BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Aksi kekerasan massal merupakan salah satu gejala sosio-politik yang menonjol setelah runtuhnya regim Orde Baru di Indonesia. Berbagai bentuk kekerasan massa telah banyak menghiasi lembaran era reformasi ini, seperti kerusuhan bernuansa SARA, penjarahan, tawuran, perang desa, pembantaian dukun santet, main hakim sendiri, dan lain-lain. Melalui Skripsi yang mengangkat judul “Peranan Anggota Polri Polda Daerah Istimewa Yogyakarta Terhadap Pencegahan Tindakan Main Hakim Sendiri Oleh Organisasi Masyarakat” ini, penulis ingin mengusulkan sebuah perspektif yang dapat dimanfaatkan untuk memahami salah satu bentuk perbuatan pidana main hakim sendiri yang terjadi di Indonesia, khususnya di wilayah hukum Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta.1 Salah satu masalah sosial yang serius di Indonesia beberapa tahun ini adalah kian maraknya tindak kekerasan yang dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan (ORMAS). Tindak kekekerasan elemen masyarakat sipil yang terorganisir dalam wadah organisasi ini bukanlah hal baru, melainkan fenomena serupa pada tahuntahun sebelumnya. Munculnya organisasi massa seperti polisi sipil dari ormas sudah menyalahi aturan hukum, karena lebih mengarah pada tindakan main hakim sendiri.
1
Mohammad Kemal Dermawan, 2013, Polisi dan Tindakan Main Hakim Sendiri, KOMPOLNAS, Jakarta
2
Perilaku tersebut memang tidak dapat diantisipasi jika sudah dilapangan, sedikit gesekan saja sudah dapat membakar emosi kelompok golongan dan rela mempertaruhkan nyawa hanya dengan dalih membela kebenaran dan karena melawan kemaksiatan.2 HM Syukri Fadholi SH Wakil Walikota Yogyakata pada saat itu menegaskan kepada wartawan di ruangnya bahwa masyarakat jangan melakukan sweeping sendiri-sendiri dan percayakan penegakan hukum kepada aparat pemerintah daerah (pemda) dan kepolisian. "Saya sudah didatangi oleh beberapa angkatan muda yang menyatakan siap melakukan sweeping tetapi saya mengatakan kepada mereka bahwa tindakantindakan yang semacam itu mestinya tidak dilakukan. Oleh karena itu, saya malah mengatakan kepada mereka bahwa cukup dipercayakan kepada pemda dan Kepolisian." 3 Banyaknya kasus kekerasan dan main hakim sendiri menunjukkan lemahnya penyelesaian masalah oleh pemerintah. Maraknya kasus kekerasan juga semakin menurunkan kepercayaan publik dalam konteks hukum dan keamanan nasional. Pemerintah daerah dan segenap elemen masyarakat diminta untuk tidak tinggal diam dan tutup mata membiarkan pola main hakim sendiri yang akan berlanjut jika tidak ada bentuk upaya bersama untuk tindak lanjut menghentikannya. Penegakan hukum yang tegas dan konsisten merupakan satu-satunya cara untuk menekan maraknya aksi-aksi kekerasan dan main hakim sendiri semacam itu. Bila 2
Tempo, 18/2/2011 http://jogjanews.blogspot.co.id/2004/10/ormas-jogjakarta-jangan-main-hakim.html. Diakses pada 29 September 2015 3
3
terwujud, kepastian hukum akan tericipta dan dampaknya adalah terbangunnya kepercayaan publik. Berbagai kasus tersebut membutuhkan pelaksanaan penegakan hukum yang tegas agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran yang mengaburkan kepastian hukum. Merujuk Kadiv Humas Mabes Polri Saud Usman Nasution, pada tahun 2010 tercatat terjadi 50 kasus kekerasan Ormas dengan Front Pembela Islam (FPI) sebagai Ormas yang paling banyak melakukan kekerasan (29 kasus).4 Adapun VOA Indonesia dalam pemberitaannya mengutip Kepolisian bahwa Ormas yang paling banyak melakukan kekerasan adalah FPI, Forum Betawi Rempug, dan Barisan Muda Betawi.5 Sistem Nasional Pemantauan Kekerasan (SNPK) mencatat tak kurang dari 6.807 konflik kekerasan terjadi selama Januari hingga November 2014. Dari jumlah tersebut, main hakim sendiri menyumbang 3.952. Sedangkan 786 insiden berkaitan dengan sengketa sumber daya, 767 berhubungan dengan perseteruan identitas, 467 menyangkut pemilihan dan jabatan, 456 berasal dari konflik tata kelola pemerintahan, serta 41 konflik dipicu separatisme. Sisanya, 338 berasal dari luar kategori konflik tersebut. Data SNPK juga menampilkan dampak dan sebaran peristiwa tak peduli
4 5
Tempo, 17/2/2012 VOA Indonesia, 8/2/2012
4
hukum. Dari segi dampak, main hakim sendiri mengakibatkan 282 orang tewas, 1.032 mengalami cedera, dan 422 bangunan rusak.6 Kepolisian RI telah menginstruksikan seluruh Kepolisian Daerah (Polda) dan jajarannya untuk menindak tegas organisasi masyarakat yang selama ini bertindak anarkis dan meresahkan masyarakat. Menyusul bentrok berdarah antara anggota Front Pembela Islam (FPI) dengan warga setempat di Kendal, Jawa Tengah, Polda Daerah Istimewa Yogyakarta akan menertibkan ormas-ormas yang melakukan razia atau sweeping. “Tindakan tegas tanpa pandang bulu akan kami lakukan kepada ormas yang melakukan sweeping atau razia yang pada akhirnya akan berujung pada bentrok yang akan merugikan semua pihak, apalagi warga masyarakat yang tidak tahu apa-apa,” kata Kapolda DIY, Brigjen Pol. Haka Astana, saat Safari Tarawih di Ditlantas Polda DIY, Selasa malam, 23 Juli 2013.7 Beliau menghimbau agar ormas melaporkan kepada aparat kepolisian jika ada tempat maksiat yang melanggar aturan selama bulan Ramadan ini. Polda DIY hingga jajarannya di tingkat Polsek selama bulan puasa ini telah diperintahkan untuk melakukan razia, dengan target petasan, kejahatan jalanan, premanisme, miras dan prostitusi. Dalam Operasi Pekat ini kepolisian juga bekerja sama dengan Satpol PP dan instansi terkait lainnya. Bentrok di Kendal itu berawal dari kedatangan FPI ke Alaska Kendal. Dalam insiden awal ini, satu mobil FPI dirusak warga yang datang menghadang. Polisi sudah
6
Tempo, 3/3/2015 http://nasional.news.viva.co.id/news/read/431539-persempit-ruang-gerak-fpi--kepolisian-akantindak-aksi-sweeping. Diakses pada 29 September 2015 7
5
menengahi kasus tersebut, namun esok harinya, Kamis 18 Juli 2013, anggota FPI kembali datang menyerbu. Bentrok tak terhindarkan. Warga yang melawan kini berjumlah lebih banyak. Kewalahan, anggota FPI kabur lintang-pukang, berusaha menyelamatkan diri. Mereka melaju mobil dengan kecepatan tinggi, lalu menabrak sejumlah kendaraan. Akibatnya, seorang warga Desa Krikil Sukorejo yang terseruduk di area itu, meninggal dunia. Tiga anggota FPI sudah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka adalah Soni Haryono, yang merupakan sopir mobil FPI; Satria Yuwono dan Bayu Agung Wicaksono. Mereka kedapatan membawa senjata tajam. Bermacam-macam respon sosial terhadap fenomena kekerasan yang dilakukan oleh Ormas-Ormas tersebut. Banyak pihak dan masyarakat umum yang mengutuk kekerasan tersebut, menginginkan bebasnya Indonesia dari aksi kekerasan yang dilakukan Ormas hingga menuntut pemerintah untuk membubarkan Ormas-Ormas yang sering melakukan kekerasan tersebut. Kendati Presiden maupun Menteri Dalam Negeri telah memberi sinyal pembubaran Ormas yang anarkis, namun, dalam realitanya pemerintah nampak berhati-hati dalam menyikapi tuntutan tersebut dan lebih mengambil sikap mengambang. Reaksi lain justru mendukung aksi kekerasan yang dilakukan oleh Ormas-Ormas tersebut karena menganggap bahwa tindakan Ormas-Ormas tersebut sebagai wujud dari kontrol sosial yang tidak dapat dilakukan oleh penegak hukum dengan baik.
6
Bahkan beberapa partai politik dengan terbuka menolak pembubaran Ormas-Ormas tersebut, dengan alasan menyalahi kebebasan berserikat. Terlepas dari pro dan kontra terhadap eksistensi Ormas-Ormas tersebut, justru tindak kekerasan oleh Ormas terus saja berjalan. Pembubaran maupun pembatalan diskusi buku yang sedianya akan menghadirkan Irshad Manji, penulis bukuAllah, liberty, and love di Jakarta dan Yogyakarta pada Mei 2012 yang diwarnai pula dengan aksi kekerasan Ormas menjadikan tuntutan pembubaran Ormas anarkis kembali mengemuka. Tindak kekerasan oleh Ormas-Ormas tersebut juga sering dianggap sebagai perilaku main hakim sendiri yang mirip dengan kecendrungan taking justice into our own hands atau mengambil alih keadilan ke tangan warga masyarakat sendiri. Hal ini dilakukan ketika misalnya ada orang yang kecewa dengan tidak berjalannya proses keadilan bagi dirinya, sehingga memaksa dirinya mengupayakan keadilan dengan cara dan versinya sendiri. Hal ini kerap disebut juga street justice. Perilaku main hakim sendiri juga bercirikan vigilante atau vigilantism yang merupakan suatu sikap dan perilaku mempertahankan diri atas sesuatu yang dipersepsi sebagai ancaman.8 Oleh karena pihak tersebut tidak dapat mengandalkan pihak lain untuk membantunya, maka dirinya kemudian melakukan berbagai daya-
8
Mohammad Kemal Dermawan, 2013, Polisi dan Tindakan Main Hakim Sendiri, KOMPOLNAS. Jakarta, Hlm 5.
7
upaya untuk mempertahankan diri. Pada akhirnya, vigilante kemudian dekat dengan warna kekerasan. Vigilantism sendiri pada dasarnya merupakan sebuah respon manusia terhadap suatu masalah sosio-politik, khususnya menyangkut kerawanan dalam hal mempertahankan tatanan sosial. Tatanan sosial dalam sebuah masyarakat ada yang disebut sebagai main-stream. Namun, tatanan sosial yang didambakan oleh setiap elemen masyarakat belum tentu serupa. Masing-masing pihak, berdasarkan tatanan sosial yang diinginkannya, mengembangkan legitimasi terhadap tatanan sosial mereka sendiri dan menilai suatu tatanan sosial yang ada serta melakukan suatu tindakan, termasuk tindakan kekerasan. Berdasarkan subjektivitas masing-masing tersebut, terjadilah pertarungan legitimasi di antara masing-masing pihak yang terlibat dalam sebuah tindakan kekerasan.9 Jika kita melihat kembali bahwa kepolisian sebagai aparat yang bertanggung jawab untuk memelihara kantibmas cenderung dianggap mengalah dalam menghadapi perilaku main hakim sendiri oleh Ormas. Sebaliknya, mungkin pula terdapat persepsi di kalangan internal Kepolisian bahwa Kepolisian justru telah bertindak optimal, benar, dan sungguh-sungguh, walaupun belum mampu menghasilkan situasi yang memuaskan bagi semua kalangan.
9
Riches, 1986
8
Menyadari masih belum optimalnya respon Polri terhadap tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh Ormas, maka penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana persepsi anggota Polri khususnya di wilayah hukum Daerah Istimewa Yogyakarta terkait dengan penanganan aksi main hakim sendiri yang dilakukan oleh Ormas. B. Perumusan Masalah Penulis mengidentifikasi masalah yang akan diteliti sebagai berikut : “Sejauh mana peranan anggota Polri Polda Daerah Istimewa Yogyakarta terhadap pencegahan tindakan main hakim sendiri oleh organisasi massa”. Permasalahan tersebut kemudian dirumuskan menjadi beberapa persoalanpersoalan sebagai acuan peneliti adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah peranan Polda DIY dalam mencegah terhadap tindakan main hakim sendiri oleh Ormas? 2. Bagaimana kendala Polda DIY dalam mencegah tindakan main hakim sendiri oleh Ormas? 3. Bagaimana upaya Polda DIY dalam mencegah tindakan main hakim sendiri oleh Ormas?
9
C. Tujuan Penelitian Suatu penelitian yang dilakukan tentu harus mempunyai tujuan dan manfaat yang ingin diperoleh dari hasil penelitian. Dalam merumuskan tujuan penelitian, penulis berpegang pada masalah yang telah dirumuskan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan mengkaji bagaimanakah peran Anggota Polda DIY terhadap pencegahan tindakan main hakim sendiri oleh Ormas. 2. Untuk mengetahui dan mengkaji mengenai bagaimanakah kendala dan upaya Polda DIY dalam mencegah tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh Ormas. D. Keaslian Penelitian Dengan ini penulis menyatakan bahwa berdasarkan sumber referensi yang diteliti baik secara kepustakaan di Perpustakaan Universitas Gadjah Mada maupun internet oleh penulis, diketahui belum pernah dilakukan usulan Penelitian Penulisan Hukum tentang “Peranan Anggota Polri Polda Daerah Istimewa Yogyakarta Terhadap Pencegahan Tindakan Main Hakim Sendiri Oleh Organisasi Massa.” Sejauh ini penulisan hukum sejenis yang pernah diselesaikan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta adalah peranan yang dilakukan oleh lembagalembaga independen lain yang ruang lingkupnya bukan peranan yang dilakukan oleh Lembaga Kepolisian Negara Republik Indonesia. Walaupun memang terdapat
10
Penulisan Hukum yang objek penelitiannya terkait dengan Kepolisian seperti Penulisan Hukum tentang Pengawasan Internal Oleh Inspektorat Pengawasan Daerah (Itwasda) Terhadap Kinerja Bidang Profesi Dan Pengamanan (Bidpropam) Dalam Menangani Anggota Kepolisian Yang Diduga Telah Melanggar Disiplin dan/atau Kode Etik Profesi Polri Di Kepolisian Daerah (Polda) D.I. Yogyakarta oleh Robby Krisna Prahmadika pada tahun 2015.10 Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah sistem pelaksanaan pengawasan internal oleh Inspektorat Pengawasan Daerah (Itwasda) terhadap kinerja Bidang Profesi dan Pengamanan (Bidpropam) dalam menangani Anggota Kepolisian yang diduga telah melanggar Disiplin dan/atau Kode Etik Polri di Polda D.I. Yogyakarta? 2. Apa saja kendala yang dihadapi Inspektorat Pengawasan Daerah (Itwasda) terkait pengawasannya terhadap Bidang Profesi dan Pengamanan (Bidpropam) dalam menangani Anggota Kepolisian yang diduga telah melanggar Disiplin dan/atau Kode Etik Polri D.I. Yogyakarta? Selain itu juga terdapat Penulisan Hukum tentang Peranan Polisi Pariwisata dalam Mengamankan Pariwisata di Malioboro oleh R.Adn Agung Rasdarmawan Sakti pada tahun 2012.11 Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut :
10
Robby Krisna Prahmadika, 2015, Pengawasan Internal Oleh Inspektorat Pengawasan Daerah (Itwasda) Terhadap Kinerja Bidang Profesi Dan Pengamanan (Bidpropam) Dalam Menangani Anggota Kepolisian Yang Diduga Telah Melanggar Disiplin dan/atau Kode Etik Profesi Polri Di Kepolisian Daerah (Polda) D.I. Yogyakarta, Skripsi, FH UGM 11 R. And Rasdarmawan Sakti, 2012, Peranan Polisi Pariwisata Dalam Mengamankan Pariwisata di Malioboro, Skripsi, FH UGM
11
1. Bagaimanakah peranan Polisi Pariwisata dalam mengamankan pariwisata di Malioboro ? 2. Kendala – kendala yang dialami Polisi Pariwisata ketika melaksanakan peranannya dalam mengamankan pariwisata di Malioboro ? 3. Solusi untuk mengatasi kendala – kendala ketika melaksanakan peranannya dalam mengamankan pariwisata di Malioboro ? Akan tetapi jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Penulis terdapat perbedaan terkait obyek penelitian dan ruang lingkup dalam penelitiannya. Bahwa dalam penelitian sebelumnya tersebut yang menjadi sorotan adalah peranan Polri dalam mengamankan pariwisata. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh penulis yang menjadi obyek penelitiannya adalah peranan Polri Polda D.I. Yogyakarta dalam pencegahan tindakan main hakim sendiri oleh organisasi massa (Ormas) yang ruang lingkupnya berbeda dari penelitian sebelumnya tersebut. Oleh karena itu dengan demikian belum pernah ada Penulisan Hukum mengenai Peranan Anggota Polri Polda Daerah Istimewa Yogyakarta Terhadap Pencegahan Tindakan Main Hakim Sendiri Oleh Organisasi Massa. Demikian pernyataan ini penulis buat dengan sebenar-benarnya. E. Manfaat Penelitian Tiap penelitian harus mempunyai kegunaan bagi pemecahan masalah yang diteliti. Untuk itu suatu penelitian setidaknya mampu memberikan manfaat praktis pada kehidupan masyarakat. Kegunaan penelitian ini dapat ditinjau dari dua segi yang
12
saling berkaitan yakni dari segi teoritis dan segi praktis. Dengan adanya penelitian ini penulis sangat berharap akan dapat memberikan manfaat : 1.
Manfaat Akademis a. Untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang didapat dalam perkuliahan dan membandingkannya dengan praktek di lapangan. b. Sebagai wahana untuk mengembangkan wacana dan pemikiran bagi peneliti. c. Untuk mengetahui secara mendalam mengenai penyalahgunaan senjata api di luar prosedur oleh anggota Polri. d. Menambah literatur atau bahan-bahan informasi ilmiah yang dapat digunakan untuk melakukan kajian dan penelitian selanjutnya.
2.
Manfaat Praktis a. Memberikan sumbangan pemikiran di bidang hukum pada umumnya dan pada khususnya tentang peranan Polri (Polda DIY) terhadap pencegahan tindakan main hakim sendiri oleh Ormas. b. Untuk memberikan masukan dan informasi bagi masyarakat luas tentang peranan anggota Polri terhadap pencegahan tindakan main hakim sendiri oleh Ormas. c. Hasil penelitian ini sebagai bahan ilmu pengetahuan dan wawasan bagi peneliti, khususnya bidang hukum administrasi negara.