1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah. Pembangunan merupakan suatu proses yang berkesinambungan dan mencakup segala bidang. Pelaksanaan pembangunan diupayakan berjalan seimbang, selaras, dan saling menunjang antara satu bidang dengan bidang yang lainnya, sehingga tidak terjadi kesenjangan antar bidang. Pembangunan secara umum bertujuan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat seluruhnya. Pembangunan tersebut tidak hanya menjadi kewajiban pemerintah saja, tetapi juga menjadi
kewajiban dari tiap warga negara
Indonesia untuk ikut andil dalam mensukseskannya. Seiring dengan semakin meningkatnya laju pembangunan nasional, pemerintah terus berupaya untuk menggali sumber-sumber pendapatan nasional. Salah satu sumber pendapatan nasional tersebut adalah dari sektor pajak. Dalam stuktur penerimaan negara, penerimaan pajak mempunyai peranan strategis dan merupakan komponen terbesar serta sumber utama penerimaan
dalam
negeri
untuk
pemerintah
dan
pembangunan
menopang nasional.
dana Selama
penyelenggaraan krisis
ekonomi
berkepanjangan yang mulai melanda Indonesia sejak tahun 1997/1998 hingga saat ini memberi gambaran bahwa penerimaan pajak telah dapat memberi peranan dan sumbangan yang sangat berarti melalui penyediaan sumber dana bagi pembiayaan berbagai program penanggulangan dampak
2
krisis ekonomi. Oleh karena itu, berbagai kebijakan-kebijakan pokok pemerintah dibidang penerimaan negara yang telah dan sedang dilakukan diarahkan pada upaya untuk meningkatkan penerimaan perpajakan melalui langkah-langkah antara lain
ekstensifikasi dan intensifikasi pajak,
perbaikkan struktur pajak, penyempurnaan sistem administrasi pajak dan administrasi pemungutan pajak serta memperbaiki dan menyempurnakan peraturan-peraturan perpajakan. Dalam satu dasawarsa terakhir, peranan penerimaan perpajakan menunjukkan perkembangan yang meningkat dari Rp 22.010,9 milyar pada tahun 1990/1991 menjadi Rp 125.951,0 milyar pada tahun 1999/2000 atau mengalami peningkatan rata-rata 20.3 % setiap tahun. Semakin menurunnya peranan penerimaan minyak dan gas menyebabkan semakin dominannya penerimaan pajak dalam penerimaan dalam negeri menggambarkan arah kebijakan keuangan pemerintah yang terus menggali sumber-sumber penerimaan dalam negeri dari sektor non migas, khususnya dari pajak. Pada dasarnya peranan penerimaan minyak dan gas masih memegang peranan cukup penting dalam stuktur penerimaan dalam negeri, namun diperkirakan jumlahnya tidak dapat mencukupi kebutuhan yang semakin meningkat. Sejalan dengan kebijakan keuangan tersebut, untuk mengantisipasi perkembangan ekonomi yang pesat dalam era globalisasi, pemerintah telah melakukan reformasi kebutuhan dibidang perpajakan berturut-turut pada tahun 1994, tahun 1997 dan tahun 2000. Pada tahun 1997 pemerintah telah mengeluarkan empat undang-undang dibidang perpajakan, yaitu: Undang-
3
Undang Nomor 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan retribusi Daerah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dan Surat Paksa dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Pada Tahun 2000 telah mengeluarkan lima paket undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas
Undang-Undang Nomor 17
tahun 1998 tentang Pajak Penghasilan, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah, Undang-Undang Nomor 19 tahun 2000 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Penerimaan perpajakan pada dasarnya terdiri dari penerimaan pajak dalam negeri dan penerimaan pajak atas
perdagangan internasional.
Penerimaan pajak dalam negeri meliputi lima jenis pajak yang mencakup penerimaan yaitu: (i) Pajak Penghasilan, (ii) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, (iii) Cukai, (iv) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, (v)
4
Pajak Lainnya. Sedangkan penerimaan pajak atas transaksi perdagangan internasional meliputi 2 (dua) jenis pajak yang mencakup (i) Bea Masuk dan (ii) Pajak Ekspor. Pada dasarnya pemunggutan PBB lebih diarahkan pada fungsi distributive
yaitu
untuk
menciptakan
pemerataan
dengan
tetap
memperhatikan potensi daerah masing-masing. Hal ini sejalan dengan otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Agar hasil penerimaan daerah meningkat, pemerintah memberikan instruksi kepada semua pemerintah daerah untuk lebih terlibat dalam tata usaha PBB. Pemerintah memacu seluruh pemerintah daerah untuk menggali sumbersumber penerimaan tersebut sebesar-besarnya, karena PBB merupakan suatu pajak pusat sumbernya berasal dari daerahnya sendiri, sehingga merupakan suatu sumber penerimaan yang potensial bagi daerah itu. Hal ini merupakan suatu landasan yang baik bagi pemerintah daerah untuk memanfaatkan sumber-sumber dana daerah guna pembiayaan pembangunan di daerahnya masing-masing. Sumber-sumber penerimaan dan pengeluaran pemerintah pusat, pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten yang akan digunakan untuk
membiayai
pelaksanaan
pemerintahan
dan
pembangunan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sumber-sumber penerimaan daerah meliputi: 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD).
5
2. Dana Perimbangan. 3. Pinjaman Daerah. 4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber pendapatan yang berasal dari pajak daerah, retribusi, laba BUMN, pajak hiburan, pajak reklame dan pendapatan dari dinas-dinas lainnya. Dana perimbangan sebagai salah satu sumber penerimaan daerah merupakan penerimaan daerah dari bagi hasil pajak dan bagi hasil bukan pajak, sedangkan untuk pemerintah Propinsi DIY bagi hasil pajak merupakan penerimaan yang berasal dari PBB dan pajak lainnya (BPS, 2001 : xiv). Dana perimbangan merupakan penerimaan daerah dari hasil bagi pajak khususnya PBB, sumber daya alam, iuran hasil hutan dan iuran hak pengusahaan hutan. Dana alokasi umum adalah dana yang disediakan
dalam
APBN
untuk
dialokasikan
kepada
daerah
yang
penggunaannya menjadi wewenang daerah. Dana alokasi khusus merupakan dana yang disediakan oleh pemerintah pusat untuk pemerintah daerah yang penggunakannya telah ditentukan. Hasil penerimaan PBB yang didalam penerimaan daerah masuk ketegori dana perimbangan merupakan penerimaan negara yang dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan pembagian pemerintah pusat 10 %, pemerintah daerah propinsi 16,2 %, pemerintah daerah kabupaten/kota 64,8 % dan 9 % untuk biaya operasional pemunggutan PBB. Sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia, pemerintah daerah diberikan beban untuk mengelola sumber-sumber penerimaan dan pengeluaran
6
daerahnya masing-masing. Persoalan yang muncul berkaitan dengan kebijakan tersebut adalah bagi daerah yang tidak memiliki sumber daya alam yang memadai akan mengalami kesulitan memperoleh sumber-sumber penerimaan anggaran dan dana pembangunan daerah. Salah satu jalan yang dapat ditempuh daerah adalah meningkatkan sumber penerimaan dari pajak khususnya PBB. Begitu pula yang terjadi di propinsi
DIY yang tidak mempunyai
sumber daya alam yang cukup, maka penerimaan PBB memberikan arti yang sangat besar dalam menopang anggaran pendapatan
dan belanja daerah.
Adapun sumber-sumber penerimaan daerah terdiri dari: 1. Bagian sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu. 2. Bagian Pendapatan Asli Daerah. 3. Dana Perimbangan. - Bagi Hasil Pajak. a. PBB. b. Bagi hasil pajak lainnya. - Bagi Hasil Bukan Kena Pajak. 5. Bagian Penerimaan Pembangunan. Untuk sub-sub penerimaan selain sub penerimaan pada nomor tiga (Dana Perimbangan) dapat dilihat secara lengkap pada lampiran IV. Berdasar dari uraian di atas, maka penulis mengambil judul:
“ANALISIS POTENSI
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) DI
PROPINSI DAERAH
ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 1998–2003“.
7
1.2. Tinjauan Pustaka. Camat Nglipar Widagdo S.Sos, pada awal tahun 2005 ini membuat gebrakan dengan membuat intruksi agar seluruh warga di wilayah ini membudidayakan tanaman pisang (KR, 03 Februari 2005). Instruksi tersebut sudah dituangkan dalam surat keputusan camat dan disosialisasikan kepada seluruh masyarakat lewat lurah desa. Gerakan penanaman pisang di lahan pekarangan ini dicanangkan, setelah melihat lahan pekarangan di seluruh wilayah yang luasnya 1.444 hektar sebagian masih kosong belum dimanfaatkan. Untuk memulai gerakan tersebut, setiap keluarga minimal harus menanam empat batang pisang, dengan catatan dua batang diharapkan untuk cadangan pembayaran PBB. Tanaman tersebut sudah menjadi hak milik pemerintah kecamatan, meskipun setelah panen tetap menjadi hak warga, hanya saja hasil penjualannya khusus untuk pembayaran PBB. Diharapkan Camat Nglipar, dengan hasil panen pisang yang ditanam 2004/2005 ini, sudah bisa untuk melunasi tagihan PBB 2005 nanti, sehingga begitu Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) PBB dibagikan kepada warga, warga sudah siap untuk melunasi dari hasil penjualan pisang. Dengan hal ini diharapkan dapat meningkatkan realisasi penerimaan PBB tiap tahunnya. Penelitian yang dilakukan oleh Eni Kurniawati pada bulan September 2004 terhadap potensi PBB di Kabupaten Klaten mengalami peningkatan di Tahun 2000 hingga 2003. Sebelum tahun 2000 mengalami penurunan ynag disebabkan karena meningkatnya jumlah tunggakan PBB.
8
Kepala Kantor Pelayanan Pajak Daerah (KPPD) Kota Yogyakarta Heru Pria Warjaka SE menyebutkan hingga akhir Agustus 2004, penerimaan pajak yang dikelola KPPD Kota Yogyakarta mencapai Rp 38.047.967.633. Jumlah ini mencapai 69.12 persen dari target penerimaan pajak tahun 2004 sebesar Rp. 56.496.796.000 (KR, 22 September 2004). Kepala KPPD mengemukakan, penerimaan pajak daerah berasal dari pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak parkir, biaya penggantian cetak karcis bioskop, pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan serta bagi hasil PBB dan Bea Perolehan hak atas Tanah dan Bangunan sebesar Rp 8.033.723.858. Sementara untuk PBB, pihaknya terus aktif melakukan sosialisasi, supaya wajib pajak sadar dan membayar tidak memet-mepet waktunya. Memang ada wajib pajak yang cukup potensial, membayar pajak memet-mepet waktu. Namun tidak semuanya. Pada dasarnya mereka memiliki itikad baik, kalaupun ada yang belum bisa melunasi, biasanya dicicil dulu. Bila masih ada yang membandel, akan dilakukan operasi sisir. 1.3. Rumusan Masalah. Berdasar latar belakang di atas bahwa otonomi daerah menuntut pemerintah daerah untuk memaksimalkan PAD. Persoalan yang muncul berkaitan dengan kebijakan tersebut adalah bagi daerah yang tidak memiliki sumber daya alam yang memadai akan mengalami kesulitan memperoleh sumber-sumber penerimaan anggaran dan dana pembangunan daerah. Khusus untuk DIY, karena adanya keterbatasan sumber daya alam, maka pemerintah
9
akan menggali sumber-sumber pendapatan seperti menggali potensi PBB. Efisiensi, pertumbuhan dan konturibusi PBB sangat mempengaruhi PAD Propinsi DIY yang berasal dari bagi hasil pajak. Maka dapat dirumuskan rumusan permasalah adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana efisiensi PBB di Propinsi DIY ? 2. Bagaimana pertumbuhan penerimaan PBB di Propinsi DIY ? 3. Bagaimana kontribusi PBB di Propinsi DIY terhadap sumber penerimaan daerah dari bagi hasil pajak ? 1.4. Batasan Masalah. 1.4.1. Tempat penelitian. Penelitian dilakukan di Propinsi DIY yang meliputi lima wilayah kabupaten/kota antara lain: 1. Kabupaten Bantul. 2. Kabupaten Kulon Progo. 3. Kabupaten Sleman. 4. Kabupaten Gunung Kidul. 5. Kota Yogyakarta. 1.4.2. Objek Penelitian. Penelitian dilakukan terhadap PBB yang tercantum dalam peraturan Pemerintah Kota (Pemkot) dan Pemerintah Daerah (Pemda). Data yang diambil berupa data yang berhubungan dengan PBB.
10
1.4.3. Penelitian dibatasi dari tahun anggaran PBB 1998 hingga tahun anggaran 2003 dan penerimaan daerah dari bagi hasil pajak tahun anggaran 19982003. 1.4.4
Penulisan berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang PBB terbaru.
1.4.5
Potensi adalah kemampuan dan kesanggupan untuk menghasilkan penerimaan dalam keadaan 100 persen sesuai dengan rencana anggaran PBB yang akan dipunggut tiap kabupaten/kota dibandingkan dengan realisasi penerimaan PBB yang berhasil dipunggut. Potensi dihitung melalui tingkat efisiensi.
1.4.6
Pertumbuhan adalah perkembangan PBB dari tahun ke tahun. Pertumbuhan dihitung melalui perubahan realisasi PBB dari tahun 1998 hingga tahun 2003.
1.4.7
Kontribusi adalah rata-rata perubahan realisasi PBB dari tahun ke tahun dibandingkan dengan total bagi hasil pajak. Kontribusi dihitung dengan analisis kontribusi dan analisis Location Quotient/LQ. Analisis kontribusi
merupakan
analisis
yang
menggambarkan
besarnya
sumbangan PBB terhadap total penerimaan daerah kabupaten yang berasal dari bagi hasil pajak. Analisis Location Quitient/LQ
adalah
analisis yang digunakan untuk mengetahui potensi dan keunggulan suatu daerah. Analisis LQ
berguna untuk mengetahui suatu daerah bila
dibandingkan dengan daerah yang lebih luas, yaitu kabupaten/kota dengan propinsi.
11
1.5. Tujuan Penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui besarnya efisiensi PBB di Propinsi DIY tahun 1998-2003. 2. Mengetahui seberapa besar kontribusi penerimaan PBB
terhadap
sumber penerimaan yang berasal dari bagi hasil pajak di Propinsi DIY tahun 1998-2003. 3.
Mengetahui besarnya pertumbuhan penerimaan PBB tahun 1998-2003 di Propinsi DIY.
1.6. Manfaat Penelitian. Adapun manfaat yang diharapkan dari adanya penelitian ini adalah: 1.6.1. Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan Pemda DIY dalam pengambilan keputusan untuk melaksanakan pemunggutan PBB sebagai salah satu sumber penerimaan daerah dan perencanaan serta kebijakan keuangan daerah. Dengan diketahuinya potensi PBB Propinsi DIY diharapkan dapat berpengaruh untuk peningkatan penerimaan PBB
sebagai salah satu sumber
penerimaan daerah yang berasal dari dana bagi hasil pajak. 1.6.2. Penulis. Penelitian ini dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi penulis tentang keterkaitan antara teori-teori yang diperoleh dengan kenyataankenyataan yang ada dalam penelitian.
12
1.7. Kerangka Pemikiran. Gambar 1.1 Bagan Kerangka Pemikiran Otonomi Daerah Peningkatan Pendapatan Daerah
Sumber – Sumber Pendapatan Daerah
Pendapatan Asli Daerah Dana Perimbangan Pinjaman Daerah Lain –Lain Pendapatan Daerah Yang Sah
PBB merupakan pajak yang berpotensi
PBB merupakan pajak pusat yang seluruh penerimaannya dibagikan kepada daerah dengan mekanisme yang telah ditetapkan
UU No 12 tahun 1994 10 % Pemerintah Pusat 16,2 % Pemerintah Daerah Propinsi 64,8 % Kabupaten/ Kota 9 % Biaya Operasional/Pemungutan
Variabel Penentu
1.Efisiensi 2.Pertumbuhan 3. Kontribusi 4. Analisis LQ
Kesimpulan
13
Berdasarkan gambar 1.1 dapat dijelaskan bahwa sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia, pemerintah daerah diberikan beban untuk mengelola sumber-sumber penerimaan dan pengeluaran daerah masingmasing. Otonomi daerah menuntut pemerintah daerah untuk memaksimalkan penerimaan asli daerah.
Usaha memaksimalkan penerimaan daerah bagi
pemerintah daerah dilakukan dengan cara menggali potensi dari sumber pendapatan. Sumber-sumber pendapatan daerah meliputi: PAD, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, lain-lain pendapatan daerah yang sah. Dana perimbangan merupakan penerimaan daerah dari bagi hasil pajak khususnya PBB; bagi hasil pajak lainnya; bagi hasil bukan pajak; Dana Alokasi Umum (DAU); Dana Alokasi Khusus (DAK) dan sebagainya. Hasil penerimaan PBB yang didalam penerimaan daerah untuk kategori dana perimbangan merupakan penerimaan negara yang dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan pembagian pemerintah pusat 10 %, pemerintah daerah propinsi 16,2 %, pemerintah daerah kabupaten/kota 64,8% dan 9 % untuk biaya operasional pemunggutan PBB. Persoalan yang muncul berkaitan dengan kebijakan tersebut adalah bagi daerah yang tidak memiliki sumber daya alam yang memadai akan mengalami kesulitan memperoleh sumbersumber penerimaan anggaran dan dana pembangunan daerah. Khusus untuk DIY, karena adanya keterbatasan sumber daya alam, maka pemerintah akan menggali sumber-sumber pendapatan seperti menggali potensi PBB. Adanya Undang-Undang
Nomor
12
Tahun
1994
yang
berisi
tentang
proporsi/pembagian PBB yang dibagikan ke daerah-daerah penghasil PBB
14
menyebabkan penulis membuat PBB sebagai variabel yang akan diteliti. Alat untuk menganalisis guna mengetahui potensi PBB adalah sebagai berikut: 1) Efisiensi. 2) Pertumbuhah/growth. 3) Kontribusi. 4) Analisis Location Qutioent/LQ. Berdasar dari empat alat analisis yang digunakan untuk mengetahui potensi di DIY diharapkan akan menghasilkan suatu kesimpulan. 1.8. Hipotesis. Berdasar latar belakang masalah, tinjauan pustaka,
perumusan
masalah, tujuan penelitian, dan kerangka pemikiran, maka dibuat dugaan sementara sebagai berikut: 1). Diduga PBB di DIY mengalami efisien dari tahun 1998-2003. 2). Diduga PBB di DIY mengalami pertumbuhan yang positif pada tahun 1998-2003. 3). Diduga PBB di DIY memiliki kontribusi yang besar terhadap penerimaan daerah terutama untuk penerimaan yang berasal dari bagi hasil pajak tahun 1998-2003. 1.9. Metode penelitian. 1.9.1. Tempat Penelitian. Lokasi penelitian adalah
Propinsi DIY, yang terdiri dari
kabupaten/kota Propinsi DIY yaitu Kabupaten Sleman, Kabupaten
15
Gunung Kidul, Kabupaten Kulon Progo, Kabupaten Bantul, dan Kota Yogyakarta.
1.9.2. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Pemisahan dan pengelompokan data bertujuan agar lebih mudah dalam pengambilan data menurut kebutuhan penulis. Pengelompokan data tersebut adalah sebagai berikut: 1) Data Primer. Terdiri dari data-data yang diambil dari observasi dan interview (wawancara) pada Kantor Pelayanan PBB Propinsi DIY dan Kantor Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Propinsi DIY. 2) Data Sekunder. Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari data kepustakaan yang ada di Kantor Pelayanan PBB Bantul dan Dispenda Propinsi DIY dan Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi DIY berupa buku, majalah, surat kabar, modul dan peraturan-peraturan dibidang perpajakan. Data yang diambil berupa: a) Data perkembangan penerimaan PBB. b) Data perkembangan penerimaan PAD. c) Data potensi wilayah Propinsi DIY. d) Data rencana penerimaan dan realisasi penerimaan PBB. e) Data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi DIY.
16
f) Data tunggakan PBB. g) Data kependudukan. h) Data jumlah objek pajak. i) Data Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD). 1.9.3. Metode Pengumpulan Data. Penumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan dua cara yaitu: a) Penelitian Lapangan. Dalam penelitian ini penulis mengadakan penelitian secara langsung pada obyek penelitian untuk memperoleh dan mengumpulkan datadata yang diperlukan, serta mengadakan wawancara (interview) secara lisan kepada beberapa karyawan di KP PBB DIY untuk mengetahui berbagai
permasalahan dalam pemunggutan pajak,
penyebab tunggakan pajak yang diperoleh di lapangan serta apa yang mendasari hal tersebut. b) Penelitian Pustaka. Dalam penelitian pustaka ini penulis mengambil sumber data dari buku-buku, literatur, majalah serta peraturan-peraturan dibidang perpajakan khususnya PBB. Hasil penelitian kepustakaan ini sebagai landasan teoritis dengan harapan dapat dipahami dan dimengerti secara menyeluruh.
17
1.9.4. Metode Analisis Data. 1.9.4.1. Analisis Efisiensi. Potensi
PBB diketahui dengan melakukan perhitungan
terhadap tingkat efisiensi PBB dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Realisas Penerimaan PBB Efisiensi =
x 100 % Anggaran /Target
Dimana: Realisasi: anggaran yang benar-benar terjadi Anggaran/target: anggaran yang direncanakan Prosedur pengambilan keputusan dari analisis efisiensi dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Apabila efisiensi kurang dari 100 %, maka PBB tidak efisien karena relisasi kurang dari target yang telah ditentukan. 2. Apabila efisiensi lebih dari 100 %, maka PBB efisien karena relisasi lebih dari target yang telah ditentukan. 3. Apabila terdapat efisiensi kurang 100 % dan lebih dari 100% maka dilihat rata-rata efisiensi dari tahun 1998-2003. 1.9.4.2. Analisis Pertumbuhan. Analisis
pertumbuhan
digunakan
untuk
mengetahui
perkembangan PBB baik dari tahun ke tahun maupun perkembangan rata-rata selama kurun waktu 1998-2003 di Propinsi DIY.
18
Pertumbuhan atau growth
dari PBB di Propinsi DIY diperoleh
dengan rumus:
Xt – (Xt – 1) Growth =
X 100 % Xt – 1
Keterangan: Xt: Besarnya PBB pada tahun t Xt – 1: Besarnya PBB tahun t-1(tahun sebelumnya) Dasar pertumbuhan positif yaitu disebut potensial artinya untuk suatu pajak harus menunjukkan pertumbuhan positif atau mengalami kenaikan dari tahun ke tahun (Mulyanto, 2002:50). Prosedur pengambilan keputusan dari analisis pertumbuhan dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Apabila tingkat pertumbuhan PBB tahun 1998-2003 negatif maka dikatakan tidak potensial. 2. Apabila tingkat pertumbuhan PBB tahun 1998-2003 positif maka dikatakan potensial. 3. Apabila terdapat tingkat pertumbuhan PBB positif dan pertumbuhan negatif maka dilihat rata-rata tingkat pertumbuhan dari tahun 1998-2003.
1.9.4.3. Analisis Kontribusi. Analisis kontribusi merupakan analisis yang menggambarkan besarnya sumbangan PBB
terhadap
total penerimaan daerah
19
kabupaten/kota yang berasal dari bagi hasil pajak. Analisis kontribusi PBB terhadap total PAD yang berasal dari bagi hasil pajak kabupaten/kota dari tahun 1998-2003 diperoleh melalui persamaan berikut ini: Penerimaan PBB ( Kabupaten/ Kota) Kontribusi PBB = x 100 % Penerimaan Bagi Hasil Pajak (Kabupaten/Kota)
Dimana: Penerimaan PBB: PBB dari tahun ke tahun kabupaten/kota Penerimaan Bagi Hasil Pajak: Total penerimaan bagi hasil pajak dari tahun ke tahun kabupaten/kota-bagi hasil bukan pajak Mengingat pajak merupakan sumber pendapatan daerah yang potensil dan digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin Pemda, maka seharusnya terdapat hubungan yang elastis antara pajak dengan pengeluaran rutin Pemda. Potensi PBB ini tercermin dari besarnya kontribusinya terhadap pembiayaan pengeluaran rutin pemerintah. Karena itu dipergunakan patokan kontribusi yaitu 50 persen yang artinya potensial
sehingga PBB dikatakan
potensial apabila memberikan kontribusi lebih besar atau sama dengan 50 persen. Sedangkan tidak potensial, apabila kontribusi kurang dari 50 persen. (Mulyanto, 2002).
20
Prosedur pengambilan keputusan dari analisis kontribusi dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1). Apabila kontribusi lebih dari 50 persen, maka tingkat kemampuan/keunggulan
PBB
tahun
1998-2003
daerah
kabupaten/kota di Propinsi DIY adalah besar. 2). Apabila kontribusi kurang dari 50 persen, maka tingkat kemampuan/keunggulan
PBB
tahun
1998-2003
daerah
kabupaten/kota di Propinsi DIY adalah kecil. 3). Apabila terdapat kontribusi lebih dari 50 persen atau kurang dari 50 persen maka dilihat rata-rata kontribusi daerah kabupaten/kota di Propinsi DIY tahun 1998-2003.
1.9.4.4. Analisis Location Quitient/ LQ. Analisis Location Quitient/ LQ adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui potensi dan keunggulan suatau daerah. Analisis Location Quitient/ LQ berguna untuk mengetahui suatu daerah bila dibandingkan dengan daerah yang lebih luas, misal daerah kabupaten dan propinsi (Warpani, 1984:68). Berdasarkan kegunaan dari analisis LQ, maka penulis memutuskan PBB sebagai sektor yang akan dianalisis. Analisis Location Quitient/LQ dihitung dengan terlebih dahulu mencari kontribusi PBB di daerah kabupaten/kota dan kontribusi PBB di tingkat propinsi. Secara umum analisis LQ dapat diformulasikan sebagai berikut:
21
Kontribusi Sektor(PBB) Di tingkat Kabupaten/Kota Si/N = Bagi Hasil Pajak Kabupaten/Kota
Kontribusi Sektor (PBB) Di tingkat Propinsi Ni/n = Bagi hasil Pajak Propinsi
Setelah mengetahui nilai Si/N dan Ni/n, maka nilai LQ dapat dirumuskan sebagai berikut: LQ =
Si / N Ni / n
Keterangan: Si: Besarnya kontribusi PBB di tingkat kabupaten/kota Ni: Besarnya kontribusi PBB di tingkat propinsi N: Besarnya bagi hasil pajak di tingkat kabupaten/kota n: Besarnya bagi hasil pajak di tingkat propinsi Setelah nilai LQ diketahui, maka prosedur pengujian adalah sebagai berikut: 1). Bila LQ > 0,5 , maka tingkat kemampuan/keunggulan daerah yang diteliti adalah besar. 2). Bila LQ < 0,5 , maka tingkat kemampuan/keunggulan daerah yang diteliti adalah kecil. 3). Bila LQ = 0,5 , maka tingkat kemampuan/keunggulan daerah yang diteliti adalah sama dengan daerah daerah lain.
22
Prosedur pengambilan keputusan dari analisis LQ dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1).
Apabila LQ tahun 1998-2003 lebih dari 50 persen, maka tingkat kemampuan/keunggulan PBB daerah kabupaten/kota di Propinsi DIY adalah besar.
2).
Apabila LQ tahun 1998-2003 kurang dari 50 persen, maka tingkat kemampuan/keunggulan PBB daerah kabupaten/kota di Propinsi DIY adalah kecil.
3).
Apabila terdapat LQ kurang dari 50 persen dan lebih dari 50 persen maka dilihat rata-rata LQ kabupaten/kota di Propinsi DIY tahun 1998-2003.