1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Permasalahan dalam kehidupan manusia pada dasarnya sangatlah banyak, salah satu permasalahan yang paling besar adalah bagaimana manusia itu dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari seiring dengan perkembangan teknologi dan perkembangan dibidang perekonomian. Dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut, manusia harus mampu bersaing satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan masing-masing yang berbeda-beda. Di samping itu hukum adalah suatu gejala sosial yang berfungsi untuk menerapkan kaidah-kaidah dan pola-pola prikelakuan tertentu terhadap individu-individu dalam masyarakat. Apabila hukum yang berlaku dalam masyarakat tidak sesuai dengan kebutuhankebutuhan dan kepentingan-kepentingan masyarakat yang menjadi subyek dari hukum itu, maka individu tersebut akan mencari jalan keluar serta mecoba atau bahkan melakukan penyimpangan dari aturan-aturan yang ada.1 Segala bentuk tingkah laku yang menyimpangi aturan hukum yang menggangu dan merugikan dalam kehidupan bermasyarakat tersebut diartikan oleh masyarakat sebagai sikap dan perilaku jahat, terkadang akan menimbulkan kerugian baik itu bersifat materiil maupun bersifat imateriil yang menyangkut keamanan dan ketentraman dalam masyarakat. 1
Rai Utama, 2013, “Filsafat Ilmu dan Logika Dalam Ekonomi”, dikutip dari http://www.academia.edu/2412563/Filsafat_Ilmu_dan_Logika, diakses tanggal 24 September 2013 pukul 17.10 WIB.
2
Sikap dan perilaku jahat yang dilakukan bermacam-macam, salah satu bentuknya dengan menyalahgunakan kewenangan atau jabatan yang diamanahkan kepadanya untuk meraih keutungan-keuntungan tertentu yang dari hasil kejahatan penyalahgunaan kewenangan tersebut maka setiap yang menjadi kebutuhan pelaku terpenuhi dan tanpa memikirkan kepentingan orang lain. Salah satu permasalahan yang besar dan bukan menjadi hal yang langka terjadi di Indonesia adalah masalah Korupsi. Masalah ini bukan masalah baru dalam persoalan hukum dan ekonomi bagi suatu negara, karena sebenarnya masalah ini telah ada sejak ribuan tahun yang lalu baik di negara maju maupun negara berkembang seperti halnya Indonesia.2 Masalah ini menjadi masalah yang sangat luar biasa karena sudah meningkat dan menyebar keseluruh lapisan masyarakat. Menyadari sangat besarnya dampak yang disebabkan korupsi bagi perekonomian suatu negara maka permasalahan korusi dapat dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi dengan sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan jelas serta melibatkan seluruh potensi yang ada dalam masyarakat khususnya aparat pemerintah dan penegak hukum. Di Indonesia, korupsi digolongkan sebagai suatu kejahatan yang sangat luar biasa (extraordinary crime). Menurut Abdullah Hahemahua, ada tiga hal yang menyebabkan korupsi digolongkan menjadi kejahatan luar biasa. Pertama, korupsi di Indonesia bersifat tradisional, artinya koruptor banyak mengirimkan uang ke 2
Youngky Putra, 2012, “Pertanggung Jawaban Korporasi dalam tindak pidana korupsi”, dikutip dari http://karyatulisa.blogspot.com/2012/06/12_23.html, diakses tanggal 24 September 2013 pukul 17.20 WIB.
3
negara lain dengan membeli saham salah satunya di Singapura, oleh karena itu jugalah Singapura sampai saat ini tidak mau meratifikasi perjanjian ekstradisi dengan Indonesia yang tujuan ekstradisi ini adalah meminta buronan dari suatu negara yang lari kenegara lain untuk dikembalikan ke negara asalnya. Kedua, pembuktian korupsi di Indonesia itu super, artinya membutuhkan usaha sangat keras, dapat dilihat dari kasus yang ditangani KPK hampir separuh dari keseluruhannya adalah kasus korupsi yang berbentuk penyuapan, dari penyuapan tersebut seorang koruptor tidak mungkin mengunakan tanda terima dan kuitansi artinya hal ini kan menyulitkan penegak hukum dalam melakukan pembuktian. Ketiga, dampak korupsi itu luar biasa. Misalnya dari sektor ekonomi, hutang Indonesia di luar negeri mencapai Rp 1.227 triliun. Hutang ini dibayar tiga tahap, 2011 - 2016, 2016 - 2021, dan 2021 - 2042.3 Fakta yang demikian dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk menyembunyikan atau mengaburkan asal usul dana yang diperoleh dari hasil ilegal yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, pada umumnya perbuatan demikian merupakan dana dari hasil tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (money loundering) yang beberapa dekade ini mendapatkan perhatian ekstra dari dunia internasional, karena dimensi dan implikasinya yang melanggar batas negara. 4 Fakta yang terjadi, pelaku kejahatan melakukan pencucian uang yang hampir rata-rata diperoleh dari kejahatan hasil korupsi, dengan berbagai modus 3
Edwin Dwi Purwanto, 2012 “Inilah alasan mengapa korupsi disebut kejahatn luar biasa”, dikutip dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/12/02/23/lztpqj-inilah-3-alasan-mengapakorupsi-disebut-kejahatan-luar-biasa, diakses tanggal 24 September 2013 pukul 17.26 WIB. 4 Adrian Sutedi, 2008. Tindak Pidana Pencucian Uang, Cetakan Pertama, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, hlm. 1.
4
dilakukan untuk menghilangkan jejak perbuatanya dengan melakukan pencucian uang hasil kejahatan tersebut, Namun demikian uang atau dana yang diperoleh dari setiap hasil tindak pidana khususnya korupsi, tidak semua dapat dikategorikan sebagai kejahatan tindak pidana pencucian uang, artinya perolehan dibawah jumlah lima ratus juta rupiah, tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan tindak pidana pencucian uang (predicate crime), meskipun hal ini dilakukan dengan caracara tindak pidana.5 Tindakan represif terhadap kejahatan korupsi tidak hanya dengan menghukum pelaku kejahatan saja, akan tetapi juga dengan upaya mengembalikan aset kejahatan yang dikorup. Secara sederhana pengembalian aset kejahatan didefinisikan sebagai serangkaian tindakan yang meliputi beberapa tahapan yang dimulai dari pelacakan, pembekuan, penyitaan, perampasan, pengelolaan, sampai pada pemanfaatan dan pemeliharaan aset.6 Pengembalian aset yang diperoleh dari hasil korupsi tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satu cara dengan penggunaan instrumen perdata dalam pengembalian kerugian keuangan negara, prosedur pengembalian aset sepenuhnya tunduk kepada ketentuan hukum perdata yang berlaku, baik materiil maupun formil. Hubungan antara aset-aset dengan seseorang, apakah seseorang tersebut pelaku atau bukan pelaku tindak pidana, diatur dalam hukum kebendaan yang masuk dlam wilayah hukum sipil atau hukum perdata yaitu dengan mengajukan gugatan. 5
N.H.T. Siahaan, 2005, Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 50. 6 Agustinus Pohan, Amien Sunaryadi, Denny Indrayana, Eddy O.S Hiariej, Saldi Isra, Sigit Riyanto, Teten Masduki, Yenti Gernasih, dan Zainal Atifin Mochtar, 2008, “Pengembalian Aset Kejahatan”, Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum UGM bekerjasama dengan kemitraan, hlm. 16.
5
Pengembalian aset oleh negara dilakukan dengan penyitaan aset tersebut adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaanya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dan penyidikan, penuntutan dan peradilan.7 Dalam hal pengembalian aset juga dikenal cara Perampasan aset yang berbeda dengan penyitaan yaitu mencabut hak dari seseorang atas suatu benda. Mengingat sistem perundang-undangan yang tidak fleksibel dan selalu dituntut untuk dilakukan perubahan dan pembaharuan sesuai keadaan yang terjadi. Menjadi sebuah polemik ketika pelaku tindak pidana korupsi menikmati hasil kejahatannya (aset) dengan digunakan untuk kepentingan pribadi atau bahkan kepentingan bersama dengan pihak lainnya, maka dari itu akan terjadi pencampuran kepentingan- kepentingan yang ada, serta adanya penyatuan harta kekayaan. Sebagai contoh adalah apabila aset kejahatan korupsi tersebut dijadikan andil dalam sebuah persekutuan untuk usaha, sehingga adanya penggabungan aset yang akan digunakan sebagai permodalan usaha sehingga pada kondisi seperti ini telah ada pihak yang terkait dalam kepentingannya (pihak ketiga).8 Pasal 38 KUHAP telah mengatur bahwa seorang penyidik dapat melakukan penyitaan atas dasar surat izin dari Pengadilan Negeri setempat (atau tanpa surat izin dari hakim apabila dalam situasi yang mendesak dan hanya terhadap benda bergerak namun setelah penyitaan wajib memberikan laporan penyidik kepada Pengadilan Negeri setempat terkait dalam kepentingannya.
7
Pasal 1 butir 16 KUHAP. Purwaning. M. Yanuar, 2007, “Pengenmbalian Aset Hasil Korupsi”, PT. Alumni, Bandung, hlm. 51. 8
6
Terhadap perampasan dapat dilakukan upaya pengembalian apabila ada kepentingan-kepentingan atau hak-hak dari pihak ketiga yang dirugikan, terkait dengan aset yang dirampas tersebut pihak ketiga dapat melakukan pembuktian bahwa kepentingan atau hak tersebut benar adanya dan tidak merupakan bagian dari suatu tindak pidana korupsi atau kepunyaan terpidana (Pasal 19 ayat (1) UU TIPIKOR). Dengan ini pihak ketiga dapat mengajukan surat keberatan kepada pengadilan yang bersangkutan, dalam waktu paling lambat 2 bulan setelah putusan pengadilan ditetapkan disidang terbuka untuk umum (Pasal 19 ayat (2) UU TIPIKOR). Bila dalam hal perampasan harta kekayaan yang telah dialihkan oleh pihak ketiga tentunya dilakukan berdasarkan apa yang telah dijelaskan diatas bahwa harus lah ada putusan pengadilan yang telah memiliki keutan tetap yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti telah melakukan tindak pidana korupsi dan dinyatakan sebagai terpidana dengan dikenakan tuntutan untuk dirampas harta kekayaannya yang merupakan hasil kejahatan dari tindak pidana korupsi. Dan jika harta kejahatan tersebut telah berpindah tangan atau dikuasa oleh pihak lain maka secara langsung atau tidak langsung tindakan perampasan dilakukan terhadap aset tersebut tanpa melihat keberadaan harta tersebut berada dalam penguasaan siapa, dan berdasarkan perlindungan hukum pada pasal 19 UU TIPIKOR, diberikan upaya terhadap pihak-pihak yang merasa dirugikan atas tindakan perampasan aset tersebut untuk melakukan keberatan dengan melakukan pembuktian terbalik. Maka pada posisi ini tentu peranan mekanisme pembuktian terbalik sangat dominan
7
dalam mekanisme perampasan aset yang dimana aset tersebut dikuasai atau berada pada pihak ketiga. Salah satu cara pengalihan kepada pihak ketiga dengan berbagai modus tersebut juga tidak dapat dipungkiri aset yang diduga dari hasil korupsi tersebut telah dilakukan jual beli oleh pelaku tindak pidana kepada pihak ketiga dengan akta pejabat yang berwenang yaitu melalui Akta Jual Beli (AJB) yang dikeluarkan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), jika dilihat dari proses dan syarat untuk melakukan jual beli tersebut tidak ada yang bermasalah atau melanggar ketentuan hukum, syarat untuk membuat AJB tersebut telah terpenuhi, tetapi yang jadi permasalahan setelah proses jual beli dilakukan atau ditandai dengan adanya penyerahan (levering) yaitu perpindahan antara pemilik yang satu kepada pemilik lainya secara sah,9 obyek yaitu dalam hal ini tanah, rumah atau aset yang diperjanjikan akan diserahkan disita oleh negara karena diduga diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang dilakukan oleh pihak penjual. Terlihat jelas bahwa pihak ketiga sebagai pembeli yang beritikad baik dirugikan dengan adanya penyitaan tersebut yang dilakukan dengan dasar putusan pengadilan karena ada dugaan harta tersebut diperoleh dari hasil korupsi dan pencucian uang, didalam hukum Kitab Undang-Undang Hukum Perdata jelas memberikan perlindungan terhadap pembeli yang beritikad baik yaitu Pasal 1338 ayat 3 menjelaskan setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, ini menjelaskan bahwa setiap pihak yang membuat perjanjian tersebut harus
9
Andi Muhammad Anas, 2011, Penyerahan atau Levering, dikutip dari http:andianas.blogspot.com/2011/12/levering-penyerahanoperdraeht.html, diakses pada tanggal 3 Oktober 2013 pukul 14.02 WIB.
8
didasarkan pada itikad baik, dalam hal ini termasuk perjanjian jual beli yang objek nya benda tetap dan bergerak. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, yang menjadi pokok permasalahan adalah bagaimana status hukum kepemilikan aset pihak ketiga yang disita negara serta perlindungan hukum terhadap pihak ketiga selaku pembeli yang beritikad baik yang asetnya disita negara melalui putusan pengadilan. Atas dasar permasalahan yang telah diuraikan pada paragraf sebelumnya tersebut penulis mengajukan judul: “Status Hukum Kepemilikan Aset oleh Pihak Ketiga yang Dirampas Melalui Putusan Pengadilan”
B. Rumusan Masalah Bertolak dari latar belakang pemikiran di atas, adapun permasalahan penelitian tesis ini adalah: 1. Bagaimana status hukum kepemilikan aset oleh pihak ketiga yang dirampas melalui putusan pengadilan ? 2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pihak ketiga sebagai pembeli yang beritikad baik yang asetnya dirampas melalui putusan pengadilan ?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini pada dasarnya untuk mengkaji status hukum kepemilikan aset oleh pihak ketiga yang disita oleh negara melalui putusan pengadilan. Bertolak dari permasalah tersebut, maka penulisan ini bertujuan adalah :
9
1. Untuk mengetahui bagaimana status kepemilikan aset oleh pihak ketiga yang dirampas putusan pengadilan (diduga dari hasil korupsi dan tindak pidana pencucian uang). 2. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap pihak ketiga sebagai pembeli beritikad baik yang aset 3. +-nya dirampas melalui putusan pengadilan (diduga dari hasil korupsi dan tindak pidana pencucian uang).
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian tentang “Status Hukum Kepemilikan Aset oleh Pihak Ketiga yang Dirampas oleh Negara Melalui Putusan Pengadilan” ini diharapkan dapat
memiliki
kegunaan
bagi
ilmu
pengetahuan
maupun
pembangunan/masyarakat luas. Dengan kata lain, penelitian ini diharapkan dapat mempunyai kegunaan akademik maupun kegunaan praktis. 1. Kegunaan Akademik Penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan-bahan informasi kepustakaan dan bahan ajar di bidang hukum pada umumnya, hukum pidana khusus pada khususnya yang berkaitan dengan masalah Jasa Notaris dan PPAT dalam membuat Akta Jual Beli yang objeknya diduga berasal dari korupsi atau tindak pidana pencucian uang. 2. Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi notaris dan PPAT, para penegak hukum, peneliti, dan segala pihak yang mungkin dapat
10
terkait dengan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang, tentang bagaimana cara agar terhindar dari jeratan tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Selain itu, hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam menetapkan dan merumuskan kebijakan legislasi yang lebih baik lagi sebagai bahan penyempurnaan atau penyusunan kembali sejumlah undang-undang yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi dan pencucian uang dan tentang Jabatan Notaris.
E. Keaslian Penelitian Sepengetahuan penulis, cukup banyak penulis lain yang mengangkat kajian penulisan mengenai tindak pidana Korupsi dan Pencucian Uang, salah satu penulisan yang mempunyai relevansi dengan penulisan ini dilakukan oleh Suhardi Alius tahun 2005 tentang “Tinjauan Yuridis Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Bagi Penyedia Jasa Keuangan”.10 Ada dua permasalahan yang diangkat di dalam penelitian
tersebut.
Pertama,
apa
langkah-langkah
pencegahan
dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang bagi penyedia jasa keuangan secara yuridis telah dapat dipertanggungjawabkan. Kedua, apa saja kendala-kendala dalam melaksanakan langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang bagi penyedia jasa keuangan. Hasil penelitian tersebut adalah Pertama, bahwa langkah-langkahnya antara lain adalah dengan berdirinya
10
Suhardi Alius, 2005, Tinjauan Yuridis Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering) Bagi Penyedia Jasa Keuangan, Tesis Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
11
PPATK (Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan), lalu adanya Komite Koordinasi Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang melalui Keppres Nomor 1 Tahun 2004. Kedua, bahwa kendalanya antara lain lemahnya mekanisme kontrol, kurangnya partisipasi publik, dan kurang pahamnya aparat penegak hukum. Penelitian lain yang mempunyai relevansi dengan judul yang diangkat penulis adalah penulisan yang dilakukan oleh Hendry Julian Noor tahun 2010 tentang “Jasa Notaris sebagai salah satu upaya dalam memperkuat rezim anti Pencucian Uang”.11 Ada dua permasalahan yang diangkat dalam penulisan tersebut. Pertama, mengapa notaris wajib (terkait dengan transaksi-transaksi yang diminta undang-undang untuk dilaporkan) melaporkan setiap transaksinya terkait dengan pemberantasan dan pencegahan tindak pidana pencucian uang. Kedua, bagaimanakah upaya-upaya (dalam pemberantasan dan pencegahan tindak pidana di Indonesia) bila dibandingkan dengan hak istimewa yang dimiliki oleh notaris seperti yang telah diatur oleh UU Jabatan Notaris. Hasil Penelitian tersebut adalah Pertama, Notaris menjadi salah satu sebagai objek pelapor karena terkadang pelibatan notaris sebagai media dari tindak pidana pencucian uang ini tidak disadari oleh notaris itu sendiri. Adanya kewajiban pelaporan seperti ini diharapkan notaris serta profesi lainnya dapat menjadi seperti „penjaga gawang‟ agar tidak gampang ditembus oleh modus-modus operandi para pelaku pencucian uang. Diharapkan dengan ini peran notaris sebagai salah satu aparat hukum
11
Hendry Julian Noor, 2010, Jasa Notaris sebagai salah satu upaya dalam memperkuat rezim anti Pencucian Uang, Tesis Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
12
(orang yang mengerti hukum) dapat terdeskripsikan dengan jelas, sehingga dapat berperan dalam pemberantasan dan pencegahan tindak pidana pencucian uang. Kedua, Berkaitan UUJN dengan UU TPPU (termasuk RUU PPTPPU) mengenai kedudukan notaris sebagai reporting parties, penggunaan asas lex specialis derogate generali dan lex specialis sistematis pun tak dapat untuk memberi solusi terhadap berbenturannya peraturan-peraturan a quo. Oleh karenanya sangat penting untuk disahkan RUU PPTPPU ini sebagai jalan penting terpenuhinya syarat-syarat asas lex specialis sistematis. Ini semua bertujuan untuk meningkatkan peran serta profesi notaris dalam penguatan rezim anti pencucian uang, dengan membatasi luas dari hak ingkar notaris tersebut, namun bukan dengan „mengebirinya‟, serta untuk memenuhi standar internasional yang telah ditetapkan FATF sebagai gugus tugas dalam pemberantasan kejahatan pencucian uang, mengingat kejahatan pencucian uang ini sudah termasuk kejahatan luar biasa (extraordinary crime) oleh karenanya hak istimewa notaris ini dapat dinegasikan demi keadilan yang lebih besar. Perbedaan pokok antara penelitian ini dengan kedua penelitian tersebut adalah fokus kepada obyek penelitian yaitu aset pihak ketiga yang beritikad baik, mengenai status hukum aset pihak ketiga yang disita melalui putusan pengadilan yang diduga hasil dari korupsi, serta subyek penelitian lebih kepada pihak ketiga sebagai pembeli yang beritikad baik yang didalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata jelas memberikan perlindungan yaitu dalam pasal 1338 ayat 3, dijelaskan bahwa setiap perjanjian harus didasarkan pada itikad baik, serta membahas mengenai perlindungan hukum terhadap pihak ketiga sebagai pembeli yang
13
beritikad baik tersebut apabila terjadi penyitaan atas aset yang telah dibeli dengan dasar itikad baik dan membahas jalur hukum apa saja yang dapat ditempuh jika penyitaan telah dilakukan. Penelitian ini hendaknya dapat menjadi ius constituendum terhadap pihak ketiga yang asetnya disita melalui putusan pengadilan.