BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Museum merupakan lembaga yang sedang bertumbuh di Indonesia dalam satu dekade belakangan. Dari segi jumlah, terjadi peningkatan sebesar 59,1% dalam 5 tahun ini, yakni dari 269 museum pada 2011 menjadi 428 museum pada 20161. Pertambahan ini menunjukkan adanya antusiasme dari pemerintah, lembaga publik, maupun perseorangan pada dunia permuseuman Indonesia. Peningkatan ini bahkan masih akan terjadi dalam beberapa tahun ke depan karena Asosiasi Museum Indonesia (AMI) menarget “Indonesia, Negeri 1.000 Museum” pada tahun 2020. Tidak hanya bertumbuh dari segi kuantitas, museum Indonesia juga diupayakan untuk berkembang kualitasnya. Proses peningkatan mutu museum diatur melalui penetapan Peraturan Pemerintah no. 66 tahun 2015 tentang museum. PP ini menjadi payung hukum lembaga yang melegalkan dan mengatur standar profesionalitas dan etika museum. Mengacu pada PP ini, pemerintah merancang dan menjalankan program-program peningkatan kualitas museum dan staf melalui akreditasi, sertifikasi, serta beragam program pelatihan. Pengembangan museum juga dilakukan dengan mengangkat eksistensi museum di tengah masyarakat melalui penetapan Hari Museum Indonesia pada tanggal 12 Oktober dan pengusulan hari Sabtu sebagai heritage day oleh AMI dan
1
Data berdasarkan pencatatan Asosiasi Museum Indonesia (AMI). Data dapat diakses di http://asosiasimuseumindonesia.org/
1
Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman. Pada heritage day, masyarakat diharapkan berkunjung ke museum, monumen, atau perpustakaan. Khususnya bagi para pelajar, heritage day diharapkan dapat melengkapi proses belajar-mengajar di sekolah pada Senin-Jumat2. Situasi ini menunjukkan bagaimana lembaga museum Indonesia sedang bertumbuh. Akan tetapi, pertumbuhan ini dirasa peneliti tidak kokoh karena tidak adanya perhatian museum dan pemerinah pada masalah utama permuseuman Indonesia, yakni keengganan masyarakat berkunjung ke museum. Pendapat peneliti ini dilatarbelakangi survey yang dilakukan Kompas mengenai keputusan masyarakat berkunjung ke museum pada musim liburan. Dari 706 responden, 67,6% menyatakan tidak berminat untuk berkunjung ke museum sedangkan responden yang berminat hanya 27,9% dan 4,5% tidak tahu/tidak menjawab3. Realita ini menjadi antiklimaks dari pertumbuhan museum Indonesia karena tidak adanya antusiasme masyarakat untuk berkunjung. Penyebab utama tidak adanya minat berkunjung ke museum adalah citra buruk yang melekat pada lembaga ini. Masyarakat Indonesia memandang museum sebagai tempat yang kuno, membosankan, menyeramkan, dan dianggap sebagai gudang benda tua. Citra buruk ini timbul dan tetap melekat karena pengelola museum sendiri terjebak dalam konsep museum yang parsial, yakni
2
3
Data berdasarkan talkshow Bincang Indonesia (Kompas TV, 07 Oktober 2016) dengan narasumber Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Pemuseuman Dr. Harry Widianto dan ketua AMI Putu Supadma Rudana, MBA. KOMPAS, 13 Juli 2016. Survey via telepon diadakan pada 29 Juni-1 Juli 2016 dengan jumlah 706 responden berbasis rumah tangga di 14 kota besar Indonesia dipilih secara acak bertingkat. Jumlah responden di tiap kota ditentukan secara proporsional. Tingkat kepercayaan 95%, nir pencuplikan penelitian ±3,7%. Hasil survey tidak dimaksudkan untuk mewakili pendapat seluruh masyarakat Indonesia.
2
memandang fungsi lembaganya hanya untuk merawat dan menyimpan koleksi. Padahal sejatinya, museum hadir sebagai lembaga yang melayani masyarakat. Hal ini dipaparkan dalam tiga definisi museum sebagai berikut: “Museum adalah institusi nirlaba yang bersifat permanen dan dibuka bagi publik untuk melayani masyarakat serta perkembangannya. Museum mengadakan, mengonservasi, meneliti, mengomunikasikan, dan memamerkan bukti-bukti bendawi (tangible) dan tak bendawi (intangible) dari manusia dan lingkungan untuk tujuan pembelajaran, pendidikan, dan kesenangan.” (International Council of Museums, 2004) “Museum memampukan masyarakat mengeksplorasi koleksi untuk mendapatkan inspirasi, edukasi, atau hiburan. Museum merupakan lembaga yang mengoleksi, melindungi, dan menciptakan akses bagi artefak dan spesimen yang dipercayakan oleh masyarakat kepada mereka.” (Museums Association, 2008) “Museum adalah lembaga yang berfungsi melindungi, mengembangkan, memanfaatkan koleksi, dan mengomunikasikannya kepada masyarakat. ... Pengelolaan museum adalah upaya terpadu melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkan koleksi melalui kebijakan pengaturan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat.” (Peraturan Pemerintah no. 66 tahun 2015 tentang museum pasal 1 ayat 1 dan 12) Mengacu pada ketiga definisi di atas, museum diidentifikasi sebagai lembaga nirlaba yang dipercaya masyarakat untuk menyimpan, merawat, dan melindungi koleksi. Koleksi merepresentasikan apa yang terjadi di dunia ini sehingga ketika pengunjung berinteraksi dengan koleksi dalam sebuah tur, pengalaman tersebut memberikan pengetahuan kepadanya (Hein, 1998: 6). Oleh karenanya, merupakan hak penuh masyarakat untuk mengakses koleksi dan informasi yang tersimpan di dalam koleksi. Museum bertanggung jawab untuk meneliti dan mengomunikasikan koleksi dan pengetahuan yang tersimpan di dalamnya melalui pameran dan program museum.
3
Apabila dibandingkan dengan situasi museum di Indonesia, permuseuman masih jauh dari definisi tersebut. Pengelola museum Indonesia yang merasa berfungsi sebagai lembaga untuk menyimpan dan merawat koleksi kemudian mengabaikan fungsi utamanya sebagai lembaga pelayanan masyarakat. Museum Indonesia merasa bahwa pelayanan kepada publik hanya sebatas pameran koleksi dimana pengunjung diarahkan untuk tur secara mandiri. Pengunjung dipersilahkan untuk melihat koleksi dan membaca caption yang menjelaskan koleksi. Konsep museum yang seperti ini jelas menciptakan pengalaman berkunjung yang membosankan dan tanpa makna sehingga peneliti rasa menumbuhkan keengganan masyarakat untuk berkunjung ke museum. Jelas dibutuhkan suatu upaya dari museum untuk menumbuhkan minat masyarakat untuk berkunjung. Dalam hal ini, pengelola museum harus menerapkan konsep bisnis dalam aktivitasnya. Museum sebaiknya menerapkan strategi
pemasaran
yang
mengarahkan
museum
untuk
mengidentifikasi
pengunjung dan kebutuhannya serta memenuhi kebutuhan tersebut (Kotler dan Keller, 2012: 5). Pemasaran, menurut Drucker (dalam Kotler et al, 2008: 21), merupakan proses yang tidak terpisahkan dalam berbisnis karena menuntun perusahaan untuk berorientasi pada tujuan akhirnya, yakni berbisnis dengan sudut pandang konsumen. Melalui penerapan pemasaran dalam museum, museum akan berorientasi pada pengunjungnya sehingga misi ideal museum sebagai lembaga pelayanan masyarakat pun akan terwujud. Konsep dasar pemasaran adalah suatu pertukaran (exchange), yakni ketika seseorang mengorbankan miliknya (waktu, uang, energi) untuk ditukar dengan
4
nilai (ekonomi, sosial, psikologi) dari produk/jasa yang ditawarkan institusi. Dalam konteks permuseuman, pengunjung mengorbankan uang dan waktu mereka dan ditukar dengan kesempatan mengakses koleksi atau mengikuti program museum (Tobelem dalam Sandell dan Janes, ed. 2007: 297). Apabila museum mampu memberikan nilai melebihi apa yang telah dikorbankan (the benefits exceeds the cost), maka pengunjung akan merespon museum secara positif (Kotler et al, 2008: 22). Oleh karenanya, agar masyarakat Indonesia berminat pada museum, maka museum harus mampu mewujudkan kondisi “the benefits exceeds the cost” tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk merancang suatu strategi pemasaran bagi lembaga museum. Agar penciptaan nilai superior tersebut terjamin, maka peneliti menggunakan pendekatan value innovation yang diusung dalam Blue Ocean Strategy (BOS) (Kim dan Mauborgne, 2005). BOS merupakan strategi bisnis kontemporer yang dirancang agar perusahaan mampu menciptakan pasarnya sendiri melalui penciptaan value innovation, yakni kondisi dimana perusahaan berhasil menekan biaya dan menawarkan nilai maksimal bagi konsumen secara bersamaan. Value innovation ini membuat perusahaan tidak dapat disaingi lagi sehingga perusahaan “berenang pada samudra biru yang damai.” Penciptaan value innovation dengan BOS bersifat sistematis karena dilengkapi dengan banyak alat. Namun tiga alat utama untuk merancang BOS adalah The Strategy Canvas yang berfungsi untuk memetakan nilai (value curve) dan The Four Action Framework serta The ERRC Grid untuk menganalisan dan menciptakan value innovation. Dalam The Strategy Canvas, perusahaan akan
5
mengidentifikasi
dan
mengukur
(tinggi/rendah)
faktor
yang
ditawarkan
perusahaan dan para pesaing dalam industri. Dengan memetakan nilai menggunakan The Strategy Canvas, perusahaan dapat memotret value curve dari industri dan perusahaan tersebut. Proses selanjutnya adalah menciptakan value curve baru dengan menggunakan The Four Action Framework dan dilanjutkan dengan rencana aksi yang dirangkum dalam The ERRC Grid. Terdapat empat langkah agar perusahaan mampu menciptakan value curve baru, yakni: mengeliminasi (eliminate) faktor yang sudah jenuh ditawarkan dalam industri, mengurangi (reduce) dan meningkatkan (raise) faktor yang ditawarkan, dan menciptakan (create) faktor yang belum ada di pada industri. Keempat aksi ini juga digunakan untuk menciptakan value innovation, yakni menekan biaya dengan mengeliminasi dan mengurangi faktor yang jenuh ditawarkan industri serta menawarkan nilai superior dengan menciptakan dan meningkatkan faktor yang belum ada di industri. Dalam merancang strategi pemasaran museum dengan menggunakan pendekatan value innovation, maka peneliti memetakan value curve museum, value curve sesama museum, serta value curve pengunjung. Value curve pengunjung perlu dipetakan agar pengelola museum dapat mengetahui faktor dan nilai yang didapat pengunjung ketika berada di museum serta nilai yang diinginkan pengunjung pada sebuah museum. Dengan membandingkan ketiga value curve tersebut, pengelola museum dapat menganalisis dan menciptakan value curve baru yang berorientasi pada nilai yang diinginkan pengunjung.
6
Penciptaan value curve baru ini akan membuat museum mampu menciptakan pasarnya sendiri sehingga sukar disaingi. Walau antar museum tidak memiliki natur untuk bersaing mengingat sifatnya yang nirlaba, namun pengelompokan museum ke dalam leisure-time industry membuat lembaga ini harus terlibat dalam kompetisi (Smithsonian Institute, 2007). Leisure-time industry merupakan industri bagi setiap bisnis yang didasari pada aktivitas yang dapat dilakukan seseorang ketika memiliki waktu luang. Karena masyarakat berkunjung ke museum di waktu luang, museum harus dikelompokkan dalam industri ini. Museum bersaing dengan beragam pilihan aktivitas, seperti: beristirahat, membaca buku, mendengarkan musik, melakukan hobi, dsb. Museum juga bersaing dengan beragam tempat publik yang dituju ketika seseorang memiliki waktu luang, seperti: mall, bioskop, café, rumah makan, tempat wisata, dsb. Dengan menggunakan pendekatan value innovation, maka museum dapat menciptakan pasar sendiri dan menghindari persaingan dalam lesiure-time industry yang kompleks dan abstrak. Penelitian berupa perancangan strategi pemasaran degan pendekatan value innovation ini dilakukan di Museum Ullen Sentalu (MUS), sebuah museum yang bermisi untuk mengonservasi seni dan budaya Jawa. MUS berlokasi di Kaliurang, Yogyakarta dan cukup diminati oleh masyarakat. Hal ini terlihat dari tingkat kunjungan MUS yang cukup tinggi (rata-rata ±87,000 pengunjung/tahun pada 2012-2015) dan menempati urutan ketujuh pada daftar museum yang paling banyak dikunjungi wisatawan nusantara pada tahun 2015.
7
Walau MUS memiliki tingkat kunjungan yang cukup tinggi, bukan berarti MUS tidak membutuhkan strategi pemasaran. Situasi museum Indonesia yang dipandang negatif oleh masyarakat membuat MUS tetap menghadapi tantangan yang sama, yakni dicap sebagai tempat yang membosankan dan sia-sia untuk dikunjungi. Selain itu, sejak diresmikan pada tahun 1997 hingga saat ini, MUS belum merancang strategi pemasaran sehingga belum mengenali pengunjungnya dan mengetahui keinginan pengunjung. Dengan demikian penelitian untuk merancang strategi pemasaran dengan pendekatan value innovation tetap relevan dilakukan di MUS. Strategi ini akan membantu MUS menciptakan pasarnya sendiri serta mengevaluasi dan mengembangkan lembaganya untuk semakin baik memberikan pelayanan kepada pengunjungnya, terkhususnya dalam menawarkan nilai superior kepada pengunjung.
1.2. Rumusan Masalah Mengacu pada latar belakang di atas, rumusan masalah dari penelitian ini adalah: 1. Bagaimana value curve museum Indonesia? 2. Bagaimana value curve MUS? 3. Bagaimana value curve pengunjung MUS? 4. Melalui pendekatan value innovation, apa strategi pemasaran MUS?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mencapai beberapa tujuan, yaitu:
8
1. Mengidentifikasi value curve faktor-faktor yang ditawarkan museum-museum Indonesia pada umumnya. 2. Mengidentifikasi value curve faktor-faktor yang ditawarkan MUS kepada pengunjungnya sehingga menyebabkan MUS memiliki tingkat kunjungan yang cukup tinggi. 3. Mengidentifikasi value curve pengunjung MUS, yakni bagaimana pengunjung menerima faktor dan nilai yang ditawarkan MUS serta faktor dan nilai yang diinginkan/dibutuhkan pengunjung dari MUS. 4. Merancang strategi pemasaran MUS melalui pendekatan value innovation.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengelola MUS dalam merancang dan
menjalankan
strategi
pemasaran.
Dengan
mengidentifikasi
dan
membandingkan value curve museum Indonesia serta value curve MUS, pengelola MUS dapat mengidentifikasi nilai-nilai superior yang telah ditawarkan lembaganya kepada masyarakat. Value curve MUS juga dibandingkan dengan value curve pengunjung MUS, yakni faktor dan nilai yang didapat pengunjung dari MUS, untuk mengidentifikasi adanya perbedaan nilai yang ditawarkan dan didapat. Selain itu, value curve pengunjung MUS mengenai faktor dan nilai yang diinginkan/dibutuhkan pengunjung dari MUS akan mengarahkan MUS untuk menciptakan nilai superior bagi pengunjungnya. Strategi pemasaran MUS dapat dirancang berdasarkan proses identifikasi dan analisis value curve ini. Strategi yang berorientasi pada pengunjung
9
diharapkan akan membantu MUS dalam menjangkau lebih banyak masyarakat untuk berkunjung, mengembangkan koleksi dan program museum, serta mengevaluasi performa MUS dalam melayani pengunjungnya. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan bidang manajemen museum di Indonesia, terkhususnya dalam perancangan strategi pemasaran museum dengan pendekatan value innovation. Pendekatan value innovation
dalam
penelitian
ini
juga
diharapakan
dapat
menunjukkan
pengaplikasian BOS dalam bidang strategi pemasaran, terkhususnya dalam konteks lembaga permuseuman.
1.5. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Obyek penelitian ini adalah museum Indonesia, MUS, dan pengunjung MUS. Karena keterbatasan peneliti, peneliti hanya mengobservasi beberapa museum saja dan tidak melakukan wawancara kepada staf museum untuk mengetahui faktor yang museum tawarkan. Hasil observasi ini menjadi acuan peneliti dalam memetakan value curve museum Indonesia. Sedangkan untuk memetakan value curve MUS, peneliti menggunakan pengalaman peneliti sebagai staf sekretariat MUS dalam empat tahun ini (2012-2016). Dalam melakukan studi pengunjung untuk memetakan value curve pengunjung dilakukan dengan beberapa metode, yakni: analisa data statistika pengunjung, focus group discusion, dan survey dengan kuisioner berdasarkan model The Empathy Map (Osterwalder dan Pigneur, 2010: 130-131). Dalam pengumpulan data dengan pencatatan data statistika dan survey, pengunjung yang
10
dimaksud adalah pria dan wanita WNI berusia lebih dari 16 tahun yang merupakan kategori pengunjung dewasa Indonesia menurut penggolongan tiket MUS. Kelompok pengunjung ini dipilih karena merupakan pengunjung mayoritas. Karena keterbatasan peneliti dalam proses pengumpulan data, pencatatan data statistika pengunjung dilakukan pada 5 Juli-8 Agustus 2016 (35 hari, 29 hari efektif). Walau tidak dapat mewakili kunjungan MUS dalam satu tahun, periode tersebut dapat menggambarkan kondisi MUS pada high season dan low season. Aktivitas FGD juga dilakukan hanya melibatkan satu kelompok, yakni masyarakat yang menyukai museum dan sejarah yang tergabung dalam komunitas Night at the Museum. Selain itu, pengumpulan data melalui survey hanya melibatkan 94 responden yang didominasi oleh kelompok berusia 21-25 tahun sehingga kurang mampu mewakili pendapat pengunjung MUS yang sangat beragam.
1.6. Sistematika Penulisan Laporan penelitian ini terdiri dari lima bab, yakni sebagai berikut: − Bab I Pada bab ini, peneliti menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup dan batasan penelitian, serta sistematika penulisan. − Bab II Pada bab ini peneliti menguraikan teori dan konsep mengenai museum, manajemen museum, strategi pemasaran museum, dan Blue Ocean Strategy.
11
− Bab III Pada bab ini peneliti menguraikan jenis penelitian, metode pengumpulan data, metode analisa data, rerangka penelitian, dan profil MUS. − Bab IV Pada bab ini peneliti menguraikan hasil data dan analisa nilai berdasarkan tahapan dalam The Four Steps of Visualizing, yakni: visual awakening, visual exploration, visual strategy fair, dan visual communication. Dalam sub-bab mengenai visual awakening, peneliti memaparkan data penelitian berdasarkan observasi museum-museum Indonesia dan MUS serta pemetaan kedua value curve tersebut. Dalam sub-bab visual exploration, peneliti memaparkan data penelitian berdasarkan metode pencatatan data statistika, FGD, dan survey dengan kuisioner serta dilanjutkan dengan eksplorasi value curve berdasarkan The Six Paths Framework, The Four Actions, dan The ERRC Grid. Dalam sub-bab visual strategy fair, peneliti memetakan value curve baru MUS serta membandingkan value curve lama MUS, value curve pengunjung, dan value curve baru MUS pada sub-bab visual communication. Setelah mendapatkan value curve baru, maka BOS diuji menggunakan tiga karakter BOS yang dijabarkan dalam sub-bab three characteristics of a good strategy. − Bab V Pada bab ini peneliti menguraikan kesimpulan, keterbatasan penelitian, dan saran berdasarkan penelitian yang telah dilakukan.
12