BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki 13.487 pulau besar dan kecil. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) posisi Indonesia terletak pada koordinat 6°LU - 11°08'LS dan dari 95°'BT - 141°45'BT dimana terletak menyebar di sekitar garis khatulistiwa, sehingga Indonesia dinyatakan sebagai salah satu negara beriklim tropis basah di dunia. Menurut Tri Harso Karyono dalam majalah Desain!Arsitektur (2000), iklim tropis memiliki ciri-ciri problematik seperti hujan deras, terik radiasi matahari, suhu udara yang relatif tinggi, kelembapan yang tinggi, ataupun kecepatan angin yang relatif rendah. Untuk itu akan sangat baik apabila setiap langkah kegiatan khususnya pembangunan, disesuaikan dengan keadaan iklimnya. Tetapi pada kenyataannya sangatlah berbeda. Langkah pembangunan khususnya di Jakarta banyak sekali yang tidak sesuai dengan iklim tropis. Akibatnya selain memberikan rasa ketidak nyamanan bagi masyarakat yang tinggal di dalamnya, hal ini juga mengakibatkan kerusakan pada lingkungan di sekitar, sehingga dibutuhkan adanya konsep berkelanjutan dalam pembangunan sebagai solusi dari permasalahan tersebut. Dalam konteks ini, Sustainable Housing menjadi topik yang cocok dalam perancangan tugas akhir.
1
2
Gambar 1.1. Prosentase respon & involvement green building Sumber: FuturArc (2008)
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa di Indonesia, permintaan akan adanya bangunan yang berkelanjutan cukup tinggi, tetapi justru pelaksanaan pembangunannya masih sangat rendah. Dalam melakukan perancangan bangunan berkelanjutan, selain perlu memperhatikan kualitas lingkungan di dalam gedung, bahan-bahan dan pemakaian sumber lain, efisiensi pemakaian air dan keberlangsungan penggunaan lahan, efisiensi energi juga harus menjadi salah satu perhatian utama (U.S. Green Building Council, LEED Rating Systems. 2010). Hal ini dikarenakan pembangunan berkelanjutan serta efisiensi energi saling terkait satu dengan yang lain.
Gambar 1.2. Energi untuk Pembangunan Berkelanjutan Sumber: Agung Wicaksono (2013)
Dalam forum diskusi ahli dengan tema “Energi dalam Pembangunan Berkelanjutan” (2013), Agung Wicaksono dari UKP4 menjelaskan bahwa
3 energi dan pembangunan berkelanjutan saling terkait satu dengan yang lainnya. Energi sangat dibutuhkan dalam pembangunan tetapi kelangkaan akan adanya sumber energi dapat menghambat proses tersebut. Untuk itu diperlukan adanya konsep lingkungan berkelanjutan yang menerapkan sistem efisiensi energi, sehingga pembangunan dapat terus berlanjut. Dengan adanya hal ini, energi pun ditempatkan sebagai prioritas nasional untuk pembangunan berkelanjutan dari periode 2009-2014 serta pasca-2015.
Gambar 1.3. Komposisi penggunaan energi menurut sektor kegiatan Sumber: Krishan, Arvin dkk (2001)
Pada gambar di atas terlihat jelas bahwa penggunaan energi yang paling besar terdapat pada penggunaan listrik. Listrik dibutuhkan sebagai energi untuk pencahayaan buatan, pendingin, serta pemanas ruangan. Jakarta merupakan salah satu wilayah yang menggunakan energi, salah satunya energi listrik secara berlebihan, khususnya pada sektor hunian atau tempat tinggal. Menurut data statistik PLN pada tahun 2011, energi yang diproduksi di pulau Jawa adalah sebanyak 106.608,24 GWh. Tetapi permintaan masyarakat akan listrik ternyata lebih tinggi dari energi yang telah diproduksi, yaitu sebesar 139.082,35 GWh. Untuk dapat memenuhi permintaan masyarakat, PLN harus membeli listrik sebesar 32.474,11 GWh atau sebanyak 23,35% dari permintaan. Hal ini membuktikan bahwa di Jawa, kebutuhan akan listrik sudah
4 mulai tidak terpenuhi, sehingga diperlukan adanya suatu perancangan yang dapat meminimalisir penggunaan energi khususnya listrik. Meivirina Hanum dan Chairul Murod (2011) menyatakan bahwa ternyata konsumsi energi paling besar pada suatu bangunan digunakan untuk pencahayaan dan penghawaan, yaitu sekitar 60% dari total energi. Banyak sekali bangunan yang didesain dengan bukaan tanpa memikirkan radiasi matahari masuk sehingga suhu ruangan meningkat. Hal ini dikarenakan sinar matahari juga membawa radiasi panas, sehingga solusi yang digunakan adalah digunakannya AC atau teknologi pendingin ruangan lainnya. Penggunaan teknologi ini lah yang membuat konsumsi energi listrik menjadi sangat besar. Sinar matahari memang dapat digunakan untuk pencahayaan alami, tetapi yang dibutuhkan hanya cahayanya saja sedangkan radiasi panasnya tidak. Untuk meresponi hal tersebut, dibutuhkan desain bangunan yang dapat memberikan pencahayaan alami dan mereduksi atau mencegah masuknya radiasi panas matahari sehingga ruangan tetap terang dan suhu di dalamnya terkontrol. Dengan begitu penggunaan energi listrik, terutama untuk teknologi pendingin ruangan pun dapat terkontrol. Salah satu solusi desain dalam meresponi permasalahan tersebut dapat menggunakan penerapkan sistem balkon. Gon Kim, Wonwoo Kim, dan Jeong Tai Kim (2009) dalam penelitiannya menyatakan bahwa balkon selain berfungsi sebagai ruang atau area terbuka juga dapat bekerja sebagai penahan sinar matahari secara langsung untuk area atau lantai di bawahnya. Tanpa adanya balkon, maka sinar matahari masuk tanpa adanya penghalang, sehingga menciptakan ketidaknyamanan dan tidak baik untuk kesehatan. Selain itu dengan adanya balkon, maka penggunaan energi terutama listrik menjadi lebih
5 efisien. Menurut Rasantika M. Seta terdapat 8 fungsi balkon, yaitu sebagai perluasan ruang, memperlebar pandangan, penegas level lantai, elemen percantikan, menambah tinggi nilai desain, menjadi ungkapan selera, mereduksi dampak iklim, dan sebagai penanda. Dengan adanya fungsi-fungsi tersebut, balkon pun dinilai lebih baik dari kanopi biasa yang hanya berfungsi sebagai penahan radiasi matahari. Salah satu obyek desain yang membutuhkan pengaplikasian balkon pada bangunannya adalah hunian vertikal atau apartemen. Menurut
buku
Apartments:Their Design and Development (1967 : 6), apartemen sebagai tempat tinggal harus bisa memberikan rasa relaks bagi penghuninya setelah aktivitas bekerja. Pemandangan area luar dapat menjadi salah satu sarana atau cara untuk melepas lelah dan memberikan rasa relaks. Agar dapat mengoptimalkan sudut pandang penghuni dalam menikmati pemandangan, maka dibutuhkan balkon sebagai penghubung area dalam dan luar pada apartemen. Pada beberapa apartemen, balkon juga dibutuhkan sebagai area untuk meletakan outdoor AC pada unit. Berdasarkan pernyataan di atas maka apartemen menjadi pilihan yang baik sebagai obyek desain pada perancangan tugas akhir ini. Pemilihan obyek desain hunian vertikal atau apartemen ini juga didasari oleh tingginya kebutuhan akan tempat tinggal di Jakarta. Seluruh kegiatan atau aktivitas terutama sektor perekonomian di Indonesia, berpusat di Jakarta. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) yang mencatat bahwa ternyata 70% perputaran uang di Indonesia terdapat di wilayah DKI Jakarta. Hal ini menyebabkan banyak sekali masyarakat Indonesia, baik dari dalam maupun dari luar Jakarta mencari pekerjaan dan sumber penghasilan di Jakarta.
6 Menurut data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) DKI Jakarta, pada tahun 2010, banyaknya pendatang baru mencapai 59.215 orang, pada tahun 2011 angka pendatang mencapai 51.875 orang. Untuk tahun 2012, diperkirakan banyaknya pendatang baru 2012 mencapai 46.155 orang. Banyaknya pendatang baru serta kepadatan penduduk di Jakarta mengakibatkan kebutuhan akan adanya tempat tinggal semakin meningkat, tetapi lahan yang dapat dibangun semakin sedikit yang mengakibatkan harga lahan per m2 semakin mahal. Menurut ketua DPP, Rei Setyo Maharso (2013), pemerintah pusat maupun daerah perlu kembali serius menata pola pembangunan kawasan dengan meningkatkan kualitasnya melalui land consolidation dengan konsep vertical housing, terutama untuk kota-kota besar seperti di Jakarta. Hal ini juga ditambahkan dengan pernyataan Komisaris Utama PT Pardika Wisthi Sarana, Emil Arifin (2013) bahwa kebutuhan akan adanya tempat tinggal di Jakarta adalah sebesar 800 ribu unit, sedangkan yang terpenuhi baru 300 ribu unit. Untuk membangun hunian berbasis tanah pun sudah tidak memungkinkan lagi dikarenakan ketersediaan lahan yang semakin terbatas, sehingga langkah yang paling memungkinkan untuk pembangunan tempat tinggal adalah penerapan hunian vertikal. Apartemen pun menjadi salah satu solusi dalam mengatasi kebutuhan tempat tinggal di Jakarta. Apartemen dapat menampung atau menjadi tempat tinggal bagi banyak orang walaupun lahan yang tersedia sangat terbatas. Dalam perancangan tugas akhir ini, pemilihan lokasi juga cukup penting. Pada pembahasan sebelumnya telah diterangkan bahwa Jakarta merupakan tempat atau pusat sektor perekonomiannya yang paling besar di Indonesia. Untuk itu dapat dikatakan bahwa dalam perancangan tugas akhir ini, target
7 penghuni residensial adalah orang-orang yang bekerja atau berbisinis di Jakarta, sehingga lokasi proyek yang cocok haruslah di dalam suatu area dimana aktivitas bisnisnya sangat intens. Area residensial sebagai tempat tinggal juga memerlukan lokasi yang strategis, terdapat fasilitas yang lengkap di sekitarnya, serta akses yang mudah. Dalam penentuan lokasi perumahan atau hunian yang perlu diperhatikan adalah jarak dengan tempat pekerjaan, pusatkota, perdagangan, pendidikan, kesehatan, keamanan, fasilitas pelayanan kota (James C.Snyder ; Anthony J.Catanese, 1985). Berdasarkan penilaian tersebut, maka salah satu lokasi yang cocok untuk berbisnis properti berada di daerah Puri, tepatnya di Jl. Puri Indah Raya, Jakarta Barat. PT Antilope Madju Puri Indah, pengembang properti yang tergabung dalam Pondok Indah Group menyatakan bahwa kawasan Puri Indah akan ditargetkan sebagai kawasan CBD atau Central Bussiness District dan akan rampung pada 2025. Dengan berkembangnya kawasan ini menjadi daerah CBD, maka lokasi di Puri Indah menjadi pilihan yang tepat dalam perancangan bangunan residensial untuk tugas akhir ini.
1.2
Masalah/Isu Pokok
Dalam buku Panduan Sistem Bangunan Tinggi (2005 : 290) dijelaskan bahwa biaya operasional dan perawatan bangunan terbesar, salah satunya dikeluarkan untuk listrik dan air. Alokasi untuk biaya listrik dan air adalah sebesar 35%, sama dengan biaya kebersihan gedung. Dari jumlah biaya ini dapat diketahui bahwa penggunaan listrik untuk suatu bangunan sangatlah besar sehingga perlu penanganan lebih lanjut, terutama dari segi desain.
8 Banyak sekali bangunan apartemen yang menggunakan energi salah satunya listrik secara berlebihan demi tuntutan kenyamanan ruang di dalamnya. Hal ini dikarenakan bangunan tidak sesuai dengan iklim tropis, sehingga dalam perancangan kali ini dibutuhkan solusi desain yang hemat energi. Sebelum menentukan solusi desain, tentu harus mengetahui aspek-aspek apa saja yang membutuhkan energi listrik paling besar pada apartemen sebagai pertimbangan dalam mendesain.
Tabel 1.1. Beban listrik pada fasilitas Pavilion Park Apartment Beban Beban Terpasang Terpasang Demand Factor Total (kW) (kW) 150 150 0,7 629,36 629,36 0,6 160 160 0,6
Fasilitas Fasilitas Penerangan Fasilitas AC Fasilitas Elevator
Fasilitas Air Bersih
Fasilitas Air Kotor & Air Bekas Fasilitas Pompa Air Hujan & Pengurasan
Deep Well Pump Domestic Transfer Pump Domestic Booster Pump Filtrasi Pump Sewage Pump Wet Pump Sump Pump Pompa Pengurasan
Max Demand (kW) 105 377,616 96
5
121
0,8
96,8
9
0,8
7,2
30
0,8
24
116
5 4 15 15
Sumber: Studi Tentang Power Supply Bagi Gedung Bertingkat 30 di Pavilion Park Apartment Jakarta (1998)
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa beban listrik paling banyak digunakan untuk AC dan penerangan. Untuk itu dalam perancangan apartemen yang hemat energi ini, desain dapat difokuskan pada pemanfaatan pencahayaan
9 alami secara maksimal, tetapi radiasi panas matahari dapat dicegah atau direduksi.
Gambar 1.4. Apartemen tanpa shading Sumber: www.detik.com (diperoleh 03-20-2013)
Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa pembangunan hunian vertikal kini tidak lagi memperhatikan radiasi matahari yang dapat mengakibatkan kenaikan suhu dalam ruangan. Akibatnya penggunaan teknologi pendingin ruangan menjadi sangat tinggi dan konsumsi energi menjadi sangat besar. Untuk itu diperlukan suatu desain yang dapat menahan radiasi panas matahari, seperti pemasangan balkon. Balkon dirasa lebih cocok dalam aplikasinya pada hunian vertikal karena memiliki fungsi yang lebih banyak dan lebih baik dari pada kanopi biasa. Tetapi untuk memaksimalkan pencahayaan alami dan menerima radiasi panas matahari seminimal mungkin, diperlukan suatu analisa untuk menciptakan desain balkon yang sesuai. Untuk bisa menurunkan suhu dalam ruang, panas matahari yang diterima harus di minimalisir. Panas matahari dapat masuk ke dalam ruang baik secara langsung maupun tidak langsung. Panas matahari secara langsung dapat menggunakan balkon sebagai penahannya. Untuk panas tidak langsung, perlu penanganan yang berbeda. Panas tidak langsung ini disebabkan oleh adanya efek heat island. Menurut S.N. Wijerathne dan R.U. Halwatura, efek heat island timbul dikarenakan adanya penyimpanan panas pada material bangunan
10 buatan manusia. Area hijau telah ditutupi oleh beton, sehingga panas yang seharusnya dapat direduksi malah disimpan sehingga walaupun hari sudah menjelang sore atau malam, suhu pada material tersebut tetap panas. Untuk itu diperlukan pendekatan khusus untuk mencegah adanya penyimpanan dan perambatan panas pada material bangunan, khususnya balkon sebagai penghalang radiasi matahari.
1.3
Formulasi Masalah
Berdasarkan pernyataan-pernyataan yang sudah dipaparkan, diperlukan suatu rumusan permasalahan sebagai tolak ukur dalam perancangan apartemen hemat energi. Rumusan masalah yang dapat disusun adalah sebagai berikut: • Bagaimana penerapan desain balkon yang dapat meminimalisir masuknya radiasi panas matahari secara langsung pada bangunan sehingga dapat menurunkan suhu dalam ruang • Jenis material apa yang dapat mencegah tersimpannya panas matahari sehingga efek heat island pada balkon dapat diminimalisir. Apakah dengan penerapan green roof pada balkon, atau penerapan warna yang dapat memantulkan panas, dan lainnya
1.4
Ruang Lingkup
Perancangan apartemen hemat energi dengan penerapan balkon yang berfungsi untuk meminimalisir masuknya radiasi panas matahari ke dalam ruangan sehingga dapat menurunkan suhu ruang tiap lantai. Selain dapat menahan radiasi matahari secara langsung masuk ke dalam ruangan, desain
11 pada balkon juga dapat mencegah tersimpannya panas pada materialnya yang dapat menyebabkan efek heat island pada bangunan.
1.5
Maksud dan Tujuan
Pembangunan berkonsep hemat energi dapat menjadi langkah yang baik sebagai salah satu bentuk respon terhadap iklim di indonesia. Dengan konsep desain ini, penggunaan energi yang tidak dapat diperbaharui dapat diminimalisir. Sebaliknya dengan adanya konsep hemat energi, penggunaan energi yang dapat diperbaharui seperti cahaya matahari, angin, dan lainnya dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Gambar 1.5. Variabel Solar Shading Sumber: Architecture in a Climate of Change (2005 : 187)
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui desain balkon seperti apa yang paling efektif dalam mereduksi atau menahan radiasi matahari langsung secara maksimal. Dengan adanya penerapan balkon dapat membantu dalam pemanfaatan pencahayaan alami yang maksimal dan menurunkan suhu dalam ruang dengan cara mencegah radiasi panas matahari masuk secara langsung, sehingga penggunaan teknologi pendingin ruangan dapat diminimalisir.
12
Gambar 1.6. Potongan Green Roof Sumber: Conservation Technology, Inc. (2008)
Penerapan material balkon pun juga perlu diperhatikan untuk mencegah adanya penyimpanan panas di dalamnya. Penambahan green roof pada balkon dapat menjadi salah satu solusi menarik dalam mencegah tersimpannya panas matahari pada material balkon, sehingga efek heat island pada bangunan dapat diminimalisir.
1.6
Tinjauan Pustaka
Penelitian Gon Kim, Wonwoo Kim, dan Jeong Tai Kim dalam Role of Healthy Light to Embody Healthy Buildings (2009) menyatakan bahwa balkon memiliki fungsi yang penting bagi pemilik di dalamnya. Dengan adanya balkon, pencahayaan alami dapat masuk secara maksimal tanpa mengganggu kesehatan dan kenyamanan penghuni di dalamnya. Tetapi di Korea, banyak penghuni yang melakukan ekspansi balkon dimana luasan dalam ruang ditambah dengan mengurangi atau menghilangkan luasan balkon. Akibatnya sinar matahari yang masuk tidak terhalangi. Selain suhu ruangan meningkat, kondisi visual pun menjadi tidak nyaman sehingga dapat mengakibatkan
13 gangguan kesehatan bagi penghuni di dalamnya. Hal ini juga terjadi pada bangunan-bangunan di Indonesia, terutama di Jakarta. Bukaan-bukaan dibuat tanpa adanya penghalang, sehingga sinar matahari masuk secara langsung. Akibatnya penggunaan energi untuk teknologi pendingin ruangan pun menjadi berlebihan. Selain itu radiasi matahari yang berlebihan pun mengganggu aktivitas di dalamnya sehingga kesehatan penghuni bisa terganggu. Oleh sebab itu, desain balkon sebagai respon terhadap radiasi matahari menjadi penting.