BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Kebijakan moneter dan pasar keuangan merupakan dua hal yang tidak
dapat dipisahkan mengingat setiap perubahan kebijakan moneter untuk mempengaruhi aktivitas perekonomian ditransmisikan melalui pasar keuangan. Oleh karena itu diperlukan pasar keuangan yang sehat dan memiliki ketahanan yang tinggi untuk menjamin kelancaran mekanisme transmisi kebijakan moneter ke sektor riil (Prastowo, 2008). Berbagai perubahan struktural pada pasar keuangan paska krisis menyebabkan kebijakan moneter menghadapi tantangan yang semakin sulit. Hingga saat ini kebijakan moneter untuk mengendalikan laju inflasi diduga masih terkendala oleh kondisi pasar keuangan. Ekspansi moneter yang dilakukan untuk mendorong pemulihan ekonomi melalui penurunan suku bunga tidak serta merta meningkatkan pembiayaan pasar keuangan kepada sektor riil di dalam perekonomian. Sementara itu, kebijakan moneter kontraktif melalui kenaikan suku bunga untuk mengatasi tekanan inflasi justru menimbulkan dampak negatif yang besar pada perekonomian melalui penurunan kualitas modal dan penurunan pembiayaan pasar keuangan, fenomena ini lebih dikenal dengan istilah financial accelerator. Seiring dengan penerapan Inflation Targeting Framework (ITF) pada Juli 2005, Bank Indonesia memperkenalkan penggunaan BI Rate sebagai referensi suku bunga yang menjadi acuan bagi para pelaku di pasar keuangan untuk 1
membaca
sinyal kebijakan moneter ke depan. Setiap sinyal perubahan arah
kebijakan moneter melalui BI Rate seyogyanya diikuti oleh perubahan suku bunga di pasar keuangan, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Secara teoritis, suku bunga jangka panjang cenderung untuk bergerak searah dengan suku bunga jangka pendek. Dengan demikian, diharapkan bahwa Yield dari aset jangka panjang seperti obligasi yang bergerak searah dengan pergerakan suku bunga, akan bergerak naik ketika suku bunga jangka pendek meningkat. Kenaikan Yield ini akan mengakibatkan obligasi menjadi lebih menarik karena diharapkan memberikan tingkat keuntungan yang lebih tinggi. Pada saat terjadi pengetatan moneter, ada kecenderungan yang mendorong ke arah resesi ekonomi sehingga mengurangi keuntungan perusahaan. Penurunan expected return tersebut menyebabkan saham menjadi kurang kompetitif dibandingkan aset lainnya dan mengakibatkan turunnya harga saham. Faktanya Krisis ekonomi global yang masih berlangsung pada tahun 2009 memberikan tekanan yang cukup berat pada kebijakan moneter, terutama berupa peningkatan ketidakstabilan sistem keuangan domestik. Berlanjutnya krisis ekonomi global tersebut mendorong aliran modal keluar jangka pendek yang cukup besar pada triwulan I 2009, yang secara signifikan menurunkan kinerja pasar saham dan obligasi, menekan nilai tukar rupiah, serta menambah risiko perbankan domestik. Gejolak dalam sistem keuangan tersebut tidak dapat dibiarkan karena berisiko menurunkan berbagai capaian positif stabilitas makroekonomi sebelumnya. Kebijakan moneter telah ditempuh untuk merespons tekanan tersebut. Sepanjang tahun 2009, Bank Indonesia secara terukur
2
menerapkan stance kebijakan moneter longgar guna mendorong pemulihan ekonomi nasional. Stance kebijakan moneter longgar yang dilakukan secara terukur tampak pada perkembangan BI Rate yang cenderung menurun. Kebijakan moneter longgar ini berhasil meningkatkan indeks harga saham gabungan dan menyebabkan penurunan Yield SUN. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan antara BI Rate dan pasar keuangan Indonesia. Gambar 1.1 Perkembangan BI Rate, IHSG dan Yield SUN 2009-2013 4 3 2 1 0 -1 -2 -3 I
II
III IV
2009
I
II
III IV
I
2010 BIRATE
II
III IV
2011 IHSG
I
II
III IV
2012
I
II
III IV
2013
SUN
Indikasi eratnya keterkaitan tersebut dapat dilihat pada gambar pergerakan BI Rate, pergerakan IHSG dan pergerakan Yield SUN. Pergerakan BI Rate dan IHSG
yang
terjadi
menunjukkan arah yang berlawanan, dimana stance
kebijakan moneter yang longgar melalui penurunan BI Rate akan diikuti oleh penguatan IHSG dan sebaliknya. Sedangkan pergerakan BI Rate dan Yield SUN menunjukkan arah yang searah, dimana stance kebijakan moneter yang longgar melalui penurunan BI Rate akan diikuti oleh penurunan Yield SUN begitu juga sebaliknya. Hal ini sesuai dengan teori arus modal yang menyatakan tingkat suku bunga merupakan faktor utama yang mempengaruhi keputusan investor untuk 3
berinvestasi (Mankiw, 2007: 149). Tingkat suku bunga merupakan faktor utama berupa biaya oportunitas yang mempengaruhi keputusaan investor untuk membeli saham, begitu juga dengan performa IHSG juga merupakan salah satu faktor utama yang dapat mempengaruhi ekspektasi imbal hasil investor berupa capital gain begitu juga dengan Yield obligasi. Fakta-fakta di atas menunjukkan adanya keterkaitan erat antara kebijakan moneter melalui BI Rate dan pasar keuangan diindonesia. Pentingnya hal ini tercermin dari banyaknya artikel yang mencoba menjelaskan masalah tersebut. Dari hasil sebuah simposium mengenai transmisi kebijakan moneter, Mishkin (1995) mengidentifikasi empat jalur utama bagaimana kebijakan moneter mempengaruhi aktivitas ekonomi, yaitu jalur suku bunga (interest Rate channel), jalur nilai tukar (exchange Rate channel), jalur harga asset (asset price channel), dan jalur kredit (credit channel yang diuraikan menjadi bank lending channel dan balance sheet channel). Dari berbagai jalur transmisi tersebut dapat dilihat secara jelas bahwa setiap jalur transmisi kebijakan moneter akan melalui dan memanfaatkan pasar keuangan. Jalur suku bunga dan jalur kredit terutama akan memanfaatkan perbankan dan pasar uang, sementara jalur
nilai tukar
memanfaatkan pasar valas, dan jalur harga aset memanfaatkan pasar modal. Hal ini membuktikan pentingnya peran pasar keuangan dalam mentransmisikan kebijakan moneter. Selanjutnya, Broome and Moorley (2004) menyimpulkan bahwa harga saham menjadi salah satu leading indicator yang signifikan untuk krisis ekonomi di negara-negara Asia tahun 1997-1998. Secara tidak langsung, temuan tersebut
4
mengindikasikan pentingnya peran pasar modal dalam perekonomian dan transmisi kebijakan moneter. Artikel yang ditulis oleh James Tobin dan diterbitkan dalam Journal of Money, Credit and Banking pada tahun 1969 merupakan salah satu artikel fenomenal yang banyak dirujuk oleh artikel-artikel lainnya. Di dalam artikelnya, Tobin menjelaskan bagaimana kebijakan moneter mempengaruhi pasar modal melalui perubahan harga barang modal (price of capital), yang kemudian dikenal dengan istilah Tobin’s Q. Namun Tobin dan beberapa peneliti lainnya mengakui bahwa tidaklah mudah mengestimasi respon dari pasar modal terhadap perubahan kebijakan moneter karena adanya permasalahan edogeinity, dimana perubahan kebijakan moneter merupakan respon bank sentral terhadap perkembangan pasar modal. Bernanke dan Kuttner (2005) juga menyatakan bahwa sangat rumit untuk mengestimasi respon harga saham terhadap kebijakan moneter karena pasar tidak akan bereaksi terhadap kebijakan moneter yang telah terantisipasi (anticipated monetary policy). Dengan menggunakan metode event study, Bernanke dan Kuttner mencoba menganalisa reaksi pasar
modal terhadap unexpected
monetary policy. Hasil estimasi menunjukkan bahwa harga saham di pasar modal bereaksi negatif dan signifikan terhadap unexpected atau surprise kebijakan moneter. Peningkatan suku bunga kebijakan moneter (dalam hal ini Fed Fund Rate) yang belum terantisipasi akan menurunkan harga saham sebagai akibat dari efek subtitusi portofolio. Sementara Thorbecke (1997) menggunakan pendekatan cash flow untuk menjelaskan dampak kebijakan moneter terhadap pasar modal. Dengan
5
menggunakan argumen yang hampir sama dengan Bernanke dan Gertler (1995) bahwa kontraksi moneter yang mendorong terjadinya peningkatan suku bunga akan menurunkan cash flow perusahaan. Sementara teori menyebutkan bahwa harga saham merupakan present value dari cash flow perusahaan di masa mendatang. Dari hubungan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa kebijakan moneter yang kontraktif akan menurunkan harga saham. Pengujian empiris dengan menggunakan pendekatan Vector Autoregression (VAR), Thorbecke menemukan bahwa kontraksi moneter mempunyai efek negatif dan signifikan terhadap stock return, baik nominal maupun riil. Sementara harga saham mempunyai pergerakan yang searah dengan stock return, sehingga secara tidak langsung kontraksi moneter berkorelasi negatif dengan harga saham. Hasil kajian Kohn dan Sack (2003) secara langsung membuktikan bahwa kontraksi moneter secara signifikan berdampak pada penurunan harga saham. Secara teoritis, pergerakan pasar obligasi dan pasar saham berlawanan arah karena bersifat subtitusi. Namun demikian, kontraksi moneter sama-sama memberikan dampak negatif terhadap harga saham dan obligasi. Harga obligasi akan turun jika suku bunga meningkat, atau sebaliknya. Dengan demikian, kontraksi moneter yang menyebabkan kenaikan suku bunga akan menurunkan harga obligasi. Yield mempunyai hubungan terbalik dengan harga obligasi, namun selaras dengan tingkat suku bunga (Prastowo, 2008). Mizrach dan Kopecky (2007) menjelaskan alur transmisi kebijakan moneter terhadap pasar obligasi yang kurang lebih sama dengan penjelasan sebelumnya. Kebijakan moneter akan
mempengaruhi distribusi uang kas
6
(cash
balance)
dan pengeluaran
konsumsi
masyarakat. Peningkatan suku
bunga mendorong masyarakat untuk memegang lebih banyak obligasi dan mengurangi uang kas dan konsumsi karena expected return dari obligasi meningkat. Selanjutnya, selain suku bunga hal yang penting untuk diperhatikan dalam melakukan penilaian saham ialah investor hendaknya melakukan analisis fundamental untuk menilai prospek perusahaan. Tahapan yang paling utama dilakukan ialah analisis ekonomi. Hal ini bertujuan untuk membuat keputusan alokasi penginvestasian dana di beberapa negara atau dalam negeri dalam bentuk saham, obligasi ataupun kas. Analisis ekonomi perlu dilakukan karena kecenderungan adanya hubungan yang kuat antara apa yang terjadi pada lingkungan ekonomi makro dan kinerja pasar modal. Pasar modal mencerminkan perekonomian makro (Tandelilin, 2001:210). Fluktuasi yang terjadi di pasar modal akan terkait dengan perubahan yang terjadi pada berbagai variabel ekonomi makro. Seperti yang kita ketahui bahwa harga obligasi akan sangat bergantung pada tingkat bunga yang berlaku, dan tingkat bunga ini akan dipengaruhi oleh perubahan ekonomi makro atau kebijakan ekonomi makro yang ditentukan oleh pemerintah. Sedangkan disisi lainnya, harga saham merupakan cerminan dari ekpektasi investor terhadap faktor-faktor earning, aliran kas dan tingkat return yang disyaratkan investor, yang mana ketiga factor tersebut juga sangat dipengaruhi oleh kinerja ekonomi makro (Tandelilin, 2001: 211).
7
Emrah Ozbay (2009), Mark. A Hooker (2003), dan Siegel (1991), juga menyatakan bahwa adanya hubungan yang kuat antara harga saham dan kinerja indikator ekonomi makro. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan teori, fakta dan perbedaan hasil masing-masing penelitian terdahulu, mendorong peneliti untuk melakukan penelitian terkait hal tersebut dengan studi kasus Indonesia. Dengan kata lain, sentral dalam penelitian ini untuk melihat respon IHSG dan Yield Obligasi terhadap kejutan yang diberikan oleh BI Rate. Sebagai tambahan atas sentral penelitian, penelitian juga memasukkan beberapa indikator makroekonomi yaitu PDB Riil, nilai tukar riil, dan Indeks Harga Konsumen. Penelitian ini menambahkan beberapa indikator makroekonomi yang diindikasikan memiliki hubungan erat terhadap IHSG dan Yield SUN bertujuan untuk mengetahui respon Yield SUN dan IHSG terhadap kejutan variabel makroekonomi dan sebaliknya. Variabel makroekonomi yang dipakai pada penelitian ini dipilih berdasarkan hasil penelitian-penelitian terdahulu.
1.3
Pertanyaan Penelitian Uraian ringkas dalam latar belakang masalah di atas memberi dasar bagi peneliti untuk merumuskan pertanyaan penelitian yaitu: 1.
Bagaimana respon IHSG dan Yield SUN terhadap shock BI Rate?
2.
Bagaimana respon IHSG dan Yield SUN terhadap shock PDB, Nilai Tukar Rp/US $, IHK?
3.
Bagaimana kontribusi IHSG dan Yield SUN dalam menjelaskan variabilitas BI Rate? 8
4.
Bagaimana kontribusi PDB, Nilai Tukar Rp/US$, IHK dalam menjelaskan variabilitas IHSG dan Yield SUN?
1.4
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Menganalisis respon IHSG dan Yield SUN terhadap shock BI Rate.
2.
Menganalisis respon IHSG dan Yield SUN terhadap shock variabel PDB, Nilai Tukar Rp/US$, IHK.
3.
Menganalisis kontribusi IHSG dan Yield SUN dalam menjelaskan variabilitas BI Rate.
4.
Menganalisis kontribusi PDB, Nilai Tukar Rp/US$, IHK dalam menjelaskan variabilitas IHSG dan Yield SUN.
1.5
Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1.
Sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada. Apabila dimungkinkan, penelitian ini
dapat
bermanfaat
sebagai
pertimbangan
dalam
merumuskan kebijakan moneter yang dilakukan oleh otoritas moneter di Indonesia. 2.
Memperkaya studi empiris bagi para peneliti mengenai topik yang diteliti sehingga penelitian dengan topik serupa bisa lebih dikembangkan
9
1.6
Pembatasan Penelitian Penelitian dibatasi khusus untuk Indonesia dengan rentang periode penelitian tahun 2009:1-2013:12, dimana sepanjang tahun 2009, Bank Indonesia secara terukur menerapkan stance kebijakan moneter longgar guna mendorong pemulihan ekonomi nasional dengan penurunan BI Rate guna megatasi tekanan dari krisis global tahun 2008, tahun 2013 meupakan batas tahun data tersedia. Variabel pasar keuangan yang akan diteliti adalah indeks harga saham gabungan mempresentasikan pasar saham dan Yield SUN tenor 10 tahun mempresentasikan pasar obligasi. Pengklasifikasian pasar keuangan atas pasar saham dalam bentuk IHSG dan pasar obligasi dalam bentuk Yield SUN tenor 10 tahun bertujuan untuk mengetahui respon dari masing-masing jenis instrumen pasar keuangan terhadap perubahan BI Rate. Sedangkan, Cakupan indikator makroekonomi dalam penelitian ini difokuskan pada produk domestik bruto riil, nilai tukar riil, dan indeks harga konsumen. 1.7
Sistematika Penulisan Bagian utama dari penulisan ini disusun dengan mempergunakan
sistematika sebagai berikut: Bab I akan dipaparkan uraian terkait pendahuluan; yang memuat latar belakang masalah, perumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, pembatasan penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II akan dipaparkan uraian terkait landasan teori dan metodologi; yang memuat tinjauan pustaka, penelitian terdahulu yang sesuai dengan penelitian, model, hipotesis penelitian, dan alat analisis. 10
Bab III akan dipaparkan uraian terkait hasil dan pembahasan; yang memuat statistik deskriptif, tahapan analisis, serta hasil dan temuan Bab IV terdiri dari kesimpulan dan saran yang merangkum hasil penelitian secara keseluruhan serta rekomendasi yang bisa dijadikan sebagai acuan bagi pengambil kebijakan berdasarkan hasil penelitian.
11