1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Dinamika kehidupan masyarakat selalu menunjukkan dua pola yang berlawanan satu sama lain yaitu pola asosiatif dan disasosiatif. Salah satu pola disasosiatif adalah berkembangnya kriminalitas dalam kehidupan masyarakat. Mengenai hal ini, Arif Gosita menulis bahwa “masalah kriminilitas merupakan suatu kenyataan sosial yang tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan masalah sosial, ekonomi, politik, dan budaya, sebagai fenomena yang ada dalam masyarakat dan saling mempengaruhi satu sama lain.”1 Kriminalitas selalu ada di tengah-tengah masyarakat. Donal
Ressy
sebagaimana
dikutip
oleh
Soerjono
Soekanto
menyebutkan bahwa kejahatan disebabkan karena kondisi-kondisi dan proses-proses sosial yang sama, yang menghasilkan perilaku-perilaku sosial lainnya.2 Selanjutnya dikatakan bahwa analisis terhadap kondisi dan prosesproses tersebut menghasilkan dua kesimpulan, yaitu pertama terdapat hubungan antara variasi angka kejahatan dengan variasi organisasi-organisasi sosial di mana kejahatan tersebut terjadi. Tinggi rendahnya angka kejahatan berhubungan erat dengan bentuk-bentuk dan organisasi-organisasi sosial
1 2
Arif Gosita, 2004, Masalah Korban Kejahatan, Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hal. 2.
Soerjono Soekanto, 2005, Sosiologi Suatu Pengantar, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 366-367, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I).
2
dimana kejahatan itu terjadi.3 Salah satu kejahatan yang mengundang wacana publik adalah tindak pidana terorisme. Aksi kekerasan berbau teror muncul seiring dengan tingkat peradaban manusia. Hal ini dapat ditelusuri dari tulisan Xenophon (431-350) mengenai perang psikologi, kekerasan bangsa Roma yang terjadi di Spartacus pada tahun 73 M serta sejarah bagaimana Kaisar Tibeius (14-37 SM) yang berupaya
menyingkirkan,
membuang,
merampas
harta
benda
dan
menghukum lawan-lawan politiknya.4 Meskipun praktik teror telah dimulai pada masa sebelum masehi namun istilah teror dan terorisme baru muncul dalam kosa kata ilmiah pada abad ke-18. Menurut Grant Wardlaw dalam bukunya yang berjudul Political Terrorism, manifestasi terorisme sistematis muncul sebelum Revolusi Perancis, tetapi baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam suplemen kamus yang dikeluarkan Akademi Perancis tahun 1798, terorisme lebih diartikan sebagai sistem rezim teror. Oleh sebab itu kata terorisme sesungguhnya berasal dari Bahasa Perancis yakni le terreur yang semula dipergunakan untuk menyebut tindakan pemerintah hasil Revolusi Perancis yang mempergunakan kekerasan secara brutal dan berlebihan dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan anti pemerintah. Selanjutnya kata terorisme dipergunakan untuk menyebut gerakan kekerasan
3 4
Ibid., hal 367.
Dikdik M Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2005, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, Refika Aditama, Bandung, hal. 48.
3
anti pemerintah di Rusia.5 Hingga kini kata terorisme selalu diidentikkan dengan kekerasan dan ancaman kekerasan. Terorisme di Indonesia adalah terorisme gelombang ke empat yang berbasis pada terorisme agama. Kasus terorisme pertama kali terjadi di Indonesia pada 28 Maret 1982 saat peristiwa pembajakan pesawat Garuda DC-9 Woyla jurusan Palembang-Medan. Para pelaku teror adalah kelompok Komando Jihad yang menuntut agar para rekannya yang ditahan pascaperistiwa Cicendo di Bandung, Jawa Barat, dibebaskan. Teroris bermotif jihad yang kedua, dilakukan pada 21 Januari 1985 dengan aksi pengeboman di Borobudur. Kasus terorisme semakin marak dengan pengeboman di sejumlah kedutaan besar dan gereja. Sejumlah kasus terorisme yang terjadi di Indonesia seperti pengeboman yang terjadinya Bom Bursa Efek Jakarta, Kasus Bom Bali I dan Bom Bali II, pengeboman di hotel JW Marriot dan Ritz Calrton, bom buku dan bom di Mesjid Polresta Cirebon menjadi catatan hitam dalam stabilitas keamanan Indonesia di mata dunia. Lebih lanjut Abdul Wahid dkk dalam bukunya yang berjudul “Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum” menyatakan: Terorisme bukan hanya kejahatan yang mengancam dan merusak keamanan dan keutuhan suatu bangsa dan negara, tetapi juga merusak tatanan dan kedamaian masyarakat internasional. Harmonisasi global dapat terkoyak karena bisa jadi masing-masing negara saling mencurigai dan mengecam negara yang lain, karena ada di antara tersangka aau pelakunya berasal dari negara tersebut.6 5
Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III, Desember 2002, hal. 30. 6
Abdul Wahid dkk ., 2004, Kejahatan Terorisme Perspektif Agama, HAM dan Hukum, Refika Aditama, Bandung, hal. 13,
4
Dilihat dari gelombang aksi terorisme yang terjadi di Indonesia maka dapat diketahui bahwa aksi-aksi terorisme di Indonesia dilatarbelakangi dari ketidakpuasan kelompok tertentu yang berbasis agama terhadap kelompok lain yang dianggap bertentangan ajaran-ajaran agama Islam. Aksi terorisme di Indonesia ditujukan kepada gereja, warga negara asing yang dianggap kafir, perusahaan transnasional, kedutaan dan sebagainya. Perkembangan tindak pidana terorisme baik dari segi kualitas dan kuantitas harus diikuti dengan perkembangan strategi untuk menanggulanginya. Jaringan terorisme di Indonesia dapat dikatakan tumbuh subur, bahkan teroris yang berwarga negara Indonesia termasuk dalam tokoh teroris berskala internasional. Hal ini disebabkan karena perekrutan jaringan terorisme yang cukup mudah dilakukan. Penyebaran doktrin terorime dilakukan melalui pesantren di daerah-daerah yang menjadi kantong-kantong kemiskinan. Perekrutan jaringan terorisme tidak dilakukan dengan cara-cara kekerasan melainkan melalui pendekatan persuasif melalui ajaran-ajaran agama. Tumbuh suburnya jaringan terorisme di Indonesia juga disebabkan karena tidak adanya pidana terhadap orang-orang yang secara nyata mendukung aksi terorisme. Doktrin-doktrin terorisme dapat disebarkan secara bebas melalui pemberitaan media televisi, koran dan buku. Pemerintah Indonesia sesungguhnya telah memiliki komitmen yang kuat dalam memberantas terorisme di tanah air. Hal ini terlihat dari dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pada Peristiwa
5
Peledakan Bom Bali Tanggal 12 Oktober 2002 pasca peristiwa Bom Bali I yang kemudian disetujui untuk menjadi Undang-undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang. Di tingkat internasional, pemerintah telah meratifikasi konvensi anti terorisme tingkat ASEAN atau ASEAN Convention on Counter Terrorism (ACCT) melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Asean Convention on Counter Terrorism (Konvensi Asean Mengenai Pemberantasan Terorisme). Untuk menangggulangi aksi-aksi terorisme, pemerintah secara resmi membentuk Detasemen Khusus (densus) 88. Densus 88 adalah salah satu dari unit anti teror di Indonesia, disamping Detasemen C Gegana Brimob, Detasemen Penanggulangan Teror (Dengultor) TNI AD alias Grup 5 Anti Teror, Detasemen 81 Kopassus, TNI AD (Kopassus sendiri sebagai pasukan khusus juga memiliki kemampuan anti teror), Detasemen Jalamangkara (Denjaka) Korps Marinir TNI AL, Detasemen Bravo (Denbravo) TNI AU, dan satuan anti-teror BIN.7 Komitmen pemerintah juga terlihat pada pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang dikepalai oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Marsekal TNI (Purn) Djoko Suyanto melantik Irjen Pol (Purn) Ansyaad Mbai.
Wikipedia, 2011, “Detasemen Khusus 88”, Serial Online 05:28, 24 Maret 2011, (Cited 2011 May 18), available from: URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Detasemen_Khusus_88 7
6
Komitmen
pemerintah
dalam
penanggulangan
terorisme
perlu
dilakukan dengan baik mengingat tingginya angka kasus kejahatan ini. Data yang dipublikasi Polri pada September 2010 menunjukkan jumlah pelaku teroris yang berhasil ditanggulangi sejak tahun 2000 adalah sebanyak 563 teroris telah diajukan ke pengadilan, 44 tewas ditembak, dan 10 bunuh diri. Dari 563 pelaku teroris yang diadili, sebanyak 471 terdakwa telah berada di lembaga pemasyarakatan dan 245 di antaranya sudah bebas.8 Mereka yang menjalani pemidanaan tersebar di beberapa lembaga pemasyarakatan yakni lembaga pemasyarakatan Kerobokan, lembaga pemasyarakatan Nusa Kambangan dan lembaga pemasyarakatan Semarang. Pemidanaan terhadap para pelaku terorisme merupakan kajian penting dalam menjaga stabilitas keamanan di kemudian hari. Hal ini menjadikan lembaga pemasyarakatan sebagai tempat yang sangat memiliki peranan dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana teroris untuk tidak mengulangi perbuatannya. Pola pembinaan narapidana teroris tentu berbeda dengan narapidana lain, di mana dalam masa pembinaan mental, narapidana teroris tidak diperkenankan memberikan dakwah. Pemasyarakatan bagi narapidana teroris bertujuan untuk membina dan mendidik mereka menjadi orang yang lebih baik. Menurut Sahardjo, lembaga pemasyarakatan
bukan
tempat
yang
semata-mata
menghukum
dan
menderitakan orang, tetapi suatu tempat membina atau mendidik orang-orang Solo Pos, 2010, “Polri Beberkan Jumlah Pelaku Teror” Serial Online 24 September 2010, (Cited 2011 May 18), available from: URL: http://www.solopos.com/2010/channel/nasional/polribeberkan-jumlah-pelaku-teror-54255 8
7
yang telah berkelakuan menyimpang (narapidana) agar setelah menjalani pembinaan di dalam lembaga pemasyarakatan dapat menjadi orang-orang yang baik dan menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat. 9 Mantan warga binaan diharapkan dapat diterima kembali oleh masyarakat tanpa adanya diskriminasi. Perubahan paradigma tempat pemidanaan dari penjara menjadi lembaga pemasyarakatan sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan membawa konsekuensi yuridis berupa perubahan tujuan pemidanaan dari pembalasan menuju pembinaan. Pasal 2 Undang-undang
Nomor
12
Tahun
1995
Tentang
Pemasyarakatan
menyebutkan: Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Dalam kerangka pembinaan terhadap narapidana, lembaga pemasyarakatan memiliki dua peranan penting yakni sebagai tempat dan sarana atas reedukasi dan resosialisasi. Perhatian terhadap kualitas pembinaan narapidana juga didukung dengan Rancangan Undang-undang Sistem Pemasyarakatan. Dalam Substansi Rancangan Undang-undang Sistem Pemasyarakatan tersebut dapat ditemukan
9
Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hukum Pidana, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 38.
8
program rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Program rehabilitasi dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 2 yang menyatakan bahwa “Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya yang menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.” Reintegrasi
sosial
dalam
Rancangan
Undang-undang
Sistem
Pemasyarakatan dijabarkan dalam Pasal 3 yang menyatakan “Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.” Pembinaan terhadap narapidana teroris sangat penting dalam mencegah terorisme di tanah air. Rehabilitasi dan reintregrasi sosial dilakukan melalui program-program deradikalisasi sebab perang terhadap terorisme bukanlah perang secara fisik melainkan perang melalui psikologi. Berdasarkan Prinsipprinsip Manajemen Teroris, rehabilitasi narapidana teroris dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, keterampilan, kemandirian dan program melawan radikalisasi. Program intervensi tersebut dilakukan pada teroris beresiko sedang dan rendah sedangkan bagi narapidana teroris yang beresiko tinggi akan mendapatkan tambahan program dual track yaitu intervensi psikologgis dan religius.
9
Reintegrasi sosial bagi narapidana teroris di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang
dilakukan dengan upaya-upaya untuk menyiapkan
narapidana teroris agar dapat kembali ke masyarakat. Upaya reintegrasi sosial diwujudkan dengan intervensi psikologi terhadap narapidana teroris dengan mengurangi ideologi radikalisme melalui pembahasan ayat-ayat suci yang dipandang menjadi dasar dari pelaksanaan aksi terorisme. Intervensi ini dilakukan
oleh
psikolog,
pemuka
agama
dan
petugas
lembaga
pemasyarakatan Klas I Semarang. Berdasarkan Pedoman Penanganan Narapidana Teroris, narapidana teroris juga diperkenankan untuk tetap berkomunikasi dengan pihak keluarga dan pendamping hukumnya meskipun dalam pengawasan petugas lembaga pemasyarakatan. Pelaksanaan program rehabilitasi dan reintregasi sosial ini memang diakui tidak mudah. Pembinaan melalui rehabilitasi dan reintregrasi sosial belum sepenuhnya mampu menyentuh persoalan. Terdapat akar yang tertanam kuat sebagai doktrin ajaran yang kemudian diimplementasikan sebagai doktrin gerakan. Menjalani pemidanaan, bagi mereka rupanya hanya menjadi bagian dari perjalanan atau proses perjuangan. Sel-sel di dalam jaringan sudah bekerja dengan baik lewat sistem rekrutmen, doktrinisasi, dan sistem pelatihan kemiliteran yang terencana secara rapi.10 Dengan demikian,
Suara Merdeka, 2010, “Mempertanyakan Pola Membina Teroris”, Serial Online 27 September 2010, (Cited 2011 Jan. 2), available from: URL: http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2010/09/27/124816/Mempertanyakan-PolaMembina-Teroris. 10
10
walaupun anggota jaringan telah dipidana namun aksi terorisme masih terus dilakukan oleh anggota lain. Implementasi konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial hingga saat ini belum menunjukkan hasil yang optimal. Ketidakberhasilan pembinaan terhadap para narapidana teroris dapat dilihat pada banyak residivis yang mengulangi kembali perbuatannya. Contohnya Abu Tholut alias Mustofa alias Imron Baihaki, ditangkap di Bekasi pada 8 Juli 2003 karena memiliki senjata api, dan kemudian divonis delapan tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada 11 Mei 2004. Jika hukuman dijalani penuh, semestinya dia baru bebas pada 9 Agustus 2011. Namun karena ada remisi, dia bebas pada 27 Agustus 2007. Tiga tahun berselang, polisi kembali menyatakan Abu Tholut sebagai otak pelaku perampokan Bank CIMB Niaga Cabang Arif Rahman Hakim Medan. Selain Abu Tholut ada sejumlah nama lain yang kini masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) polisi dalam kasus terorisme.11 Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang adalah salah satu lembaga pemasyarakatan di Indonesia yang membina narapidana teroris. Di Lembaga Pemasyarakatan tersebut terdapat 14 narapidana teroris dengan pidana penjara dalam waktu tertentu dan pidana penjara seumur hidup. Narapidana teroris ini tergolong sebagai konseptor dalam aksi-aksi terorisme. Mereka
Detik News, 2010, “Residivis dan Terpidana Teroris Bakal Tak Dapat Remisi”, Serial Online Senin, 27/09/2010 20:55 WIB, (Cited 2011 Jan. 2), available from: URL: http://www.detiknews.com/read/2010/09/27/205557/1449885/10/residivis-dan-terpidana-terorisbakal-tak-dapat-remisi 11
11
adalah kelompok Solo yang memiliki doktrin yang kuat atas aksi-aksi terorisme. Selama menjalani pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang, narapidana ini masih menyatakan bahwa tindakan terorisme yang dilakukannya adalah sebuah perjuangan yang harus dilanjutkan. Oleh sebab itu sangat menarik untuk dibahas dalam sebuah tesis yang berjudul “Implementasi Pembinaan Narapidana Teroris Melalui Program Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang.” 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya maka permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut: a.
Bagaimanakah implementasi pembinaan narapidana teroris di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang?
b.
Faktor-faktor apa yang menjadi pendukung dan penghambat pembinaan narapidana teroris di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang?
1.3 Ruang Lingkup Permasalahan Ruang lingkup permasalahan dalam tesis ini terbatas pada implementasi pembinaan narapidana teroris di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang. Dalam permasalahan pertama nantinya akan dibahas mengenai karakteristik, tipologi dan motivasi pelaku tindak pidana terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang serta implementasi pembinaan melalui program rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Setelah permasalahan pertama dibahas secara komprehensif maka akan dikaji mengenai faktor-faktor yang menjadi pendukung dan penghambat
12
pembinaan narapidana teroris Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang. Faktor-faktor tersebut dikaji melalui faktor subtansi hukum yang mengatur mengenai pembinaan narapidana teroris di lembaga pemasyarakatan, struktur hukum yakni petugas lembaga pemasyarakatan dan budaya hukum yang mencakup budaya hukum narapidana teroris dan budaya hukum masyarakat secara umum. 1.4 Tujuan Penelitian a.
Tujuan umum Tujuan umum dalam penelitian ini adalah implementasi pembinaan narapidana teroris melalui program rehabilitasi dan reintegrasi sosial di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang.
b.
Tujuan khusus Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah: 1) Untuk implementasi pembinaan narapidana teroris di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang 2) Untuk menganalisis faktor-faktor yang menjadi pendukung dan penghambat
pembinaan
narapidana
teroris
di
Lembaga
Pemasyarakatan Klas I Semarang. 1.5 Manfaat Penelitian a.
Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan bagi penulis dan masyarakat mengenai implementasi konsep rehabilitasi dan
13
reintegrasi sosial dalam pembinaan bagi narapidana teroris di lembaga pemasyarakatan. Kajian ini diharapkan dapat mengembangkan hukum penologi dan penitensier di Indonesia. b.
Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi lembaga pemasyarakatan untuk melakukan upaya pembenahan mengenai format rehabilitasi dan reintegrasi sosial dalam pembinaan bagi narapidana teroris di lembaga pemasyarakatan.
1.6 Originalitas Penelitian Penelitian tentang “Implementasi Konsep Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial
Dalam
Pembinaan
Bagi
Narapidana
teroris
di
Lembaga
Pemasyarakatan” adalah penelitian baru yang belum pernah ditulis sebelumnya oleh peneliti lain. Adapun beberapa penelitian yang terkait diantaranya: a.
Pembinaan Terhadap Warga Binaan Pelaku Tindak Pidana Terorisme di Lembaga Pemayarakatan Klas I A Cipinang Dikaitkan Konsep Pemasyarakatan Dalam Undang-undang No 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan oleh Reka Nugraha. Dalam penelitian tersebut dibahas mengenai konsep pembinaan serta penempatan dalam Lembaga Pemasyarakatan saat ini sudah tepat bagi warga binaan pelaku tindak piana terorisme, kendala yang terjadi dalam pembinaan warga binaan terorisme dan upaya pembinaan pelaku tindak pidana terorisme dilihat dari karakteristik kejahatannya dalam Lembaga
14
Pemasyarakatan dikaitkan dengan Undang-undang No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.12 b.
Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Dengan Hukum Pidana. Tesis ini ditulis oleh Ewit Soetriadi. Dalam penelitian tersebut dibahas mengenai tiga permasalahan yakni bagaimanakah kebijakan legislatf
dalam
penanggulangan
tindak
pidana
terorisme?
Bagaimanakah kebijakan aplikatif dalam penanggulangan tindak pidana terorisme? dan Bagaimanakah kebijakan legislatif dalam penanggulangan terorisme pada masa yang akan datang.13 c.
Pembinaan Terhadap Narapidana Hukuman Mati Kasus Terorisme oleh Purwoko. Dalam tesis ini dibahas mengenai pembinaan narapidana hukuman mati kasus terorisme dan bagaimana pembinaan hukuman mati yang dilaksanakan oleh Lembaga Pemasyarakatan Klas I Batu Nusakambangan.14 Tulisan-tulisan tersebut sangat berbeda dengan tesis ini sebab dalam
tesis ini membahas mengenai implementasi pembinaan bagi narapidana teroris di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang yang membina narapidana teroris konseptor serta membahas mengenai faktor pendukung dan
12 Reka Nugraha, 2012, “Pembinaan Terhadap Warga Binaan Pelaku Tindak Pidana Terorisme di Lembaga Pemayarakatan Klas I A Cipinang Dikaitkan Konsep Pemasyarakatan Dalam Undang-undang No 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan”, Skripsi, Fakultas Hukum niversitas Padjajaran, Bandung. 13 Ewit Soetriadi, 2008, “Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Terorisme Dengan Hukum Pidana”, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Dipponegoro, Semarang.
Puwoko, “Pembinaan Terhadap Narapidana Hukuman Mati Kasus Terorisme oleh Purwoko”, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. 14
15
penghambat pembinaan bagi narapidana teroris di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang.. Dalam pembinaan tersebut narapidana teroris ditempatkan sebagai subjek pembinaan melalui pelaksanaan program rehabilitasi dan reiintegrasi sosial. Faktor pendukung dan penghambat pembinaan narapidana teroris dikaji dari faktor substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum. Lokasi penelitian dalam tesis ini dilakukan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang. 1.7 Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir a.
Landasan teoritis Landasan teoritis terdiri dari asas hukum, teori hukum dan ketentuan hukum yang menjadi landasan yuridis untuk menjawab persoalan. Adapun beberapa landasan teoritis yang dipergunakan adalah: 1.
Asas-asas sistem pembinaan kemasyarakatan
2.
Teori sistem hukum
3.
Teori kebijakan hukum pidana (penal policy)
4.
Teori pemidanaan
5.
Teori individualisasi Landasan teoritis memiliki arti penting dalam setiap penelitian
ilmiah di bidang hukum. Hal ini sejalan dengan pemikiran J.J.H. Bruggink bahwa jika orang mempelajari kaidah hukum itu dari sudut perspektif teoritik yang berbeda, maka kaidah hukum tersebut juga akan
16
tampil dalam cahaya yang tidak sama.15 Adapun penjelasan dari landasan teoritis yang dipergunakan dalam tesis ini adalah sebagai berikut: 1.
Asas-asas sistem pembinaan kemasyarakatan Bagi
Negara
Indonesia
yang
berdasarkan
Pancasila,
pemikiran-pemikiran mengenai fungsi pemidanaan tidak lagi sekadar penjeraan
tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan
reintegrasi sosial warga binaan pemasyarakatan yang telah ditetapkan dengan suatu sistem perlakuan terhadap para pelanggar hukum di Indonesia yang dinamakan dengan sistem pemasyarakatan. Sahardjo sebagai pencetus lembaga pemasyarakatan menyatakan bahwa pemasyarakatan merupakan tujuan dari pidana penjara.16 Sistem pembinaan pemasyarakatan diarahkan pada upaya-upaya pembinaan yang dilaksanakan berdasarkan asas : a.
pengayoman, pengayoman dalah perlakuan terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan dalam rangka melindungi masyarakat dari kemungkinan diulanginya tindak pidana oleh Warga Binaan Pemasyarakatan, juga memberikan bekal hidup kepada Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna di dalam masyarakat.
15
J.J.H. Bruggink, 1999, Refleksi tentang Hukum (Dialihbahasakan oleh Arief Sidharta), PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 159. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, “Sejarah Ringkas Sistem Pemasyarakatan”, Serial Online, (Cited 2011 May 18), available from: URL: http://www.ditjenpas.go.id/uu_reader.php?nf=112 16
17
b.
persamaan perlakuan dan pelayanan; persamaan perlakuan dan pelayanan adalah pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama kepada Warga Binaan Pemasyarakatan tanpa membedabedakan orang.
c.
pendidikan dan pembimbingan; pendidikan dan pembimbingan adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan dan bimbingan dilaksanakan berdasarkan Pancasila, antara lain penanaman jiwa kekeluargaan,
keterampilan,
pendidikan
kerohanian,
dan
kesempatan untuk menunaikan ibadah. d.
penghormatan harkat dan martabat manusia; penghormatan harkat dan martabat manusia adalah bahwa sebagai orang yang tersesat Warga Binaan Pemasyarakatan harus tetap diperlakukan sebagai manusia.
e.
kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan; kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan adalah Warga Binaan Pemasyarakatan harus berada dalam LAPAS untuk jangka waktu tertentu, sehingga negara mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya. Selama di LAPAS, Warga Binaan Pemasyarakatan tetap memperoleh hak-haknya yang lain seperti layaknya manusia, dengan kata lain hak perdatanya tetap dilindungi seperti hak memperoleh perawatan kesehatan, makan, minum, pakaian, tempat tidur, latihan keterampilan, olah raga, atau rekreasi.
18
f.
terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu; terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu adalah bahwa walaupun Warga Binaan Pemasyarakatan berada di LAPAS, tetapi harus tetap didekatkan dan dikenalkan dengan masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat, antara lain berhubungan dengan masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburan ke dalam LAPAS dari anggota masyarakat yang bebas, dan kesempatan berkumpul bersama sahabat dan keluarga seperti program cuti mengunjungi keluarga. Asas-asas
pembinaan
pemasyarakatan
digunakan
dalam
menganalisis permasalahan pertama yakni implementasi pembinaan bagi narapidana teroris di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang. Dalam pembahasan permasalahan pertama akan diketahui apakah
asas-asas
pembinaan
pemasyarakatan
tersebut
telah
dilaksanakan atau tidak. 2.
Teori sistem hukum Teori sistem hukum dikemukakan pertama kali oleh Lawrence Friedman. Menurut Lawrence Friedman, hukum merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. Struktur menurut Friedman adalah kerangka bagian yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan. Di Indonesia berbicara tentang struktur sistem hukum Indonesia
19
maka termasuk didalamnya struktur Institusi-institusi penegakan hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan. Substansi adalah aturan, norma dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem hukum itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu mencakup peraturan baru yang mereka susun, mencakup juga living law (hukum yang hidup) dan bukan hanya aturan yang ada dalam Kitab Undang-Undang atau law in books. Kultur hukum menurut Friedman adalah setiap manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Kultur hukum adalah susunan pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalah gunakan. Tanpa kultur hukum maka sistem hukum itu sendiri tidak berdaya.17 Pengkajian mengenai implementasi konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi narapidana teroris dapat ditelaah melalui masing-masing elemen sistem hukum. Substansi hukum yang mengatur tindak pidana terorisme dan pembinaan terhadap narapidana
teroris
dapat
mempengaruhi
keberhasilan
penanggulangan kejahatan ini. Selain itu juga perlu dikaji mengenai kinerja
dari
pemasyarakatan
17
struktur dalam
hukum
khususnya
menerapkan
konsep
petugas
lembaga
rehabilitasi
dan
Achmad Ali, 2001, Keterpurukan Hukum di Indonesia : Penyebab dan Solusinya, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 9.
20
reintegrasi sosial bagi narapidana tersebut.
Budaya hukum
masyarakat juga menjadi hal yang sangat penting untuk mendukung pembinaan bagi narapidana teroris terutama saat mereka dibebaskan dan kembali di tengah-tengah masyarakat. Sistem hukum
diandaikan untuk menjamin distribusi yang
benar atau tepat (atau barangkali yang paling nyaman) diantara orang-orang dan kelompok. Dalam pengertian tersebut, sistem hukum sangat berperan dalam menyelesaikan konflik-konflik yang muncul di dalam setiap masyarakat. Sistem hukum selanjutnya berfungsi sebagai kontrol sosial yang pada dasarnya berupa pemberlakukan peraturan mengenai perilaku yang benar.18 Teori sistem hukum digunakan dalam membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pembinaan narapidana. 3.
Teori kebijakan hukum pidana (penal policy) Terorisme memerlukan
extra
merupakan ordinary
extra law
ordinary
untuk
crime
yang
menganggulanginya.
Kebijakan yang diambil untuk menganggulangi kejahatan ini bukan hanya berada pada upaya represif namun lebih diarahkan pada upaya-upaya preventif. Hal ini sejalan dengan pemikiran Barda Nawawi Arief yang menuliskan sebagai berikut: Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk bidang ‘kebijakan kriminal’ 18
Lawrence M. Friedman sebagaimana diterjemahkan oleh M. Khozim, 2009,The Legal System a Social Science Perspective (Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial), Nusa Media, Bandung, hal. 19-20.
21
(‘criminal policy’). Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas daro kebijakan yang luas yaitu ‘kebijakan sosial (‘social welfare’) yang terdiri dari ‘kebijakan/ upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial’ (‘social welfare policy’) dan ‘kebijakan/ upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (‘social defence policy’). Dengan demikian, sekiranya kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal) dilakukan dengan menggunakan sarana ‘penal’ (hukum pidana, maka ‘kebijakan hukum pidana’ (‘penal policy’), khususnya pada tahap kebijakan yudikatif/ aplikatif (penegakan hukum pidana in concreto) harus memperhatikan dan mengarah pada tercapanya tujuan dari kebijakan sosial, berupa ‘social welfare’ dan ‘‘social defence’.19 Kebijakan hukum pidana sering juga disebut dengan istilah politik hukum pidana atau dalam bahasa asing disebut penal policy, criminal law policy (Inggris) atau strafrechtspolitiek (Belanda). Kebijakan hukum pidana atau penal policy menurut Barda Nawawi Arief adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat Undang-undang tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan Undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksanaan putusan pengadilan.20
Dengan
demikian, upaya penanggulangan terorisme dengan kebijakan hukum pidana memiliki dimensi universal baik dalam tataran substansi hukum maupun penegakan hukum pidana.
19 Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 77, (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief I). 20
Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 21, (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II).
22
Teori kebijakan hukum pidana (penal policy) digunakan untuk membahas mengenai faktor pendukung dan penghambat pembinaan narapidana teroris di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang. 4.
Teori pemidanaan Teori pemidanaan merupakan teori yang sangat penting dalam mengukur pencapaian tujuan pemidanaan melalui pola pembinaan bagi narapidana teroris di lembaga pemasyarakatan. Mengenai teori pemidanaan (dalam banyak literatur hukum disebut dengan teori hukum pidana/ strafrecht-theorien berhubungan langsung dengan pengertian hukum pidana subjektif tersebut. Teoriteori ini mencari dan menerangkan tentang dasar dari hak negara dalam menjatuhkan dan menjalankan pidana tersebut. Ada berbagai macam pendapat mengenai teori pemidanaan namun pada dasarnya teori tersebut dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu: 21 a.
Teori absolut atau teori pembalasan (vergelding theorien) Teori ini menyatakan bahwa pemidanaan merupakan suatu pembalasan terhadap orang yang melakukan penyerangan terhadap hak dan kepentingan hukum dari pribadi, masyarakat atau negara yang telah dilindungi. Sehingga jika didasarkan pada teori ini maka pemidanaan bagi terorisme merupakan penjatuhan penderitaan yang sah oleh negara. Adami Chazawi mencatat bahwa ada beberapa macam dasar atau alasan
21
Adami Chazawi, op.cit., hal. 156-166.
23
pertimbangan tentang adanya keharusan untuk diadakannya pembalasan itu, yaitu: 1) Pertimbangan dari sudut Ketuhanan Adanya pandangan dari sudut keagamaan bahwa hukum adalah suatu aturan yang bersumber pada aturan Tuhan yang diturunkan melalui Pemerintahan Negara sebagai abdi atau wakil Tuhan di dunia ini. Oleh karena itu, negara wajib memelihara dan melaksanakan hukum dengan cara setiap pelanggaran terhadap hukum wajib dibalas setimpal dengan pidana terhadap pelanggarnya. 2) Pandangan dari sudut etika Pandangan ini berasal dari Emmanuel Kant. Kant menyatakan bahwa menurut rasio, tiap kejahatan itu haruslah diikuti oleh suatu pidana. Menjatuhkan pidana yang sebagai sesuatu yang dituntut oleh keadilan etis merupakan syarat etika. Pemerintah negara mempunyai hak untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana dalam rangka memenuhi keharusan yang dituntut oleh etika tersebut. 3) Pandangan alam pikiran dialektika Pandangan ini berasal dari Hegel. Hegel ini dikenal dengan teori dialektikanya dalam segala gejala yang ada di dunia ini. Atas dasar pikiran yang demikian, pidana mutlak harus ada sebagai reaksi dari setiap kejahatan.
24
4) Pandangan Aesthetica dari Herbart Pandangan yang berasal dari Herbart ini berpokok pangkal pada pikiran bahwa apabila kejahatan tidak dibalas, maka akan menimbulkan rasa ketidakpuasan pada masyarakat. Agar kepuasan masyarakat dapat dicapai atau dipulihkan, maka dari sudut aesthetica harus dibalas dengan penjatuhan pidana yang setimpal pada penjahat pelakunya. Setimpal artinya pidana harus dirasakan sebagai penderitaan yang sama berat atau besarnya dengan penderitaan korban/ masyarakat yang diakibatkan oleh kejahatan itu. 5) Pandangan dari Heymans Pandangan dalam hal pidana yang berupa pembalasan menurut Heymans didasarkan pada niat pelaku. Ia menyatakan bahwa setiap niat yang tidak bertentangan dengan kesusilaan dapat dan layak diberikan kepuasan, tetapi niat yang bertentangan dengan kesusilaan tidak perlu diberikan kepuasan. Tidak diberik kepuasaan ini berupa penderitaan yang adil. 6) Pandangan dari Kranenburg Teori ini didasarkan pada asas keseimbangan. Karena ia mengemukakan mengenai pembagian syarat-syarat untuk mendapatkan keuntungan dan kerugian, maka terhadap hukum tiap-tiap anggota masyarakat mempunyai suatu
25
kedudukan yang sama dan sederajat. Akan tetapi, mereka yang sanggup mengadakan syarat istimewa. Tiap orang akan mendapat keuntungan dan kerugian istimewa. Tiap orang akan mendapat keuntungan atau kerugian sesuai dengan syarat-syarat yang terlebih dahulu diadakannya untuk mendapatkan keuntungan atau kerugian itu. b.
Teori relatif atau teori tujuan (doel theorien). Teori relatif atau teori tujuan berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegaskan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan pidana ialah tata tertib masyarakat dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana. Sifat pencegahan dari teori ini ada dua macam yaitu: 1) Teori pencegahan umum Di antara teori-teori pencegahan umum ini, teori pidana yang bersifat menakut-nakuti merupakan teori yang paling lama dianut orang. Menurut teori pencegahan umum ini, pidana yang dijatuhkan pada penjahat ditujukan agar orangorang (umum) menjadi takut untuk berbuat kejahatan. Penjahat yang dijatuhi pidana itu dijadikan contoh oleh masyarakat agar masyarakat tidak meniru dan melakukan perbuatan yang serupa dengan penjahat itu. 2) Teori pencegahan khusus
26
Teori ini lebih maju daripada teori pencegahan umum. Menurut teori ini, tujuan pidana adalah mencegah pelaku kejahatan yang telah dipidana agar ia tidak mengulang lagi melakukan kejahatan dan mencegah agar orang yang telah berniat buruk untuk tidak mewujudkan niatnya itu ke dalam bentuk perbuatan nyata. Tujuan itu dapat dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana yang sifatnya ada tiga macam: a) Menakut-nakuti. b) Memperbaiki c) Membuatnya menjadi tidak berdaya. Maksud menakut-nakuti ialah bahwa pidana harus dapat memberi rasa takut bagi orang-orang tertentu yang masih ada rasa takut agar ia tidak lagi mengulangi kejahatan yang dilakukannya. Akan tetapi, ada juga orang-orang tertentu yang tidak lagi merasa takut untuk mengulangi kejahatan yang pernah dilakukannya, pidana yang dijatuhkan terhadap orang seperti ini haruslah bersifat memperbaiki, pidana yang dijatuhkan terhadapnya harusnya bersifat membuatnya
menjadi
tidak
berdaya
atau
bersifat
membinasakan. Dengan demikian, berdasarkan teori ini maka pemidanaan bagi narapidana teroris dimaksudkan untuk mencegah terjadinya terorisme baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun kembali dilakukan oleh pelaku.
27
c.
Teori gabungan (vernegings theorien). Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua gologan besar yaitu sebagai berikut: 1) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak diperbolehkan melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya mempertahankan tata tertib masyarakat. 2) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijauhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan terpidana. Berdasarkan teori tentang pemidanaan sebagaimana telah
diuraikan di atas, maka teori yang dipergunakan dalam pembinaan narapidana teroris di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang adalah teori tujuan. Hal ini terlihat dari konsep rehabilitasi dan reiintegrasi sosial di dalam lembaga pemasyarakatan.
5.
Teori individualisasi
28
Teori
individualisasi
dipergunakan
untuk
membahas
permasalahan kedua yakni dalam kajian faktor pendukung pembinaan narapidana teroris. Perbaikan kondisi pelaku melalui pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan menjadi dasar pertimbangan untuk memodifikasi putusan. Barda Nawawi Arief memberikan pengertian bahwa individualisme bukan hanya berarti bahwa pidana yang akan dijatuhkan disesuaikan atau diorientasikan pada pertimbangan sifat individu pada diri pelaku kejahatan, melainkan juga memungkinkan adanya perubahan atau modifikasi pidana oleh hakim
agar
sesuai
dengan
perubahan
dan
perkembangan
narapidana.22 Individualisasi pemidanaan dibangun berdasarkan ide keseimbangan dalam pemidanaan yang mencakup: a.
Keseimbangan monodualistik antara kepentingan umum atau masyarakat dengan kepentingan individu atau perorangan. Dalam ide keseimbangan tersebut, kepentingan umum dan kepentingan individu tersebut tercakup ide perlindungan/ kepentingan korban dan ide individualisasi pemidanaan.
b.
Keseimbangan antara unsur objektif (yaitu perbuatan atau lahiriah) dengan unsur subjektif (batiniah atau sikap batin), dan ide daat daader straftrecht.
c.
Keseimbangan antara kriteria formil dengan materiil.
d.
Keseimbangan antara kepastian hukum dengan kelenturan atau elastisitas atau fleksibelitas.23 Dalam pemidanaan terhadap narapidana teroris, upaya
pembinaan didasarkan pada ide-ide keseimbangan di atas. Sehingga
22
Widodo, 2009, Sistem Pemidanaan Dalam Cyber Crime, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, hal. 124. 23
Ibid.
29
upaya pembinaan bukan hanya berorientasi pada pemberian hak-hak bagi pelaku melainkan juga untuk menjamin ketertiban dalam masyarakat. Dengan demikian hakim perlu memahami secara seksama tentang kondisi individu terdakwa secara utuh agar pidana yang dijatuhkan sesuai dengan kondisi pelaku.24 Teori ini menunjukkan betapa pentingnya peranan individu pelaku kejahatan dalam penanggulangan kejahatan sehingga harus dipahami dan diperhatikan melalui kajian medis, psikologis dan kemasyarakatan. Teori individualisasi pemidanaan merupakan konsekuensi logis dari pemikiran aliran positif/ modern dalam hukum pidana, yang berpendirian bahwa manusia adalah makhluk yang bersifat dependen. Jika manusia melakukan tindak pidana maka pidana yang dijatuhkan perlu disesuaikan dengan kondisi pelaku dan kondisi lingkungannya.25 Gluack mengemukakan mengenai adanya empat prinsip yang mendasari individualisasi pemidanaan yaitu: a.
b.
c.
The treatment (sentences-imposing) feature of the proceedings must be sharply differentiated from the guiltfinding phase. The decision as to treatment must be made by a board or tribunal specially qualified in the interpretation and evaluation of psichiatric, psycological, and sosiologic. The treatment must be modifiable in the light of scientific reports of progress.
24
Roeslan Saleh, 1988, Dari Lembar Kepustakaan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 122. (selanjutnya disebut Roeslan Saleh I). 25
Widodo, op.cit., hal. 129.
30
d.
The right of the individual must be safeguarded against possible arbitrariness or other unlawful action on the part of the treatment tribunal.26
Berdasarkan
pendapat
Gluack,
maka
rehabilitasi
dan
reintegrasi sosial narapidana teroris merupakan pola pembinaan yang perlu
dilakukan
secara
profesional
dari
petugas
lembaga
pemasyarakatan yang dibantu dengan psikolog, sosiolog dan psikiatri. Pelaporan secara ilmiah mengenai pelaksanaan pembinaan di lembaga pemasyarakatan ini juga perlu dilakukan mengingat pembinaan bagi narapidana merupakan hak dari narapidana itu sendiri. b. Kerangka berpikir Alur pemikiran mengenai tesis ini berawal dari telaah mengenai pembinaan narapidana teroris di lembaga pemasyarakatan. Selanjutnya dikaji mengenai karakteristik, tipologi dan motivasi pelaku tindak pidana terorisme
di
Lembaga
Pemasyarakatan
Klas
I
Semarang
serta
implementasi pembinaan melalui program rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Permasalahan ini akan dibahas dengan menggunakan pisau analisis berupa asas-asas sistem pembinaan kemasyarakatan dan teori pemidanaan. Implementasi
pembinaan
narapidana
teroris
di
lembaga
pemasyarakatan dilanjutkan dengan kajian mengenai faktor pendukung dan faktor penghambat pembinaan bagi narapidana teroris di lembaga
26
Ibid.
31
pemasyarakatan. Dalam permasalahan kedua ini digunakan teori sistem hukum dan kebijakan hukum pidana (penal policy). Kerangka berpikir dalam penelitian tesis ini dapat dideskripsikan dalam bentuk bagan seperti ini: Bagan 1 Kerangka berpikir
Metode Penelitian
Implementasi Pembinaan Narapidana Terorisme Melalui Program Rehabilitasi dan Reintegrasi Sosial di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang
Implementasi pembinaan narapidana terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang Faktor pendukung dan faktor penghambat pembinaan narapidana terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang
Asas-asas sistem pembinaan kemasyarakatan Teori pemidanaan
Teori Sistem hukum Teori Kebijakan Hukum Pidana (penal policy) Teori individualisasi
Yuridis empiris Deskriptif. Data primer (overvasi dan wawancara) dan data sekunder (studi kepustakaan) Lokasi penelitian di Lembaga Pemasyarakaan klas I Semarang. Kualtitatif, deskriptif analitis
Implementasi pembinaan narapidana terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang belum dilaksanakan secara optimal.
Faktor pendukung dan faktor penghambat pembinaan narapidana terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang meliputi faktor substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum
32
1.8 Hipotesis Hipotesis merupakan salah satu ciri dari penelitian empiris. Hipotesis menurut Sedarmayanti dan Syarufudin Hidayat, adalah dugaan sementara mengenai suatu hal/ permasalahan yang harus dibuktikan kebenarannya dengan menggunakan data/ fakta atau informasi yang diperoleh dari hasil penelitian yang valid dan realibel dengan menggunakan cara yang sudah ditentukan.27 Adapun hipotesis dari penelitian ini adalah: a.
Implementasi pembinaan narapidana teroris di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang belum optimal karena tidak sesuai dengan asas-asas sistem pembinaan masyarakat. Adanya penyebarluasan doktrin terorisme di dalam di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang menunjukkan bahwa teori tujuan yang diwujudkan dalam pembinaan belum berhasil.
b.
Faktor pendukung dan penghambat pembinaan narapidana teroris di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang disebabkan karena faktor struktur hukum dan budaya hukum. Struktur hukum yang dimaksud adalah lembaga pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan memiliki kebijakan dalam pembinaan narapidana, namun kebijakan tersebut belum dapat dilaksanakan oleh petugas lembaga pemasyarakatan. Budaya hukum masyarakat di dalam dan di luar lembaga pemasyarakatan menunjukkan penolakan terhadap narapidana teroris.
27
Sedarmayanti dan Syarufudin Hidayat, 2002, Metodelogi Penelitian, Mandar Maju, Bandung, hal. 108
33
1.9 Metode Penelitian a.
Jenis penelitian Penelitian ini menyangkut data maka dengan sendirinya merupakan penelitian empiris.28 Penelitian empiris dalam beberapa literatur juga disebut
dengan
penelitian
non
doktrinal.
Menurut
Soetandyo
Wignyosoebroto, penelitian non-doktrinal adalah penelitian hukum yang tidak dikonsepsikan dan dikembangkan sebagai rules tetapi sebagai regularities yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari atau dalam pengalaman. Artinya, hukum adalah tingkah laku atau aksi-aksi dan interaksi manusia secara aktual dan potensial akan terpola sebagai realita sosial yang terjadi dalam alam pengalaman indrawi empiris.29 Kajian dalam penelitian hukum empiris pada dasarnya adalah melihat bekerjanya hukum di dalam masyarakat. Penelitian ini mengarah pada implementasi pembinaan melalui program rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi narapidana teroris di lembaga pemasyarakatan bagi narapidana teroris implementasi pembinaan serta faktor pendukung dan penghambat pembinaan bagi narapidana teroris. Dalam penelitian ini akan dikaji mengenai pelaksanaan pembinaan yang diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 195 tentang Pemasyarakatan. Dalam
28 Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal 2. 29
Soetandyo Wignyosoebroto, Mengembangkan Ketaatan Hukum di Sanubari Warga Masyarakat Lewat Proses Belajar, Makalah, FISIP UNAIR, Surabaya, 1974, hal. 147.
34
penelitian empiris titik tolak penelitian terdapat pada data terutama data primer. b.
Sifat penelitian Sifat penelitian dalam tesis ini adalah deskriptif (menggambarkan) analisis. Penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, peristiwa atau keadaan, gejala sosial, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lainnya dalam masyarakat. Gejala-gejala ini harus dipelajari dan diteliti dengan menggunakan metode-metode emperikal, sesuai dengan “gambaran standar”. Itu mengandung arti bahwa hukum yang berlaku itu dipaparkan, dianalisis dan terutama juga dijelaskan.30 Dengan demikian fakta-fakta mengenai pola pembinaan bagi narapidana teroris dipaparkan terlebih dahulu selanjutnya dianalisis mengenai implementasi dan faktorfaktor yang mempengaruhi implementasi pembinaan melalui program rehabilitasi dan reintegrasi sosial berikut faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan pembinaaan tersebut.
c.
Data dan sumber data Data merupakan sumber dalam penelitian empiris. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang langsung diperoleh dan dihimpun oleh peneliti. Data primer yang digunakan bersumber dari wawancara dan
30
Meuwissen terjemahan B. Arief Sidharta, 2008, Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, Bandung, hal. 59.
35
observasi. Data sekunder adalah data yang bersumber dari peneliti lain baik dalam bentuk bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat sedangkan bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.31 Bahan hukum primer yang digunakan adalah Undang-undang Dasar, Undang-undang, Peraturan Pemerintah, dan ketentuan hukum lainnya sedangkan bahan hukum sekunder yang digunakan adalah buku-buku, artikel, laporan statistik dari lembaga pemasyarakatan dan tulisan ilmiah lainnya. d.
Teknik pengumpulan data Data primer dan data sekunder dikumpulkan melalui berbagai teknik yakni: 1) Teknik studi kepustakaan. Teknik studi dokumen dipergunakan dalam mengumpulkan data sekunder baik dalam bentuk bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. 2) Teknik wawancara. Wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data dengan cara
mengadakan komunikasi dengan narasumber.
Komunikasi tersebut dilakukan dengan dialog ( tanya jawab ) secara lisan, baik langsung maupun tidak langsung. Wawancara atau yang juga disebut dengan interview pertanyaan-pertanyaan,
31
meminta
dilakukan dengan mengajukan keterangan
dan
penjelasan-
Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 113-114.
36
penjelasan
sambil
menilai
jawaban-jawabannya,
sekaligus
interviewer mengadakan paraphrase, mengingat dan mencatat jawaban-jawabannya.32 Teknik ini digunakan dalam penelitian ini dilakukan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan Semarang, Petugas Lembaga Pemasyarakatan Semarang, Psikolog yang menangani
kondisi
psikis
narapidana
teroris
di
Lembaga
Pemasyarakatan Semarang dan narapidana teroris di Lembaga Pemasyarakatan Semarang . 3) Teknik observasi partisipatif. Observasi adalah pengamatan yang dilakukan
secara sistematis dan sengaja diadakan dengan
menggunakan alat indra terutama mata terhadap kejadian-kejadian yang langsung. Observasi dilakukan pada pelaksanaan pembinaan melalui rehabilitasi dan reintegrasi sosial di lembaga pemasyarakatan bagi narapidana teroris dimana peneliti merupakan Kepala Pengamanan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan pembinaan bagi narapidana teroris. Observasi dilakukan di di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang. e.
Teknik penentuan sampel penelitian Proses untuk menarik sampel, biasanya disebut tata cara sampling atau sampling procedure, yang dibedakan menjadi dua, yaitu:
32
hal. 72.
Ronny Hanitijo Soemitro, 1982, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta,
37
a.
Probability Sampling, intinya bahwa setiap manusia atau unit dalam populasi mendapat kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai unsur dalam sample.
b.
Non-probability Sampling; diterapkan apabila data tentang populasi sedikit sekali, atau bahkan tidak ada.33 Dalam penelitian ini digunakan teknik non-probability sampling
yakni dengan teknik purposive sampling dilakukan berdasarkan tujuan tertentu melalui pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama atau menunjukkan kharakteristik dari populasinya. Wawancara ditujukan kepada Kepala di Lembaga Pemasyarakatan Klas
I Semarang, petugas
pembinaan
narapidana teroris di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang, psikologi yang menangani narapidana teroris di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang dan narapidana teroris di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang. Sampel dalam penelitian ini adalah Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang. Dipilihnya dan Lembaga Pemasyarakatan Klas I Semarang sebagai
sampel
didasarkan
pada
pertimbangan
bahwa
lembaga
pemasyarakatan tersebut merupakan lembaga pemasyarakatan yang membina teroris konseptor di Indonesia f. Pengolahan dan analisis data
33
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, hal. 28-31, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II).
38
Pengolahan data adalah kegiatan merapikan data hasil pengumpulan data di lapangan sehingga siap pakai untuk dianalisis.34 Data yang telah dikumpulkan melalui teknik pengumpulan data sebagaimana yang telah dijelaskan di atas dianalisis secara kualitatif yang menunjukkan suatu kualitas keadaan mengenai implementasi konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial dalam pembinaan di lembaga pemasyarakatan bagi narapidana teroris. Selanjutnya hasil analisis disajikan secara deskriptif yakni dengan menggambarkan keadaan tersebut berikut upaya yang dapat dilakukan terkait dengan perbaikan pola pembinaan bagi narapidana teroris di lembaga pemasyarakatan.
34
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 72, (selanjutnya disebut Bambang Waluyo I).