BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tembakau merupakan komoditas perkebunan yang mempunyai peranan strategis dalam perekonomian nasional, yakni merupakan sumber pendapatan Negara melalui devisa negara, cukai, pajak, serta sumber pendapatan petani dan dapat menciptakan lapangan kerja. Ditinjau dari aspek komersial, komoditas tersebut merupakan bahan baku industri dalam negeri sehingga keberadaannya perlu dipertahankan dan lebih ditingkatkan. Temba kau (Nicotiana tabaccum) adalah genus tanaman berdaun lebar yang berasal dari daerah benua Amerika . Daun tembakau merupakan bahan baku rokok dan cerutu, serta dapat dikunyah. Diketahui dari segi penerimaan pemerintah terhadap cukai rokok, terlihat bahwa setiap tahun terus meningkat. Pada tahun 1999, besarnya cukai rokok Rp. 10, 16 trilyun. Demikian pula dalam bidang perdagangan, pada tahun 1999 devisa dari ekspor rokok dan tembakau mencapai US$ 235 juta (Suwarso, dkk ., 2003). Untuk mempertahankan kondisi tersebut, diperlukan perhatian pemerintah khususnya dalam upaya menyeimbangkan suplai dan kebutuhan dengan memperhatikan faktor teknis sebagai salah satu upaya yang perlu ditingkatkan. Demikian pula, sejalan dengan arah pembangunan ekonomi ke depan perlu ditempuh upaya untuk memberdayakan dan memandirikan petani perkebunan beserta kelembagaannya untuk dapat mengembangkan usahanya
1
2
secara optimal baik pada tahap on farm maupun off farm. Dengan demikian kebijakan produksi perkebunan harus mengimplementasikannya dalam bentuk kegiatan yang mengandung nilai efisien, produktif dan berkelanjutan guna menciptakan daya saing dan nilai tambah yang optimal bagi kesejahteraan petani yang makmur. Tumbuhan tidak selamanya bisa hidup tanpa gangguan. Kadang tumbuhan mengalami gangguan oleh binatang atau organisme kecil (virus, bakteri, atau jamur). Hewan dapat disebut hama karena mereka mengganggu tumbuhan dengan memakannya. Belalang, kumbang, ulat, wereng, tikus, walang sangit merupakan beberapa contoh binatang yang sering menjadi hama tanaman. Gangguan terhadap tumbuhan yang disebabkan oleh virus, bakteri, dan jamur disebut penyakit. Tidak seperti hama, penyakit tidak memakan tumbuhan, tetapi mereka merusak tumbuhan dengan mengganggu proses-proses dalam tubuh tumbuhan sehingga mematikan tumbuhan. Oleh karena itu, tumbuhan yang terserang penyakit, umumnya, bagian tubuhnya utuh. Akan tetapi, aktivitas hidupnya terganggu dan dapat menyebabkan kematian. Salah satu hambatan dalam peningkatan produksi tanaman tembakau adalah gangguan penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum, yang merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman. Di Indonesia, penyakit ini sudah diketahui sejak tahun 1910 di pulau Selayar, Sulawesi Selatan (Semangun, 1989) dan setelah itu pe nyakit ini juga ditemukan tersebar di pulau Jawa. Di Provinsi Lampung, penyakit layu bakteri pada tanaman pisang pertama kali dilaporkan pada tahun 1993 (Aeny, dkk., 1999) dan sampai
3
sekarang masih merupakan masalah yang serius karena belum berhasil dikendalikan. Petani hortikultura yang menanam tanaman semusim maupun perkebunan seringkali dihadapkan pada kenyataan dimana tanamannya terserang suatu penyakit yang akhirnya tanaman tersebut mengalami kematian. Akibat serangan layu, kerugian yang ditimbulkan be rsifat mutlak, artinya tanaman tidak bisa disembuhkan dan tidak mampu berproduksi lagi secara normal. Selama ini, perilaku petani dalam mengendalikan penyakit lebih banyak bersifat pengobatan (curatif), artinya hanya melakukan pengendalian penyakit apabila ada serangan dengan menggunakan pestisida kimiawi. Namun, penggunaan pestisida ini menimbulkan berbagai dampak negatif, misalnya membunuh organisme yang bukan sasaran, menimbulkan kerusakan pada lingkungan, dan juga gangguan pada kesehatan manusia. Sejauh ini pemakaian pestisida selalu diikuti dengan pertimbangan ekonomi dan berdampak pada lingkungan. Pasar lebih menyukai produksi pertanian yang bebas bahan kimia, sehingga alternatif pestisida yang aman bagi lingkungan
dan
konsumen
sangatlah
diperlukan
(Purwantisari,
2008).
Pengendalian penyakit tanaman menggunakan bahan-bahan kimia kini mulai dihindari karena berdampak negatif bagi lingkungan, oleh karena itu penggunaan fungisida nabati (biofungisida) mutlak diperlukan. Kebijakan global mengenai pembatasan penggunaan bahan aktif kimiawi pada proses produksi pertanian pada gilirannya akan sangat membebani pertanian Indonesia. Hal ini disebabkan oleh tingginya tingkat ketergantungan petani terhadap pestisida kimia. Ketergantungan
4
inilah yang akan melemahkan produk pertanian asal Indonesia dan daya saingnya di pasar global. Melihat kenyataan yang telah ada sekarang ini, segera diupayakan pengurangan penggunaan fungisida kimiawi dan mengalihkannya pada jenis fungisida yang aman bagi lingkungan. Salah satu cara pengendalian penyakit yang ramah lingkungan dan berpotensi untuk dikembangkan ialah pengendalian hayati menggunakan rhizobakteri (bakteri yang hidup di sekitar akar tanaman) sebagai agen biofungisida secara langsung maupun tidak langsung untuk mengontrol serangan spesies pengganggu (Nigam dan Mukerji, 1988). Pencegahan
datangnya
hama
dan
penyakit
dalam
metode
pengendalian hama / penyakit terpadu dapat dilakukan melalui kultur teknis, pengamatan, secara biologis dan alternatif dan yang terakhir baru menggunakan bahan kimia yang disesuaikan jenis dan dosisnya. Salah
satu alternatif
pengendalian
patogen
(organisme
yang
menyebabkan penyakit pada tanaman) yang ramah lingkungan adalah dengan menggunakan bakteri/jamur antagonisnya (organisme yang dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh dari patogen). Vershere dkk. (2000) cit. Isnansetyo (2005) mengemukakan bahwa bakteri antagonis dalam mengendalikan patogen melalui mekanisme antibiosis menghasilkan senyawa penghambat pertumbuhan / pembunuh patogen, kompetisi, dan parasitasi. Kadang-kadang agensia hayati juga mempunyai kemampuan meningkatkan respon imun inang.
5
Menurut Charudattan (2002) penggunaan mikroorganisme antagonis selain tepat sasaran untuk mengendalikan satu patogen, mikroorganisme antagonis juga dapat dikombinasikan dengan metode pengendalian hayati yang lain, tidak mencemari lingkungan dan tidak berbahaya terhadap kesehatan manusia. Penggunaan mikroorganisme antagonis dalam pengendalian penyakit tumbuhan merupakan salah satu cara pengendalian yang lebih ekonomis dibandingkan dengan pengendalian secara kimia. Pengendalian dengan menggunakan musuh alami dirasa sangat baik dan aman, karena tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. Penggunaan bakteri/jamur antagonis dipandang sangat baik dalam pengendalian hama dan penyakit tanaman yang berwawasan lingkungan. Bacillus dan isolat Bacillus BK 1, merupakan beberapa contoh dari bakteri antagonis yang dapat dimanfaatkan sebagai agensia pengendali penyakit layu bakteri pada tanaman. Bacillus adalah salah satu agensia antagonis yang mempunyai potensi besar untuk digunakan sebagai pengendali hayati. Bakteri ini mempunyai inang yang spesifik, tidak berbahaya bagi musuh alami hama dan penyakit serta organisme non target lainnya, mudah terbiodegradasi oleh lingkungan, serta dapat dinaikkan patogenisitasnya dengan teknik rekayasa genetik (Khetan, 2001). Bacillus merupakan jenis bakteri antagonis yang sangat toksik terhadap hamahama atau penyakit-penyakit tertentu seperti R. solanacearum (penyakit layu bakteri). Bacillus dapat diisolasi dari berbagai sumber seperti tanah dan larva sakit (Burges dan Hussey, 1981). Dalam kesempatan ini perlu dilakukan pengujian
6
Bacillus
untuk
mengetahui
pengaruhnya
pada
pertumbuhan
bakteri R.
solanacearum yang merupakan salah satu penyakit tanama n penting di Indonesia. Isolat Bacillus BK 1 adalah salah satu dari sekian banyak isolat-isolat bakteri antagonis yang di dapatkan dari pengenceran tanah yang berasal dari daerah jember. Isolat Bacillus BK1 ini merupakan isolat bakteri antagonis yang paling berpotensi dari sekian banyak isolat-isolat bakteri antagonis lainnya yang telah ditemukan. Isolat Bacillus BK1 ini juga mempunyai potensi besar untuk digunakan sebagai pengendali hayati. Penelitian tentang pertumbuhan bakteri antagonis pada beberapa media buatan, untuk mengetahui pengaruhnya terhadap penyakit layu bakteri (R. solanacearum) sampai saat ini masih belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, untuk mengetahui sejauh mana bakteri antagonis yang tumbuh pada pengujian beberapa media dapat menghambat pertumbuhan layu bakteri (R. solanacearum), maka penelitian yang berjudul “Pengaruh Media Buatan (Ekstrak Daging Cacah Dan Limbah Tahu Cair) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Antagonis Ralstonia solanacearum Penyebab Penyakit Layu Pada Tembakau (Nicotiana tabaccum)” ini perlu untuk dilakukan. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diambil suatu rumusan masalah sebagai berikut : a) Apakah ada pengaruh beberapa media buatan (Ekstrak Daging Cacah Dan Limbah Tahu Cair) terhadap pertumbuhan bakteri antagonis (Bacillus)?
7
b) Apakah ada pengaruh media pertumbuhan bakteri antagonis (Bacillus) terhadap R. solanacearum penyebab penyakit layu pada tembakau (Nicotiana tabaccum)? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian yang dilakukan ini adalah : a) Untuk me ngetahui pengaruh beberapa media buatan (Ekstrak Daging Cacah Dan Limbah Tahu Cair) terhadap pertumbuhan bakteri antagonis (Bacillus). b) Untuk mengetahui pengaruh media pertumbuhan bakteri antagonis (Bacillus) terhadap R. solanacearum penyebab penyakit layu pada tembakau (Nicotiana tabaccum). 1.4 Manfaat penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah : a) Dapat menambah pengetahuan peneliti maupun masyarakat luas pada umumnya tentang penyakit layu bakteri yang disebabkan R. solanacearum pada tanaman tembakau (Nicotiana tabaccum) b) Dapat memberikan informasi tambahan mengenai metode pengendalian penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh R. solanacearum pada tanaman tembakau dengan menggunakan bakteri antagonis, khususnya bagi para petani tembakau (Nicotiana tabaccum).
8
1.5 Batasan Penelitian Agar penelitian tidak menyimpang dari fokus permasalahan, maka diperlukan adanya batasan penelitian, sebagai berikut : a) Media yang digunakan untuk melihat bakteri antagonis adalah media yang terbuat dari limbah cair tahu dan ekstrak daging cacah. 1. Pada media limbah cair tahu, akan dibagi menjadi 4 media, yaitu TS1 (TSA 10% , air limbah tahu), TS2 (peptone , fresh chitin, air limbah tahu), TS3 (pepton, chitin, air limbah tahu), dan TS4 (lignin, pepton, air limbah tahu). 2. Media ekstrak daging cacah dibagi menjadi 2 media, yaitu ME 1 (Daging cacah segar, Pepton, Aquadest), dan ME 2 (Daging cacah segar, Lignin, Aquadest). b) Mikroba patogen yang digunakan pada penelitian ini adalah Bakteri R. solanacearum. c) Mikroba antagonis yang digunakan pada pe nelitian ini adalah Bacillus, isolat Bacillus BK1. d) Tanaman yang digunakan pada penelitian ini adalah tanaman tembakau (Nicotiana tabaccum).
9
e) Pengamatan dilakukan menggunakan 2 cara, yaitu : 1. In vitro Pada pengamatan in vitro, dilakukan dengan 2 metode : a. Pengamatan pertama dilakukan untuk mengetahui kepadatan populasi dengan menggunakan metode tuang (pour plate), metode ini dilakukan untuk mengetahui media mana yang paling bagus pertumbuhannya untuk bakteri antagonis. Dimana nantinya akan diterapkan pada pengujian in vivo. b. Pengamatan kedua dilakukan pengamatan pada daya antagonis, menggunakan metode uji chloroform dengan cara melihat zona bening yang tumbuh disekitar mikroba antagonis. Dimana zona bening tersebut menunjukkan kemampuan dari mikroba antagonis untuk melawan / menghambat pertumbuhan dari mikroba patogen. 2. In vivo : dilakukan pengamatan dengan mengukur tinggi tanaman. Dimana penyakit layu bakteri ini menyerang pada bagian perakaran. Dapat menyebabkan tanaman layu, sehingga mati dan juga dapat mengkerdilkan tanaman tersebut (menghambat pertumbuhannya). 1.6 Definisi Istilah Agar pembaca tidak salah dalam mengartikan penulisan ini, maka perlu adanya definisi istilah yang sekiranya perlu, sebagai berikut :
10
a) Antagonis merupakan pertumbuhan dari suatu jenis tertentu mikroorgnisme. Mikroba antagonis ini dapat menghasilkan zat-zat atau mengubah keadaan sedemikian rupa, sehingga spesies organisme lainnya dapat terhambat / terhenti pertumbuhannya (Bukle, dkk., 1987). b) R. solanacearum merupakan bakteri patogen yang da pat menyebabkan penyakit pada tanaman, biasanya merusak pada daerah perakaran sehingga menyebabkan layu yang lama kelamaan tanaman tersebut mati. c) Bacillus dan isolat Bacillus BK 1 merupakan agensia pengendali hayati yang akan menghambat pertumbuhan R. solanacearum. d) Pengendalian hayati adalah usaha pengurangan inokulum / pengurangan aktifitas penyakit yang dihasilkan patogen atau beberapa organisme yang berlangsung secara alami (Abadi, 2005).