1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan tegas menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Sebagai negara hukum, Indonesia harus berlandaskan pada tujuan hukum yaitu untuk mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam rangka mewujudkan tujuan hukum khususnya menjamin kepastian hukum, dibutuhkan suatu instrumen untuk menunjang hal tersebut. Sebagai salah satu contoh, dalam hal kepemilikan tanah dibutuhkan suatu alat bukti berupa sertipikat tanah untuk menjamin hak seseorang atas tanah tersebut. Hukum yang terkait dengan hak atas tanah dan rumah adalah hukum perdata, sangat memprioritaskan bukti dokumen tertulis yang dapat menjelaskan tentang subjek dan objek tergambarkan mengenai dasar hak kepemilikan seseorang atas tanah atau rumah dimaksud. Adanya sertipikat tanah sebagai dokumen tertulis menjadi alat bukti yang memberikan jaminan kepastian hukum bagi seseorang yang memiliki suatu hak atas tanah. Dalam lalu lintas hukum di Indonesia khususnya dalam ranah hukum perdata, dibutuhkan sebuah alat bukti yang salah satunya adalah alat bukti tertulis berupa akta otentik untuk menjamin ditegakkannya
2
keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum bagi para subjek hukum yang terlibat di dalamnya. Akta otentik dijelaskan dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berbunyi “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya”. Akta otentik sebagai sebuat alat bukti memiliki sifat sempurna, terkuat, dan terpenuh yang berarti bahwa ketika telah terdapat akta otentik maka tidak diperlukan lagi alat bukti tertulis lainnya dan dalam hal pembuktian kebenaran, akta otentik akan selalu dianggap benar dan harus diterima apa adanya sepanjang tidak terdapat pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Seperti yang telah dijelaskan dalam Pasal 1868 KUHPerdata di atas, maka dapat dilihat dengan jelas bahwa dalam pembuatan akta otentik, untuk memenuhi sifat atau nilai keotentikannya, ada beberapa unsur yang harus diperhatikan, salah satunya adalah unsur “dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu” yang berarti tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang. PPAT adalah salah satu pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta otentik. Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah menjelaskan bahwa “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT adalah pejabat umum yang diberi
3
kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun”. Keberadaan PPAT dalam bidang pertanahan memiliki peranan penting yang dapat dilihat dari setiap hal yang menjadi kewenangan, tugas, dan tanggung jawabnya. Oleh karena itu seorang PPAT harus memiliki sifat yang jujur, berintegritas, mandiri, dan seksama serta tidak memihak dalam menjalankan tugas-tugasnya. PPAT juga dituntut untuk menjaga dan menjunjung tinggi kehormatan, harkat, dan martabat jabatan serta profesinya dengan menjaga sikap dan perilaku serta taat terhadap peraturan jabatan dan kode etik profesi PPAT. PPAT merupakan sebuah jabatan sekaligus sebuah profesi kepercayaan seperti halnya Notaris. Kepercayaan masyarakat terhadap PPAT adalah hal yang sangat penting dan harus dijaga oleh setiap orang yang memangku jabatan sebagai PPAT. Namun selayaknya manusia biasa seperti manusia lainnya, seorang PPAT tidak luput dari kesalahankesalahan baik itu yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT menjelaskan adanya pengawasan yang dilakukan terhadap PPAT dalam rangka pelaksanaan tugas jabatannya yaitu dalam Pasal 65 yang berbunyi sebagai berikut : “(1) Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas PPAT dilakukan oleh Kepala Badan.
4
(2) Pembinaan dan pengawasan PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam pelaksanaannya oleh Kepala Badan, Kepala Kantor Wilayah, dan Kepala Kantor Pertanahan”.
Selain badan pengawas yang telah ditetapkan dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006, organisasi profesi PPAT yang dikenal dengan Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) pun menetapkan dan membentuk suatu badan pengawas yang merupakan kelengkapan organisasi. Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) merupakan satusatunya wadah yang menjadi tempat bernaung bagi setiap orang yang memangku jabatan PPAT sebagaimana dipaparkan dalam Pasal 69 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah bahwa “untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi PPAT dan/atau PPAT sementara wajib dibentuk organisasi profesi PPAT dan/atau PPAT sementara”. Dalam Pasal 69 ayat (2) semakin ditekankan mengenai kewenangan organisasi profesi yang dalam hal ini adalah IPPAT, untuk menyusun kode etik profesi PPAT yang kemudian diwujudnyatakan lewat hasil keputusan Kongres IV IPPAT di Surabaya pada tanggal 31 Agustus 1 September 2007. Adanya kewenangan organisasi profesi PPAT (IPPAT) dalam penyusunan kode etik profesi PPAT harus memberi sumbangsih bagi penegakan pelaksanaan kode etik tersebut. Oleh karena itu IPPAT
5
membentuk sebuah badan pengawas yang bertugas untuk mengawasi pelaksanaan kode etik dalam pelaksanaan jabatan PPAT sehari-hari, yaitu Majelis Kehormatan PPAT. Zaman yang semakin maju dan berkembang ini memunculkan tuntutan agar dalam banyak hal di setiap aspek kehidupan manusia dapat diselesaikan dengan cepat. Hal ini sangat berdampak dalam kehidupan sehari-hari dimana akhirnya banyak orang yang memilih untuk menghalalkan segala cara untuk mendapatkan hasil yang instan. Perilaku ini dapat mendorong timbulnya pelanggaran dan penyimpangan terhadap aturan-aturan yang berlaku termasuk dalam dunia ke-PPAT-an itu sendiri. Tindakan-tindakan promosi yang dilakukan oleh oknum PPAT agar segera mendapatkan penghasilan atau pemasangan papan nama dan papan penunjuk yang tidak sesuai dengan aturan dalam kode etik dapat menjadi contoh pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh PPAT. Hal ini tentu saja selain telah melanggar ketentuan kode etik juga merendahkan profesi serta jabatan PPAT sebagai pejabat umum. Disinilah letak peran penting Majelis Kehormatan PPAT. Tujuan pengawasan itu sendiri secara umum adalah untuk mengarahkan dan mengusahakan suatu pekerjaan agar berjalan sesuai dengan yang diharapkan atau direncanakan, demikian halnya pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Kehormatan PPAT agar dalam pelaksanaan jabatan, setiap PPAT dapat bekerja sesuai dengan yang diharapkan dan tentunya sesuai dengan kode etik.
6
Penegakan kode etik profesi PPAT guna mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran merupakan tanggung jawab setiap pihak yang terlibat di dalamnya baik itu Kepala Badan, Kepala Kantor Wilayah, dan Kepala Kantor Pertanahan yang telah diamanatkan tugas untuk mengawasi pelaksanaan jabatan PPAT maupun organisasi profesi PPAT melalui Majelis Kehormatan PPAT yang juga bertugas untuk itu, sehingga diharapkan dapat bekerja sama dengan baik. Berdasarkan pemaparan di atas, penulis memandang perlu untuk melakukan
penelitian
mengenai
peran
maupun
kinerja
Majelis
Kehormatan PPAT di Kabupaten Sleman dengan mengangkat judul “Pengawasan Majelis Kehormatan PPAT Terhadap Pelaksanaan Kode Etik Profesi PPAT di Kabupaten Sleman”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang hendak penulis teliti yaitu sebagai berikut : 1. Bagaimana
pengawasan
Majelis
Kehormatan
PPAT
terhadap
pelaksanaan kode etik profesi PPAT di Kabupaten Sleman ? 2. Apa kendala yang dihadapi oleh Majelis Kehormatan PPAT dalam melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan kode etik profesi PPAT di Kabupaten Sleman dan upaya-upaya yang dilakukan oleh Majelis Kehormatan PPAT untuk mengatasi kendala-kendala tersebut ? C. Manfaat Penelitian
7
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini yaitu sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan memberikan sumbangsih bagi pemikiran terhadap perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang hukum maupun dalam bidang kePPAT-an mengenai penegakan kode etik profesi PPAT. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan, pemikiran, dan informasi baik itu bagi penulis sendiri maupun pihak lain khususnya para PPAT, organisasi profesi PPAT (IPPAT), Majelis Kehormatan PPAT, dan pihak-pihak yang telah diamanatkan tugas untuk mengawasi jalannya penegakan kode etik profesi PPAT (Kepala Badan, Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Pertanahan). D. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui dan mengkaji pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Kehormatan PPAT terhadap pelaksanaan kode etik profesi PPAT di Kabupaten Sleman. 2. Untuk mengetahui dan mengkaji kendala yang dihadapi oleh Majelis Kehormatan PPAT dalam melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan kode etik profesi PPAT di Kabupaten Sleman.
8
3. Untuk mengetahui dan mengkaji upaya-upaya yang dilakukan Majelis Kehormatan PPAT untuk mengatasi kendala-kendala yang dihadapi dalam melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kode etik profesi PPAT di Kabupaten Sleman. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran dan pengamatan yang telah penulis lakukan, ditemukan beberapa penelitian terdahulu berkaitan dengan pengawasan terhadap penegakan kode etik yaitu : 1.
Judul Peranan Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia Dalam Penegakan Kode Etik Notaris di Kota Makassar, ditulis oleh Irmawati Danumulyo, Program Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, 2008, dengan rumusan masalah : a. Bagaimanakah peranan Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia dalam penegakan kode etik Notaris di Kota Makassar setelah adanya Undang-Undang Jabatan Notaris? b. Apakah Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia Kota Makassar masih mempunyai kewenangan dalam memberikan sanksi kepada anggotanya yang terbukti bersalah setelah dijatuhkan sanksi oleh Majelis Pengawas Wilayah ? c. Kendala-kendala apa yang dihadapi Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia dalam penegakan Kode Etik Notaris di Kota Makassar ?
9
Fokus penelitian Irmawati Danumulyo adalah pada pengawasan terhadap penegakan kode etik Notaris yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan Ikatan Notaris Indonesia 2.
Judul Implementasi Penerapan Sanksi Berkaitan Dengan Pelanggaran Jabatan dan Kode Etik PPAT di Kota Palangkaraya yang ditulis oleh Ariyaini Wahyu Ningsih, Program Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, tahun 2014 dengan rumusan masalah sebagai berikut : a. Bagaimana
peranan
Majelis
Kehormatan
dalam
rangka
pengawasan pemungutan honorarium ? b. Bagaimana penerapan sanksi atas pelanggaran Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 ? Fokus penelitian ini pada peranan dan penerapan sanksi yang diberikan oleh Majelis Kehormatan PPAT dalam mengawasi pemungutan honorarium. Kesamaan antara penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan 2 (dua) penulis sebelumnya adalah mengenai objek yang diteliti yaitu tentang pengawasan terhadap penegakan kode etik profesi. Perbedaannya yaitu penelitian yang dilakukan oleh penulis berfokus pada pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Kehormatan PPAT dalam pelaksanaan kode etik PPAT secara umum dan luas sedangkan penulis pertama membahas mengenai pengawasan yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan Notaris. Kemudian penulis yang kedua fokus pada implementasi penerapan sanksi
10
dalam rangka pengawasan yang dilakukan oleh Majelis Kehormatan namun hanya terbatas pada pemungutan honorarium.