I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Tanaman perkebunan merupakan komoditas yang mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi. Apabila dikelola secara baik dapat dimanfaatkan sebagai pemasok devisa negara. Salah satu tanaman perkebunan yang diharapkan memberikan sumbangan devisa negara sebagai komoditi ekspor adalah komoditi kakao. Kakao juga merupakan tempat tersedianya lapangan kerja bagi penduduk dan sumber penghasilan bagi para petani kakao, terutama di daerah-daerah sentra produksi (Hatta, 2005). Menurut Siregar et al., (2005), komoditi kakao diharapkan mampu menduduki tempat yang sejajar dengan komoditi perkebunan lainnya, seperti kelapa sawit dan karet. Hal ini dikarenakan kakao merupakan salah satu komoditas yang sangat penting, baik sebagai sumber penghidupan bagi jutaan petani produsen maupun sebagai salah satu bahan penyedap yang diperlukan untuk produksi makanan, seperti kue-kue dan berbagai jenis minuman. Kakao juga berfungsi sebagai sumber lemak nabati yang memiliki keistimewaan yaitu dapat meleleh/mencair pada suhu di mulut. Di Indonesia telah ditemukan nilai tambah dari produk buah kakao, limbah kulit buah kakao berhasil diproses menjadi bahan pakan ternak, dengan cara limbah kulit buah kakao tersebut difermentasikan terlebih dahulu untuk menurunkan kadar lignin yang sulit dicerna oleh hewan, dan untuk meningkatkan kadar protein dari 6-8% menjadi 12-15%. Pemberian kulit buah kakao yang telah diproses itu pada ternak sapi dapat meningkatkan berat badan sapi (Hatta, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Produksi kakao di Indonesia dihasilkan dari perkebunan negara, perkebunan swasta dan perkebunan rakyat. Lokasi perkebunan kakao skala besar yang diusahakan perusahaan perkebunan terletak di Sumatera Utara, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan perkebunan rakyat terletak terutama di Maluku, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur dan Irian Jaya. Sejalan dengan itu, pengembangan pertanaman kakao di Indonesia khususnya di Pulau Jawa berjalan dengan pesat (Siregar et al, 2005). Dalam usaha peningkatan produksi kakao, petani menghadapi berbagai masalah antara lain, skala kepemilikan lahan yang relatif sempit, lokasi usahatani yang terpencar dan kurang didukung sarana/prasarana yang baik, pemupukan yang tidak sesuai anjuran, serta pengetahuan dan ketrampilan tenaga kerja yang terbatas. (Anonim, 2007). Selain itu, masalah yang tidak kalah pentingnya dan bahkan mungkin paling utama adalah serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). OPT merupakan salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya produksi dan kualitas hasil tanaman perkebunan. Dari berbagai hasil pengamatan, serangan Penggerek Buah Kakao (PBK) dapat menurunkan produksi hingga 50% dan menurunkan kualitas kakao yang dihasilkan (World Bank, 2005). Hal ini menyebabkan menurunnya pendapatan petani yang berpotensi mengakibatkan kerugian yang besar. Sumatera Utara merupakan daerah yang dapat memberikan kontribusi besar sebagai penghasil kakao di Indonesia dengan lahan yang luas. Kakao di Sumatera Utara termasuk komoditi penting yang dikembangkan dari tahun ke tahun. Kabupaten Sergei merupakan salah satu kabupaten penghasil kakao
Universitas Sumatera Utara
terbesar dan terbaik di Sumatera Utara. Namun perkembangan luas lahan kakao di Kab. Sergei semakin menurun tiap tahunnya, sehingga dapat menurunkan produksi pula. Perkembangan luas lahan tanaman kakao di Kabupaten Serdang Bedagai tahun 2010, 2011, 2012 dan 2013 masing-masing sebesar 1.712,7 Ha, 1.692,2 Ha, 1.428,8 Ha dan 521,8 Ha (Serdang Bedagai Dalam Angka, 2013). Penurunan ini terjadi akibat alih fungsi lahan dari lahan kakao menjadi lahan kelapa sawit ataupun persawahan. Potensi
yang
ada
di
Kabupaten
Serdang
Bedagai
seharusnya
dikembangkan sehingga mampu meningkatkan produksi. Peningkatan produksi dan mutu produksi dilakukan dengan cara mengalokasikan input produksi secara tepat dan berimbang. Faktor-faktor produksi yang harus diperhatikan dalam usaha meningkatkan produksi tanaman kakao seperti luas lahan, pupuk dan tenaga kerja. Seperti halnya di Kabupaten Sergei, peningkatan produksi kakao (coklat) melalui optimasi lahan dengan melakukan intensifikasi seluas 80 hektare di masing-masing kecamatan di Kabupaten Sergei. Penggunaan pupuk kimia dikurangi dengan cara pemberian pupuk kandang (kompos) serta pupuk yang berasal dari APH seperti mikoriza. Tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja yang sudah dibekali dengan ilmu pengetahuan akan budidaya tanaman. Hal ini dapat diperoleh dari konsep PHT yang terapkan dalam Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT). Ada suatu keyakinan bahwa apabila petani menerapkan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dalam faktor-faktor produksi, maka intensifikasi pertanian secara berkelanjutan akan dapat terwujud (Untung, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) merupakan paradigma baru yang berusaha mengendalikan OPT tetapi dengan meminimalkan dampak negatif pestisida. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992, kebijakan Perlindungan Tanaman tercantum dalam Bagian Keenam dari Bab III Penyelenggaraan Budidaya Tanaman, pasal 20 yang intinya menyatakan bahwa Perlindungan Tanaman dilaksanakan dengan Sistem Pengendalian Hama Terpadu dan Pelaksanaannya menjadi tanggung jawab masyarakat dan pemerintah (Ditjenbun, 2013). Agar petani mau dan mampu menerapkan PHT dikebunnya secara mandiri, maka petani perlu memiliki pengetahuan dan ketrampilan tentang prinsip PHT yaitu : 1). Budidaya Tanaman Sehat, 2). Pelestarian dan Pemanfaatan Musuh Alami, 3). Pengamatan Rutin dan 4). Petani menjadi Ahli PHT dan ahli di kebunnya. Pengetahuan dan ketrampilan tersebut dapat diperoleh petani melalui Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT) karena SL-PHT merupakan salah satu pendekatan dan metode baru penerapan PHT yang lebih sesuai dengan kondisi petani di Indonesia (Ditjenbun, 2013). Sebagian petani kakao masih banyak yang mempertahankan dan mengembangkan perkebunan kakaonya. Petani kakao tersebut merupakan kelompok tani yang sudah pernah mengikuti program pemerintah tentang Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Program tersebut bisa diperoleh petani dengan
Sekolah
menggambarkan
Lapang adanya
Pengendalian keinginan
Hama
Terpadu
(SL-PHT).
masyarakat
Serdang
Bedagai
Ini
untuk
mengembangkan perkebunan rakyat melalui pertanaman kakao.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian sebelumnya tentang kegiatan Sekolah Lapang Pengendalian Hama Terpadu (SL-PHT) untuk komoditas kakao sudah pernah dilakukan di Kecamatan Ladongi, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sumatera Utara namun menggunakan model analisa regresi linear berganda. Pada penelitian ini, peneliti ingin mrelakukan penelitian yang sama namun dengan menggunakan pendekatan fungsi produksi Cobb Douglas. Peneliti ingin melihat bagaimana pengaruh faktorfaktor produksi tersebut terhadap produksi kakao dengan penerapan program PHT.
1.2. Identifikasi Masalah Identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah : 1.
Apakah ada perbedaan tingkat produksi antara petani yang menerapkan program PHT dan yang tidak menerapkan program PHT (non PHT) di Kab. Serdang Bedagai.
2.
Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kakao petani yang menerapkan dan yang tidak menerapkan program PHT di Kab. Serdang Bedagai.
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1.
Untuk menganalisis perbedaan tingkat produksi antara petani yang menerapkan dan tidak menerapkan program PHT (non PHT) di Kab. Serdang Bedagai.
Universitas Sumatera Utara
2.
Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kakao petani yang menerapkan dan tidak menerapkan program PHT di Kab. Serdang Bedagai.
1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Manfaat penelitian ini antara lain : 1.
Bagi pemerintah, penelitian ini dapat memberikan gambaran umum yang lebih jelas dengan menjadikannya sebagai informasi dalam pengambilan kebijakan pengembangan produksi kakao di Indonesia umumnya dan Kab. Serdang Sedagai khususnya serta dapat menjadi petunjuk dalam pengambilan program kerja kedepannya.
2.
Bagi masyarakat umum, diharapkan penelitian ini dapat menambah wawasan mengenai kondisi produksi hasil pertanian khususnya komoditi kakao di Kab. Serdang Bedagai.
3.
Bagi kalangan akademis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan ilmu pengetahuan yang lebih beraneka ragam.
4.
Bagi penulis selanjutnya, penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan rujukan dan bahan pertimbangan untuk membuat penelitian tentang pengembangan ekspor kakao Indonesia terutama di pasaran Internasional.
Universitas Sumatera Utara