BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perempuan dengan segala dinamikanya seakan menjadi sumber inspirasi yang tidak akan pernah habis. Merebaknya bentuk kajian yang membahas tentang isu perempuan merupakan suatu kelaziman dibanding dengan mencuatnya permasalahan yang membahas tentang isu laki-laki. Kecenderugan tersebut muncul karena kehidupan perempuan senantiasa dianggap unik sehingga selalu menjadi stressing dalam berbagai aspek kehidupan. Bagi perempuan sendiri, keunikan tersebut tidak selalu berarti sesuatu yang menyenangkan karena dalam banyak hal mereka merasakan ketidakadilan.1 Dominasi laki-laki dalam peran publik dan domestikasi perempuan bukanlah hal yang baru, tetapi sudah berlangsung sepanjang perjalanan sejarah peradaban umat manusia. Oleh sebab itu tidak heran kalau kemudian dianggap sebagai sesuatu yang sudah bersifat alami atau kodrati.2 Fakta inilah yang memang terjadi di sekitar masyarakat, khususnya perempuan jawa. Perempuan cuma wajib mengurus rumah tangga dan mendidik anak-anaknya, jika sudah berumur dua belas tahun maka dia dipingit. Pingitan adalah ditutup di dalam rumah, tidak diperbolehkan 1
Amiroh Ambarwati, Perspektif Feminis dalam Novel Perempuan di Titik Nol dan Perempuan Berkalung Sorban, Muwazah, Vol. 1, No. 1, Januari-Juni 2009, hlm. 1. 2
Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender dalam al-Qur’an; Studi Pemikiran Para Mufassir, (Yogyakarta: Labda Press, 2006), hlm. 2.
1
2
berpergian apalagi menjalin kontak dengan masyarakat luar karena usia sudah mencapai 12 tahun, dalam adat yang ada seorang anak gadis lebih lagi gadis priyayi harus sudah menikah, meskipun banyak kewajiban tetapi haknya tidak suatu juga.3 Perempuan yang menghabiskan masa remajanya dalam pingitan, membuat mereka tidak punya pengetahuan yang cukup untuk berinteraksi dan mengembangkan dirinya dalam
masyarakat. Konsekuensinya, istri hanya
bisa
dan
manut
kepada
perintah
kelakuan
suami.
Laki-laki
pun
memperlakukan istrinya semaunya, sewaktu-waktu dia dapat menceraikan istrinya tanpa memberi alasan, atau memadunya dengan perempuan lain tanpa meminta persetujuan. Karena tidak memiliki bekal pengetahuan yang cukup, perempuan sering menjadi terlantar akibat kesewenangan laki-laki.4 Mayoritas masyarakat tidak mengerti makna, sejatinya tugas, sifat dan kodrat perempuan itu sendiri, yang mereka tahu seorang perempuan harus ‘manut’. Entah itu masih lajang ‘manut’ kepada kedua orangtuanya atau sudah menikah, ‘manut’ kepada suaminya. Perempuan adalah sumber daya manusia yang jumlahnya besar, bahkan di seluruh dunia jumlahnya melebihi pria. Akan tetapi jumlah perempuan di sektor publik selalu berada jauh di bawah pria, terutama di bidang politik dan pendidikan. Hal ini tidak terjadi di Indonesia, tetapi bersifat mendunia.5
3
Armijn Pane, Habis Gelap Terbitlah Terang, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm.16.
4
Mukhrizal Arif dkk, Pendidikan Pos Modernisme; Telaah Kritis Pemikiran Tokoh Pendidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hlm.186. 5
Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, (Jakarta : Gema Insani, 2004), hlm.13.
3
Sebagaimana telah diteliti oleh Tim PSG (Pusat Studi Gender)6 STAIN Pekalongan Hasil penelitian Tingkat pendidikan penduduk kabupaten Pekalongan secara umum terbilang cukup tinggi, sebab dari penduduk total berdasar jenis kelamin yaitu laki-laki 452.991 jiwa dan perempuan 446.251 jiwa, yang mengenyam pendidikan (baik yang lulus SD, sampai lulusan dari perguruan tinggi) adalah sebanyak 409.500 jiwa penduduk laki-laki dan 406.670 jiwa penduduk perempuan . Namun yang mendominasi adalah hanya pada lulusan SD (laki-laki= 176.500 jiwa dan perempuan 197.413 jiwa ) sedang yang lulusan perguruan tinggi atu yang bergelar sarjana hanya berkisar 2.304 laki-laki dan 1.235 perempuan.7 Kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi belum bisa terwujud, karena masih ada anggapan tradisional yang mengatakan “nggo opo bocah wadok sekolah duwur-duwur, mengko yo bakale nang pawon”. “Buat apa perempuan sekolah tinggi, nanti ujungujungnya juga hanya di dapur saja”. Pendapat yang seperti itulah sepertinya belum bisa hilang sama sekali, hanya terkikis sedikit demi sedikit, dan masih banyak melekat pada pemikiran penduduk setempat.8 Padahal secara Nasional, penduduk laki-laki dan perempuan sudah memiliki peluang yang setara untuk mendapatkan layanan pendidikan, misalnya: anak laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk 6
Tim PSG STAIN Pekalongan, “Peran Perempuan di Sektor Pertanian (Studi Perempuan Petani Tebu Kec. Sragi Pekalongan)”, Muwazah, Vol. 2, No. 2, Desember 2010, hlm.217. 7
Tim PSG STAIN Pekalongan, “Peran Perempuan di Sektor Pertanian (Studi Perempuan Petani Tebu Kec. Sragi Pekalongan)” ... hlm.219. 8
Tim PSG STAIN Pekalongan, “Peran Perempuan di Sektor Pertanian (Studi Perempuan Petani Tebu Kec. Sragi Pekalongan)” ...
4
dapat mengikuti pendidikan sampai ke jenjang pendidikan formal tertentu. Tentu tidaklah adil jika dalam era global ini menomorduakan pendidikan bagi perempuan, apalagi jika anak perempuan mempunyai kecerdasan dan kemampuan lebih.9 Kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dipengaruhi salah satunya oleh budaya patriarki yang sudah mengejawantah dalam pola pikir masyarakat. Hal tersebut sebagaimana dipertegas oleh Khofifah Indar Parawansa, bahwa beberapa hal yang mempengaruhi belum terwujudnya keserasian gender antara lain, masih kuatnya nilai-nilai sosial budaya yang patriarkis. Nilai-nilai ini menempatkan laki-laki dan perempuan pada kedudukan dan peran yang berbeda dan tidak setara. Keadaan ini ditandai dengan adanya pembakuan peran, beban ganda, sub-ordinasi, marjinalisasi, dan diskriminasi terhadap perempuan yang menyebabkan perempuan tidak memiliki akses, kesempatan dan kontrol atas pembangunan serta tidak memperoleh manfaat dari pembangunan yang adil dan setara dengan lakilaki.10 Memperjuangkan persamaan antara dua jenis manusia, laki-laki dan perempuan adalah idiologi feminisme yaitu mewujudkan kesetaraan gender secara kuantitatif.11 Perempuan tidak berbeda dengan laki-laki, boleh saja mereka melakukan kegiatan-kegiatan di dalam atau di luar rumah tanpa 9
Dwi Edi Wibowo, Sekolah Berwawasan Gender, Pekalongan: STAIN Press, Jurnal Muwazah. Vol. 2, No. 1, Juli 2009, hlm. 189. 10
Dwi Edi Wibowo, Sekolah Berwawasan Gender, Pekalongan: STAIN Press, Jurnal Muwazah. ... hlm. 190. 11
Muhandis Azzuhri, Muhammad Seorang Feminis, Muwazah, Vol. 1, No. 1, JanuariJuni 2009, hlm. 3.
5
perbedaan. laki-laki dan perempuan harus sama–sama berperan baik di dalam maupun di luar rumah (fifty – fifty).12 Pada hakikatnya gerakan feminisme adalah isu milik kaum perempuan kelas menengah keatas (golongan elit) yang ingin membebaskan diri dari pekerjaan–pekerjaan rutin rumah tangganya di negeri–negeri barat (terutama AS) pada tahun 1960-an dan 1970-an. Ditahun 1963 itulah Betty Friedan menerbitkan buku The Feminine Mystique, dari sinilah mulai isu persamaan kekuasaan dikampanyekan.13 Di Indonesia, gerakan feminisme lebih dikenal dengan istilah emansipasi. Frekuensi pembahasannya akan mengalami peningkatan cukup drastis manakala tanggal 21 April tiba. Bangsa Indonesia mengenang hari itu dengan istilah hari Kartini14. Karena bulan tersebut lahir putri Indonesia bernama Kartini yang kemudian dianggap menjadi pendobrak “emansipasi wanita”.15 Kartini, ningrat jawa yang mendobrak kungkungan adat melalui pikiran-pikirannya dapat mencerahkan dan mengilhami kalangan yang lebih luas. Untuk hal ini Kartini meningalkan ratusan pucuk surat bagian dari
12
Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam, ...
hlm. 13. 13
Mansour Fakih et all, Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam, Cet II, (Surabaya : Risalah Gusti, 2000), hlm. 252. 14
Jiz Azizah dkk, The Gallant Womens From Java, (Yogyakarta: IN AzNa Books, 2011), hlm. 32. Untuk selanjutnya penulis hanya menggunakan nama ‘Kartini’. Tidak disertai gelar ataupun keningratan. 15
hlm. 12.
Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam ...
6
korenpondensinya dengan sahabat-sahabatnya di Belanda.16 Wujud dari pemikiran Kartini telah dituangkan ke dalam tulisan, mengandung sastra dan membuat semangat bagi perempuan yang membacanya. Menurut Kartini, pendidikan wanita adalah kunci utama untuk menuju jalan kemerdekaan ini. Namun titik tolak kemerdekaan wanita, bukanlah
melihat wanita sebagai makhluk otonom yang terpisah dari
lingkungannya, melainkan sebagai pribadi yang terkait dengan kemajuan Bangsa. Semangat Kartini adalah juga untuk kemerdekaan wanita, terutama membebaskan wanita dari lembah kemiskinan.17 Surat-surat Kartini banyak berbicara tentang nilai tradisi yang membelenggu
perempuan,
menjadikannya
tergantung
kepada
lelaki,
memperlakukannya sewenang-wenang dan tak berdaya. Kondisi yang tidak jauh berbeda dengan di Barat18 pada masa itu. Namun, berbeda dari pendekatan di Barat yang menunjuk lelaki sebagai biang permasalahan, Kartini secara tepat menempatkan permasalahan penindasan perempuan sebagai bagian dari permasalahan sistem budaya masyarakatnya. Maka, berdasar pemahaman yang cerdas atas permasalahan konteksnya, Kartini mengambil pendidikan sebagai titik strategis yang harus di dobrak dan dibuka untuk kaum perempuan. Satu pendekatan yang tepat, karena pendidikan merupakan salah satu faktor dengan nyata mengubah sistem nilai dalam 16
Dwi Wiyana dkk, Feminis di Balik Tembok, Majalah Tempo: Gelap Terang Hidup Kartini, Edisi 22-28 April 2013.hlm. 36. 17
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?; Sudut Pandang Baru Tentang Gender, (Bandung: Pustaka Mizan, 2001), hlm. 215. 18
Efantino Febriana, Kartini Mati dibunuh: Membongkar Hubungan Kartini dengan Freemason, (Jakarta: Navila Idea, 2010), hlm. 13.
7
masyarakat, selain menawarkan berbagai kesempatan bagi perempuan untuk mengaktualkan dan mengemansipasikan diri.19 Disinilah letak perbedaan fundamental yang mendasari konsep kebebasan wanita di Barat melalui teori feminisme dan semangat Kartini. Bila di Barat perjuangan kebebasan wanita semata-mata demi kemajuan wanita sebagai individu yang mandiri, sedangkan Kartini berharap kemerdekaan wanita adalah untuk mengangkat derajat masyarakat secara umum. Seperti telah diuraikan, kaum feminis modern ‘alergi’ terhadap segala istilah romantisme keibuan yang dapat menghambat aktualisasi diri, Kartini justru menjunjung peran ini.20 Surat-surat itu sejauh ini merupakan dokumen tertulis paling awal hasil pemikiran perempuan, dengan cakupan topik yang beragam terutama meliputi kebebasan, kemerdekaan,dan kemandirian, yang biasa diperoleh dari masa itu adalah sebagian dari surat itu dikumpulkan dan diterbitkan sebagai buku yang aslinya berjudul Door Duisternis Tot Licht (diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang), dari surat-surat tersebut dapat membangun gambaran mengenai Kartini lebih dari sekadar profilnya saja. Gambaran itu memuat kisah hidup Kartini, serta bagaimana pikiranpikirannya ditempa sebagai respons terhadap situasi menindas yang dialaminya.21 Semangat Kartini yang menggelora, perjuangan melawan
19
Wardah Hafidz, Gerakan Perempuan Dulu, Sekarang, dan Sumbangannya kepada Transformasi Bangsa, (Yogyakarta : Tiara Wacana, 1993), hlm. 93. 20
Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda?; Sudut Pandang Baru Tentang Gender, ...
hlm. 217. 21
Dwi Wiyana dkk, Feminis di Balik Tembok, ... hlm. 36.
8
kebodohan dan kemelaratan di kalangan rakyatnya akibat penjajahan asing. Kartini juga berhadapan dengan tirani adat istiadat feodal 22 di kalangan kaum bangsawan menengah dan atas, dengan peraturan yang ketat menjadi halangan besar bagi kemajuan Bangsanya khususnya wanita.23 Surat-surat itu kartini tulis sejak 25 Mei 1899 sampai 7 September 1904. Surat terakhir Ia tulis tepat sepuluh hari sebelum meninggal.24 Hidupnya yang singkat seakan-akan memantulkan misteri yang cukup memukau, karena Kartini adalah gadis bangsawan pingitan, namun ia mempunyai jiwa yang peka terhadap lingkungan bangsanya. Sebagai penentang poligami Kartini membiarkan dirinya menjadi istri ke empat dari R.M. Joyohadiningrat seorang Bupati Rembang. Surat-surat Kartini memang telah menjadi bukti sejarah tentang kemelut yang terjadi di sebuah masyarakat yang sedang mengalami perubahan mendasar. Ia bukan hanya mewakili cita-cita tentang perubahan, namun juga menjadi kiblat. Yakni, kiblat baru yang ditandai oleh masuknya pengaruh pendidikan barat ke benak masyarakat Jawa tradisional pada masa itu.25 Dalam surat-surat yang membentang pada jarak kurang lebih waktu lima tahun, dapat ditelusuri tentang pengalaman Kartini, sebagai anak zaman yang sedang mengalami perubahan. Kartini bukanlah pemenang dalam 22
Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini; Sebuah Biografi (Rujuakan Figur Pemimpin Teladan), (Jakarta: Balai Pustaka, 2011), hlm. 4. 23
Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini; Sebuah Biografi (Rujuakan Figur Pemimpin Teladan), ... hlm. 5. 24
Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini; Sebuah Biografi (Rujuakan Figur Pemimpin Teladan), ... hlm. 302. 25
Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, Kartini; Sebuah Biografi (Rujuakan Figur Pemimpin Teladan), ... hlm. 300.
9
perlawanannya tersebut. Kartini harus berani melawan terhadap penjajah, penindasan, kekolotan, kebodohan, dan keserakahan tanpa harus menyebut dirinya “pahlawan”. Kartini juga harus berhadapan dengan pihak kolonial Barat yang hendak menghalangi perubahan-perubahan yang sedang terjadi di tengah Bangsanya.26 Langkah Kartini yang strategis, sebagaimana kita lihat telah menumbuhkan sejumlah perempuan terpelajar yang kemudian membentuk organisasi-organisasi modern.27 Pengalaman Kartini tidak sekedar pahlawan bangsa, tokoh emansipasi wanita akan tetapi Kartini juga tokoh feminis. Termasuk tokoh feminis pada akhir abad ke-20, dimana pengalaman Kartini ialah bagaimana dia menanggung kepedihan sebagai perempuan di masanya dan juga Kartini dapat menyongsong masa depan (sementara) yang lain masih terkungkung dalam tersandera keadaan. Semangat, perjuangan dan ide-ide pikirannya sangat dibutuhkan untuk kemashlahatan bangsa. Hal inilah yang mendorong peneliti untuk memilih judul : “Pendidikan Feminis R.A. Kartini (Relevansi Pendidikan Feminis R.A. Kartini dengan Pendidikan Islam di Indonesia)”, dengan alasan sebagai berikut : 1. Kartini adalah pahlawan Indonesia, tokoh legendaris pemikir wanita. Apa yang dirasakan dan dipikirkan Kartini sangat mewakili perasaan wanita Indonesia pada umumnya.
26
Soebagio, Maryati dan Sapariah Sadli, Kartini Pribadi Mandiri, (Jakarta: Gramedia, 1990), hlm. 100. 27
Wardah Hafidz, Gerakan Perempuan Dulu, Sekarang, dan Sumbangannya kepada Transformasi Bangsa, ... hlm. 94.
10
2. Kartini
termasuk salah satu tokoh feminis dengan mengkritisi adat
istiadat perempuan jawa. Semangat dan perjuangannya yang bertolak belakang dengan adat istiadat Bangsa menjadikan Kartini luar biasa. 3. Pendidikan perempuan dirasa sangat penting karena dapat mengubah meanset para perempuan untuk mendidik anak dan mengatur rumah tangganya agar tetap maju dalam perkembangan zaman, karena apabila satu rumah terkoordinir dengan baik dan merembet rumah satu ke rumah yang lain maka majulah Negara itu. 4. Kartini berada di tanah jawa Indonesia dengan beragama Islam. Sedang buku-buku yang dipelajari dari Barat. Hal ini menjadikan penulis untuk mencari relevansi pendidikan feminis Kartini dengan pendidikan Islam di Indonesia. Sampai saat ini, kepahlawan Kartini masih banyak mengundang diskusi. Surat-surat Kartini yang sempat dikumpulkan sahabatnya, telah banyak melahirkan inspirasi untuk dianalisis dari berbagai aspek. Di mana kepahlawanannya selalu dihubungkan dengan bidang pendidikan yang terkait dengan upaya meningkatkan harkat dan martabat perempuan,28 karena perempuan adalah sumber dari merubah peradaban.
28
A. Nunuk P. Murniati, Getar Gender (Perempuan Indonesia dalam Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum dan HAM), Cet, 1, (Magelang : Yayasan Adikarya IKAPI, 2004), hlm.120-121.
11
B. Rumusan Masalah Berdasarkan
pertimbangan yang penulis kemukakan dalam latar
belakang masalah di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana pendidikan feminis Kartini? 2. Bagaimana relevansi pendidikan feminis Kartini dengan pendidikan Islam di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pengolahan data yang sesuai dengan masalah-masalah yang telah dirumuskan
dalam penelitian dan mengumpulkan data yang
relevan, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mendeskripsikan pendidikan feminis Kartini. 2. Untuk
mengetahui
relevansi
pendidikan
feminis
Kartini
dengan
pendidikan Islam di Indonesia.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini dapat dijadikan sebuah wacana dan menambah wawasan bagi para pembaca sebagai bentuk kontribusi keilmuwan pendidikan agama Islam.
12
2. Manfaat Praktis Sekiranya
dapat
bermanfaat
bagi
para
akademisi
untuk
mempraktekan pola pembelajaran pendidikan wanita yang terintegrasi perspektif gender dalam kesehariannya lebih lagi dapat dilaksanakan di bangku kuliah.
E. Tinjauan Pustaka 1. Analisis Teoritis Feminisme sebagai idiologi dan gerakan merupakan upaya memperjuangkan persamaan antara dua jenis manusia, laki-laki dan perempuan. Istilah feminisme ini sering juga disebut kesetaraan gender. Gender berarti perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan. Perbedaan biologis adalah perbedaan jenis kelamin (sex) yang merupakan kodrat Tuhan, dan oleh karenanya secara permanen berbeda.29 Adapun feminisme berasal dari kata latin femina yang berarti memiliki sifat keperempuanan. Feminisme diawali oleh persepsi pada adanya ketimpangan posisi perempuan dibanding posisi lelaki di masyarakat. Akibat dari persepsi seperti ini, timbul berbagai usaha untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut sebagai upaya mengeliminasi dan menemukan formula memersamakan hak perempuan dan lelaki dalam
29
Muhandis Azzuhri, Muhammad Seorang Feminis, Muwazah, ... hlm. 2.
13
segala bidang, sesuai dengan potensi mereka sebagai manusia (human being).30 Menurut Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan dalam buku Kesetaraan Gender dalam al-Qur’an mendefinisikan feminisme sebagai ‘Suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut’.31 Secara umum feminisme adalah alat untuk menganalisis maupun dapat diartikan gerakan yang selalu bersifat historis konstekstual sesuai dengan kesadaran baru yang berkembang dalam menjawab masalahmasalah perempuan secara aktual yang menyangkut ketidakadilan dan ketidaksederajatan dengan realitas perlakuan terhadap perempuan.32 Karena kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan hanyalah salah satu saja dari kesadaran terhadap ketidakadilan gender, maka kiranya menurut hemat penulis, feminis adalah sebuah pertarungan idiologi dari alam fikir timbul ketidaksamaan antara apa yang diharapkan dengan fakta realita yang ada.
30
Aida Vitayala S. Hubeis, Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa, (Bogor: PT Penerbit IPB Press, 2010), hlm. 199. 31
Yunahar Ilyas, Kesetaraan Gender dalam al-Qur’an; Studi Pemikiran Para Mufassir,
... hlm. 16. 32
Abdul Ghofur, Islam dan Problem Gender, (Malang: Aditya Media, 2000), hlm. 124
14
Adapun dalam survei penelitian yang hampir sama dengan masalah di atas, penulis mencoba mencari tesis, jurnal ataupun penelitian lainnya untuk mengantisipasi adanya kesalahpahaman dalam penelitian: Hasil jurnal Nur Hadi dengan judul Dari Kartini Hingga Ayu Utami: Memposisika Penulis Perempuan dalam Sejarah Sastra Indonesia adalah lebih menekankan pada penulis perempuan dalam sejarah Indonesia salah satunya adalah Kartini. Penelitiannya mengemukakan bahwa Sebenarnya para kritikus dan sejarawan sastra telah dengan sengaja melupakan seorang penulis perempuan Jawa ini sekitar tahun 1879-1904. Entah faktor apakah yang menjadikannya tidak dimasukkan sebagai penulis atau pengarang Indonesia (bukan sekedar Jawa) dalam sejarah sastra Indonesia. Kartini biasanya dibicarakan sepanjang berkaitan dengan emansipasi wanita.33 Padahal, dia penulis handal yang menulis dengan bahasa Belanda yang sangat fasih dan tertata. Faktor tulisan tulisannya dalam bahasa Belanda-lah yang sepertinya menjadi kendala tidak disinggungnya penulis ini dalam Sejarah Sastra Indonesia, juga Sejarah Sastra Jawa. Kita harus ingat, bahwa aspek kebahasaan yang menjadi lambang elan nasionalisme menjadi aspek yang sangat penting pada masa kelahiran sastra Indonesia kala itu.34
33
Nur Hadi, Dari Kartini Hingga Ayu Utami: Memposisikan Penulis Perempuan Dalam Sejarah Sastra Indonesia, UNY: Jurnal Diksi FSB UNY, Edisi Juli 2007, hlm. 6. 34
Nur Hadi, Dari Kartini Hingga Ayu Utami: Memposisikan Penulis Perempuan Dalam Sejarah Sastra Indonesia, ... hlm. 7
15
Menurut penulis penelitian ini memposisikan Kartini dengan sebaikbaiknya mencoba mengangkat nama Kartini dengan menelaah pemikiranpemikirannya yang telah dituangkan dalam tulisan dan surat-surat yang telah terkumpul dengan judul Door Duisternis tot Licht. Hasil penelitian dari Didi Kwartanada dengan judul jurnal Kartini Pelopor Pluralisme Hasil penelitiannya mengemukakan bahwa pemikiran Kartini berbeda dengan pemikiran golongan elit semasa, ternyata Kartini justru memiliki pandangan positif akan etnis Tionghoa dan Arab, bagi Kartini tidak ada sekat menyekat dalam pergaulan meskipun nanti tahu bahwa ayahnya melarang Kartini bergaul dengan orang Tionghoa.35 Diceritakan Ny R. M Abendanon-Mandiri tanggal 27/10/1902 bahwa Kartini pernah sakit keras, tidak ada yang bisa menolong termasuk dokter Eropa. Kartini baru sembuh setelah seorang Tionghoa menganjurkannya minum abu lidi sesaji dari klenteng di welahan. Maka dengan penuh syukur dikatakannya “bahwa Saya anak Budha”.36 Pada Bab II dalam penelitian ini berusaha membahas kajian-kajian ilmiah sebagai landasan teori salah satunya adalah pluralisme Kartini, akan tetapi penelitian ini lebih menekankan pluralisme kartini dalam memandang pendidikan. Menurut Moh Roqib dengan judul penelitiannya pendidikan perempuan termasuk hasil reinkarnasi dua penelitian penulis Perspektif
35
Didi Kwartanada, Kartini Pelopor Pluralisme, AGSI: Jurnal Pendidikan Sejarah, Edisi ke-4/ Juli-September 2011, hlm. 2. 36
Didi Kwartanada, Kartini Pelopor Pluralisme, ... hlm. 3.
16
Muhammad Athiyah al-Abrasy berasal dari tesis saat studi S2 IAIN Sunan Kalijaga tahun 1996-1998, sedangkan yang kedua adalah penelitian penulis tahun 2002 dengan judul Perempuan, Bahasa dan Agama: Bahasa Arab dalam Perspektif Gender.37 Dalam penelitiannya Moh Roqib berpegang kepada hadits bahwa “Belajar adalah kewajiban bagi setiap muslim laki-laki dan “perempuan” menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam menuntut ilmu dan melaksanakannya. Agama Islam menganjurkan setiap lelaki dan perempuan studi, menggunakan ilmu yang dimilikya serta berjihad untuk menyebarkan ilmu tersebut. Islam tidak saja menganjurkan agar belajar, tetapi memotivasi agar setiap individu secara kontinu belajar, melakukan kajian, dan studi.”38 Pendidikan perempuan dalam penelitian ini adalah bagaimana cara pikir menyikapi pendidikan perempuan semasa Kartini dimana nasib perempuan dipinggirkan, disubordinasikan tidak mengenyam pendidikan. Satu lagi yang menurut penulis dianggap penting untuk survei penelitian yaitu hasil disertasi Dri Arbaningsih dengan judul Kartini dari Sisi Lain: Melacak Pemikiran Kartini tentang Emansipasi Bangsa.39 Mempersepsikan Kartini bukan sekadar pendekar emansipasi wanita,
37 38 39
Moh. Roqib, Pendidikan Perempuan, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), hlm. 91. Moh. Roqib, Pendidikan Perempuan, ... hlm. 92.
Dri Arbaningsih, Kartini dari Sisi Lain: Melacak Pemikiran Kartini tentang Emansipasi Bangsa, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2005).hlm. 10.
17
akan tetapi jauh lebih luas yakni “emansipasi bangsa” dengan menampilkan visi ideologisnya tentang jawa sebagai nasion. Dalam penelitian ini dilihat bagaimana konsep Kartini dan pandangan pendidikan feminis, dimana pendidikan dinilai tidak penting bagi perempuan. Dari
survei
penelitian
yang
telah
ada,
penulis
mencoba
mengklasifikasikan dalam bentuk tabel guna tidak terjadi penelitian ulang oleh penulis:
Tabel 1.1 Survei Penelitian No. 1.
2.
40
Judul Dari Kartini Hingga Ayu Utami: Memposisika Penulis Perempuan dalam Sejarah Sastra Indonesia40
Hasil Penelitian - Kartini seorang penulis sastra. - Tidak diakui oleh Indonesia bahwa dia penulis. - Bergelar Mendunia tokoh emansipasi wanita.
Kartini Pelopor Pluralisme
- Pemikiran Kartini berbeda dengan orang sezamannya. - Sadar toleransi agama.
Hal Terbaru - Penulis intelektual muda. - Diakui oleh Negara dengan adanya nota Kartini. - Mengorbitkan Kartini sebagai tokoh pendidikan feminisme. - Apa yang difikirkan Kartini berbeda dengan kehidupannya. Pendidikan perempuan khususnya.
Nur Hadi, Dari Kartini Hingga Ayu Utami: Memposisikan Penulis Perempuan Dalam Sejarah Sastra Indonesia, UNY: Jurnal Diksi FSB UNY, Edisi Juli 2007.
18
3.
Pendidikan Perempuan41
4.
Kartini dari Sisi Lain: Melacak Pemikiran Kartini tentang Emansipasi Bangsa.
-
Perempuan juga wajib menerima pendidikan.
.- Kartini tokoh beridiologi jawa menjiwai bangsanya.
- Pendidikan perempuan tidak terbatasi usia dan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. - Menjunjung harkat martabat perempuan dengan memperjuangkan pendidikan.
Selanjutnya, untuk menciptakan kemaslahatan bersama dalam kehidupan sebuah masyarakat, perlu kiranya upaya untuk membangun sebuah kesadaran bahwa perempuan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah masyarakat yang memiliki hak, kewajiban, serta kedudukan yang setara dengan laki-laki.42 Oleh karena itu, perlu adanya kerja sama yang baik antara laki-laki dan perempuan, karena hubungan antara lakilaki
dan
perempuan
dalam
sebuah
keluarga
adalah
hubungan
komplementer, saling melengkapi. 2. Kerangka Teoritis Isu- isu mengenai kiprah perempuan di sektor publik tidak akan pernah hilang, selalu dibahas dan dipergunjingkan karena perempuan dilihat tidak seperti apa yang seharusnya dilihat dari sosok anak manusia, tetapi dilihat seperti apa yang dipersepsikan orang tentang perempuan,
41
42
Moh. Roqib, Pendidikan Perempuan, ... hlm. 91.
Amiroh Ambarwati, Perspektif Feminis dalam Novel Perempuan di Titik Nol dan Perempuan Berkalung Sorban, ... hlm. 30.
19
atau dengan alasan psikologis seperti perempuan itu perasa, lembut dan emosional dengan alasan biologis menyatakan bahwa ia adalah makhluk yang lemah dan berkarakter tubuh yang lembut. 43 Maka jadilah hubungan antara laki- laki dan perempuan direfleksikan dalam model hubungan antara pemimpin dan dipimpin, pendominan dan didominasi, dan antara dilayani dan melayani.44 Untuk mengatasi ini semua tentu diperlukan suatu paradigma baru mengenai otonomi individu yang tidak mengandung antagonisme, maka dari itu penulis mengangkat tokoh Kartini dengan sengaja menggali pemikiran karena menurut hemat penulis apa yang dipikirkan dan dirasakan beliau sangat mewakili perasaan dan pikiran para wanita Indonesia pada umumnya. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan teori feminis dan implikasinya dalam melihat bagaimana posisi kaum perempuan dalam pendidikan Islam. Teori Feminis merupakan suatu wilayah yang memberikan kontribusi penting dan orisinal terhadap pemikiran kontemporer, yang unik dalam teori feminisme adalah ketegasannya mengenai keterkaitan antara teori dan praktik dan antara publik dan privat. Teori dan pengalaman mempunyai hubungan khusus di dalam feminisme yang dikemas dalam slogan “the personal is poltical.”45
43 44 45
Moh Roqib, Pendidikan Perempuan, ... hlm. 4. Aida Vitayala S Hubbies, Pemberdayaan Perempuan dari Masa ke Masa, ... hlm. 70.
Maggie Humm, Dictionary of Feminist Theories, diterj. Mundi Rahayu, Ensiklopedia Feminisme, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2007), hlm. ix.
20
Istialah-istilah tertentu dalam teori-teori yang sudah ada digunakan untuk meringkas hal-hal yang dianggap sebagai pengalaman-pengalaman penting yang dialami oleh perempuan. Diantara berbagai pengalaman tersebut adalah kerja, keluarga, patriarki dan seksualitas. Konsep-konsep ini merefleksikan upaya-upaya feminis untuk mengungkap proses sosial yang mendasar sekaligus menemukan hal-hal yang terus-menerus muncul dalam perbincangan sejarah perempuan dengan berbagai topiknya.46 Tujuan pokok dari teori feminis adalah memahami penindasan perempuan secara ras, gender, kelas dan pilihan seksual, serta bagaimana mengubahnya. Teori feminis mengungkapkan nilai penting individu perempuan beserta pengalaman yang dialami bersama dan perjuangan yang mereka lakukan. Teori feminis menganalisa bagaimana perbedaan seksual dibangun di dalam setiap dunia dan intelektual serta bagaimana ia membuat penjelasan mengenai pengalaman dari berbagai perbedaan ini.47 Penelitian disini, penulis mencoba mendeskripsikan pendidikan feminis Kartini, kemudian menganalisis hasil penelitian pendidikan feminis Kartini dengan teori feminis-feminis yang sudah ada, yaitu: liberal, marxis, radikal dan sosialis. Feminisme liberal dijunjung tinggi, termasuk di dalamnya nilai otonomi, nilai persamaan dan nilai moral yang tidak boleh dipaksakan. Paham ini secara tegas ingin menolak superioritas laki-laki atas 46
Maggie Humm, Dictionary of Feminist Theories, diterj. Mundi Rahayu, Ensiklopedia Feminisme, ... hlm. ix. 47
Maggie Humm, Dictionary of Feminist Theories, diterj. Mundi Rahayu, Ensiklopedia Feminisme, ...
21
perempuan dengan jalan menghancurkan sistem patriarkal. Bahwa lakilaki dan perempuan harus membentuk suatu masyarakat baru yang harmonis berdasarkan atas azaz kesetaraan.48 Feminisme Marxis ini merupakan reaksi terhadap faham feminisme liberal.49
Sedang
feminisme
radikal
memiliki
tujuan
untuk
menghancurkan patriarki sebagai sebuah sistem nilai yang melembaga di dalam masyarakat.50 dan feminisme sosialis termasuk sisntesis antara feminisme marxis dan feminisme radikal.51 Teori-teori feminis tersebut dikolaborasikan dengan pemikiran Kartini, apakah ada kesesuaian dengan pendidikan feminis Kartini dengan feminisme ke empat tersebut?, atau salah satu diantara empat, atau Kartini mempunyai teori feminis lain? yang nanti akan dijelaskan pada bab 2 teori feminis dan bab 4 tentang analisis hasil penelitian. Adapun landasan teori-teori feminis yang ditawarkan, penelitian ini berupaya mensinergikan antara teori dan praktik yang diselaraskan dengan pendidikan Islam. Pendidikan Islam disini menekankan adanya suatu perubahan perilaku manusia yang disesuaikan dengan al-qur’an dan hadits. Sedang dalam pendidikan Islam lingkup formal, seorang guru dituntut untuk dapat mengaplikasikan kurikulum berbasis gender dengan tanpa membeda-bedakan laki-laki dan perempuan.
48
Mochammad Nor Ichwan, Membincang Persoalan Gender, (Semarang: RaSAIL Media Group, 2013), hlm. 14 49
Mochammad Nor Ichwan, Membincang Persoalan Gender, ... hlm. 16.
50
Mochammad Nor Ichwan, Membincang Persoalan Gender, ... hlm. 19.
51
Mochammad Nor Ichwan, Membincang Persoalan Gender, ... hlm. 20.
22
F. Metode Peneliltian Metode penelitian adalah cara yang akan ditempuh oleh peneliti untuk menjawab permasalahan penelitian atau rumusan masalah. Metode penelitian sering disebut dengan teknik-teknik penelitian, dimana di dalam teknik penelitian ini terdapat berbagai macam teknik yang harus sesuai dengan kerangka teoritis yang diasumsikan.52 Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut : 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Menurut peneliti, penelitian menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif53 dan jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian ini termasuk penelitian pustaka (Library Research) yaitu mengumpulkan data atau karya tulis ilmiah yang bertujuan dengan obyek penelitian atau pengumpulan data atau karya tulis ilmiah yang bertujuan dengan obyek penelitian atau pengumpulan data yang bersifat kepustakaan. Atau telaah yang dilaksanakan untuk memecahkan suatu masalah yang pada dasarnya tertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap bahan-bahan pustaka yang relevan.54 Yaitu dengan menganalisa tulisan-tulisan Kartini pada segi pemikiran kefeminisannya, dan berusahan mengkonsep pendidikan feminis Kartini.
52
Deddy Mulyana, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hlm.146. 53 54
Deddy Mulyana, Metode Penelitian Kualitatif, ... hlm. 156.
Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hlm. 61.
23
2. Sumber Data Sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah : a. Data primer Merupakan data yang diperoleh dari sumber pertama,55 yaitu buku-buku pokok dalam penelitian ini. Sumber data primer disini adalah yang
berasumsikan pada tulisan-tulisan R.A. Kartini yang
dibukukan dengan judul Door Duisternis tot Licht atau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yaitu Habis Gelap Terbitlah Terang56, Selain buku tersebut data primer dalam penelitian ini adalah jurnal dan buku lainnya yang berkaitan dengan Kartini, karya Pramoedya Ananta Toer: Panggil Aku Kartini Saja, Kartini Sebuah Biografi: Rujukan Figur Sebuah Pemimpin karya Sitisoemandari Soeroto dan Myrtha Soeroto, R.A. Kartini, dan jurnal ataupun majalah yang berisi tentang Kartini. b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua,57 yaitu buku-buku sebagai sumber data yang menunjang dalam penelitian ini. Penulis menggunakan pustaka dan literatur-literatur yang berhubungan dengan penelitian yaitu antara lain : Hasil disertasi Dr. Nasaruddin Umar yang berjudul Argumen Kesetaraan Jender. Membincang Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam karya
55
S. Eko Putro Widoyoko, Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian, Cet ke-2, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 22. 56
Diterjemahkan oleh Armijn Pane, Habis Gelap terbitlah terang: Kumpulan Surat R.A. Kartini yang diterbitkan oleh Narasi. 57
S. Eko Putro Widoyoko, Penyusunan Instrumen Penelitian, ... hlm. 23.
24
Mansour Fakih dkk, Buku Kodrat Perempuan dalam Islam karya Nasrudin Umar, Pendidikan Perempuan yang ditulis oleh Moh Roqib dari hasil reinkarnasi dua penelitian yaitu Pendidikan Perempuan; Dalam Perspektif Muhammad Athiyyah al-Abrasy dan Perempuan, Bahasa, dan Agama; Bahasa Arab dalam Perspektif Gender serta buku dan jurnal lainnya yang menunjang dalam penelitian. 3. Metode Pengumpulan Data Karena penelitian ini termasuk penelitian pustaka (Library Research) maka dalam metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode dokumentasi yaitu mencari dan menggali data dari bahan-bahan bacaan yang berkaitan dengan permasalahan.58 Setelah data terkumpul penulis kemudian mengklarifikasikan dan membaginya ke dalam beberapa bab dan sub bab sesuai dengan sifatnya, guna mempermudah dalam menjawab rumusan masalah. 4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang dipakai adalah dengan menggunakan metode Content Analisys (analisis isi), yaitu analisis terhadap makna yang terkandung dalam pemikiran Kartini tentang nilai-nilai pendidikan agama Islam, menganalisa dan memahami dari sebuah pendapat maupun sebuah buku, baik sebagian maupun keseluruhan untuk mengetahui, memahami dan menjelaskan isi dari sebuah buku tersebut. Surat-surat yang ada dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, dianalisis sesuai dengan isi yang 58
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT.Rineka Cipta, 2002), hlm. 135.
25
tersurat, kemudian diinterprtasikan sesuai pesan atau isinya. Disamping itu, analisis juga digunakan untuk membandingkan relevansi antara pendidikan feminismenya dengan isi surat-surat Kartini.
G. Sistematika Penulisan Adapun penulisan sistematika pembahasan dalam penelitian ini akan dibagi dalam lima bab dan masing-masing bab dicabangkan kepada beberapa sub-bab untuk mencapai pembahasan yang utuh dan sistematis. Bab pertama, merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua, dengan sub judul pendidikan feminis dan pendidikan Islam di Indonesia adalah sebagai landasan teori ilmiah yang berkaitan dengan pembahasan sebagai berikut, pengertian pendidikan feminis, sejarah feminis, macam-macam aliran feminisme, selain itu dalam bab ini juga digambarkan mengenai konteks historis pendidikan Islam di Indonesia sebelum merdeka dan pendidikan Islam setelah merdeka. Bab ketiga, adalah laporan hasil penelitian pendidikan feminis Kartini yang meliputi sejarah singkat Kartini dan pemikiran- pemikiran Kartini. Bab ini menguraikan bagaimana pandangan Kartini mengenai pendidikan perempuan. Bab ini akan dibagi sub-bab yang sekiranya menurut penulis dapat mewakili pandangan Kartini, meliputi biografi Kartini, pendidikan feminis Kartini, dan Kartini dengan Pendidikan Islam yang
26
meliputi pemahaman Kartini tentang Al-Qur’an, pentingnya moral bagi Kartini. Bab empat, dengan judul relevansi pendidikan feminis Kartini dengan pendidikan Islam di Indonesia adalah berisi analisa tentang pendidikan feminis Kartini dan relevansi pendidikan feminis Kartini dengan pendidikan Islam Bab lima, sebagai penutup. Bab ini terdiri dari kesimpulan yang berisikan jawaban atas rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini, serta beberapa saran dari penulis dalam kaitannya dengan penelitian ini.