BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Posisi Laut Cina Selatan sebagai jalur perairan utama dalam kebanyakan
ekspedisi laut, yang juga berada diantara negara-negara destinasi perdagangan, dan terlebih lagi karena potensinya akan sumber daya minyak, menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian masyarakat internasional untuk turut “bermain” di area tersebut. Bukan hal yang mengherankan apabila kini persengketaan di Laut Cina selatan semakin menarik berbagai pihak yang memiliki kepentingan. Tidak hanya negara-negara pengklaim namun juga kekuatan-kekuatan maritim eksternal yang memandang Laut Cina Selatan sebagai jalur laut yang esensial. M eski bukan termasuk kekuatan maritim yang berpengaruh di kawasan, negara-negara ASEAN, yakni Filipina, Vietnam, M alaysia, dan Brunei mulai turut terlibat dalam persengketaan wilayah tertitorial Laut Cina Selatan , bersama dengan Cina. Berbagai alasan menjadi dasar klaim pihak-pihak tersebut. Namun dari segi kekuatan, keempat negara claimants dari ASEA N, terlihat kurang memadai untuk dapat memenangkan persaingan terhadap Cina. ASEAN
sebagai
organisasi
regional
era
Perang
Dingin,
memiliki
keanggotaan dengan latar belakang sosio-kultural dan orientasi politik yang berragam. Pendapat ini didukung oleh pernyataan dari Bruce Russet, seorang peneliti sosial politik, bahwasanya terdapat setidaknya 5 karakteristik yang harus dimiliki suatu organisasi kawasan, antara lain, 1.) kemiripan sosio kultural, 2.) kemiripan sikap politik atau perilaku eksternal, 3.) keanggotaan yang sama dalam institusi, 4.) interdependensi ekonomi, dan 5.) kedekatan geografis.
1
Berdasarkan karakteristik tersebut, ASEA N dianggap terlalu heterogen sebagai suatu kawasan, disamping itu orientasi politik negara -negara anggotanya pun berbeda-beda. Sementara dalam hal ekonomi, terdapat perbedaan GNP per kapita yang mencolok antara satu dengan yang lainnya. Terlebih lagi dari segi 1
B. Russett, International Regions and the International System; A Study in Political Ecology , Rand M cNally and Company, Chicago, 1967
1
interdependensi ekonomi, secara umum negara anggota ASEAN masih lebih tergantung dengan negara besar di luar kawasan. Hanya keanggotaan institusi dan kedekatan geografis AS EAN lah yang menurut Bruce memenuhi karakteristik suatu organisasi kawasan, itupun tak jarang menuai konflik antar anggota. Terlepas dari tingginya heterogenitas ASEA N, kembali lagi ke isu sengketa Laut Cina Selatan yang secara geografis berada berada dekat dengan kawasan Asia Tenggara, sehingga tidak aneh apabila ASEAN turut mengambil tindakan dari tingkat regional, yaitu mengadopsi deklarasi manila atau Declaration on the South China Sea di tahun 1992. M elihat respon dari tingkat regional ASEAN, muncul pertanyaan mengenai strategi ASEAN dalam menghadapi Cina pada sengketa Laut Cina Selatan. Namun ketika
mempertimbangkan
kembali
akan
tingginya
heterogenitas
dalam
keanggotaan ASEA N sendiri, maka menjadi penting untuk diteliti lebih lanjut, tentang bagaimana heterogenitas ASEA N mempengaruhi strategi ASEAN sebagai organisasi, di Laut Cina Selatan. Skripsi ini hendak membahas perbedaan strategi negara-negara anggota ASEAN dalam menghadapi Cina di Laut Cina Selatan yang kemudian membentuk strategi ASEAN secara kelembagaan. Isu ini dipilih untuk diangkat ke permukaan, pasalnya dengan kapasitas yang relatif tertinggal dibandingkan Cina , 4 negara anggota ASEAN muncul sebagai kontestan baru dalam persaingan kekua saan di Laut Cina Selatan. Hal ini kemudian menempatkan ASEAN dibawah lampu sorot perhatian masyarakat internasional, mengingat heterogenitas ASEAN merupakan faktor yang kerap dianggap melemahkan ASEAN sebagai organisasi regional. M aka dari itu pengaruh heterogenitas negara anggota ASEAN dalam membentuk sikap dan strategi AS EAN secara kelembagaan guna menghadapi Cina di Laut Cina Selatan, menjadi hal yang menarik untuk diteliti lebih lanjut.
2
B. Rumusan Masalah Bertolak dari latar belakang diatas, maka terdapat sebuah rumusan masalah, yaitu: 1. Bagaimana strategi negara anggota ASEAN dalam menghadapi C ina di Laut Cina Selatan? C. Kerangka Berpikir Untuk memahami perilaku strategis negara -negara anggota ASEA N menghadapi Cina dalam sengketa Laut Cina Selatan, cara pikir realisme struktural akan digunakan sebagai alat bantu untuk menganalisa temuan -temuan penelitian dalam skripsi ini. Berbeda dengan realisme klasik yang menganggap bahwa hausnya negara akan kekuasaan disebabkan oleh sifat alamiah manusia, menurut pemikiran realisme struktural negara menjadi haus kekuasaan karena dipengaruhi oleh struktur dalam sistem internasional. Berdasarkan realisme struktural yang dipahami Kenneth N. Waltz, sistem internasional tidaklah bersifat hierarkis, melainkan anarkis, dimana distribusi kekuatan memiliki pengaruh yang sangat besar didalamnya.
2
Sistem internasional yang anarkis, tidak menyediakan kekuatan
tertinggi diatas negara-negara great powers, dan tidak ada pula menjamin bahwa tidak akan ada negara yang meluncurkan serangan. M aka sangat masuk akal apabila masing-masing negara berusaha memperoleh kekuasaan, setidaknya untuk dapat melindungi diri dari serangan yang dapat terjadi sewaktu -waktu. pemahaman
realisme
struktural
Waltz,
kemudian
muncul
3
Dari
percabangan -
percabangan realisme struktural, yakni offensive realism dan defensive realism. Offensive Realism Pemikiran ini menganggap bahwa keamanan adalah sesuatu yang langka. Sementara sistem internasional yang anarkis, didukung dengan ketidakpastian akan intensi tiap-tiap negara, menunjukkan bahwa masing-masing negara harus berkompetisi dalam memperoleh keamanan, yang diartikan sebagai kemampuan
2
S. E. Lobell, „Structural Realism / Offensive and Defensive Realism,‟ dalam R. A. Denemark (ed.), The International Studies Volume X , Blackwell Publishing Ltd, UK, 2010, p. 6651 3 J. J. M earsheimer, „Structural Realism,‟ dalam T. Dunne, M . Kurki, & S. Smit h (eds.), International Relation Theories Discipline and Diversity , Oxford University Press, New York, 2007, p. 72
3
untuk bertahan. M aka dari itu muncul pemahaman bahwa yang paling kuat adalah yang aman dan dapat bertahan. Sehingga ketidakpastian dan sistem internasional yang anarkis memang kemudian mendorong masing -masing negara untuk berlomba-lomba menerapkan kebijakan yang agresif, seperti kebijakan ekspansi. Dalam offensive realism kebijakan agresif akan selalu terbayar pada akhirnya, karena ketidakpastian intensi negara -negara lain menunjukkan bahwa serangan dapat terjadi kapanpun. M aka mengantisipasi kemungkinan terburuk adalah langkah yang tepat. M elalui kebijakan agresif inilah k emudian negaranegara dengan cara pikir offensive realism berupaya mengubah balance of power, memanfaatkan kerugian-kerugian yang dialami negara lain untuk memperoleh kekuatan,
serta
melemahkan
atau
menghalangi kompetitor
potensial. Dalam pemikiran ini pula, berangkat dari sistem internasional yang anarkis, tiap-tiap negara memiliki pikiran yang sama terhadap satu sama lain, dimana terdapat ketakutan akan ketergantungan, kerentanan, dan kecurangan, sehingga kompetisi keamanan akan berlangsung terus mener us secara konstan.
4
Defensive Realism Bertolak belakang dengan offensive realism, pemikiran defensive realism beranggapan bahwa keamanan merupakan hal yang berlimpah. Tindakan yang patut dilakukan terkait situasi tersebut ialah memaksimalkan perolehan keam anan, bukan memaksimalkan perolehan kekuatan. M aksimalitas keamanan ini
hanya
dapat
diperoleh
melalui
kebijakan-kebijakan
defensif,
yakni
5
berperilaku moderat dan terkendali guna menjaga balance of power yang telah ada. M enurut pemikiran defensive realism, kompetisi perolehan kekuatan dengan menunjukkan keunggulan masing-masing, tidak akan berakhir produktif, lantaran dapat memunculkan security dilemma yang mendorong upaya untuk saling mengimbangi. Adapun
terkait
kebijakan-kebijakan
agresif
seperti
ekspansi
maupun
penakhlukan negara lain, defensive realism menganggap bahwa hal tersebut
4 5
Lobell, p. 6652 Lobell, p. 6658
4
6
jarang sekali menguntungkan. Terdapat setidaknya 4 alasan yang menjelaskan, yaitu pertama karena dapat menjadi senjata makan tuan lantaran menimbulkan perilaku
saling
mengimbangi;
kedua,
nasionalisme
modern
membuat
pengorbanan menjadi jauh lebih besar; ketiga, perekonomian di era informasi modern membuat tiap-tiap negara menjadi sulit untuk menyerang satu sama lain; dan terakhir karena mengendalikan masyarakat yang “ politically hostile” akan memakan biaya yang besar.
Pemikiran offensive realism yang selalu mengupayakan maksimalisasi perolehan kekuatan, sementara defensive realism yang lebih mengupayakan maksimalisasi perolehan keamanan, memberikan gambaran tentang bagaimana suatu negara akan bertindak ketika dihadapkan pada munculnya kekuatan asing yang memiliki potensi mengancam. Strategi menghadapi ancaman yang lebih mengutamaka n maksimalisasi kekuatan adalah balancin g, yaitu bergabung dengan pihak yang lebih lemah atau tidak mengancam , untuk melawan atau mengimbangi kekuatan besar yang 7
mengancam . Dibuktikan dengan 2 alasan utama yang mendorong suatu negara untuk memilih penerapan strategi ini, yaitu 1.) karena hegemon potensial harus dicegah
sebelum
menjadi
terlalu
kuat
supaya
survival-nya
dapat
tetap
dipertahankan; 2.) karena dengan bergabung dengan negara yang lebih lemah, akan meningkatkan pengaruh dalam aliansi, mengingat ne gara yang lebih lemah membutuhkan lebih banyak asistensi. M elalui 2 alasan tersebut, terlihat bahwa strategi balancing mengedepankan pemeliharaan survival-nya dan peningkatan pengaruh atas negara lain, yang mana keduanya dilakukan untuk tujuan perolehan kekuatan lebih. Sedangkan strategi menghadapi ancaman yang lebih memprioritaskan maksimalisasi keamanan disebut dengan bandwagoning, yaitu strategi untuk 8
memihak pada kekuatan besar yang mengancam , atau singkatnya untuk berada di pihak yang menang. D iperjelas dengan 2 motivasi utama negara dalam menerapkan 6
Lobell, p. 6659 S. M. W alt, „Alliances: Balancing And Bandwagoning,‟ dalam R. J. Art and R. Jervis ( eds.), International Politics: Enduring Concepts and Contemporary Issues , 8 th edn, Pearson/Longman, New York, 2007, pp.110-111 8 S. M. W alt, The Origins of Alliances, Cornell University Press, Itacha, 1987, p. 17 7
5
strategi ini, yakni, 1.) untuk turut memperoleh keuntungan yang didapatkan oleh negara kuat; 2.) untuk menghindari potensi ancaman dari negara kuat tersebut. Kedua motivasi tersebut menunjukkan bahwa perolehan kekuatan bukanlah tujuan utama dari strategi ini, dimana tanpa kekuatan atau superioritas tertinggi pun, suatu negara tetap dapat memperoleh keamanan yaitu dengan mendukung preservasi distribusi kekuatan yang telah ada. M enurut Walt, melalui tulisannya
dalam
“Alliances: Balancing and
Bandwagoning” terdapat beberapa situasi yang mempengaruhi dipilihnya kedua 9
strategi di atas. Pertama terkait faktor kepercayaan, dimana ketika antara suatu negara dengan negara kuat tidak saling mempercayai, maka untuk melakukan bandwagoning akan sangat beresiko, sehingga balancing akan lebih dirasa tepat. Kedua, terkait faktor kapasitas nasional suatu negara dalam tatanan internasional. Ketika kekuatannya tidak dapat mempengaruhi distribusi kekuatan dalam struktur sistem internasional, maka bandwagoning menjadi pilihan. Namun bila suatu negara memiliki potensi cukup besar untuk dapat mempengaruhi distribusi kekuatan, maka balancing akan diterapkan. Terakhir, faktor yang cukup sederhana yakni mengenai ketersed iaan koalisi. D imana tanpa negara lain untuk diajak berkoalisi, maka suatu negara tidak akan mampu melakukan strategi balancing. Kerangka konseptual di atas akan digunakan sebagai alat bantu analisa untuk memahami strategi negara anggota ASEAN. Offensive realism dan balancing untuk menjelaskan negara-negara anggota ASEAN yang memiliki kecenderungan menolak tindakan-tindakan Cina di Laut Cina Selatan, sementara defensive realism dan bandwagoning untuk menjelaskan negara anggota ASEA N yang cenderung membiarkan hal itu terjadi dan terus membangun hubungan kerjasama bilateral dengan Cina.
D. Hipotesis Dari uraian diatas, diajukan hipotesis sementara sebagai berikut: Dalam menghadapi Cina pada kasus Sengketa Laut Cina Selatan, ASEA N tidak memiliki strategi tunggal. Hal tersebut disebabkan oleh kepentingan dan orientasi politik negara anggotanya yang heterogen. M eski demikian terdapat 9
W alt, „Alliances: Balancing And Bandwagoning,‟ pp. 110-115
6
kecenderungan-kecenderungan dari tindakan dan sikap masing-masing negara anggota yang kemudian m embentuk strategi AS EAN secara umum, sehingga ASEAN
dapat
dikatakan
memiliki
strategi
ganda
yakni,
balancing
dan
bandwagoning. Dengan pertimbangan akan keterlibatan negara anggota ASEAN dalam isu Laut Cina Selatan, hubungan bilateral negara anggota ASEA N dengan C ina, serta dibantu dengan kerangka konseptual, diprediksi bahwa F ilipina dan Vietnam merupakan negara anggota ASEA N yang sikapnya menunjukkan kecenderungan ke arah strategi balancing. Sementara Kamboja, M yanmar, dan Laos menunjukan sikap yang cond ong pada penerapan strategi bandwagoning. Sedangkan M alaysia, Brunei, Indonesia, Singapura, dan Thailand tidak menunjukkan kecenderungan ke sisi manapun dan lebih mengutamakan netralitas dalam bersikap, yang mana akan digolongkan ke dalam kategori “middle path”.
E. Sistematika Penulisan Skripsi ini akan membahas mengenai strategi yang digunakan oleh negaranegara anggota ASEAN dalam menghadapi Cina di Laut Cina Selatan. F okus dalam penelitian ini adalah Cina dan negara anggota ASEAN dalam kasus sengketa Laut Cina Selatan pasca tahun 1990. Pembahasan dalam skripsi ini akan diuraikan dalam 4 bab, diawali dengan bab pendahuluan yang menerangkan mengenai elemen-elemen utama dalam penulisan skripsi ini, antara lain latar belakang, rum usan masalah, kerangka berpikir, hipotesis, dan sistematika penulisan. Sementara pada bab II penulisan sudah memasuki tahap pembahasan, yakni mengenai sengketa Laut Cina selata n sebagai permasalahan dalam hubungan negara anggota ASEAN dengan Cina. Pada bab ini akan terdapat 3 sub bab yang menguraikan tentang Isu Laut Cina Selatan, sikap negara anggota ASEAN dan Cina dalam Sengketa Laut Cina Selatan, serta perubahan struktur distribusi kekuatan di A sia Tenggara. Selanjutnya, temuantemuan di bab II akan dianalisa pada bab ke III yang terdiri dari 3 sub bab untuk menjelaskan strategi pilihan negara anggota ASEA N dengan menggunakan kerangka konseptual yang ditetapkan. Pembahasan kemudian diakhiri pada bab ke4 yang akan merangkum inti dari keseluruhan skripsi ini.
7