1
BAB I PENDAHULUAN
A.
LatarBelakangPermasalahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan
secara tegas bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menjamin adanya kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Adanya kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum ini dapat dilihat dalam lalu lintas hukum kehidupan masyarakat yang memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat. Landasan filosofis dibentuknya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris adalah terwujudnya jaminan kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Melalui akta yang dibuatnya, Notaris harus dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat pengguna jasa notaris. Bunyi pasal 1868 KUHPerdata menyatakan “ suatu akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, di buat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa ntuk itu di tempat dimana akta itu dibuat ’’. Notaris sebagai pejabat umum yang ditunjuk oleh undang-undang sebagai salah satu pejabat yang berwenang untuk membuat akta otentik, tidak dapat
2
dilepaskan dari kegiatan perekonomian. Notaris diberi wewenang menciptakan akta oleh undang-undang, dalam pengertian bahwa apa yang tersebut dalam akta otentik itu pada pokoknya dianggap benar. Hal ini sangat penting bagi pihak-pihak yang membutuhkan alat pembuktian untuk suatu keperluan, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan suatu usaha yaitu kegiatan di bidang usaha. 1 Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan dan sebagainya, kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial. Melalui akta otentik ditentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum dan sekaligus diharapkan dapat menghindari terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tersebut tidak dapat dihindari, namun dalam proses penyelesaian sengketa tersebut akta otentik merupakan alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh yang memberi sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan cepat. Pada hakikatnya akta otentik memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Namun Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam akta notaris telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi akta tersebut yang akan ditandatanganinya.
1
R.Soegondo Notodisoerjo, 1982, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Penjelasan, CV. Rajawali, Jakarta, hlm. 8.
3
Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta. Pengertian pejabat umum yang diemban oleh notaris bukan berarti notaris adalah pegawai negeri dimana pegawai yang merupakan bagian dari suatu korps pegawai yang tersusun, dengan hubungan kerja yang hirarkis, yang digaji oleh pemerintah; seperti yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian yaitu “Notaris adalah pejabat pemerintah tanpa diberi gaji oleh pemerintah, notaris dipensiunkan oleh pemerintah tanpa mendapat uang pensiun dari pemerintah. Di luar notaris sebagai pejabat umum masih dikenal lagi pejabat-pejabat lain yang juga tugasnya membuat alat bukti yang bersifat otentik, seperti Pejabat Kantor Catatan Sipil, Pejabat Kantor Lelang Negara, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Kepala Kantor Urusan Agama, Panitera di Pengadilan yang bertugas membuat exploit atau pemberitahuan dari Juru Sita, dan lain sebagainya. Sejak masa Hindia Belanda, Jabatan Notaris telah mendapatkan pengaturan, yaitu dalam Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Staatsblad 1860 No.3). Sekarang ini Jabatan Notaris diatur dalam UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (LN Tahun 2004 Nomor 17, TLN No, 4432). Salah satu pokok yang merupakan hal yang baru dalam UU No. 30 Tahun 2004 ini yaitu ketentuan dalam Pasal 66 ayat (1) di mana tercantum bahwa:
4
Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang: a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris. Notaris dalam menjalankan profesinya mempunyai 2 (dua) tanggung jawab yaitu: 1.
Tanggung jawab secara perdata dimana dalam hal ini Notaris melakukan kesalahan karena ingkar janji ketentuan Pasal 1243 KUHPer atau perbuatan melawan hukum ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPer.
2.
Tanggung jawab pidana yaitu dalam hal Notaris melakukan perbuatan hukum yang dilarang oleh Undang-Undang baik karena kesengajaan atau kelalaiaan yang menimbulkan kerugian kepada pihak lain. Setelah keluarnya putusan mahkamah konstitusi Nomor : 49/PUU-X/2013
tanggal 28 Mei 2013 yang mencabut Pasal 66 ayat 1 tersebut, khususnya pada frasa tentang kewajiban untuk mendapatkan persetujuan dari Majelis pengawas Daerah (MPD) maka pihak kepolisian apabila ingin melakukan pemangilan atau pemeriksaan terhadap seorang notaris tidak lagi melalui izin dari MPD. Pasal-pasal tindak pidana yang sering muncul dalam pelaksanaan tugas notaris yaitu Pasal 263 KUHP jo Pasal 264 ayat (1) KUHP tentang pemalsuan surat. Dalam
5
pasal 263 KUHP tersebut ada dua macam pemalsuan surat yaitu : (1) Membuat surat palsu (valscheelijkop maakt) yaitu perbuatan membuat surat yang isinya bukan semestinya atau isinya tidak benar. Dalam hal ini dibuat suatu surat yang isinya tidak benar namun suratnya sendiri asli atau sering disebut aspal (asli tapi palsu) karena tidak ada sesuatu yang dirubah, ditambah ataupun dikurangi. (2) Memalsukan surat (vervalscht) yaitu memalsukan surat-surat dengan cara merubah, menambah, mengurangi atau menghapus sebagian tulisan yang ada dalam suatu surat. Jadi suratnya sudah ada tetapi surat itu kemudian dilakukan perubahan sehingga bunyi dan maksudnya berbeda dari aslinya. Pasal 264 KUHP hanyalah merupakan pemberatan dari tindak pidana yang diatur dalam Pasal 263 KUHP. Banyaknya notaris yang kena kasus hukum itu harus dibenahi oleh lembaga yang mengangkatnya. Misalnya jumlah notaris yang sudah tidak sesuai dengan permintaan pasar, tetapi akibat jumlah notaris yang terus bertambah yang berdampak persaingan yang kurang sehat sehingga terjadi perebutan klien (pasar) yang mengakibatkan notaris mengenyampingkan ketentuan-ketentuan perundangan dan etika profesi. Dalam hal seorang Notaris tersebut sudah di tetapkan sebagai tersangka apakah bisa dilakukan pemberhentian sementara sebagaimana yang tercantum di dalam Undang-undang Jabatan Notaris Pasal 9 tidak disebutkan apakah Notaris yang bersangkutan tetap boleh menjalankan tugasnya sebagai Pejabat pembuat akta otentik atau tidak ketika Notaris tersebut telah di tetapkan sebagai tersangka.
6
Berdasarkanhal-hal yang diutarakan diatas menjadikan peneliti membuat penulisan tesis denganjudul : KEWENANGAN NOTARIS YANG BERSTATUS TERSANGKA DALAM MENJALANKAN TUGASNYASEBAGAI PEJABAT UMUM MEMBUAT AKTA OTENTIK. B. RumusanPermasalahan Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana kewenangan Notaris yang telah ditetapkan sebagai tersangka menjalankan tugas jabatannya membuat akta otentik ?
2.
Apakan akibat hukum terhadap akta yang telah dibuat oleh notaris yang telahditetapkansebagaitersangka?
C. KeaslianPenelitian Keaslian penelitian dapat diartikan bahwa masalah yang dipilih belum pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya. Adapun beberapa hasil penelitian ilmiah yang memiliki relevansi terhadap penulisan tesis ini antara lain: 1. Agung Sulistyawan Novriyanto (2009) 2 penelitian mengenai implementasi pemanggilan notaris menurut Pasal 66 Ayat (10) huruf B UUNo. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris di Kabupaten Bantul. Fokus permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini memfokuskan kepada fator-faktor apa yang menghambat pelaksanaan pemanggilan notaris di Kabupaten Bantul dan Bagaimana pelaksanaan pemanggilan Notaris di Kabupaten Bantul. 2
Agung Sulistyawan Novriyanti, “Pemanggilan Notarismenurut Pasal 66 Ayat (10) huruf B undangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris di Kabupaten Bantul”, Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2009.
7
2. Aisyah, Andi Sity (2009) 3 penelitian ini mengenai implementasi pemanggilan notaris yang terkait dengan perkara pidana berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris di Kota Makasar. Fokus permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini memfokuskan kepada faktor-faktor penghambat pelaksanaan pemanggilan Notaris yang terkait dengan perkara pidana dan implementasi pemanggilan notaris yang terkait dengan perkara pidana. Kesamaan penelitian yang dilakukan oleh penulis dengan penelitian sebelumnya adalah bahwa objek yang diteliti tentang pemanggilan notaris. Adapun yang menjadi perbedaan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, dimana penulis lebih berkonsentrasi pada kewenanggan seorang Notaris yang berstatus tersangka dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat pembuat akta otentik.Oleh karenanya penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan. D. TujuanPenelitian Setiap penulisan karya ilmiah pada dasarnya pasti selalu mempunyai suatu tujuan tertentu yang ingin dicapai oleh penulis, yang selanjutnya diharapkan tercapai penyelesaian yang lebih baik. Dalampenelitianini, tujuan yang hendakdicapaiolehpenulisyaitu : 1. Mengetahui apa kewenangan seorang Notaris sebagai pejabat pembuat akta otentik ketika seorang Notaris tersebut dinyatakan sebagai tersangka.
3
Aisyah,Andi Sity, “Implementasi pemanggilan Notaris yang terkait dengan perkara pidana berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris di Kota Makasar”,Tesis, Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2009.
8
2. MengetahuiProsedurapasaja
yang
dilakukanuntukmelakukansanksipemberhentiansementaraterhadapNotaris yangdinyatakansebagaitersangka. E. Kegunaan Penelitian Kegunaan dilakukannya penelitian adalah: 1. Segi teoritis yaitu untuk mengembangkan wawasan dan pengetahuan penulis serta hasil penelitian ini akan memperluas wacana dan mendorong perkembangan ilmu hukum khususnya di bidang kenotariatan. 2. Segi praktis yaitu untuk memberikan sumbangsih pemikiran bagi kalangan yang bertugas, baik yang menetapkan kebijaksanaan dan peraturan secara umum mengenai pertanggungjawaban, maupun bagi aparat petugas operasional yang menangani kasus tersebut sehingga tidak melanggar ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku serta tidak merugikan para pihak yang terlibat.