BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Manusia adalah homo pluralis yang memiliki cipta, rasa, karsa, dan karya sehingga dengan jelas membedakan eksistensinya terhadap makhluk lain. Karena memiliki cipta, rasa, dan ditambah dengan karsa, manusia pun berkembang untuk menciptakan karya. Karya yang dibuat oleh manusia memiliki banyak jenis, antara lain karya tulis, karya seni rupa, karya musik, film, dan lainnya. Film merupakan salah satu sarana hiburan yang banyak diminati di seluruh dunia dengan perkembangannya yang sangat pesat. Film juga merupakan karya cipta manusia yang berkaitan erat dengan berbagai aspek kehidupan. Menurut Undang-Undang No. 33 Tahun 20091 tentang perfilman, Film adalah sebuah karya seni budaya yang merupakan suatu pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasar atas kaidah sinematorafi dengan atau tanpa suara yang dapat dipertunjukkan. Menurut Effendy2 , film adalah gambaran teatrikal yang diproduksi secara khusus untuk dipertunjukkan atau dipertontonkan di gedung-gedung bioskop dan televisi, atau bisa berbentuk sinetron. Film adalah hasil proses kreatif para sineas yang memadukan berbagai unsur seperti gagasan, sistem nilai, pandangan hidup, keindahan, norma, tingkah laku manusia, dan kecanggihan teknologi. Dengan demikian, film tidak bebas 1 2
Undang-Undang No. 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman, Pasal 1, Ayat (1) Effendy, Onong. Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT.Rosdakarya. 2000 hal 201
1 http://digilib.mercubuana.ac.id/
2
nilai karena di dalamnya terdapat pesan yang dikembangkan sebagai karya kolektif. Di sinilah film menjadi alat pranata sosial. Film sebagai institusi sosial memiliki kepribadian, mengusung karakter tertentu dengan visi dan misi yang akan menentukan kualitas. Ini sangat dipengaruhi oleh kompetensi atau kualifikasi, dedikasi para sineas, kecanggihan teknologi yang digunakan, serta sumber daya lainnya. Salah satu elemen yang biasanya selalu ada dalam sebuah film dengan suara adalah dialog. Dialog adalah percakapan para pemain. Dialog memegang peranan yang penting karena menjadi pengarah lakon drama. Selain dialog, terdapat istilah lain yaitu Prolog, Monolog, dan Epilog. Prolog adalah kata pendahuluan dalam lakon drama. Prolog memainkan peran yang besar dalam menyiapkan pikiran penonton agar dapat mengikuti lakon (cerita) yang disajikan. Epilog adalah lawan dari Prolog, yaitu kata penutup yang mengakhiri drama. Sedangkan Monolog adalah percakapan seorang tokoh dengan dirinya sendiri. Beberapa film menggunakan monolog sebagai gambaran apa yang ada di pikiran suatu tokoh, dan bagaimana cerita akan berjalan selanjutnya. Monolog menjadi dialog penolong dalam upaya agar penonton mengerti sudut pandang si tokoh, dan memahami latar belakang satu tokoh dalam melakukan tindakan tertentu. Monolog juga menjelaskan konteks informasi serta gagasan apa yang sesungguhnya ada di dalam pikiran suatu tokoh dalam film. Film The Perks of Being A Wallflower adalah salah satu film yang menggunakan
monolog
dalam
memberikan
informasi
pendukung
kepada
penonton agar dapat lebih memahami jalan cerita. Beberapa informasi penting
http://digilib.mercubuana.ac.id/
3
tidak digambarkan dalam adegan, namun dijelaskan melalui kata-kata monolog. Tokoh utama film The Perks of Being A Wallflower, Charlie Kelmeckis adalah seorang remaja penderita Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) atau Gangguan Stres Pasca Trauma. Karena kesulitannya dalam mendapatkan teman, Charlie mulai menulis surat yang merupakan monolog dalam film ini. Kalimat-kalimat
monolog
yang
diungkapkan
melalui
tokoh
Charlie
Kelmeckis bukan hanya kumpulan cerita-cerita yang dialami Charlie. Lebih dari itu, merupakan bentuk perlawanan-perlawanan yang diteriakkan Charlie terhadap masalah-masalah yang dialaminya dan orang-orang di sekitarnya dalam bentuk tulisan, karena ia tidak mampu mengungkapkannya dalam bentuk verbal. Melalui kalimat monolog Charlie Kelmeckis, pembuat film seolah-olah menunjukkan bagaimana pada dasarnya semua orang memiliki kecenderungan untuk mengejar harapan yang dimilikinya, dan di sisi lain menghindari hal yang tidak
diinginkannya dengan cara mereka masing-masing.
Sebagai karakter
penderita PTSD, Charlie berusaha mendorong motivasi yang ada dalam dirinya melalui tulisan yang dibuatnya. Tulisan atau kalimat monolog itu juga secara implisit menjelaskan prinsip-prinsip dan ideologi seorang remaja yang tumbuh di Amerika Serikat dengan seluk beluk gaya hidup dan pergaulan remaja di negara maju. Penyajian kalimat monolog yang mendominasi alur cerita film The Perks of Being A Wallflower menjadi hal yang menarik karena penggambaran karakter Charlie Kelmeckis yang introvert dan seorang wallflower merupakan hal yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, namun seringkali dianggap sepele dan
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4
dilupakan. Film ini membukakan fakta seorang wallflower penderita PTSD yang bisa menjadi sosok luar biasa dan bangkit untuk melawan gangguan stress yang dialaminya. Penyebab dan simptom (gejala) PTSD digambarkan melalui adegan dan monolog dengan halus dan eksplisit, sehingga memerlukan perhatian yang mendalam untuk dapat menangkap ciri-ciri penderita PTSD dalam film ini. Peneliti memilih film The Perks of Being A Wallflower karena film bergenre drama ini menampilkan masalah yang sering dialami oleh remaja di banyak negara. Setting film yang berada pada era 90’an menunjukkan bahwa kegelisahan remaja tentang jati diri dan kekhawatiran tidak dapat diterima dalam lingkungan sosial nya sudah terjadi sejak puluhan tahun silam. Permasalahan yang diangkat dalam film ini sederhana dan dekat dengan kehidupan sehari-hari, ditambah dengan bumbu percintaan dan kehidupan sosial khas remaja. Karakter tokoh utama dalam menghadapi perang batin internalnya, kehidupan sosial, sekolah, pertemanan dan keluarga memberikan banyak teka-teki gagasan apa yang sebenarnya ingin disampaikan dalam film ini, dan mengapa informasi-informasi kunci disampaikan dalam bentuk monolog, dan bukan dalam bentuk dialog antar tokoh. Analisa wacana monolog dalam film ini The Perks of Being A Wallflower menggunakan pendekatan Analisis Wacana Kritis. Lebih khusus lagi, peneliti akan menggunakan analisis wacana Teun A. Van Dijk sebagai alat analisis dalam penelitian ini. Analisis wacana Van Dijk atau yang biasa disebut dengan analisis kognisi sosial memiliki tiga strutur / elemen dalam menganalisa teks, yaitu struktur makro, super struktur, dan struktur mikro. Struktur makro, super struktur
http://digilib.mercubuana.ac.id/
5
dan struktur mikro saling mendukung dalam proses analisa teks untuk dapat memahami inti pesan dan karakter pesan yang ingin disampaikan oleh penulis. Peneliti berharap dengan menggunakan teori analisis wacana kritis dalam penelitian ini dapat secara mendalam mengungkapkan struktur-struktur dan makna
dalam
wacana
monolog
Charlie
Kelmeckis
sebagai
penderita
Posttraumatic Stress Disorder (PTSD).
1.2. Fokus Penelitian Berdasarkan pokok-pokok pemikiran pada penjelasan latar belakang di atas, maka fokus penelitian yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah : a. Bagaimana struktur kalimat monolog dari seorang penderita Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) dalam Film The Perks of Being A Wallflower? b. Apa penyebab, simtom, dan diagnosis Posttraumatic Stress Disorder (PTSD)? c. Bagaimana
penyebab, simptom, dan diagnosis Posttraumatic Stress Disorder
(PTSD) mempengaruhi wacana monolog seorang penderita PTSD dalam Film The Perks of Being A Wallflower?
1.3. Identifikasi Masalah Hal-hal yang mendasari pemilihan Wacana Monolog Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) dalam Film The Perks of Being A Wallflower ini yaitu peneliti ingin melihat bagaimana
struktur wacana monolog dari seorang penderita
Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) dan proses bagaimana wacana monolog itu terbentuk. Hal tersebut peneliti kaji dengan melihat bagaimana penyebab, simtom
http://digilib.mercubuana.ac.id/
6
dan diagnosis PTSD digambarkan dalam Film The Perks of Being A Wallflower. Peneliti berharap
dapat menghasilkan sebuah penelitian yang memaparkan
informasi mengenai efek Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) dalam diri seseorang dari segi komunikasi intrapersonal.
1.4. Tujuan Penelitian Dari perumusan masalah yang diuraikan di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna wacana monolog Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) dalam Film The Perks of Being Wallflower.
1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat Akademis Dari hasil penelitian yang peneliti lakukan ini diharapkan nantinya akan turut serta memberikan andil dalam upaya memperkaya ilmu pengetahuan pada umumnya ilmu komunikasi. Diharapkan dari hasil penelitian ini juga dapat menambah wawasan serta menambah khasanah kepustakaan dan dijadikan bahan referensi bagi penelitian untuk lebih meningkatkan kajian yang berkaitan dengan Analisis Wacana ataupun Posttraumatic Stress Disorder (PTSD) sehingga dapat dijadikan masukan bagi para mahasiswa, khususnya mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi.
http://digilib.mercubuana.ac.id/
7
1.5.2. Manfaat Sosial Penelitian ini diharapkan mampu membuka mata masyarakat untuk lebih kritis memahami tentang wacana monolog dalam sebuah film dan pesan yang disampaikan oleh pembuat film.
http://digilib.mercubuana.ac.id/