1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tembakau dan produk-produk yang berasal dari tembakau sudah lama menjadi masalah yang bersifat kompleks, tidak saja menyangkut masalah di bidang kesehatan. Masalah-masalah yang berkaitan dengan tembakau dan produk-produk yang dihasilkan dari tembakau tersebut dalam tataran nasional menyangkut masalah ketenagakerjaan, petani tembakau, pajak dan cukai, kultural, yang tidak jarang berdampak psikologis. Sedangkan dalam tataran internasional berkaitan dengan penanaman modal asing, hak cipta, dan budaya yang juga berdampak psikologis
dan
bahkan
politis.
Dalam
kehidupan
nasional
dan
internasional, sudah lama orang mengenal tembakau sebagai suatu bahan yang dipergunakan untuk membuat rokok.1 Meningkatnya jumlah peminat produk tembakau khususnya rokok makin memprihatinkan. Apalagi belakangan diketahui tidak hanya orang dewasa saja yang menjadi perokok aktif, namun begitu pula dengan usia dini. Pada kurun 1995-2001, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 0,5 % anak-anak di bawah usia 10 tahun telah menjadi perokok aktif. Pada kurun
1 Naskah akademik rancangan undang-undang tentang pengendalian dampak produk tembakau terhadap kesehatan
2
berikutnya, 2001-2004, angka itu membengkak hampir enam kali lipat menjadi 2,8 %.2 Lonjakan juga tampak pada perokok aktif di usia 14-19 tahun. Pada rentang 1995-2001, BPS mencatat 54,5 % perokok aktif pada kelompok ini. Lalu, pada 2001-2004, jumlah perokok aktif di grup ini menjadi 58,9 %. Total jeneral, menurut BPS, anak-anak dan remaja yang terpapar rokok di negeri ini mencapai 64 % atau sekitar 43 juta jiwa.3 Secara nasional, konsumsi rokok di Indonesia pada tahun 2002 berjumlah 182 milyar batang yang merupakan urutan ke-5 diantara 10 negara di dunia dengan konsumsi tertinggi pada tahun yang sama.4 Tabel 1 Daftar 10 negara di dunia dengan konsumsi rokok tertinggi tahun 2002 Jumlah No
Negara (Milyar batang)
1.
Republik Rakyat Cina
1.697,291
2.
Amerika Serikat
463,504
3.
Rusia
375,000
4.
Jepang
299,085
5.
Indonesia
181,985
2 Riky Ferdianto, Takluk di Balik Mitos Tembakau, Tanya Kenapa, Koran Tempo, Edisi 01 Desember 2008. 3 Ibid 4 www.litbang.depkes.go.id/.../media/.../ch.1-march.ino_SB1.mar04.pdf, diakses pada tanggal 20 Januari 2010, pukul 23.25 WIB.
3
6.
Jerman
148,400
7.
Turki
116,000
8.
Brasilia
108,200
9.
Italia
102,357
10.
Spanyol
94,309
Posisi Indonesia sebagai negara terbasar kelima di dunia sebagai pengkonsumsi rokok tidak berubah pada tahun 2004, setelah China (1.790 milyar batang), USA (499 milyar batang), Rusia (380 milyar batang), Jepang (216 milyar batang) dan Indonesia (204 milyar batang), sehingga total keseluruhan konsumsi dari 5 (lima) negara tersebut sebesar 3.089 milyar batang atau 56% dari konsumsi dunia.5 Sebanyak 70% penduduk Indonesia adalah perokok aktif.
Catatan Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) menunjukkan, setiap tahun 215 miliar rokok dikonsumsi di Indonesia. Angka menunjukkan bahwa selama tahun 2005 tercatat 13.2% remaja Indonesia telah merokok. Sementara lebih dari 43 juta anak Indonesia hidup serumah dengan perokok dan menjadi pengisap asap tembakau pasif atau yang lebih dikenal dengan perokok pasif. Ironisnya, laporan dari badan kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2008 justru menyebutkan bahwa Indoenesia merupakan negara terbesar ke-3 pengguna rokok setelah China dan India.6 5
Roadmap Industri Pengolahan Tembakau, Direktorat Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian, Jakarta, 2009. 6 http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/13/01044963/segera.ratifikasi.konvensi.peng endalian.tembakau. diakses pada tanggal 20 januari 2010.
4
Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Ijtima` Ulama Komisi Fatwa MUI ke III, 24-25 Januari 2009 di Sumatera Barat, menetapkan bahwa merokok adalah haram bagi anak-anak, ibu hamil, dan dilakukan di tempat-tempat umum. Alasan pengharaman ini karena merokok termasuk perbuatan mencelakakan diri sendiri. Merokok lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya (itsmuhu akbaru min naf`ihi).7 Dalam kaitannya dengan bidang kesehatan, penggunaan tembakau sebagai bahan dasar rokok menjadi masalah sendiri, karena zat utama nikotin yang dikandungnya yang menurut berbagai ahli kesehatan (khususnya dokter) dan dari berbagai literatur di bidang kesehatan dan kefarmasian dikategorikan sebagai zat adiktif. Di samping itu, nikotin sebagai zat adiktif juga dikategorikan sebagai bahan kimia berbahaya.8 Faktanya, dalam sebatang rokok yang dibakar terpapar kurang lebih 4000 bahan kimia beracun yang berbahaya bagi tubuh manusia. 9 Zat kimia
Menurut estimasi WHO, pada 2020 dampak tembakau di negara maju mulai menurun. Pada 1996 mencapai 32%, namun pada 2001 hanya 28%. Akan tetapi, di negara-negara berkembang trend konsumsi tembakau malah mengalami kenaikan, yaitu 68% pada 1996, menjadi 72% pada 2001. Wajar, jika hampir 50% (sekitar 4,2 juta jiwa) kematian akibat tembakau pada 2020 terjadi di wilayah Asia, khususnya di negara berkembang, seperti Indonesia, Majalah Tarbawi, Edisi 104 Th. 7/Shafar 1426H/17 Maret 2005. 7 http://islamlib.com/id/artikel/mui-dan-fatwa-pengharaman-merokok/. Diakses pada tanggal 20 januari 2010. Causa hukum (`illat al-hukm) pengharaman rokok menurut ulama MUI, adalah karena merokok termasuk perbuatan yang mencelakakan diri sendiri. Rokok mengandung zat yang merusak tubuh. 8 Naskah akademik rancangan undang-undang tentang pengendalian dampak produk tembakau terhadap kesehatan. 9 Ernest Caldwell. Berhenti Merokok. Ctk.Kedua,Pustaka Populer, Yogyakarta,2001,Hlm.7 Beberapa senyawa penting namun berbahaya adalah litidin, rubidin, formalin, asam karbolik, metalimin, akreolin, colidin, viridin, arsen, asam formik, nikotin, hidrogen sulfida, pirel, furfurol, benzopiren, metil alkohol, asam hidrosianik, karodin, amonia, metana, karbon monoksida, dan piridin. Benzopirin dan lutidin berasal dari tar tembakau. Tar adalah substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru-paru. Sebuah penelitian terhadap tikus menyebutkan
5
seperti nikotin yang merupakan zat adiktif, dan tar yang bersifat karsinogenik, yang dapat mengakibatkan berbagai penyakit antara lain kanker. Di samping itu, zat-zat kimia yang dikandung rokok juga mengakibatkan penyakit jantung, impotensi, penyakit darah, enfisema, bronchitis kronik, dan gangguan kehamilan. Merokok mengganggu kesehatan, kenyataan ini tidak dapat kita pungkiri. Banyak penyakit yang timbul akibat merokok, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kebiasaan ini tidak hanya merugikan si perokok, melainkan juga orang di sekitarnya. Menurut penelitian organisasi kesehatan dunia (WHO), setiap satu jam, tembakau rokok membunuh 560 orang di dunia. Jadi selama satu tahun terdapat 4,9 juta kematian di dunia akibat tembakau rokok.10 Pemerintah
dalam
mengendalikan
tembakau
(rokok)
telah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan (selanjutnya disingkat PP No.
bahwa hewan tersebut terkena kanker setelah mendapat perlakuan tar tembakau. Zat inilah yang dikenal sebagai penyebab kanker paru-paru dan kandung kemih. Colidin menyebabkan kelumpuhan dan lambat laun mengakibatkan kematian. Asam Karbolik dan asam hidrosianik, keduanya merupakan racun yang berbahaya. Asam hidrosianik sangat populer digunakan para penulis cerita detektif. Racun tersebut mampu membunuh manusia dalam hitungan menit. Di beberapa negara bagian Amerika Serikat, asam hidrosianik dalam bentuk gas digunakan untuk eksekusi bagi penjahat. Metil alkohol menimbulkan kebutaan, sementara karbon monoksida mengikat oksigen di dalam darah sehingga darah tidak bisa menyuplai oksigen ke seluruh jaringan tubuh. Formalin sering digunakan untuk membalsem mayat, sementara arsenik adalah sejenis racun yang dipakai untuk membunuh tikus. Gas Amonia, gas inilah yang menyengat lidah, mengakibatkan terbentuknya lapisan berwarna kuning pada permukaan lidah, dan menggangu kelenjar pengecap dan perasa yang ada pada permukaan lidah. Gas amonia juga dapat memperbanyak keluarnya air liur, merangsang batuk, membuka peluang terserang pilek secara berulang-ulang serta radang pada mulut, kerongkongan dan farinks. 10 Sugeng D. Triswanto. Stop Smoking. Ctk. Pertama. Progresif, Yogyakarta, 2007. Hlm.33.
6
81/1999) yang kemudian diubah dengan PP No. 38 Tahun 2000, dan selanjutnya dicabut dan diganti dengan PP No. 19 Tahun 2003. Dalam ketiga PP ini, sebagian dari masalah tembakau (dan rokok) memang telah diatur. Namun demikian berdasarkan penelitian dan pengkajian berbagai peraturan perundang-undangan nasional maupun internasional, substansi dalam PP tersebut masih kurang komprehensif dan belum dapat ditegakkan secara baik di masyarakat, oleh karena masih banyaknya norma-norma larangan dan kewajiban yang tidak diberikan sanksi secara tegas. Hal ini dapat dimaklumi karena bentuk instrumen hukumnya adalah PP bukan Undang-Undang (UU) sehingga materi muatannya pun terbatas, sebatas apa yang diperintahkan oleh UU-nya (Pasal 44 UU RI Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan).11 Dilihat dari aspek ekonomi, industri hasil tembakau (IHT) sampai saat ini masih mempunyai peran penting dalam menggerakkan perekonomian nasional, terutama di daerah penghasil tembakau, cengkeh, dan sentra-sentra produksi rokok. Dalam tahun 2005 jumlah IHT (Rokok) sebanyak 3.217 perusahaan dan dalam waktu 2006 mencapai 3.961 perusahaan atau meningkat 23,12%. Dalam periode yang sama, produksi rokok mencapai 220,3 milyar batang dan 218,7 milyar batang. Produk 11
Naskah akademik rancangan undang-undang tentang pengendalian dampak produk tembakau terhadap kesehatan. Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992: (1) Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan keluarga, perorangan, masyarakat, dan lingkungannya; (2) Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif harus memenuhi standar dan/ atau persyaratan yang ditentukan; (3) Ketentuan mengenai penggunaan bahan yang megandung zat adiktif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan
7
hasil olahan tembakau seperti rokok (rokok putih dan rokok kretek), cerutu dan tembakau iris (shag). Khusus untuk industri rokok, peranan dari masing-masing golongan pabrik baik besar (Golongan I), menengah (Golongan II), golongan kecil (Golongan IIIA dan Golongan IIIB) tahun 2007 sebagai berikut:12 Tabel 2 Data Produksi Tembakau Tahun 2007 Pabrik
Produksi
Jml.
Jml.
Produksi
Pabrik
Cukai
(Juta Gol.
(Milyar %
%
Batang)
Rupiah)
(Batang) I
>2 Milyar
8
173.365,50 75,05
37.614,15 86,38
II
>500 juta-2 15
23.585,01
10,21
2.978,81
6,84
27.073,20
11,72
2.870,51
6,59
4.416
6.976,20
3,02
78,13
0,18
4.793
231.000,00
Milyar IIIA
>6 juta-500 354 juta
IIIB
0 – 6 juta
Total
43.541,50
Keterangan : 1. Data Produksi tidak termasuk jenis Cerutu, KLM/KLB, TIS 2. Sumber Ditjen Bea dan Cukai, Departemen Keuangan 12
Roadmap Industri Pengolahan Tembakau, Direktorat Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian, Jakarta, 2009. KLB yakni rokok daun/ klobot, KLM yakni kelembak menyan, sedangkan TIS yakni tembakau iris.
8
Dalam pengembangan IHT, aspek ekonomi masih menjadi pertimbangan utama dengan tidak mengabaikan faktor dampak kesehatan. Industri Hasil Tembakau mendapatkan prioritas untuk dikembangkan karena mengolah sumber daya alam, menyerap tenaga kerja cukup besar baik langsung maupun tidak langsung (±10 juta orang) dan sumbangannya dalam penerimaan negara (cukai) tahun 2006 Rp. 42,03 triliyun sedangkan tahun 2007 sebesar Rp 43,54 triliun.13 Industri tembakau juga merupakan penyumbang cukai terbesar, diperkirakan 90 persen dari total cukai berasal dari industri rokok.14 Naiknya penerimaan cukai dari tahun ke tahun, bahkan di masa krisis, membuat pemerintah tak ragu menaikkan target penerimaan cukai dari 45,71 triliun di tahun 2008 menjadi 48,24 triliun di tahun 2009. 15 Hal tersebut memperlihatkan bahwa sektor industri tembakau merupakan sektor yang menjadi andalan pemerintah terkait penerimaan negara melalui cukai. Masalah hasil tembakau di Indonesia masih menuai pendapat beragam. Banyaknya hal yang terkait dengan permasalahan tembakau, seperti kesehatan, tenaga kerja, penerimaan negara, dan industri menjadikan masalah ini kian kompleks melibatkan berbagai pihak. Beberapa instansi yang terkait dengan masalah tembakau antara lain, Departemen Kesehatan (Depkes), Departemen Perindustrian (Deperin), Departemen Pertanian (Deptan), Departemen Tenaga Kerja (Depnaker), 13
Ibid, Hlm.2 Warta Bea Cukai. Tahun XL, Edisi 415, Juni 2009. 15 Ibid 14
9
dan Departemen Keuangan (Depkeu) memiliki kepentingan yang berbeda.16 Bagi Depkes produk tembakau berdampak buruk bagi kesehatan, bahkan dianggap menjadi salah satu faktor penyebab kematian. Depkes mendapat tekanan dari berbagai pihak yang peduli terhadap kesehatan, yang berharap Depkes aktif dalam menekan konsumsi produk tembakau di Indonesia. Namun di sisi yang berseberangan, Deperin dan Depnaker mengganggap pertumbuhan industri tembakau berarti membuka lapangan perkerjaan sehingga bisa menekan jumlah pengangguran. Sama halnya, Deptan juga merasa diuntungkan dengan adanya industri hasil tembakau, karena perkebunan tembakau banyak menyerap petani dan membantu perekonomian petani. Sedangkan Depkeu sendiri mampu memberikan puluhan triliun rupiah setiap tahunnya bagi penerimaan negara melalui cukai. Cukai hasil tembakau sendiri menyumbang lebih dari 90 persen dari total 51,2 triliun rupiah yang merupakan jumlah penerimaan cukai pada tahun 2008. Pada tanggal 4 Februari 2005 DPRD DKI Jakarta mengesahkan Perda nomor 2 tahun 2005 tentang pengendalian pencemaran udara. Hal ini dilakukan guna mewujudkan kawasan dengan lingkungan bersih dan bebas pencemaran udara.17 Pada perda tersebut larangan merokok di tempat umum tertuang pada pasal 13. Bunyi pasal 13 tersebut adalah: 1. Tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja dan tempat yang secara spesifik sebagai tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, 16
Warta Bea Cukai.Op.Cit, Hlm.10 Larangan Merokok di Jakarta, Kapan Daerah Lain Menyusul? www.desentralisasikesehatan.net . 17
10
tempat ibadah dan angkutan umum dinyatakan sebagai kawasan dilarang merokok. 2. Pimpinan atau penanggungjawab tempat umum dan tempat kerja harus menyediakan tempat khusus untuk merokok serta menyediakan alat penghisap udara sehingga tidak mengganggu kesehatan bagi yang tidak merokok. 3. Dalam angkutan umum dapat disediakan tempat khusus untuk merokok dengan ketentuan: a. Lokasi tempat khusus untuk merokok terpisah secara fisik/tidak bercampur dengan kawasan tanpa rokok pada angkutan yang sama; b. Dalam tempat khusus untuk merokok harus dilengkapi alat penghisap udara atau memiliki sistem sirkulasi udara yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penegakan sanksi hukum bagi pelanggar patut diterapkan, selain masalah perilaku merokok ini sebetulnya dapat dikendalikan, juga pemda DKI mempunyai aparat penegak hukum yang dapat mendukung terlaksananya ketentuan ini. Pelanggaran bagi beberapa pasal yang ada termasuk pasal 13 dikenakan ancaman pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda maksimal Rp 50 juta (pasal 41 ayat 2).18 Setelah Jakarta menetapkan larangan merokok di tempat-tempat umum, kini Yogyakarta menyusul mengambil langkah sama. Selasa, 10 18 Larangan Merokok di Jakarta, Kapan Daerah Lain Menyusul? www.desentralisasikesehatan.net. Diakses pada tanggal 17 Februari 2010.
11
Juli 2007, DPRD DIY menetapkan Perda Pengendalian Pencemaran Lingkungan yang di dalamnya terdapat pasal mengenai larangan merokok di tempat umum.19 Sanksi yang diterapkan bagi pelanggar cukup berat, yakni denda maksimal Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) atau kurungan selama tiga tahun. Maskipun belum mencapai ambang batas pencemaran udara, namun peningkatan jumlah kendaraan, industri dan pembakaran sampah cukup signifikan. Selain itu kota Yogyakarta juga merupakan daerah tertinggi alias nomor satu dalam hal persentase perok. Perda tersebut bukan melarang orang merokok tetapi mengatur tempat-tempat yang bebas asap rokok. Ada banyak tempat antara lain rumah sakit, puskesmas, tempat ibadah, lingkungan kerja, pendidikan, kendaraan umum, dan lokasi bermain anak-anak. Sementara itu, menurut penelitian Dinas Kesehatan Kota Bogor tahun 2007, dari 352.594 jiwa penduduk laki-laki, 49,54 % adalah perokok. Sedangkan dari keseluruhan penduduk perempuan yang mencapai 338.635 jiwa, sekitar 3,32 % nya adalah perokok.20 Pemerintah Kota
(Pemkot) Bogor berkomitmen untuk
mengurangi konsumsi rokok warganya, salah satunya dengan memberlakukan Perda No.8 tahun 2006 tentang ketertiban umum, yang
19
Ditetapkan, Larangan Merokok di Tempat Umum. http://www.suaramerdeka.com/harian/0707/11/ked01.htm. Diakses pada tanggal 17 Februari 2010. 20 http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/12/penduduk-indonesia-terbesar-ketigapengguna-rokok. Diakses pada tanggal 10 Februari 2010.
12
juga mengatur Kawasan Tanpa Rokok (KTR)21. Upaya lain yang juga ditempuh untuk menurunkan konsumsi rokok yakni dengan melakukan pembatasan terhadap iklan produk rokok. Sampai saat ini, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan belum juga disahkan menjadi undang-undang. Di lain pihak, Indonesia belum ikut meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau.22 FCTC ini akan efektif sebagai instrumen hukum internasional apabila minimal 40 negara telah meratifikasinya. Sebelum meratifikasi, negara yang bersangkutan
diharuskan
menandatanganinya
sebagai
bentuk
endorsement (dukungan). Sampai akhir Juli 2003 sebanyak 46 negara serta Masyarakat Ekonomi Eropa telah menandatanganinya. Pemerintah Indonesia sampai batas waktu akhir penandatanganan FCTC belum menandatanganinya. Langkah yang dapat ditempuh oleh Pemerintah Indonesia untuk menjadi negara pihak dapat dilakukan melalui aksesi23 dan kemudian meratifikasinya dengan UU tentang Pengesahan FCTC. Sebagaimana lazimnya, RUU tentang Ratifikasi (Pengesahan) FCTC terlebih dahulu harus didaftarkan dalam Program Legislasi Nasional
21 http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/12/penduduk-indonesia-terbesar-ketigapengguna-rokok. Diakses pada tanggal 10 Februari 2010. Kawasan Tanpa Rokok (KTR) meliputi gedung perkantoran, sarana ibadah, dan pusat perbelanjaan. 22 http://www.gatra.com/versi_cetak.php?id=127040. Diakses pada tanggal 3 november 2009. 23 Aksesi merupakan suatu tindakan formal yang dilakukan oleh negara dalam tingkat internasional untuk menyatakan terikat atau menjadi pihak dalam suatu perjanjian.
13
(PROLEGNAS). Hanya saja langkah-langkah ini tidak ditempuh oleh Pemerintah
sehingga
terkesan
Pemerintah
membiarkan
atau
mengambangkan persoalan rokok. Di tengah kebuntuan hukum sebagaimana telah disebutkan, maka RUU ini nantinya diharapkan dapat memberikan solusi bagi pengaturan masalah tembakau di masa depan. Dengan ditetapkannya RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan dalam Prolegnas tahun 2008-2009, maka kita mempunyai kesempatan untuk membuat regulasi mengenai pengendalian tembakau di Indonesia.24
B. Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah diatas, penulis membatasi masalah dalam penelitian ini, yaitu: 1. Apakah latar belakang dibentuknya rancangan undang-undang pengendalian dampak produk tembakau ditinjau dari aspek ekonomi, medis, serta agama? 2. Bentuk-bentuk perbuatan seperti apakah yang dikriminalisasi dalam rancangan undang-undang pengendalian dampak produk tembakau terhadap kesehatan? 3. Apakah dasar pembenaran mengkriminalisasi perbuatan merokok, dan bagaimana sanksi pidananya?
24 Naskah akademik rancangan undang-undang tentang pengendalian dampak produk tembakau terhadap kesehatan.
14
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui latar belakang ekonomi, medis, dan agama dalam pembentukan rancangan undang-undang pengendalian dampak produk tembakau. 2. Untuk mengetahuan bentuk bentuk perbuatan yang dikriminalisasi dalan rancangan undang-undang pengendalian dampak produk tembakau terhadap kesehatan. 3. Untuk
mengetahui
dasar
pembenaran
kriminalisasi
perbuatan
merokok, dan pengaturan sanksi pidana dalam rancangan undangundang pengendalian dampak produk tembakau.
D. Tinjauan Pustaka 1. Proses Pembentukan Rancangan Undang-Undang Kebijakan hukum pidana dilaksanakan melalui tahap-tahap konkretisasi/operasionalisasi/fungsionalisasi
hukum
pidana
yang
terdiri dari:25 1. Kebijakan
formulatif/legislatif,
yaitu
tahap
perumusan/
penyusunan hukum pidana; 2. Kebijakan aplikatif/yudikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana; 25 Al. Wisnubroto, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Komputer, UAJY, Yogyakarta, 1999, Hlm.11
15
3. Kebijakan administratif/eksekutif, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana. Kebijakan legislatif merupakan kebijakan (policy) dalam menetapkan dan merumuskan sesuatu di dalam peraturan perundangundangan. Oleh karena itu, sering juga kebijakan legislatif disebut dengan istilah “kebijakan formulatif”.26 Sudarto menyatakan:27 Pembentukan undang-undang merupakan proses sosial dan proses politik yang sangat penting artinya dan mempunyai pengaruh luas, karena ia akan memberi bentuk dan mengatur atau mengendalikan masyarakat. Undang-undang ini digunakan oleh penguasa untuk mencapai dan mewujudkan tujuan-tujuan tertentu. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa undang-undang itu mempunyai dua fungsi: 1) Fungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai; dan 2) Fungsi instrumental. Berkenaan mencakup
kegiatan
dengan
fungsi
mengkaji,
legislasi,
merancang,
dapat
dikatakan
membahas,
dan
mengesahkan undang-undang. Yang dapat dibedakan di sini, hanyalah bidang yang diatur dalam undang-undang itu.28 DPR memegang kekuasaan untuk membentuk undangundang. Setiap Rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Rancangan Undang-
26 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Ctk. Ketiga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, Hlm.223 27 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Ctk. Kedua, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, Hlm.14. Sebagaimana dikutip dari Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian terhadap Pembaharuan Hukum Pidana, Penerbit Sinar Baru, Bandung, 1983, Hlm.16 28 Jimly Asshiddiqie. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalam UUD 1945. Ctk. Kedua, FH UII Press, Yogyakarta,2005. Hlm.170
16
Undang (RUU) dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD. DPD dapat mengajukan kepada DPR, RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Apabila ada 2 (dua) RUU yang diajukan mengenai hal yang sama dalam satu Masa Sidang yang dibicarakan adalah RUU dari DPR, sedangkan RUU yang disampaikan oleh presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan. RUU yang sudah disetujui bersama antara DPR dengan Presiden, paling lambat 7 (tujuh) hari kerja disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi undangundang. Apabila setelah 15 (lima belas) hari kerja, RUU yang sudah disampaikan kepada Presiden belum disahkan menjadi undang-undang, Pimpinan DPR mengirim surat kepada presiden untuk meminta penjelasan. Apabila RUU yang sudah disetujui bersama tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. RUU
beserta
penjelasan/keterangan,
dan/atau
naskah
akademis yang berasal dari Presiden disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR dengan Surat Pengantar Presiden yang menyebut juga Menteri yang mewakili Presiden dalam melakukan
17
pembahasan RUU tersebut. Dalam Rapat Paripurna berikutnya, setelah RUU diterima oleh Pimpinan DPR, kemudian Pimpinan DPR memberitahukan kepada Anggota masuknya RUU tersebut, kemudian membagikannya kepada seluruh Anggota. Terhadap RUU yang terkait dengan DPD disampaikan kepada Pimpinan DPD. Penyebarluasan RUU dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa. Kemudian RUU dibahas dalam dua tingkat pembicaraan di DPR bersama dengan Menteri yang mewakili Presiden. RUU beserta penjelasan/keterangan, dan atau naskah akademis yang berasal dari DPD disampaikan secara tertulis oleh Pimpinan DPD kepada Pimpinan DPR, kemudian dalam Rapat Paripurna berikutnya, setelah RUU diterima oleh DPR, Pimpinan DPR memberitahukan kepada Anggota masuknya RUU tersebut, kemudian membagikannya kepada seluruh Anggota. Selanjutnya Pimpinan DPR menyampaikan surat pemberitahuan kepada Pimpinan DPD mengenai tanggal pengumuman RUU yang berasal dari DPD tersebut kepada Anggota dalam Rapat Paripurna. Bamus selanjutnya menunjuk Komisi atau Baleg untuk membahas RUU tersebut, dan mengagendakan pembahasannya. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari kerja, Komisi atau Badan Legislasi mengundang anggota alat kelengkapan DPD sebanyak banyaknya 1/3 (sepertiga) dari jumlah Anggota alat kelengkapan DPR, untuk
18
membahas RUU. Hasil pembahasannya dilaporkan dalam Rapat Paripurna. RUU yang telah dibahas kemudian disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang akan mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan RUU tersebut bersama DPR dan kepada Pimpinan DPD untuk ikut membahas RUU tersebut. Dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya surat tentang penyampaian RUU dari DPR, Presiden menunjuk Menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam pembahasan RUU bersama DPR. Kemudian RUU dibahas dalam dua tingkat pembicaraan di DPR. Dengan proses pembentukan sebuah rancangan undangundang yang sangat panjang seperti itu, setidaknya ada inisiatif dari pemerintah untuk mencegah bahaya yang ditimpbulkan dari perbuatan merokok.
2. Kriminalisasi Perbuatan Merokok a. Kriminalisasi Perbuatan Merokok Terhadap
perbuatan
merokok
ini,
terjadi
banyak
pertentangan di masyarakat, terutama dari kalangan industri atau pelaku usaha serta masyarakat yang memang memiliki kebiasaan merokok dengan masyarakat maupun kelompok masyarakat. Terkait dengan lahirnya RUU Pengendalian
19
Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan, setidaknya ada sebuah kebijakan kriminal yang dikeluarkan oleh pemerintah. Ketika berbicara mengenai kebijakan kriminal, setidaknya terdapat dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan:29 1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan 2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar. Dalam menentukan titik krusial dari criminal law politics, Prof. Mardjono Reksodipuro (perancang naskah RKUHP 1987-1993) maupun Muladi, melakukan pendekatan kriminalisasi dan de-kriminalisasi dengan mencari sintesa antara hak-hak individu (civil
liberties) dan hak-hak masyarakat
(communal rights) selain menjaga kepentingan politik Negara (state’s policy).30
Selain itu, masalah kriminalisasi dan de-
kriminalisasi atas suatu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kiminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan
29
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Ctk. Ketiga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, Hlm.29 30 Ifdhal Kasim, Ke Arah Mana Pembaruan KUHP? Tinjauan Kritis atas RUU KUHP, artikel pada Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri # 7, ELSAM, 2005, Hlm.4
20
kesejahteraan masyarakat.31 Jangan sampai lahirnya RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan ini memberatkan pada kepentingan perlindungan kepentingan politik Negara (state’s policy) dan kepentingan hak-hak masyarakat (communal rights), sehingga mengancam kebebasan individual (civil liberties). Hal ini dapat kita lihat pada kebijakan kriminalisasinya atas perbuatan yang berada di ranah privat (hak-hak
individu),
yang
cenderung
berlebihan
atau
overcriminalization. Mengenai kriteria kriminalisasi dan de-kriminalisasi, untuk menetapkan suatu perbuatan itu sebagai tindak kriminal, perlu memperhatikan kriteria umum sebagai berikut:32 1. Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci masyarakat karena merugikan atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban; 2. Apakah biaya kriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan penegakan hukum, serta beban yang dipikul oleh korban, pelaku
dan pelaku kejahatan itu
sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai;
31 32
Barda Nawawi Arief, Op.Cit., Hlm.31 Ibid.,
21
3. Apakah akan makin menambah beban aparat pengeak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimiliknya; 4. Apakah
perbuatan-perbuatan
itu
menghambat
atau
mengahalangi cita-cita bangsa, sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.
Dari berbagai kriteria tersebut, setidaknya ada gambaran di masyarakat mengenai pantas tidaknya suatu perbuatan merokok masuk dalam kebijakan kriminalisasi oleh legislatif. Pada tahun 2004, tiga dari empat
rumah tangga di Indonesia (71%)
memiliki paling sedikit satu anggota keluarga yang merokok. Hampir semua perokok (84%) merokok di rumah ketika sedang bersama dengan anggota keluarga lainnya. Bahkan pada tahun 2007, terjadi peningkatan menjadi 85,4% (Riset kesehatan dasar (Riskesdas), tahun 2007). Diperkirakan lebih dari 97% penduduk Indonesia terpapar secara tetap pada asap tembakau lingkungan dirumah mereka sendiri, 43 juta diantaranya adalah anak-anak usia 0-14 tahun. Data dari Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada tahun 2006, anak yang berusia 13-15 tahun sebanyak 81% terpapar asap rokok di tempat umum, dan data ini merupakan tertinggi di dunia.
Perokok pasif
mempunyai risiko terkena penyakit akibat rokok sama besarnya
22
dengan perokok aktif, namun risiko ini tidak banyak diketahui orang.33
Dari hasil penelitian itulah, kita dapat melihat
bagaimana bahayanya merokok bagi para perokok pasif yang notabene mengganggu masyarakat di sekitarnya.
b. Sanksi Pidana Permasalahan penetapan sanksi pidana terhadap suatu kejahatan selalu terkait dengan pandangan tentang tujuan pemidanaan, demikian juga kebijakan penetapan sanksi dalam hukum pidana tidak terlepas dari masalah tujuan yang ingin dicapai oleh kebijakan kriminal secara keseluruhan. Karena penetapan sanksi hukum, khususnya sanksi pidana terhadap suatu perbuatan dalam perundang-undangan bukan sekedar masalah teknis perundang-undangan, melainkan merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari substansi perundangundangan itu sendiri. Oleh sebab itu, di dalam penetapan suatu sanksi harus dipahami terlebih dahulu mengenai filsafat pemidanaan, teori-teori pemidanaan dan alasan-alasan hukum pidana yang berhubungan dengan ide-ide dasar sistem sanksi pidana khususnya bagi pemegang kebijakan legislasi. Menurut Hart, bahwa suatu teori pemidanaan yang secara moral dapat diterima, harus mampu memperlihatkan kompleksitas dari 33 Naskah akademik rancangan undang-undang tentang pengendalian dampak produk tembakau terhadap kesehatan
23
pemidanaan dan menguraikannya sebagai suatu kompromi antara prinsip- prinsip yang berbeda dan saling bertentangan sehingga setiap dimensi yang dominan bisa menjadi relevan sebagai dasar jusrifikasi pemidanaan.34 Tujuan pidana yang berkembang dari dahulu sampai kini telah menjurus ke arah yang lebih rasional. Yang paling tua ialah pembalasan (revenge) atau untuk tujuan memuaskan pihak yang dendam, baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban kejahatan.35 Menurut H.L Packer, dalam bukunya “The limits of criminal sanction” mengemukakan bahwa:36 1. Sanksi pidana sangatlah diperlukan; kita tidak dapat hidup, sekarang maupun masa yang akan datang, tanpa pidana. (The criminal sanction is indispensable; we could not, now or in the foreseeable future, get along without it). 2. Sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi kejahatankejahatan atau bahaya besar dan segera serta untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. (The criminal
34
M. Sholehudin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, Ctk. Kedua, Rajawali Press, Jakarta, 2007, Hlm.5 35 Andi Hamzah. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia Ctk. Kedua, Pradnya Paramita, Jakarta,1993. Hlm.24 36 Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Ctk. Kedua, Alumni, Bandung, 1992. Hlm.155
24
sanction is the best available device we have for dealing with gross and immediate harms and threats of harms) 3. Sanksi pidana suatu ketika merupakan “penjamin yang utama/terbaik” dan suatu ketika merupakan “pengancam yang utama” dari kebebasan manusia. Ia merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat-cermat dan secara manusiawi; ia merupakan pengancam, apabila digunakan secara sembarangan dan secara paksa. (The criminal sanction is not at once prime guarantor and prime threatener of human freedom. Used providently and humanely, it is guarantor; used indiscriminately and coercively, it is threatner). Selama
ini
jenis-jenis
sanksi
pidana
yang
diakui
berdasarkan pasal 10 KUHP sebagaimana yang berlaku pada saat ini, ada dua jenis pidana, yaitu: 1) pidana pokok, yaitu pidana mati, pidana penjara, kurungan, denda; 2) pidana tambahan, yaitu pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, pengumuman putusan hakim. Dalam RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan, pengaturan sanksi pidananya dinilai sangat berat, karena sanksi pidana dalam Pengendalian Dampak Produk
25
Tembakau terhadap Kesehatan bersifat komulatif. Pelaku tindak pidana, disamping menjalani hukuman penjara juga harus membayar pidana denda. Dengan ancaman pidana mulai dari pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan hingga pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Kemudian pidana denda, mulai dari maksimal Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) hingga Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Hal ini yang menjadi pertanyaan besar tentang kebijakan yang akan digunakan oleh lembaga legislatif, sekalipun pelaku tindak pidananya pelaku usaha dan individu, karena seyogyanya peraturan perundangundangan pidana harus memenuhi syarat keadilan dan daya guna, serta sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang.37
3. Konsep Pengendalian Dampak Produk Tembakau Dalam Islam Pendapat beberapa fuqaha terdahulu mengenai hukum rokok ada persamaan. Menurut madzhab Hanafi, terhadap tembakau yang muncul baru-baru ini, pemakainya beranggapan bahwa barang tersebut tidak memabukkan. Meskipun pendapat itu dapat diterima, yang jelas tembakau melemahkan badan, sehingga hukumnya adalah haram. Hal ini berdasarka hadist Ummu Salamah, yang mengatakan
37
Barda Nawawi Arief, Op.Cit., Hlm.23
26
bahwa Rasulullah SAW melarang stiap barang yang memabukkan dan melemahkan badan.38 Para fuqaha yang menganut madzhab syafi’i mengikutkan hukum tembakau dengan henbane (Hyoscyamus Niger), ganja, dan sebagainya, yang dapat mengacaukan dan menutup pikiran. Tembakau dapat membuka saluran-saluran dalam tubuh dan memudahkanya menerima zat-zat yang berbahaya oleh karena itu rokok dapat mengakibatkan tubuh seseorang menjadi lemah dan melemahkan pandangan mata sebagaimana dapat disaksikan secara nyata dan bisa jadi mengakibatkan kebutaan maka rokok sudah dapat dipastikan keharamannya.39 Sedangkan
menurut
mazdhab
Maliki,
dalam
kitab
Fatawisy-Syaikh ‘Ulaisy menyebutkan, “Ketika Syaikh kami, Allamah Salim As-Sanhuri ditanya mengenai tembakau, maka beliau berfatwa tentang keharamannya dan terus memegang fatwanya itu hingga beliau wafat. Tidak ada satu orang pun di antara para ulama masa itu yang berbeda pendapat dengannya.”40 Hal ini di dasarkan pada kesimpulan bahwa dari kumpulan asap yang masuk ke dalam mulut akan menimbulkan berbagai macam penyakit, dan jika berulang kali masuk maka akan menutupi apa yang dilewatinya serta menaikkan
38
Abdul Karim Muhammad Nashr. Rokok Haram. Ctk.Kedua, Citra Risalah, Yogyakarta, 2009, Hlm.9 39 Ibid, Hlm.11, sebagaimana disarikan dari Al-Qalyubi wa ‘Umairah ‘ala Syarhil ‘Allamah Jalaliddin al-Mahalli ‘ala Minhajith-Thalibin Lisy-Syaikh Muhyiddin An-Nawawi, Juz 1, Hlm. 69 40 Ibid, Hlm.12
27
temperatur yang berakibat pada timbulnya penyakit kronis yang dapat membinasakan. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 29:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu41; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.
Yang tampak pada kebanyakan pengguna tembakau adalah bahwa mereka tidak mabuk. Akan tetapi, ada kemungkinan bahwa tembakau dapat merusak atau membius. Jika benar demikian, maka tembakau hukumnya haram, meskipun waktu terjadinya kerusakan atau bius tidak lama. Jika dapat dipastikan tembakau tidak merusak ataupun membius, maka tembakau boleh dikonsumsi. Jika hal tersebut masih diragukan, maka hukumnya haram. Sementara itu Dari Abu Abdillah Nu’man bin Basyir rodhiyallohu’anhu, dia berkata: ”Aku pernah mendengar Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda: ’Sesungguhnya sesuatu yang halal telah jelas serta yang haram juga telah jelas dan diantara keduanya terdapat perkara-perkara syubhat
41 Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.
28
(yang masih samar/tidak jelas); yang kebanyakan manusia tidak mengetahui (hukum)nya. Barangsiapa yang berhati-hati terhadap perkara syubhat, maka sesungguhnya dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjerumus kepada perkara syubhat, pasti akan terjerumus kepada yang haram. Seperti halnya seorang penggembala yang menggembala di sekitar daerah
larangan,
sehingga
(menggembala) di dalamnya.
dikhawatirkan
hampir-hampir
Ingatlah bahwa tiap-tiap raja
mempunyai larangan. Ingatlah bahwa larangan Alloh adalah apa-apa yang diharamkan-Nya. Ingatlah bahwa di dalam tubuh ada segumpal daging, jika baik, maka baiklah seluruh tubuhnya, jika ia rusak maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ingatlah, ia adalah jantung.” (HR. Bukhori dan Muslim). Menurut madzhab Hambali, sebagaimana disebutkan dalam kitab Mathalibu Ulin-Nuha, orang terbagi menjadi empat bagian, sebagian ada yang berpendapat boleh, dan ada yang berpendapat makruh, ada pula sebagian lain yang fanatik menyatakan haram.42
E. Definisi Operasional Kebijakan kriminalisasi yaitu kebijakan untuk “mengangkat/ menetapkan/ menunjuk” suatu perbuatan yang semula tidak merupakan
42
Ibid, Hlm.17
29
tindak pidana menjadi suatu tindak pidana (delik/ tindak kriminal).43 Tindak pidana memang pada hakikatnya merupakan “perbuatan yang diangkat” atau “perbuatan yang ditunjuk/ ditetapkan” (“benoemd gedrag” atau “designated behaviour”) sebagai perbuatan yang dapat dipidana oleh pembuat undang-undang . Penentuan “benoemd gedrag”/ “designated behaviour” ini merupakan kebijakan kriminal (criminal policy). Oleh karena itulah, G.P Hoefnagels pernah menyatakan, bahwa “criminal policy is a policy af designating human behavior as crime” (kebijakan kriminal
adalah
suatu
kebijakan
dalam
menetapkan
perilaku
manusiasebagai suatu kejahatan/ tindak pidana).44 Produk tembakau adalah olahan tembakau yang menghasilkan sigaret kretek mesin, sigaret putih mesin, sigaret kretek tangan, sigaret kretek tangan filter, sigaret putih tangan, sigaret putih tangan filter, sigaret kelembak menyan, cerutu, rokok daun (klobot), tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya.45 Jadi judul penelitian skripsi yang mengkaji tentang Kebijakan Kriminalisasi Dalam Pengendalian Dampak Produk Tembakau akan menelaah mengenai kebijakan dalam proses pembentukan rancangan undang-undang berdasarkan latar belakang yang dilakukan oleh DPR dalam mengangkat/ menetapkan/ menunjuk suatu perbuatan yaitu penggunaan
produk
tembakau
berupa
olahan
tembakau
yang
43 Barda Nawawi Arief. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru).Ctk Kesatu, Kencana Prenada Group, Jakarta, 2008. Hlm.301 44 Ibid, Hlm.302. 45 Draf Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pengendalian Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan, Pasal 1 angka 1.
30
menghasilkan sigaret kretek mesin, sigaret putih mesin, sigaret kretek tangan, sigaret kretek tangan filter, sigaret putih tangan, sigaret putih tangan filter, sigaret kelembak menyan, cerutu, rokok daun (klobot), tembakau iris, dan hasil pengolahan tembakau lainnya yang semula tidak merupakan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana (delik/ tindak kriminal).
F. Metode Penelitian 1. Fokus penelitian Objek yang menjadi kajian dalam penelitian ini adalah kebijakan yang diambil
oleh
Dewan
Perwakilan
Rakyat
(DPR)
mengenai
kriminalisasi dalam Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan. 2. Narasumber Narasumber yang diperlukan dalam penulisan ini adalah beberapa orang yang terkait dengan lahirnya Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Dampak Produk Tembakau terhadap Kesehatan. a. Drs. H. Aminudin Yakub, MA (Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia); b. Dr. Kartono Mohamad (Wakil Ketua Tobacco Control Support Center- Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia); c. Sri Utari Setyawati (Indonesian Forum of Parliamentarians on Population and Development);
31
d. Tulus Abadi, SH (Ketua YLKI dan Penerima Tobacco Control Fellowship Programs, Bangkok 2003); e. Dr. Hakim Sorimuda Pohan (Pengusul Rancangan UndangUndang).
3. Metode Pendekatan Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif serta pendekatan kebijakan kriminalisasi, yakni mempelajari dari segi hukum dan kebijakan yang diambil oleh lembaga legislatif terhadap penanggulangan dampak produk tembakau yang terdapat dalam Rancangan
Undang-Undang
Penanggulangan
Dampak
Produk
Tembakau terhadap Kesehatan untuk menelaah tentang pembenaran kriminalisasi dan sanksi pidananya. 4. Bahan hukum a. Bahan hukum primer 1) Rancangan Undang-Undang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan; 2) Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Pengendalian Dampak Produk Tembakau Terhadap Kesehatan; b. Bahan Hukum Sekunder Pada penelitian ini, penulis mengambil data dari buku-buku (literatur), peraturan-peraturan, hasil wawancara dan karangankarangan ilmiah yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.
32
c. Bahan Hukum Tersier 1)
Kamus Hukum
2)
Kamus Besar Bahasa Indonesia
3)
Al-Qur’an dan Terjemahan
4)
Berita Majalah dan Surat Kabar, termasuk bahan dari Internet
5. Cara pengumpulan bahan hukum Cara pengumpulan bahan hukum dapat dilakukan dengan: a. Studi pustaka, yaitu dengan mengkaji karangan-karangan ilmiah, literatur yang berhubungan dengan penanggulangan dampak tembakau terhadap kesehatan; b. Studi dokumen, yaitu dengan mengkaji berbagai dokumen resmi institusional yang berupa peraturan, c. Wawancara dengan mengajukan pertanyaan kepada narasumber secara bebas. Dalam melakukan wawancara ini, penulis mengalami sejumlah kendala. Salah satunya adalah kesibukan nara sumber yang sangat padat sehingga tidak dapat meluangkan waktu untuk diwawancarai, antara lain yaitu Prof. Dr. Ali Mustafa Ya’kub dan Dra. Hj. Ida Fauziyah. Untuk Prof. Dr. Ali Mustafa Ya’kub, beliau memberikan solusi agar menghubungi Drs. H. Aminudin Yakub, MA, yang merupakan Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Sedangkan untuk Dra. Hj, Ida
33
Fauziyah, sewaktu dihubungi melalui asistennya meminta wawancara dilakukan melalui email. Akan tetapi hingga saat akhir diselesaikannya skripsi ini, beliau belum juga memberikan jawaban atas pertanyaan yang penulis ajukan.
6. Metode Analisis Data Data yang terkumpul dari hasil penelitian ini dianalisa secara deskriptif kualitatif, yaitu data-data diperoleh dari penelitian tersebut digambarkan dan ditata secara sistematis dalam wujud uraian- uraian kalimat
yang
diambil
maknanya
sebagai
pernyataan
atau
kesimpulan.46
46 Rony Hanitijio Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Juri Metri. Ghalia, Jakarta, 1998, Hlm.82.