BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang mempunyai kekayaan hayati terbesar dan merupakan
pusat
keanekaragaman
hayati
dunia
(Supriatna,
2008).
Keanekaragaman hayati merupakan fenomena normal pada makhluk hidup. Keanekaragaman ini mudah diamati pada penampilan luar yang merupakan ciri-ciri makhluk hidup. Adanya persamaan dan perbedaan ciri-ciri yang dapat diamati menjadi dasar sistem klasifikasi dalam taksonomi (Sofro, 1994). Meskipun telah dilakukan pengelompokan, kadang-kadang masih dijumpai pula keanekaragaman pada ciri-ciri tertentu. Keanekaragaman ini dapat diamati pada individu dalam satu kelompok populasi, antar kelompok populasi dalam suatu jenis, dan antar jenis. Perbedaan variasi antar jenis pada populasi tertentu ini dapat disebabkan berbagai macam faktor, antara lain: genetik, umur, jenis kelamin, makanan, stadium daur hidup, bentuk tubuh, habitat, dan lain lain (Sofro, 1994). Adanya keanekaragaman tersebut semakin memperbesar peluang terjadinya kekeliruan penentuan simplisia sebagai bahan baku obat herbal. Costus speciosus (Koen) J.E. Smith atau pacing merupakan salah satu jenis tanaman obat yang potensial. Penelitian yang telah dilakukan oleh Sari dkk. (2013) membuktikan bahwa infusa daun pacing mampu menurunkan jumlah spermatozoa dan menurunkan motilitas sperma yang bersifat terbalikkan, hal ini menunjukkan bahwa pacing dapat digunakan sebagai obat antifertilitas untuk pria.
1
2
Senyawa kimia yang diduga mampu bersifat antispermatogenesis dalam pacing adalah diosgenin (Srivastava dkk., 2011). Diosgenin adalah senyawa spirostanol saponin yang tersusun atas gula hidrofilik terikat dengan aglikon steroid hidrofobik (Raju & Metha, 2009). Senyawa kimia yang lain yang diduga berkhasiat sebagai antifertilitas adalah senyawa fenolik. Senyawa fenolik berupa tanin dilaporkan dapat mengurangi motilitas sperma dan menghambat penetrasi sperma (Li dkk., 1997). Dua varian pacing yang ditemukan di alam antara lain adalah pacing varian bunga putih (PVP) dan varian bunga putih kemerahan (PVPM). Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh perbedaan varian terhadap kandungan zat aktif diosgenin dan senyawa fenolik sehingga dapat diketahui varian yang mengandung kadar zat aktif paling tinggi dan dapat membantu produsen dalam mengidentifikasi varian tanaman pacing yang dapat digunakan sebagai bahan baku obat antifertilitas yang berkualitas. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana perbedaan ciri-ciri makroskopik pacing PVP dan PVPM? 2. Apakah terdapat perbedaan profil fitokimia ekstrak etanolik pacing PVP dan PVPM? 3. Apakah terdapat perbedaan signifikan kandungan diosgenin pada ekstrak etanolik pacing PVP dan PVPM? 4. Apakah terdapat perbedaan signifikan kandungan total fenolik pada ekstrak etanolik pacing PVP dan PVPM?
3
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui perbedaan ciri-ciri makroskopik pacing PVP dan PVPM. 2. Mengetahui perbedaan profil fitokimia ekstrak etanolik pacing PVP dan PVPM. 3. Mengetahui adanya perbedaan yang signifikan kandungan diosgenin pada ekstrak etanolik pacing PVP dan PVPM. 4. Mengetahui adanya perbedaan yang signifikan kandungan total fenolik pada ekstrak etanolik pacing PVP dan PVPM. D. Pentingnya Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat diketahui varian pacing dengan kandungan zat aktif yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai obat antifertilitas yang efektif. Banyaknya kasus kekeliruan bahan baku simplisia mengakibatkan berkurangnya efektifitas obat herbal. Oleh karena itu, dengan adanya data mengenai makroskopik dan profil fitokimia tumbuhan dapat membantu produsen obat dalam mengidentifikasi bahan baku varian pacing yang memiliki kadar zat aktif tinggi sehingga terhindar dari kekeliruan simplisia. Hasil penelitian ini pula diharapkan ke depannya dapat dilakukan penelitian terhadap pengaruh perbedaan varian tumbuhan terhadap kadar zat aktif serta penelitian lanjutan mengenai studi fitokimia tumbuhan sebagai obat antifertilitas dan mekanisme farmakologinya. E. Tinjauan Pustaka 1. Herba Pacing (Costus speciosus (Koen) J.E. Smith) Pacing (Costus speciosus (Koen) J.E. Smith) merupakan tumbuhan asli Asia Tenggara, dan terdistribusi luas di wilayah India (Palaniswami & Peter, 2008)
4
a. Sistematika Divisi
: Spermatophyta
Anak divisi
: Angiospermae
Kelas
: Monocotyledoneae
Bangsa
: Zingiberales
Suku
: Costaceae
Marga
: Costus
Jenis
: Costus speciosus (Koen) J.E. Smith
(Anonim, 2008)
Gambar tumbuhan pacing PVP dan PVMK dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
Gambar 1.Tumbuhan pacing (Costus speciosus (Koen) J.E. Smith) PVP
Gambar 2.Tumbuhan pacing (Costus speciosus (Koen) J.E. Smith) PVPM
b. Sinonim Tanaman Costus sericeous Bl (Anonim, 2008). c. Nama Daerah Tabar-tabar (Batak), kelacing (Bangka), galoba utan (Melayu), Pacing (Sunda, Jawa Tengah,), binto (Madura), lingkuas ing talun (Minahasa),
5
tapung tawara (Makassar), tepu tawa (Bugis) muri-muri (Ternate), tubutubu (Ambon) (Anonim, 2008). d. Morfologi Tumbuhan Perbungaan terdiri dari banyak bunga, berbentuk elips, bongkol bunga kurang lebih berbentuk membulat atau bulat telur, sedikit menyempit, ujung helaian daun biasanya tumpul-rompang bentuk ujung rata, 2,5-11 cm hingga 2,5-8 cm, menyempit seiring dengan perkembangan bunga, daun pelindung berbentuk tajam dengan helaian daun bagian ujung batang terpisahkan dari daun terakhir, daun pelindung utama berbentuk bulat telur, dengan tekstur lembut atau keras, ujung daun pelindung runcing atau meruncing, kemerahan, dipenuhi oleh bulu kasar, 1,25-4,5 cm dan 0,75-2,5 cm, daun pelindung sekunder sempit, runcing, kemerahan terutama sepanjang tepi, gundul atau berambut, 1-2,5 cm, bunga bunga mempunyai kelopak gundul atau berambut, 2-3,5 cm (termasuk ovari), bertambah panjang selama perkembangan bunga, tabung kelopak lebih panjang dari lobus, lobus tidak sama ukurannya, runcing, kelopak anterior lebih panjang dari 2 lainnya, tidak berlunas, 2 yang lainnya lebih pendek, berlunas, mahkota berwarna putih atau bercak ungu, tabung mahkota lebih pendek daripada kelopak, 1 cm, lobus 3-5 cm, labellum luas berbentuk bulat telur terbalik, dengan tepi beringgit atau berlekuk, berwarna putih dilengkapi dengan rambut berwarna kuning di bagian tengah, 4-9 cm, ujung stamen kuning, berambut di bagian belakang, 2,5-3,5 cm, 1,25 cm, antera 8 mm, ovari gundul, 2,75 cm.
6
Buah berjumlah sedikit hingga banyak, ukurannya sama atau lebih panjang daripada daun pelindung, tidak tertutup oleh daun ujung, berbentuk elipsoid, ditutupi oleh bulu halus, perikarpium tebal, biji 3mm, daun biasanya sempit berbentuk lanset, tidak jarang, melebar mendekati ujung daun, dengan pangkal helaian daun runcing atau tumpul, ujungnya runcing atau meruncing, sebagian berambut baik halus maupun kasar sepanjang ibu daun, atau seluruh permukaan atas, tulang-tulang daun tipis menonjol biasanya melintang, termasuk herbaceus, (5-) 14-34 cm dengan (1,5-) 410,5 cm, tangkai daun tertutupi oleh rambut pendek, 5-8 mm, ligula pendek, berdiri, lembut, sangat halus memiliki panjang hingga 2 cm, berambut seperti laba-laba, herba kuat, bercabang di pertengahan atas, setelah berbunga memiliki banyak variasi, tumbuh di hutan jati, juga pada tanah berkapur, tidak pada hutan primer lembab (Backer & Brink, 1965) e. Kandungan Kimia Pada penelitian sebelumnya diketahui tanaman pacing memiliki kandungan kimia berupa alkaloid, flavonoid, glikosida jantung, saponin, steroid, terpenoid, fenolik, dan tanin (Saraf, 2009; Urooj & Devi, 2009). Semua bagian dari tumbuhan mengandung sapogenin steroid, diosgenin, dengan kuantitas bervariasi antara 0,32-4% (Khare, 2007). f. Khasiat dan Kegunaan Rimpang pacing digunakan oleh masyarakat Asia sebagai anthelmintik, laksatif, tonik, bronchitis, deman, pneumonia, rematik, dan sifilis. Batangnya digunakan untuk perban dan luka bakar. Daunnya digunakan
7
untuk mengatasi skabies dan sakit perut. Kulit batangnya digunakan sebagai obat kolera. Isolat senyawa steroid mempunyai aktivitas sebagai antiartritis, antifertilitas, dan antinflamasi (Duke dkk., 2003). 2. Variasi Tumbuhan Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman dalam jenis (intra-spesific variability) yang tinggi. Secara alami berbagai species tumbuhan memiliki individu-individu yang sangat beragam (Indrawan dkk., 2004). Variasi pada tumbuhan dapat disebabkan oleh pengaruh lingkungan dan faktor keturunan atau genetik.Variasi yang timbul karena pengaruh lingkungan sering dikatakan sebagai non-heritable variation. Artinya adanya variasi tersebut tidak diwariskan kepada keturunannya. Perbedaan kondisi lingkungan memberikan kemungkinan munculnya variasi yang akan menentukan kenampakan akhir tanaman tersebut. Variasi yang timbul karena faktor genetik dinamakan heritable variation, yakni varian yang diteruskan kepada keturunannya. Bila ada variasi yang timbul atau tampak pada populasi tanaman yang ditanam pada kondisi yang sama maka variasi tersebut merupakan variasi atau perbedaan yang berasal dari genotip individu anggota populasi (Mangoendidjojo, 2003). Variasi yang ditimbulkan ada yang langsung dapat dilihat, misalnya perbedaan warna bunga, daun, dan bentuk biji (ada yang berkerut, ada yang tidak), namun ada pula variasi yang memerlukan pengamatan dengan pengukuran, misalnya tingkat produksi, jumlah anakan tanaman, dan atau lainnya (Mangoendidjojo, 2003).
8
3. Metabolit Sekunder Senyawa metabolit sekunder merupakan senyawa yang disintesis oleh suatu makhluk hidup, bukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya, akan tetapi untuk mempertahankan eksistensinya dalam berinteraksi dengan ekosistem. Kadar metabolit sekunder yang disintesis berubah-ubah seiring dengan proses interaksi dengan lingkungan hidupnya. Secara khusus, senyawa metabolit sekunder mempunyai fungsi umum, yaitu sebagai alat pengikat (attractant) bagi serangga atau hewan lainnya untuk membantu penyerbukan, sebagai alat penolak (repellant) terhadap gangguan hama atau hewan pemangsanya, dan sebagai alat pelindung (protectant) terhadap kondisi lingkungan fisik yang ekstrim (Sumaryono, 1996). Biosintesis metabolit sekunder dapat dikelompokkan menjadi beberapa jalur (pathway), yaitu jalur asetat (acetic pathway), jalur asam shikimat (shikimate pathway), jalur asam mevalonat (mevalonate pathway), dan jalur jalur biosintesis alkaloid, protein/peptida, dan karbohidrat. Berdasarkan jalur biosintesis tersebut, maka, senyawa senyawa asam lemak (baik jenuh maupun tidak jenuh), prostaglandin, makrolid, poliketid aromatik biosintesisnya masuk ke dalam jalur asetat. Senyawa-senyawa asam amino aromatik, flavonoid, terpenoid, lignin, dan flavonolignan, biosintesisnya masuk ke dalam jalur shikimat. Biosintesis kelompok terpen (seperti monoterpen, seskiterpen, diterpen, triterpen, dan tetraterpen) dan steroid, masuk ke dalam jalur asam mevalonat. Hubungan antara metabolisme primer dan metabolisme sekunder melalui beberapa senyawa antara dapat dilihat pada Gambar 3.
9
Gambar 3.Hubungan antara metabolisme primer (dalam kotak) dan metabolisme sekunder melalui beberapa senyawa antara (Dewick, 1999)
4. Senyawa Glikosida Steroid Terpenoid dan steroid alkohol banyak terdapat di alam bukan dalam bentuk bebasnya, tetapi sebagai glikosida. Sterolin atau glikosida sterol tersebar luas pada tumbuhan. Senyawa ini ditemukan bersama dengan sterol bebas dalam fraksi lipid tidak tersabunkan, tetapi dapat dibedakan dengan sterol bebas dari titik lelehnya yang jauh lebih tinggi dan kelarutannya yang rendah dalam pelarut lemak seperti etil eter (Robinson, 1995). Dikenal dua jenis saponin, glikosida triterpenoid alkohol dan glikosida struktur steroid tertentu yang mempunyai rantai samping spiroketal. Kedua jenis saponin ini larut dalam air dan etanol, tetapi tidak larut dalam eter.
10
Aglikonnya disebut sapogenin yang diperoleh dengan hidrolisis asam atau menggunakan enzim, dan tanpa bagian gula ciri kelarutannya sama dengan ciri sterol lain (Robinson, 1995). Biosintesis steroid saponin melalui jalur asam mevalonat. Reaksinya dimulai dari penggabungan asam asetat dengan koenzim A melalui kopling reaksi menjadi asetil koenzim A, atau disebut pula sebagai asetat aktif yang dalam proses biosintesis ternyata amat berperan (Evans, 1989). Selanjutnya masing masing asetil koenzim A akan saling bergabung membentuk rantai yang lebih panjang menjadi asetoasetil KoA, kemudian membentuk β-hidroksi-βmetil glutaril-KoA. Selanjutnya akan mengalami reduksi yang membutuhkan 2 molekul NADPH2 menjadi asam mevalonat (Tyler dkk.,1988). Dengan ATP, asam mevalonat akan mengalami fosforilasi menjadi asam 5-fosfomevalonat yang seterusnya akan membentuk asam 5-pirofosfo-3-fosfomevalonat. Selanjutnya dengan adanya eliminasi CO2 dan H2O serta pemasukan molekul ATP, akan membentuk 3-isopentenil pirofosfat. Isopentenil pirofosfat akan membentuk 3,3-dimetilalil pirofosfat. Dimetilalil pirofosfat akan membentuk geranil pirofosfat dengan adanya isopentenil yang lain. Penambahan unit isopentenil yang lain pada geranil pirofosfat akan mengakibatkan terbentuknya farnesil pirofosfat. Farnesil pirofosfat dengan farnesil pirofosfat yang lain dan dengan NADPH2 akan membentuk skualen (Tyler dkk., 1988). Skualen akan membentuk sikloartenol pada tumbuhan dan lanosterol pada hewan. Baik sikloartenol maupun lanosterol akan membentuk
11
kolesterol yang merupakan prekusor dari senyawa steroid. Struktur kimia dioscin dan diosgenin dapat dilihat pada Gambar 4.
(a)
(b)
Gambar 4. Struktur kimia (a) dioscin dan (b) diosgenin (Shah & Lele, 2012)
5. Senyawa Fenolik Senyawa fenolik atau polifenol merupakan sekumpulan metabolit sekunder yang memiliki cincin aromatik yang terikat dengan satu atau lebih substituent gugus hidroksi yang berasal dari jalur metabolisme sikimat dan fenil propanoid. Termasuk dalam kelompok senyawa fenolik dan polifenol adalah fenol sederhana, asam fenolat, kumarin, tanin, dan flavonoid. Dalam tanaman, senyawa-senyawa ini biasanya berada dalam bentuk glikosida atau esternya (Proestos & Kokaitis, 2006). Biosintesis semua senyawa fenolik (primer dan sekunder) termasuk tanin sebagian besar terjadi di sitoplasma dan diawali melalui jalur shikimat. Asam 3-dehidrosikimat merupakan produk antara jalur shikamate dari substrat karbohidrat yang penting dalam biosintesis senyawa fenolik. 3-dehidrosikimat disintesis menjadi asam-asam organik diubah dan dihasilkan senyawa fenolik antara lain gallotanin & ellagitanin , asam salisilat, asam sinapat dan asam 5-O-
12
kafeoilquinat (Crozier dkk., 2006). Biosintesis senyawa-senyawa fenolik dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Biosintesis senyawa–senyawa fenolik (Crozier dkk., 2006)
Penentuan kadar total fenolik dapat ditetapkan secara spektrofotometri menggunakan pereaksi Folin Ciocalteu (FC). Pereaksi FC merupakan larutan kompleks ion polimetrik yang dibuat dari asam fosfomolibdat dan asam heteropolifosfotungstat. Pereaksi ini terbuat dari air, natrium tungstat, natrium molibdat, asam klorida, litium, sulfat, dan bromin (Sutrisno, 1986). Pereaksi FC merupakan pereaksi terbaik untuk deteksi fenolik (Harborne, 1987). Metode penetapan total fenolik dengan pereaksi Folin Ciocalteu (FC) ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1972 untuk menganalisis asam amino tirosin. Metode ini berdasarkan prinsip reaksi redoks dalam suasana basa, yakni adanya senyawa fenolik akan dioksidasi oleh reagen asam fosfomolibdattungstat menghasilkan produk senyawa berwarna yang dapat diukur
13
absorbansinya pada panjang gelombang maksimal 745-750 nm. Warna biru yang terbentuk akan semakin pekat setara dengan konsentrasi ion fenolat yang terbentuk, artinya semakin besar konsentrasi senyawa fenolik maka semakin banyak ion fenolat yang akan mereduksi asam heteropoli sehingga warna biru yang dihasilkan semakin pekat (Singleton & Rossi, 1985). 6. Profil Fitokimia Fitokimia merupakan senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam suatu bahan alam. Metode pemisahan dan pemurnian kandungan tumbuhan dapat dilakukan menggunakan satu dari empat teknik kromatografi atau gabungan teknik tersebut. Keempat teknik tersebut adalah Kromtografi Lapis Tipis (KLT), Kromatografi Gas Cair (KGC), Kromatografi Kertas (KKt), dan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Uji fitokimia biasanya meliputi uji terhadap adanya alkaloid, steroid, triterpenoid, fenolik, flavonoid, dan saponin (Harborne, 1987). a. Senyawa Fenolik Senyawa fenolik merupakan senyawa yang berasal dari tumbuhan yang mempunyai cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil. Senyawa fenolik cenderung mudah larut air karena sering berikatan dengan gula sebagai glikosida, dan biasanya terdapat dalam vakuola sel. Fenolik menyerap didaerah UV dan dapat dideteksi pada plat silika gel yang mengandung flouresensi pada gelombang 254 nm, terlihat sebagai bercak gelap dengan latar belakang flouresensi (Harborne, 1987).
14
Fenolik dapat didentifikasi dengan preaksi KLT vanillin-asam sulfat (Sutrisno, 1986). b. Alkaloid Alkaloid merupakan senyawa yang bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya gabungan, sebagai bagian dari system siklik (Harborne, 1987). Pereaksi KLT yang dapat digunakan untuk identifikasi alkaloid adalah Dragendorf (Sutrisno, 1986). c. Steroid Sterol merupakan triterpen dengan kerangka dasar sistem cincin siklopentana perhidrofenantrena. Sterol umum ini terdapat dalam bentuk bebas dan glikosidanya. Pereaksi KLT yang digunakan untuk identifikasi sterol adalah Lieberman-Burchard (LB) dengan reaksi positif hijau-biru (Harborne, 1987). d. Triterpenoid Triterpen adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari 6 satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik. Senyawa ini berstruktur siklik nisbi yang rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehida, atau asam karboksilat. Uji yang banyak digunakan adalah pereaksi
Lieberman-Burchard
(LB) memberikan warna hijau-biru
(Harborne, 1987). e. Flavonoid Flavonoid adalah senyawa yang memiliki konfigurasi struktur C6-C3C6, yaitu dua cincin aromatik yang dihubungkan oleh satuan tiga karbon
15
yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga. Pereaksi digunakan adalah Alumunium klorida yang tampak berpendar kuning pada sinar UV 366 nm (Sutrisno, 1986). f. Saponin Saponin adalah senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah. Pembentukan busa yang mantap sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau waktu memekatkan ekstrak merupakan bukti terpercaya adanya saponin (Harborne, 1987). Uji yang digunakan adalah pereaksi Komarowsky II (Sutrisno, 1986). 7. Penyarian Penyarian adalah kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Faktor yang mempengaruhi kecepatan penyarian antara lain kecepatan difusi zat yang larut melalui lapisan-lapisan batas antar cairan penyari dengan bahan yang mengandung zat tersebut. Secara umum penyarian dapat dibedakan menjadi infundasi, maserasi, perkolasi, dan destilasi uap (Anonim, 1986). Farmakope Indonesia menetapkan bahwa sebagai cairan penyari adalah air, etanol, etanol-air, atau eter. Air dipertimbangkan sebagai penyari karena alasan sebagai berikut: a. Murah; b. Stabil; c. Tidak mudah menguap;
16
d. Tidak beracun; e. Alamiah. Kerugian penggunaan air sebagai penyari adalah sebagai berikut: a. Tidak selektif; b. Sari dapat ditumbuhi kapang dan kuman serta cepat rusak; c. Untuk pengeringan diperlukan waktu lama. Etanol dipertimbangkan sebagai penyari karena sebagai berikut: a. Lebih selektif; b. Kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol pada kadar lebih dari 20%; c. Tidak beracun; d. Netral; e. Absorbsinya baik; f. Etanol dapat bercampur dengan air pada segala perbandingan; g. Panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit, sedang kerugiannya adalah etanol mahal harganya. Untuk meningkatkan penyarian biasanya digunakan campuran antara etanol-air (Anonim, 1986). 8. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi lapis tipis adalah suatu bagian dari kromatografi cair, sampel ditotolkan menyeruai noda kecil atau lapisan penjerap tipis yang disalutkan pada lempeng kaca, plastik, atau logam. Sistem KLT melibatkan dua peubah, yaitu fase gerak dan fase diam. Fase diam dapat berupa serbuk halus yang
17
berfungsi sebagai penjerap. Umumnya fase diam yang banyak dipakai adalah silika gel. Fase gerak adalah medium angkut yang terdiri atas suatu atau campuran beberapa pelarut. Pelarut yang digunakan adalah pelarut dengan tingkat mutu analitik (Fried & Sherma,1994). Sampel senyawa ditotolkan pada fase diam. Fase gerak akan melewati fase diam dengan gaya kapilaritas. Masing masing totolan sampel akan terelusi dengan jarak tempuh yang berbeda-beda karena afinitas yang berbeda dari masing masing komponen dengan fase diam atau fase gerak (Gandjar & Rohman, 2007). Parameter dasar yang digunakan untuk mendeskripsikan migrasi dalam KLT adalah nilai Rf. Nilai Rf berkisar antara 1 hingga 0, atau dari 100 hingga 0 jika dikalikan 100 atau sering disebut hRf (Sharma, 1996). Nilai Rf adalah: 𝑅𝑓 =
jarak yang dicapai sampel jarak total yang dicapai fase gerak
KLT dapat digunakan dengan tujuan kualitatif, kuantitatif, maupun preparatif. Kelebihan khas KLT adalah keserbagunaan, kecepatan, dan kepekaannya. KLT merupakan metode pilihan untuk pemisahan semua kandungan yang larut dalam lipid, yaitu lipid, karotenoid, kuinon sederhana, klorofil, dan steroid. Deteksi senyawa pada plat KLT dapat dilakukan dengan penyemprotan (Harborne, 1987). Ada dua segi penting mengenai penggunaan pereksi semprot khas sebagai pengganti metode semesta seperti pengarangan dengan asam sulfat. Segi pertama ialah mengenai informasi gugus fungsi yang dapat diperoleh. Segi kedua ialah mengenai derajat warna yang kecil terjadi jika pereaksi semprot dipakai, contohnya tidak ada alkaloid yang menghasilkan
18
warna yang tepat sama apabila pereaksi Dragendorff dipakai (Gritter dkk., 1991). Lapisan tipis sering mengandung indikator flouresensi yang digunakan untuk membantu penampakan bercak dan warna pada lapisan yang dikembangkan. Indikator flouresensi adalah senyawa yang memancarkan sinar tampak jika disinari dengan sinar berpanjang gelombang lain, biasanya sinar UV. Jadi lapisan yang mengandung indikator flouresensi akan bersinar jika disinari panjang gelombang yang tepat. Jika senyawa pada bercak yang ditampakkan mengandung ikatan rangkap terkonjugasi atau cincin aromatic jenis apa saja, sinar UV yang mengeksitasi tidak dapat mencapai indikator flouresensi, dan tidak ada cahaya yang dipancarkan. Hasilnya adalah bercak gelap dengan latar belakang bersinar. Indikator flouresensi yang paling berguna adalah sulfida anorganik yang memancarkan cahaya jika disinari pada 254 nm (Gritter dkk., 1991). 9. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) memiliki prinsip kimia yang sama dengan metode KLT, hanya metode ini memiliki efisiensi (serta biaya) jauh lebih besar. Waktu yang diperlukan sampel untuk terelusi dari kolom KCKT dinamakan waktu retensi (Cairns, 2008). Alat KCKT terdiri atas sistem pencampur pelarut yang sangat canggih yang dapat mengandung hingga 4-5 campuran pelarut, pompa yang mampu menghasilkan tekanan sampai 6000-10.000 psi, kolom yang mengandung fase diam (atau lebih tepat penyangga), dan sistem pendeteksi yang bermacam-
19
macam jenisnya. Seluruh sistem tersebut dikendalikan oleh mikroprosessor. Kolom yang tersedia mempunyai banyak sekali plat teori (lebih dari 100.000 untuk kolom 100 cm), dan kromatografi dilakukan dalam kondisi yang mendekati kondisi ideal sedemikian rupa sehingga dapat diperoleh pemisahan yang sangat baik. Seringkali, hasil dapat diperoleh dalam waktu beberapa menit dan ditafsirkan secara kuantitatif (Gritter dkk., 1991). Pada KCKT, cuplikan harus larut dalam zat cair. KCKT dapat digunakan untuk analisis senyawa bukan atsiri dan berbobot molekul tinggi. KCKT biasanya dilakukan pada suhu kamar, jadi senyawa yang tidak tahan panas dapat ditangani dengan mudah. Pada KCKT, kemungkinan antaraksi fase gerak dan linarut sangat besar, mencakup ikatan hidrogen dan reaksi ion sehingga jumlah fase gerak pada KCKT lebih banyak, menyebabkan lebih rumit dan mahal, tetapi juga menjadi metode pemisahan yang kuat. Keuntungan KCKT yang lain adalah difusi linarut yang sangat lamban didalam zat cair dibandingkan dengan difusi di dalam gas. Kekurangan utama teknologi KCKT adalah detektor. Tidak ada detektor semesta yang kepekaannya tinggi, online, dan murah, yang sebanding dengan detektor ionisasi nyala pada Kromatografi Gas. Ada sejumlah detektor yang dapat dipakai, seperti detektor spektroskopi, flouresensi, indeks bias, dan elektrokimia (Gritter dkk., 1991). Kromatografi fase terbalik sejauh ini adalah teknik yang paling banyak digunakan dalam KCKT (Majors, 2003). Fase gerak pada KCKT biasanya terdiri dari campuran pelarut yang dapat bercampur secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Fase gerak yang sering digunakan untuk
20
pemisahan fase terbalik adalah campuran larutan buffer dengan metanol atau campuran air dengan asetonitril. Untuk fase normal, kemampuan elusi meningkat dengan meningkatnya polaritas pelarut. Sementara untuk fase terbalik, kemampuan elusi menurun dengan meningkatnya polaritas pelarut. Kebanyakan fase diam yang digunakan adalah silika yang dimodifikasi secara kimiawi, silica yang tidak dimodifikasi, atau polimer-polimer stiren dan divinil benzene. Octadesil silica (ODS atau C18) merupakan fase diam yang paling banyak digunakan karena mampu memisahkan senyawa dengan kepolaran rendah, sedang, maupun tinggi. Fase gerak yang sering digunakan untuk pemisahan fase terbalik adalah campuran larutan buffer dengan metanol atau campuran air dengan asetonitril (Gandjar & Rohman, 2007). Elusi dapat dilakukan secara isokratik maupun gradien. Elusi bergradien digunakan untuk meningkatkan resolusi campuran yang kompleks terutama jika sampel mempunyai kisaran polaritas yang luas. Detektor UV tersedia dalam dua jenis dasar. Detektor yang sederhana dan murah adalah detektor dengan satu panjang gelombang (biasanya 254 nm). Detektor dengan panjang gelombang yang dapat diubah-ubah dapat diatur antara 190-700 nm sehingga pelarut menyerap minimum dan linarut menyerap maksimum (Gandjar & Rohman, 2007). 10. Spektrofotometri Spektrofotometri UV-Vis adalah anggota teknik analisis spektroskopik yang memakai sumber radiasi elektromagnetik UV dekat (190-380 nm) dan sinar tampak (380-780 nm) dengan memakai instrumen spektrofotometer. Data
21
spektra UV-Vis yang dapat digunakan sebagai identifikasi kualitatif senyawa dalah panjang gelombang maksimal, intensitas, efek pH, dan pelarut; yang kesemuanya itu dapat dibandingkan dengan data yang sudah dipublikasikan (Gandjar
&
Rohman,
2007).
Menurut
aspek
kuantitatif,
metode
spektrofotometri UV-Vis dapat digolongkan atas 3 macam pelaksanaan pekerjaan, yakni sebagai berikut: a. Analisis kuantitatif zat tunggal b. Analisis kuantitatif campuan dua macam zat c. Analisis kuantitatif tiga macam zat atau lebih Analisis kuantitatif zat tunggal dilakukan pengukuran harga absorbansi (A) pada panjang gelombang maksimum atau dilakukan pengukuran % transmittan (T) pada panjang gelombang minimum. Ada 4 cara pelaksanaan analisis kuantitatif zat tunggal, yakni sebagai berikut: Pertama, dengan membandingkan absorban atau persen transmittan zat yang dianalisis dengan reference standard pada panjang gelombang maksimal. Persyaratannya pembacaan nilai absorban sampel dan reference standard tidak jauh berbeda. Kedua, dengan memakai kurva baku dari larutan reference standard dengan pelarut tertentu pada panjang gelombang maksimum. Ketiga, dengan jalan menghitung harga absorbansi sampel pada pelarut tertentu dan dibandingkan dengan absorbansi zat yang dianalisis yang tertera pada buku resmi. Keempat, dengan memakai perhitungan nilai ekstingsi molar sama dengan cara yang ketiga, hanya saja pada perhitungan absorbansi molar lebih tepat karena melibatkan massa molekul relatif (Gandjar & Rohman, 2007).
22
F. Landasan Teori Costus speciosus (Koen.) J.E. Smith atau pacing merupakan tanaman yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat tradisional sebagai obat antifertilitas (Sari dkk., 2013). Di alam, ditemukan adanya pacing dengan ciri morfologi yang berbeda. Tanaman satu spesies masih dapat menunjukkan ciri maksroskopi berbeda yang dinamakan variasi tanaman (Mangoendidjojo, 2003). Varian pacing yang ditemukan adalah pacing varian bunga putih (PVP) dan pacing varian putih kemerahan (PVPM). Perbedaan varian tanaman, berpengaruh terhadap kandungan zat aktif. Seperti pada penelitian yang dilakukan Weissenberg dkk. (1988) menunjukkan bahwa tapak dara dengan warna bunga berbeda memberikan kadar senyawa ajmalin yang berbeda. Metabolit sekunder yang diduga berpengaruh terhadap khasiat anti fertilitas pada tanaman pacing adalah diosgenin (Srivastava dkk., 2011) dan senyawa fenolik (Li dkk., 1997). G. Hipotesis Perbedaan varian tanaman pacing yang dapat diketahui dari pencirian makroskopik berpengaruh terhadap profil fitokimia, kandungan senyawa kimia diosgenin, dan total fenolik.