BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sumber daya manusia aparatur negara merupakan salah satu aspek dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi perhatian dalam upaya untuk melakukan perbaikan mendasar dalam rangka reformasi birokrasi. Lemahnya kualitas sumber daya manusia aparatur negara menjadi hambatan dalam penyelenggaraan pelayanan publik di samping menjadi penghambat pelaksanaan dan pencapaian tujuan reformasi birokrasi itu sendiri. Pemerintah sebagai salah satu unsur pelaksana good governance, harus memiliki aparatur yang profesional dan disiplin dalam pekerjaannya. Dalam hal ini diperlukan adanya suatu sistem pembinaan yang baik kepada seluruh PNS dan salah satu aspek pembinaan di sini adalah pembinaan disiplin kepada para PNS tersebut. Disiplin PNS menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS yaitu, “kesanggupan Pegawai Negeri Sipil untuk menaati kewajiban dan menghindari larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan kedinasan yang apabila tidak ditaati atau dilanggar dijatuhi hukuman disiplin.” Kepatuhan Pegawai negeri Sipil terhadap peraturan-perundangan yang melekat pada mereka harus mampu menumbuhkan semangat tanggung jawab yang besar dalam melaksanakan tugas-tugas kedinasan yang diberikan, termasuk menerima hukuman atau sanksi, baik sanksi administratif maupun pidana apabila
melakukan
pelanggaran
dalam
melaksanakan
tugas
kedinasan
maupun
pelanggaran lain di luar kedinasan. Di sisi lain, penegakkan hukuman disiplin ini harus dapat ditunjang dengan kualitas pejabat pengelola kepegawaian yang mengurusi masalah disiplin ini dengan berbekal pengetahuan dan keterampilan berdasarkan penguasaan berbagai jenis peraturan kepegawaian yang terkait. Misalnya saja, Auditor Inspektorat yang berwenang melakukan pemeriksaan terhadap pihak-pihak harus memiliki keterampilan khusus dalam hal melakukan penyelidikan, pemanggilan dan menggali sedalam-dalamnya keterangan pihak-pihak dimaksud dengan tujuan memperoleh bukti-bukti yang dapat dijadikan dasar penghukuman. Penegakkan hukuman disiplin kepada PNS ini dapat dikenakan atas pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin
PNS,
Peraturan
Pemerintah
Nomor
32
Tahun
1979
tentang
Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil, Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil, serta peraturan-peraturan lain yang dapat saja dikenakan kepada PNS, seperti peraturan perundang-undangan tentang pelanggaran pidana. Sedangkan mekanisme penjatuhan hukuman disiplin sendiri diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS. Penjatuhan hukuman disiplin merupakan sebuah model pembinaan PNS yang bersifat represif. Ini merupakan pilihan terakhir yang dikenakan kepada PNS
bila sistem pembinaan awal seperti pengawasan melekat oleh atasan langsung tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Sayangnya, penjatuhan hukuman disiplin PNS di Provinsi Sumatera Barat sebagai suatu proses masih memiliki beberapa kelemahan, mulai dari kompetensi yang dimiliki pejabat pengelola kepegawaian yang mengurusi masalah pelanggaran disiplin, jumlah pejabat pemeriksa, koordinasi
antar
instansi,
hingga
kepatuhan
terhadap
peraturan
perundang-undangan. Hasilnya dapat dilihat bahwa masih banyak pelanggaran disiplin terjadi khususnya sejak Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS diberlakukan.
Tabel 1. Jumlah PNS yang dijatuhi hukuman disiplin Tahun 2011-2015 No.
Jenis Hukuman
Tahun 2011
2012
2013
2014
2015
1.
Hukuman disiplin ringan
13
4
5
17
9
2.
Hukuman disiplin sedang
1
16
6
14
17
3.
Hukuman disiplin berat
7
9
15
14
11
Jumlah
21
29
26
45
37
Sumber : BKD Prov. Sumbar, 2016
Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa pada tahun 2013 telah diputuskan penjatuhan hukuman disiplin berat untuk 15 orang pegawai dan jumlah ini adalah yang terbanyak sejak lima tahun terakhir. Dari kelimabelas PNS tersebut, 6 (enam) orang dijatuhi hukuman disiplin berupa penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun, 7 (tujuh) orang dijatuhi hukuman
disiplin pemberhentian dengan hormat tidak atas pemintaan sendiri, dan 2 (dua) orang dijatuhi hukuman disiplin pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS. Enam orang yang dijatuhi hukuman disiplin penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun, dua orang di antaranya karena terbukti melakukan pelanggaran terhadap kewajiban “Menjunjung tinggi kehormatan negara, Pemerintah, dan martabat PNS”, sedangkan perbuatan yang mereka lakukan adalah penyalahgunaan narkotika golongan I. Dari sini dapat kita lihat bahwa belum terciptanya keadilan dan kepastian hukum karena PNS yang telah terbukti secara hukum terlibat dalam penyalahgunaan narkotika masih berpeluang untuk kembali statusnya sebagai PNS. Padahal aturan yang lebih spesifik mengenai perbuatan ini telah diatur dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil yang menyatakan, “Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil karena dihukum penjara, berdasarkan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena dengan sengaja melakukan suatu
tindak
pidana
kejahatan
yang
diancam
dengan
pidana
penjara
setingi-tingginya 4 (empat) tahun, atau diancam dengan pidana yang lebih berat.” Selanjutnya satu orang di antaranya melakukan pelanggaran terhadap kewajiban “masuk kerja dan menaati ketentuan jam kerja”. Yang bersangkutan tidak masuk kerja selama 157 (seratus lima puluh tujuh) hari tanpa izin atau tidak sah. Padahal menurut Peraturan Pemerintah Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin PNS, bagi PNS yang tidak masuk kantor selama 46 (empat puluh enam) hari kerja yang dihitung secara kumulatif selama satu tahun berjalan, dikenakan
hukuman disiplin “Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS”. Namun yang terjadi di lapangan, yang bersangkutan hanya dijatuhi hukuman disiplin berupa “penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun. Kemudian tiga orang sisanya dijatuhi hukuman serupa karena tidak masuk kantor selama 31 (tiga puluh satu) hari kerja dan pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, yaitu
melangsungkan pernikahan secara siri dengan
laki-laki yang masih memiliki istri sah dan hidup bersama dengan pria di luar ikatan perkawinan yang sah. Masalah kepatuhan dan pemahaman implementor yang minim terhadap peraturan perundang-undangan mempengaruhi efektifitas dan kualitas setiap tahapan proses penjatuhan hukuman disiplin ini, termasuk dalam hal menentukan jenis hukuman atau sanksi disiplin yang dikeluarkan. Sehingga yang muncul ke permukaan seakan-akan penjatuhan hukuman disiplin PNS tebang pilih dan tidak di dasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Banyak PNS yang melakukan pelanggaran disiplin yang sama namun hukuman disiplinnya berbeda di karenakan masalah pemahaman tadi. Penjatuhan hukuman disiplin selama ini juga tidak berpengaruh pada Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan sebagaimana diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan PNS. Hukuman disiplin yang pada prinsipnya bertujuan untuk mendidik PNS agar memberikan pengaruh yang positif di dalam lingkungan kerjanya justru tidak begitu dipertimbangkan dalam penilaian DP3. Begitu juga dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS sebagai pengganti DP3 yang mulai efektif berlaku sejak tahun 2014. Walaupun di dalam peraturan tersebut ditegaskan adanya dua unsur penilaian yaitu unsur sasaran kerja pegawai dan unsur perilaku PNS, namun unsur perilaku ini belum benar-benar mempertimbangkan hukuman disiplin sebagai faktor penting yang menentukan penilaian prestasi seorang PNS dalam pekerjaannya. PNS di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat masih banyak yang berfikiran bahwa penegakan hukuman disiplin masih menggunakan paradigma lama, yaitu berdasarkan implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin PNS. Padahal terdapat perbedaan yang cukup signifikan, penambahan norma baru dan dapat dikatakan perubahan ini menuju ke arah yang lebih baik setelah lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS. Perbedaan dimaksud akan dijelaskan pada tabel 1 di bawah ini :
Tabel 2. Perbedaan PP No. 53 Tahun 2010 dan PP No. 30 Tahun 1980 No. 1.
Perbedaan
PP No. 53 Tahun 2010
PP No. 30 Tahun 1980
Pelanggaran
Pelanggaran terhadap
Setiap Pegawai Negeri Sipil
terhadap
kewajiban masuk kerja dan
wajib mentaati ketentuan
kewajiban
ketentuan jam kerja dihitung
jam kerja.
masuk kerja
secara kumulatif sampai
dan ketentuan
dengan akhir tahun berjalan.
jam kerja 2.
Tidak ada ketentuan bagi
Tindak lanjut
Pejabat berwenang yang tidak
atasan
menjatuhkan hukuman disiplin pejabat berwenang yang
langsung
kepada PNS yang melakukan
tidak menjatuhkan
pelanggaran disiplin, pejabat
hukuman disiplin.
tersebut dijatuhi hukuman disiplin oleh atasannya dengan jenis hukuman yang sama dengan yang seharusnya dijatuhkan kepada PNS yang melakukan pelanggaran disiplin. 3.
Tim Pemeriksa
Khusus untuk pelanggaran
Gubernur sesuai
disiplin yang ancaman
kewenangannya
Hukuman disiplinnya sedang
menjatuhkan hukuman
dan berat, dapat dibentuk Tim
disiplin, dapat
Pemeriksa yang terdiri dari :
memerintahkan pejabat
1. Atasan langsung
bawahannya untuk
2. Unsur pengawasan
memeriksa Pegawai
3. Unsur kepegawaian atau
Negeri Sipil yang
pejabat lain yang ditunjuk.
disangka melakukan pelanggaran disiplin.
4.
Standar
SOP Tahun 2012 tentang
Operasional
Penyelesaian Pelanggaran dan
Prosedur
Penjatuhan Sanksi PNS
Tidak ada
(SOP) Hal positif yang nampak hanya munculnya ketakutan atasan langsung atau pejabat berwenang yang tidak menjalankan kewenangannya dalam menjatuhkan hukuman disiplin. Pengawasan terhadap PNS untuk menaati kewajiban masuk kerja dan ketentuan jam kerja masih terkendala pada mekanisme pengambilan absensi yang biasa dilakukan dengan sistem rapel. Sedangkan tim pemeriksa sebagaimana dijelaskan pada poin 3, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat masih
menggunakan
kewenangan
Inspektorat
dalam
melakukan
pemeriksaan
pelanggaran disiplin. Standar Operasional Prosedur dalam penegakkan hukuman disiplin juga masih belum dijalankan dengan baik, dapat dilihat dari penyelesaian kasu-kasus pelangaran disiplin yang dibiarkan berlarut-larut. Pengawasan oleh atasan langsung merupakan tahap awal pembinaan PNS yang berpotensi atau diduga melakukan pelanggaran disiplin. Sehingga menjadi penting bagi pejabat struktural mulai dari yang paling rendah untuk melakukan pengawasan terhadap PNS di instansinya agar tidak terjadi pembiaran atas pelanggaran disiplin yang terjadi. Pengawasan jenis ini dalam praktek dikenal dengan pengawasan melekat, yang merupakan kegiatan bersifat pengendalian yang terus menerus, dilakukan oleh atasan langsung terhadap bawahannya, baik secara preventif maupun represif agar pelaksanaan tugas bawahan tersebut berjalan secara berdaya guna sesuai dengan rencana kegiatan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Upaya yang bersifat preventif yang dilakukan oleh atasan langsung ini dapat dikatakan sebagai bagian dari pembinaan pegawai. Proses pembinaan ini yang dapat menentukan apakah seorang pimpinan dapat menumbuhkan disiplin diri dari pegawai yang dibina atau malah sebaliknya, di samping kemauan kuat dari masing-masing pegawai untuk merubah dirinya sendiri. Namun seringkali proses pembinaan pada tahap ini tidak dilakukan secara maksimal dan tidak dianggap penting. Menurut Asisten Sekretaris Badan Pertimbangan Kepegawaian (BAPEK), Andrayati, menanggapi banyaknya pengaduan yang diterima BAPEK terkait pelanggaran hukuman disiplin tingkat berat, menyatakan bahwa penjatuhan
hukuman disiplin berat disebabkan kurangnya ketegasan atasan langsung pegawai dalam menangani kasus disiplin bawahannya di samping kurangnya pembinaan dan pemahaman regulasi terkait disiplin pegawai (Buletin Badan Kepegawaian Negara, Pembinaan Aparatur Sipil Negara Tekan Pelanggaran Disiplin, Edisi XXXII, 2015). Banyak para atasan yang tidak memahami peraturan dan selanjutnya menganggap bahwa setiap penyimpangan atau pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh bawahannya merupakan kewenangan langsung Inspektorat untuk memeriksanya tanpa terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan awal oleh yang bersangkutan. Besarnya peluang terjadinya pelanggaran disiplin yang dapat dilakukan oleh 8225 PNS di lingkungan Provinsi Sumatera Barat, membuat Pemerintah Daerah setempat sangat kesulitan untuk melakukan pembinaan disiplin PNS. Padahal di sisi lain, Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Sumatera Barat sebagai lembaga teknis pengelola kepegawaian dan pejabat fungsional lain yang juga bertugas menegakkan aturan disiplin PNS, dituntut untuk memiliki kemampuan dan keahlian yang baik, serta dituntut untuk bekerja profesional dalam hal pembinaan kepegawaian. Banyaknya jumlah PNS itu juga tidak dibarengi dengan efektifitas pelaksanaan penjatuhan hukuman disiplin yang cenderung memakan waktu lama. Sejak laporan pelanggaran disiplin diterima oleh Badan Kepegawaian Daerah hingga penentuan jenis hukuman disiplin keluar, bisa memakan waktu dua hingga tiga bulan. Lamanya proses penjatuhan hukuman disiplin pegawai di Sumatera Barat lebih dikarenakan mekanisme yang dipilih. Pemerintah masih menggunakan
alasan hukum Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin PNS, sebagai dasar pemberian kewenangan kepada Inspektorat Provinsi dalam melakukan pemeriksaan bagi PNS yang diduga melakukan pelanggaran disiplin. Setelah melakukan pemeriksaan, Berita Acara Pemeriksaan Inspektorat dibawa ke dalam Sidang Majelis Pertimbangan Pegawai (MPP), sebuah sidang yang bersifat ad Hoc yang bertujuan untuk memutus hukuman apa yang hendak dijatuhkan. Sidang MPP ini tidak akan berjalan apabila Sekretaris Daerah (Sekda) yang dalam hal ini bertindak sebagai pimpinan sidang tidak hadir, maka seringkali jadwal sidang yang telah lama dijadwalkan menjadi batal begitu saja karena bentrok dengan agenda Sekda lain yang sama pentingnya. Akibatnya banyak kasus kepegawaian yang masih menggantung dan tidak mendapat kepastian hukum. Hingga kini, Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Sumatera Barat dan Inspektorat Provinsi Sumatera Barat masih menjadi leading sector dalam penegakkan disiplin PNS. Sehingga kualitas dan kuantitas aparatur yang optimal yang ada di dalam kedua lembaga tersebut menjadi suatu keharusan, namun kenyataan di lapangan berkata lain. Rendahnya pemahaman aparatur pengawas di Inspektorat dan kurangnya jumlah aparatur pengelola kepegawaian di Badan Kepegawaian Provinsi Sumatera Barat yang mengangani proses penindakan terhadap pelanggaran disiplin menjadi masalah serius.
Tabel 3. Jumlah Aparatur Pengawas Internal Pemerintah di Inspektorat Provinsi Sumatera Barat 2013-2015 Jabatan Fungsional
2013
2014
2015
Madya
7
8
7
Muda
2
1
1
Pertama
2
0
9
Penyelia
2
2
2
Pelaksana Lanj
1
1
1
Pelaksana
0
0
0
Madya
4
5
6
Muda
5
8
8
Pertama
5
1
1
28
26
35
Auditor
P2UPD
Jumlah
Sumber : Inspektorat Prov. Sumbar, 2016
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa terjadi peningkatan jumlah aparatur pengawas Inspektorat yang cukup signifikan pada tahun 2015. Pengawas Penyelenggaraan Urusan Pemerintah Daerah (P2UPD) sebagian besar berasal dari inpassing. Bidang kerja Auditor Inspektorat lebih banyak menyoroti masalah keuangan, sedangkan P2UPD lebih kepada pengawasan terhadap penyelenggara urusan pemerintah daerah secara umum. Oleh karena itu, dalam penegakkan hukuman disiplin PNS kedua jenis jabatan itu sama pentingnya, terutama terhadap pelanggaran disiplin yang ada kaitannya dengan penyalahgunaan penggunaan keuangan daerah. Masih melekatnya paradigma lama dalam penegakkan hukuman disiplin PNS ini juga disebabkan sosialisasi peraturan perundang-undangan mengenai
disiplin PNS ini masih belum terselenggara secara optimal, karena masih berbentuk bimbingan teknis kepegawaian secara umum dan bersifat kondisional saja. Hal-hal yang bersifat teknis terkait penegakkan disiplin ini penting bagi pejabat teknis pengelola kepegawaian pada tiap-tiap instansi dan PNS pada umumnya, agar pemahaman yang menyeluruh terhadap substansi atau materi dari seluruh peraturan perundang-undangan mengenai disiplin ini dapat dipahami secara baik dan benar. Salah satu indikator dari kurang profesionalnya aparatur pemerintah dalam menjalankan tugasnya adalah terdapat beberapa pelanggaran disiplin yang belum ditindak, terlambat ditindak, dan hukuman disiplin yang tidak tegas atau tidak menimbulkan efek jera bagi pegawai yang melakukan pelanggaran disiplin. Hal ini terjadi sebagai akibat dari tidak dilaksanakannya prosedur penjatuhan hukuman disiplin yang benar sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS. Keberhasilan penegakkan disiplin PNS yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah semestinya dapat terlihat dari berkurangnya jumlah Pegawai Negeri Sipil yang terlibat kasus, karena proses pembinaan melingkupi langkah-langkah preventif sebelum pelanggaran itu dilakukan. Di samping itu, didapatinya beberapa orang yang sama kembali tersangkut masalah pelanggaran disiplin ini, baik dalam kasus serupa maupun kasus yang berbeda yang dilakukan beberapa tahun kemudian, menandakan bahwa ada masalah dalam pembinaan dimaksud, seringkali hukuman yang diberikan tidak setimpal dengan perbuatan yang telah dilakukan serta efek yang ditimbulkannya. Alhasil hukuman disiplin yang
diberikan tidak memberikan efek jera bagi pegawai yang bersangkutan dan jauh dari rasa keadilan. Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur utama penggerak roda pemerintahan di republik ini harus menampilkan jiwa pengabdi yang menjunjung tinggi kepatuhan terhadap segala peraturan perundang-undangan yang dikenakan kepadanya. Pemerintah tidak boleh takut kehilangan beberapa orang pegawainya karena konsekuensi pemberhentian atau pemecatan sebagai akibat pelanggaran disiplin yang dilakukannya. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat seperti halnya daerah-daerah lain hanya membutuhkan aparatur negara yang mampu menjunjung tinggi martabat dan citra kepegawaian demi kepentingan masyarakat dan negara. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, terdapat beberapa pertanyaan yang ingin dicarikan jawabannya dalam penelitian ini : 1. Bagaimana implementasi kebijakan penjatuhan hukuman disiplin Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat ? 2. Faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menghambat dalam proses implementasi kebijakan penjatuhan hukuman disiplin Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat ? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui implementasi kebijakan penjatuhan hukuman disiplin Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat ?
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menghambat dalam proses implementasi kebijakan penjatuhan hukuman disiplin Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat ? D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan literatur untuk kajian implementasi kebijakan publik dalam Ilmu Administrasi Publik dan referensi bagi para pejabat pengelola kepegawaian dalam menerapkan kebijakan pemerintah terutama yang berkaitan dengan penjatuhan hukuman disiplin Pegawai Negeri Sipil. E. Studi Pustaka Beberapa penelitian terdahulu yang beraitan dengan disiplin PNS di antaranya penelitian yang dilakukan oleh Omolara (2015), dimana dalam penelitiannya berfokus pada upaya konseptualisasi aturan disiplin dalam penyelenggaraan layanan publik. Tujuan dari penelitian ini adalah berupaya memberi saran atau “obat mujarab” tentang bagaimana mengelola disiplin pada layanan publik. Dengan pengelolaan disiplin yang benar diharapkan akan tercipta kinerja yang optimal dari Pegawai Negeri Sipil sebagai penggerak birokrasi. Di antara saran-saran tersebut antara lain pengelolaan disiplin yang adil dan konsisten, adanya peran kepemimpinan yang baik, humanisasi kondisi kerja dan layanan, serta penegakkan hukum. Hampir serupa dengan penelitian Omolara, Ehiyamen, dkk (2009) juga berupaya
membuat
beberapa
rekomendasi
untuk
mengatasi
masalah
ketidakdisiplinan ini diantaranya memperbaiki sistem pengupahan pegawai, pemberantasan korupsi, penyatuan etnis, berorientasi kinerja, menumbuhkan motivasi dan kepercayaan diri dari pimpinan, penegakkan disiplin yang progresif, dan kepercayaan. Beberapa jenis tindakan indisipliner seperti terlambat masuk kantor, malas, penyuapan, korupsi, penggelapan atau penyalahgunaan wewenang dipandang sebagai penyebab rendahnya produktivitas dan merupakan tindakan kontra-produktif dalam pencapaian tujuan organisasi. Burns (2007) melakukan penelitian mengenai reformasi sistem pelayanan publik di Cina dengan menyentuh disiplin pegawai sebagai salah satu aspek reformasi yang dilakukan. Pembenahan disiplin pegawai dinilai sebagai salah satu upaya
meningkatkan
kapasitas
layanan sipil.
Dengan tidak mentolerir
ketidakdisiplinan dan korupsi yang dilakukan oleh semua pegawai tanpa terkecuali merupakan solusi memperbaiki layanan sipil di Cina yang heterogen. Penelitian ini juga memberikan rekomendasi kebijakan untuk mengatasi masalah ketidakdisplinan dan korupsi seperti memastikan berjalannya sistem rotasi dan audit kehidupan keluarga pejabat tinggi. Buffon (1979) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa diperlukan tinjauan ulang mengenai tujuan pemberian hukuman disiplin kepada pegawai. Apakah tujuannya tidak lain dalam rangka pembinaan atau ada tujuan-tujuan lain di luar itu. Lembaga yang bertanggung jawab dalam mengelola disiplin ini harus bersikap profesional, misalnya dengan menunjukkan bukti-bukti pelanggaran disiplin
serta
melakukan
proses
penjatuhan
hukuman
disiplin
dengan
menghormati norma-norma hukum yang lebih tinggi. Di samping itu, lembaga itu
juga harus memastikan bahwa pelanggaran disiplin yang dilakukan memang berdampak pada pemerintah atau lebih tepatnya merugikan pemerintah. Penelitian ini mencoba menentukan norma-norma yang harus diperhatikan dalam menentukan putusan hukuman disiplin dan putusan banding. Sedangkan Gundu (2011) melakukan penelitian mengenai upaya mencegah kesalahan etika dan penegakkan prinsip-prinsip etika dalam pelayanan publik. Mekanisme yang ditawarkan dalam meningkatkan etika pelayanan publik adalah dengan menangani kesalahan serta menegakkan standar etika, komitmen politik dari otoritas politik yang lebih tinggi, serta menjaga indeks kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan publik. Ajila dan Otamoyo (2002) mangkaji disiplin pekerja dalam organisasi bisnis. Dalam penjatuhan hukuman disiplin pada organisasi bisnis, hukuman harus difokuskan pada pelanggaran yang dilakukan bukan pada karyawan itu sendiri karena akan terjadi subjektifitas dalam penghukuman. Sebelum penjatuhan hukuman, penyelidikan harus dilakukan dengan adil dan benar untuk menghindari putusan yang bias. Terakhir, bahwa tujuan hukuman disiplin sebenarnya tidak semata-mata untuk menghukum tapi juga untuk mendidik karakter dalam melawan kecenderungan negatif dari karyawan. Sementara Penelitian di Indonesia yang berkaitan dengan disiplin PNS ini diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Yarmanses dan Sulistyaningsih (2014), Fadmie (2015), Hidayat, dkk (2014), Thahier (2015), dan Hafrizal, dkk (2013). Tetapi kebanyakan penelitian tersebut hanya membahas disiplin PNS atau implementasi disiplin PNS secara umum dan tidak spesifik atau fokus pada proses
penegakkan disiplinnya. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Yarmanses dan Sulistyaningsih (2014), membahas implementasi peraturan disiplin PNS berdasarkan PP No. 53 Tahun 2010 tentang disiplin PNS. Kemudian menganalisis berbagai penyebab banyaknya PNS yang melanggar disiplin,diantaranya disebabkan karena minimnya sosialisasi, minimnya SDM, minimnya pengawasan, rendahnya kesejahteraan, dan penerapan sanksi yang tidak tegas. Sedangkan Fadmie (2015), juga membahas implementasi PP No. 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS. Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling dan menggunakan metode deskriptif kualitatif dalam teknik analisis datanya. Kemudian Hidayat, dkk (2014) menjelaskan bagaimana gambaran disiplin PNS di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Berau berdasarkan beberapa variabel, diantaranya penggunaan waktu secara efektif, ketaatan terhadap peraturan, dan tanggung jawab dalam melaksanakan pekerjaan. Selanjutnya Thahier (2015), yang berupaya mengetahui kendala dan menentukan solusi dalam peningkatan disiplin PNS di Sekretariat Daerah Provinsi Sulawesi Barat. Penelitian ini merupakan metode penelitian kualitatif dengan sumber data kepustakaan dan informan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa kendala pemerintah dalam meningkatkan disiplin PNS adalah karena kurang tegasnya sanksi yang diberikan sehingga tidak memberikan efek jera atau shock therapy kepada PNS yang melakukan pelanggaran disiplin. Terakhir, penelitian yang dilakukan Hafrizal, dkk (2013) mengenai mekanisme pengawasan melekat. Optimalisasi pengawasan melekat ini bertujuan agar PNS mengetahui dan
menyadari akan tugas dan fungsinya, sehingga segala bentuk penyimpangan seperti pelanggaran disiplin dapat cepat diantisipasi sejak awal. Perbedaan beberapa penelitan diatas dengan penelitian ini, bahwa tidak satupun dari penelitian tersebut yang mengkaji secara mendalam bagaimana penerapan pemberian sanksi disiplin kepada PNS, bagaimana mekanisme dan dinamika yang terjadi dalam setiap tahapan proses yang dilakukan hingga sanksi atau hukuman disiplin itu dikeluarkan. Fokus kajian beberapa penelitia diatas hanya berkaitan dengan implementasi aturan disiplin PNS secara umum, seperti bagaimana melakukan konseptualisasi aturan disiplin dalam pelayanan publik, identifikasi tindakan indisipliner PNS, pembenahan disiplin dalam reformasi sistem layanan publik, faktor pendukung dan penghambat terwujudnya disiplin PNS yang di dalamnya disinggung permasalahan penerapan sanksi yang tidak tegas terhadap PNS yang melakukan pelanggaran displin. Dalam penerapannya, penjatuhan hukuman disiplin PNS yang didahului dengan
beberapa tahapan prosedur pemeriksaan yang dilakukan selama ini,
tidak memberikan efek jera atau shock therapy bagi pegawai lain untuk melakukan pelanggaran disiplin dan tidak dapat mengurangi jumlah pelanggaran disiplin yang terjadi selama ini. Padahal Pemerintah akan semakin dirugikan dengan banyaknya pelanggaran disiplin yang dilakukan pegawainya, begitupun sebaliknya, hukuman disiplin yang dijatuhkan kepada PNS tidak hanya dapat merugikan PNS yang bersangkutan tetapi juga keluarganya. Oleh karena itu, peneliti dalam konteks ini mencoba untuk menggambarkan serta menganalisis setiap tahapan dari proses penjatuhan hukuman disiplin PNS yang merupakan
salah satu kebijakan pemerintah daerah dalam memberikan kepastian hukum bagi setiap pegawainya yang terlibat pelanggaran disiplin. F. Sistematika Penulisan Tesis Penelitian ini terdiri dari lima bab yang disajikan dalam sistematika sebagai berikut : BAB I menguraikan latar belakang masalah yang menjelaskan alasan pengambilan implementasi kebijakan penjatuhan hukuman disiplin PNS sebagai topik penelitian dengan mengemukakan beberapa permasalahan dalam proses penindakan pelanggaran disiplin ini yang menarik untuk diteliti, selanjutnya adalah pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan studi pustaka yang memuat beberapa penelitian terdahulu. BAB II menjabarkan kerangka teori secara sistematis. Kerangka teori ini akan menjadi argumen teoritis bagi penulis untuk menjawab pertanyaan penelitian, yang terdiri dari kebijakan penjatuhan hukuman disiplin PNS sebagai kebijakan publik, implementasi kebijakan publik, pendekatan dalam implementasi kebijakan publik, model-model kebijakan publik yang di dalamnya dijelaskan rasionalisasi pengambilan model implementasi kebijakan George C. Edward III yang dinilai tepat, selanjutnya adalah kebijakan disiplin PNS, dan diakhiri dengan penggunaan alur kerangkan pikir dalam penelitian ini. BAB III menjelaskan metode penelitian yang kemudian digunakan dalam penelitian ini, beberapa diantaranya adalah alasan pengambilan Kota Padang sebagai lokasi penelitian, jenis penelitian, strategi penelitian studi kasus untuk membantu peneliti menganalisis proses kebijakan penjatuhan hukuman disiplin
PNS ini secara lebih mendalam, kemudian sumber data yang diperoleh, definisi operasional, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data yang digunakan. Pemilihan metode penelitian didasarkan pada seberapa jauh mana metode-metode ini dapat membantu peneliti untuk menjawab permasalahan penelitian secara komperehensif dan lebih mendalam. BAB IV menjelaskan implementasi kebijakan penjatuhan hukuman disiplin sebagai upaya penindakan pelanggaran disiplin yang dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat. Dalam menganalis implementasi kebijakan tersebut, penulis menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasinya dengan menggunakan model implementasi kebijakan yang dikembangkan George C. Edward III yang meliputi empat variabel yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi/sikap pelaksana, dan struktur birokrasi. BAB V berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan yang di dalamnya mengulas bagian-bagian penting penelitian terutama berupa jawaban dari permasalahan penelitian yang diajukan oleh penulis, serta saran berupa poin-poin penting yang ditemukan dalam penelitian yang dapat dipertimbangkan dan dikembangkan atau ditindaklanjuti dalam penelitian- penelitian berikutnya.