BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Lalu lintas dan angkutan jalan merupakan hal yang penting dalam
meningkatkan mobilitas sosial masyarakat. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) merupakan hal yang sangat dekat dekat masyarakat. Setiap waktu masyarakat terus bergulat dengan Angkutan Jalan dengan bermacam-macam kepentingan. Sejarah Lalu lintas dan Angkut an Jalan di Indonesia telah melewati berbagai masa sejak dari masa Pemerintahan Belanda sampai pada era refomasi pada saat ini. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pun telah melewati berbagai kondisi zaman dibarengi dengan berbagai kemajuan di Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi sampai perubahan pola tingkah laku masyarakat. Sebagai pemakai jalan raya, kurangnya disiplin merupakan penyebab utama terjadinya kecelakaan lalu lintas. Kebiasaan rupanya sudah mempengaruhi masyarakat bahwa orang baru merasa melanggar peraturan lalu lintas si pelanggar itu tertangkap oleh petugas. 1 Lalu lintas dan Angkutan Jalan ketika pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda diatur dalam “Werverkeersordonnantie” (Staatsblad 1933 Nomor 86). Perkembangan selanjutnya Weverkeersordonnantie tidak sesuai lagi dengan tuntutan dan dirubah lagi dalam Staatsblad 1940 No. 72. Kemudian Werverkeersordonnantie dirubah lagi setelah Indonenesia tepatnya pada tahun 1951 dengan UU No. 3 Tahun 1951 Perubahan Dan Tambahan Undang Undang 1
http://id.wikipedia.org/wiki/Arah_lalu_lintas diakses pada tanggal 27 Agustus 2013 pukul 14.34 wib
Universitas Sumatera Utara
Lalu Lintas Jalan (Werverkeersordonnantie, Staatsblad 1933 No. 86). Kemudian Selang 15 Tahun kemudian dari berlakunya UU No. 15 Tahun 1951 Pemerintah Indonesia mengatur lagi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kedalam UndangUndang yang baru serta Mencabut peraturan sebelumnya tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Maka Lahirnya UU No. 3 Tahun 1965 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang pada waktu itu atas persetujuan bersama antara Presiden Soekarno dengan DPR GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong). UndangUndang No. 3 Tahun 1965 ini bahwa ini adalah Undang-Undang pertama yang mengatur LLAJ di Indonesia setelah Indonesia merdeka. 2 Seiring dengan perkembangan zaman dan IPTEK pada 27 Tahun Kemudian diatur kembali LLAJ di Indonesia dengan Undang-Undang yang baru yaitu Undang-Undang No. 14 Tahun 1992. Ada hal yang menarik dari UU No. 14 Tahun 1992 ini bahwa Undang-Undang ini sempat ditangguhkan selama setahun melalui PERPU No 1 Tahun 1992 yang disahkan menjadi Undang-Undang No. 22 Tahun 1992. Sebagaimana yang terdapat dalam Konsideran UU No. 22 Tahun 1992 poin c dikatakan bahwa: ” Bahwa seiring dengan tujuan yang ingin diwujudkan sebagaimana tersebut diatas, dan setelah mempertimbangkan segala sesuatunya dengan seksama, maka untuk menjaga agar pelaksanaannya dapat berlangsung dengan sebaik-baiknya dipandang perlu untuk menangguhkan berlakunya UndangUndang tersebut guna memberi waktu yang lebih cukup lagi untuk meningkatkan pemahaman, persiapan dan kesiapan segenap aparatur pemerintah yang bersangkutan serta masyarakat pada umumnya mengenai Undang-Undang tersebut ”
2
http://feriansyach.wordpress.com/2011/03/08/sejarah-singkat-regulasi-lalu-lintas-danangkutan-jalan-di-indonesia/ di akses pada tanggal 27 Agustus 2013 pukul 14.40 wib
Universitas Sumatera Utara
Dengan Lahirnya Undang-Undang No. 22 tahun 1992 makanya UU No. 14 tahun 1992 ditangguhkan pelaksanaanya yang direncanakan pada 17 september 1992 menjadi 17 September 1993 Karena berbagai pertimbangan dari pemerintah. Selanjutnya UU mengenai LLAJ terkahir kali diatur di Indonesia dengan UndangUndang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Jalan dengan semangat reformasi dan semangat perubahan. 3 Maraknya kasus-kasus kecelakaan lalu lintas di jalan raya yang terjadi akhir-akhir ini, sebagai catatan sebut saja mulai dari kasus kecelakaan tunggal yang menimpa artis dangdut Saipul Jamil bersama sang istri Virginia di ruas tol Cipularang yang mengakibatkan meninggalnya istri Saipul Jamil, Kasus tabrakan Xenia maut yang dikendarai Afriani Susanti hingga menewaskan 9 orang di daerah Tugu Tani Jakarta, Kasus tabrakan beruntun Honda Jazz maut yang dikemudikan oleh Hadi Reski Ramadhani seorang pelajar/siswa SMP yang menabrak 15 orang dan mengalami luka-luka di Makassar, Kasus tabrakan Mercy Maut yang dilakukan oleh Darsan Sutrisna yang menabrak orang-orang di pinggir Bundaran HI sehingga mengakibatkan satu orang tewas dan dua orang lainnya luka-luka. Selanjutnya kasus tabrakan yang cukup menghebohkan dilakukan oleh seorang model Novi Amalia yang menabrak 7 orang di kawasan Taman Sari, Jakarta Barat, yang mengakibatkan korban-korban mengalami luka ringan, Kasus kecelakaan
Livina
Maut
yang
dilakukan
oleh
Andika
Pradipta
yang
mengakibatkan 2 orang tewas, dan 5 orang mengalami luka-luka di sekitar jalan
3
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Ampera Jakarta, hingga kasus kecelakaan lalu lintas yang baru ini terjadi menimpa Rasyid Amrullah, pengemudi BMW X5, anak dari Menteri Hatta Rajasa, yang mengakibatkan merenggut dua nyawa di Tol Jagorawi. Faktor dominan dalam terjadinya kasus-kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi adalah kelalaian atau kekurang hati-hatian pengemudi, hal ini bisa disebabkan karena dugaan mengemudi dalam keadaan mengantuk, sampai kepada mengemudi di bawah pengaruh narkoba dan alkohol. Masalah yang sering muncul di dalam berlalu lintas salah satunya adalah masalah kelalaian dari pengendara kendaraan bermotor itu sendiri, pengendara kendaraan bermotor sering lalai dalam mengendarai kendaraan sehingga dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas. Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan pada Pasal 229 ayat 1 sampai 5 menyebutkan ada tiga jenis kecelakaan lalu lintas , yaitu kecelakaan lalu lintas ringan ( yang berakibat kerusakan kendaraan atau barang ), kecelakaan lalu lintas sedang (yang berakibat kerusakan kendaraan atau barang dan juga mengakibatkan orang lain mengalami luka ringan), dan kecelakaan lalu lintas berat ( yang dapat mengakibatkan orang lain meninggal dunia atau luka berat). Selama tahun 2010, terdapat 8.284 kasus kecelakaan lalu lintas di Sumatera Utara dengan korban meninggal dunia sebanyak 2.398 atau 6 orang per harinya, luka berat sebanyak 3.691 atau 9 orang per harinya, dan luka ringan sebanyak 5.718 atau 15 orang per harinya. Selama tahun 2011, terdapat 7.851 kasus kecelakaan lalu lintas di Sumatera Utara dengan korban meninggal dunia sebanyak 2.481 atau 6 orang per harinya, luka berat sebanyak 4.156 atau 11 orang
Universitas Sumatera Utara
per harinya, dan luka ringan sebanyak 7.285 atau 22 orang per harinya, dan selama tahun 2012 terdapat 8.198 dengan korban jiwa meninggal dunia sebanyak 2.202 atau 6 orang per harinya, luka berat sebanyak 4.604 atau 12 orang per harinya, dan luka ringan sebanyak 8.414 atau 22 orang per harinya. 4 Tabel kasus kecelakaan di Dit Lantas Polda Sumut ( 2010 – 2012 ) Tahun Jumlah Keterangan Kasus
Tewas per tahun / Luka
Berat
per Luka
ringan
Per hari
tahun / per hari
tahun / per hari
2010
8.284
2.398 / 6
3.691 / 9
5.718 / 15
2011
7.851
2.481 / 6
4.156 / 11
7.285 / 22
2012
8.198
2.202 / 6
4.604 / 12
8.414 / 22
per
Sumber: Data statistik Dit Lantas Polda Sumut ( 2010 – 2012 ) Pada perkembangannya, lalu lintas jalan dapat menjadi masalah bagi manusia, karena semakin banyaknya manusia yang bergerak atau berpindahpindah dari satu tempat ketempat lainnya, dan semakin besarnya masyarakat yang menggunakan sarana transportasi angkutan jalan, maka hal inilah yang akan mempengaruhi tinggi rendahnya angka kecelakaan lalu lintas. Pada kecelakaan lalu lintas yang terjadi antara lain disebabkan oleh kelelahan, kelengahan, kekurang hati-hatian, dan kejenuan yang dialami pengemudi. Berbicara tentang kecelakaan lalu lintas, pada dasarnya di sebabkan oleh empat faktor, yaitu faktor manusia, faktor kendaraan, kompatibilitas antara manusia dan kendaraan ( Human Machine compatibility ) dan faktor lingkungan 4
http://www.hariansumutpos.com/2013/05/57654/mari-ciptakan-budaya-tertib-berlalulintas#axzz2hZLQjsW3 27 Agustus 2013 pukul 15.13 wib
Universitas Sumatera Utara
jalan. Dari keempat faktor tersebut, maka faktor manusia menjadi faktor yang paling sering dalam menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas. Mengenai kecelakaan lalu lintas, tentu tidak bisa terlepas dari adanya sanksi hukum yang akan menjerat para pelaku yang menyebabkan pelanggaran lalu lintas tersebut. Hal ini tentunya perlu diketahui oleh semua pihak, agar diharapkan para pengemudi kendaraan dapat bersikap lebih berhati – hati ketika mereka berada di jalan raya, sehingga tidak ceroboh yang mana akan mengakibatkan terjadinya kecelakaan lalu lintas yang pada akhirnya menimbulkan adanya korban baik itu korban meninggal, korban luka – luka, serta kerugian materil yang pasti akan terjadi. Oleh sebab itu, di harapkan kecelakaan lalu lintas dapat ditekan jatuhnya korban jiwa. 5 Jika kita melihat dari penjabaran diatas, maka dapat dilihat bahwa pelaku dari terjadinya suatu kecelakaan lalu lintas dimana faktor manusia faktor penyebabnya. Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis termotivasi untuk mengakaji dan membahas secara mendalam tentang topik skripsi yang berjudul: “ Penerapan Sanksi Pidana Pada Kasus Kelalaian Pengemudi Yang Menimbulkan
Kecelakaan
Lalu
Lintas
(
Studi
Putusan
No.
854/Pid.B/2012/PN.Mdn )”
5
Berlin Situmorang, Skripsi, Kajian Yuridis Terhadap Anak Yang Karena Kelalaiannya Mengakibatkan Terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas ( Medan: ,Fakultas Hukum USU, 2011 ), Hal 4
Universitas Sumatera Utara
B.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka yang menjadi
permasalahan adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah peraturan hukum terhadap tindak pidana pelanggaran lalu lintas? 2. Apa faktor – faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas yang dapat di pidana? 3. Bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban pengemudi terhadap kasus kelalaian
pengemudi
yang
menimbulkan
kecelakaan
lalu
lintas
dihubungkan dengan Undang – undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan angkutan Jalan ( Studi Putusan No. 854/Pid.B/2012/PN.Mdn)? C.
Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan Berdasarkan uraian dari latar belakang diatas yang telah di uraikan, maka
tujuan dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui peraturan – peraturan hukum terhadap tindak pidana pelanggaran lalu lintas 2. Untuk mengetahui faktor – faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas yang dapat di pidana 3. Untuk melihat bentuk pertanggungjawaban pengemudi terhadap kasus kelalaian pengemudi yang menimbulkan kecelakaan lalu lintas.
Universitas Sumatera Utara
2. Manfaat Penulisan a. Secara Teoritis Secara teoritis, penulisan skripsi ini diharapkan akan menambah kepastian hukum pada khususnya dan menjadi bahan untuk penelitian lebih lanjut dalam bidang hukum pidana pada umumnya dan tentang penerapan sanksi pidana pada kasus kelalaian pengemudi yang menimbulkan kecelakaan lalu lintas sehingga diharapkan skripsi ini dapat menjadi bahan masukan bagi mahasiswa serta dapat memperluas dan menambah pengetahuan mengenai hukum pidana. b. Secara Praktis Secara praktis, pembahasan mengenai permasalahan penulisan skripsi ini diharapakan dapat menjadi bahan masukan bagi masyarakat dan aparat penegak hukum yang diharapkan dapat meningkatkan kesadaran hukum dan perannya dalam menerapkan sanksi pidana pada kasus kelalaian pengemudi yang menimbulkan kecelakaan lalu lintas di Indonesia. D.
Keaslian Penulisan Skripsi ini yang judul “Penerapan Sanksi Pidana Pada Kasus Kelalaian
Pengemudi Yang Menimbulkan Kecelakaan Lalu Lintas ( Studi Putusan No. 854/Pid.B/2012/PN.Mdn )”. Sebelumnya ada Skripsi atas nama Berlin Situmorang dengan judul” Kajian Yuridis Terhadap Anak yang Karena Kelalaiannya Mengakibatkan Terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas” tidak di temukan pokok permasalahan yang sama dengan judul skripsi ini. Adapun permasalahan pada Skripsi Berlin Situmorang adalah faktor – faktor apakah yang menyebabkan terjdainya lalu lintas dan bagaimana penerapan hukum terhadap
Universitas Sumatera Utara
anak yang karena kelalaiannya mengakibatkan terjadinya kecelakaan lalu lintas dalam putusan No. 3969/Pid.B/2010/PN-MDN. Pada prinsipnya karya ilmiah ini penulisan
memperolehnya
berdasarkan
literaratur
yang
ada,
baik
dari
perpustakaan, media masa cetak maupun elektronik, ditambahkan pemikiran penulis. Oleh karena itu skripsi ini adalah asli merupakan karya ilmiah milik penulis dan bila ternyata terdapat judul serta permasalahan yang sama sebelum skripsi ini di buat maka dapat dipertanggungjawabkan secara moral maupun akademik. E.
Tinjauan Kepustakaan 1.
Pengertian Pidana
Pidana berasal dari kata Straf ( Belanda ), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagi suatu penderitaan ( nestapa ) yang sengaja dikenakan / ditujukan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana. Menurut Moeljatno dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, istilah hukuman berasal dari kata Straf, merupakan suatu istilah yang konvensional. Moeljatno menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu pidana. 6 Menurut Andi Hamzah, 7 ahli hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dengan pidana, yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah Straf. Istilah hukuman 8 adalah istilah umum yang dipergunakan untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum perdata, administrative, disiplin dan pidana, 6
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori – Teori dan Kebijakan Pidana, ( Bandung: Alumni, 2005 ), Hal 1 7 Andi Hamzah, Asas – Asas Hukum Pidana, ( Jakarta: Rineka Cipta, 2008 ), hal 27 8 Andi Hamzah dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1983 Hal 20 bisa juga di lihat di Mohd. Ekaputra dan Abul Khair, Sistem Pidana Di Dalam KUHP dan Pengaturannya Menurut Konsep KUHP Baru,( USU Press, Medan, 2010), hal 1.
Universitas Sumatera Utara
sedangkan istilah pidana diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan hukum pidana. Berikut ini pengertian pidana yang dikemukakan oleh beberapa ahli: 1. Menurut Van Hammel, Pidana adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata – mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegaskkan oleh negara.
9
2. Simons 10 “ Het leed, door de strafwet als gevolg aan de overtrading van de norm verbonden, data aan den schuldige bij rechterlijk vonnis wordt opgelegd.” (artinya: suatu penderitaan yang oleh undang – undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah. 3. Menurut Sudarto 11, Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat – syarat tertentu. 4. Menurut Roelan Saleh 12, Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpahkan negara pada pembuat delik itu.
9 10 11 12
P.A.F.Lamintang, Hukum Penintensier Indonesia,( Bandung: Armico, 1984 ), Hal 34 Ibid, Hal 35 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, ( Bandung: Alumni, 1981), Hal 109 - 110 Mohd. Ekaputra dan Abul Khair, Op Cit, Hal 3
Universitas Sumatera Utara
5. menurut Ted Honderich 13, Pidana adalah Suatu penderitaan dari pihak yang berwenang sebagai hukuman ( sesuatu yang meliputi pencabutan dan penderitaan ) yang dikenakan kepada seorang pelaku karena sebuah pelanggaran. 6. Menurut G.P.Hoefnagels, ia tidak setuju dengan pendapat bahwa pidana merupakan
suatu
pencelaan
(censure
atau
suatu
penjeraan)
(discouragement ) atau merupakan suatu penderitaan ( suffering ), pendapatnya ini bertolak dari pidana, bahwa sanksi dalam hukum pidana adalah semua reaksi terhadap pelanggaran hukum yang telah ditentukan oleh undang – undang, sejak penahanan dari pengusutan terdakwa oleh polisi sampai vonis dijatuhkan. Jadi Hoefnagels melihatnya secara empiris bahwa pidana merupakan suatu proses waktu. Keseluruhan proses pidana itu sendiri ( sejak penahanan, pemeriksaan sampai vonis dijatuhkan ) merupakan suatu pidana. 14 Berdasarkan berbagai pandangan para ahli tentangg arti pidana, tidak dapat dipungkiri bahwa nestapa atau penderitaan itu merupakan suatu unsure yang memang ada dalam suatu pidana. Menurut Sahetapy dalam Muhari Agus Santoso 15, bahwa dalam pengertian pidana terkandung unsure penderitaan tidaklah disangkal. Penderitaan dalam konteks membebaskan harus dilihat sebagai obat untuk dibebaskan dari dosa dan kesalahan. Jadi penderitaan sebagai akibat
13
Muhammad Taufik Makarao, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi tentang bentuk – bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu bentuk Pemidanaan,( Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005 ), Hal. 18 14 Ibid, Hal 9 - 10 15 Muhari Agus Santoso, Paradigma Baru Hukum Pidana, ( Malang; Averroes Press, 2002 ), Hal. 25
Universitas Sumatera Utara
Pidana merupakan kunci jalan keluar yang membebaskan dan yang member kemungkinan bertobat dengan penuh keyakinan. H.L.Packer sebagaimana dikutip oleh Muladi dan Barda Nawawi Arief16 dalam bukunya “The limits of criminal sanction”, akhirnya menyimpulkan antara lain sebagai berikut: 1. Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun di masa yang akan datang, tanpa pidana. 2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatan – kejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman – ancaman dari bahaya. 3. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama / terbaik dan suatu ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat – cermat dan secara manusiawi,
ia
merupakan
pengancam,
apabila
digunakan
secara
sembarangan dan secara paksa. Berdasarkan beberapa pengertian pidana yang dikemukakan oleh para ahli, Muladi dan Barda Nawawi Arief menyimpulkan bahwa pidana ( straf ) itu pada dasarnya mengandung unsur atau ciri – ciri sebagai berikut: 17 1. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat – akibat lainnya yang tidak menyenangkan. 2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan ( oleh yang berwenang ). 16 17
Muladi dan Barda Nawawi arief, Op.Cit, Hal 155 - 156 Muladi dan Barda Nawawi arief, Op Cit, Hal 4
Universitas Sumatera Utara
3. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang – undang. 2. Pengertian Kelalaian Menurut
doktrin,
schuld,
Nalatighzid,
Recklessness,
Negligence,
Fahrlassigkeit, Sembrono, Teledor yang sering diterjemahkan sebagai kealpaan ( Culpa ). 18 Mengenai kealpaan ini keterangan resmi dari pihak pembentuk W.v.S. adalah sebagai berikut: Pada umumnya bagi kejahatan – kejahatan wet mengharuskan bahwa kehendak terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Kecuali itu keadaan yang dilarang itu mungkin sebagian besar berbahanya terhadap keamanan umum mengenai orang atau barang dan jika terjadi menimbulkan banyak kerugian, sehingga wet harus bertindak pula terhadap mereka yang tidak berhati – hati, yang teledeor. 19 Meskipun pada umumnya bagi kejahatan-kejahatan diperlukan adanya kesengajaan, tetapi terhadap sebagian daripadanya ditentukan bahwa di samping kesengajaan itu orang juga sudah dapat dipidana bila kesalahannya berbentuk kealpaan. Misalnya KUHP Pasal 359: “karena salahnya menyebabkan matinya orang lain, mati orang disini tidak dimaksud sama sekali oleh pelaku, akan tetapi kematian tersebut hanya merupakan akibat dari pada kurang hati-hati atau lalainya pelaku tersebut. Sedangkan KUHP Pasal 360 ayat (1) karena salahnya menyebabkan orang luka berat, disini luka berat mempunyai artian suatu penyakit atau luka yang tak boleh diharap akan sembuh lagi dengan sempurna atau dapat mendatangkan bahaya maut, dan ayat (2) menjelaskan karena salahnya 18 19
Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Penerbit Yayasan Sudarto, 1990), Hal 123 Moelijatno, Asas-asas Hukum Pidana.,( Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal 198
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan orang luka sedemikian rupa, yang dimaksud luka ringan adalah luka atau sakit bagaimana besarnya dan dapat sembuh kembali dengan sempurna dan tidak mendatangkan bahaya maut.20
Beberapa pendapat ahli menyebutkan syarat untuk adanya kealpaan: 21 a. Hazewinkel – Suringa Ilmu pengetahuan hukum dan jurisprudensi mengartikan “Schuld” sebagai: 1. Kekurangan penduga – duga atau 2. Kekurangan penghati – hati b. Van Hamel Kealpaan mengandung dua syarat: 1. Tidak mengadakan penduga – duga sebagaiamana diharuskan oleh hukum. 2. Tidak mengadakan penghati – hati sebagaimana diharuskan oleh hukum. c. Simons Pada umumnya kealpaan mempunyai dua unsur: 1. Tidak adanya penghati – hati, di samping 2. Dapat diduganya akibat. d. Pompe Ada 3 macam yang masuk kelapaan: 1. Dapat mengirakan “Kunnen verwahten” timbulnya akibat 20 21
Moelijatno, Op,Cit Hal 198 Sudarto, Ibid Hal 124
Universitas Sumatera Utara
2. Mengetahui adanya kemungkinan “Kennen der mogelijkheid “ 3. Dapat mengetahui adanya kemungkinan “ Kunnen kennen van de mogeijkheid “ Beberapa para ahli mengartikan kealpaan sebagai berikut: Menurut D. Simons 22 menerangkan sebagai berikut: “Umumnya kealpaan itu terdiri atas dua bagian, yaitu tidak berhati-hati melakukan suatu perbuatan, disamping dapat menduga akibat perbuatan dan dilakukan dengan hati-hati, namun kemungkinan tetap saja akan terjadi kealpaan, jika yang berbuat itu mengetahui bahwa dari perbuatannya itu akan timbul suatu akibat yang dilarang undang-undang. Kealpaan terdapat apabila seseorang tetap saja melakukan perbuatan itu meskipun ia telah mengetahui atau menduga akibatnya. Dapat di duganya suatu akibat terlebih dahulu oleh pelaku maka hal tersebut adalah syarat mutlak. Suatu akibat yang tidak dapat di duga terlebih dahulu maka tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya
sebagai
kealpaan.
Tentu
dalam
hal
mempertimbangkan ada atau tidaknya “dapat diduganya lebih dahulu” itu, harus diperhatikan dari pribadi si pelaku. Kealpaan tentang keadaan yang menjadikan perbuatan itu suatu perbuatan yang diancam hukuman, terdapat kalau si pelaku dapat mengetahui bahwa keadaan itu tidak ada.” Menurut Langemenyer 23 menyatkan bahwa; “Kealpaan adalah suatu struktur yang sangat gepcompliceerd. Dia mengandung dalam satu pihak kekeliruan dalam perbuatan lahir, dan menunjuk kepada adanya keadaan batin yang tertentu, dan dilain pihak keadaan batinnya itu sendiri, jika diartikan 22
Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, ( Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2005 ), hal 25 23 Moelijatno, Ibid, hal 200
Universitas Sumatera Utara
demikian maka culpa mencakup semua makna kesalahan dalam arti luas yang bukan nerupa kesengajaan ada sifat yang positif yaitu adanya kehendak dan penyetujuan yang disadari daripada bagia-bagian delik yang meliputi oleh kesengajaan, sedang sifat positif ini tidak ada dalam kealpaan, oleh karena itu dapatlah dimengerti bahwa dipakai istilah yang sama untuk kesalahan dalam arti yang luas dan kesalahan dalam arti yang sempit, meskipun ini tidak praktis”. Menurut Zamhari Abidin 24 seseorang itu dianggap sebagai lalai, bilamana keadaan perimbangan fisik sipelaku dengan perbuatan dan akibat yang timbul, berada dalam keadaan sedemikian rupa, sehingga dengan dasar kesempurnaan keadaan fisik sipelaku
itu, dapat
dipertanggungjawabkan
kepadanya ( dapat dibebankan kepadanya dan dapat dipersalahkan kepadanya ). Berdasarkan pengertian diatas dapat dijelaskan bahwa seseorang dapat dikatakan lalai apabila ia bertindak kurang hati – hati atau tidak memperhatikan kewajiban / pekerjaannya dalam keadaan perimbangan fisik si pelaku dengan perbuatan dan akibat yang timbul dapat dipertanggungjawabkan. Berdasarkan hal tersebut maka dalam doktrin kesalahan (schuld) kealpaan atau kelalaian (culpa) dibedakan atas :25 a. Kelalaian yang disadari (bewuste schuld) Kelalaian atau kealpaan terjadi apabila pelaku dapat memperkirakan akan timbulnya suatu akibat dan ia telah melakukan upaya untuk mencegah munculnya
24
Zamhari Abidin, Pengertian dan Asas Hukum Pidana dalam Skema dan Synopsis, ( Jakarta: Ghilia Indonesia, 1986 ), Hal 40 25 E.Y. Kanter dan SJL Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Cet III, ( Jakarta: Sinar Grafika 2002 ), hal 194
Universitas Sumatera Utara
akibat tersebut, namun akibat yang diperkirakannya itu tetap saja muncul. Dalam hal tersebut bewuste schuld adalah kelalaian yang disadari. b. Kelalaian yang tidak disadari (onbewuste schuld) Kelalaian atau kealpaan terjadi ketika pelaku dalam melakukan tindakannya tidak memperkirakan kemungkinan akan timbulnya suatu akibat dari tindakan tersebut padahal sepatutnya ia dapat memperkirakan akan timbulnya suatu akibat. Dalam unsur kesalahan ini, perlu dicermati perbedaan antara kelalaian yang disadari dengan dolus eventtialis yang hampir memiliki persamaan. Hezewinkel-Suringa mengutarakan antara kedua hal tersebut sebagai berikut : "Kealpaan dengan kesadaran mi ada, kalau yang melakukan perbuatan itu ingat akan akibat yang berbahaya itu. Tetapi tetap saja ia berani melakukan tindakan itu karena ia tidak yakin bahwa akibat itu benar akan terjadi dan ia tidak akan bertindak demikian kalau ia yakin bahwa akibat itu akan timbul." Syarat suatu perbuatan dapat dianggap sebagai kelalaian adalah sebagai berikut:26 - Adanya suatu kewajiban kehati-hatian (duty of care). - Tidak dijalankannya kewaj iban kehati-hatian tersebut - Adanya kerugian bagi orang lain. - Adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan atau tidak melakukan perbuatan dengan kerugian yang timbul. Mengacu pada pertimbangan kepatutan pelaku untuk memperkirakan timbulnya akibat dari pelaku untuk memperkirakan kemungkinan timbulnya akibat dari tindakan pelaku yang disandarkan pada perhitungan umum, maka sebagaimana
26
Ibid 195
Universitas Sumatera Utara
kesengajaan, doktrin hukum pidana juga membuat gradasi terhadap kelalaian dengan ukuran kecerdasan dan kekuatan daya ingat pelaku sebagai tolak ukur. Dilihat dari sudut ini, unsur kesalahan dapat dibedakan menjadi: 27 -
Culpa lata, yaitu kelalaian berat.
Pada jenis kelalaian ini disyaratkan adanya kekurang waspadaan terhadap timbulnya akibat yang tidak diinginkan pada pelaku dalam melakukan tindakannya. Meskipun ukuran grove schuld atau culpa lata ini belum setegas kesengajaan. Namun, dengan istilah grove schuld ini kesalahan kasar sudah ada sekedar pertimbangan bahwa tidak masuk culpa apabila seseorang pelaku tidak perlu sangat berhati-hati untuk bebas dari hukuman. -
Culpa Levis, yaitu kelalaian yang ringan
Pada jenis kelaiaian ini disyaratkan adanya hasil perkiraan atau perbandingan antara pelaku dengan orang lain yang sejajar tingkat kecerdasannya. Karena didasarkan pada kepentingan umum, maka perbandingan berdasarkan ievel kecerdasan pelaku ini tetap memperhatikan faktor pengetahuan dan persepsi pelaku sebagai ukuran kriteria manusia normal. Mengenai adanya culva levis, para ahli menyatakan tidak di jumpai di dalam jenis kejahatan, oleh karena sifatnya yang ringan. Akan tetapi dapat terlihat di dalam hal pelanggaran dari buku in KUHP, sebaliknya ada pandangan bahwa culva levis oleh undang-undang tidak doperhatikan sehingga tidak diancam pidana,
27
Ibid, Hal 194
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan bagi culva lata, dipandang tersimpul di dalam kejahatan karena kealpaan.28 3.
Pengertian Pengemudi Pengemudi dalam bahasa Inggrisnya adalah Driver, Driver atau
pengemudi adalah orang yang mengemudikan kendaraan baik kendaraan bermotor atau orang yang secara langsung mengawasi calon pengemudi yang sedang belajar mengemudikan kendaraan bermotor ataupun kendaraan tidak bermotor seperti pada bendi / dokar disebut juga sebagai kusir, pengemudi becak sebagai tukang becak, pengemudi mobil disebut juga sebagai sopir, sedangkan pengemudi sepeda motor disebut sebagai pengendara. Di dalam mengemudikan kendaraan seorang pengemudi diwajibkan untuk mengikat tata cara berlalu lintas, seseorang yang telah mengikuti ujian dan lulus ujian teori dan praktik mengemudi akan dikeluarkan Surat Izin Mengemudi (SIM). Pelaksana penerbitan surat izin mengemudi kendaraan bermmotor di Indonesia adalah satuan lalu lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia. 29 Pengemudi menurut Undang – Undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang telah memiliki Surat Izin Mengemudi. 30 4. Pengertian Kecelakaan Lalu Lintas Kecelakaan terjadi secara tidak kebetulan, melainkan ada penyebabnya. Oleh karena ada penyebabnya, maka penyebab kecelakaan harus dianalisis dan 28
Bambang Poernomo, Asas – Asas Hukum Pidana, ( Jakarta: Ghalia Indonesia, 1993 ), Hal
173 29
http://id.wikipedia.org/wiki/Pengemudi diakses pada tanggal 13 Oktober 2013 pada pukul 14.45 WIB 30 Pasal 1 butir 23 Undang – undang No 22 Tahun 2009
Universitas Sumatera Utara
ditemukan, agar tindakan korektif kepada penyebab itu dapat dilakukan serta dengan upaya preventif lebih lanjut kecelakaan dapat dicegah. kecelakaan
dapat
diartikan
sebagai
suatu
kejadian
yang
tidak
direncanakan yang dapat disebabkan oleh faktor manusia, faktor jalan, faktor kendaraan faktor lingkungan, ataupun kombinasi-kombinasi dari hal-hal tersebut yang dapat mengganggu proses kerja dan dapat menimbulkan cedera ataupun tidak, kesakitan, kematian, kerusakaan property ataupun kejadian yang tidak diinginkan lainnya. Menurut Pasal 1 butir 24 Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, mengungkapkan kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja yang melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda. 31 Dari beberapa definisi kecelakaan lalu lintas dapat disimpulkan bahwa kecelakaan lalu lintas merupakan suatu peristiwa pada lalu lintas jalan yang tidak diduga dan tidak diinginkan yang sulit diprediksi kapan dan dimana terjadinya, sedikitnya melibatkan satu kendaraan dengan atau tanpa pengguna jalan lain yang menyebabkan cedera, trauma, kecacatan, kematian dan / atau kerugian harta benda pada pemiliknya (korban). Menurut Pasal 229 UU LLAJ Tahun 2009 menentukan sebagai berikut, Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas:
31
Pasal 1 butir 24 UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Universitas Sumatera Utara
a. Kecelakaan Lalu Lintas ringan yaitu kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang. b. Kecelakaan Lalu Lintas sedang yaitu kecelakaan yang mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang. c. Kecelakaan Lalu Lintas berat yaitu kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.
F. Metode Penelitian Bambang sunggono menyatakan bahwa dalam penulisan sebuah karya ilmiah ada beberapa 2 ( dua ) jenis metode penelitian, yaitu: 1.
Penelitian yuridis normatif disebut juga dengan penelitian hukum doktrinal karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya kepada peraturan-peraturan
yang
tertulis
dan
bahan
hukum
yang
lain.
Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan ataupun dilakukan
studi
dokumen disebabkan
terhadap
data
yang
penelitian ini
bersifat
sekunder
lebih yang
banyak ada
di
perpustakaan. Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris (penelitian lapangan). 32 2.
Penelitian yuridis empiris disebut juga dengan penelitian hukum non doktrinal karena penelitian
ini
berupa
studi-studi empiris
untuk
menemukan teori-teori mengenai proses terjadinya dan mengenai
32
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007 ). Hal 81
Universitas Sumatera Utara
proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat. Atau yang
disebut
juga sebagai Socio Legal Research. 33 Adapun jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis penelitian Penelitian yang akan digunakan dalam penulisan skripsi adalah dengan menggunakan jenis penelitian yuridis normatif yang didasarkan pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier serta menganalisis kasus yang berkaitan dengan judul skripsi ini, yaitu “Penerapan Sanksi Pidana Pada Kasus Kelalaian Pengemudi Yang Menimbulkan Kecelakaan Lalu Lintas ( Studi Putusan No. 854/Pid.B/2012/PN.Mdn )” 2. Sumber Data Data dalam penelitian dapat diperoleh dari: 1.
Bahan hukum primer, yaitu norma atau kaedah dasar, bahan hukum yang mengikat seperti Kitab Undang-undang Hukum Pidana maupun peraturanperaturan lain yang berkaitan dengan kebijakan hukum pidana dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yaitu Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
2.
Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen – dokumen resmi34, jadi bahan hukum sekunder ini bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer, dalam hal ini bahan acuan yang berisikan informasi tentang bahan primer yaitu berupa tulisan / buku yang berkaitan tentang kecelakaan lalu lintas
33
Ibid, hal. 43 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, ( Jakarta: Kencana Prenada, Media Group, 2009 ), hal 41 34
Universitas Sumatera Utara
3.
Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus Inggris - Indonesia,
kamus hukum,
ensiklopedia, karya ilmiah para sarjana, majalah, surat kabar, internet, dan Iain-lain. 3. Metode Pengumpulan Data Adapun metode pengumpulan data yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah dengan cara penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yaitu penelitian terhadap literatur – literatur untuk memperoleh bahan teoritis ilmiah yang digunakan sebagai dasar analisis terhadap substansi pembahasan dalam penulisan skripsi ini. 4. Analisis Data Analisis data adalah proses menafsirkan atau memaknai suatu data. Analisis data sebagai tindak lanjut proses pengolahan data merupakan perkerjaan seorang peneliti yang memerlukan ketelitian, dan pencurahan daya piker secara optimal, dan secara nyata kemampuan metodologis peneliti diuji. 35 Dari hasil analisis ini diharapkan dapat digunakan untuk menjawab permasalahan yang dikemukakan dalam skripsi ini dan akhirnya dapat digunakan untuk menarik suatu kesimpulan serta memberikan saran seperlunya. Dalam penulisan skripsi ini, data yang dianalisis adalah dengan metode kualitatif, yaitu dengan menganalisa data – data dan diuraikan melalui kalimat – kalimat yang merupakan penjelasan atas hal – hal yang terkait dalam penulisan skripsi ini.
35
Bambang Sunggono, Ibid, Hal 7.
Universitas Sumatera Utara
G. Sistematika Penulisan Agar terdapat suatu alur pemikiran yang tertip dan teratur secara sistematis maka penulisan skripsi ini disusun dalam suatu kerangka yang terdiri atas tiga bab dengan masing-masing bab memiliki sub bab, sebagai berikut : BAB I:
PENDAHULUAN Bab ini merupakan bab awal yang akan mendukung untuk memasuki bab-bab selanjutnya. Dimana bab ini akan memuat dan menguraikan hal-hal yang berkenaan dengan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat masalah penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II:
PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PELANGGARAN LALU LINTAS Bab ini akan membahas tentang defenisi tindak pidana dan unsur – unsur tindak pidana, asas – asas dan tujuan lalu lintas dan jalan raya, peranan UU No 22 Tahun 2009 dalam Perlindungan Penumpang Akibat lalainya mengemudi dan syarat - syarat pengemudi berdasarkan undang – undang No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
BAB III:
FAKTOR-FAKTOR KELALAIAN PENGEMUDI PENYEBAB TERJADINYA KECELAKAAN LALU LINTAS YANG BISA DIPIDANA Bab ini akan membahas dan menguraikan tentang faktor-faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas, baik yang datang dari dalam diri sipengemudi seperti mengantuk, menghayal, mengobrol,
Universitas Sumatera Utara
ugal-ugalan, serta belum terampil mengemudikan kendaraan maupun dari luar diri sipengemudi seperti faktor alam, jalan, kendaraan, pejalan kaki,dan penumpang. BAB IV:
BENTUK PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA KASUS KELALAIAN PENGEMUDI YANG MENIMBULKAN KECELAKAAN LALU LINTAS( STUDI HUKUM PUTUSAN NO. 854/PiD.B/2012/PN.Mdn) Bab
ini
akan
membahas
dan
menguraikan
tentang
pertanggungjawaban terhadap kasus kelalaian mengemudi perkara kecelakaan lalu lintas mulai dari penjatuhan pidana dan pertanggungjawaban pidana kelalaian dalam perkara kecelakaan lalu lintas BAB V:
KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bab akhir dimana akan dirumuskan mengenai kesimpulan yang didapat berdasarkan uraian dan pembahasan terhadap pokok permasalahan yang timbul. Kemudian dari hasil penulisan tersebut akan diakhiri dengan saran-saran.
Universitas Sumatera Utara