BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Menurut definisi Badan Pusat Statistik mengenai ketenagakerjaan1, penduduk dibagi menjadi dua yaitu penduduk usia kerja dan penduduk bukan usia kerja. Kemudian, penduduk usia kerja masih dibedakan lagi menjadi dua kelompok berdasarkan kegiatan utama yang sedang dilakukan, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Penduduk yang termasuk angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja, dan pengangguran. Sedangkan penduduk yang termasuk bukan angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang masih bersekolah, mengurus rumah tangga atau melaksanakan kegiatan lainnya selain kegiatan pribadi2. Dari penjelasan tersebut mahasiswa bukan termasuk kategori angkatan kerja, karena statusnya sebagai pelajar. Sebagai pelajar kegiatan sehari-hari mahasiswa adalah kuliah. Kegiatan belajar mengajar di universitas tidak sama seperti di SMA yang rutin dari hari Senin sampai Sabtu, dan dari pagi sampai siang atau sore hari. Jadwal kuliah ditentukan berdasarkan mata kuliah, dan jumlah mata kuliah ditentukan oleh Satuan Kredit Semester (SKS) yang diambil, sehingga jadwal kuliah antara mahasiswa satu dengan yang lain berbeda.
1
Menggunakan konsep The Labor Force Concept yang disarankan oleh International Labor Organization (ILO) 2 Dikutip dari katalog BPS.2011.Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia
2
Jadwal kuliah yang “longgar” membuat mahasiswa memiliki banyak waktu luang untuk melakukan aktivitas lain. Sebagian mahasiswa menggunakan waktunya untuk mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di kampus, seperti Marching Band, Mapala, Lembaga Eksekutif Mahasiswa (LEM), dan lain sebagainya. Sedangkan sebagian lagi menggunakan waktunya untuk aktivitas lain, salah satunya bekerja sambilan. Fenomena inilah yang membuat penulis tertarik untuk melihat lebih dalam tentang mahasiswa yang bekerja. Berikut pengalaman penulis berkaitan dengan mahasiswa yang bekerja. Pada hari itu saya selesai kuliah jam satu siang. Karena setelah kuliah tidak ada kegiatan maka saya berfikir untuk langsung pulang. Tapi di tempat parkir saya bertemu dengan teman sewaktu SMA. Oleh karena sudah lama tidak bertemu kami sempat mengobrol, kemudian dia mengajak saya untuk makan. Ajakan tersebut langsung saya terima mengingat saya juga lapar belum makan siang. Lalu kami pergi ke daerah Seturan, sekitar dua kilometer dari kampus. Dan akhirnya kami memilih warung mie Jepang yang bernama Nikkou Ramen. Nikkou Ramen tempatnya cukup kecil untuk tempat makan, sekitar tiga kali empat meter persegi. Ketika masuk, kami disapa oleh seorang pelayan. Saya terkejut ternyata pelayan itu adalah sepupu saya yang bernama Vita. Dia adalah anak dari pakde, tapi dari keluarga ibu. Kami sama–sama kuliah semester dua, namun berbeda Universitas. Karena baru pertama kali datang, kami belum paham jenis makanan yang tersedia di sana. Beruntung Vita memberi rekomendasi sehingga kami tidak bingung memilih menu.
3
Ketika makan saya memperhatikan Vita yang mondar–mandir melayani pelanggan, pindah dari meja satu ke meja yang lain. Timbul pertanyaan dalam hati saya, untuk apa dia bekerja dan bagaimana dengan kuliahnya? Saya perhatikan pegawai lain juga terlihat masih seumuran dengannya, apakah mereka juga anak kuliahan? Namun hal itu tidak saya tanyakan, karena saat itu ia sedang sibuk bekerja. Barulah malam harinya saya bertanya lewat pesan singkat. “Udah hampir dua minggu Bay. Ya cuma buat cari pengalaman aja kuk, pengen merasakan susahnya cari uang. Hehehe .....” (Vita) Kutipan tersebut merupakan sepenggal dari pesan singkat yang dikirim oleh Vita. Ia mengatakan jika hanya bekerja ketika tidak ada jadwal kuliah. Sedangkan Vita bekerja di Nikkou Ramen karena diajak oleh temannya yang juga bekerja di sana. Benar apa yang pernah saya pikirkan sebelumnya, sebagian teman kerja Vita masih kuliah. Namun ada juga yang lulus SMA dan bekerja di situ. Selain di tempat makan, ada mahasiswa yang bekerja di tempat nongkrong seperti cafe. Ketika itu saya dan beberapa teman pergi ke salah satu cafe yang ada di Kotabaru. Cafe tersebut setiap malam selalu ramai pengunjung. Rata–rata pengunjung yang datang adalah anak muda, termasuk mahasiswa. Biasanya mahasiswa datang ke cafe dengan tujuan mengerjakan tugas kuliah, diskusi, atau sekedar nongkrong bersama teman-teman seperti yang saya lakukan pada malam itu. Ketika seorang pelayan datang untuk mengantarkan pesanan saya iseng bertanya kepadanya,”Mas, masnya mahasiswa ya?” Pelayan itu agak terkejut dengan pertanyaan yang saya ucapkan, tapi ia menjawab jika ia memang
4
mahasiswa yang bekerja di cafe itu. Sebut saja Danu (bukan nama sebenarnya), seorang mahasiswa jurusan Ekonomi dari salah satu Universitas swasta di Yogyakarta. Danu mengatakan jika beberapa pelayan yang bekerja di cafe tersebut masih berstatus mahasiswa. Selain cafe di Kotabaru, saya juga mengunjungi sejumlah cafe yang ada di Yogyakarta. Hasilnya, beberapa dari cafe tersebut ada pelayan yang masih berstatus mahasiswa. Jika dilihat dari dua kejadian di atas, tempat makan mempunyai andil terhadap fenomena mahasiswa yang bekerja. Tempat makan yang membuka lowongan pekerjaan dengan kriteria sehingga bisa dimasuki oleh . Hal tersebut secara tidak langsung membuat mahasiswa mempunyai peluang untuk bekerja. Pada tahun 2010 jumlah mahasiswa baru di Yogyakarta sekitar 58.000 orang3. Angka tersebut belum termasuk mahasiswa lama yang masih aktif kuliah. Jumlah mahasiswa yang cukup banyak menjadi relevan jika tempat makan ingin mengambil pekerja dari kalangan mahasiswa. Kondisi ini juga dipengaruhi oleh daya tarik Yogyakarta sendiri. Yogyakarta memiliki sebutan kota pelajar. Hal ini karena banyak pelajar termasuk mahasiswa yang menuntut ilmu. Jumlah universitas di Yogyakarta cukup banyak, baik itu universitas negeri maupun universitas swasta. Beberapa diantaranya merupakan universitas terkenal di Indonesia, sehingga menarik minat banyak orang untuk datang dan kuliah di Yogyakarta. Orang yang datang bukan berasal dari Yogyakarta saja, namun berasal dari luar daerah. Bahkan sebagian mahasiswa ada yang berasal dari luar negeri. Bagi mahasiswa yang rindu dengan masakan daerah asalnya maka tidak perlu khawatir, karena di Yogyakarta banyak 3
Data Kementrian Pendidikan Nasional tahun 2010
5
kuliner khas dari berbagai daerah, seperti masakan Padang, soto Betawi, dan lain sebagainya. Tidak hanya kuliner dari Nusantara, beberapa masakan dari luar negeri pun banyak tersedia di Yogyakarta. Hal ini membuat sektor kuliner di Yogyakarta cukup berkembang. Perkembangan sektor kuliner terutama tempat makan juga memberi dampak pada angkatan kerja yang ada. Di Yogyakarta, selama beberapa tahun terakhir sektor jasa yang menyerap pekerjaan adalah sektor perdagangan, perhotelan, dan rumah makan (Effendi,1993:69). Banyaknya rumah makan di Yogyakarta berarti banyak pula pegawai yang dibutuhkan. Pada tahun 2012 jumlah lapangan kerja dalam bidang restauran, cafe, tempat makan lainnya sekitar 1.259.0004. Menariknya, pegawai rumah makan tidak semua berasal dari angkatan kerja, artinya sudah lulus sekolah atau tidak lagi tercatat sebagai pelajar. Hal ini karena sebagian tempat makan membuka lowongan pekerjaan kepada pelajar termasuk mahasiswa, sehingga mahasiswa mempunyai peluang untuk bekerja di rumah makan. Setiap mahasiswa yang memutuskan untuk bekerja masing-masing memiliki alasan yang berbeda. Seperti faktor ekonomi, mereka membutuhkan uang lebih untuk memenuhi kebutuhannya. Akan tetapi terlalu cepat jika kita berasumsi bahwa faktor ekonomi merupakan satu-satunya alasan yang membuat mahasiswa memiliki keinginan untuk bekerja. Ada kemungkinan mahasiswa memiliki alasan tertentu memilih pelayan rumah makan sebagai kerja sambilan, misalnya ingin hidup mandiri dan menambah pengalaman.
4
BPS.2012.Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka
6
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan bekerja, karena dengan bekerja kita dapat memenuhi kebutuhan dan mendapatkan sesuatu yang diinginkan. Akan tetapi menjadi kurang wajar ketika orang yang bekerja masih berstatus sebagai pelajar seperti mahasiswa. Kita tahu tugas utama mahasiswa adalah kuliah, dan bekerja akan dijalani mereka ketika sudah lulus nanti. Secara tidak langsung mahasiswa yang bekerja berarti juga tidak sejalan dengan definisi BPS (lihat halaman 1) yang sudah dipaparkan sebelumnya. Namun hal inilah yang membuat fenomena ini menjadi menarik untuk dipelajari lebih lanjut. Mahasiswa yang bekerja artinya mempunyai dua sisi kehidupan yang berbeda. Pertama sebagai mahasiswa mereka melaksanakan tugas utama yaitu kuliah, akan tetapi mereka juga memiliki aktivitas lain yaitu bekerja. Menjalani dua profesi sekaligus tentu saja tidaklah mudah, akan muncul permasalahan yang timbul sehubungan dengan pekerjaan yang dipilihnya. Melalui tulisan ini kita akan melihat alasan mereka bekerja dan bagaimana cara mereka mengatasi masalah yang muncul berkaitan dengan aktivitas kuliah dan bekerja. B. RUMUSAN MASALAH Pada saat ini aktivitas mahasiswa tidak semata-mata dipenuhi dengan kegiatan akademik saja. Sebagian mahasiswa memiliki aktivitas yang tidak berhubungan dengan kegiatan akademik, salah satunya bekerja. Banyak alasan yang mendorong mahasiswa untuk bekerja, misalnya faktor ekonomi, sosial, dan kemandirian. Tersedianya lowongan pekerjaan bagi mahasiswa seperti pelayan rumah makan membuat peluang untuk bekerja semakin terbuka lebar.
7
Salah satu topik menarik dari fenomena mahasiswa yang bekerja yaitu mengenai waktu. Kita tahu bahwa profesi sebagai pelayan bukanlah pekerjaan yang waktu kerjanya sebentar, misalnya dua atau tiga jam. Waktu kerja pelayan pada umumnya sama dengan jam buka rumah makan. Jika dalam seminggu mahasiswa bekerja berkali-kali lalu bagaimana dengan kuliah yang sedang di jalani. Bisa jadi pekerjaan tersebut justru akan mendatangkan masalah bagi mahasiswa. Berdasarkan uraian di atas penelitian ini akan mencoba menjawab pertanyaan sebagai berikut: 1. Mengapa mahasiswa bekerja sebagai pelayan di rumah makan? 2. Bagaimana mereka membagi waktu antara kegiatan kerja dan kuliah? 3. Bagaimana mereka memaknai status sebagai mahasiswa yang bekerja? C. TUJUAN PENELITIAN Masyarakat pada umumnya melakukan aktivitas kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Akan tetapi bekerja tidak seharusnya dilakukan oleh mereka yang masih memiliki status sebagai seorang pelajar. Secara garis besar penelitian ini berusaha untuk menjelaskan fenomena mahasiswa yang bekerja. Dari fenomena tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan mahasiswi bekerja di rumah makan. Selanjutnya bagaimana mereka membagi waktu antara kegiatan kerja dan kuliah. Serta bagaimana mereka memaknai status sebagai mahasiswa yang bekerja
8
D. KERANGKA PEMIKIRAN Mahasiswa menurut definisi Mahayana (1999:12) merupakan sebagian dari masyarakat yang sedang menuntut ilmu di perguruan tinggi dan sedang atau akan menyelesaikan studinya sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh universitas. Lebih lanjut Sarwono (dalam Hermawati, 2006:8) mengatakan bahwa mahasiswa masih termasuk golongan remaja tingkat akhir, yang umurnya antara 19 sampai 24 tahun. Artinya pada masa tersebut seorang mahasiswa masih mencari jati diri dan mengembangkan kemampuannya, namun dalam tahap yang lebih dewasa. Mahasiswa yang tetap melakukan tugas utama (seperti kuliah, praktikum, dan aktivitas kuliah lainnya) dianggap sebagai mahasiswa yang tidak berorientasi terhadap
kemajuan
(Julianti,
2010:97).
Dalam
perkuliahan
mahasiswa
mendapatkan pengetahuan yang bersifat akademik, tetapi pengalaman di luar tersebut tidak didapatkan, sehingga ada bagian yang kosong. Untuk melengkapi bagian yang kosong bekerja menjadi alat untuk meningkatkan kemampuan dan kompetensi diri (Munandar, 1985:47). Mahasiswa dalam dinamika sosial memiliki keterikatan yang kuat dan tidak mudah dipisahkan dalam masyarakat. Mahasiswa sebagai salah satu bagian dari masyarakat segala tindakan yang dilakukannya masih dalam pengawasan. Masyarakat mengetahui bahwa aktivitas mahasiswa sebagai pelajar hanyalah belajar. Namun mahasiswa juga mempunyai kapasitas untuk mengambil sebuah keputusan (Sumantri, 1985: 381-384). Salah satunya adalah keputusan mereka untuk bekerja.
9
Bermana (1996:12) mengatakan bekerja adalah suatu bentuk kegiatan yang dapat diterima masyarakat, serta dilakukan untuk memenuhi kebutuhan riil bagi individu yang melakukannya. Fungsi kerja bagi manusia yaitu berproduksi, mencipta, mendapatkan penghargaan serta memperoleh penghasilan. Mahasiswa dalam rangka mengembangkan jati dirinya tidak hanya diperoleh dari aktivitas di kampus saja, namun kegiatan di luar kampus juga mempunyai peran yang penting, dan bekerja adalah salah satunya. Menurut Martoyo5 (1996:155) ada beberapa faktor yang mempengaruhi seseorang untuk bekerja, yaitu kondisi sebelum bekerja, upah (gaji), peraturan kerja, rekan, atasan, fasilitas, serta jenis pekerjaan dan tantangan. Lebih lanjut Maslow (dalam Mahayana, 1999:17) berpendapat jika bekerja secara psikologi dikaitkan pula dengan kebutuhan untuk hidup mandiri, kebutuhan untuk berprestasi, dan kebutuhan untuk bersosialisasi. Hidup mandiri artinya dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Contohnya mahasiswa dalam mengalokasikan gaji juga mewujudkan sebuah kemandirian. Gaji yang diterima digunakan secara bijaksana akan melatih mahasiswa dalam manajemen keuangan. Prestasi tidak hanya dilihat dari seberapa tinggi Indeks Prestasi Komulatif (IPK) yang didapat oleh mahasiswa, namun banyak faktor pendukung atas keberhasilan tersebut. Mahasiswa umumnya mencari pekerjaan yang tidak terlalu mengikat, contohnya kerja part-time atau dapat disebut kerja sambilan. Kerja sambilan adalah mereka yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu), tetapi tidak mencari pekerjaan atau tidak bersedia menerima pekerjaan
5
Dalam buku Managemen Sumber Daya Manusia
10
lain (dahulu disebut setengah pengangguran sukarela)6. Hanya kerja sambilan inilah yang paling memungkinkan dan mudah untuk dimasuki. Pekerjaan formal seperti pegawai tetap kurang cocok bagi mahasiswa, mengingat mereka masih mempunyai tanggung jawab utama yaitu kuliah. Bidang formal biasanya juga menyertakan syarat-syarat umum, seperti harus berijazah S1. Selain itu pekerjaan formal biasanya memiliki hari kerja dari Senin sampai Jumat. Karena itu kerja sambilan merupakan solusi bagi mahasiswa yang ingin bekerja namun tidak terbelenggu dengan aturan yang ada pada sektor formal. Pekerjaan sambilan yang umumnya dipilih oleh mahasiswa adalah penjaga warnet, menjadi guru les, pelayan rumah makan dan cafe, serta pekerjaan lepas lainnya. Meskipun banyak yang beranggapan bahwa kerja sambilan merupakan pekerjaan “nomor dua” namun pada kenyataannya sektor ini tetaplah efisien dan menguntung, terutama bagi mahasiswa (Manning dan Effendi, 1985:141). Pekerjaan sambilan seperti yang disebutkan di atas cukup banyak ditemukan di Yogyakarta. Salah satu kerja sambilan yang dipilih oleh mahasiswa adalah bekerja menjadi seorang pelayan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia7, pelayan atau pramusaji adalah orang yang melayani pesanan makanan dan minuman sesuai dengan permintaan. Sedangkan Sugiarto (1998) menambahkan, definisi pelayan ialah karyawan restoran/tempat makan yang mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melayani kebutuhan makanan dan minuman bagi para pelanggan
6 7
Menurut Badan Pusat Statistik Edisi ketiga tahun 2005
11
secara profesional8. Sedangkan ditinjau dari istilahnya maka pelayan berarti orang yang bertugas atau bekerja di dalam bidang penyajian, dalam hal ini makanan dan minuman atau setidak-tidaknya menyampaikan hidangan pada seseorang. Bekerja sebagai pelayan rumah makan menjadi pilihan mahasiswa karena pekerjaan ini tidak membutuhkan modal sama sekali, sehingga tidak ada resiko untuk mengalami kerugian secara materi. Di Nikkou Ramen, pekerjaan sebagai pelayan disebut kyuji9. Menurut Mahayana (1999:20) bekerja menjadi seorang pelayan rumah makan tidak didasarkan pada tingkat pendidikan seseorang. Siapapun dapat bekerja menjadi pelayan, karena pekerjaan ini kemauan dari individu itu sendiri. Untuk melakukannya hanya dibutuhkan proses belajar, adaptasi, dan improvisasi diri. Pengalaman semacam ini tidak didapat dalam bangku kuliah. Untuk mendapatkan pengalaman kerja, harus bersentuhan dengan kerja itu sendiri. Bekerja sebagai pelayan membuat mahasiswa berinteraksi langsung dengan orang lain. Dengan demikian, bekerja juga membantu mahasiswa dalam bersosialisasi dengan orang lain di luar kampus. Pekerjaan mahasiswa sebagai pelayan membuat mereka harus dapat membagi waktu, antara kuliah dan bekerja. Konsep mengenai “waktu” sulit didefinisikan secara universal, dan telah lama menjadi perenungan bagi para ahli filsafat maupun para ahli ilmu sosial10. Namun, para ahli sepakat jika waktu dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu waktu luang dan bukan waktu luang11. Dalam
8
Dalam buku Pengantar Akomodasi dan Restoran Kata kerja dalam bahasa Jepang yang berarti pelayan atau pesuruh 10 Dalam buku Sikap Menghargai Waktu di Kalangan Pelajar dan Mahasiswa di Kota Jakarta 11 ibid 9
12
hal ini yang akan kita bahas adalah waktu luang. Darlega dan Louis H. Janda (1981:441)12 menjelaskan waktu luang dengan perspektif pemisahan waktu, (discretionary time) bahwa waktu luang merupakan waktu yang tersisa apabila kebutuhan dasar (baca: kuliah) sudah terpenuhi. Waktu yang tidak digunakan untuk aktivitas akademik dapat dialokasikan untuk kegiatan lain. Selanjutnya alokasi waktu menurut Satriyati (2000:22) dipandang sebagai suatu proses dalam mengelola dan mengatur waktu dari beberapa banyak kegiatan yang dilakukan serta kapan waktu yang tepat untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut. Setiap kegiatan yang dilakukan oleh manusia juga memiliki makna yang terkandung didalamnya, termasuk pekerjaan sebagai kyuji. Hal ini karena sikap dan tingkah laku manusia beraneka ragam, dan masing-masing mempunyai makna tersendiri (Satriyati, 2000:30). Misalnya ada seorang teman yang tertawa dengan kehadiran kita, maka dapat dilihat makna dari kejadian tersebut. Apakah dia menertawai kita atau mengajak kita tertawa. Manusia merupakan makhluk yang dapat memberikan makna kepada sesuatu. Sesuatu yang sebelumnya bukan apa – apa ketika diberi makna lantas menjadi simbol yang mempunyai arti (Ahimsa:2008). Sama seperti profesi sebagai kyuji, merupakan suatu pilihan yang mengandung makna bagi pelakunya. Lebih lanjut simbol merupakan objek atau peristiwa yang menunjuk pada sesuatu. Simbol dapat menjelaskan fenomena sosial budaya yang ada di masyarakat (Spradley, 2007:134). Fenomena tersebut dapat dipahami melalui berbagai interaksi sosial antar individu, dari sanalah kemudian kita bisa memberikan makna yang terkandung di dalamnya (Ahimsa dalam Hendra, 12
ibid
13
2012:27-28). Selain itu makna juga berkaitan dengan pembicaraan, pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi, serta perilaku manusia atau kelompok (Kridalaksana, 2001:1993). Dalam hal ini rumah makan tempat mahasiswa bekerja dengan segala bentuk, aturan, dan sekelompok manusia yang ada di dalamnya, merupakan elemen penting yang mendukung dalam proses pemaknaan. Peran dan status memiliki hubungan yang saling terkait. Status merupakan kedudukan yang mempunyai hak dan kewajiban, dan peran kedua unsur ini haruslah seimbang (Ross,1963:182). Mahasiswi yang kuliah namun juga bekerja, artinya mempunyai dua status dan peran yang berbeda. Sebagai mahasiswi tetaplah mempunyai tanggung jawab utama untuk menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi. Menjadi pelayan adalah salah satu sarana yang dipakai untuk mengembangkan diri, menuju pribadi yang mandiri. Seseorang dikatakan mandiri apabila ia tidak banyak diintervensi atau dicampuri oleh pihak lain dalam suatu hal atau urusan (Ismandari, 1988:111).
E. METODE PENELITIAN E.1. Lokasi Penelitian Di Yogyakarta banyak tempat makan yang mempekerjakan mahasiswa sebagai pelayan. Untuk memudahkan proses observasi dan analisis, penulis mefokuskan penelitian pada salah satu tempat makan yaitu Nikkou Ramen. Rumah makan tersebut setiap hari ramai dikunjungi dan mayoritas pengunjungnya adalah anak muda seperti mahasiswa dan pelajar SMA. Nikkou Ramen juga
14
mempekerjakan mahasiswa sebagai pelayan, sehingga tempat ini cocok sebagai lokasi penelitian. Lokasi penelitian terbagi menjadi dua tempat. Pertama penelitian dilakukan di Nikkou Ramen, yang beralamat di jalan AM Sangaji no 46, Monjali, Sleman, Yogyakarta dan di Kledokan, Seturan, Yogyakarta. Tempat tersebut buka jam 10 pagi sampai 7 malam, dari hari Selasa sampai Minggu. Penelitian di tempat kerja lebih fokus kepada pengamatan dan observasi partisipan. Sedangkan proses wawancara dilakukan di berbagai tempat sesuai dengan kehendak informan, dapat dilakukan di rumah, kost, maupun tempat yang sudah disepakati. E.2. Pemilihan Informan Sebuah penelitian akan lengkap jika di dalamnya hadir seorang informan. Menurut James P.Spradley (2006) informan adalah orang atau subjek yang memberikan informasi sesuai dengan dibutuhkan, selain itu dengan sukarela memberitahu aktifitasnya sehari-hari. Informan inilah data utama dari sebuah penelitian dapat valid. Oleh karena itu kehadiran informan dalam suatu penelitian sangat diperlukan. Informan adalah mahasiswa yang sedang aktif kuliah di Yogyakarta. Mahasiswa yang bekerja sebagai pelayan di Nikkou Ramen umumnya hanya bekerja dua sampai empat kali dalam seminggu, oleh karena itu penulis memilih informan yang sudah bekerja lebih dari tiga bulan. Dimaksudkan agar mahasiswa paham tentang seluk beluk pekerjaan dan memiliki banyak pengalaman, sehingga diharapkan informasi dan data yang diperoleh lebih mendalam. Informan berdomisili di Yogyakarta, baik itu tinggal bersama orang tua maupun kost. Di
15
Nikkou Ramen pekerjaan kyuji lebih banyak dilakukan oleh perempuan, sedangkan laki-laki lebih banyak bekerja di dapur. Oleh karena itu penulis memilih informan perempuan yang dirasa sesuai dengan tema penelitian yang membahas pelayan rumah makan. Dari beberapa kategori tersebut, kemudian diambil tiga mahasiswi sebagai informan utama (primer). Selain itu melibatkan informan lain seperti pemilik Nikkou Ramen, orangtua informan, serta teman kuliah sebagai pendukung. E.3. Metode Pengumpulan Data Metode yang dipakai dalam penelitian adalah metode kualitatif. Menurut Julia Branden dalam buku Metode Penelitian (Sumarno : 1996) metode kualitatif merupakan penelitian yang menyisihkan variabel–variabel yang biasanya terdapat pada metode kuantitatif. Metode dilakukan dengan mengamati subjek secara langsung. Peneliti menggunakan diri mereka sebagai salah satu instrumen, mengikuti asumsi–asumsi kultural dan mengikuti data. Metode ini akan dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan observasi partisipan. Wawancara yaitu usaha mengumpulkan data dengan cara memberikan sejumlah pertanyaan secara lisan, untuk dijawab secara lisan. Metode ini merupakan salah satu metode primer untuk mengumpulkan data. Dengan metode ini kita dapat mengetahui tanggapan, pendapat, keyakinan, perasaan, motivasi, dan cita-cita orang secara langsung. Sedangkan menurut Nawawi (2007:110) observasi partisipan merupakan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti dengan ikut menjadi bagian dalam kehidupan orang yang akan diteliti dan melakukan aktivitas yang sama.
16
Di Nikkou Ramen, penulis melakukan observasi partisipan pada bulan Januari sampai Mei 2013. Rata-rata penulis bekerja sebanyak dua sampai tiga kali dalam seminggu. Selama itu penulis tidak selalu bekerja sebagai kyuji, terkadang penulis bekerja sebagai kasir atau koki dapur. Sebelum itu, penulis pernah bekerja di Nikkou Ramen pada bulan Juli dan Agustus tahun 2010. Pada tahun itu penulis bekerja hampir setiap hari, karena sedang liburan semester. Dari tahun 2010 penulis juga beberapa kali bekerja freelance di Nikkou Ramen, yaitu bekerja ketika dihubungi oleh pegawai maupun pemilik Nikkou Ramen.