BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Tesis ini bertujuan menganalisis perilaku diskriminasi aparatur pelayanan publik. Tema ini dilatarbelakangi maraknya keluhan publik akibat perilaku public servant yang diskriminatif di berbagai unit pelayanan pemerintah. Dengan mengambil lokus unit pelayanan kesehatan daerah, yakni RSUD Baruga Timur Baru, Kab.Lama, penelitian ini berusaha membangun kerangka untuk memahami mengapa perilaku diskriminasi dilakukan oleh aparatur dalam memberikan pelayanan publik. Demikian hal ini penting dikaji sebagai sebuah diskursus bagi organisasi publik baik ditinjau dari perspektif teoritis maupun empiris. Secara teoritis, berbagai studi mengemukakan bahwa buruknya kinerja organisasi ataupun birokrasi salah satunya disebabkan oleh adanya perilaku yang menyimpang (Caiden, 1991; Vardi dan Wiener, 1996; Penney dan Spector, 2005). Perilaku menyimpang dalam organisasi menciptakan perubahan aktivitas kerja organisasi yang tidak mendukung pencapaian tujuan organisasi. Ruang pelayanan publik sebagai suatu institusi yang menuntut kinerja pelayanan yang baik dimungkinkan akan berkualitas rendah jika aparatur pelayanan berperilaku buruk. Dengan
demikian,
perilaku
menyimpang
dalam
berbagai
istilahnya
(bureaupathologies/ misbehavior /misconduct/ counterproductive behavior) menjadi penghambat organisasi dalam mencapai tujuannya.
1
Namunpun demikian, perilaku menyimpang juga bisa muncul dari pengaruh lingkungan organisasi yang tidak sehat. Lembaga publik yang mengandung elemen-elemen negatif baik yang berasal dari eksternal maupun internal organisasi dapat memicu munculnya perilaku-perilaku yang tidak diharapkan. Hal ini sejalan dengan argumen Caiden (1991) yang menilai sistem birokrasi yang lemah dapat menyumbang hadirnya maladministrasi, karena sistem tersebut adalah bagian dari lingkungan organisasi yang memiliki berbagai informasi yang mampu mengadaptasikan perilaku anggotanya/aparatur (Salancik dan Pfeffer, 1978), bahkan kembali dapat menggerogoti nilai dan norma organisasi yang ada (Vardi dan Wiener, 1996). Dalam organisasi publik, perilaku diskriminasi muncul sebagai salah satu perilaku menyimpang (deviant behavior) yang sudah tentu tidak terjadi dengan sendirinya. Perilaku diskriminasi dapat terkonstruksi dari lingkungan organisasi yang memiliki berbagai informasi. Artinya, perilaku diskriminasi yang merupakan perilaku yang menfragmentasikan sosial atas perbedaan-perbedaan yang ada (ras, kultur, agama, jenis kelamin, struktur sosial ekonomi, dsb) dapat dilakukan oleh individu atau kelompok dalam organisasi dengan mengadopsi informasi dari lingkungannya/organisasi. Konstruksi dan adopsi perilaku dari lingkungan (sosial) ini penting dicermati karena hal tersebut telah mendahului (antecedence) munculnya perilaku diskriminasi. Intensi (minat/niat/keinginan) melakukan perilaku tertentu akan mudah terwujud jika pengaruh lingkungan sangat kuat ataukah individu tidak memiliki preferensi lain yang mengendalikan perilakunya.
2
Studi mengenai perilaku diskriminasi, utamanya dalam konteks pelayanan publik masih sangat jarang dilihat dari perspektif di atas. Studi-studi yang ada umumnya hanya mendiskusikan indikasi atau bentuk perilaku diskriminasi yang belum sepenuhnya mampu mengungkap berbagai hal yang memiliki andil bagi terjadinya
perilaku
diskriminasi.
Akibatnya,
kajian
mengenai
perilaku
diskriminasi yang terjadi di unit pelayanan publik belum mampu menjawab mengapa aktor yang melayani publik melakukan perilaku diskriminasi. Karena itu diperlukan kajian yang dapat mengeksplorasi perilaku tersebut secara utuh sebagaimana realitas yang ada. Namunpun demikian ada beberapa penelitian terdahulu yang dapat menjadi rujukan untuk mengkaji diskriminasi dalam pelayanan publik. Penelitian Keefer dan Khemani (2004) mempertanyakan mengapa warga miskin menerima pelayanan yang miskin di India, menemukan bahwa adanya sistem sosial yang memfragmentasi masyarakat ke dalam kasta-kasta membuat pemerintah melakukan diskriminasi dalam pelayanan kesehatan dan pendidikan kepada warga negaranya melalui kebijakan yang menginternalisasi sistem sosial yang diskriminatif tersebut. Demikian pula penelitian Sadoh, et.al. (2006) mengenai sikap petugas kesehatan terhadap penderita HIV/AIDS di Nigeria menemukan bahwa sikap diskriminasi petugas kesehatan terhadap penderita HIV/AIDS disebabkan oleh adanya pengetahuan tentang potensi penularan HIV dari penderita yang telah terinfeksi. Lalu, Quach et.al (2012) dalam penelitiannya tentang pengalaman dan persepsi medical discrimination diantara pasien multietnik di California menemukan bahwa dalam kaitannya dengan ras, kelas dan
3
bahasa, etnis Afrika Amerika mengalami internalized discrimination sebagai pasien dibandingkan dengan kelompok ras/etnik lainnya. Hal tersebut terjadi disebabkan faktor institusional dan perilaku pribadi petugas pelayanan medik. Beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa diskriminasi dapat terjadi karena sebab yang kompleks dari lingkungan sosial pelayanan. Berbeda dengan penelitian lainnya penelitian ini hendak mengkaji konstruksi atau adopsi perilaku dari lingkungan pelayanan dengan mencermati munculnya intensi perilaku diskriminasi aparatur pelayanan kesehatan. Munculnya tema penelitian ini berawal dari banyaknya keluhan masyarakat seputar pelayanan publik yang diwarnai perilaku diskriminasi. Institusi pelayanan pemerintah menjadi ‘sarang’ diskriminasi yang banyak terungkap dari berbagai penelitian maupun media massa. Satu diantaranya yang banyak mendapat sorotan yakni unit pelayanan kesehatan dengan seringnya para petugas pelayanan melakukan perilaku diskriminasi. Dengan berbagai pola, perilaku diskriminasi tersebut umumnya ditimpakan kepada kaum miskin atau mereka yang berstatus ekonomi lemah. Perilaku diskriminasi menegasikan masyarakat miskin dari pelayanan kesehatan dan berdampak pada rendahnya derajat kesehatan masyarakat di Indonesia. Ketidakmampuan mengakses pelayanan dasar oleh penduduk miskin kian meningkat pasca krisis tahun 1997. Instabilitas ekonomi politik dengan gejala inflasi di berbagai bidang membawa pada semakin rendahnya daya beli masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti kesehatan. Berbagai faktor seperti
perubahan
pola
penyakit,
perkembangan
teknologi,
kedokteran,
4
peningkatan harga bahan baku dan obat-obatan dan adanya inflasi di bidang kesehatan melebihi sektor lainnya membuat biaya kesehatan menjadi tinggi dan menjadi situasi yang mudah memicu perilaku diskriminasi. Kondisi ini mendorong pemerintah untuk memberikan jaminan pemeliharaan kesehatan sejak tahun 1998, sebagai upaya menanggulangi dan mencegah timbulnya dampak sosial yang lebih luas. Hadirnya program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin dalam pelayanan kesehatan memberi harapan pada teratasinya persoalan kesehatan. Jaminan kesehatan yang diperuntukkan bagi 76,4 juta penduduk miskin yang tersebar di seluruh Indonesia, secara perlahan diselenggarakan untuk meringankan situasi kemiskinan, disamping terus bergerak menuju pencapaian target MDG’s 2015. Hal ini juga seiring dengan besarnya komitmen pemerintah dalam mengembangkan jaminan kesehatan agar tersedia secara merata bagi semua masyarakat. Tabel 1.1. Program Pelayanan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin di Indonesia No 1
Tahun 1998 – 2000
2
2001
3
2002 – 2004
4
2005 – 2008
5
2008 – sekarang
Program Jaringan Pengaman Sosial Bid.Kesehatan (JPSBK) Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi Bidang Kesehatan (PDSPE-BK) Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM) Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)
Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan bagi masyarakat miskin diberlakukan pada semua unit pelayanan kesehatan pemerintah, puskesmas maupun rumah sakit
5
di seluruh wilayah Indonesia. Adanya jaminan kesehatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan akses masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan. Selain itu pelayanan kesehatan yang tersedia juga diharapkan mampu mengatasi persoalan kesehatan masyarakat miskin dengan penyelenggaraan pelayanan yang berkualitas. Pelayanan yang berkualitas dimaksudkan sebagai pelayanan yang mampu memberikan kepuasan bagi pengguna pelayanan publik. Dalam Pedoman Jamkesmas jelas dinyatakan bahwa tujuan penyelenggaraan Jamkesmas adalah meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat miskin dan tidak mampu agar tercapai derajat kesehatan masyarakat yang optimal secara efektif dan efisien. Berkembangnya jaminan kesehatan, memberikan peluang yang besar kepada masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang lebih baik. Akan tetapi indikasi diskriminasi seolah tidak luput mewarnai penyelenggaraan instrumen kebijakan tersebut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa rendahnya akses masyarakat miskin pada pelayanan kesehatan, salah satunya disebabkan adanya sikap dan perilaku petugas kesehatan yang diskriminatif (Ferdinandus Kainakaimu, 2008; Eko Nur Cahyo, 2010; Aldi Reza, 2010). Perlakuan diskriminatif membuat orang miskin enggan memanfaatkan jaminan pelayanan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah (Amelia Maika dalam Tukiran dkk, 2007:71). Seiring perkembangan jaminan kesehatan juga terlontar berbagai keluhan dari warga miskin pengguna jaminan kesehatan. Survei Citizen Report Cards (CRC) 2010 yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 986
6
responden pasien miskin pemegang kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda), kartu keluarga miskin (Gakin-Jakarta) dan surat keterangan tidak mampu (SKTM) di 19 rumah sakit pemerintah dan swasta menunjukkan kesimpulan signifikan, yakni, sekitar 70% responden masih mengeluhkan pelayanan rumah sakit dan memilih tidak menggunakan kartu jaminan kesehatan yang mereka miliki. Umumnya keluhan mereka seputar pengurusan administrasi, pelayanan petugas medis, dan fasilitas serta sarana rumah sakit (skalanews.com, 31 Desember 2010). Demikian juga hasil riset Indonesia Poverty Analysis Program (INDOPOV), sebuah program kemitraan Bank Dunia-Indonesia menemukan bahwa umumnya masyarakat miskin mengeluhkan buruknya pelayanan kesehatan disebabkan sikap petugas yang tidak responsif dalam melaksanakan pelayanan publik, adanya uang muka, rendahnya akses terhadap informasi serta adanya kekhawatiran dalam penyampaian keluhan (Mukherjee, 2006). Sedangkan pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan juga dilansir sekitar 413 keluhan sepanjang tahun 2010 terkait diskriminasi pelayanan kesehatan atau pasien yang diterlantarkan yang umumnya pada rumah sakit milik pemerintah baik di pusat maupun di daerah (Okezone.com, 15 Maret 2011). Fakta-fakta perilaku diskriminasi dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan sebenarnya sudah menghiasi media massa, dengan berbagai kasus-kasus pelik karena keterbatasan dan perbedaan pelayanan yang dirasakan warga miskin pengguna jaminan kesehatan. Beberapa contoh inventarisir kasus berikut menunjukkan bahwa diskriminasi masih menjadi “perilaku favorit” di kalangan
7
aparatur pelayanan kesehatan. Mulai dari pusat hingga ke daerah tidak luput menyajikan persoalan-persoalan berindikasi diskriminasi dalam pelaksanaan jaminan kesehatan. Tabel 1.2. Inventarisasi Contoh Kasus-kasus Jaminan Kesehatan Tanggal Berita 19/11/2009
02/12/2009
01/03/2011
23/03/2012
30/08/2012
Berita
Media
KUPANG, - Karena takut beban biaya rumah sakit sampai Rp 5 juta lebih, Atrus Koliman (26), warga RT 22 Kelurahan Kelapa Lima, Kota Kupang, kabur dari Rumah Sakit Umum Yohannes (RSUD) Kupang, Kamis (19/11) dini hari. KEDIRI, - Budi Antoni (12), pasien dari keluarga miskin di Rumah Sakit Umum Daerah Gambiran Kediri, Jawa Timur, mendapat perlakukan yang tidak semestinya. Ia dipungut biaya obat dan tindakan medis lainnya sampai sebesar Rp 9,5 juta, walaupun memiliki kartu Jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas). JAKARTA, Kasus telantar rakyat miskin pada selasar Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta selama dua bulan,dialami Ibu Wati, bersama suami, Pulung, serta Tasya (10) anak perempuan siswa kelas tiga SD tidur di lorong jalan menuju Unit Gawat Darurat (UGD) Anak, dekat dengan WC umum yang senantiasa menyebarkan bau yang tidak sedap. Jeritan dan tangisan Wati tidak digubris para dokter dan perawat tidak pernah sedikitpun ada kepedulian manajemen RSCM. Padahal Ibu Wati dan keluarga merupakan pemegang kartu (jamkesmas) untuk digunakan dalam perawatan kesehatan di puskesmas dan rumah sakit pemerintah, baik itu rawat jalan maupun rawat inap. JOMBANG, Keluarga pasangan Abdul Manan dan Ny Sri Masriah hanya bisa menunggu dan harap-harap cemas datangnya hari Rabu (27/7/2012) untuk mendapatkan rasa keadilan dari DPRD Kabupaten Jombang dan RSUD Kabupaten Jombang setelah kaki kiri pria berusia 61 tahun itu diamputasi karena dugaan malpraktik. Tragisnya, dugaan malpraktik yang dialami Abdul Manan ini, ditengarai ada kaitan dengan penggunaan kartu Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). SEMARANG, Mudjiyem (66 th), warga Wonolopo, Mijen, Semarang, harus menelan pil pahit ketika menjalani perawatan di RS Permata Medika, Jl Moch Ichsan 93-97, Ngaliyan Semarang. Bukan mendapatkan perawatan yang layak, tetapi pengusiran yang dirasakan. (Tak Bisa Sediakan Tiga Kantung Darah Pasien Miskin Dipulangkan Paksa Dari RS Permata Medika)
Kompas.com
Kompas.com
Suara Pembaharuan
Publik nasional.com
Lensa indonesia. Com
Sumber : diolah dari berbagai media online
Berbagai kasus pengguna jaminan kesehatan tersebut menunjukkan bahwa diskriminasi menjadi salah satu perilaku yang sulit dikontrol dalam pelayanan
8
kesehatan
pemerintah.
Praktek
diskriminasi
merupakan
perlakuan
yang
menimbulkan ketidakadilan dalam pelayanan kesehatan. Perlakuan ini seolah berlindung dibalik institusi formal kesehatan dan menjadi bagian dari budaya pelayanan yang buruk. Fenomena ini menjadi sorotan serius karena terus terjadi dan bermetamorfosis dari waktu ke waktu. Maraknya isu diskriminasi yang terindikasi dari perilaku aparatur pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin di RSUD Baruga Timur Baru menjadi titik berangkat pentingnya penelitian ini. Perilaku diskriminasi menjadi persoalan yang membawa citra buruk bagi pelayanan kesehatan rumah sakit tersebut. Jaminan kesehatan yang telah semakin diperluas baik pada cakupan kepesertaan maupun pembiayaannya, dianggap belum mampu memenuhi derajat kesehatan masyarakat akibat adanya perilaku diskriminasi yang terus terjadi. Tidak sedikit masyarakat pengguna jaminan kesehatan harus merasakan ketimpangan kualitas pelayanan yang mereka terima. Terkait perilaku diskriminasi tersebut, terungkap keluhan dari seorang warga miskin sebagai berikut ini: “Sudah sejak empat hari lalu dari masuknya ibu saya dirawat di bangsal ini, belum pernah ada dokter yang datang memeriksa. Obat-obatan hanya diberikan oleh perawat sejak awal masuk, padahal ibu masih sering tidak sadarkan diri karena sakit kepalanya itu. Obatnya mungkin tidak cocok... Perawat senior yang setiap paginya berkunjung untuk memeriksa pasien dan mengontrol kebersihan ruangan sempat saya tanya, kenapa dokternya tidak ada. Tapi perawatnya tidak menanggapi. Tapi saya tahu juga dari siswa Akper yang praktik, kalau dokter bukannya tidak pernah hadir tapi selalu sibuk di poliklinik dulu sehingga pemeriksaan bangsal hanya dilakukan perawat saja.…..” (Data Primer dari wawancara, 10 April 2012).
9
Sepenggal keluhan tersebut, diambil dari cerita penderitaan pasien miskin berikut ini : KOTAK 1.1 Sulitnya Si Miskin Sehat Ibu Sarti (nama samaran) dibawa langsung ke UGD disebabkan hampir dua hari ia tidak sadarkan diri di rumah karena sakit kepala yang menyerangnya. Ketika tiba di UGD ia langsung diperiksa dan mendapat tindakan dari perawat. Keluarga yang mengantar yang tidak lain anaknya sendiri ditanya kronologi sakitnya sambil ditanya apakah akan menggunakan jalur umum atau jaminan kesehatan. Anak Bu Sarti sempat kebingungan karena kartu jaminan itu tidak pernah dipunyai keluarganya, sementara ia memastikan jalur umum akan mahal dalam ukuran ekonominya yang serba pas‐pasan. Untungnya petugas pelayanan masih memberi kesempatan untuk melengkapi berkas untuk mendapat jaminan ‘gratis’ hingga 2 x 24 jam. Sambil tetap menanggung biaya obat dulu yang akan dikembalikan jika urusan jaminan itu telah beres sesuai waktu yang diberikan, jelas perawat yang bertugas. Setelah mendapat penanganan awal, dari UGD Bu Sarti lalu dibawa ke ruang bangsal kelas III untuk dirawat sesuai persyaratan yang ada. Disitulah keluhan satu persatu mulai dilontarkan oleh sang anak, Wati. Setelah beberapa hari dirawat, dokter tidak pernah berkunjung, semua tindakan hanya dilakukan perawat, hanya pada jam‐jam tertentu. Perawat mungkin mendapat instruksi dari dokter, yang kemudian menuliskan resep yang harus segera ditebus oleh Wati. Berbekal uang Rp.35.000,‐ Wati ke apotek RS, hendak menebus obat‐ obat tadi. Namun ia tersentak tatkala tahu harga obanya sangat mahal, 5 kali lipat dari uang yang ia punyai sedang jaminan kesehatannya, berkasnya pun belum lengkap. Belum lagi uang itu masih akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan makan selama di RS. Wati sempat meminta kebijaksanaan petugas apotek untuk bisa menggunakan obat dengan biaya yang akan dibayar belakangan. Namun si petugas tidak melonggarkan hal tersebut. Cukup lama Wati memelas dengan wajah yang hampir menangis tetap saja petugas tidak bergeming dengan bertegas kalau pasien harus tetap bayar. Dalam situasi tidak pasti itu, seorang petugas lainnya lalu meminta jaminan lain berupa benda berharga darinya. Tak ada pilihan lain bagi Wati kecuali menyerahkan jam tangan satu‐satunya yang ia miliki sebagai ganti menebus obat‐obatan ibunya Sumber : Disarikan dari wawancara, 10 April 2012).
Illustrasi di atas hanya merepresentasikan sedikit dari perilaku diskriminasi yang terjadi dalam pelayanan kesehatan bagi warga miskin di RSUD Baruga Timur Baru. Terdapat 57 % keluhan berasal dari pengguna jaminan kesehatan (warga miskin) yang sebagian besar akibat perilaku diskriminasi dalam pelayanan 10
kesehatan (Laporan Rekam Medis, 2011). Keluhan tersebut terutama berkaitan dengan mekanisme yang panjang, fasilitas yang buruk serta perilaku petugas dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Praktek diskriminasi di unit pelayanan rumah sakit menyebabkan bertambahnya satu perbendaharaan patologi dalam pelayanan pemerintah. Persoalan ini cukup menimbulkan keresahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah disebabkan subsidi pemerintah untuk meringankan beban pembiayaan kesehatan mereka masih harus menghadapi kendala bersumber perilaku birokrasi. Selain Jamkesmas yang bersumber pusat, perluasan jaminan dengan turut berlakunya jaminan kesehatan dengan pembiayaan daerah/Jamkesda tidak lebih menyediakan jasa pelayanan yang inferior (murahan, bermutu rendah), dengan potensi diskriminasi yang besar (Razak, 2008:72). Dari pengamatan awal di RSUD tersebut diperoleh gambaran bahwa perilaku diskriminasi ditandai dengan adanya pembatasan dan perbedaan perlakuan terhadap warga miskin pemegang kartu jaminan kesehatan. Sejak berlakunya jaminan kesehatan, terjadi pemetaan pada sistem pelayanan dengan pemberian identitas tersendiri berupa “kartu jaminan kesehatan” kepada pengguna jaminan kesehatan (Jamkesmas/Jamkesda). Jaminan kesehatan diberikan kepada 154.074 jiwa penduduk berstatus miskin yang tersebar di 21 kecamatan daerah
Kabupaten Lama (Profil Dinas Kesehatan, 2011). Adanya Pemisahan dan identitas ini sebenarnya untuk memudahkan proses pelaksanaan pelayanan. Namun ekses yang muncul justru perlakuan yang cenderung mensubordinatkan pengguna pelayanan dengan jaminan tersebut.
11
Melebarnya wacana diskriminasi memang tengah menjadi fakta yang mewujud dalam berbagai bentuk. Bentuk perilaku diskriminasi di rumah sakit Kabupaten Lama ini nampak ada yang terpola sebagai aktivitas rutin pelayanan kesehatan setiap harinya, tetapi ada pula yang bersifat kasuistik. Secara rutin, praktek diskriminasi sudah terlihat dari adanya mekanisme yang panjang dalam pelayanan bagi peserta jaminan kesehatan (masyarakat miskin). Prosedur pelayanan bagi peserta jaminan kesehatan cukup berbelit-belit dengan sejumlah berkas-berkas yang menuntut kelengkapan sebagai syarat pelayanan dengan jaminan. Sehingga terkadang pengurusan administrasi ini mengakibatkan lambatnya pasien terlayani. Bahkan kondisi tersebut menjadi semakin rumit dengan sikap petugas pelayanan yang kaku dan tidak responsif dengan keadaan pasien pengguna. Inilah yang antara lain memunculkan rumor dalam masyarakat yang mengatakan, “jika hendak ke rumah sakit jangan menggunakan kartu sehat karena tidak akan segera ditangani” (Dwiyanto, dkk, 2003:33). Situasi ini menciptakan kerumitan bagi pasien miskin, apalagi jika mereka bukan warga kabupaten setempat, maka alur administrasi akan lebih menyulitkan. Observasi sekilas ini menguatkan argumen bahwa perilaku diskriminasi turut ditunjang oleh berbagai aspek normatif organisasi pelayanan publik. Selanjutnya, rutinitas pelayanan yang mengandung perilaku diskriminasi lainnya juga diidentifikasi dari perilaku pelaksana pelayanan – petugas medis/paramedis – yang terbiasa lebih mendahulukan pelayanan untuk unit perawatan yang kelasnya (secara ekonomi) lebih tinggi. Pasien miskin yang berada di unit perawatan yang lebih rendah (kelas III/pasien miskin) cenderung
12
mendapatkan pelayanan yang terakhir, bahkan terkadang terabaikan – dalam kondisi biasa/tidak dalam keadaan darurat. Sering dijumpai pula aktivitas pelayanan kesehatan diikuti dengan sikap yang menunjukkan rendahnya empati para petugas pelayanan pada pengguna pelayanan terutama yang berstatus miskin, seperti dengan bersikap mengacuhkan keluhan sakit pasien atau melontarkan perkataan yang merendahkan. Perilaku ini menjadi kebiasaan yang mudah dijumpai dalam pelaksanaan pelayanan rumah sakit setiap harinya. Modus dikriminasi yang sangat beragam tersebut relatif sulit dituduhkan sebagai perilaku yang menyimpang dalam pelayanan kesehatan. Asimetris informasi mengakibatkan perilaku ini menjadi suatu hal yang wajar dalam pelayanan kesehatan. Para dokter (dokter ahli) misalnya sudah sangat terbiasa memberikan resep-resep obat paten mahal kepada pasien miskin, sementara pada dasarnya mereka pun mengetahui bahwa kemampuan pasien tersebut untuk menebusnya relatif rendah. Demikian juga dengan paramedis (perawat) yang dengan mudah melakukan praktek ketidakadilan tanpa dipahami oleh pengguna pelayanan publik. Artinya, ada kecenderungan spesifikasi profesi mereka seringkali menjadi pembenaran melakukan tindakan yang tidak adil. Hal ini menjadi nalar spekulatif sebagai intensi yang akan diungkap dalam penelitian ini. Disamping diskriminasi yang terdapat dalam rutinitas pelayanan, terdapat pula diskriminasi yang kasuistik walaupun cukup jarang terjadi. Beberapa yang pernah terjadi terindikasi pada kasus penundaan operasi akibat tidak tersedianya obat-obatan untuk penanganan operasi tertentu jika tidak dengan kesediaan mengganti biaya pengobatan. Pada kasus kesehatan tertentu, terdapat biaya
13
kesehatan
yang
tidak
ditanggung
dalam
jaminan
kesehatan
sehingga
pembiayaannya tetap menjadi tanggungan pasien miskin. Cukup jarang rumah sakit mengeluarkan kebijaksanaan untuk menanggapi kondisi-kondisi tertentu sedemikian. Sehingga kasus-kasus demikian tidak tertangani secara bijak. Pada kasus-kasus sedemikian, garda depan pelayanan yakni para aparatur yang secara langsung berinteraksi dengan pengguna pelayanan seringkali menjadi aktor yang memperparah kondisi pelayanan kesehatan tersebut. Perilaku petugas kesehatan yang tidak membuka ruang yang melonggarkan pengguna pelayanan untuk memperoleh kebutuhan dasarnya sering dijumpai berakhir dengan perdebatan antara petugas dan pasien yang masing-masing kukuh dengan interpretasinya. Perilaku dan sikap petugas yang sekali lagi menggunakan alasan administratif/institusional, secara tidak langsung membatasi akses kesehatan bagi pasien miskin pengguna jaminan kesehatan. Sementara di sisi lain, pasien miskin kurang memahami hak dan kewajibannya selaku pengguna jaminan kesehatan. Kondisi ini sering berakhir dengan sikap pasrah pengguna jaminan kesehatan jika tidak mampu mengambil tindakan kritis atas kondisi tersebut1. Diluar adanya misinformasi dalam pelayanan kesehatan, cerita ini mempertegas bahwa perilaku diskriminasi aparatur pelayanan kesehatan adalah preferensi yang dimungkinkan
1
Kondisi demikian kadangkala tidak dibiarkan oleh masyarakat, terlebih jika mereka memiliki pemahaman atau kedekatan khusus dengan wartawan, maka segera direspon dengan membeberkan keluhannya melalui media lokal. Namun hal ini ternyata tidak dapat menjadi alat untuk mengendalikan diskriminasi tersebut karena kendala administratif seringkali menjadi alasan keterbatasan pelayanan jaminan kesehatan. Karena itu, sebagian besar pengguna jaminan kesehatan pada akhirnya enggan menggunakan identitas kartu jaminan kesehatan dengan mencari alternatif lain seperti pengobatan tradisional, jika tidak berpasrah dengan kondisi pelayanan yang buruk.
14
dari konstruksi atau adopsi terhadap lingkungan pelayanan kesehatan yang berkembang di rumah sakit tersebut. Deretan masalah pelayanan kesehatan di RSUD Baruga Timur Baru yang disebabkan perilaku diskriminasi sudah tentu tidak dapat dilepaskan dari andil penyelenggara pelayanan, yakni, dokter, perawat dan jajaran petugas pelayanan lainnya.
Rupa-rupa
pola
diskriminasi
yang
ditimbulkan
oleh
perilaku
penyelenggara pelayanan tersebut cukup kompleks dan terjadi hampir pada setiap sub unit pelayanan di rumah sakit tersebut. Mulai dari loket pendaftaran pasien hingga pada saat pelayanan kesehatan dilaksanakan marak ditemui keluh kesah akibat perilaku petugas pelayanan. Petugas medis (dokter/dokter ahli) dan paramedis dalam melayani pasien sering membedakan perlakuan antara si kaya dan si miskin yang nampak pada sikap, intensitas dan waktu yang digunakannya dalam melakukan pelayanan, kepedulian, kesopanan, keramahan dan keadilan yang rendah dalam interaksi dengan pasien miskin, langsung maupun tidak langsung. Demikian juga dengan penyelenggara pelayanan lainnya yang menunjukkan perlakuan yang hampir sering mengabaikan aspek moralitas dalam melaksanakan pelayanan kesehatan. Rumah sakit memiliki Pedoman Perilaku yang disusun sebagai tata perilaku setiap insan rumah sakit yang didalamnya menjelaskan beberapa hal seperti, sistem nilai, etika kerja, etika usaha, etika profesi, pengukuhan komitmen, serta perbaikan dan pengembangan pelayanan. Secara eksplisit, pedoman ini menegaskan bahwa :
15
“ Setiap insan Rumah Sakit wajib melaksanakan tugas sebaik baiknya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab. Setiap Insan dalam melaksanakan tugas selalu tepat waktu, bersikap ramah dan menghormati hak – hak pasien. Setiap insan Rumah Sakit tidak diperbolehkan melaksanakan tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain; bertindak selaku perantara bagi pihak lain untuk mendapatkan pekerjaan atau pesanan dari Rumah Sakit.” (Pedoman Perilaku Insan Rumah Sakit, 2011:9) Dokumen perilaku memberikan acuan berperilaku dan pengawasannya yang dapat berpengaruh pada adanya hukuman, sanksi atau reward terhadap setiap aparatur rumah sakit. Akan tetapi ketentuan ini nampaknya hanya menjadi dokumen formal syarat akreditasi atau persyaratan BLUD (Badan Layanan Umum Daerah) yang tidak pernah tersosialisasikan dan dilaksanakan dengan baik. Akibatnya, perilaku-perilaku diskriminatif tidak terkontrol dan menjadi citra buruk pelayanan. Melihat masih terus berlangsungnya diskriminasi terhadap masyarakat miskin dalam pelayanan kesehatan, mendorong peneliti untuk menelusuri lebih mendalam mengenai perilaku diskriminasi aparatur pelayanan publik yang dalam penelitian ini mengambil lokus RSUD Baruga Timur Baru, Kabupaten Lama. Pentingnya kajian ini mengingat pelayanan publik berhadapan dengan realitas sosial yang heterogen yang rentan menimbulkan penyimpangan perilaku. 1.2. Rumusan Masalah Perilaku diskriminasi menjadi masalah yang mudah ditemui dalam pelayanan kesehatan justru setelah jaminan kesehatan diperluas. Masyarakat miskin yang telah mendapat jaminan kesehatan berupa Jamkesmas (Pusat) maupun Jamkesda (Daerah) di RSUD Baruga Timur Baru mengalami kesulitan 16
mengakses pelayanan kesehatan yang berkualitas akibat dari perilaku aparatur pelayanan kesehatan yang diskriminatif dengan berbagai bentuknya yang kompleks. Perilaku diskriminasi terpola menjadi rutinitas dan kebiasaan yang dilakukan dalam pelayanan kesehatan. Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini hendak mempertanyakan Mengapa perilaku diskriminasi terjadi dalam
pelayanan
kesehatan?
Secara
rinci,
penelitian
ini
bermaksud
mempertanyakan hal berikut ini : 1. Bagaimana perilaku diskriminasi aparatur terbentuk/terkonstruksi dalam pelayanan kesehatan di RSUD Baruga Timur Baru ? 2. Faktor-faktor apa yang mendorong terjadinya perilaku diskriminasi aparatur dalam pelayanan kesehatan di unit pelayanan tersebut? 1.3. Tujuan Penelitian Berangkat dari permasalahan yang telah dirumuskan, penelitian ini diarahkan untuk mengkaji perilaku diskriminasi dalam pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin yang bertujuan untuk menjelaskan: 1.
Konstruksi perilaku diskriminasi aparatur pelayanan kesehatan di RSUD Baruga Timur Baru.
2.
Faktor-faktor yang mendorong aparatur melakukan perilaku diskriminasi dalam pelayanan kesehatan di unit pelayanan tersebut.
17
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik kepada akademisi, pemerintah maupun masyarakat meliputi manfaat teoritis, praktis dan kebijakan. Manfaat teoritis, diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan teori dalam manajemen publik, khususnya dalam memahami perilaku aparatur publik. Kajian perilaku pelayanan publik merupakan suatu kajian multidisipliner yang akan memberikan dinamisasi kajian dalam manajemen dan kebijakan publik serta dapat menjadi referensi yang berguna untuk mengembangkan konsep yang relevan dalam menata perilaku aparatur pelayanan menjadi inklusif, responsif dan berkeadilan pada masyarakat yang heterogen. Pada Manfaat Praktis, diarahkan pada meningkatnya kesadaran aparatur pelayanan publik – dalam hal ini petugas pelayanan kesehatan – agar dapat menempatkan masyarakat pada posisi sebagai warga negara (citizens). Dengan pemahaman tersebut akan menggeser nilai yang selama ini sangat kapitalistik dan feodalistik menjadi pemahaman yang mengedepankan nilai kemanusiaan sebagai landasan berperilaku. Dan Terakhir, manfaat kebijakan yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat menjadi bahan pertimbangan dalam membenahi kebijakan terkait SDM maupun sistem pelayanan publik.
18