BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Penelitian Negara Republik Indonesia saat ini sedang memasuki masa pemulihan
akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Semua pihak termasuk pemerintah mencoba mengatasi masalah ini dengan melakukan reformasi di segala bidang. Menurut Abdul dan Syam (2012: 108) menyatakan bahwa: “Kepemerintahan yang baik adalah salah satu cara untuk memulihkan kondisi sosial ekonomi dan politik agar dapat mengembalikan kepercayaan rakyat kepada pemerintah yaitu dengan mencoba untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang bersih dan berwibawa.” Terdapat tiga aspek utama yang mendukung terciptanya kepemerintahan yang baik seperti yang dikemukakan oleh Mardiasmo (2005: 189) yaitu: 1. Pengawasan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pihak di luar eksekutif, yaitu masyarakat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk mengawasi kinerja pemerintahan. 2. Pengendalian (control) adalah mekanisme yang dilakukan oleh eksekutif untuk menjamin bahwa sistem dan kebijakan manajemen dilaksanakan dengan baik sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. 3. Pemeriksaan (audit) dilakukan oleh pihak yang memiliki independensi dan memiliki kompetensi professional untuk memeriksa apakah hasil kinerja pemerintah telah sesuai dengan standar yang ditetapkan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 60 Pasal 48 (2008: 22) yang membahas tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), pelaksanaan pengendalian intern pemerintah dilaksanakan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Aparat Pengawasan Intern Pemerintah melakukan pengawasan intern melalui:
1
2
1. 2. 3. 4. 5.
Audit; Review; Evaluasi; Pemantauan; dan Kegiatan pengawasan lainnya. Peraturan Pemerintah No. 60 Pasal 49 (2008: 22) menyatakan bahwa
aparat pengawasan intern pemerintah terdiri atas: a. BPKP; b. Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern; c. Inspektorat Provinsi; dan d. Inspektorat Kabupaten/Kota. Peran Inspektorat Provinsi, Kabupaten/Kota secara umum diatur dalam pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri No 64 Tahun 2007. Dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas pengawasan urusan pemerintahan, Inspektorat Provinsi, Kabupaten/Kota mempunyai fungsi sebagai
berikut:
pertama, perencanaan program pengawasan; kedua, perumusan kebijakan dan fasilitas pengawasan; dan ketiga, pemeriksaan, pengusutan, pengujian, dan penilaian tugas pengawasan. Menurut Boynton (2003) dalam Efendy (2010: 2) fungsi auditor internal adalah melaksanakan fungsi pemeriksaan internal yang merupakan suatu fungsi penilaian yang independen dalam suatu organisasi untuk menguji dan mengevaluasi kegiatan organisasi yang dilakukan. Selain itu, auditor internal diharapkan pula dapat lebih memberikan sumbangan bagi perbaikan efisiensi dan efektivitas dalam rangka peningkatan kinerja organisasi (Effendy, 2010). Dengan demikian auditor internal pemerintah daerah memegang peranan yang sangat
3
penting dalam proses terciptanya akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan di daerah. Pengawasan keuangan daerah bertujuan untuk menjamin bahwa semua sumber daya ekonomi yang dimiliki daerah telah digunakan untuk kepentingan masyarakat dan telah dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan yang berlaku (Ait Noviatiani, 2014: 105). Untuk kepentingan tersebut, kemudian daerah membentuk satuan pengawas internal yang diwadahi dalam sebuah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang kemudian dikenal dengan Inspektorat Daerah atau Badan Pengawas Keuangan Daerah (Bawasda). Dalam melaksanakan pengawasan internal, Inspektorat harus memperhatikan kualitas audit selama proses auditnya, menerapkan prinsip-prinsip audit, bersikap bebas tanpa memihak (Independent), dan memiliki kompetensi dalam menjalankan proses auditnya. Terkait dengan kualitas audit internal pemerintah daerah, Ketua BPK Anwar Nasution (2009), pada penyerahan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I kepada DPR, menyatakan bahwa fungsi audit internal di Indonesia masih belum efektif dimana kualitas audit yang dilaksanakan oleh aparat Inspektorat Kota saat ini masih menjadi sorotan karena banyaknya temuan audit atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Tetapi aparat Inspektorat Kota masih kurang dalam menindaklanjuti temuan-temuan audit tersebut sehingga temuan-temuan audit tersebut masih ditemukan pada LKPD tahun-tahun berikutnya. Ketaatan terhadap standar auditing dan kode etik serta peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam melaksanakan audit merupakan ukuran dari kualitas audit bagi auditor internal (IIA, 2011).
4
Ketua BPK Hadi Purnomo (2011) menyatakan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap LKPD dari tahun ke tahun temuan audit semakin meningkat. Temuan-temuan tersebut berupa ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan,
kecurangan,
serta
ketidakpatuhan
dalam
pelaporan
keuangan yang seharusnya dapat terdeteksi dini oleh Inspektorat. Dengan banyaknya temuan audit oleh BPK menunjukkan bahwa kualitas audit aparat Inspektorat masih relatif rendah. Berdasarkan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I Tahun 2013, BPK telah memeriksa 80 LKPD kota Tahun 2012 yang diserahkan pemerintah kota kepada BPK. Terhadap 80 LKPD kota Tahun 2012 tersebut, BPK memberikan opini WTP atas 30 entitas, opini WDP atas 46 entitas, dan opini TMP atas 4 entitas. Perkembangan opini atas LK pemerintah tingkat kota periode Tahun 2008 s.d. 2012 disajikan dalam Tabel 1.1. Tabel 1.1 Opini LKPD Tahun 2008 s.d. 2012 pada Pemerintah Kota
Sumber: Ikhtisar Hasil Pemeriksaan BPK Semester I Tahun 2013 Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa pada tahun 2008 sampai dengan 2012 LKPD Pemerintah Kota mayoritas memperoleh opini Wajar Dengan
5
Pengecualian (WDP) dari BPK. Hal tersebut menunjukan bahwa laporan keuangan Pemerintah Kota belum maksimal. Secara tidak langsung, kinerja dari SKPD sebagai pengawas keuangan daerah belum mendukung terciptanya akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan di daerah. Sehingga fungsi audit internal di Indonesia dapat dikatakan belum efektif dan kualitas auditnya masih belum maksimal. Kualitas audit yang baik pada prinsipnya dapat dicapai jika auditor menerapkan standar-standar dan prinsip-prinsip audit, bersikap bebas tanpa memihak (Independent), patuh kepada hukum serta mentaati kode etik profesi. Dengan melaksanakan prinsip-prinsip tersebut secara sistematis selama proses audit maka akan menghasilan laporan audit yang berkualitas (Nugraha, 2012). Kualitas audit menurut Knetchel, W.Robert, G.V.Krishan (2012) dalam Efendy (2010: 2) adalah: “Gabungan dari proses pemeriksaan sistimatis yang baik, yang sesuai dengan standar yang berlaku umum, dengan auditor’s judgments (skeptisisme dan pertimbangan profesional) yang bermutu tinggi, yang dipakai oleh auditor yang kompeten dan independen, dalam menerapkan proses pemeriksaan tersebut, untuk menghasilkan audit yang bermutu tinggi.” Menurut Lowenshon. S, Johnson E.L, dan Elder J.R (2005) dalam Efendy (2010: 6), Government Accountability Office (GAO) mendefinisikan kualitas audit sebagai ketaatan terhadap standar profesi dan ikatan kontrak selama melaksanakan audit dalam sektor publik. Kualitas audit menurut De Angelo (1981) dalam Alim, M. Nizarul, Trisni Hapsari, dan Liliek Purwanti (2007) mengharuskan seorang auditor melaporkan setiap pelanggaran yang ditemukan pada laporan keuangan klien, kompetensi
6
seorang auditor sangat dibutuhkan dalam menemukan pelanggaran yang mungkin dilakukan oleh klien sedangkan untuk melaporkan pelanggaran tersebut tergantung pada independensi auditor. Menurut Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara nomor PER/05/M.PAN/03/2008, pengukuran kualitas audit atas laporan keuangan, khususnya yang dilakukan oleh APIP, wajib menggunakan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang tertuang dalam Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2007. Pernyataan standar umum pertama SPKN adalah: “Dalam semua hal yang berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan, organisasi pemeriksa dan pemeriksa, harus bebas dalam sikap mental dan penampilan dari gangguan pribadi, ekstern, dan organisasi yang dapat mempengaruhi independensinya”. Dengan pernyataan standar umum ini, organisasi pemeriksa dan para pemeriksanya bertanggung jawab untuk dapat mempertahankan independensinya sedemikian rupa, sehingga pendapat, simpulan, pertimbangan atau rekomendasi dari hasil pemeriksaan yang dilaksanakan tidak memihak dan dipandang tidak memihak oleh pihak manapun. Standar umum audit menyatakan bahwa audit dilaksanakan oleh orang yang memiliki keahlian, independen serta wajib menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama (Sukrisno Agoes, 2004). Sesuai dengan standar audit tersebut maka auditor internal seharusnya orang yang memiliki kemampuan dalam menemukan dan mengungkapkan penyimpangan secara menyeluruh sehingga laporan keuangan yang disajikan lebih reliabel dan tidak menimbulkan pengaruh bias pada pengguna.
7
Auditor harus memiliki independensi dan kompetensi dalam melakukan pemeriksaan untuk menghasilkan audit yang bermutu tinggi (Knetchel et al, 2012). Independensi mencerminkan sikap tidak memihak serta tidak dibawah pengaruh atau tekanan pihak tertentu dalam mengambil keputusan dan tindakan (Agoes dan I Cenik Ardana, 2009: 146). Sedangkan kompetensi adalah kemampuan, pengetahuan, dan disiplin ilmu yang diperlukan untuk melaksanakan pemeriksaan secara tepat dan pantas (Tugiman, 1997: 27). Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Marietta Sylvie (2013), Wati Aris Astuti (2010), A.A Putu Ratih Cahaya Ningsih dan P. Dyan Yaniartha (2013) menunjukan bahwa independensi secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit dan mempunyai hubungan yang positif. Hal ini berarti bahwa semakin meningkatnya independensi seorang auditor akan meningkatkan kualitas audit, artinya kualitas audit dapat dicapai jika auditor memiliki independensi yang baik. Sedangkan menurut penelitian Taufiq Efendy (2010) menunjukkan bahwa independensi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas audit, sehingga independensi yang dimiliki aparat inspektorat tidak menjamin apakah yang bersangkutan akan melakukan audit secara berkualistas. Selain independensi, seorang auditor internal dituntut untuk memiliki kompetensi yang memadai agar dapat menjalankan fungsinya secara efektif (Arens et al, 2008). Kompetensi artinya auditor harus mempunyai kemampuan, ahli dan berpengalaman dalam memahami kriteria dan dalam menentukan jumlah bahan bukti yang dibutuhkan untuk dapat mendukung kesimpulan yang akan diambil (Siti Kurnia Rahayu dan Ely suhayati, 2009: 2). Kompetensi auditor
8
internal dapat tercapai apabila dalam melaksanakan pemeriksaan, auditor internal memiliki keahlian, menerapkan kecermatan profesional, serta meningkatkan kemampuan teknisnya melalui pendidikan yang berkelanjutan (Hiro Tugiman, 1997). Pernyataan standar umum kedua SPKN tahun 2007 adalah pemeriksa secara kolektif harus memiliki kecakapan profesional yang memadai untuk melaksanakan tugas pemeriksaan. Dengan pernyataan standar pemeriksaan kedua ini semua organisasi pemeriksa bertanggungjawab untuk memastikan bahwa setiap pemeriksaan dilaksanakan oleh para pemeriksa yang secara kolektif memiliki pengetahuan, keahlian, dan pengalaman yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas tersebut. Oleh karena itu, organisasi pemeriksa harus memiliki prosedur rekrutmen, pengangkatan, pengembangan berkelanjutan, dan evaluasi
atas pemeriksa untuk membantu
organisasi
pemeriksa
dalam
mempertahankan pemeriksa yang memiliki kompetensi yang memadai. Kemudian dalam penelitian Taufiq Efendy (2010), Asri Usman, Made Sudarma, Hamid Habbe, Darwis Said (2014), Alim, M. Nizarul, Trisni Hapsari, dan Liliek Purwanti (2007) menyatakan bahwa kompetensi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kualitas audit. Jika auditor memiliki kompetensi yang baik maka auditor akan dengan mudah melakukan tugas-tugas auditnya dan sebaliknya jika rendah maka dalam melaksanakan tugasnya, auditor akan mendapatkan kesulitan-kesulitan sehingga kualitas audit yang dihasilkan akan rendah pula. Sedangkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Marietta Sylvie (2013) menunjukan bahwa kompetensi berpengaruh tidak signifikan terhadap
9
kualitas audit namun mempunyai hubungan yang positif, hal ini karena masih kurangnya pengetahuan auditor dalam memahami entitas yang diaudit, kemudian kurangnya kemampuan auditor dalam menganalisis permasalahan. Kualitas audit yang baik tidak terlepas dari pengaruh independensi dan kompetensi auditor itu sendiri. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya dari Ali Amin (2013) menyatakan bahwa secara parsial independensi dan kompetensi berpengaruh signifikan terhadap kualitas audit. Berdasarkan latar belakang dan fenomena yang telah dijelaskan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Pengaruh Independensi dan Kompetensi Auditor Internal terhadap Kualitas Audit (Studi Kasus Pada Inspektorat Kota Bandung)”. 1.2
Rumusan Masalah Penelitian ini adalah masih belum baiknya kualitas audit sehingga dapat
dilihat pertanyaan penelitian sebagai berikit: 1.
Apakah independensi auditor internal berpengaruh terhadap kualitas audit pada Inspektorat Kota Bandung.
2
Apakah kompetensi auditor internal berpengaruh terhadap kualitas audit pada Inspektorat Kota Bandung.
3
Apakah independensi dan kompetensi auditor internal berpengaruh terhadap kualitas audit pada Inspektorat Kota Bandung.
10
1.3
Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud penelitian ini adalah untuk mengumpulkan dan memperoleh data
serta informasi yang diperlukan mengenai independensi dan kompetensi auditor internal dan kualitas audit, sehingga dapat diketahui solusi atas masalah masih lemahnya kualitas audit. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Untuk
mengetahui
pengaruh
independensi
auditor
internal
pada
Inspektorat Kota Bandung. 2. Untuk mengetahui pengaruh kompetensi auditor internal pada Inspektorat Kota Bandung. 3. Untuk mengetahui pengaruh independensi dan kompetensi auditor internal pada Inspektorat Kota Bandung. 1.4
Kegunaan Penelitian Adapun penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
inspektorat kota Bandung, penulisr, maupun bagi peneliti lainnya. 1. Bagi Inspektorat Kota Bandung Dapat memberikan informasi tentang fungsi penilaian yang independen dan kompetensi dalam Inspektorat kota Bandung untuk menguji dan mengevaluasi kegiatan yang dilaksanakan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan saran dan masukan, serta menjadi bahan pertimbangan dalam mengembangkan dan memelihara independensi, kompetensi auditor internal dan kualitas audit.
11
2. Bagi Penulis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperluas wawasan dan menambah pengetahuan tentang teori-teori dan konsep-konsep yang diperoleh selama perkuliahan serta memperoleh gambaran nyata, dan juga merupakan salah satu syarat dalam menempuh ujian Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi di Universitas Widyatama. 3. Bagi peneliti lain Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk sumber informasi, bahan pembanding bagi peneliti lainnya dan menjadi bahan referensi atau tambahan informasi yang diperlukan. 1.5
Lokasi dan Waktu Penelitian Untuk memperoleh data sehubungan dengan masalah yang dibahas, dalam
penyusunan skripsi ini penulis melakukan penelitian pada Inspektorat Kota Bandung dan waktu penelitian dilakukan mulai pada bulan Maret 2015 sampai bulan November 2015.