1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Perdagangan tembakau yang dibuat dalam bentuk rokok, saat ini masih
menjadi usaha yang menjanjikan keuntungan yang sangat besar bagi perekonomian dunia. Keuntungan tersebut mencakup sektor pertanian, industri, perdagangan serta keuangan. Akan tetapi, dibalik pertumbuhan ekonomi yang meningkat akibat tembakau itu sendiri, produksi tembakau dianggap sebagai sebuah bencana kesehatan yang menyangkut masyarakat global yang utama pada abad ke-20 ini.1 Jumlah konsumsi rokok di seluruh dunia diperkirakan mencapai 15 milyar batang per harinya, hal ini memberikan kerugian berat yang dapat mengancam kesehatan manusia. Hal ini dikarenakan rokok mengandung zat adiktif sehingga termasuk dalam golongan napza, seperti narkotika dan psikotropika. Kandungan zat-zat adiktif yang dikandung dalam setiap batang rokok ditengarai sebagai penyebab berbagai macam penyakit seperti kanker, paru-paru, gangguan jantung, impotensi dan masih banyak lagi penyakit yang lainnya yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia baik bagi perokok aktif maupun perokok pasif.2 Dampak rokok akan terasa setelah 10-20 tahun pasca digunakan. Paparan
1
Commission On Macroeconomics and Health, 2001, Confronting the Tobacco Epidemic in an Era of Trade Liberalization, Jenewa, WHO Press, h. 1. 2
Valentina S. Valdi, 2012, Global Health Governance at a Crossroads: Trademark Protection V.Tobacco Control in International Investment Law, Stanford Journal of International Law Stanford, h. 125.
2
asap rokok yang terus menerus pada orang dewasa yang sehat dapat menambah resiko terkena penyakit jantung dan paru paru sebesar 20 – 30 persen. Selain itu lingkungan yang tercemar akibat asap rokok dapat memperburuk kondisi seseorang yang mengidap penyakit asma, yang dapat menyebabkan bronkitis dan pneumonia.3 Data resmi dari WHO (World Health Organization) sampai saat ini menyatakan bahwa rokok telah merenggut nyawa rata-rata sekitar enam juta jiwa pengguna setiap tahunnya. Angka tersebut setengah dari jumlah total perokok di seluruh dunia.4 Tingginya jumlah perokok yang berbanding lurus dengan munculnya sejumlah kasus penyakit serta kematian akibat konsumsi rokok yang terjadi hampir di seluruh belahan dunia, menimbulkan rasa kekhawatirkan bagi masyarakat Internasional. WHO sebagai badan kesehatan dunia bekerja sama dengan Bank Dunia merumuskan suatu kerangka kerjasama untuk mengontrol penyebaran tembakau dengan membentuk Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau yang disebut kerangka kerjasama konvensi pengendalian tembakau, yang berlaku sejak tanggal 27 Februari 2005. FCTC merupakan kebijakan global yang diperuntukkan bagi negara-negara secara umum. Tujuan dibentuknya FCTC untuk
3
Murry Harmawan Saputra, 2000, Analisis Industri Rokok Kretek di Indonesia, Universitas Muhammadiyah Purwerejo, Purwerejo, h. 20. 4
Bsn, 2014, Kebijakan Plain Packaging For Tobacco Dan Food Label Menjadi Sorotan Negara Anggota WTO, dalamURL : http://www.bsn.go.id/main/berita/berita_det/5640/kebijakanplain-packaging-or-tobacco-dan-food-label-menjadi-sorotan-negara-anggota-wto-laporanrangkaian-sidang-komite-tbt--tanggal-4--6-november--2014-#.vyimw_mqqko, diakses pada tanggal 1 agustus 2015.
3
mengurangi secara terus-menerus dan secara substansial prevalensi konsumsi tembakau dan paparan asap tembakau.5 Berlakunya FCTC yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2005 merupakan sebuah langkah awal dalam pengendalian tembakau secaara global. Instrumen dalam FCTC ini mendukung negara-negara anggotanya dalam mengembangkan program pengendalian tembakau di tingkat nasionalnya untuk menekan kematian dan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan pengkonsumsian tembakau. Pada 28 Januari 2014 bersumber dari data terakhir yang di keluarkan oleh FCTC, sebanyak 193 negara yang menjadi anggota WHO, terdapat 185 (seratus delapan puluh lima) negara yang telah melakukan ratifikasi yang menjadi anggota WHO dan terdapat 8 (delapan) negara yang tidak melakukan ratifikasi FCTC.6 Indonesia merupakan salah satu anggota WHO yang ikut terlibat aktif dalam penyusunan rancangan FCTC baik dalam pertemuan – pertemuan internasional maupun pertemuan regional antara negara anggota WHO Kawasan Asia Tenggara, akan tetapi Indonesia merupakan satu-satunya negara di ASEAN dan Asia Pasifik yang belum menandatangani dan meratifikasi konvensi tersebut. Mengingat masalah yang dihadapi oleh Indonesia dalam pengendalian perdagangan tembakau ini sebenarnya sangatlah sulit dan serba salah, karena di satu sisi perdagangan tembakau ini akan meningkatkan jumlah perokok di Indonesia yang mana merokok dapat mengakibatkan dampak yang buruk bagi kesehatan, serta zat-zat yang terkandung dalam rokok sendiri merupakan sumber
5
6
WHO Framework Convention on Tobacco Control, Fifth-Sixth World Health Assembly.
WHO FCTC, 2015, Parties to the WHO Framework Convention on Tobacco Control, dalam URL : http://www.who.int/fctc/signatories_parties/en/, diakses pada tanggal 5 Agustus 2015.
4
dari berbagai macam penyakit. Tetapi disisi lain industri hasil tembakau tersebut memberikan kontribusi yang besar melalui pendapatan cukai. Industri hasil tembakau berkontribusi dalam penerimaan negara melalui cukai. Cukai tembakau sekarang ini memperlihatkan peningkatan rata-rata 13,64% dari Rp. 29 triliun pada tahun 2004 menjadi Rp. 49 triliun pada tahun 2008. Cukai hasil tembakau tersebut menyumbang Rp. 50,2 triliun yang merupakan jumlah penerimaan cukai pada tahun 2008.7 Pada tahun 2009 penerimaan negara dari cukai hingga akhir Oktober mencapai Rp. 46,201 triliun. Pada tahun 2010 ini ditargetkan penerimaan negara dari cukai adalah sebesar Rp. 55,9 triliun.8 Berdasarkan gambaran tersebut, maka pada dasarnya penerimaan cukai dari industri hasil tembakau berupa rokok memiliki potensi yang cukup besar dalam meningkatkan peranannya sebagai salah satu sumber dana pembangunan negara. Selain itu kontribusi temabaku sendiri banyak menyedot tenaga kerja karena lapangan kerja yang tercipta dari sektor tembakau dan industri hasil tembakau terdiri atas petani tembakau, pekerja pabrik rokok, pedagang rokok, hingga pedagang asongan serta rokok sendiri memiliki peranan yang sangat besar dalam memberikan kontribusi terhadap APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Dilihat dari sisi penyerapan tenaga kerja, baik langsung maupun tidak langsung, pada tahun 2008 industri hasil tembakau mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 6,1 juta orang dengan rincian petani tembakau 2 juta orang, petani 7
Anton Aprianto, 2008, “Reformasi Birokrasi Dongkrak Penerimaan Cukai 2008”, Majalah Tempo, dalam URL: http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2008/12/31/brk,20081231153253,id.html, diakses pada 2 Januari 2016. 8
Agoeng Wijaya, 2009, “Kenaikan Tarif Cukai Rokok Lebih 5 Persen”, Majalah Tempo, dalam URL : http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2009/11/04/brk,20091104206424,id.html, diakses pada pada 2 Januari 2016.
5
cengkeh 1,5 juta orang, tenaga kerja di pabrik rokok sekitar 600 ribu orang, pengecer rokok atau pedagang asongan sekitar 1 juta orang, dan tenaga kerja percetakan, periklanan, pengangkutan serta jasa transportasi sekitar 1 juta orang.9 Fakta tersebutlah yang selalu dijadikan alasan bagi Pemerintah Republik Indonesia (RI) untuk melindungi industri hasil tembakau dari segala bentuk regulasi, termasuk kesepakatan internasional seperti FCTC.10 Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar, pada tahun 2010 prevalensi perokok di Indonesia sangat tinggi dan didominasi oleh masyarakat yang berpendidikan rendah sebesar 37,8% dan masyarakat golongan miskin sebesar 35%. Sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa perokok dari kalangan orang yang berpendidikan bukan menjadi suatu permasalahan yang besar. Hal ini dapat diyakini bahwa perokok sudah meliputi seluruh lapisan masyarakat, baik itu kalangan ekonomi ke atas sampai ke bawah dan yang berpendidikan maupun tidak berpendidikan. Merokok bukanlah menjadi suatu permasalahan bagaimana tingkat pengetahuan seseorang, melainkan soal polapikir dari individu itu sendiri. Saat ini sekitar 45 persen remaja Indonesia yang berusia 13-19 tahun adalah perokok aktif, data dari Global Youth Tobacco Survey menyebutkan Indonesia merupakan negara dengan jumlah remaja perokok terbesar di Asia,"
9
10
Anton Aprianto, Loc.cit
Jeane Neltje Saly, 2011, Efektivitas Peraturan Terkait Pengendalian Produk Tembakau Terhadap Kesehatan, Laporan Akhir Penelitian Hukum Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia R.I., Jakarta, h. 98.
6
kata Direktur Eksekutif Lentera Anak Indonesia Herry Chariansyah di Jakarta.11 Pada usia yang tergolong rawan ini, para remaja belum memiliki kemampuan untuk menilai dan mengambil keputusan dengan benar. Majunya perkembangan teknologi menyebabkan saat ini remaja dihadapkan dengan gencarnya iklan dan citra yang dijual oleh industri tembakau serta pengaruh sosial yang tinggi dengan tidak diimbangi pengetahuan yang cukup mengenai risiko produk yang dibeli, efek ketagihan dan dampak pembelian yang dibebankan pada orang lain pun tidak dapat dihindari. Hal ini mengakibatkan jumlah pengonsumsi tembakau pada kalangan remaja semakin hari kian meningkat sehingga generasi muda yang menjadi penerus bangsa Indonesia nantinya tidak memiliki kualitas kesehatan yang baik padahal merekalah yang akan menentukan kemana bangsa ini akan diarahkan. Indonesia merupakan negara dengan konsumsi rokok terbesar di dunia, yaitu pada urutan ke empat setelah Cina, USA dan Rusia. Jumlah batang rokok yang dikonsumsi di Indonesia cenderung meningkat dari 182 milyar batang pada tahun 2001 (Tobacco Atlas 2002) menjadi 260,8 milyar batang pada tahun 2009.12 Tingginya jumlah perokok di Indonesia disebabkan karena upaya agresif dari industri tembakau yang tidak terkendali yang menjaring seluruh masyarakat sebagai konsumen tidak memandang usia muda atau tua, pria maupun wanita sehingga dampak jangka panjangnya akan merusak generasi sekarang maupun
11
Liputan6, 2015, 45 Persen Remaja Indonesia Usia 13-19 Perokok, dalam URL : okhttp://health.liputan6.com/read/2142904/45-persen-remaja-indonesia-usia-13-19-perokok, diakses pada tanggal 5 Agustus 2015. 12
Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, 2012, Bunga Rampai Fakta Tembakau Permasalahannya di Indonesia, Buku ke-4, Lembaga Demografi UI, Jakarta, h.1.
7
mendatang. Penjualan rokok yang bebas di Indonesia memudahkan bagi siapa saja untuk mendapatkannya, bahkan di warung sekitaran rumah dan kantin kampus penjual menjualnya secara eceran, sehingga dengan uang tiga ribu rupiah seseorang dapat memperoleh sebatang rokok. Mudahnya memperoleh dan murahnya harga rokok ini, mengakibatkan semakin banyaknya orang dapat menjadi konsumen rokok, yang tidak hanya orang dewasa tetapi juga anak-anak. Peningkatan konsumsi rokok yang kian hari terus mengalami peningkatan, mengakibatkan makin tingginya penyakit, bertambahnya angka kematian, beban biaya ekonomi dan sosial yang ditanggung oleh masyarakat miskin pun semakin berat yang semuanya diakibatkan oleh rokok. Rokok membunuh 1 dari 10 orang dewasa di seluruh dunia, dengan angka kematian dini mencapai 5,4 juta jiwa pada tahun 2005. Tahun 2030 diperkirakan angka kematian perokok di dunia akan mencapai 10 juta jiwa, dan 70% diantaranya berasal dari negara berkembang. Saat ini 50% kematian akibat rokok berada di negara berkembang.13 Bila keadaaan ini terus berlanjut dan diabiarkan begitu saja, maka sekitar 650 juta orang akan terbunuh oleh rokok yang setengahnya berusia produktif dan akan kehilangan umur hidup (lost life) sebesar 20 sampai 25 tahun.14 Dampak rokok yang mengakibatkan kerusakan kesehatan baik bagi perokok aktif maupun perokok pasif dapat mengancam kondisi kesehatan masyarakat pada umumnya. Hal ini meneyebabkan produktivitas kerja masyarakat akan menurun serta terabaikannya hak seorang perokok pasif untuk mendapatkan lingkungan 13
WHO, 2003, World Health Report: Shaping the Future (2003) in FCA, Tobacco Facts, Fact Sheet 1. 14
World Bank, Curbing The Epidemic: Government and the economics of Tobacco Control (1999) in FCA, Tobacco Fact, Fact Sheet 1.
8
yang bersih serta udara yang bebas dari asap rokok. Hak tersebut sejalan dengan ketentuan yang diatur dalam UUD RI 1945 Pasal 28 H (1), yaitu: ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Pasal ini menjamin kesehatan setiap orang untuk hidup dalam lingkungan yang bersih dah sehat, karena kesehatan merupakan hak yang fundamental, sehingga harus dihormati oleh setiap orang di muka bumi. Begitu juga dengan FCTC yang bertujuan untuk mempromosikan perlindungan hak atas kesehatan dan hak atas hidup seluruh masyarakat internasional. Menurut Dina Kania, anggota dari Komnas Pengendalian Tembakau, “Pentingnya untuk mengadopsi FCTC karena populasi perokok di Indonesia termasuk terbesar di dunia. Ironisnya, kebanyakan perokok di negara berkembang seperti Indonesia adalah masyarakat kelompok ekonomi lemah. Sekalipun Indonesia telah memiliki regulasi yang berupaya mengendalikan tembakau seperti Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, tapi ia menilai FCTC penting untuk diaksesi. Dampak buruk rokok tidak selalu berasal dari dalam negeri, tapi juga global. Seperti perdagangan tembakau dan ekspansi perusahaan rokok luar negeri yang lintas negara.
Mengatasi hal tersebut
dibutuhkan regulasi yang lebih dari sekadar PP. FCTC dibentuk untuk mengatasi
9
liberalisasi perdagangan, pemasaran global dan investasi asing dan mobilitas sosial, hal tersebut tidak terdapat dalam PP No.109 Tahun 2012.15 Pekerja industri rokok dan petani tembakau tidak mendapat penghasilan yang layak. Bahkan Badan Pusat Statistik (BPS) melansir petani tembakau memiliki penghasilan terendah kedua. Mengacu hal tersebut Imam menilai industri tembakau atau rokok hanya menguntungkan pemilik industri rokok ketimbang petani tembakau dan pekerja. “Pemilik industri rokok adalah orang yang terkaya di indonesia,” pungkasnya Fakta tersebut diatas menjadi gambaran bahwa, kondisi hukum di Indonesia masih perlu adanya suatu pembaharuan atau pembentukan hukum baru yang lebih khusus yang dapat mengatur masalah peredaran terhadap tembakau. Walaupun tembakau mempunyai kontribusi yang cukup besar terhadap pendapatan negara, dan memberikan sumbangan terhadap penyerapan tenaga kerja sehingga mampu mengurangi angka pengangguran di Indonesia. Namun, disisi lain pemerintah seharusnya tidak mengabaikan bahaya atau dampak yang dtimbulkan dari tembakau dan rokok tersebut. Pemerintah seharusnya mempunyai kebijakan yang tegas dalam meminimalisir dampak negatif dari tembakau dan rokok dengan meratifikasi kebijakan FCTC sebagai acuan dalam upaya untuk mengendalikan tembakau dan rokok. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengangkat kasus tersebut dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis
15
Ady, 2014, Framework Convention on Tobacco Control diyakini tidak berdampak buruk terhadap industri tembakau dan rokok, dalam URL : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt53a3f65d347f1/tak-ada-alasan-menolak-fctc, diakses pada tanggal 7 Agustus 2015.
10
Hukum Mengenai Kebijakan Framework Convention On Tobacco Control Terkait Peredaran Tembakau Di Indonesia”.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dikemukakan
rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kebijakan Framework Convention on Tobacco Control dalam mengendalikan peredaran tembakau di dunia? 2. Apakah kebijakan Framework Convention on Tobacco Control dapat mengendalikan peredaran tembakau di Indonesia?
1.3
Ruang Lingkup Masalah Masalah utama yang seringkali muncul dalam setiap penulisan adalah
menentukan luas ruang lingkup objek yang menjadi pokok-pokok bahasan. Terutama mengenai bagaimana pembahasan akan dilakukan sehingga tujuan yang akan dicapai dapat terwujud. Untuk lebih mendapat uraian yang lebih terarah perlu kiranya diadakan pembatasan pembahasan terhadap permasalahan tersebut. Hal ini untuk menghidari adanya pembahasan yang menyimpang dari permasalahan yang dikemukakan. Dalam membahas masalah pertama yaitu latar belakang Framework Convention on Tobacco Control , sejarah dibentuknya Framework Convention on Tobacco Control, substansi yang diatur dalam Framework Convention on
11
Tobacco Control, epidemi tembakau, definisi perjanjian internasional dan ratifikasi. Dalam membahas permasalahan kedua akan dibahas mengenai pengaturan pengendalian tembakau di beberapa negara seperti India, Malaysia, Thailand dan Australia, dampak yang dirasakan negara peserta FCTC, kebijakan Framework Convention On Tobacco Contro ldalam mengendalikan peredaran tembakau di Indonesia, pengaturan pengendalian tembakau di Indonesia, prospek ratifikasi FCTC bagi Indonesia, pokok-pokok isi FCTC dan perbandingannya dengan aturan Indonesia saat ini dan dampak FCTC bagi Indonesia.
1.4
Orisinalitas Penulusuran terhadap penelitian dan karya-karya ilmiah yang relevan
dengan pemasalahan yang dibahas dalam rencana penulisan hukum ini telah dilakukan. Namun demikian, berdasarkan penelusuran yang dilakukan penulis, belum ditemukan permasalahan yang sama atau hampir sama dengan penelitian yang penulis rencanakan. Sepanjang pengetahuan penulis, terdapat beberapa karya ilmiah yang mengandung sebagian dari unsur-unsur dalam penelitian ini namun memiliki perbedaan dalam hal materi dan fokus kajiannya, antara lain : 1.
Tesis yang ditulis oleh Taufan Wahyu Febrianto dengan judul “Implikasi Pengaturan Kemasan Polos Produk Tembakau Melalui The Tobacco Plain Packaging Act 2011 Australia Terhadap Kewajiban Australia Dalam Perdagangan Internasional”. Fokus dalam penulisan hukum tersebut adalah
12
meneliti kebijakan pengendalian tembakau yang dilaksanakan oleh Australia dengan mengatur kemasan produk rokok. Aturan kemasan ini merupakan ketentuan yang terdapat di dalam FCTC yang dituangkan ke dalam hukum nasional Australia. Sedangkan pembahasan yang diteliti dalam penulisan ini adalah kebijakan Framework Convention on Tobacco Control dalam mengendalikan peredaran tembakau di dunia. 2.
Jurnal Jurusan Ilmu Hubungan Internasional yang ditulis oleh Nofri Yuska dengan judul “Kepentingan Indonesia Tidak Meratifikasi Framework Convention On Tobacco Control (Fctc)”, berfokus pada bahasan alasan alasan indonesia tidak meratifikasi framework convention on tobacco control(fctc), sedangkan penelitian ini berfokus terhadap kebijakan Framework Convention on Tobacco Control dalam mengendalikan peredaran tembakau di Indonesia. Sehingga penulisan hukum dengan judul “Analisis Kebijakan Framework
Convention On Tobacco Control Terkait Peredaran Tembakau di Indonesia” belum pernah ada. Sehingg penulis meyakini bahwa penelitian yang akan penulis lakukan merupakan penelitian yang pertama kali dan bersifat asli atau orisinil.
1.5
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum
dan tujuan yang bersifat khusus sebagai berikut :
13
1.5.1
Tujuan Umum Tulisan ini secara umum bertujuan untuk mengetahui dari sudut yuridis
Pengendalian tembakau di Indonesia melalui kebijakan Framework Convention on Tobacco Control.
1.5.2
Tujuan Khusus
a) Untuk mengetahui muatan aturan dari kebijakan Framework Convention On Tobacco Contro dalam mengendalikan peredaran tembakau di dunia.. b) Untuk mengetahui Framework Convention On Tobacco Control dalam mengendalikan peredaran tembakau di Indonesia.
1.6
Manfaat Penelitian Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis, ada beberapa
manfaat yang akan diperoleh, yaitu : 1.6.1
Manfaat Teoritis Secara teoritis, hasil penelitian dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi pengembangan ilmu hukum dalam kaitannya dengan dapat diperoleh gambaran secara faktual tentang analisis Framework Convention On Tobacco Control
terkait
pengendalian
peredaran
tembakau
di
Indonesia
untuk
meminimalisir jumlah perokok aktif di Indonesia. 1.6.2
Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran dan referensi bagi pemerintah untuk meninjau ulang
14
keikutsertaan Indonesia dalam Framework Convention On Tobacco Control sebagai upaya untuk mengedalikan peredaran rokok di Indonesia serta menekan jumlah perokok aktif di Indonesia.
1.7
Landasan Teori Dalam melakukan sebuah penelitian diperlukan adanya landasan teoritis,
sebagaimana dikemukakan oleh M. Solly Lubis bahwa landasan teoritis merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, asas maupun konsep yang relevan digunakan untuk mengupas suatu kasus ataupun permasalahan.16 Untuk meneliti mengenai suatu permasalahan hukum, maka pembahasan adalah relevan apabila dikaji menggunakan teori-teori hukum, konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum. Teori hukum dapat digunakan untuk menganalisis dan menerangkan pengertian hukum dan konsep yuridis, yang relevan untuk menjawab permasalahan yang muncul dalam penelitian hukum.17 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk menstrukturisasikan penemuan-penemuan selama penelitian, membuat beberapa pemikiran, prediksi atas dasar penemuan dan menyajikannya dalam bentuk penjelasan-penjelasan dan pertanyaan-pertanyaan. Hal ini berarti teori bisa digunakan untuk menjelaskan fakta dan peristiwa hukum yang terjadi. Untuk itu, orang dapat meletakkan fungsi dan kegunaan teori dalam penelitian sebagai pisau analisis pembahasan tentang peristiwa atau fakta hukum yang diajukan dalam masalah penelitian.
16
M. Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, h. 80.
17
Salim H. S., 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, h. 54.
15
1.7.1
Teori Kerjasama Internasional Kerjasama internasional muncul karena keadaan, kebutuhan, kemampuan
serta potensi dari suatu negara yang berbeda-beda. Hal ini menyebabkan suatu negara bekerjasama dengan negara lainnya agar dapat memenuhi kepentingan nasionalnya di luar negeri.18 Kerjasama internasional dapat dilakukan jika suatu negara sekurang-kurangnya memiliki dua syarat utama, yaitu adanya keharusan menghargai kepentingan masing-masing negara yang terlibat bekerjasama serta adanya keputusan bersama negara-negara yang melakukan kerjasama dalam mengatasi setiap persoalan yang timbul dalam perjanjian tersebut.19 Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengaitkan teori ini dengan kerjasama yang dilakukan oleh negara-negara anggota WHO untuk membentuk suatu kerangka kerjasama internasional mengenai pengendalian masalah tembakau. Dalam konvensi ini akan mengatur lebih rinci dan spesifik mengenai upaya pemerintah untuk mengurangi dampak serta permintaan akan tembakau. 1.7.2
Teori Universalitas Hak Asasi Manusia Teori universalitas berpegang pada teori radikal universalitas HAM.
Menurut teori ini semua nilai temasuk nilai-nilai HAM adalah bersifat universal dan tidak dapat dimodifikasi untuk menyesuaikan perbedaan budaya dan sejarah suatu negara. Teori ini HAM berangkat dari konsep universalisme moral dan kepercayaan akan keberadaan kode-kode moral universal yang melekat pada seluruh umat manusia. Universalisme moral meletakkan keberadaan kebenaran
18
Sjamsumar Dam dan Riswandi, 1995, Kerjasama ASEAN, Latar Belakang, Perkembangan, dan Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 15. 19
Ibid, h.16.
16
moral yang bersifat lintas budaya dan lintas sejarah yang dapat diidentifikasikan secara rasional.20 Teori ini menganggap hanya ada satu pemahaman mengenai HAM, bahwa nilai-nilai HAM sama dimanapun dan kapanpun serta dapat diterapkan pada masyarakat yang mempunyai latar belakang budaya dan sejarah yang berbeda. Dengan demikian, pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai HAM berlaku secara universal. Walaupun kebiasaan merokok tersebut telah ada sejak zaman dahulu dan diwariskan secara turun temurun, akan tetapi hak yang dimiliki oleh setiap seseorang tersebut sama, sehingga Ham yang berlaku secara universal tersebut diselaraskan dengan sosial dan budaya masyarakat setempat. Dengan demikian, hak seseorang untuk merokok dapat dilakukan sepanjang hak seseorang perokok pasif tidak dilanggar dan tetap dilindungi demi memperoleh taraf hidup sehat yang tinggi dan lingkugan yang bebas akan pencemaran. 1.7.3
Teori Kebijakan Luar Negeri Saling membutuhkan antar bangsa-bangsa diberbagai kehidupan yang
mengakibatkan timbulnya hubungan yang tetap dan terus menerus antar bangsabangsa, karena itu untuk menciptakan hubungan internasional tersebut dibutuhkan hukum untuk menjamin unsur kepastian yang sangat diperlukan dalam setiap hubungan yang teratur. Salah satu perwujudan dalam menjaga hubungan kerjasama tersebut dituangkan dalam bentuk perjanjian internasional. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, perjanjian internasional adalah perjanjian yang
20
Henry J. Steiner dan Philip Alston, 2000, International Human Rights in Context, Law, Politics, Moral, New York: Oxford University Press, h.19
17
diadakan
anggota
masyarakat
bangsa-bangsa
yang
bertujuan
untuk
mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu.21 Kesepakatan untuk mengikat diri pada perjanjian merupakan tindak lanjut oleh negara-negara setelah diselesaikannya suatu perundingan untuk membentuk suatu perjanjian internasional. Tindakan inilah yang melahirkan kewajibankewajiban tertentu bagi negara perunding (negotiating state) setelah menerima baik suatu naskah perjanjian (adoption of the text). Berkaitan dengan FCTC, kesepakatan untuk mengikat diri dari perjanjian yang dibentuki oleh Majelis Kesehatan Dunia (World Health Assembly), yang melalui penandatangan perjanjian, pengadopsian, maupun ratifikasi, FCTC menjadi hukum nasional masing-masing negara peserta.
1.8
Metode Penulisan
1.8.1
Jenis Penelitian Metode Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
metode penelitian yuridis normatif jenis penelitian ini berfokus pada peraturan yang tertulis (law in book)22, artinya jenis penelitian terhadap suatu masalah yang akan dilihat dari aspek hukumnya yaitu dengan cara meneliti bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder kemudian dikaitkan dengan permasalahan yang dibahas. Penelitian hukum ini beranjak dari kekosongan norma dimana belum adanya ada regulasi/peraturan pemerintah untuk pengaturan
pengendalian
21
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Edisi II, Cetakan I, PT Alumni, Bandung, h. 56. 22
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Edisi ke-1 Cet IV, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 118.
18
tembakau yang lebih rinci lagi. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi, sehingga hasil yang diperoleh tersebut, sudah mengandung nilai.23 1.8.2
Jenis Pendekatan Pembahasan dalam skripsi ini akan dikaji dengan perndekatan perundang-
undangan (statute approach) dan pendekatan perbandingan (Comparative apporoach). Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan secara mendalam, kemudian dikaitkan dengan permasalahan yang akan dibahas.24 Penulis menelaah undangundang maupun peraturan yang terkait dengan isu yang sedang ditangani. Peraturan yang dimaksud dalam skripsi ini adalah dari aspek instrumen hukum internasional, yakni Framework Convention On Tobacco Control. Penulis juga melakukan pendekatan dengan menelaah peraturan hukum nasional Indonesia, diantaranya: UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah No.109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Aditif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No.33 tahun 1999 tentang Penyiaran, UU No. 39 tahun 2007 tentang Cukai dan UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM. Sedangkan
peendekatan-pendekatan
perbandingan
(comparative
approach) dilakukan dengan mengadakan studi perbandingan hukum, dimana kegiatan ini dilakukan untuk membandingakan hukum satu negara dengan hukum
23
Peter Mahmud Marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta,
h. 35. 24
Ibid, h. 94.
19
negara lain atau hukum dari suatu waktu tertentu dengan hukum dari waktu yang lain. Perbandingan hukum yang dilakukan ialah dengan membandingankan hukum-hukum yang berada di negara Asia seperti India, Malaysia danThailand maupun dengan negara di Luar Asia seperti Australia. 25
1.8.3
Sumber Bahan Hukum Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, maka sumber bahan
hukum yang digunakan adalah data sekunder yang berupa bahan hukum, yang terdiri atas : 1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat, antara lain : Framework Convention On Tobacco Control, UU No. 36 Tahun 2009 Kesehatan, Peraturan Pemerintah No.109 Tahun 2012 tentang Pengamanan bahan yang mengandung zat aditif berupa produk tembakau bagi kesehatan, UU no.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU no.33 tahun 1999 tentang Penyiaran, UU no 39 tahun 2007 tentang Cukai dan UU no 39 tahun 1999 tentang HAM. 2. Bahan hukum sekunder yaitu yang berupa teori-teori hukum dan pendapat para sarjana hukum terkemuka. Bahan hukum sekunder disini adalah bahan yang sudah ditulis atau diolah oleh orang lain atau suatu lemabaga (bahan yang sudah tersedia), bukan bahan yang diperoleh secara langsung dari masyarakat.
25
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2012, Pengantar MetodePenelitian Hukum, Rajawali Perss, Jakarta, h. 72.
20
3. Hukum Tersier, yaitu berupa bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia.26
1.8.4
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam karya tulis ini teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan
adalah metode library research (penelitian kepustakaan), yaitu dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, buku, situs internet, media massa, dan kamus yang berkaitan dengan judul skripsi ini yang bersifat teoritis ilmiah yang dapat dipergunakan sebagai dasar dalam penelitian dan menganalisa masalah-masalah yang dihadapi.27 1.8.5
Teknik Analisa Bahan Hukum Setelah bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder
terkumpul, selanjutnya dianalisa dengan menggunakan teknik deskripsi, yakni menguraikan dan menghubungkan dengan teori-teori atau literatur-literatur yang berhubungan dengan permasalahan, dan akhirnya menarik suatu kesimpulan dalam bentuk argumentasi hukum untuk menentukan hasil dari penelitian.28
26
Peter Mahmud Marzuki, op.cit, h. 32.
27
Soerjono Soekanto, 2007, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UIPress), Jakarta, h. 21. 28
Ronny Hanitijo Soemitro, 1991, Metode Penelitian Hukum, Cet.II, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 93.