc Ancel ini, G. Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa “Criminal Policy is the rational organization of the social reaction to crime”. 21 Berdasarkan pendekatan teori criminal policy, Polri di dalam menanggulangi kejahatan narkotikasecara terorganisir juga melakukan 2 (dua) pendekatan “Penal” dan “Non Penal’.Pendekatan penal yang dilakukan Polri berarti melakukan kegiatan yang bersifat represif berupa tindakan upaya paksa antara lain melakukan penangkapan terhadap para pelaku kejahatan, melakukan penggeledahan, penyitaan barang bukti, penahanan dan proses penyidikan sampai pelimpahan ke JPU. Pendekatan “Non Penal” yang berarti kegiatan yang bersifat preventif yaitu kegiatan yang dilakukan oleh petugas 19
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 1 20
Ibid
21
Ibid, hal. 2
Universitas Sumatera Utara
15
Polri maupun masyarakat itu sendiri. Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan wewenangnya bukan tanpa batas, melainkan harus selalu berdasarkan hukum, karena menurut Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dirumuskan “Bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat). Guna terselenggaranya fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia diberikan wewenang yang pada hakekatnya berupa “kekuasaan negara di bidang kepolisian untuk bertindak atau untuk tidak bertindak” baik dalam bentuk upaya preventif mapun upaya represif. Agar upaya yang dilakukan oleh Polri untuk menanggulangi kejahatan narkotikayang terorganisir bisa optimal, maka pendekatan yang diperlukan adalah dengan melakukan pendekatan kerjasama internasional dengan mengedepankan tindakan pencegahan maupun pemberantasan. Penegakan hukum terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotikamelalui pengembangan kerjasama internasional tentunya terlebih dahulu dimulai dengan menerapkan beberapa kebijakan kriminal yang mengkriminalisasi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sebagai tindak pidana dengan membuat peraturan pidana yang berisikan sanksi bagi pelaku kejahatan. 22 22
Lihat, Pasal 2 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007 memberikan rumusan tentang tindak pidana perdagangan orang sebagai berikut: Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
16
Kriminalisasi terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dapat dilihat dalam ketentuan yang termuat pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan pengelompokan yakni dari segi bentuk perbuatannya menjadi kejahatan yang menyangkut produksi narkotika, kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika, kejahatan yang menyangkut pengangkutan dan transit narkotika, kejahatan yang menyangkut penguasaan narkotika, kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika, kejahatan yang menyangkut tidak melaporkan pecandu narkotika, kejahatan yang menyangkut label dan publikasi narkotika, kejahatan yang menyangkut jalannya peradilan narkotika, kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika, kejahatan yang menyangkut keterangan palsu (dalam kasus narkotika) dan kejahatan yang menyangkut penyimpangan fungsi; lembaga (dalam kasus narkotika). 23 Di samping itu, Undang-Undang Narkotika mengenal adanya ancaman pidana minimal, hal tersebut dimaksudkan untuk pemberatan hukuman saja, bukan untuk dikenakan perbuatan pokoknya. Ancaman pidananya hanya dapat dikenakan apabila tindak pidananya di dahului dengan pemufakatan jahat dan dilakukan secara terorganisir serta dilakukan oleh korporasi. 24 Undang-Undang
Narkotika
dibentuk
pada
hakekatnya
untuk
terciptanya suatu kepastian hukum sebagai suatu tujuan hukum. Hal ini 23
Gatot Suparmono, Hukum Narkoba di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2001), ha.193-194.
24
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
17
sebagaimana dikemukakan oleh GustavRadbruch bahwa ada tiga tujuan hokumyakni kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Tujuan hukum merupakan arah atau sasaran yang hendak diwujudkan dengan memakai hukum sebagai alat dalam mewujudkan tujuan tersebut dalam tatanan mengatur masyarakat.25 Kepastian hukum pada dasarnya merupakan suatu prinsip dari asas legalitas di dalam hukum pidana. Asas legalitas lazim disebut juga dengan terminologi “principle of legality”, “legaliteitbeginsel”, “non-retroaktif”, “de la legalite” atau “ex post facto laws”. Ketentuan asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang berbunyi: “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.” (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van een daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling). P.A.F. Lamintangdan C. Djisman Samosirmerumuskan dengan terminologi sebagai, “Tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang
yang
telah
diadakan
lebih
dulu”. 26Andi
Hamzahmenterjemahkan dengan terminologi, “Tiada suatu perbuatan (feit) yang dapat dipidana selain berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-
25
http://bolmerhutasoit.wordpress.com/2011/10/07/artikel-politik-hukum-tujuan-hukummenurut-gustav-radbruch/, Artikel Politik Hukum : Tujuan Hukum Menurut Gustav Radbruch, diakses tanggal 13 September 2013 26 P.A.F. Lamintang dan Djisman Samosir,Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1990), hal. 1
Universitas Sumatera Utara
18
undangan pidana yang mendahuluinya”. 27Moeljatnomenyebutkan pula bahwa, “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan
yang
telah
ada,
sebelum
perbuatan
dilakukan”. 28Oemar Seno Adjimenentukan prinsip “legality” merupakan karakteristik yang esensial, baik ia dikemukakan oleh “Rule of Law”, faham “Rechtstaat” dahulu, maupun oleh konsep “Socialist Legality”. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas “nullum delictum” dalam hukum pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip “legality”. 29Nyoman Serikat Putra Jaya menyebutkan perumusan asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mengandung makna asas lex temporis delicti, artinya undang-undang yang berlaku adalah undang-undang yang ada pada saat delik terjadi atau disebut juga asas “nonretroaktif”, artinya ada larangan berlakunya suatu undang-undang pidana secara surut. Asas legalitas juga berkaitan dengan larangan penerapan ex post facto criminal law dan larangan pemberlakuan surut hukum pidana dan sanksi pidana (nonretroactive application of criminal laws and criminal sanctions). 30
27
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Yarsif Watampone, 2005), hal. 41
28
Moeljatno,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2001), hal. 3
29
Oemar Seno Adji,Peradilan Bebas Negara Hukum, (Jakarta: Erlangga, 1980), hal. 21
30
Nyoman Serikat Putra Jaya, Beberapa Pemikiran Ke Arah Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2008), hal. 12
Universitas Sumatera Utara
19
Selanjutnya sanksi pidana yang dapat dijatuhkan dari kejahatan dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sebelum lahirnya UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, dapat berupa sanksi pidana penjara dan sanksi pidana denda. Untuk menanggulangi bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, Barda Nawawi di dalam kebijakan yang tertuang dalam kedua undang-undang tersebut telah mengidentifikasi yang pada intinya mengambarkan bahwa, 31 undang-undang tentang narkotika mengkualifikasi sanksi pidana penjara terhadap pelaku yang tanpa hak dan melawan hukum serta tindak pidana tersebut didahului dengan pemufakatan jahat, di samping itu menyangkut tentang tindak pidana yang dilakukan secara terorganisasi. Peran Polri terhadap pengungkapan dan pemberantasan tindak pidana narkotika pada hakikatnya merupakan fungsionalisasi hukum pidana. 32 Sesuai dengan sumber dan ruang lingkup wewenang Polri, maka dalam merumuskan bentuk-bentuk wewenangnya sebaiknya ditinjau dari rumusan tugas-tugas yang secara universal dapat dikelompokan dalam tugas kepolisian preventif dan tugas kepolisian represif, baik yang bersifat non justisial maupun justisial. 31
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Penanggulangan Narkoba Dengan Hukum Pidana, Makalah pada Seminar di Fakultas Hukum, Universitas Gunung Djati, Cirebon, tanggal 19 Mei 2000. 32
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Kriminal, Makalah disampaika pada Seminar Krimonologi VI, Semarang, Tanggal 16-18 September 1991 bahwa Salah satu upaya menanggulangi kejahatan dengan menggunakan sarana hukum termasuk hukum pidana merupakan bidang kebijakan penegakan hukum yang bertujuan untuk pencapaian kesejahteraan masyarakat. Upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social wefare). Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
20
Tugas kepolisian preventif dan represif non justisial dilaksanakan oleh seluruh anggota Polri, dengan demikian setiap anggota Polri dengan sendirinya memiliki wewenang umum kepolisian. Tugas kepolisian justisial dilaksanakan oleh setiap anggota Polri yang karena jabatannya diberikan wewenang khusus kepolisian di bidang penyidikan. Sifat represif berupa penyidikan yang dilakukan Polri untuk mengungkap dan memberantas kejahatan narkotika dilakukan dalam rangka penegakan hukum yang ditinjau dari sudut objeknya yakni dari hukumnya itu sendiri. 33 Artinya bahwa pada dasarnya tujuan dari penegakan hukum untuk menanggulangi kejahatan narkotika yang ingin dicapai adalah pemidanaan untuk memperbaiki pribadi penjahat itu sendiri dan membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan-kejahatan dan untuk membuat mereka menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatankejahatan yang lain, yakni mereka yang dengan cara-cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi. 34 Penanggulangan kejahatan narkotika sebagai transnational crime yang dilakukan oleh Polri tentunya
memerlukan
kerjasama
internasional.
33
Hukum yang baik adalah hukum yang mampu menampung dan membagi keadilan pada orang-orang yang akan diaturnya. Hukum tidak hanya bersifat praktis, efisien dan efektif, melainkan juga harus bermaksud mewujudkan suatu tatanan yang oleh masyarakat dirasakan adil. Untuk menemukan perasaan masyarakat itu semua unsur yang relevan bagi perasaan masyarakat dalam tertib hukum harus diperhatikan seperti nilai-nilai, norma-norma kehidupan, pola dan struktur hidup bermasyarakat, peranan sosial, situasi dan keadaan hubungan-hubungan sosial lembaga-lembaga dengan fungsi dan kedudukannya masing-masing. Lihat, Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengatar Filsafat Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hal. 53. Lihat juga, Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), hal. 110-111. 34
P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: Armico, 1984), hal. 11
Universitas Sumatera Utara
21
Kerjasama yang dilakukan tidak dapat dipisahkan dari hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional yang tentunya berkorelasi dengan kedaulatan negara dan kedudukan hukum internasional dalam tata hukum. Permasalahan
hubungan
hukum
internasional
dan
hukum
nasional
berdasarkan teori hukum internasional ada dua pandangan yaitu pandangan yang dinamakan voluntarisme yang mendasarkan berlakunya hukum internasional pada kemauan negara. Sedangkan pandangan objektivis yang menganggap ada dan berlakunya hukum internasional lepas dari kemauan negara. 35 Hal inilah yang melatarbelakangi lahirnya aliran dualisme dan paham monisme, dapat diuraikan sebagai berikut: a.
Paham dualisme bersumber pada teori bahwa daya ikat hukum
internasional bersumber pada kemauan negara, hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem atau perangkat hukum yang terpisah satu dari yang lainnya. Alasan yang diajukan oleh penganut aliran dualisme adalah: Pertama, kedua perangkat hukum tersebut yakni hukum nasional dan hukum internasional mempunyai sumber yang berlainan, hukum nasional bersumber pada kemauan negara, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama masyarakat negara. Kedua, kedua perangkat hukum itu berlainan subjek hukumnya. Subjek hukum dari hukum nasional ialah 35
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan Bekerjasama dengan PT. Alumni, 2003), hal. 56
Universitas Sumatera Utara
22
orang perseorangan baik dalam apa yang dinamakan hukum perdata maupun hukum publik, sedangkan subjek dari hukum internasional ialah negara. Ketiga, sebagai tata hukum, hukum nasional dan hukum internasional menampakkan perbedaan dalam strukturnya. Lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum dalam kenyataannya seperti mahkamah dan organ eksekutif hanya ada dalam bentuk yang sempurna dalam lingkungan hukum nasional. Alasan lain yang dikemukakan sebagai argumentasi yang didasarkan atas kenyataan ialah bahwa daya laku atau keabsahan kaidah hukum nasional tidak terpengaruh oleh kenyataan bahwa kaidah hukum nasional itu bertentangan dengan hukum internasional. Dengan perkataan lain dalam kenyataan ketentuan hukum nasional tetap berlaku secara efektif sekaligus bertentangan dengan ketentuan hukum internasional. 36 b.
Paham monisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari
seluruh hukum yang mengatur hidup manusia. Dalam rangka pemikiran ini hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua bagian dari satu kesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur kehidupan manusia. Akibat pandangan monisme ini ialah bahwa antara dua perangkat ketentuan ini mungkin ada hubungan hirarki. Persoalan hirarki antara hukum nasional dan hukum internasional inilah yang melahirkan beberapa sudut pandangan yang berbeda dalam aliran 36
Ibid, hal. 57-58
Universitas Sumatera Utara
23
monisme mengenai masalah hukum manakah yang utama dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional ini. Ada pihak yang menganggap bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional yang utama ialah hukum nasional. Paham ini adalah paham monisme dengan primat hukum nasional. Paham lain berpendapat bahwa dalam hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional yang utama ialah hukum internasional. Pandangan ini disebut paham monisme dengan primat internasional. Menurut teori monisme kedua-duanya mungkin. 37 2.
Kerangka Konsepsional Dalam
penelitian
ini
terdapat
dua
variabel
yaitu:
Pertama:kejahatannarkotika; danKedua:Peran Polri dalam mengembangkan kerjasama internasional. Dari 2 (dua) variabel tersebut akan dijelaskan pengertian dari masing-masing sebagai berikut: a.
Kejahatan. Istilah kejahatan dikenal dari beberapa rumusan
tindak pidana, antara lain istilah "Strafbaar Feit" yang mengandung arti sebagai kelakuan (Hendeling) yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.Unsurunsur tindak pidana: Pertama, Unsur Obyektif: perbuatan orang, akibat yang kelihatan dari perbuatan itu mungkin ada keadaan tertentu yang 37
Ibid, hal. 60-61
Universitas Sumatera Utara
24
menyertai perbuatan itu. Kedua, Unsur Subyektif: orang yang mampu bertanggung jawab, adanya kesalahan (Dolus atau Culpa). Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau keadaan mana perbuatan itu dilakukan. 38 b.
Kejahatannarkotika adalah suatu perbuatan yang diancam oleh
sanksi pidana terhadap pelaku yang menyalahgunakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semisintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. c.
Peran Polri dalam mengembangkan kerjasama internasional
merupakan penguatan hubungan setara institusi kepolisian antara dua negara atau lebih dalam melakukan aktivitas guna mencapai tujuan yang telah ditentukan yakni penanggulangan kejahatan narkotika secara terorganisir. d.
Kerjasama internasional dalam penanggulangan kejahatan
narkotika terorganisir, yakni peningkatan penanggulangan dan pemberantasan melalui pengembangan kerjasama sebagai upaya represif dalam memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, dengan alasan bahwa kejahatan tersebut pada umumnya
38
Moelyanto, Asas-asas Hukum Pidana,(Jakarta:Bina Aksara, 1987),hal. 56
Universitas Sumatera Utara
25
tidak dilakukan oleh orang perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang terorganisir secara rapi dan sangat rahasia dengan tujuan kejahatan yang dilakukan terus berkembang. e.
Penanggulangan
kejahatan
narkotika
sebagai
kebijakan
kriminal adalah suatu atau usaha yang rasional dari masyarakat dan negara untuk menanggulangi masalah kejahatanperedaran gelap narkotika, dengan pertimbangan bahwa kejahatan tersebut membawa kerugian dan dampak yang sangat besar, bahkan tidak mengenal usia maupun status sosial para korban yang ditimbulkan, sehingga menjadi kejahatan antar negara (transnational crime). Upaya penanggulangan kejahatan pada hekekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social welfare). 39 f.
Kejahatan narkotika yang terorganisir adalah bentuk kejahatan
yang terorganisasi (organized crime), dan korbannya tidak pilih kasih (indiscriminate), serta jaringan pelakunya dilaksanakan dengan sistem sel (pyramidal and cell system) dan antar negara (transnational crime).
39
Barda Nawawi Arief,Kebijakan Kriminal, Op.cit, hal. 2
Universitas Sumatera Utara
26
G.
Metode Penelitian 1.
Jenis dan SifatPenelitian Permasalahan pokok dalam penelitian ini merupakan masalah
penanggulangan kejahatan narkotika terorganisir melalui pengembangan kerjasama internasional. Oleh karena itu pendekatan terhadap masalah ini adalah pendekatan yang berorientasi pada penanggulangan. Namun mengingat sasaran utama penelitian ini adalah pengembangan kerjasama internasional maka jenis penelitian yakni penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) sebagai metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. 40 Di samping itu, pendekatan yuridis normatif dapat juga digunakan bersama-sama dengan metode pendekatan lain. 41 Dengan demikian penelitian ini ditunjang dan dilengkapi pula dengan, pendekatan yuridis empiris dengan melihat efektifitas kerjasama saat ini dalam penanggulangan kejahatan narkotika teorganisir khususnya kerjasama penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri. Di samping itu, penelitian dalam tesis
ini
bersifat
deskriptif analitis,
artinya
bahwa
penelitian
ini,
menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis peran Polri dalam
40
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 14 41
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, (Bandung: Alumni, 2004), hal. 141.
Universitas Sumatera Utara
27
pengembangan kerjasama internasional guna penanggulangan kejahatan narkotika yang terorganisir melalui kebijakan kriminal dan penegakan hukum. 2.
Sumber Data Sumber data suatu penelitian berasal dari data primer dan data
sekunder. Karena penelitian ini adalah penelitian hukum normatif, maka sumber yang diteliti adalah sumber data sekunder. Bahan pustaka melalui penelitian kepustakaan (library research) merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder terdiri dari: a.
Bahan hukum primer, yakni Undang-UndangNomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UndangUndang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,KUHPidana, konvensi-konvensi internasional antara lain United Nations Convention Againts Illicit Traffic on Narcotic Drugs and Psychotropic
Substances,
Bangsa-Bangsa tentang
1988
(Konvensi
Perserikatan
Pemberantasan Peredaran Gelap
Narkotika dan Psikotropika, 1988) dan United Nation Convention Against Transnational Organized Crime di Palermo, Nopember 2000 (Palermo Convention)
dan
perjanjian-perjanjian internasional antara lain Extradition Treatydan International Criminal Police Organization (ICPO-
Universitas Sumatera Utara
28
Interpol) dan Aseanapol, dalam hal ini Polri berfungsi sebagai National Central Bureau ICPO-Interpol Indonesia. b.
Bahan Hukum Sekunder berupa buku yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika dan kerjasama internasional, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.
c.
Bahan Hukum Tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup
bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian 42. 3.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan teknik
studi pustaka (library research) sebagai instrumen dari studi dokumen. Metode ini penulis lakukan tidak lain hanya mengumpulkan bahan-bahan melalui kepustakaan, yakni berupa peraturan perundang-undangan, bukubuku, putusan-putusan pengadilan jurnal, dokumen-dokumen serta sumbersumber teoritis lainnya sebagai dasar penyelesaian pokok masalah dalam tesis 42
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Sebagaimana dikutip dari Seojono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Press, 1990), hal. 41.
Universitas Sumatera Utara
29
ini. Keseluruhan data ini kemudian digunakan untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan hukum positif, pendapat-pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam bentuk formal maupun melalui naskah resmi. Di samping itu dikumpulkan juga data primer yang dilakukan melalui wawancara dengan informan yakni Direktorat Narkoba Polda Sumut maupun Direktorat IV Tipid Narkoba Bareskrim Polri. 4.
Analisis Data Data yang diperoleh berupa data sekunder akan disajikan secara
sistematis dengan mempertimbangkan keterkaitan dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang dikemukakan dalam penelitian tesis ini, selanjutnya akan dianalisis secara yuridis kualitatif normatif dengan penguraian secara deskriptif dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara
berbagai
mengungkapkan,
jenis
data,
sehingga
selain
menggambarkan
dan
diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan
dalam penelitian dalam tesis ini. Penentuan metode analisis demikian dilandasi oleh pemikiran bahwa penelitian ini tidak hanya bermaksud mengungkapkan atau melukiskan data apa adanya, melainkan jugaberupaya memberikan argumentasi. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif-induktif
dengan
menggunakan
teori
dimaksudkan
untuk
memecahkan permasalahan mengenai pengembangan kerjasama Internasional yang dilakukan oleh Polri dalam penanggulangan kejahatan narkotika
Universitas Sumatera Utara
30
teorganisir. Penggunaan logika berfikir deduktif –induktif dilakukan dengan teori yang digunakan dijadikan sebagai titik tolak untuk melakukan penelitian. 43
43
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosda, 2006), hal. 26-29 bahwa deduktif artinya menggunakan teori sebagai alat, ukuran dan bahkan instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga secara tidak langsung akan menggunakan teori sebagai pisau analisis dalam melihat masalah. Teorisasi induktif adalah menggunakan data sebagai awal pijakan melalukan penelitian, bahkan dalam format induktif tidak mengenal teorisasi sama sekali.
Universitas Sumatera Utara