BAB I PENDAHULUAN
1.1 Alasan Pemilihan Masalah Fraktur akibat trauma pada gigi adalah salah satu pemasalahan kedokteran gigi yang banyak didapat pada anak dan setiap dokter gigi harus siap mengatasi dan merawatnya. Trauma pada gigi anak harus selalu dianggap sebagai tindakan darurat (Noerdin, 1997). Fraktur merupakan setiap retak atau patah pada tulang yang utuh (Reeves, Roux, and Lockhart, 2001), dapat juga didefinisikan patah tulang atau terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya (Smeltzer and Bare, 2000). Trauma gigi menjadi masalah yang serius pada kesehatan masyarakat karena dapat menimpa sepertiga pasien anak dan remaja (Borssén and Holm, 2000). Definisi trauma adalah cedera, atau kerugian psikologis atau emosional (Kamus Kedokteran Dorland edisi 29, 2002), bersifat cepat, mendadak, tidak terduga, dan dapat dibedakan menjadi dua kategori, trauma yang disebabkan cedera intensional dan nonintensional. Cedera intensional contohnya adalah pembunuhan, kekerasan dalam rumah tangga (kdrt), perang, teroris, dan cedera lain yang ada hubungannya dengan tujuan seseorang atau kelompok orang, sedangkan cedera nonintensional adalah kecelakaan domestik, seperti karena olahraga, kecelakaan kerja, kecelakaan lalu lintas, dan cedera lain yang tidak ada hubungannya dengan tujuan seseorang atau kelompok orang. (Berman, et al., 2007).
1
2
Trauma dentoalveolar dapat mengakibatkan cedera jaringan keras dan lunak. Manifestasi
trauma
pada
jaringan
keras
dapat
mengakibatkan
fraktur
dentoalveolar. Fraktur dentoalveolar dapat berupa fraktur pada jaringan keras gigi tersebut atau dapat juga pada tulang pendukungnya. Cedera yang berakibat pada tulang pendukung biasanya disebut luksasi. Insidensi kasus luksasi lebih banyak terjadi pada anak karena sifat jaringan pendukung atau tulang yang menopang akar gigi lebih berongga dan rasio antara akar dan mahkotanya lebih kecil dibandingkan dengan gigi permanen. (Holan and McTigue, 2005). Pasien trauma pada anak berbeda dengan orang dewasa meskipun memiliki luka yang serupa. Pasien anak memiliki kemampuan penyembuhan cepat dan komplikasi yang minimal karena vaskularisasi yang baik dari wajah dan kemampuan pertumbuhan yang merupakan sifat pada anak untuk beradaptasi. Pemulihan jaringan orofasial yang rusak dapat dimaksimalkan dan hilangnya fungsi dapat diminimalkan (Fonseca, 2005; Kaban, 1990). Cedera pada wajah karena trauma berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan pasien anak. Hal ini membuat tindak lanjut penanganan jangka panjang perlu diperhatikan (Thaller and McDonald, 2004). Selain itu, trauma gigi pada anak dapat menyebabkan intrusi gigi sulung ke folikel benih gigi permanen, semua jaringan odontogenik terpengaruh dan mahkota dapat mengalami dilaserasi (Flores, 2007). Insidensi trauma pada gigi anak, khususnya gigi susu antara 4%-33%, berkisar antara 31% sampai 40% pada anak laki-laki dan 16% sampai 30% pada anak perempuan (Welbury, 2005). Trauma meningkat pada usia 2-4 tahun ketika anak sedang belajar merangkak, berdiri, dan berjalan. Kasus ini pun banyak terjadi
3
pada usia 8-10 tahun ketika anak-anak sudah mulai melakukan banyak aktivitas di sekolahnya (Cameron and Widmer, 2008). Andreasen mengatakan bahwa trauma pada gigi akan menjadi ancaman yang cukup signifikan sama halnya dengan karies atau penyakit periodontal pada masa yang akan datang (Von Arx, 2005). Kejadian trauma gigi dapat menjadi penting dalam dunia kesehatan masyarakat, bukan hanya karena insidensinya yang relatif tinggi dan pengaruh terhadap tumbuh kembangnya, tetapi juga dapat berimplikasi pada kehidupan sehari-hari anak tersebut. Hal ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan dari segi fisik maupun psikis jika tidak dirawat dengan baik. Anak tersebut akan merasa nyeri, sulit untuk tertawa dan tersenyum. Keadaan ini dapat memengaruhi hubungannya dengan teman dan lingkungan sekitar. Hal ini akan memengaruhi kualitas hidup anak tersebut (Traibert, et al., 2003). Trauma seringkali menimbulkan permasalahan yang berhubungan dengan kesehatan yang juga meliputi fungsi dan estetika. Penanganan yang benar dan cepat pada kasus ini akan meningkatkan keberhasilan perawatan. Perawatan pada kasus fraktur dentoalveolar terbagi menjadi beberapa tahap, di antaranya perawatan darurat dan perawatan definitif. Salah satu tahap pada perawatan definitif yaitu reposisi dan fiksasi gigi yang terkena trauma. Tindakan ini menggunakan alat stabilisasi yang bertujuan untuk menjaga agar retakan, patahan, atau pergeseran gigi dapat dipertahankan pada posisi normal. Alat stabilisasi yang baik diupayakan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan gigi anak. Proses penyembuhan tulang pada anak lebih cepat dibandingkan pada usia dewasa sehingga penggunaannya pun akan berbeda (Fonseca, 2005). Psikis
4
anak juga harus dipertimbangkan dalam hal pemilihan alat stabilisasi ini. Karakteristik anak yang lebih banyak bergerak, kurang kooperatif, dan kurang nyaman dengan dokter gigi akan mempersulit penanganan fraktur dentoalveolar ini. Pilihan alat stabilisasi ideal harus mudah dan cepat diaplikasikan oleh dokter gigi pada pasien sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan gigi, jaringan pendukung, dan rahang anak. Alat tersebut harus nyaman dan mudah dibersihkan oleh pasien. Pergerakan fisiologi saat memperbaiki jaringan periodontal pada gigi yang terkena trauma juga harus diperhatikan ketika menggunakan alat stabilisasi. Terdapat banyak penelitian dan studi klinis terbaru yang membahas mengenai alat stabilisasi ini (Von Arx, 2005). Kondisi tersebut menarik penulis untuk membahas mengenai penanganan fraktur dentoalveolar pada anak dengan alat stabilisasi yang tepat, yakni alat stabilisasi yang aman, nyaman, dan cepat sesuai dengan karakter fisik dan psikis pada anak, sehingga prognosis yang baik dapat dicapai setelah selesai perawatan fraktur tersebut.
1.2 Metodologi Penulisan Penyusunan
skripsi
berdasarkan
studi
kepustakaan,
yaitu
dengan
mengumpulkan, membaca, dan membahas bahan-bahan dari buku-buku pegangan, majalah-majalah, jurnal-jurnal, internet, serta bahan-bahan yang berhubungan dengan judul skripsi, di samping itu juga penulis melakukan diskusi serta mendapat saran-saran dan petunjuk dari dosen pembimbing.
5
1.3 Organisasi Karangan Gambaran yang jelas dan sistematik skripsi disusun menjadi beberapa bab sebagai berikut: Bab I
: Pendahuluan, mengemukakan tentang alasan pemilihan masalah, metode dan teknik penulisan, dan organisasi karangan.
Bab II
: Menerangkan tentang definisi dan klasifikasi trauma, etiologi, dan epidemiologi, serta tindakan pencegahan terjadinya fraktur dentoalveolar.
Bab III
: Menerangkan tentang anamnesis pasien, pemeriksaan klinis, pemeriksaan
radiografi
dan
rencana
perawatan
trauma
dentoalveolar yang memerlukan tindakan stabilisasi. Bab IV
: Menerangkan definisi alat stabilisasi, pengaruh tumbuh kembang anak terhadap pemilihan penanganan fraktur dentoalveolar pada anak, dan pilihan alat stabilisasi yang tepat untuk pasien anak.
Bab V
: Simpulan dan saran