BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penelitian Sebagai makhluk sosial manusia harus hidup bermasyarakat dan berinteraksi dengan sesamanya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, hal ini tidak lepas dari pengaruh orang lain. 1 Bentuk paling ideal dalam sebuah interaksi tersebut adalah kerjasama guna mencapai tujuan bersama, tetapi ada kalanya dalam berinteraksi terdapat perbedaan pendapat mengenai cara mencapai tujuan bersama. Sebagai individu manusia tetap memiliki perbedaan-perbedaan yang dapat menimbulkan suatu permasalahan. Terlebih lagi di era modern, ketika informasi begitu cepat mengalir. Manusia dituntut untuk semakin cepat dalam memenuhi kebutuhannya, hal ini menimbulkan kemungkinan terjadinya gesekan kepentingan antar individu semakin besar. Gesekan antar individu ini dapat disebabkan karena berbagai hal, seringkali terjadi karena salah satu pihak merasa dirugikan. Selain itu, perasaan tidak puas dari salah satu pihak juga dapat memicu terjadinya gesekan antar individu. Gesekan inilah yang menyebabkan terjadinya konflik dan sengketa baik antar individu maupun antar kelompok dalam masyarakat. Masyarakat mengenal dua metode untuk menyelesaikan sengketa. Pertama, merupakan penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan (litigasi) dan yang kedua melalui jalur di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa di 1
Janu Murdiatmoko. 2007, Sosiologi Memahami dan Mengkaji Masyarakat, Grafindo Media Pratama, Bandung, hlm. 5.
2
pengadilan memiliki asas sederhana, cepat dan berbiaya ringan. 2 Namun, kondisi riil saat ini menunjukkan bahwa proses litigasi yang sebenarnya terjadi masih jauh dari asas-asas tersebut. Sistem peradilan tidak efektif (ineffective) dan tidak efisien (inefficient). 3 Proses litigasi seringkali terjebak dalam sistem pemeriksaan yang sangat formalitas (very formalistic) dan juga penuh perdebatan teknis (very technical) mengenai hukum acara. 4 Proses demikian dianggap tidak efektif terutama bagi para pihak karena memerlukan waktu lebih lama untuk mencapai pembahasan substansi permasalahan itu sendiri. Oleh sebab itu, penyelesaian sengketa di luar pengadilan menjadi pilihan karena memungkinkan penyelesaian sengketa yang cepat karena langsung mendiskusikan substansi permasalahan antar para pihak itu sendiri tanpa harus menggunakan advokat. Tidak adanya advokat tentu membuat penyelesaian sengketa non litigasi menjadi lebih murah dari segi biaya. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilaksanakan melalui jiwa musyawarah untuk mufakat sehingga cenderung menghasilkan keputusan yang tidak merugikan (win-win solution). Hasil akhirnya tentu berbeda dengan litigasi yang seringkali memutuskan penyelesaian sengketa melalui menang – kalah, sehingga sulit untuk memberikan kedamaian dan kerukunan bagi para pihak yang berperkara. Terdapat banyak jenis penyelesaian sengketa di luar pengadilan seperti, arbitrase, negosiasi, konsiliasi dan mediasi.
2
Pasal 2 ayat (4) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Yahya Harahap. 2012, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 229. 4 Ibid, hlm. 233. 3
3
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan diatur di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS). Undang-undang tersebut memberikan lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan memiliki dasar hukum yang kuat, sehingga aturan main perlu diberlakukan serta dimantapkan agar tidak terjadi ketimpangan dalam praktek. 5 Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tetap dapat dilakukan walaupun kasus tersebut sedang diproses melalui pengadilan, karena pada sebuah proses persidangan perkara perdata yang pertama kali harus dilakukan oleh hakim adalah berusaha mendamaikan para pihak yang berperkara. 6 Alternatif penyelesaian sengketa merupakan sebuah lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang menggunakan prosedur yang disepakati oleh para pihak dengan model konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli. 7 Prosedur mediasi diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Hakim atau pihak lain yang ditunjuk dapat berperan sebagai mediator yang akan mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan pokok
permasalahan
yang
sesungguhnya
dan
berdasarkan
pokok
permasalahan tersebut serta keinginan masing-masing para pihak dalam rangka 5
perdamaian
menyusun
proposal
perdamaian
yang
kemudian
Joni Emrizon. 2000, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Negosiasi, Mediasi, Konsiliasi dan Arbitrase), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 8. 6 http://ebookbrowse.com/Pasal-130-hir-Pasal-154-r-bg-doc-d181588893, Pasal 130 ayat (1) Herziene Inlandsch Reglement; Pasal 154 ayat (1) Rechtsreglement voor de Buitengewesten, diakses tanggal 26 April 2013. 7 Pasal 1 butir 10 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
4
dibicarakan dengan para pihak untuk mencapai hasil yang saling menguntungkan. Apabila terjadi kesepakatan para pihak maka dituangkan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh para pihak dan kemudian dibuatkan akta perdamaian agar para pihak mengerti dan menepati apa yang telah disepakati. 8 Perdamaian adalah suatu perjanjian dimana para pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara, perjanjian tidak sah melainkan jika dibuat tertulis. 9 Berdasarkan uraian di atas, perjanjian perdamaian yang dihasilkan dari proses mediasi harus dituangkan dalam bentuk tertulis (akta) untuk mencegah terjadinya wanprestasi atau para pihak mangkir dari apa yang telah disepakati, karena untuk keputusan yang demikian tidak dapat dilakukan upaya banding. 10 Akta perdamaian ini dapat berupa akta di bawah tangan maupun akta otentik yang dibuat oleh notaris atas permintaan para pihak atau dibuat di hadapan notaris oleh para pihak (partij acte). Akta perdamaian memiliki dua bentuk, pertama, akta perdamaian yang dibuat berdasarkan putusan majelis hakim di pengadilan sebagaimana dinyatakan bahwa jika perdamaian terjadi, maka tentang hal itu, pada waktu sidang, harus dibuat sebuah akta, dengan mana kedua belah pihak diwajibkan untuk memenuhi perjanjian yahg dibuat itu; maka surat (akta) itu berkekuatan
8
Pasal 23 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan 9 Pasal 1851 Kitab Undang-undang Hukum Perdata 10 http://ebookbrowse.com/Pasal-130-hir-Pasal-154-r-bg-doc-d181588893, Pasal 130 ayat (3) Herziene Inlandsch Reglement; Pasal 154 ayat (3) Rechtsreglement voor de Buitengewesten, diakses tanggal 26 April 2013.
5
dan akan dilakukan sebagai putusan hakim yang biasa. 11 Akta yang demikian dikenal juga dengan sebutan acte van vergelijk. Kedua, akta perdamaian yang dibuat di luar pengadilan tanpa dan/atau belum mendapatkan pengukuhan dari hakim, yang demikian lazim dikenal dengan sebutan acte van dading. Notaris sesuai dengan tugas dan kewenangannya adalah seorang pejabat umum (een openbaar ambtenaar) yang berwenang membuat akta otentik, sebagai alat bukti yang terkuat dan terpenuh. Hal – hal yang dinyatakan di dalam sebuah akta otentik harus diterima sebagaimana diharuskan oleh peraturan perundangan, juga karena isi dari akta otentik merupakan hasil kesepakatan yang dikehendaki oleh para pihak. Masyarakat memperoleh beberapa cara untuk mencapai perdamaian dalam menyelesaikan konflik dan sengketa yang kesemuanya diatur dan diakui oleh pemerintah. Dalam sebuah upaya perdamaian tentu yang diinginkan oleh para pihak adalah hubungan yang kembali baik ke depannya (restitutio in integrum), untuk mencapai kondisi ini tentunya sebuah upaya hukum harus memenuhi unsur-unsur kepastian hukum (rechssicherheit), kemanfaatan (zwegmassigkeit) dan keadilan (gerechtikeit). Timbul pertanyaan apakah sebuah akta perdamaian yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak di luar pengadilan (acte van dading) yang merupakan kewenangan notaris dapat memiliki kedudukan hukum yang sama sebagaimana akta perdamaian yang dibuat oleh majelis hakim di dalam pengadilan dan telah mendapatkan pengukuhan hakim (acte van vergelijk). 11
http://ebookbrowse.com/Pasal-130-hir-Pasal-154-r-bg-doc-d181588893, Pasal 130 ayat (2) Herziene Inlandsch Reglement; Pasal 154 ayat (2) Rechtsreglement voor de Buitengewesten, diakses tanggal 26 April 2013.
6
Berdasarkan hal tersebut, penulis bermaksud untuk mengkaji lebih dalam mengenai kewenangan notaris dalam pembuatan acte van dading yang dibuat oleh notaris berdasarkan permintaan para pihak dan bagaimana kedudukan akta tersebut melalui penulisan tesis dengan judul, Tinjauan Yuridis Terhadap Acte Van Dading Yang Dibuat Di Hadapan Notaris Dalam Proses Penyelesaian Mediasi Sengketa Tanah.
B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kewenangan notaris dalam membuat acte van dading yang dibuat dihadapan notaris dalam penyelesaian sengketa tanah melalui mediasi? 2. Bagaimanakah kedudukan hukum acte van dading yang dibuat di hadapan notaris dalam penyelesaian sengketa tanah melalui mediasi? 3. Apa faktor-faktor yang menjadi kendala dalam proses mediasi?
C. Tujuan Penelitian Tujuan Penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengkaji kewenangan notaris dalam membuat acte van dading yang dibuat di hadapan notaris dalam penyelesaian sengketa tanah melalui mediasi.
7
2. Untuk mengkaji kedudukan hukum acte van dading yang dibuat di hadapan notaris dalam penyelesaian sengketa tanah melalui mediasi. 3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi kendala dalam proses mediasi
D. Keaslian Penelitian Pada perpustakaan Universitas Gadjah Mada sepanjang pengetahuan peneliti belum pernah ada penelitian yang secara spesifik mengkaji mengenai acte van dading yang dibuat oleh para pihak sebagai hasil dari proses mediasi penyelesaian sengketa tanahdi luar pengadilan. Penelitian ini menitikberatkan pada kewenangan notaris dalam membuat acte van dading sebagai sebuah akta otentik yang merupakan hasil proses mediasi penyelesaian sengketa tanahdan bagaimana kedudukan hukum akta tersebut dibandingkan dengan acte van vergelijk yang telah mendapatkan pengukuhan hakim, serta bagaimana akta otentiktersebut dapat memberikan penyelesaian masalah yang memberikan kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan bagi para pihak. Terdapat dua penelitian yang membahas mengenai akta perdamaian sebelumnya. Pertama, penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Akta Perdamaian yang dilakukan Para Pihak dihadapan Notaris” oleh Abdul Khair Razikin. 12 Penelitian tersebut mengangkat permasalahan: 1. Bagaimana kewenangan notaris membuat akta perdamaian berdasarkan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris 2. Bagaimana kedudukan 12
Abdul Khair Razikin. 2011, Tinjauan Yuridis Akta Perdamaian yang Dilakukan Para Pihak Dihadapan Notaris, Tesis S2 Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, tidak diterbitkan, Yogyakarta.
8
hukum akta perdamaian yang dibuat di hadapan notaris terhadap putusan pengadilan berdasarkan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hasil penelitian tersebut adalah notaris berwenang membuat akta perdamaian bersumber dari jabatannya sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan akta perdamaian yang dibuat dihadapan notaris dalam bentuk otentik memiliki kedudukan hukum sama dengan putusan hakim yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht). Kedua, penelitian “Pembuatan Akta Perjanjian Damai (Dading) melalui Proses Negoisasi dalam Penyelesaian Sengketa Tanah di Kota Padang” oleh Irene Svinarky. 13 Penelitian tersebut mengangkat permasalahan: 1. Bagaimana kedudukan perjanjian perdamaian yang dibuat notaris dalam penyelesaian perkara melalui negosiai 2. Bagaimana proses lahirnya akta perjanjian perdamaian dalam penyelesaian perkara melalui negosiasi 3. Apa faktor-faktor yang menjadi kendala pelaksanaan perjanjian perdamaian melalui negosiasi. Hasil penelitian tersebut adalah bahwa kedudukan akta otentik memiliki kekuatan pembuktian sempurna, lahirnya akta perjanjian perdamaian diawali dengan adanya sengketa dan faktor-faktor yang menjadi kendala terutama adalah kurangnya pengetahuan hukum dari para pihak. Terdapat perbedaan mendasar dengan penelitian yang akan disusun oleh penulis, karena penulis menekankan pada acte van dading yang dibuat di hadapan notaris dalam proses mediasi penyelesaian sengketa tanah, namun tentu saja penelitian-penelitian terdahulu sangat bermanfaat bagi penelitian ini 13
Irene Svinarky. 2012, Pembuatan Akta Perjanjian Damai (Dading) Melalui Proses Negoisasi dalam Penyelesaian Sengketa Tanah di Kota Padang, Tesis S2 Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, tidak diterbitkan, Yogyakarta.
9
dan diharapkan penelitian ini dapat menjadi penelitian lanjutan dari penelitianpenelitian terdahulu.
E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis a. Pembahasan
ini
diharapkan
dapat
memberikan
manfaat
bagi
pengembangan ilmu hukum dalam bidang kenotariatan, khususnya hukum perjanjian dan hukum acara perdata terutama untuk penyelesaian di luar pengadilan dengan metode mediasi. b. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan bagi notaris, pihak mediator serta para pihak yang menempuh jalur penyelesaian di luar pengadilan dengan metode mediasi guna memperoleh hasil yang memenuhi unsur kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. 2. Manfaat Praktis Pembahasan ini diharapkan bermanfaat bagi kepentingan seluruh masyarakat, khususnya notaris dalam hal pembuatan acte van dading yang merupakan
permintaan
para pihak
penyelesaian sengketa tanah.
sebagai hasil proses
mediasi