BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian Pembangunan nasional yang dinilai berhasil pada hakikatnya adalah yang dilakukan oleh dan untuk seluruh rakyat. Dengan demikian, dalam upaya mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang dituju harus melibatkan dan pada gilirannya dapat dinikmati oleh segenap lapisan masyarakat. Pembangunan melahirkan kemajuan di berbagai segi kehidupan, tetapi jika tidak ditangani dengan benar akan melahirkan kemelaratan. Dalam arti fundamental ekonomi yang dibangun selama ini dibanggakan ternyata rapuh dan memberikan kesengsaraan baru bagi masyarakat Indonesia. Suatu kegiatan pembangunan yang dilakukan secara sistematis dengan melibatkan semua elemen masyarakat dilaksanakan secara terpadu untuk mencapai tujuan dalam rangka kemakmuran masyarakat. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan taraf hidup, dari yang kurang mampu secara ekonomi menjadi lebih mampu. Jika diamati secara teliti proses pembangunan yang terjadi di dunia ketiga, juga termasuk Indonesia telah gagal membentuk distribusi pemerataan kesejahteraan bagi masyarakat terutama pada golongan masyarakat kelas bawah. Ketimpangan pembangunan antar wilayah dan daerah pun kian nampak. Kegagalan tersebut dikarenakan pendekatan utama dalam pembangunan yang dilaksanakan justru memang tidak dilakukan pada masyarakat yang marginal dan masyarakat desa. Perencanaan pembangunan yang tidak memperhatikan 1
2
semua aspek dari pembangunan adalah perencanaan yang bersifat dari atas ke bawah (top down planning), dimana pendekatan seperti itu bukan hanya menjadikan
masyarakat
sasaran
pembangunan
(objek)
bukan
pelaku
pembangunan (subjek) (dalam Widjaja, 2004 : 22). Kerawanan pangan dan kemiskinan hingga kini menjadi masalah utama dalam pembangunan di Indonesia. Data Dewan Ketahanan Pangan Nasional (2006) menunjukkan, sebagian besar masyarakat mengalami defisit energi protein karena mengkonsumsi jumlah yang dianjurkan 2000 kkal per kapita dan 52 gram protein per kapita per hari. Sebanyak 127.9 juta jiwa atau 60 persen dari total populasi Indonesia mengkonsumsi energi 1322 – 1998 kkal/ kapita/hari atau 66 – 99 persen dari angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Kerawanan pangan mempunyai korelasi positif dan erat kaitannya dengan kemiskinan. Pembangunan nasional pasca krisis telah menampakkan hasilnya dengan berkurangnya penduduk miskin menjadi 23.5 persen pada 1999, jauh semakin berkurang pada tahun 2003 sebanyak 17.3 persen (37.3 juta jiwa). Namun pada tahun 2005 menjadi 18.1 persen (40 juta jiwa). Pada tahun 2008 kembali turun menjadi 15,42 persen (34,96 juta jiwa) dan pada tahun 2010 menjadi 13,33 persen (31,02 juta jiwa) (BPS, 2010). Berdasarkan uraian di atas, maka fokus pembangunan pada saat ini diarahkan pada penanganan masalah kerawanan pangan dan kemiskinan dengan jalan meningkatkan ketahanan pangan. Sejalan dengan hal tersebut, salah satu rencana program ketahanan pangan masyarakat adalah penurunan tingkat kemiskinan perdesaan dan pemenuhan kebutuhan pangan sampai tingkat rumah tangga. Ketahanan pangan diwujudkan bersama dengan masyarakat dan
3
pemerintah, serta dikembangkan mulai tingkat rumah tangga. Apabila setiap rumah tangga sudah mencapai ketahanan pangan maka secara otomatis ketahanan pangan masyarakat, daerah, dan nasional akan tercapai. Ketahanan pangan merupakan kondisi tersedianya pangan yang memenuhi kebutuhan setiap orang setiap saat untuk dapat hidup sehat, aktif dan produktif. Makna yang terkandung dalam ketahanan pangan mencakup dimensi fisik (ketersediaan), ekonomi (daya beli), gizi (pemenuhan kebutuhan gizi individu), nilai budaya dan religius, keamanan pangan (kesehatan), dan waktu (tersedia secara berkesinambungan). Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan mengartikan Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Salah satu upaya Pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, yang menyatakan bahwa penyediaan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan rumah tangga yang terus berkembang dari waktu ke waktu melalui (1) pengembangan sistem produksi pangan yang bertumpu pada sumber daya, kelembagaan dan budaya
lokal;
(2)
pengembangan
efisiensi
sistem
usaha
pangan;
(3)
pengembangan teknologi produksi pangan; (4) pengembangan sarana dan prasarana produksi pangan; dan (5) mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif. Operasionalisasi pelaksanaan PP Nomor 68 Tahun 2002 tersebut pada hakekatnya adalah pemberdayaan masyarakat, yang berarti meningkatkan
4
kemandirian dan kapasitas masyarakat untuk berperan aktif dalam mewujudkan penyediaan, distribusi, dan konsumsi pangan dari waktu ke waktu dengan memanfaatkan kelembagaan sosial ekonomi yang telah ada dan dapat dikembangkan di tingkat perdesaan dengan fokus utamanya adalah rumah tangga perdesaan. Salah satu perwujudan operasionalisasi pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini oleh Badan Ketahanan Pangan melalui Program Desa Mandiri Pangan. Perwujudan ketahanan pangan nasional dimulai dari pemenuhan pangan di wilayah terkecil yaitu perdesaan sebagai basis kegiatan pertanian. Basis pembangunan perdesaan bertujuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dalam suatu wilayah yang mempunyai keterpaduan sarana dan prasarana dari aspek ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan untuk mencukupi dan mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga. Disamping itu membangun daerah perdesaan sangat penting terutama dalam hal penyediaan bahan pangan untuk penduduk, penyedia tenaga kerja untuk pembangunan, penyedia bahan baku untuk industri, dan penghasil komoditi untuk bahan pangan dan ekspor. Karena itu, desa merupakan salah satu entry point untuk masuknya berbagai program yang mendukung terwujudnya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga yang secara kumulatif
akan
mendukung terwujudnya
ketahanan pangan
di
tingkat
kabupaten/kota, propinsi, dan nasional. Beberapa kondisi yang diperlukan dalam pengembangan dan pembangunan Desa Mandiri Pangan adalah melibatkan masyarakat secara efektif, membangun skenario berbasis pemberdayaan masyarakat, dukungan infrastruktur ekonomi
5
yang tangguh dan memihak kepada kepentingan orang banyak, serta adanya fasilitator yang bervisi jauh ke depan dan terampil mengelola program tersebut. Kabupaten Purwakarta merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat yang menerima Program Desa Mandiri Pangan dari Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian melalui tugas pembantuan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 04/Permentan/OT.140/1/2006 tanggal 8 Januari 2006 tentang Penugasan kepada Bupati/Walikota dalam Pengelolaan dan Tanggungjawab Dana Tugas Pembantuan Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2006 dan Surat Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Tahun Anggaran 2006 Nomor 0754.0/018-11.1/-/2006 tanggal 31 Desember 2005 Dana Tugas Pembantuan Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2006. Kondisi ketahanan pangan di Kabupaten Purwakarta dinilai masih memiliki cukup banyak kelemahan. Sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani, namun kondisi persawahan yang ada saat ini telah banyak beralih fungsi dan kehidupan petani berada dalam kemiskinan. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk berdampak terhadap berkurangnya lahan pertanian baik lahan sawah maupun lahan kering untuk keperluan pengadan perumahan dan perkantoran milik pemerintah dan swasta. Alih fungsi lahan ke non pertanian terutama terjadi sekitar tahun 1995 yaitu dengan ditetapkannya kebijakan Pemerintah Kabupaten Purwakarta tentang kawasan dan zona industri di bagian utara Kabupaten Purwakarta. Akses terhadap pangan pokok terutama padi sebenarnya cukup mudah mengingat Kabupaten Purwakarta bersebelahan dengan Kabupaten Karawang yang merupakan lumbung padi Jawa Barat. Akan
6
tetapi masih ada diberitakan beberapa wilayah di Kabupaten Purwakarta yang masyarakatnya mengalami kekurangan pangan dan gizi. Berdasarkan data empiris yang diperoleh diketahui bahwa alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Purwakarta menjadi area pemukiman dan industri cukup banyak terjadi. Hal ini berpengaruh terhadap produksi pangan terutama padi sawah yang mengalami penurunan. Berdasarkan tabel 1.1 dibawah ini dapat diketahui bahwa seiring dengan penurunan luas lahan untuk pertanian padi terjadi penurunan produksi pangan pokok di Kabupaten Purwakarta. Tabel 1.1 Luas Lahan dan Produksi Pangan Pokok di Kab. Purwakarta Komoditas Luas Lahan (Ha) Paangan 2004 2005 2006 2007 Pokok Padi 33962 33566 32036 31986 sawah Padi 5880 5283 5187 5028 ladang Sumber : Purwakarta dalam Angka (2009)
Produksi (Ton) 2005 2006 2007
2008
2004
2008
31755
188417
186481
176634
17468
17134
4985
18225
15332
15164
14965
14367
Pelaksanaan Program Desa Mandiri Pangan pada tahun 2006 di Kabupaten Purwakarta bernaung pada Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perkebunan. Program ini dilaksanakan di dua desa yaitu di Desa Margaluyu, Kecamatan Kiarapedes dan Desa Batutumpang, Kecamatan Tegalwaru. Kedua desa tersebut ditetapkan oleh Bupati Purwakarta melalui Surat Keputusan Bupati Purwakarta Nomor 521/Kep.206A-Dispertanbun/2006 tentang Penetapan Lokasi Desa Mandiri Pangan pada Dana Tugas Pembantuan Departemen Pertanian Tahun Anggaran 2006 di Kabupaten Purwakarta, serta berdasarkan hasil identifikasi oleh petugas dinas dan desa dinyatakan sebagai desa rawan pangan sehingga dipilih menjadi lokasi Program Desa Mandiri Pangan. Kedua desa tersebut dipilih berdasarkan kriteria desa rawan pangan yang diberikan oleh Badan Ketahanan Pangan. Kedua desa tersebut terletak pada dua
7
kecamatan
yang berbeda
karakteristiknya.
Secara
geografis
Kecamatan
Kiarapedes berada pada dataran lebih tinggi sedangkan Kecamatan Tegalwaru di dataran rendah. Kecamatan Kiarapedes memiliki wilayah pertanian cukup luas dengan jenis pengairannya semi taktis, sehingga pengembangan usaha dibidang pertanian cukup potensial dan komoditas yang ditanam jauh lebih beragam bila dilihat dari agroklimatnya. Sedangkan di Kecamatan Tegalwaru lahan pertanian yang cukup luas hanya sawah tadah hujan sehingga membatasi pengembangan dibidang pertanian khususnya padi sawah. Namun potensi lain dari kecamatan ini yang bisa dikembangkan adalah peternakan, kerajinan seperti pembuatan bata, genting, keramik dan pengembangan palawija dan sayuran dataran rendah. Dengan adanya Program Desa Mandiri Pangan masyarakat desa mempunyai kemampuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi sehingga dapat menjalani hidup sehat dan produktif dari hari ke hari, secara berkelanjutan. Upaya tersebut dilakukan melalui proses pemberdayaan masyarakat untuk mengenali potensi dan kemampuannya, mencari alternatif peluang dan pemecahan masalah serta mampu mengambil keputusan untuk memanfaatkan sumberdaya alam secara efisien dan berkelanjutan sehingga tercapai kemandirian. Keberhasilan program ini dalam meningkatkan ketahanan pangan di desa Margaluyu dan Batutumpang akan menjadi pembelajaran bagi desa-desa lainnya di wilayah Kabupaten Purwakarta. Menurut Simatupang (2007) esensi kebijakan ketahanan pangan dicirikan oleh keterlibatan aktif pemerintah dalam mengarahkan, merangsang dan mendorong elemen-elemen terkait sehingga terbentuk suatu sistem ketahanan pangan nasional yang tangguh dan berkelanjutan. Sistem ketahanan pangan
8
merupakan bagian integral dari sistem perekonomian nasional secara keseluruhan. Oleh karena itu, kebijakan ketahanan pangan juga merupakan bagian integral dari kebijakan pembangunan nasional sehingga perumusannya pun haruslah terpadu dan serasi dengan kebijakan ekonomi makro. Permasalahan pangan di pedesaan, sebenarnya adalah permasalahan lokal yaitu bagaimana sebenarnya kemampuan masyarakat pedesaan dalam memenuhi kebutuhan pangan rumah tangga didesanya sesuai dengan preferensi dan kemampuan sumber daya yang dimiliki. Seperti halnya program pembangunan yang lainnya, formulasi kebijakan Program Desa Mandiri Pangan sangat bersifat top-down tanpa menghiraukan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Di sisi lain pelaksanaan kebijakan pemerintah tersebut sering kurang sesuai dengan mekanisme yang telah dirumuskan serta tidak berorientasi kepada tujuan dan hasil yang diharapkan. Akibatnya pemerintah di dalam pelaksanaan pembangunan tidak mendapat dukungan masyarakat yang tercermin pada rasa tidak memiliki terhadap hasilhasil pembangunan. Smith dan Grindle (dalam Wahab, 1990 : 150) berpendapat bahwa "masalah implementasi kebijakan merupakan masalah krusial, bahkan menjadi batu sandungan terberat dan serius bagi efektifitas kebijakan pembangunan di bidang sosial ekonomi terutama di negara-negara dunia ketiga". Pada hakekatnya, program tersebut merupakan suatu bentuk kebijakan yang berorientasi kepada paradigma pembangunan yang berpusat pada manusia (human centered development), yaitu menempatkan manusia sebagai subyek daripada obyek. Berdasarkan penelitian pendahuluan terhadap masyarakat desa lokasi Program
Desa Mandiri Pangan di Kabupaten Purwakarta masih terdapat
9
permasalahan berkaitan dengan ketahanan pangan. Maksud dan tujuan program belum tercapai yaitu untuk memberdayakan masyarakat dalam menciptakan kesejahteraan. Hal itu terlihat dari masih besarnya ketergantungan masyarakat pada pemerintah dan belum adanya perubahan atau peningkatan pendapatan masyarakat sehingga daya beli pangan bergizi lengkap masih rendah. Hal ini terlihat pada tabel dibawah ini yang membandingkan pengeluaran sebulan untuk keperluan makan tiap rumah tangga dengan pengeluaran sebulan untuk konsumsi non-pangan. Tabel 1.2 Pengeluaran RT untuk Konsumsi Pangan dan Non-Pangan Pengeluaran untuk konsumsi pangan sebulan (% KK) Rendah Sedang Tinggi No Kecamatan Rp.850.000 – Rp.850.000 1. Kiarapedes 85.94 13.08 0.98 2. Tegalwaru 83.00 18.08 1.94 Sumber : Laporan SKPG Kabupaten Purwakarta, 2007
Pengeluaran untuk konsumsi non-pangan sebulan (% KK) Rendah Sedang Tinggi Rp.850.000 – Rp.850.000 76.70 19.26 2.64 65.40 29.16 5.44
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pengeluaran rumah tangga untuk konsumsi pangan dan non-pangan tidak berbeda jauh. Bahkan untuk pengeluaran tinggi (> Rp.850.000) persentase yang diperoleh lebih besar untuk pengeluaran non-pangan. Sebagian besar rumah tangga dalam sebulan mengeluarkan biaya untuk konsumsi pangan sebesar kurang dari Rp. 550.000. Hal ini dapat diasumsikan bahwa daya beli pangan masyarakat di dua kecamatan tersebut masih rendah dan kemungkinan kandungan gizi pangan yang dikonsumsi tidaklah lengkap. Seringkali pelaksanaan program ini tidak tepat pada sasarannya yaitu rumah tangga tani miskin. Selain itu program-program ketahanan pangan masih dianggap bukan hal yang krusial oleh aparat sendiri. Sebab arahan pembangunan lebih ditekankan pada peningkatan perekonomian daripada asupan gizi keluarga. Oleh
10
sebab itu, penulis terdorong untuk meneliti lebih lanjut mengenai pengaruh implementasi Program
Desa Mandiri Pangan terhadap ketahanan pangan
masyarakat desa di Kabupaten Purwakarta.
1.2. Perumusan Masalah Proses ketahanan pangan telah berlangsung lama di Kabupaten Purwakarta dan mendapatkan bantuan program dari pemerintah pusat, salah satunya adalah Program Desa Mandiri Pangan. Untuk mengetahui perkembangan kegiatan ketahanan pangan melalui Program Desa Mandiri Pangan maka diperlukan penelitian dan analisis lebih lanjut mengenai implementasi Program tersebut dan pengaruhnya terhadap ketahanan pangan masyarakat desa. Berdasarkan identifikasi permasalahan tersebut maka dapat dirumuskan pertanyaan penelitian, yaitu : Seberapa besar pengaruh implementasi Program Desa Mandiri Pangan terhadap ketahanan pangan masyarakat desa di Kabupaten Purwakarta.
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian Maksud dari penelitian ini adalah menganalisis kemampuan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perkebunan Kabupaten Purwakarta dalam mengembangkan kegiatan ketahanan pangan masyarakat desa melalui Program Desa Mandiri Pangan.
11
1.3.2. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Mengungkap dan menganalisa fakta empirik pengaruh implementasi Program Desa Mandiri Pangan terhadap ketahanan pangan masyarakat desa. 2) Mengkaji dan mengukur pengaruh implementasi Program Desa Mandiri Pangan yang ditinjau dari aspek : organisasi, interpretasi dan aplikasi terhadap ketahanan pangan masyarakat desa yang meliputi aspek : ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan, dan pemanfaatan pangan.
1.4. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan praktis sebagai berikut : 1) Aspek
keilmuan,
penelitian
ini
diharapkan
akan
berguna
untuk
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya kebijakan publik. Konsep dan pendekatan baru hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah mengenai ketahanan pangan masyarakat khususnya mengenai kemampuan dalam peningkatan ketahanan pangan. 2) Aspek praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dan saran-saran bagi pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan sehingga memiliki kinerja yang lebih baik dalam pembangunan ketahanan pangan.