1
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini mengemukakan mengenai hal yang melatarbelakangi pengambilan topik penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian. 1.1 Latar Belakang Loloan merupakan daerah yang terletak di Kabupaten Jembrana, Bali. Loloan terbagi menjadi dua wilayah yaitu Loloan Barat dan Loloan Timur yang keduanya dipisahkan oleh sebuah sungai bernama sungai Ijo Gading dan dihubungkan oleh sebuah jembatan yang bernama Jembatan Syarif Tua. Bali dikenal sebagai pulau yang dihuni oleh mayoritas agama Hindu, tetapi ternyata terdapat masyarakat Muslim yang telah berabad lamanya menghuni pulau Bali dan hidup berdampingan dengan masyarakat Hindu. Masyarakat Muslim tersebut merupakan masyarakat pendatang penyebar agama Islam permulaan di Bali yang diberikan suatu wilayah oleh raja Jembrana dan membentuk citra lingkungan baru di wilayah Loloan, Jembrana dengan mengangkat pola wujud rumah sesuai dengan asal tradisinya (Reken, 2002:54). Rumah di Loloan tidak memiliki Pura, seperti halnya kebanyakan rumah di Bali. Rumah di Loloan berwujud rumah panggung yaitu rumah yang tidak berdiri di atas tanah melainkan disokong atau didukung oleh sejumlah tiang-tiang vertikal Menurut Husein Jabar, seorang tokoh di Loloan (Desember 2012), dipilihnya rumah panggung sebagai rumah masyarakat Loloan, selain karena asal tradisi, juga disebabkan karena rumah panggung dapat beradaptasi dengan kondisi alam 1
2
Loloan yang dekat dengan sungai Ijo Gading. Pada tahun 1700, sebelum dibangunnya permukiman di Loloan, sungai Ijo Gading pernah meluap dan menyebabkan banjir besar. Rumah panggung dianggap cocok dan mampu mengantisipasi jika terjadi banjir akibat luapan sungai Ijo Gading. Bagian bawah rumah panggung yaitu lantai dasar/kolong dapat tetap menyerap atau dilalui air. Rumah panggung juga dipilih karena dapat mengantisipasi serangan binatang buas seperti buaya yang banyak terdapat di sekitar sungai Ijo Gading. Ali Nazri, seorang pembuat rumah panggung di Loloan (Desember 2012) menjelaksan, rumah panggung di Loloan terdiri dari tiga bagian yaitu bagian bawah disebut lantai dasar/kolong, bagian tengah disebut lantai tengah/induk dan bagian atas disebut lantai atas/loteng. Lantai dasar/kolong awalnya difungsikan untuk mengantisipasi banjir dan binatang buas, tetapi setelah dibangun permukiman, wilayah Loloan tidak pernah dilanda banjir sehingga lantai dasar/kolong dijadikan ruang multifungsi tanpa sekat dan ditutup dengan dinding tidak permanen berupa gedek. Lantai dasar/kolong difungsikan sebagai ruang penyimpanan peralatan rumah tangga, kayu bakar, peralatan bekerja, tempat duduk-duduk atau sebagai tempat memelihara hewan ternak. Lantai tengah/induk merupakan ruang tempat penghuni rumah melakukan aktivitas sehari-hari. Pada lantai tengah/induk terdapat amben/serambi, ruang depan, bilik/kamar tidur dan dapur. Lantai atas/loteng merupakan ruang yang digunakan sebagai tempat penyimpanan barang pusaka atau sebagai tempat memingit anak dara atau gadis (perawan).
3
Dulu semua rumah di permukiman Loloan berwujud rumah panggung yang terbuat dari bahan alami berupa kayu dan gedek. Muztahidin, tokoh pemuda Islam Loloan Timur (Desember 2012) mengungkapkan, saat ini terdapat ragam wujud rumah di Loloan. Ada rumah yang masih berwujud rumah panggung, rumah yang berwujud modern sesuai dengan trend rumah yang berkembang saat ini dan rumah yang menggabungkan wujud rumah panggung dengan rumah modern. Munculnya ragam wujud rumah di Loloan disebabkan karena usia rumah panggung yang sudah tua dan bahan-bahan penyusun rumah sudah lapuk sehingga pemilik/penghuni rumah melakukan renovasi atau pembangunan ulang rumah. Ada juga yang merobohkan rumah panggung dan memilih untuk mebangun rumah modern yang lebih murah dan mudah dalam perawatannya. Munculnya ragam wujud rumah panggung yang ada di Loloan, menarik minat peneliti untuk melakukan penelitian. Ada beberapa penelitian yang telah dilakukan di Loloan diantaranya dilakukan oleh Suparwa (2008) dengan judul Ekologi Bahasa dan Pengaruhnya dalam Dinamika Kehidupan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Penelitian yang dilakukan oleh Suparwa meneliti mengenai bahasa sehari-hari masyarakat di Loloan yang merupakan perpaduan antara bahasa Melayu (bahasa daerah asal) dengan bahasa Bali (bahasa setempat). Ada juga penelitian yang dilakukan oleh Sumarsono (1991) yang berjudul Bahasa Melayu Loloan di Bali: Struktur dan Unsur-unsur Bahasa Lain di Dalamnya. Penelitian yang dilakukan oleh Sumarsono juga meneliti mengenai bahasa sehari-hari masyarakat di Loloan. Menurut sepengetahuan peneliti, saat ini belum ada
4
penelitian yang mengangkat topik mengenai ragam wujud rumah panggung di Loloan. Berdasarkan latarbelakang tersebut diangkatlah sebuah topik penelitian tentang tipologi rumah panggung di Loloan, Jembrana. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ragam wujud rumah panggung di Loloan yang ada saat ini. Studi tipologi arsitektur dijadikan dasar untuk meneliti keragaman. Pengamatan keragaman rumah panggung di Loloan difokuskan pada bahasan spasial atau yang berkaitan dengan ruang sebagai perwujudan kegiatan manusia. Melalui penelitian ini juga akan ditelusuri faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya tipologi rumah panggung di Loloan
1.2 Rumusan masalah Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan, masalah yang diangkat dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana tipologi wujud rumah panggung di Loloan berdasarkan sistem spasial? 2. Apa sajakah faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya tipologi wujud rumah panggung di Loloan?
1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui tipologi rumah panggung di Loloan yang merupakan cerminan identitas masyarakat di Loloan
5
1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus yang ingin dicapai adalah: 1. Mengetahui dan memahami tipologi rumah panggung di Loloan berdasarkan sistem spasial 2. Mengetahui dan memahami faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya tipologi wujud rumah panggung yang ada di Loloan
1.4 Manfaat 1.4.1 Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan mengenai keragaman wujud rumah panggung di Loloan. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi acuan dan mendukung penelitian berikutnya. 1.4.2 Manfaat Praktis Diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan dan pemahaman bagi masyarakat awam tentang kekayaan dalam variasi khasanah arsitektur tradisional di Indonesia. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan kepada Pemerintah dalam usaha mempertahankan, melestarikan dan mengembangkan segenap potensi kultural di Loloan, Jembrana.
6
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
Pada bab ini akan dikemukakan tinjauan pustaka yang terkait dan mendukung penelitian. Pada konsep akan diuraikan mengenai definisi operasional dari judul penelitian dengan mengambil pengertian dari konsep-konsep yang telah ada. Pada sub bab landasan teori dikemukakan mengenai teori-teori yang digunakan untuk memecahkan masalah penelitian. Pada model penelitian diuraikan tahapantahapan dalam penelitian secara menyeluruh. 2.1 Kajian Pustaka Dalam kajian pustaka dijelaskan beberapa hasil penelitian sejenis. Kajian pustaka ini digunakan untuk menghindari terjadinya duplikasi suatu penelitian dan sebagai dasar atau referensi untuk melakukan penelitian. Hasil-hasil penelitian yang digunakan adalah penelitian yang terkait dengan tipologi rumah dan rumah panggung. 1. Karakteristik Sistematika Rumah Tinggal Masyarakat Jawa Tondano (Jaton) di Gorontalo Analisis Pendekatan Tipologi Arsitektur Penelitian ini dilakukan oleh Lihawa (2008), dilatarbelakangi dari sejarah Masyarakat Jawa Tondano (Jaton) di Gorontalo yang merupakan masyarakat keturunan pengikut setia pada perang Diponegoro (1825-1830) yang dibuang ke Minahasa. Tujuan penelitian yaitu mengetahui tipologi rumah tinggal masyarakat Jaton di Gorontalo dan mengetahui ada tidaknya perpaduan dua unsur budaya rumah tinggal yaitu Jawa dan Minahasa. 6
7
Penelitian ini menggunakan paradigma rasionalistik dengan pendekatan kualitatif. Pembahasan terkait dengan teori yang menjadi acuan penelitian yaitu mengkategorikan tipe-tipe berdasarkan sistem spasial, sistem fisik dan sitem model. Populasi dalam penelitian ini mencangkup seluruh rumah tinggal yang didirikan oleh pendatang pertama dan mempunyai karakteristik rumah panggung. Metode yang digunakan adalah metode observasi dan survey. Cara yang digunakan dalam memperoleh data adalah telaah pustaka dan penelitian lapangan melalui wawancara verbal. Tipologi rumah tinggal masyarakat Jaton menunjukkan bahwa karakter elemen Jawa pada posisi elemen-elemen non fix sangat menonjol. Karakter elemen Minahasa pada posisi elemen-elemen semi fix sangat menonjol sedangkan elemen fix pada kedua unsur budaya berimbang. Perubahan kebudayaan suatu masyarakat disebabkan oleh dua proses yaitu proses dari dalam (endogen) dan proses dari luar (exogen). Rumah merupakan hasil budaya manusia, maka rumah tinggal masyarakat Jaton menunjukkan bahwa sangat kuatnya pengaruh unsur budaya dari dalam (endogen) berupa budaya Jawa dan dari luar (exogen) lingkungan sekitar komunitas masyarakat Jaton berupa tradisi Minahasa.
2. Tipologi Bangunan Tua Penelitian dilakukan oleh Firzal (2011) bertujuan untuk mengklasifikasikan bangunan yang berada dalam lingkup kawasan konservasi di Kota Siak Sri Indrapura Kabupaten Siak, melalui identifikasi tipikal desain elemen bangunan. Pendekatan penelitian dilakukan secara kuantititatif dan kualitatif. Pengambilan
8
data primer dilakukan melalui survey lapangan, studi literatur, studi kawasan, teoritikal, studi empiris terhadap laporan penelitian terdahulu. Pengumpulan data melalui survey lapangan yang ditunjang dengan literatur, kajian teoritis dan hasil studi empiris. Analisa merumusan karakter umum bangunan kawasan, penentuan bangunan yang sesuai kriteria penelitian dan penggambaran ulang, sehingga dapat dilakukan pengelompokan dan kategorisasi tipikal elemen bangunan. Penelitian pada akhirnya dapat memetakan tipikal desain elemen bangunan di kawasan konservasi yang dikategorikan kedalam delapan fitur elemen utama yaitu; tipikal atap bangunan, tipikal denah bangunan, tipikal dinding bangunan, tipikal jendela bangunan, tipikal kaki bangunan, tipikal pintu bangunan, tipikal tangga bangunan, dan tipikal ornamen pada bangunan. Kejelasan tipologi bangunan suatu kawasan akan membuka pengertian dan pemahaman lebih jauh terhadapat karakter kehidupan masyarakat yang berada dan berkembang serta beradaptasi terhadap lingkungan sekitarnya. Sikap dan nilai budaya merupakan faktor yang turut serta dalam membentuk dan mewarisi nilai-nilai rancang bangun yang akan terus berkembang. Variasi bentuk dan fitur elemen desain bangunan merupakan bukti nyata bagaimana nilai arsitektural tersebut dapat tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat.
9
3. Tipologi Perubahan Wajah Bangunan Rumah Jengki Di Kawasan Pakubuwono Jakarta Selatan
Penelitian ini dilakukan oleh Dyah (2007) dilatarbelakangi kemajuan teknologi bidang arsitektur yang memberikan dampak pada perkembangan rumah tinggal Jengki di kawasan Pakubuwono, Jakarta Selatan sehingga terjadi perubahan pada façade bangunan sesuai dengan kebutuhan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui sejauh mana perubahan yang terjadi pada façade bangunan rumah Jengki sehingga diharapkan dapat diperoleh tipologi perubahan façade bangunan rumah jengki di kawasan Pakubuwono Jakarta Selatan. Metode yang digunakan adalah rasionalistik deduktif karena hasil penelitian berasal dari penarikan kesimpulan seluruh data yang diperoleh melalui kerangka pemikiran (teori dan hipotesa) yang logis. Observasi data di lapangan kemudian dianalisa untuk menghasilkan suatu kesimpulan, maka metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif, melalui prosedur tahapan penelitian yaitu studi pustaka sejarah arsitektur Jengki, teori tipologi bangunan, observasi lapangan pada lokasi pengamatan yang telah ditentukan dan analisa dari data yang diperoleh di lapangan. Berdasarkan analisa tipologi façade bangunan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa: (1) Bentuk atap pelana dengan kemiringan lebih dari 35º, (2) Gewel dengan dinding miring sehingga tampak samping bangunan menghasilkan bentuk segi lima, (3) Bukaan sepanjang dinding muka bangunan pada lantai bertingkat, (4) Elemen dekoratif tiang miring pada muka bangunan pada lantai bertingkat, (5) Karawang/rooster berbentuk bundar pada dinding samping
10
bangunan pada lantai bertingkat, (6) Portico sepanjang dinding muka bangunan pada lantai dasar.
4. Arsitektur Kaili sebagai Proses dan Produk Vernakular Penelitian dilakukan oleh Zubaidi (2009) memfokuskan pada bangunan arsitektur suku Kaili yang mempunyai karakteristik rumah panggung. Pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan kualitatif naturalistik, difokuskan pada penilaian dan pertimbangan keterkaitan antara bentuk dan fungsi ruang serta faktor yang melatarbelakanginya. Berdasarkan hal tersebut dalam penelitian ini digunakan tiga cara dalam membedakan tipe bentuk arsitektur, yaitu spatial system, physical system dan stylistic system. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu berdasarkan sistem spasial (spatial system), arsitektur rumah Kaili umumnya dibagi dalam tiga ruangan besar, ruang depan dibiarkan kosong, berfungsi menerima tamu, sebelum menggunakan meja dan kursi diruang ini dibentangkan tikar, ruang ini juga untuk tempat tidur tamu menginap. Ruang kedua adalah ruang tengah diperuntukan bagi keluarga dan tamu yang menginap berfungsi sebagai ruang tengah dan ruang lain. Ruang ketiga adalah ruang belakang untuk ruang makan. Untuk menghubungkan rumah induk dengan dapur dibuat jembatan beratap. Di kolong dapur diberi pagar keliling, sedang dibawah rumah induk dibiarkan terbuka dan kadang‐kadang menjadi tempat pertukangan, atau keperluan lainnya. Dilihat dari sistem struktur (physical system), bahan utama yang digunakan adalah penggunaan bahan kayu yang banyak terdapat di daerah lembah Palu. Dinding dibuat dari bahan papan kayu, lantai menggunakan bahan kayu, struktur
11
tiang dan struktur rumah panggung lainnya menggunakan bahan kayu, sedangkan bahan atap pada bangunan awal menggunakan bahan atap rumbia setelah mengalami perkembangan zaman bahan atap berubah serta penggunaan material yang alami dengan efisiensi penggunaan sumber daya. Dilihat dari sistem tampilan (stylistic system) secara keseluruhan, bangunan Kaili cukup unik dan artistik bila dilihat dari hiasannya berupa kaligrafi huruf Arab tertampang pada jalusi‐jalusi pintu atau jendela, atau ukiran pada dinding, loteng, di bagian pinggiran cucuran atap dengan motif bunga‐bungaan dan daun‐daunan. Semua hiasan tersebut melambangkan kesuburan, kemuliaan, keramah‐tamahan dan kesejahteraan bagi penghuninya.
5. Perkembangan Tipologi Rumah Vernakular dan Responnya Terhadap Bahaya Gempa (Studi Kasus Desa Duku Ulu, Bengkulu) Penelitian yang dilakukan oleh Sudrajat, dkk (2010) menguraikan tipologi berdasarkan perubahan atau perkembangan bangunan yang telah ada. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi lapangan, wawancara terstruktur, FGD (forum group discussion) dengan masyarakat lokal, dan dokumentasi. Empat aspek yang digunakan sebagai dasar pengamatan yaitu: wujud bangunan, sistem struktur, metode membangun, dan material yang digunakan. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh 5 tipologi bangunan vernakular di desa Duku Ulu, Bengkulu. Tipologi 1 merupakan rumah lama masyarakat Rejang. Tipologi 2 merupakan perkembangan dari tipologi 1 tetapi dengan bentuk yang
12
lebih sederhana. Tipologi 3 merupakan tipologi kolonial, yang pembangunannya dibantu oleh Belanda sekitar tahun 1924. Tipologi 4 merupakan tipologi yang dibangun oleh tukang dari Sungai Musi (Palembang), yang dibangun sekitar tahun 1980-an. Tipologi yang terakhir adalah tipologi 5 yang banyak dikembangkan oleh penduduk yang dibangun tahun 1990-an. Perubahan wujud yang terjadi menunjukkan perkembangan bangunan rumah vernakular ke arah pengurangan terhadap respon gempa.
6. Transformasi Rumah Panggung pada Permukiman Pesisir Jakarta Utara (Studi Kasus: Permukiman Nelayan Angke dan Permukiman Marunda) Listiyanti (2010) dalam penelitiannya mengungkapkan prinsip rumah panggung (home stage) adalah mengangkat lantai rumah di atas tiang-tiang setinggi 60-300cm. Di Indonesia, rumah panggung banyak ditemukan di berbagai daerah seperti pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara, dilatarbelakangi oleh kebiasaan masyarakat tradisional setempat yang sering berpindah tempat (nomaden) dalam bercocok tanam sehingga dipilih konsep rumah panggung agar lebih mudah untuk dibongkar pasang ketika berpindah tempat. Di pulau-pulau lainnya di Indonesia, rumah panggung sangat jarang ditemukan. Di Jawa misalnya, rumah panggung jarang ditemukan karena masyarakat tradisional Jawa lebih suka hidup dengan sistem menetap. Kondisi tanah yang lebih subur tidak mengharuskan mereka untuk berpindah-pindah sehingga mereka cenderung membangun rumah yang bersifat lebih permanen.
13
Rumah panggung dapat ditemukan di lahan rawa-rawa atau lahan yang terkena pasang surut seperti tepian sungai atau laut. Pada umumnya lahan tersebut cenderung tidak subur sehingga memang lebih dimanfaatkan sebagai area bermukim daripada bercocok tanam. Keberadaan rumah panggung di lahan rawarawa atau lahan yang terkena pasang surut merupakan salah satu bentuk adaptasi atas lingkungan. Lahan rawa-rawa atau lahan yang terkena pasang surut seperti tepian sungai atau laut sering dilanda banjir sehingga rumah panggung dengan tiang-tiang yang tinggi merupakan solusi agar rumah tidak terkena atau terendam banjir. Pondasi yang didirikan di atas tiang melindungi lantai rumah dari lumpur dan banjir. Rumah panggung adalah bentuk penyesuaian diri manusia terhadap alam dan ancaman-ancaman lain yang berupa serangan binatang buas atau ancaman serangan dari kelompok masyarakat lain yang bermusuhan. Lebih dari sekedar menjadi tempat untuk berlindung, rumah panggung juga dimanfaatkan untuk tempat menyimpan perkakas rumah tangga dan kebutuhan sehari-sehari, bahkan sebagai kandang hewan ternak atau hewan peliharaan Kajian pustaka yang telah diuraikan dapat dijadikan referensi dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut yang menjelaskan mengenai masing-masing pustaka dan kegunaannya dalam penelitian peneliti:
14 Tabel 2.1 Kajian Pustaka Nama Penulis, Tahun Lihawa (2008)
Judul Penelitian
Tujuan Penelitian
Metode Penelitian
Karakteristik Sistematika Rumah Tinggal Masyarakat Jawa Tondano (Jaton) di Gorontalo Analisis Pendekatan Tipologi Arsitektur
Mengetahui tipologi rumah tinggal masyarakat Jaton di Gorontalo dan mengetahui ada tidaknya perpaduan dua unsur budaya rumah tinggal yaitu Jawa dan Minahasa.
Firzal (2011)
Tipologi Bangunan Tua
Dyah (2007)
Tipologi Perubahan Wajah Bangunan Rumah Jengki Di Kawasan Pakubuwono Jakarta Selatan
Mengklasifikasikan bangunan yang berada dalam lingkup kawasan konservasi di Kota Siak Sri Indrapura Kabupaten Siak, melalui identifikasi tipikal desain elemen bangunan. Mengetahui tipologi perubahan fasade bangunan rumah jengki di kawasan Pakubuwono Jakarta Selatan.
Menggunakan paradigma rasionalistik dengan pendekatan kualitatif. Mengkategorikan tipe-tipe berdasarkan sistem spasial, sistem fisik dan sitem model. Kasus penelitian ditentukan dengan stategi acak (random sampling). Metode yang digunakan adalah metode observasi dan survey. Pendekatan penelitian dilakukan secara kuantititatif dan kualitatif. Pengambilan data primer dilakukan melalui survey lapangan. Diiringi dengan studi literatur, studi kawasan, teoritikal, studi empiris terhadap laporan penelitian terdahulu. Metode yang digunakan adalah pola rasional deduktif. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif, melalui prosedur tahapan penelitian yaitu studi pustaka mengenai sejarah arsitektur jengki dan teori tipologi bangunan, observasi lapangan pada lokasi pengamatan yang telah ditentukan dan analisa dari data yang diperoleh di lapangan.
Kegunaan Penelitian Bagi Penulis/Peneliti Dapat dijadikan bahan referensi dalam menentukan dasar atau acuan untuk mengkategorikan tipe-tipe
Dapat dijadikan bahan referensi dalam menentukan dasar atau acuan untuk mengkategorikan tipe-tipe
Dapat dijadikan bahan referensi dalam metode penelitian yang digunakan
15 Nama Penulis, Tahun Zubaidi, (2009)
Judul Penelitian
Tujuan Penelitian
Metode Penelitian
Arsitektur Kaili Sebagai Proses Dan Produk Vernakular
Mengetahui karakteristik atau tipologi arsitektur Kaili, yang merupakan warisan arsitektur vernacular Mengetahui tipologi rumah vernakular di Desa Duku Ulu dilihat dari perkembangan atau perubahan wujud bangunan rumah vernakular
Pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan kualitatif naturalistic. Pengamatan dilakukan atas sifat-sifat dasar melalui tiga cara yaitu pengamatan berdasarkan spatial system, physical system dan stylistic system Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi lapangan, wawancara terstruktur, FGD (forum group discussion) dengan masyarakat lokal, dan dokumentasi. Empat aspek yang digunakan sebagai dasar pengamatan yaitu: bentuk bangunan rumah vernakular, sistem struktur, metode membangun, dan material yang digunakan. Metode yang digunakan adalah metode deskripsi dengan pendekatan campuran yaitu kualitatif dankuantitatif. Pengamatan dilakukan dengan melihat faktor yang menyebabkan transformasi terjadi. Kemudian faktor-faktor tersebut menjadi alasan munculnya ragam rumah panggung di pesisir Jakarta Utara
Sudrajat, dkk (2010)
Perkembangan Tipologi Rumah Vernakular dan Responnya Terhadap Bahaya Gempa Studi Kasus Desa Duku Ulu, Bengkulu
Listiyanti, (2010)
Transformasi Rumah Panggung pada Permukiman Pesisir Jakarta Utara ( Studi Kasus: Permukiman Nelayan Angke dan Permukiman Marunda)
Mengetahui proses transformasi dan faktorfaktor yang menyebabkan adanya keragaman rumah panggung di pesisir Jakarta Utara
(Sumber : Lihawa (2008), Firzal (2011), Dyah(2007), Zubaidi (2009), Sudrajat, dkk (2010), Listiyanti (2010))
Kegunaan Penelitian Bagi Penulis/Peneliti Dapat dijadikan bahan referensi dalam menentukan dasar atau acuan untuk mengkategorikan tipe-tipe Dapat dijadikan bahan referensi dalam menentukan dasar atau acuan untuk mengkategorikan tipe-tipe
Dapat dijadikan bahan referensi mengenai rumah panggung dan faktor-faktor yang menyebabkan adanya keragaman rumah panggung
16
2.2 Kerangka Berpikir Berdasarkan konteks studi, diketahui bahwa rumah tinggal di Loloan berupa rumah panggung yang terdiri dari beragam wujud. Studi tipologi digunakan untuk mengklasifikasikan beragam wujud rumah panggung berdasarkan sistem spasial. Ada dua permasalahan yang diangkat yaitu seperti apa tipologi wujud rumah panggung di Loloan berdasarkan sistem spasial dan faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya tipologi rumah panggung di Loloan. Metode dan teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu studi literatur, wawancara, pengamatan dan studi dokumentasi terhadap objek rumah panggung dan selanjutnya dipilih objek rumah panggung sebagai wakil yang akan diuraikan lebih lanjut untuk membantu menjawab permasalahan yang dikemukakan. Analisis dilakukan dengan beracuan pada teori sehingga diperoleh jawaban rumusan permasalahan pertama dan permasalahan kedua. Hasil temuan dari permasalahan satu dan dua saling dikaitkan, didialogkan untuk sampai pada kesimpulan akhir. Berikut ini merupakan kerangka berpikir penelitian agar pembaca lebih memahami alur penelitian yang dimaksud peneliti:
17
-
Konteks Studi : Rumah panggung di Loloan terdiri dari beragam wujud Studi tipologi arsitektur dijadikan dasar untuk mengetahui beragam wujud rumah panggung di Loloan Sistem spasial digunakan sebagai dasar dalam menentukan tipologi wujud rumah panggung di Loloan
Rumusan Masalah 1: Seperti apa tipologi wujud rumah panggung di Loloan berdasarkan sistem spasial?
Rumusan Masalah 2: Faktor-faktor apa sajakah yang melatarbelakangi munculnya tipologi rumah panggung di Loloan?
wawancara, observasi, dokumentasi
wawancara, observasi, studi literatur
Landasan Teori Tabulasi data, komparasi rumah panggung asli dan ragam wujud rumah panggung yang ada
Tabulasi data dan analisa hasil wawancara dan observasi
Tipologi wujud rumah panggung di Loloan berdasarkan sistem spasial
Faktor-faktor yang melatarbelakangi munculnya tipologi wujud rumah panggung di Loloan
Break Down
Simpulan
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir
18
2.3 Konsep Pada konsep akan diuraikan definisi operasional penelitian agar tidak menimbulkan persepsi yang berbeda antara penulis/peneliti dengan pembaca. Konsep yang diuraikan yaitu mengenai tipologi bangunan, rumah tinggal, wujud rumah tinggal dan rumah panggung di Loloan. Berikut uraian mengenai konsep penelitian: 2.3.1 Tipologi Bangunan Dalam ilmu arsitektur mengenal adanya studi tipologi. Rafael Moneo dalam Sulistijowati (1991:11) mengungkapkan: Tipologi secara etimologi berasal dari kata typos yang artinya akar dari dan kata logos yang artinya pengetahuan atau ilmu. Tipologi merupakan sebuah konsep yang memilah sebuah kelompok objek berdasarkan kesamaan sifatsifat dasar atau dapat diartikan pula bahwa tipologi adalah tindakan berfikir dalam rangka pengelompokkan. Analisa tipologi dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu menganalisa tipologi dengan cara menggali dari sejarah, mengetahui fungsi suatu objek dan mencari bentuk sederhana suatu bangunan melalui pencarian bangun dasar serta sifat dasarnya. Menurut Johnson (1994) dalam Barliana (2010: 25): Tipologi adalah kajian tentang tipe. Tipe berasal dari kata typos (bahasa Yunani), yang bermakna impresi, gambaran atau figur dari sesuatu. Secara umum, tipe sering digunakan untuk menjelaskan bentuk keseluruhan, struktur, atau karakter dari suatu bentuk atau objek tertentu. Menurut Rossi (1984) dalam Salura (2008:8): Bila ditinjau dari objek bangunan, tipologi terbagi atas tiga hal pokok, yaitu site (tapak) bangunan, form (bentuk) bangunan dan organisasi bagian-bagian bangunan tersebut
19
Antariksa (2010) menyebutkan : Tipologi merupakan sebuah bidang studi yang mengklasifikasikan, mengkelaskan dan mengelompokkan objek dengan berdasarkan aspekaspek/kaidah-kaidah tertentu, seperti fungsi, bentuk maupun gaya. Berdasarkan beberapa pengertian mengenai tipologi yang telah diuraikan, dalam penelitian ini tipologi dapat diartikan sebagai sebuah aktivitas klasifikasi dan pengelompokan. Tipologi merupakan konsep untuk mendeskripsikan kelompok objek berdasarkan atas kesamaan sifat-sifat dasar. Studi tipologi digunakan untuk mengklasifikasikan keragaman wujud dan kesamaan jenis arsitektur rumah panggung di Loloan, Jembrana. Tipologi dalam penelitian ini dikaitkan langsung dengan objek arsitektural, karena pada dasarnya arsitektur adalah aktifitas yang menghasilkan suatu objek. Dengan demikian, dalam penelitian ini selain mengklasifikasikan rumah panggung di Loloan juga dilakukan penelusuran faktor-faktor yang melatarbelakangi munculya tipologi rumah panggung di Loloan.
2.3.2 Wujud Rumah Panggung Konsep wujud rumah tradisional, umumnya berkaitan dengan pandangan kosmologis. Shima (2006:23) menyatakan: Rumah adalah mikrokosmos yang merupakan replika dari makrokosmos (jagad-raya) dan simbol dari wujud manusia Dalam masyarakat tradisional banyak yang menganggap bahwa jagad raya tersusun dari tiga susunan yakni dunia atas, dunia tengah dan dunia bawah. Simbol wujud manusia berkaitan dengan susunan kepala, badan dan kaki.
20
Pembagian dunia atas disejajarkan dengan kepala, dunia tengah dengan badan dan dunia bawah dengan kaki (Shima, 2006:22). Dunia atas atau kepala mencerminkan bagian atas rumah (atap dan loteng), dunia tengah atau badan mencerminkan badan rumah (ruang tempat tinggal) dan dunia bawah atau kaki mencerminkan kaki rumah (tiang dan kolong). Secara umum pembagian dunia itu bahwa dunia atas adalah dunia dewa, Tuhan dan makhluk suci lainnya. Dunia tengah adalah dunia kehidupan manusia dan makhluk hidup lainya. Dunia bawah adalah kehidupan para jin dan roh jahat. Dengan demikian dunia atas melambangkan segala sesuatu yang baik, suci dan yang paling dihormati oleh karenanya pada rumah biasanya pada bagian ini berfungsi sebagai tempat menyimpan barang pusaka yang disucikan dan tempat menyimpan padi. Dunia tengah melambangkan kehidupan dan tempat aktivitas manusia, oleh karenanya pada rumah biasanya sebagai tempat tidur, masak, menerima tamu dan aktivitas-aktivitas sehari-hari lainnya. Dunia bawah melambangkan segala sesuatu yang kotor, jahat dan menakutkan, oleh karenanya pada rumah biasanya sebagai tempat hewan dan alat/benda kotor (Shima, 2006:22). Dalam kaitannya dengan orientasi terdapat berbagai pertimbangan baik teknis maupun non teknis. Pertimbangan teknis biasanya berkaitan dengan arah matahari terbit dan tenggelam, letak akses transportasi (jalan, sungai, laut) dan keadaan topografi lahan. Pertimbangan arah yang non teknis biasanya berkaitan dengan konsepsi tempat suci (Shima, 2006:25)
21
2.3.3 Rumah Panggung di Loloan Menurut salah seorang tokoh Loloan, Haji Mussadad, ciri rumah panggung Loloan yaitu untuk menguatkan kayu satu dengan kayu lain tak ada satu pun paku yang dipergunakan dalam konstruksi rumah panggung. Kayu yang digunakan yaitu jenis kayu tangi. Kayu tangi digunakan untuk membuat tiang rumah panggung Loloan. Kayu tangi banyak ditemukan di wilayah Loloan. Kayu tangi sangat kokoh untuk menyangga bangunan. Biasanya, sebagai sendi dipilih batu atau kayu tengulun. Kayu tengulun merupakan jenis kayu anti rayap. Jika ditempatkan di tanah, tidak akan pernah dimakan rayap. Kayu tangi kemudian diletakkan di atas kayu tengulun. Sebuah rumah panggung mempergunakan 12, 16 atau 20 tiang. Ciri lain dari rumah panggung Loloan ialah menggunakan genteng Palembang. Genteng Palembang warnanya merah dan jarang ditumbuhi lumut. Diperkirakan genteng Palembang dibawa ketika para pedagang berlayar ke Palembang dan berjualan di sana, kembalinya ke Loloan mereka membawa genteng (Bali Post, 30 Juni 2005) Berdasarkan hasil wawancara dengan Ali Nazri, seorang pembuat rumah panggung Loloan (24 Desember 2012), rumah panggung Loloan tersusun atas tiga bagian yaitu lantai dasar/kolong, lantai tengah/induk dan lantai atas/loteng yang disebut para-para. Terdapat dua buah tangga untuk menghubungkan lantai bawah/kolong dengan lantai tengah atau induk. Tangga depan digunakan untuk tamu sedangkan tangga belakang digunakan untuk penghuni rumah atau kerabat dekat.
22
Lantai bawah/kolong awalnya dibiarkan kosong. Hanya digunakan sebagai peninggian untuk mengantisipasi banjir. Semenjak dibangun permukiman di sekitar sungai Ijo Gading yaitu di wilayah Loloan, sungai Ijo Gading mengalami pelurusan dan tidak pernah dilanda banjir besar lagi. Masyarakat Loloan memanfaatkan lantai dasar/kolong sebagai tempat untuk menyimpan peralatan rumah tangga, peralatan bekerja, meyimpan kayu bakar dan bisa juga dimanfaatkan sebagai kandang ternak. Lantai dasar/kolong mempergunakan penutup gedek karena itulah, ruangan bisa multifungsi. Lantai tengah/induk terbagi menjadi 3 bagian yaitu bagian depan, tengah dan belakang. Bagian depan terdapat ruangan yang disebut serambi/amben dan ruang depan. Di bagian tengah, terdapat bilik/kamar tidur. Di belakang, dimanfaatkan sebagai dapur. Lantai atas/loteng yang disebut para-para. Terdapat tangga untuk naik ke loteng/parapara (Ali Nazri, 24 Desember 2012) Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan (2012), seiring perkembangan jaman, rumah panggung Loloan memiliki beragam wujud. Ragam wujud tersebut muncul akibat modifikasi yang dilakukan pemilik/penghuni rumah agar dapat menampung kebutuhan ruang yang semakin berkembang seiring kemajuan jaman. Masyarakat Loloan masih menyebut rumah mereka dengan sebutan rumah panggung jika modifikasi yang dilakukan masih mempertahankan lantai tengah/induk dan kolom bangunan. Jika modifikasi yang dilakukan telah menghilangkan tengah/induk dan menghilangkan kolom bangunan, maka tidak disebut rumah panggung lagi.
23
Konsep rumah panggung menurut masyarakat Loloan tersebut dijadikan dasar untuk mengidentifikasi populasi rumah panggung yang ada di Loloan sehingga diketahui rumah yang masih tergolong rumah panggung dan rumah yang sudah bukan rumah panggung.
2.3.4 Sistem Spasial Secara terminologis, spasial adalah ruang fisik yang terbentuk pada lingkungan permukiman, rumah tinggal dan bentuk bangunan yang terjadi karena faktor yang berkembang di lingkungan masyarakat (Mulyati, 1995:46). Menurut Ronald (2005:47): Spasial adalah sesuatu yang terkait dengan lingkungan atau yang dibatasi oleh permukaan tanah sebagai bidang dasar dan udara di atasnya sebagai rongga. Batas-batas spasial yang lain dapat berupa relung-relung yang terbentuk secara alamiah atau buatan yang menjadi relief permukaan tanah, tumbuh-tumbuhn dan bangunan buatan manusia. Nuswantoro (2004:5) mengungkapkan: Sistem spasial dapat digambarkan sebagai keterkaitan antara man, space, dan time. Manusia selalu dihubungkan dengan ruang dan waktu sehingga dalam aplikasi penggunaaannya dapat dikategorikan dalam dua kategori yaitu struktur spasial dan nilai spasial. Struktur spasial berkaitan dengan fisik ruang yaitu organisasi ruang, hirarki ruang, orientasi ruang, akses/sirkulasi ruang, teritori fisik ruang (dinding, lantai, plafon). Nilai spasial berhubungan dengan makna spasial berkaitan pemanfaatan ruang, dimensi ekonomi dan hubungan antar penghuni (sosial). Habraken (1988:5) Mengungkapkan sistem spasial (spasial sistem) berkaitan dengan denah yang meliputi organisasi ruang, orientasi dan hirarki ruang. Berdasarkan pengertian mengenai spasial, spasial sangat penting dan merupakan unsur pokok dalam memahami arsitektur. Spasial berfungsi sebagai
24
wadah aktivitas manusia baik secara fisik maupun psikis. Seluruh aktivitas manusia yang ditentukan oleh pengetahuan sosial budaya yang dimilikinya, aktifitas yang dilakukan tersebut membentuk sebuah keteraturan yang secara sadar atau tidak dilakukan oleh pelaku aktivitasnya. Hal tersebut juga mengakibatkan sistem spasial dapat terlihat sebagai hubungan antara arsitektur, lingkungan dan budaya tempat spasial tersebut berada. Sistem spasial pada penelitian ini yaitu struktur ruang. Struktur ruang berkaitan dengan fisik ruang. Fisik ruang yang dibahas sesuai dengan pendapat Habraken yaitu berkaitan dengan denah yang meliputi organisasi ruang, orientasi dan hirarki ruang. Menurut Ching (2000:189), organisasi ruang adalah pembagian tata ruang pada bentukan yang sudah ada. Bentuk-bentuk organisasi ruang terdiri dari: 1. Organisasi terpusat Merupakan komposisi terpusat dan stabil yang terdiri dari sejumlah ruang sekunder, dikelompokkan mengelilingi sebuah ruang pusat yang luas dan dominan 2. Organisasi linier Pada dasarnya terdiri dari sederetan ruang yang dapat berhubungan secara langsung satu dengan yang lain atau dihubungkan melalui ruang linier yang berbeda dan terpisah 3. Organisasi radial Memadukan unsur-unsur terpusat maupun linier. Organisasi ini terdiri dari ruang pusat yang dominan dimana organisasi liniernya berkembang menurut arah jari-jarinya. Organisasi radial adalah sebuah bentuk yang eksovert 4. Organisasi cluster Merupakan kelompok ruang berdasarkan kedekatan hubungan atau bersama-sama memanfaatkan satu ciri atau hubungan visual 5. Organisasi grid Terdiri dari bentuk-bentuk dan ruang-ruang yang posisinya dalam ruang dan hubungan antar ruang diatur oleh pola atau bidang grid tiga dimensi
25
Orientasi menurut Ching (2000:198): Orientasi adalah posisi relative suatu bentuk terhadap bidang dasar, arah mata angin atau terhadap pandangan seseorang yang melihatnya. Menurut Ching (2000:338), prinsip hirarki ruang berlaku secara umum, walaupun terdapat perbedaan diantara bentuk-bentuk ruangnya. Perbedaan menggambarkan derajat kepentingan dari bentuk dan ruangnya, serta peran-peran fungsional, formal dan simbolis yang dimainkan di dalam organisasinya. Suatu bentuk atau ruang yang dianggap penting dan menonjol terhadap suatu organisasi harus dibuat unik. Hal ini dapat dicapai dengan menegaskan bentuk atau wujud dengan ukuran luar biasa, wujud yang unik atau lokasi yang strategis. Bentuk atau ruang yang memiliki keutamaan hirarki dibuat lebih bermakna dan menonjol dengan pengecualiaan norma yang ada. Ching (2000:339), membagi hirarki ruang atas tiga kategori yaitu: 1. Hiraki ruang menurut ukuran Pada umumnya keadaan dominan ini diperlihatkan melalui ukuran unsur yang tidak seperti biasa (tidak lazim). Suatu unsur dapat juga mendominasi dengan menonjolkan ukuran yang lebih kecil dari yang lain di dalam organisasi. 2. Hirarki menurut wujud Sebuah ruang atau bentuk dapat terlihat dominan dan menjadi penting dengan mebedakan wujudnya secara jelas dari unsur-unsur lain di dalam komposisinya 3. Hirarki menurut penempatan Ruang atau bentuk dapat ditempatkan secara strategis agar perhatian tertuju padanya sebagai unsur yang paling penting di dalam suatu komposisi.
26
2.3.5 Dasar Hukum Islam Dalam Perancangan Rumah Tinggal Al-Qur’an dan Al-Hadist merupakan acuan bagi umat Islam dalam mengambil keputusan dan dalam melakukan kegiatan sekecil apapun. Al-Qur’an adalah kitab suci agama Islam, merupakan firman Tuhan yang tertulis dan menjadi pegangan hidup utama bagi umat Islam, sedangkan Al-Hadist adalah segala ucapan dan tingkah laku Nabi Muhammad SAW yang dijadikan pedoman bagi kehidupan. Apabila sesuatu hal tidak diatur dalam Al-Qur’an maupun AlHadist, maka seorang muslim wajib melakukan ijtihad. Ijtihad berarti pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan jalan keluar bagi suatu permasalahan dengan menggunakan akal semaksimal mungkin, di mana jalan keluar tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur’an maupun Al-Hadist (Rasyidi, 2000:19). Dalam Al-Quran dan Al-Hadist memang tidak tertulis bagaimana seharusnya bentuk, susunan, maupun tatanan sebuah rumah tinggal. Karena itulah kaum muslim diwajibkan untuk melakukan ijtihad sebagai upaya merancang rumah tinggal yang tidak hanya sesuai dengan Al-Hadist tapi juga dapat mendukung ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Al-Quran dan Al-Hadist. Ini berarti merupakan kesempatan bagi umat Islam untuk berkreasi dan berkarya sesuai dengan kebutuhan dan keadaan (Rasyidi, 2000:20). Zain (2010), mengungkapkan pandangan hidup Islam sangat menjunjung tinggi norma yang mengatur hubungan antara manusia baik antara anggota keluarga, kerabat dekat, tetangga maupun antara status sosial dalam hal ini orang tua dan wanita. Masyarakat Melayu yang beragama Islam contohnya, mencoba untuk mewujudkan ajaran agama Islam dalam penempatan suatu ruang. Wanita
27
senantiasa diposisikan pada tempat yang terlindung dari pandangan bukan muhrim atau aktivitas yang membutuhkan eksploitasi tenaga. Jika wanita ingin berpartisipasi untuk menambah penghasilan suami seperti menenun, membuat kue atau makanan lainnya maka mereka melakukan aktivitas dengan tetap menghindari kedua kondisi tadi. Islam memang secara tegas memberikan batas antara pria dan wanita yang berpotensi menikah. Konsep multi entrance merupakan dampak dari kedua konsep sebelumnya. Pemisahan daerah aktivitas pria dan wanita menyebabkan adanya akses yang berbeda menuju kedua daerah tersebut sehingga dapat menghindari kontak antara pria dan wanita. Zain (2010) juga mengungkapkan ruang keluarga yang merupakan bagian dari rumah. Ruang keluarga ditempatkan sebagai bagian penting dari rumah untuk menciptakan suasana keluarga yang Islami serta mencetak pribadi-pribadi yang selalu berpegang dengan ajaran Islam. Pribadi-pribadi dalam hal ini ayah, ibu, anak dan anggota keluarga yang lain, merupakan bagian dari komunitas masyarakat tempat dimana mereka berada. Ruang keluarga dimaksudkan sebagai tempat berinteraksi antara orang tua dengan anak atau anggota keluarga lainnya. Ruang ini biasanya digunakan sebagai tempat bercengkerama antara seluruh anggota keluarga di waktu-waktu tertentu ataupun digunakan sebagai tempat belajar bagi anak-anak sedangkan orang tua berperan mengawasi dan membantu apabila terdapat kesulitan yang dialami sang anak dalam memahami pelajaran. Di ruang keluarga orang tua berkesempatan menanyakan keadaan anak-anak seperti masalah sekolah, pergaulan anak atau memberikan wejangan sehingga ada fungsi kontrol dari orang tua terhadap anak.
28
2.4 Landasan Teori Teori yang diuraikan dipergunakan sebagai acuan untuk membahas permasalahan yang diangkat. Adapun teori-teori yang digunakan yaitu sebagai berikut: 2.4.1 Wujud Arsitektur Menurut Hendraningsih, dkk (1982:9): Wujud merupakan unit yang mempunyai unsur garis, lapisan, volume, tekstur dan warna. Kombinasi keseluruhan unsur tersebut, menghasilkan suatu ekspresi. Wujud dalam arsitektur selalu dirangkai dengan kata bangunan menjadi istilah wujud bangunan. Menurut Ching (2000:34), Wujud merupakan sebuah istilah yang memiliki beberapa pengertian. Wujud dapat dihubungkan sebagai penampilan luar saja yang dapat dikenali seperti sebuah kursi atau tubuh seseorang yang mendudukinya. Namun, wujud juga dapat dihubungkan baik dengan struktur internal maupun garis eksternal serta prinsip yang memberikan kesatuan secara menyeluruh. Ching (1996:10-11) juga mengungkapkan: Dalam desain arsitektur, terdapat unsur-unsur yang membentuk wujud suatu bangunan, membedakan antara bagian dalam dan membentuk batasbatas ruang interiornya, yaitu kolom/tiang, atap, dinding dan lantai Habraken (1988:5) menawarkan tiga cara dalam mengelompokkan wujud arsitektur, yaitu : a. Sistem spasial (spasial sistem): sistem spasial yaitu berkaitan dengan denah yang meliputi bentuk denah, organisasi ruang, orientasi dan hirarki ruang. b. Sistem fisik (physical sistem): sistem fisik yaitu yang berkaitan dengan penggunaan material-material elemen-elemen konstruksi penyusun bangunan seperti atap, dinding, lantai termasuk kolom yang digunakan dalam mewujudkan suatu fisik bangunan.
29
c. Sistem model/tampilan (stylictic sistem): sistem model adalah yang berkaitan dengan tampak depan/fasade yaitu meliputi pintu dan jendela termasuk ventilasi serta ragam hias Ketiga cara tersebut dapat digunakan untuk melihat wujud arsitektur sehingga wujud-wujud yang ada dapat dikelompokkan ke dalam tipe. Ketiga sistem yang ada juga dapat berdiri sendiri. Habraken (1988:7), dari ketiga cara tersebut sistem spasial merupakan yang paling mendasar dan paling stabil karena terbentuk sesuai dengan pola tingkah manusia. Rumah yang masih mempertahankan pola ruang yang ada, dapat mengadopsi material dan teknologi baru. Hal serupa juga diungkapkan Hendraningsih, dkk (1982:4): Arsitektur pada mulanya lahir semata-mata dari pola tingkah manusia menghadapi kebutuhan manusia akan tempat tinggal yang dapat memberikan perlindungan terhadap alam dalam rangka mempertahankan hidupnya. Setelah manusia berhasil mempertahankan hidupnya, dia mulai mencari kesenangan dan kepuasan batin dari benda-benda yang mampu mempertahankan hidupnya, salah satunya adalah tempat tinggalnya. Dengan keahlian yang dimiliki, manusia mulai bermain dengan keindahan bentuk, warna, tekstur pada tempat tinggal. Berdasarkan teori tersebut, tipologi wujud rumah pada penelitian ini dilihat berdasarkan sistem spasial. Sistem spasial nantinya akan dijadikan dasar dalam menentukan tipologi rumah.
2.4.2 Arsitektur sebagai Produk Budaya Menurut Ir. T. Soemardjan dalam Frick (1996:28) : Arsitektur adalah cerminan kebudayaan. Arsitektur sebagai suatu karya kesenian hanya bisa tercapai dengan dukungan masyarakat yang kuat.
30
Dari pernyataan tersebut, arsitektur memiliki keterkaitan yang sangat mendalam terhadap kebudayaan. Hal ini senada dengan perkataan Prof. Ir. VR. Van Romondt yang dikutip oleh Myrtha Soeroto (2007:5): Dibandingkan bentuk kesenian lainnya seni arsitektur adalah ekspresi kebudayaan yang lebih dapat dipercaya, karena jatuh bangunnya kebudayaan pasti akan diikuti oleh arsitekturnya. Dengan demikian, budaya merupakan faktor pembentuk citra dari sebuah karya arsitektur. Budaya menjadi titik tolak terhadap lahirnya wujud arsitektur. Kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1987: 2-9) adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang diperoleh dan diturunkan dari generasi ke generasi melalui proses belajar. Kebudayaan itu sendiri memiliki tiga wujud yaitu: (1) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, (2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia daam masyarakat, (3) wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Kebudayaan juga memiliki tujuh unsur universal yaitu: (1) sistem religi dan upacara keagamaan, (2) sistem organisasi kemasyarakatan, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian, (6) sistem mata pencaharian hidup, (7) sistem teknologi dan peralatan.
2.4.3 Rumah sebagai Produk Arsitektur Yudohusodo (1991: 432) mengungkapkan: Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau rumah dan sarana pembinaan keluarga. Rumah selain berfungsi sebagai tempat tinggal atau rumah yang digunakan untuk berlindung dari gangguan iklim dan makhluk hidup lainnya, rumah juga
31
merupakan tempat awal pengembangan kehidupan. Pengertian rumah tidak hanya sebagai bangunan rumah saja juga dikemukakan oleh Pedro Arrupe yang dikutip oleh Budihardjo (1987: 57): A House is much more than building. It is social context of family life the place where man loves and shares with those who are closed to him. Rumah bukan semata-mata merupakan tempat bernaung untuk melindungi diri dari pengaruh fisik belaka, melainkan juga harus mampu memenuhi hasrat psikologis dalam membina keluarga. Konsep arsitektur rumah tinggal tradisional di Indonesia tidak lepas dari perikehidupan masyarakatnya, sementara dalam tatanan kehidupan mereka masih mengikuti tatanan hidup yang rumit, segala sesuatu serba tersirat, penuh dengan pemaknaan. Menurut Dewi (2003:30): Berbicara mengenai arsitektur rumah tinggal tradisional di Indonesia tentunya berbeda dengan arsitektur rumah tinggal di Barat. Wujud yang hadir pada arsitektur rumah tinggal tradisional di Indonesia selalu dipertalikan dengan makna “yang lebih dalam”, yang berada di balik bentukan yang terjadi, tidak berhenti hanya pada yang tersurat atau kasat mata. Penggunaan ruang yang terjadi tidak hanya untuk menampung aktivitas fisik sehari-hari, tetapi juga spritual untuk memperoleh ketenangan batin/jiwa. Rumah merupakan salah satu produk arsitektur yang mempunyai peran penting dalam kehidupan manusia. Rumah adalah merupakan kebutuhan dasar manusia berpengaruh besar terhadap pemenuhan kebutuhan dasar manusia lainnya seperti sandang, pangan dan kesehatan. Rumah sebagai produk arsitektur, maka rumah adalah produk budaya. Rapoport (1969:47), mengungkapkan membangun suatu rumah merupakan gejala budaya, maka bentuk pengaturannya sangat dipengaruhi oleh budaya
32
lingkungan dimana bangunan itu berada. Bentuk rumah tinggal tidak sesederhana dari hasil bentukan fisik atau dari faktor tunggal lainnya, tetapi merupakan konsekuensi dan cangkupan faktor-faktor budaya dalam pengertian luas. Hubungan antara rumah dan kebudayaan adalah rumah dan lingkungan merupakan suatu ekspresi masyarakat tentang budaya, agama, struktur sosial dan hubungan sosial antar individu. Sehingga faktor budaya menjadi sangat penting sebagai faktor yang menentukan wujud rumah tinggal.
2.4.4 Perubahan Wujud Rumah Dalam kaitannya dengan elemen pembentuk ruang dalam suatu site, ada tiga dasar yang dapat dikatakan sebagai indikasi suatu perubahan Habraken (1982: 14). Ketiga hal tersebut meliputi : a. Penambahan (addition): penambahan suatu elemen dalam suatu site sehingga terjadi perubahan. Misalnya menambah sekat partisi pada suatu ruang sehingga ruang yang tercipta bertambah. Menambah elemen fasad (pintu, jendela atau elemen fasad lainnya) pada bidang pelingkup tertentu dan sebagainya. b. Pengurangan/membuang (elimination): adalah pengurangan suatu elemen dalam suatu site sehingga terjadi perubahan. Misalnya, membongkar salah satu bidang dinding ruangan dengan maksud memperluas ruang atau menyatukan dua ruangan menjadi satu, menghilangkan jendela pada fasad dan mengganti model jendela tersebut juga termasuk perubahan akibat pengurangan elemen pada suatu bagian ruang c. Pergerakan/perpindahan (movement): adalah perubahan yang disebabkan oleh perpindahan atau pergeseran elemen pembentuk ruang pada suatu site. Misalnya memindahkan atau menggeser posisi bidang dinding pada suatu ruang ke tempat lain atau ke sisi lain, memindahkan posisi tangga, memindahkan posisi pintu dari satu sisi ke sisi lain pada fasad atau bidang ruang lainnya juga termasuk pergerakan menyebabkan suatu fisik bangunan dikatakan berubah. Banyaknya kebutuhan manusia, membuat kebutuhan pada rumah pun berubah. Perubahan/transformasi rumah dipengaruhi oleh dua faktor (Habraken,
33
1976:39-41). Pertama, faktor internal yaitu faktor-faktor yang ada dalam diri seseorang berupa penambahan anggota keluarga, perkembangan kebutuhan, dan perubahan gaya hidup. Kedua, faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepribadian seseorang yang berasal dari luar dirinya, seperti latar belakang budaya dan latar belakang pendidikan. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Budihardjo (1984:56), menurutnya rumah yang didistribusikan sebagai paket barang jadi atau kemasan (seperti contohnya rumah susun), tanpa peluang untuk tumbuh mungkin kurang cocok untuk keluarga Indonesia yang tidak terbatas pada nuces family melainkan lebih cenderung berupa extended family. Rumah tidak hanya dihuni ayah, ibu dan anak tepi sering juga ipar, kemenakan, menantu, nenek bahkan bekas tetangga di kampong. Untuk itu suatu rumah perlu memebrikan kesempatan atau peluang kepada tiap keluarga untuk dapat berkreasi sarat dengan inovasi, menencana dan membangun rumahnya dengan penuh keluwesan agar selalu tanggap terhadap tiap perubahan. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa fenomena perubahan yang terjadi pada kehidupan manusia merupakan suatu hal yang alamiah dan tidak dapat dihindari. Fenomena tersebut memberikan pengaruh pada rumah yang ditinggali manusia. Meningkatnya kebutuhan dan berubahnya pola dalam keluarga juga turut mempengaruhi kebutuhan ruang dalam rumah. Rapoport menyatakan perubahan rumah dalam konteks perubahan kebudayaan tidak berlangsung secara spontan dan menyeluruh akan tetapi tergantung kedudukan elemen yang berubah dalam sistem kebudayaan secara keseluruhan (Rapoport, 1983:261-262). Rapoport membagi elemen tersebut atas:
34
1. Elemen inti (core element) yang sulit berubah, bersifat tetap atau tidak bisa dihilangkan dan menjadi identitas pemilik arsitektur tersebut 2. Elemen pinggiran (peripheral element) merupakan bagian yang tidak terlalu penting dan mudah berubah 3. Elemen tambahan (new element) yaitu elemen-elemen tambahan yang menjadi bagian baru.
2.4.5 Faktor yang Melatarbelakangi Munculnya Ragam Wujud Rumah Menurut Haryadi dan Setiawan (1995:64), faktor religi atau kepercayaan dipandang sangat berpengaruh pada bentuk dan pola rumah, bahkan dalam masyarakat tradisional cenderung merupakan faktor dominan dibandingkan faktor-faktor lain Menurut Miarsono (1997) dalam Budihardjo (1997:149), bahwa arsitektur dan lingkungan sangat dipengaruhi oleh faktor sosial budaya, bukan hanya dipengaruhi oleh iklim, teknologi, bahan bangunan dan ekonomi, dimana semua faktor ini menghasilkan wujud bangunan. Bangunan bukan sekedar objek atau suatu bentuk struktur saja, melainkan sebagai suatu institusi dasar suatu budaya. Rapoport (1969: 18-26) dalam buku House Form and Culture menjelaskan tentang teori alternatif wujud. Ia menyatakan bahwa : Terciptanya suatu wujud atau model disebabkan oleh beberapa faktor yaitu primary atau primer dan modifying factors atau sekunder. Primary factors meliputi faktor sosial budaya, sedangkan modifying factors mencangkup faktor iklim, faktor bahan atau material, faktor konstruksi, faktor teknologi dan faktor lahan”. Faktor iklim bukanlah faktor utama yang menentukan wujud karena pada kenyataannya terdapat banyak variasi wujud yang lahir di daerah yang beriklim sama. Faktor bahan atau material, konstruksi dan teknologi juga tidak mempengaruhi bentuk secara langsung. Bahan dapat ditentukan kemudian setelah
35
wujud yang diinginkan sudah terbayang. Akan tetapi ketiga faktor tersebut tetap memberikan perbedaan tertentu terutama karena dengan mempertimbangkan ketiga faktor tersebut dapat membantu mewujudkan wujud yang diinginkan. Faktor sosial budaya meliputi pertimbangan-pertimbangan tentang agama dan kepercayaan, keluarga dan struktur masyarakat, organisasi sosial, hubungan sosial antar individu dan pandanganhidup. Pandangan hidup setiap orang yang salah satunya dipengaruhi oleh hubungan manusia dan alam tentunya berbeda sehingga berdampak pada cara setiap orang bertingkah laku dalam menjalani hidup. Hal ini yang melahirkan keistimewaan suatu kebudayaan. Faktor sosial budaya merupakan faktor yang sangat penting dalam proses lahirnya wujud arsitektural. Namun demikian lahirnya suatu wujud tidak cukup dengan hanya menjelaskan salah satu diantara sekian banyak faktor yang disebutkan sebelumnya. Jauh lebih baik memperhatikan interaksi dari setiap faktor sekunder yang berpengaruh dan juga memperhatikan fenomena budaya setempat yang Amos Rapoport sebutkan sebagai faktor primer. Berdasarkan hal tersebut maka faktor-faktor munculnya ragam wujud rumah panggung di Loloan dilihat dari faktor sosial budaya dan faktor-faktor lainnya seperti seperti faktor ekonomi, faktor geografis, iklim, bahan bangunan dan sebagainya
36
2.5 Model Penelitian Model berikut ini akan menjelaskan secara menyeluruh kegiatan penelitian yang dilakukan ke dalam sebuah diagram:
TIPOLOGI RUMAH PANGGUNG DI LOLOAN BERDASARKAN SISTEM SPASIAL
Kasus Penelitian
Rumusan Masalah 1:
Rumusan Masalah 2:
Seperti apa tipologi wujud rumah panggung di Loloan?
Faktor-faktor apa sajakah yang melatarbelakangi munculnya ragam tipologi rumah panggung di Loloan?
-
- Teori Faktor yang Melatarbelakangi Munculnya Ragam Wujud Rumah Rapoport yaitu faktor penentu dan faktor pengaruh
-
Teori tipologi wujud Habraken dilihat dari sistem spasial Teori indikasi perubahan wujud rumah Habraken Teori elemen Rapoport
Kesimpulan dan Saran
Gambar 2.2 Bagan Model Penelitian
37
BAB III METODE PENELITIAN
Dalam bab ini akan dikemukakan tentang metode penelitian, yang mencakup rancangan penelitian, lokasi penelitian, cara pemilihan sampel, jenis dan sumber data, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data. 3.1 Rancangan Penelitian Pendekatan yang dipakai dalam penelitian adalah pendekatan kualitatif rasionalistik. Muhadjir (1996:88) menjelaskan bahwa pendekatan rasionalistik menuntut sifat holistik, obyek diteliti tanpa dilepaskan dari konteksnya. Desain penelitian rasionalistik bertolak dari kerangka teori sebagai dasar atau acuan turun ke lapangan dan untuk dasar menganalisis. Variabel dari penelitian ini mengacu dari teori wujud oleh Habraken (1988:5) yaitu tipologi wujud dilihat melalui tiga cara yaitu melalui sistem spasial, sistem fisik dan sistem model/tampilan. Sistem spasial merupakan yang paling dasar sehingga sistem spasial digunakan sebagai variabel yang akan digunakan sebagai dasar klasifikasi tipologi. Tabel 3.1 berikut menunjukkan variabel penelitian: Tabel 3.1 Variabel Penelitian Wujud Arsitektur Menurut Habraken (1988:5)
Wujud Rumah Panggung di Loloan
Bentuk Denah Sistem Spasial (spasial sistem)
Susunan ruang
Lantai atas/loteng Lantai tengah/induk Lantai dasar/kolong
Orientasi Hirarki
37
Variabel Bentuk denah Susunan ruang lantai atas/loteng Susunan ruang lantai tengah/induk Susunan ruang lantai dasar/kolong Orientasi Hirarki
38
3.2 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian berada di Loloan, Kabupaten Jembrana, Bali. Loloan terdiri dari wilayah Loloan Barat dan Timur. Loloan Barat terletak di sebelah barat sungai Ijo Gading. Loloan Timur terletak di sebelah timur sungai Ijo Gading. Gambar 3.1 berikut menunjukkan lokasi wilayah Loloan. Gambar 3.2 menunjukkan peta wilayah penelitian.
Jembrana
Jembrana
Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian Sumber : http://www.jembranakab.go.id/, diakses 10 November 2012
39
Jl. Gilimanuk-Denpasar
Jl. Gilimanuk-Denpasar
Kelurahan Banjar Tengah
Jl. Pahlawan
Kelurahan Baler Agung
Jl. Ngurah Rai Jl. Ngurah Rai Kelurahan Banjar Tengah
Kelurahan Loloan Barat Sungai Ijo Gading
Kelurahan Baler Agung
Kelurahan Loloan Timur
Kelurahan Dauh Waru
Kelurahan Lelateng
Desa Budeng Desa Pengambengan
Gambar 3.2 Peta Wilayah Penelitian Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan penanaman Modal Pemerintah Kabupaten Jembrana dimodifikasi Pramesti, 2013
40
3.3 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data kualitatif dan kuantitatif yang diperoleh dari sumber data yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Data kualitatif merupakan data yang disajikan dalam bentuk kata-kata yang mengandung suatu makna. Data kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini berupa: a) data gambaran umum lokasi penelitian, b) data informasi sejarah muncul dan berkembangnya wilayah Loloan, c) data gambaran masa lalu rumah panggung di Loloan, d) data hasil pengamatan wujud rumah panggung di Loloan, e) data hasil wawancara mengenai alasan-alasan atau perubahan-perubahan yang dilakukan pada rumah panggung, f) data penghuni rumah seperti nama, profesi, agama/kepercayaan, aktivitas dan interaksi sehari-hari di rumah dalam hubungannya dengan ruang-ruang rumah. Data kuantitatif merupakan data yang disajikan dalam bentuk angka-angka atau perhitungan-perhitungan. Data kuantitatif yang digunakan berupa: a) data jumlah rumah panggung yang ada di Loloan, b) data jumlah penghuni rumah, c) data jumlah objek yang memenuhi tipe. Data kualitatif maupun data kuantitatif diperoleh dari sumber data yang dapat dibedakan menjadi dua yaitu data yang diperoleh dari sumber langsung atau disebut data primer dan data yang diperoleh secara tidak langsung atau yang disebut data sekunder. a. Data primer diperoleh dari hasil observasi baik itu pengamatan, pengukuran dan dokumentasi langsung di lapangan dan data hasil wawancara dengan
41
informan untuk mendapatkan informasi yang mendukung hasil penelitian. Informan yang diwawancarai yaitu: a) instansi pemerintah seperti Lurah untuk mendapatkan data dan gambaran lokasi penelitian, b) kepala lingkungan masing-masing wilayah untuk mengetahui jumlah rumah panggung yang ada di Loloan, c) tokoh masyarakat/sesepuh Loloan untuk mengetahui sejarah Loloan,
gambaran
rumah
panggung
pada
masa
lalu,
d)
pemilik
rumah/penghuni rumah untuk mengetahui karakter rumah panggung Loloan dan perubahan-perubahan yang dilakukan b. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka pada buku, dokumen, artikel, jurnal. Lebih jelasnya mengenai jenis dan sumber data dapat dilihat pada Tabel 3.2 berikut: Tabel 3.2 Jenis dan Sumber Data N o
1.
Tujuan
Mengetahui gambaran umum lokasi penelitian dan ragam rumah panggung di Loloan
2.
Mengetahui ragam wujud rumah panggung di Loloan
3.
Mengetahui fatorfaktor yang melatarbelakangi munculnya tipologi rumah panggung di Loloan
Data Gambaran dan sejarah Loloan
Jenis Data
Kualitatif
Sumber Perolehan Data Sekunder Studi literature &Primer Wawancara Primer
Jumlah rumah panggung di Loloan Informasi mengenai rumah: ruang-ruang yang terdapat pada rumah, perubahanperubahan yang dilakukan pada rumah Identitas penghuni rumah: pekerjaan, jumlah penghuni rumah
Kuantitatif
Wawancara, observasi
Kualitatif
Wawancara Observasi
Primer
Kualitatif
Wawancara
Primer
42
3.4 Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri yang dilengkapi dengan alat-alat bantu seperti alat tulis, alat rekam, alat gambar dan kamera
3.5 Teknik Sampling Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik stratified random sampling. Menurut Azwar (2003:81) pengambilan kasus secara random merupakan cara pengambilan objek dari populasi yang bersifat homogen atau memiliki karakter yang mirip, sehingga setiap objek mendapatkan kesempatan yang sama untuk dapat dipilih menjadi anggota kasus. Populasi rumah panggung yang ada dikelompokkan berdasarkan kriteria yaitu jumlah kepala keluarga, posisi rumah terhadap jalan, penambahan ruang, penambahan fungsi ruang, dan penggunaan material. Lima kriteria tersebut digunakan untuk mengelompokkan karakter rumah panggung yang ada.
3.6 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data merupakan hal yang sangat penting, karena untuk mendapatkan data di lapangan diperlukan metode yang tepat sehingga data yang diperoleh menjadi jelas dan akurat. Metode pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Observasi: metode observasi merupakan pengamatan dan pencatatan dengan sistematik fenomena-fenomena yang diselidiki. Observasi dalam penelitian ini dilakukan secara langsung yaitu dengan pengamatan langsung di lapangan,
43
b. Wawancara: wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi dari pihakpihak yang terkait untuk memperoleh data yang akan diperlukan untuk pembahasan. Wawancara dilakukan terhadap tokoh masyarakat yang dinilai memiliki pengetahuan atau wawasan yang luas tentang sejarah Loloan dan penghuni rumah yang mengetahui keadaan rumah. Wawancara dilakukan dengan tidak terstuktur agar wawancara tidak kaku sehinga informan yang memberikan sumber akan lebih mudah dan santai dalam memberikan jawaban. c. Studi dokumentasi: studi dokumentasi dilakukan dengan cara mencari dan mengumpulkan informasi dan data tambahan dari dokumen tertulis yang dapat mendukung penelitian yaitu catatan penting baik dari lembaga, organisasi maupun perorangan atau data berupa bahan dokumen atau informasi yang disimpan dan di dokumentasikan sebagai bahan dokumenter. Teknik pengumpulan data yang dilakukan yaitu sebagai berikut : (1) Wawancara dengan Lurah dan Kepala Lingkungan untuk memperoleh gambaran dan jumlah rumah panggung yang ada di Loloan (2) Wawancara
dengan
sesepuh/tokoh
masyarakat
di
Loloan
untuk
mengetahui sejarah dan gambaran rumah panggung di Loloan (3) Observasi rumah panggung di Loloan dengan alat dokumentasi berupa kamera, alat tulis untuk mencatat hal-hal penting dan alat gambar. (4) Wawancara dengan masing-masing pemilik/penghuni rumah.
44
3.7 Teknik Analisa Data Analisis data bertujuan untuk menyempitkan dan membatasi penemuanpenemuan sehingga menjadi suatu data yang teratur, serta tersusun dan lebih berarti. Penelitian ini menggunakan tiga teknik dalam menganalisa data yaitu : a. Reduksi data: reduksi data dilakukan dengan meringkas data hasil wawancara dan data keberagaman wujud rumah panggung di Loloan. b. Analisa data: hasil reduksi data selanjutnya saling dikaitkan sesuai dengan landasan teori dan kajian pustaka yang digunakan. c. Penarikan kesimpulan: peneliti dalam kaitan ini mempertajam kesimpulankesimpulan yang telah dibuat untuk sampai pada kesimpulan final. Gambar 3.3 berikut merupakan bagan teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini :
Pengumpulan Data: data hasil wawancara dan data keberagaman rumah panggung di Loloan
Reduksi Data : Data keberagaman rumah panggung yang terkumpul diedit dan diringkas
Analisa Data : Data hasil wawancara dan data keberagaman rumah panggung saling dikaitkan dengan landasan teori dan kajian pustaka
Penarikan Kesimpulan : Mempertajam kesimpulankesimpulan yang telah dibuat untuk sampai pada kesimpulan final
Gambar 3.3 Bagan Teknik Analisa Data
3.8 Penyajian Hasil Analisa Data Analisis data merupakan upaya untuk mencari dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara, penggambaran, sketsa dan lainnya untuk meningkatkan pemahaman peneliti tentang kasus yang diteliti dan menyajikan
45
temuannya bagi orang lain. Dari hasil kegiatan yang dilakukan, baik berdasar studi pustaka, studi lapangan dan sesudah meninggalkan lapangan, data yang terkumpul, dikategorisasikan, di tata urutan penelaahannya. Data yang diperoleh yang kemudian di analisis disajikan dalam bentuk teks atau penjelasan naratif maupun dalam bentuk tabel. Tabel 3.3 berikut ini merupakan tabel yang menguraikan tentang analisa dan penyajian hasil analisa data yang digunakan dalam penelitian: Tabel 3.3 Analisa dan Penyajian Hasil Analisa Data
Langkah Penelitian Ragam wujud rumah panggung di Loloan Tipologi rumah panggung di Loloan
Faktor-faktor yang melatarbelakangi terdapatnya ragam tipologi rumah panggung di Loloan
Teknik Pengumpulan Data Dan Sumber Data Observasi lapangan, dokumentasi, wawancara Observasi dan Wawancara dengan pemilik rumah, dokumentasi, studi literatur Observasi dan Wawancara dengan pemilik rumah, studi literatur
Teknik Analisa Data
Teknik Penyajian Hasil Analisa Data
Mengamati seluruh populasi dilapangan maupun melalui foto-foto yang telah didokumentasikan. Pengamatan dilakukan berdasarkan pedoman observasi. Menganalisa keterkaitan ragam wujud rumah panggung di Loloan dan hasil observasi dengan teori wujud arsitektur
Data disajikan dalam bentuk tabel
Menganalisa keterkaitan ragam wujud rumah panggung di Loloan dan jawabanjawaban dari hasil wawancara dan observasi dengan teori faktor-faktor penyebab munculnya ragam wujud arsitektur
Data disajikan dalam bentuk tabel dan teks atau penjelasan naratif
Data disajikan dalam bentuk tabel dan dalam bentuk teks atau penjelasan naratif