BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Maraknya aksi kekerasan dan kerusuhan massal akhir-akhir ini, membuat kita cukup prihatin. Dikatakan dengan istilah cukup prihatin, karena dari peristiwa yang begitu kecil saja, ternyata dapat memicu kerusuhan massal yang menimbulkan banyak korban, bukan hanya harta benda, melainkan pula jiwa manusia. Sedangkan lokasi dari terjadinya peristiwa kerusuhan-kerusuhan tersebut merata di hampir di seluruh kepulauan-kepulauan besar Nusantara ini. Termasuk halnya di daerah Provinsi Sumatera Utara khususnya di Kota Medan, dimana kerusuhan tersebut diakibatkan dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok di pasaran, sehingga terdapatnya sekelompok orang yang bertindak berlawan dengan perundang-undangan yang ada. Tidak mengherankan jika saja banyak orang yang mencari penyebabnya. Ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa sebagai faktor pemicunya antara lain, karena terjadinya kesenjangan sosial ekonomi, tersumbatnya komunikasi, atau karena adanya rekayasa pihak ketiga.1 Kecuali itu ada pula yang mengkaitkannya dengan makin meningkatnya suhu politik menjelang pemilu dan di masa pemilu itu sendiri, terlebih-lebih dengan semakin turunnya nilai rupiah terhadap dolar yang lebih dikenal dengan istilah krisis moneter. Maraknya aksi kerusuhan yang terjadi belakangan ini di tanah air, adalah
1
CST, Kansil, dkk, 2009, Tindak Pidana Dalam Undang-Undang Nasional, Jakarta: jala Permata Aksara. halaman 22.
1 Universitas Sumatera Utara
karena terjadinya ketidakadilan di masyarakat, tidak tegaknya hukum, adanya arogansi kekuasaan dari oknum aparat, tersumbatnya aspirasi masyarakat, serta adanya jurang antara si kaya dan si miskin. Berdasarkan uraian pembahasan di atas, maka membicarakan perihal kerusuhan ini tidak terlepas dari faktor-faktor penyulut kerusuhan itu sendiri. Maka dalam kedudukan yang sedemikian
penghasut mempunyai kepentingan atas
peristiwa-peristiwa kerusuhan yang ditimbulkan tersebut. Mengantisipasi adanya penghasut yang bakal menyulut berbagai kerusuhan tersebut, maka Presiden Soeharto pernah membentuk Pusat Komando (POSKO) Kewaspadaan Nasional, yang antara lain bertugas untuk memantau gerakangerakan penghasut, penyebar selebaran, dan sebagainya. Sebab, menurut Presiden, dengan mencermati detail peristiwa kerusuhan yang terjadi dapat disusupi adanya kelompok-kelompok tertentu yang memang hendak menggoyang stabilitas nasional. Suatu hal yang sangat berhubungan dengan peristiwa unjuk rasa adalah terjadinya hal-hal yang berakibat tidak baik yang menyertai unjuk rasa tersebut yaitu terjadinya anarkhis. Apabila terjadi suatu anarkhis dalam suatu peristiwa unjuk rasa maka kepada pihak penanggung jawab unjuk rasa tersebut dapat dimintakan pertanggungjawabannya, yang salah satunya adalah pertanggung jawaban pidana. Kajian skripsi ini tidaklah sedemikian luasnya, hanya saja perbandingan uraian di atas mendudukkan
penghasut pada suatu peristiwa tindak pidana
sehingga dengan demikian sanksi-sanksi pidana sebagaimana yang diatur oleh
Universitas Sumatera Utara
undang-undang perlulah dimintakan pertanggung-jawabannya kepada penghasut. Perihal ketentuan menghasut ini diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tepatnya pada Pasal 160 yang berbunyi: “Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan per-buatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Meskipun Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerderkaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum sudah secara tegas memberikan batasan tentang bagaimana sistem melakukan unjuk rasa yang baik dalam hubungannya dengan kemerdekaan menyampaikan pendapat, tetapi dalam kenyataannya sering terlihat benturan-benturan yang terjadi sewaktu berjalannya unjuk rasa, seperti terjadinya tindakan anarkhis, benturan antara pengunjuk rasa dengan kepolisian, bahkan sampai kehilangan nyawa dan luka-luka di antara kedua belah pihak. Kondisi ini tentunya amat sangat disa-yangkan. Di satu sisi unjuk rasa adalah dihormati karena merupakan cara menyampaikan pendapat, sedangkan di sisi yang lain, terkadang unjuk rasa dijadikan sebagai sarana pembenaran pendapat. Mengapa hal ini terjadi dan bagaimana sebenarnya tanggung jawab pihakpihak yang terlibat dalam unjuk rasa ini dalam kaitannya dengan unjuk rasa adalah suatu hal yang sangat menarik untuk dikaji lebih jauh dalam penulisan skripsi ini.
Universitas Sumatera Utara
B. Perumusan Masalah Setiap pelaksanaan penelitian penting diuraikan permasalahan karena dengan hal yang demikian dapat diketahui pembatasan dari pelaksanaan penelitian dan juga pembahasan yang akan dilakukan. a. Bagaimana bentuk kejahatan penghasutan terhadap aksi unjuk rasa yang berakibat anarkhis? b. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya unjuk rasa yang berakibat anarkhis? c. Bagaimana tanggung jawab pidana penghasut terhadap aksi untuk rasa yang berakhir anarkhis?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah untuk: 1. Untuk mengetahui bentuk kejahatan penghasutan terhadap aksi unjuk rasa yang berakibat anarkhis. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya unjuk rasa yang berakibat anarkhis. 3. Untuk mengetahui tanggung jawab pidana penghasut terhadap aksi untuk rasa yang berakhir anarkhis. Sedangkan yang menjadi manfaat penelitian dalam hal ini adalah: a. Secara teoritis untuk menambah literatur tentang perkembangan hukum pidana khususnya dalam kaitannya dengan tanggung jawab penghasut dalam kasus unjuk rasa yang bersifat anarkhis.
Universitas Sumatera Utara
b. Secara praktis ini juga diharapkan kepada masyarakat dapat mengambil manfaatnya terutama dalam hal mengetahui tentang akibat hukum tindak pidana bagi penghasut.
D. Keaslian Penulisan Adapun penulisan skripsi yang berjudul “Pertanggung Jawaban Penghasut Untuk Melakukan Unjuk Rasa Yang Bersifat Anarkhis” ini merupakan luapan dari hasil pemikiran penulis sendiri. Penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi lainnya. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan akademik.
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Tindak Pidana Pengertian dari tindak pidana adalah tindakan yang tidak hanya dirumuskan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai kejahatan atau tindak pidana, jadi dalam arti luas hal ini berhubungan dengan pembahasan masalah deliquensi, deviasi, kualitas kejahatan berubah-ubah, proses kriminisasi dan deskriminasi suatu tindakan atau tindak pidana mengingat tempat, waktu, kepentingan dan kebijaksanaan golongan yang berkuasa dan pandangan hidup orang (berhubungan dengan perkembangan sosial, ekonomi dan kebudayaan pada masa dan di tempat tertentu).2
2
S.R. Sianturi, 2002, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika, halaman. 204.
Universitas Sumatera Utara
Istilah tindak pidana dalam bahasa Indonesia merupakan perbuatan yang dapat atau boleh dihukum, perbuatan pidana, tindak pidana, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut “strafbaarfeit” atau “delik”. Para sarjana Indonesia mengistilahkan strafbaarfeit itu dalam arti yang berbeda, diantaranya Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yaitu: “perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa larangan tersebut”.3 Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana yang dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dinamakan tindak pidana, yang disebut juga delik. Menurut wujud dan sifatnya, tindak pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan tersebut juga merugikan masyarakat dalam bertentangan dengan atau menghambat terlaksananya tata pergaulan masyarakat yang dianggap adil.4 Namun demikian tidak semua perbuatan yang merugikan masyarakat dapat disebut sebagai tindak pidana atau semua perbuatan yang merugikan masyarakat diberikan sanksi pidana. Di dalam tindak pidana disamping alat sifat tercelanya perbuatan tersebut dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa melakukannya. Berdasarkan literatur hukum pidana sehubungan dengan tindak pidana banyak sekali ditemukan istilah-istilah yang memiliki makna yang sama dengan tindak pidana. Istilah-istilah lain dari tindak pidana tersebut adalah antara lain : 1. Perbuatan melawan hukum. 3
C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, 2004, Pokok-pokok Hukum Pidana, Jakarta: Pradnya Paramita, halaman 77. 4 Moeljanto, 2001, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, halaman 19.
Universitas Sumatera Utara
2. Pelanggaran pidana. 3. Perbuatan yang boleh dihukum. 4. Perbuatan yang dapat dihukum.5 Menurut R. Soesilo, tindak pidana yaitu suatu perbuatan yang dilarang atau yang diwajibkan oleh undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan diancam dengan hukuman.6 Menurut Moeljatno “peristiwa pidana itu ialah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan undang-undang lainnya terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman Simons, peristiwa pidana adalah perbuatan melawan hukum yang berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggung jawab, kesalahan yang dimaksud oleh Simons ialah kesalahan yang meliputi dolus dan culpulate.7
2. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau
5
Roeslan Saleh. 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Aksara Baru, halaman 32. 6 R. Soesilo. 1991. Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus. Bogor: Politeia, halaman. 11. 7 Moeljatno. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, halaman 62.
Universitas Sumatera Utara
tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak.8 Hukum pidana, ada dua hal penting yang perlu mendapat perhatian, yaitu mengenai hal melakukan perbuatan pidana (actus reus) yang berkaitan dengan subjek ataupelaku perbuatan pidana, dan mengenai kesalahan (mens rea) yang berkaitan dengan masalahpertanggungjawaban pidana. Berkaitan dalam asas hukum pidana yaitu “Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea ”, bahwa “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”, maka pengertian “tindak pidana” itu terpisah dengan yang dimaksud “pertanggungjawaban tindak pidana”. Tindak pidana hanyalah menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan itu dengan suatu pidana, kemudian apakah orang yang melakukan perbuatan itu juga dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan akan sangat tergantung pada soal apakah dalam melakukan perbuatannya itu si pelaku juga mempunyai kesalahan.9 Dasar pertanggungjawaban adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dalam hubungannya dengan kelakuannya yang dapat dipidana serta berdasarkan kejiwaannya itu pelaku dapat dicela karena kelakuanya itu. Dengan kata lain, hanya dengan hubungan batin inilah maka perbuatan yang dilarang itu dapat dipertanggungjawabkan pada si pelaku. Batin yang salah (guilty mind, mens rea) ini adalah kesalahan yang merupakan sifat subjektif dari tindak pidana karena
8
Iman Herlambang, “Pengertian Pertanggungjawaban Pidana”, http://imanhsy.blogspot.com/2011/12/pengertian-pertanggungjawaban-pidana.html, Diakses tanggal 16 Mei 2012. 9 Scribd, “Kebijakan Penanggulangan Tindak Pidana Teknologi Informasi Melalui Hukum Pidana”, http://www.scribd.com/doc/81906509/39/C-1-2-Pertanggungjawaban-Pidana, Diakses tanggal 17 Mei 2012.
Universitas Sumatera Utara
berada didalam diri pelaku oleh karena itu kesalahan memiliki dua segi, yaitu segi psikologi dan segi normatif. Segi psikologi kesalahan harus dicari di dalam batin pelaku yaitu adanya hubungan batin dengan perbuatan yang dilakukan sehingga ia dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Segi normatif yaitu menurut ukuran yang biasa dipakai masyarakat sebagai ukuran untuk menetapkan ada tidaknya hubungan batin antara pelaku dengan perbuatannya. Berkaitan dengan kesalahan yang bersifat psikologis dan normatif, serta unsur-unsurtindak pidana maka kesalahan memiliki beberap unsur: 1. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum) 2. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pelaku (di atas umur dan pelakudalam keadaan sehat dan normal). 3. Adanya hubungan antara si pelaku dengan perbuatannya baik yang disengaja (dolus) maupun karena kealpaan (culpa). 4. Tidak adanya alasan pelaku yang dapat menghapus kesalahan.10
Seseorang yang melakukan tindak pidana bare boleh dihukum apabila sipelaku sanggup mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah diperbuatnya, masalah penanggungjawaban erat kaitannya dengan kesalahan, oleh karena adanya asas pertanggungjawaban yang menyatakan dengan tegas "Tidak dipidana tanpa ada kesalahan" untuk menentukan apakah seorang pelaku tindak pidana dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan dilihat apakah orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan. Secara doktriner kesalahan diartikan sebagai keadaan pysikis yang tertentu pada orang
10
Moeljatno, Op.Cit, halaman 89.
Universitas Sumatera Utara
yang melakukan perbuatan tindak pidana dan adanya hubungan antara kesalahan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan dengan sedemikian rupa, sehingga orang tersebut dapat dicela karena, melakukan perbuatan pidana. Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah telah ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang, ia akan diminta pertanggungjawaban apabila perbutan tersebut melanggar hukum. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban. Pada umumnya seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab dapat dilihat dari beberapa hal yaitu: Keadaan Jiwanya a. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara. b. Tidak cacat dalam pertumbuhan (Gage, Idiot, gila dan sebagainya) c. Tidak terganggu karena terkejut (Hipnotisme, amarah yang meluap dan sebagainya). Kemampuan Jiwanya: 1. Dapat menginsyafi hakekat dari perbuatannya. 2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah dilaksanakan atau tidak. 3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut. 11 Adapun menurut Van Hamel, seseorang baru bisa diminta pertanggungjawabannya apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
a. Orang tersebut harus menginsafi bahwa perbuatannya itu menurut tata cara kemasyarakatan adalah dilarang.
b. Orang tersebut harus dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatannya tersebut. 12
3. Pengaturan Unjuk Rasa Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menjelaskan bahwa “Unjuk rasa atau demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara demonstratif di muka umum”. Berdasarkan pengertian tersebut maka disini dapat dilihat bahwa undangundang memberikan kata yang memiliki makna yang sama antara unjuk rasa dan demonstrasi. Penekanan makna unjuk rasa adalah dilakukan di depan umum dengan cara yang demonstratif. Makna kata demonstratif lebih mendekati kepada makna memperlihatkan, mempertontonkan secara mencolok.13 Unjuk rasa atau demonstrasi (demo) adalah sebuah gerakan protes yang dilakukan sekumpulan orang di hadapan umum. Unjuk rasa biasanya dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok tersebut atau penentang kebijakan yang
11
Comprehensive Education Center, “Pengertian Pertanggungjawaban” http://www.ombar.net/2009/10/pengertian-pertanggungjawaban.html, Diakses tanggal 12 Mei 2012. 12
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
dilaksanakan suatu pihak atau dapat pula dilakukan sebagai sebuah upaya penekanan secara politik oleh kepentingan kelompok. Unjuk rasa umumnya dilakukan oleh kelompok mahasiswa yang menentang kebijakan pemerintah, atau para buruh yang tidak puas dengan perlakuan majikannya. Unjuk rasa juga dilakukan oleh kelompok-kelompok lainnya dengan tujuan lainnya.14 Demonstrasi memiliki banyak definisi dan pengertian yang berbeda-beda jika ditilik dari sudut pandang yang berbeda. Demonstrasi dapat diartikan sebagai suatu aksi peragaan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk menunjukkan cara kerja, cara pembuatan, maupun cara pakai suatu alat, material, atau obat jika ditilik dari sudut pandang perdagangan maupun sains. Penulis menggunakan definisi demonstrasi dalam konteksnya sebagai salah satu jalur yang ditempuh untuk menyuarakan pendapat, dukungan, maupun kritikan, yaitu suatu tindakan untuk menyampaikan penolakan, kritik, saran, ketidakberpihakan, dan ketidaksetujuan melalui berbagai cara dan media dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan baik secara tertulis maupun tidak tertulis sebagai akumulasi suara bersama tanpa dipengaruhi oleh kepentingan pribadi maupun golongan yang menyesatkan dalam rangka mewujudkan demokrasi yang bermuara pada keadaulatan dan keadilan rakyat. Perkembangannya sekarang, demonstrasi kadang diartikan sempit sebagai long-march, berteriak-teriak, membakar ban, dan aksi teatrikal. Persepsi masyarakat pun menjadi semakin buruk terhadap demonstrasi karena tindakan
13
Dinas Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia., PN. Balai Pustaka, Jakarta, 2003, hal. 250. 14 Wikipedia Indonesia, “Unjuk Rasa”, http://www.wikipediaindonesia.com, Diakses tanggal 10 Mei 2012.
Universitas Sumatera Utara
pelaku-pelakunya yang meresahkan dan mengabaikan makna sebenarnya dari demonstrasi. Memang unjuk rasa sebagai cara menyampaikan pendapat adalah hal yang biasa dalam negara yang menganut demokrasi. Etika tetap harus dijaga. Pengunjuk rasa harus berangkat dari niat baik demi kemajuan bangsa dan negara, karena bagaimanapun juga unjuk rasa merupakan elemen dari demokrasi guna mengemukakan pendapat, bukan memaksakan kehendak.15 Unjuk rasa harus menjunjung etika dan tidak boleh melakukan kekerasan. Unjuk rasa, apalagi dengan jumlah massa yang besar, tak harus menimbulkan ketakutan dalam diri warga lainnya. Tetapi siapa yang berani menjamin keadaan bisa terkendali seperti itu, sebab pada kenyataannya yang terjadi lebih sering sebaliknya. Pada setiap kegiatan unjuk rasa, kata-kata kotor seakan menjadi lagu wajib yang harus dinyanyikan dengan penuh semangat sebagai media guna mencaci maki, menghasut, bahkan tidak jarang memprovokasi sehingga berujung pada anarki. Sudah demikian, pelajaran demokrasi, akhlaq, dan budi pekerti yang diajarkan di sekolah seolah sama sekali tak lagi berarti. 16 Fenomena demonstrasi/unjuk rasa ini selain di Perguruan Tinggi kini juga marak terjadi di lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan formal
tingkat
menengah SMA dan atau SMK. Sekolah yang mestinya menjadi pusat berkembangnya budaya positif berubah menjadi ajang artikulasi kata-kata yang teramat jauh dari kategori santun.17
15
Sahardi Utama, 2007, Menapaki Jejak Reformasi, Jakarta: Era Grafindo. halaman 91. Muhari. Norma-norma yang Menjadi Pandangan Hidup Demokratis. Powerpoint Project, Surakarta, 2006, hal. 55. 17 Ibid. 16
Universitas Sumatera Utara
Dari argumentasi yang sedikit dan sederhana ini saja dapat disimpulkan bahwa demonstrasi/unjuk rasa yang sering terjadi di negeri ini jauh dari dapat dikatakan mendidik/edukatif dan yang perlu kita bersama khawatirkan adalah fenomena buruk ini kian menguat dan secara perlahan menjadi bagian dari kultur yang kemudian melekat sebagai bagian dari jati diri bangsa. F. Metodologi Penulisan Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
1. Sifat/materi penelitian Sifat/materi penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah bersifat deksriptif analisis mengarah pada penelitian yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan yang tertulis atau bahan hukum yang lain.18
2. Sumber data Sumber data penelitian ini diambil berdasarkan data sekunder. Data sekunder didapatkan melalui: a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni seperti KUHP dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun I998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum. b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti : hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan hukum dan sebagainya.
18
Bambang Sunggono. 2003. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. halaman 32
Universitas Sumatera Utara
c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup: 1) Bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder. 2) Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier (penunjang) di luar bidang hukum seperti kamus, insklopedia, majalah, koran, makalah, dan sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan.
3. Alat pengumpul data Alat yang dipergunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah melalui studi dokumen dengan penelusuran kepustakaan.
4. Analisis data Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi dokumen, dan penelitian lapangan maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang teori-teori yang dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut
dapat ditarik
beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa Bab, dimana dalam bab terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian: Bab
I.
Pendahuluan Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitian
Universitas Sumatera Utara
pada umumnya yaitu, Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan serta Sistematika Penulisan. Bab
II.
Bentuk Tindak Pidana Aksi Unjuk Rasa Yang Anarkhis Dalam bab ini akan diuraikan pembahasan tentang: Aturan Hukum Terkait Dengan Unjuk Rasa, Bentuk Kejahatan Unjuk Rasa Yang Anarkhis serta Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Unjuk Rasa Yang Berakibat Anarkhis
Bab
III. Tanggungjawab Pidana Penghasut Aksi Unjuk Rasa Yang Anarkhis Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan tentang: Pihak Yang Dapat Dimintakan Pertanggungjawaban Dalam Suatu Unjuk Rasa serta Tanggung Jawab Pidana Penghasut Aksi Unjuk Rasa yang Berakhir Anarkhis.
Bab
IV. Hambatan-Hambatan Dalam Meminta Pertanggungjawaban Pidana Penghasut Aksi Unjuk Rasa Yang Anarkhis Dalam bagian ini akan diuraikan pembahasan terhadap: Hambatan Secara Internal serta Hambatan Secara Eksternal.
Bab
V.
Kesimpulan dan Saran Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan diberikan kesimpulan dan saran.
Universitas Sumatera Utara