1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Tema merupakan alat yang dipakai pengarang untuk mengatakan pendapat atau gagasannya tentang berbagai aspek kehidupan manusia. Melalui dramatisasi dari tema tersebutlah pengarang mengemukakan pandangannya yang umum diberi istilah pandangan dunia pengarang. Segala hal yang menyangkut hidup manusia dapat dijadikan elemen tematik suatu cerita. Salah satunya adalah perselingkuhan. Mengingat tema adalah alat, maka elemen tematik yang berupa perselingkuhan dijadikan wahana untuk menyampaikan hal-hal lain diluar perselingkuhan yang justru menjadi intensi pengarang. Dengan kata lain terdapat berbagai kontestasi yang tidak melulu masalah perselingkuhan. Karena itu, dramatisasi perselingkuhan di satu cerita berbeda dengan dramatisasi perselingkuhan pada cerita yang lainnya. Sebaliknya, tidak menutup kemungkinan dramatisasi perselingkuhan di wilayah yang satu sama dengan dramatisasi perselingkuhan di wilayah yang lain. Di satu sisi ada persamaan, di sisi yang lain ada perbedaan. Hal ini menarik perhatian peneliti untuk mencari jawaban bagaimana dan mengapa hal tersebut dapat terjadi. Fenomena tentang hal tersebut dapat dilihat pada beberapa karya sastra berikut ini.
2
Perselingkuhan oleh pejabat kerajaan terjadi pada drama Shakespeare yang berjudul Othello1. Muatan intrik dalam sebuah perebutan kekuasan menjadikan isu perselingkuhan sebagai senjata ampuh. Kecurigaan Othello atas kesetiaan Desdemona menciptakan kekacauan dan merongrong pemerintahannya. Kenyataan berbicara bahwa Desdemona tidak melakukan perselingkuhan. Meskipun perselingkuhan tidak benar adanya dan dibungkus dalam intrik politis, terlihat bahwa perselingkuhan mengisyaratkan sebuah hal yang terpikirkan oleh manusia. Terganggunya sebuah ketenangan yang mapan, kehancuran hidup karena perselingkuhan, atau perubahan nasib menjadi bukti adanya efek dari perselingkuhan. Dengan begitu, perselingkuhan bersinggungan dengan norma kehidupan meskipun kemasannya berupa isu. Sementara itu, The Winter’s Tale2 menceritakan kasus serupa yang menimpa tokoh Leontes, raja Sisili, dan Hermione. Perbedaannya terletak di akhir cerita yang dikemas dengan happy ending, yaitu adanya pertemuan kembali keluarga yang terpisah. Perselingkuhan yang tidak terbukti dan kehancuran sebuah kemapanan pada kedua kisah ini menunjukkan adanya sebuah kekuatan yang bersinggungan dengan nasib. Pada abad ke-17 di tanah yang berbeda, Amerika, Nathaniel Hawthorne mengisahkan hukuman sosial yang berkepanjangan bagi tokoh utama yang benarbenar melakukan perzinahan karena perselingkuhan. Di dalam novelnya, The Scarlet
1
Richard Levin, Tragedy: Plays, Theory, and Criticism (New York: Harcout Brace Jovanovich, Inc, 1960), hlm. 21–61. 2 The Compelete Works of William Shakespeare.
3
Letter 3 , tokoh utama Hester Perryne menentang dominasi puritanisme dengan pandangan-pandangan tentang kebebasan di dunia baru, Amerika. Perselingkuhannya adalah manifestasi dari kebebasan menentukan pilihan pasangan hidup sejati. Alihalih perselingkuhan yang menghasilkan konsekuensi penyesalan bahkan kematian, hukuman Hester melampaui keberadaan seorang pendosa, yaitu bertahan hidup di dalam hukuman yang ditanggungnya sebab perselingkuhan dilakukannya dengan sadar. Di wilayah yang lain, Prancis, pada abad ke-19, beberapa abad setelah era Shakespeare, perselingkuhan yang secara normatif tidak dapat dibenarkan dan harus ditutupi diungkap oleh Gustave Flaubert dalam novel kontroversialnya berjudul Madame Bovary4. Sebuah rahasia umum tentang kebobrokan kebiasaan masyarakat kelas kaya yang suka melakukan affair ditunjukkan oleh tokoh utama. Kematian tokoh utama di novel tersebut merupakan harga yang harus dibayar atas perselingkuhan yang ia lakukan. Kisah semacam ini juga terjadi di Rusia, seperti yang ditulis oleh Leo Tolstoy dalam novel Anna Karenina5. Perselingkuhan adalah perbuatan dosa sehingga pendosa mendapatkan hukuman. Hal ini mengindikasikan bahwa norma masih dipegang erat oleh masyarakat untuk tidak membenarkan perselingkuhan.
3
Nathaniel Hawthorne, The Scarlet Letter (New York: A Signet Classics, 1959). Gustave Flaubert, Madame Bovary, terjemahan oleh Winarsih Arifin (Jakarta: Pustaka Jaya, 1990). 5 LeoTolstoy, Anna Karenina, terjemahan oleh Koesalah Soebagyo Toer (Jakarta: KPG, 2007). 4
4
Perselingkuhan di abad ke-20 mulai menjadi hal yang lebih rasional. Hal ini terlihat pada novel Lady Chatterley’s Lover6 karya D. H. Lawrence di Inggris. Lady Chatterley, atau Connie, diizinkan untuk melakukan hubungan gelap dengan pria pilihannya oleh Clifford, suaminya, yang menderita impotensi. Tujuannya bersifat logis, yaitu untuk memperoleh pewaris kekayaan keluarga Chatterley. Dengan demikian, perselingkuhan bergerak ke arah keterusterangan dan logika. Alasan terjadinya perselingkuhan menjadi simpel, yaitu Clifford yang tidak mampu memberikan kebahagiaan batin mengizinkan Connie memacari laki-laki lain untuk mendapatkan keturunan. Anak yang dihasilkan akan diadopsi sebagai pewaris kekayaan keluarga. Urusan menjadi selesai. Perselingkuhan adalah pilihan dan kebebasan hak asasi manusia untuk memperoleh kebahagiaan. Tidak ada hukuman dan tidak ada rasa dosa, bahkan sebaliknya kebahagiaan ditemukan. Berdasarkan hal-hal tersebut maka perselingkuhan adalah Objekt (objek) untuk mengatakan sesuatu. Objek, dengan demikian, berkedudukan sebagai elemen tematik. Ada kesamaan objek di antara kisah-kisah di atas. Namun, bagaimana objek itu berkembang adalah hal yang membedakan. Hal ini berarti bahwa elemen tematik yang berupa perselingkuhan memungkinkan terjadinya hubungan antara karya sastra yang satu dengan karya sastra yang lain. Selain itu, elemen tematik perselingkuhan dapat menjadi alat keterhubungan antarunsur di dalam karya sastra. Fenomena ini membuktikan bahwa tema suatu kali dapat terulang pada tempat dan waktu yang berbeda, dapat dimodifikasi, dapat diperluas, dapat diseminasi, bahkan dapat hilang 6
D.H.Lawrence, Lady Chatterley’s Lover (London: William Heinemann Ltd., 1959).
5
pada suatu tempo. Wujud objek perselingkuhan ini menurut Guillen termasuk kategori motif (Guillen, 1993: 192–196). Fakta inilah yang menggelitik peneliti untuk mengadakan penelitian sastra banding terhadap elemen tematik perselingkuhan. Berikut adalah pengertian wujud objek atau elemen tematik yang berupa motif perselingkuhan. Pernikahan antara laki-laki dan perempuan dapat dikatakan sah apabila pihak yang terkait sudah memenuhi persyaratan tertentu, baik secara hukum negara maupun hukum agama. Hubungan yang terjalin dikatakan legal. Dalam proses berkehidupan sebagai suami-istri kadang terjadi penyelewengan atas norma-norma pernikahan. Pihak laki-laki dan perempuan mempunyai peluang yang sama untuk melakukannya. Penyelewengan dalam konteks kehidupan perkawinan dikenal dengan sebutan perselingkuhan. Konsep perselingkuhan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hubungan ilegal di luar ikatan perkawinan antara laki-laki yang sudah beristri dengan perempuan lain atau antara perempuan yang sudah bersuami dengan laki-laki lain. Hubungan ilegal yang dimaksud mengarah pada dilanggarnya kesepakatankesepakatan yang telah sama-sama diketahui dan dipahami, baik secara personal maupun normatif. Berbagai faktor melatarbelakangi dilakukannya perselingkuhan. Keadaan ini menciptakan bentuk motivasi perselingkuhan yang bermacam-macam. Bagaimana bentuk perselingkuhan dan mengapa perselingkuhan terjadi adalah hal yang menarik untuk dikaji. Novel yang tersebut terakhir, Lady Chatterley’s Lover karya D. H. Lawrence, menjadi pilihan peneliti sebagai titik tolak dimulainya perbandingan di antara novel-
6
novel yang telah tersebut. Peneliti memerlukan cara kerja ini sebab Guillen membuka kesempatan sekaligus menantang sampai seberapa banyak karya sastra yang dibandingkan dan seberapa jauh keterjangkauan kemampuan peneliti menginvestigasi metamorfosis tema. Peneliti juga hanya mengambil genre yang sama, yaitu novel sebab fokus penelitian ini terletak pada tematologi (prinsip Guillen nomor 2) bukan morfologi (prinsip Guillen nomor 3) sehingga tidak melibatkan karya sastra yang bergenre drama seperti pada awal uraian bab ini. Lady Chatterley’s Lover dan novel lain mempunyai peluang dan kedudukan yang sama sehingga novel yang satu tidak mewakili keberadaan novel yang lain. Peneliti memperlakukan objek material penelitian sebagaimana yang ditulis oleh Faruk (2012: 6) mengutip Suriasumantri (1978: 7) tentang asumsi “objek pengetahuan yang empirik mempunyai keserupaan satu sama lain, baik berdasarkan bentuk, struktur, sifat, ataupun yang lainnya …” sebagai alasan secara teoretis. Jadi, Lady Chatterley’s Lover akan menciptakan link dengan novel lain dengan elemen tematik perselingkuhannya. Adapun alasan secara praktis diuraikan sebagai berikut. Pertama, novel ini menjadi fenomenal di dunia sastra Inggris karena seksualitas. Selain itu, tokoh utama yang melakukan perselingkuhan tidak mengakhiri hidup seperti kebanyakan tokoh utama di Eropa. Kedua, perselingkuhan dilakukan oleh perempuan kelas atas dengan laki-laki kelas bawah di tengah maraknya perselingkuhan yang terjadi pada kalangan kaya. Perbedaan kelas ini menjadi dahsyat efeknya sebab permasalahan kelas sosial menjadi hal yang sensitif pada masa itu. Tokoh utama memutuskan untuk jujur terhadap nuraninya bahwa apa yang dibutuhkannya ada pada pria yang menjadi
7
pekerja di rumahnya. Keberanian tokoh utama menyerukan kejujuran terhadap hakikat hubungan antarmanusia terutama antara kelas juragan dan kelas pekerja dan terkikisnya hal-hal yang bersiat batiniah oleh rasionalisme kapitalis menjadikan novel ini sebagai ikon perselingkuhan. Sebagai contoh, artikel yang berjudul “Lady Chatterley in Rome” 7 oleh Sulivan (1980) membuktikan ikonisasi itu. Tanpa menjelaskan apa dan siapa Lady Chatterley, orang dapat menggunakan ikon namanya pada kasus yang sama di tempat yang berbeda. Penjelasan singkatnya dapat dibaca pada subbab tinjauan pustaka. Hal ini mengindikasikan bahwa ketenaran perselingkuhan Lady Chatterley telah tertanam baik dalam mindset masyarakat luas. Dari karya-karya sastra di atas, perselingkuhan mengalami evolusi bentuk dan motif secara kultural-historis. Perselingkuhan yang ditabukan oleh norma sehingga menghasilkan hukuman bahkan kematian kemudian menjelma sebagai pilihan pribadi. Hal ini terjadi tidak hanya pada karya sastra yang terdahulu, tetapi juga pada karya sastra yang kemudian. Selain itu, perselingkuhan tidak hanya terjadi pada wilayah-wilayah yang sama (Eropa), tetapi juga di wilayah yang lain (Amerika). Perselingkuhan juga tidak hanya terjadi pada waktu yang sama, tetapi juga di waktu yang berbeda, yaitu dari abad ke-17 sampai abad ke-20 atau dari Eropa ke Amerika. Pergerakan tersebut menimbulkan keingintahuan peneliti mengapa terjadi perbedaan makna perselingkuhan, mengapa konsekuensinya berbeda, bagaimana perselingkuhan dikemas, bagaimana faktor (pada konteks kemunculan tema disebut motif)
7
J. P. Sullivan, “Lady Chatterley’s Lover in Rome” dalam Pacific Coast Philology Vol. 15 (Oct., 1980), hlm. 53–62.(Sumber: http://www.jstor.org/stable/1316615 diunduh 01/03/2011).
8
perselingkuhan, dan bagaimana ada kesamaan tema meskipun karya-karya sastra di atas hadir pada tempat dan waktu yang berbeda. Untuk memperoleh penjelasan yang logis atas kegelisahan tersebut, sastra banding adalah studi yang tepat untuk melakukan investigasi. Pada dasarnya, sastra banding dilakukan dengan cara menyandingkan dua atau lebih karya sastra yang berbeda, baik itu berbeda pengarang, bahasa, negara, judul, maupun era. Namun demikian, pembandingan tersebut tidak berhenti pada perbedaan dan persamaan dalam karya sastra yang diperbandingkan. Pembandingan juga tidak berpusat pada tindakan observer (orang yang membandingkan) sebab hal ini akan memunculkan penilaian absolut. Pembandingan dilakukan berdasarkan karya sastra yang ada yang diciptakan sesudah maupun sezaman. Dengan begitu, akan terjadi sebuah dialog yang menghasilkan sebuah struktur hubungan karya-karya sastra secara kultural-historis. Konsep ini dikenal dengan internasionalitas. Sastra banding tidak selesai dengan internasionalitas saja sebab ada fenomena di balik dialog tersebut. Fenomena akhir yang ingin dicapai itu adalah supranasionalitas. Supranasionalitas menekankan keterpisahan karya sastra dalam jarak dan waktu (baik genre, bentuk, tema, dan sejarah) yang berelasi melampaui hubungan antarkarya sastra dan melampaui hubungan budaya di tempat karya sastra dicipta dan tempat lain untuk mencapai sebuah ideologi. Konsep teori sastra banding demikian ini diungkapkan oleh Claudio Guillen (1993). Oleh karena itu, peneliti menganggap sastra banding Guillen adalah alat yang tepat untuk menjawab permasalahan penelitian ini. Pembicaraan tentang pentingnya aspek internasionalitas dibantu oleh unsur kultur dan historis untuk
9
menentukan struktur diakronis sebagai jalan mencapai supranasionalitas ini diuraikan oleh Guillen (1933: 3–4). Ilustrasi pada paragraf-paragraf di atas menunjukkan tema yang sama dipakai oleh karya sastra yang berasal dari zaman dan negara yang berbeda. Dialognya terjadi pada pergerakan elemen tematik perselingkuhan secara diakronis. Hal ini ditunjukkan oleh Othello dan The Winter’s Tale yang bergerak menuju The Scarlet Letter ke Madame Bovary dan Anna Karenina, dan sampai pada Lady Chatterley’s Love. Semua itu berfungsi sebagai pijakan untuk menentukan objek kajian berupa kesamaan tema perselingkuhan. Hal ini berarti Lady Chatterley’s Lover berada pada tataran the local dan/atau the one di antara the universal dan/atau the many dalam konteks jagad sastra. Supranasionalitas akan teridentifikasi sebagai jawaban atas ketegangan yang terjadi di antara dua tataran di atas (ruang dan waktu) sehingga kesamaan tema melalui sejarah sastra dan budaya yang berkembang dan bergerak dapat terjawab. Perkembangan, pergerakan, bahkan perubahan yang dapat diindikasikan nanti akan menjawab bagaimana bentuk perselingkuhan dan alasan penyebab perselingkuhan. Dengan demikian, asumsi penelitian ini dapat ditentukan, yaitu sebuah isu yang sama akan menampilkan perbedaan saat diterima pada ruang dan waktu yang berbeda.
1.2 Identifikasi Masalah Melalui pembacaan latar belakang, identifikasi permasalahan akan terlihat dari pemaparan, yaitu mengerucut pada bagaimana bentuk struktur tematis
10
perselingkuhan secara kultural-historis melalui internasionalitas untuk mencari supranasionalitas.
1.3 Batasan Masalah Lingkup penelitian ini memerlukan batasan masalah untuk memperjelas arah fokus penelitian. Penelitian sastra banding yang dilakukan menggunakan satu teori sastra banding yang ditulis oleh Guillen. Dari lima prinsip penelitian sastra banding Guillen dipilih satu prinsip, yaitu tematologi. Karya-karya sastra yang akan dibandingkan dengan Lady Chatterley’s Lover adalah novel-novel dari abad sebelumnya dari kawasan Eropa dan Amerika. Karya-karya itu adalah The Scarlet Letter (abad ke-17 dari Amerika), Madame Bovary (abad ke-19 dari Prancis), dan Anna Karenina (abad ke-19 dari Rusia). Model supranasional yang digunakan adalah model kedua (model B) yang akan dijelaskan di landasan teori.
1.4 Rumusan Masalah Rumusan masalah untuk membentuk sebuah elaborasi atas permasalahan yang sudah diindentifikasi adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana hubungan tema perselingkuhan pada Lady Chatterley’s Lover, Madame Bovary, Anna Karenina, dan The Scarlet Letter menyangkut persamaannya?
11
2.
Bagaimana hubungan tema perselingkuhan pada Lady Chatterley’s Lover, Madame Bovary, Anna Karenina, dan The Scarlet Letter menyangkut perbedaannya?
3. Bagaimana bentuk struktur diakronis tema perselingkuhan secara kulturalhistoris yang terbangun atas dasar tema perselingkuhan pada Lady Chatterley’s Lover, Madame Bovary, Anna Karenina, dan The Scarlet Letter? 4. Bagaimana supranasionalitas pada Lady Chatterley’s Lover, Madame Bovary, Anna Karenina, dan The Scarlet Letter?
1.5 Hipotesis Berdasarkan rumusan permasalahan yang sudah disusun disampaikan hipotesis penelitian, yaitu perselingkuhan pada Lady Chatterley’s Lover digerakkan oleh motif utama tertentu yang bergerak secara diakronis dari Lady Chatterley’s Lover ke novel-novel lain (internasionalitas) sehingga terlihat evolusi tema perselingkuhan dan membentuk struktur tematis. Struktur tematis terbangun secara kultural-historis yang selanjutnya menuju supranasionalitas.
1.6 Variabel-Variabel Atas dasar hipotesis di atas, variabel-variabel yang ditentukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Internasionalitas;
12
2. Struktur kultural-historis tematis; 3. Supranasionalitas.
1.7 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian akan menyebutkan tujuan khusus dan tujuan umum berdasarkan rumusan masalah di atas. a. Tujuan khusus 1. Mengidentifikasi posisi Lady Chatterley’s Lover di antara karya-karya sastra lain yang bertema sama lewat internasionalitas; 2. Menganalisis relasi dan dialog pada internasionalitas, baik secara kultural maupun historis (poin 2); 3. Mengidentifikasi supranasionalitas tema perselingkuhan pada Lady Chatterley’s Lover, Madame Bovary, Anna Karenina, dan The Scarlet Letter. b. Tujuan Umum 1. Menganalisis struktur naratif karya sastra terutama novel; 2. Mempelajari teori sastra dari pembacaan karya-karya sastra; 3. Mengidentifikasi sejarah sastra dan budaya masyarakat Eropa Barat dan Amerika; 4. Menelusuri sebuah gejala sastra sampai pada tataran ideologis.
13
1.8 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian secara praktis dapat diuraikan sebagaimana yang tersebut berikut ini: (1) Memberikan kontribusi pada penelitian sastra yang berkonsentrasi pada sastra banding. Dalam hal ini, peneliti menawarkan alternatif metode penelitian sastra banding Guillen agar tidak terbelenggu dalam penemuan berupa persamaan dan perbedaan antara dua karya sastra; (2) Menyumbangkan wawasan terhadap signifikansi kehadiran “kesadaran” dalam jagad sastra; (3) Menawarkan peta pergerakan sejarah sastra melalui pembacaan karya sastra secara intensif. Manfaat teoretis dapat disebutkan sebagaimana yang berikut ini: (1) Mengaplikasikan teori sastra banding Claudio Guillen sehingga cara kerja bandingnya secara konkret dapat dipelajari sekaligus di-review; (2) Membuktikan bahwa kajian sastra banding merupakan kajian yang tidak pernah “selesai” dan tidak selalu berangkat bahkan terbatas pada dua hal yang berbeda.
1.9 Tinjauan Pustaka Keaslian penelitian perlu dibuktikan. Tinjauan pustaka berikut ini adalah sarana untuk membuktikan bahwa penelitian yang akan dilakukan belum pernah dikaji oleh peneliti lain sebelumnya. Pertama, penelitian yang berkonsentrasi pada sastra banding dengan paradigma perbandingan ditemukan enam penelitian. Tiga artikel pada jurnal nasional, antara lain Gambaran Kekerasan dan Penghayatan Imajinatif dalam Beberapa Karya Sastra Indonesia dan Prancis ditulis oleh Sumarwati Kramadibrata
14
P. (2009), Toleransi dalam Interdiskursus Teks Sastra dan Teks Non-Sastra oleh Lucia Hilman, Lily Tjahjandari, dan Retno Untari (2003), dan Kisah Penjara Etis dan Filosofis: Analisis Lintas Budaya atas ‘Tembok Tidak Tinggi’ Karya A. Samad Ismail dan ‘Mereka yang Dilumpuhkan’ Karya Pramoedya Ananta Toer tulisan Faruk H. T. (2008). Kedua artikel terdahulu menemukan persamaan atas permasalahan yang dibandingkan. Kesejajaran kekerasan perempuan terlihat, baik dalam karya sastra Indonesia maupun Prancis. Demikian pula ada kesejajaran pola pikir wacana toleransi antara teks sastra dan teks nonsastra. Keduanya berangkat dari perbedaan menuju persamaan. Berbeda dari kedua artikel tersebut, artikel ketiga menggunakan metode analisis postmodern sebab penyusun ingin melihat perbedaan antara makna penjara dalam karya sastra Indonesia dan Malaysia yang melibatkan data sosial untuk melihat genesisnya. Kesimpulannya mengatakan bahwa makna penjara pada karya sastra Malaysia bertumpu pada objektivitas manusia, sedangkan makna penjara pada karya sastra Indonesia lebih berdasar pada subjektivitas manusia. Artikel pertama hanya membicarakan apa yang terjadi dalam aspek intrinsik karya sastra. Artikel kedua menjangkau data di luar karya sastra, yaitu segi sosialnya. Namun, sisi sosial yang diambil hanya pada sisi kemasyarakatannya. Jangkauan yang lebih luas terjadi pada artikel
ketiga
dimana
aspek
sosial
yang
dilibatkan
tidak
hanya
pada
kemasyarakatannya, tetapi juga masalah politik dan ekonomi. Jadi, kelemahan ketiga artikel ini terletak pada penampilan data yang kurang komprehensif. Artikel-artikel tersebut tidak melibatkan posisi penting kehadiran karya sastra yang dijadikan objek material, terutama hubungannya dengan karya-karya sezaman. Namun demikian,
15
tulisan-tulisan tersebut memiliki kelebihan, antara lain perbandingan pada permasalahannya memperlihatkan dengan jelas perbedaan dan persamaan. Dua artikel bersumber pada jurnal internasional, antara lain Secrecy in Fiction: Textual and Intertextual Secrets in Hawthorne and Updike oleh Matei Calinescu (1994) dan James’s Madam de Mauves and Hawthorne’s The Scarlet Letter oleh Robert F. Gleckner (1958). Artikel terdahulu memakai pendekatan intertekstual. Kenyataan yang inversif di antara kedua karya merupakan transformasi dari hipogramnya, dalam hal ini The Scarlet Letter. Artikel berikutnya memakai pendekatan struktural. Persamaan antara kedua karya novelis ini adalah fokus dari perbandingan yang dilakukan. Pada disertasi yang disusun oleh Bakdi Soemanto (2001) dengan judul Makna Kehadiran Lakon ‘Waiting for Godot’ Karya Samuel Beckett: Suatu Studi Banding disajikan data yang kompleks dibandingkan dengan tulisan di atas. Pendekatannya adalah sastra banding. Ada data dari sisi kemasyarakatan, politik, ekonomi, sejarah, dan tanggapan terhadap karya sastra yang lain. Keadaan ini menjadi kelebihan tulisan ini sebab dengan kekayaan data yang disajikan membuat pembaca seakan meloncat-loncat dalam lingkaran. Artinya, ke mana pun data itu berjalan, pada akhirnya kembali pada titik dimana data itu dimulai. Atas dasar ini, peneliti menjadikan penelitian Bakdi Soemanto ini sebagai model penelitian yang akan dilakukan, tentunya dengan taraf yang lebih sederhana. Penelitian yang menjadikan novel Lady Chatterley’s Lover sebagai objek material sebenarnya sangat banyak. Akan tetapi, data tidak dapat terakses karena rusak. Beberapa data yang berhasil diakses di antaranya ada tiga. Pertama, D.H.
16
Lawrence and Sex ditulis oleh Peter Nazareth (1962). Kedua, Sex and Language in D.H. Lawrence ditulis oleh David J. Gordon (1981). Ketiga, J.P. Sullivan (1980) yang menulis Lady Chatterley in Rome. Kecenderungan ketiganya menyoroti masalah seksualitas. Dengan paradigma hermeneutika, tanda berupa kata dan tanda berupa makna disimbolisasikan ke makna seks. Adapun artikel ketiga dengan paradigma filologis mengatakan bahwa bentuk-bentuk seksualitas Lady Chatterley sudah banyak terungkap dalam kisah-kisah di Roma berabad sebelumnya. Melihat tulisan yang telah dihasilkan di atas, tampak bahwa penelitian yang mengkaji perbandingan Lady Chaterley’s Lover dari sisi tema perselingkuhan dengan karya sastra yang lain belum pernah dilakukan. Penelusuran di atas juga menunjukkan
kecenderungan
pada
masalah
seksualitas
dan
percintaan.
Perselingkuhan yang diangkat pada penelitian ini berusaha untuk melepaskan pandangan pembaca dari sekadar masalah seksualitas dan percintaan yang dimunculkan pada novel tersebut. Peneliti akan menggali data sekunder dari bermacam karya sastra yang bertema perselingkuhan untuk mengidentifikasi alasan hadirnya
fenomena
perselingkuhan. Caranya
adalah membandingkan
Lady
Chatterley’s Lover dengan karya-karya sastra lain. Dengan demikian, perselingkuhan dapat dipandang tidak hanya dari sisi moralitas, tetapi lebih luas dari itu. Oleh karena itu, kajian dengan menggunakan sastra banding Guillen atas novel di atas perlu dilakukan untuk menunjukkan supranasionalitas fenomena perselingkuhan pada Lady Chatterley’s Lover.
17
1.10 Kerangka Teori Teori yang mendukung penelitian ini adalah teori sastra banding yang ditulis oleh Claudio Guillen dalam bukunya yang berjudul The Challenge of Comparative Literature yang diterjemahkan oleh Cola Franzen (1993). Pertimbangan pertama pemilihan ini adalah bahwa Guillen menampakkan posisi karya sastra dalam jagad sastra untuk menunjukkan terjadinya dialektika. Hal ini dapat tercapai dengan metode literary relation, atau dikenal juga sebagai internationality. Dialog terjadi tidak hanya dengan literary relation dalam sebuah wilayah (nation), tetapi juga literary history untuk menemukan supranationality.
10.1.1 Kajian Sastra Banding Kajian sastra banding dimulai pada dua dan tiga dekade abad ke-19 di Prancis. Rene Wellek dalam bukunya History of Modern Criticism: 1750–1950 (1955–1965) disebut Guillen sebagai tokoh penyumbang ide sastra banding dewasa ini karena idenya adalah menghapuskan pemilahan antara kritik, sejarah, dan teori. Selain itu, sastra banding yang dirumuskan Guillen merupakan reaksi dari perkembangan kajian sastra banding yang sudah dilakukan selama ini. Dua hal ini menjadi inspirasi bagi Guillen (1993: 104–105) untuk menyusun teori sastra bandingnya. Guillen menjelaskan identitas kajian sastra banding tidak bergantung pada tindakan peneliti semata-mata, yaitu mengkaji karya-karya sastra dari sudut pandang internasionalitas, menggunakan pendekatan tertentu, dan memakai teori sastra tertentu. Ide tersebut terlihat pada kutipan di bawah ini,
18
I prefer not to say, as some others do, that comparative literature consists in an examination of literatures from an international point of view, since its identity does not depend solely on the attitude or posture of the observer (Guillen, 1993: 3). Pada kutipan tersebut Guillen mempunyai kecenderungan untuk berbeda pandangan tentang sastra banding dengan pelaku kajian sastra banding yang lain. Kajian sastra banding selama ini berorientasi pada kegiatan menguji karya sastra dari sudut pandang internasionalitas saja. Padahal, identitas sastra banding tidak semata-mata tergantung
pada
bagaimana
pelaku
penelitian
sastra
banding
berkegiatan
membandingkan. Internasionalitas yang dimaksud dapat terbaca pada kutipan di bawah ini, Comparatists are those who refuse to devote themselves exclusively to either one of the two extremes of the polarity that concern them—the local and the universal. … It is obvious that for them specialization in one nation or nationality is not sufficient as a task and cannot be sustained as a practical matter (Guillen, 1993: 6). Kutipan ini mengungkapkan bahwa seorang pelaku penelitian sastra banding menghindarkan diri dari satu atau dua polaritas meskipun sastra banding mengonsentrasikan diri pada polaritas. Hal yang dimaksud polaritas pada kutipan ini adalah kelokalan dan keuniversalan yang diterangkan pada bab II yang berjudul the local and the universal pada bagian pertama buku Guillen. Spesialisasi atas satu wilayah atau nasionalitas tidaklah cukup untuk melakukan kegiatan pembandingan. Maka, internasionalitas mengandung arti tindakan menghubungkan satu karya sastra wilayah yang satu dengan yang lain. Kata nation yang bermakna wilayah dijelaskan oleh Guillen pada kalimatnya yang berbunyi, “…nation – nationality, country,
19
region, city – because ….” (Guillen, 1993: 5). Selain itu, makna internasionalitas juga teridentifikasi pada pembahasan tentang weltliteratur pada bab VI, yang selanjutnya diuraikan pada subbab-subbab di bawah nanti. Keberatan yang disampaikan Guillen tentang penggunaan teori sastra tertentu oleh peneliti sastra banding lain pada kajian sastra banding ditulis pada kutipan berikut, On such occasions, literary theory cannot be allowed to do what I have condemned at various times in this book, namely, to fly off heedlessly toward a universal model based only on knowledge of a single nation, a single writer, or a single period, thereby creating an absolute from the lesson of a single example (Guillen, 1993: 323). Menurutnya, teori sastra tidak berperan banyak bagi pelacakan sebuah model yang universal jika hanya berbasis pada satu wilayah, satu pengarang, atau satu periode. Hal ini dapat membentuk kebenaran yang absolut dari satu contoh kajian saja. Dari kutipan ini pula, secara implisit Guillen mengungkapkan pandangannya tentang kelemahan kajian sastra banding sebelumnya. Kelemahan lainnya dapat ditemukan pada bab yang berjudul taxonomies. Pada awal bab tersebut, Guillen mengidentifikasi empat fokus investigasi sastra banding di abad ke-19 seperti berikut: (1) tematik atau studi tema-tema folklorik, (2) morfologi atau studi tentang genre dan bentuk, (3) identifikasi sumber atau crenologia, (4) studi yang berkenaan dengan intermediaries, seperti jurnal, terjemahan, dan sebagainya.
Guillen mendeteksi
kelemahan pada
praktik
perbandingan itu, yaitu terletak pada terlupakannya unsur sejarah sastra dan konfigurasinya (periode, gerakan, dan gelombang).
20
Dapat ditarik kesimpulan bahwa apabila kenyataan-kenyataan di atas diterapkan pada kajian sastra banding Guillen maka akan terjadi kemandegan. Hal ini disebabkan oleh karya sastra yang sudah pernah dikaji menjadi terkungkung pada hasil penelitian yang teridentifikasi saja. Padahal kajian sastra banding, Guillen melanjutkan, adalah kajian yang mewadahi dialog antara unity dan diversity yang memberikan stimulus komparatisme untuk fokus pada konfrontasi terbuka antara kritik/sejarah sastra dengan teori sastra (Guillen, 1993: 70–71). Konsep ini terdapat pada bab X buku Guillen tentang model supranasionalitas terutama model yang ketiga. Jadi, kajian sastra banding yang disusun oleh Guillen adalah tindakan investigasi yang melibatkan studi sistematis tentang keterkaitan supranasionalitas (Guillen, 1993: 3). Supranasionalitas, merujuk pada harapan Guillen, bekerja dengan jalan penjelajahan “beyond cultural nationalism, beyond using literature in nationalistic ways…for ideological ends” (Guillen, 1993: 4). Supranasionalitas dapat ditempuh dengan melacak ciri-ciri literary communication, primordial chanel-nya, metamorfosis dari genre, dari form, dan dari tema. Oleh karena itu, dalam supranasionalitas terdapat refleksi sejarah kesastraan, kondisi yang terbangun, ciriciri, profil era, dan makna (Guillen, 1993: 4). Semua ini ditempuh Guillen oleh sebab mimpinya tentang sastra dunia (diuraikan pada bab VI tentang weltliteratur) seperti yang disampaikan oleh Goethe. Ide-ide dasar teori sastra banding oleh Guillen mempunyai beberapa latar belakang kemunculan. Dalam buku Guillen ditulis 11 hal pembicaraan yang memicu
21
munculnya studi sastra banding. Akan tetapi, pada kerangka teori ini tidak dihadirkan semua bahan pembicaraan tersebut. Hal-hal yang ditampilkan hanya hal-hal mendasar yang berhubungan dengan pengantar di atas, seperti konsep the local and the universal, the one and the many, weltliteratur, dan taxonomy. Konsep-konsep terpilih ini mendasari pengertian akan adanya the unity dan the diversity. Pertimbangan peneliti bahwa pembicaraan konsep-konsep lain tidak diuraikan di sini adalah praksis pembuktian adanya the unity dan the diversity. Konsep yang terpilih akan diuraikan selanjutnya. Sementara itu, sehubungan dengan pengertian sastra banding Guillen, penelitian
ini
akan
mencari
jawaban
tentang
supranasionalitas
terjadinya
perselingkuhan pada Lady Chatterley’s Lover. Hal tersebut akan bekerja dengan menggunakan literary communication dan metamorfosis temanya.
10.1.2 Konsep The Local and the Universal Istilah the local and the universal diperkenalkan oleh Guillen dengan maksud memberikan tanda terjadinya dua ketegangan konseptual yang memicu munculnya serangkaian oposisi yang terjadi pada situasi yang berbeda. Misalnya, ketegangan antara keberadaan yang ada dan tiada, yang diraih dan yang diinginkan, yang hadir saat sekarang dan yang abadi, dan sebagainya. Jadi, arti kata the local bukan sebuah lokal/tempat, bukan pula sebuah nation, yaitu nasionalitas, negara, wilayah, dan kota. Ketegangan ini berkaitan dengan keberadaan seni. Seni tidak terikat pada tempat dan waktu atau milik perseorangan maupun kelompok tertentu. Seni adalah image
22
(citraan). Oleh karena itu, seni merupakan the forever in the now di mana posisi karya seni ada pada branches of the only tree (Paz, 1983: 21; Esteban, 1979: 43 dalam Guillen, 1993: 6). Untuk menyederhanakan konsep di atas, Guillen mengusulkan empat opsi utama sehubungan dengan keberadaan seni dan polaritas yang membayanginya. Pertama, kesenjangan antara kecenderungan artistik dan tuntutan sosial. Kedua, perbedaan antara hal-hal yang praktis dan teoretis. Ketiga, perbedaan di antara individual dan sistem. Keempat, ketegangan antara yang lokal dan universal (Guillen, 1993: 6).
10.1.3 Konsep The One and the Many Konsep the one and the many dimulai dari kongres sastra banding pada 1971. Pada kongres tersebut muncul usulan tentang perlunya dibentuk studi East/West. Keberadaan karya-karya sastra yang berada pada kawasan “timur” dipandang sebagai “terpencil”. Kemudian, timbul pikiran untuk mempertanyakan kontak dan pengaruh karya sastra di luar kawasan timur, yaitu “barat” terhadap karya-karya sastra timur, Asia dan Afrika. Guillen mengidentifikasi bahwa studi East/West adalah bidang di mana dialog antara unity dan diversity menjadi hidup dan menjadi jelas. Dialog terjadi karena ada dua koordinat, yaitu ruang dan waktu (Guillen, 1993: 17). Berkaitan dengan ruang hubungannya dengan eksistensi karya sastra, beberapa hal perlu dipertanyakan. Pertama, apakah dialog hanya terjadi pada karyakarya sastra yang terpisah oleh jarak, oleh peradaban yang tidak saling
23
mempengaruhi? Kedua, bagaimana dengan karya-karya sastra yang berada pada wilayah yang berdekatan dan tidak begitu banyak menunjukkan perbedaaan? Ruang dan waktu menciptakan ciri-ciri sastra nasional yang memang mudah ditandai, tetapi sulit untuk dimengerti. Atas dasar inilah, dialog perlu diadakan supaya terjadi komunikasi bagaimana karya-karya sastra mengalami perbedaan, kontras, dan omissions (penghilangan). Lebih-lebih, tema yang sama atau berpotensi “universal” akan menjadi aspek yang sangat terbuka bagi perdebatan. Pentingnya dialog tercantum seperti kutipan di bawah ini, Thus, investigation by way of dialogue helps us to perfect our knowledge of all the components under consideration, as long as the effort doesn’t become bogged down or fail (Guillen, 1993: 17). Investigasi yang dilakukan untuk memahami dan mempelajari aspek-aspek di atas adalah dengan cara dialog. Maka, sastra banding mempunyai andil penting untuk meyakinkan bahwa tema berada dalam framework supranasionalitas. Guillen memberikan contoh kasus antologi untuk meyakinkan bahwa keterbatasan budaya dan dunia sastra merupakan kenyataan yang tidak mengarah pada inklusivitas, tetapi eksklusivitas realitas yang lebih luas. Jadi, dialog terjadi antara lokalitas dan globalitas. Berkenaan dengan koordinat waktu, dialog terjadi antara evolusi dan kontinuitas. Tidak semua hal berevolusi dan tidak semua hal kontinu. Demikian pula dengan tema. Tema terpecah-pecah dan terbelah menjadi bagian-bagian lain atau berevolusi, tetapi tema yang sama pada suatu saat kadang menghilang (pengertian ommisions pada pembicaraan di atas). Semua ini disebabkan oleh perubahan. Bentuk,
24
kata-kata, kepribadian mengalami perubahan. Demikian halnya apa yang dirasakan laki-laki dan perempuan, apa yang dibicarakan orang, dan nilai. Semua perubahan itu hanya dapat terlacak dengan menghadirkan sejarah. Maka, sastra banding memerlukan jasa sejarah. Oleh karena itu, posisi dialog menjadi sentral pada sastra banding Guillen. Di satu sisi, terdapat struktur yang mendasar pada karya sastra yang berbeda melalui waktu. Di sisi yang lain, ada perubahan, evolusi, sejarah sastra, dan masyarakat (Guillen, 1993: 18). Dengan adanya peran dialog koordinat ruang dan waktu, karya sastra ditempatkan pada posisi yang unik dalam konteks sastra nasional. Ada perubahan pandangan, yaitu (1) karya sastra, dewasa ini, tidak dapat dibatasi pada satu tradisi saja yang dinyatakan oleh satu orang individu; (2) sejarah sastra tidak dapat ditempatkan hanya pada satu teori yang final; (3) karya sastra tidak dapat terkungkung oleh persepsi pembaca yang membatasi diri pada analisis teks-teks sastra yang berdiri sendiri. Dengan kata lain, karya sastra tidak dapat diletakkan pada pandangan yang sempit pada satu metode dan satu teori-kritik, atau satu era dan satu genre. Sastra tidak dapat dipandang sebagaimana yang dihasilkan dan diajarkan negara-negara Eropa Barat dan Amerika. Sastra tidak dapat dikatakan sebagai sastra atau bukan sastra berdasarkan kejadian tertentu dan selera tertentu (Guillen, 1993: 19). Guillen membuktikan perubahan konsep keberadaan karya sastra di atas dengan menyebutkan apa yang sudah dilakukan oleh novelis dan linguis abad ke-18. Perubahan-perubahan terjadi di akhir abad ke-18 ketika karya sastra mengalami
25
dinamika pergerakan dua kutub yang saling tarik ulur. Oleh karena pergantian generasi, sistem, teori, sejarah, dan antologi, karya sastra membentuk dirinya sendiri berulang-ulang dari bentuk yang dahulu ke bentuk yang terbaru lalu kembali lagi ke bentuk yang lama dan seterusnya. Kedinamisan ini dipengaruhi oleh ketegangan antara integritas dunia yang ditandai oleh majunya ilmu pengetahuan alam dan perkembangan teknologi, dan pluralitas dunia sosial, politik, budaya, dan mental. Kondisi ini membentuk horizon kaum humanis dan para pencipta karya sastra (Guillen, 1993: 22). Dinamika dan perubahan sosial mempengaruhi dinamika dan perubahan karya sastra. Diperlukan dialog untuk membandingkan dan mencari ide besar mengapa terjadi dinamika dan perubahan. Guillen meyakinkan bahwa studi sastra adalah sebuah meta-upaya untuk mengaitkan, menemukan, atau menghadap-hadapkan karya-karya yang tercipta pada wilayah dan momen yang sangat jauh berbeda dan terpisah: the one and the many (Guillen, 1993: 23).
10.1.4 Weltliteratur Istilah weltliteratur, diungkapkan pertama kali oleh Goethe—penulis Jerman—pada 1827, membawa penafsiran yang ambigu. Guillen menuliskan ada tiga kemungkinan arti kata tersebut berdasarkan apa yang selama ini ditafsirkan oleh penulis lain. Oleh karena itu, Guillen memulai diskusinya tentang weltliteratur dengan menerjemahkannya sebagai “literature of the world” (Guillen, 1993: 39). Arti pertama, kehadiran pekerja seni sastra dan karya sastra yang menjadi “mendunia” dan
26
untuk seluruh dunia bagi siapa saja. Tidak peduli apakah ada batasan wilayah, karya sastra diciptakan untuk generasi sekarang dan yang akan datang di negara mana pun. Arti kedua, karya sastra dengan perjalanan tumbuh kembangnya, dengan penerimaan dan penolakannya oleh pembaca, kritikus, atau penerjemah, telah bersikulasi di seluruh dunia. Karya sastra telah menciptakan jembatannya sendiri untuk menghubungkan karya sastra yang satu dan yang lain. Arti ketiga, karya sastra merefleksikan dunia, berbicara kepada seluruh umat manusia tentang ekspresi pengalaman manusia yang terdalam, mendasar, dan tak lekang dimakan zaman. Menurut
Guillen,
dua
pengertian
pertama
mengacu
pada
perwujudan
internasionalitas, sedangkan yang ketiga dicirikan sebagai supranasional (Guillen, 1993: 40). Goethe, menurut penjelasan Guillen berikutnya, sudah pernah menyatakan bahwa tiba saatnya bagi setiap orang untuk keluar dari keterpencilannya dan menghirup udara dari dunia milik orang asing. Tidak bisa tidak, harus diciptakan sebuah cara untuk memenuhinya, yaitu dengan jasa penerjemahan dan studi bahasa asing. Dengan begitu, karya ciptaan pengarang besar dapat terbaca secara luas dan menjangkau bermacam-macam pembaca. Jadi, di masa Goethe telah tercipta international exchange (pertukaran secara internasional). Pada masa sekarang, praktik ini disebut dengan resepsi sastra. Resepsi sastra menjadi semakin menginternasional. Dengan begitu, Goethe membuat jelas fenomena era modern dengan tanda-tanda terciptanya kemudahan berkomunikasi.
27
Dialog antarkarya sastra telah dimulai. Ide ini dapat dengan jelas terbaca pada uraian di atas. Dialog era awal modern bisa diarahkan pada dialog antara dunia sastra dan dunia perdagangan, antara relasi pertumbuhan ekonomi dan hubungan perkembangan budaya. Sebagai hasil dari sebuah perubahan, kehadiran kaum borjuis menyumbangkan efek positif bagi perkembangan karya sastra. Borjuis mampu bergerak tidak hanya secara politis, tetapi juga secara ekonomis dan kultur. Efek kehadiran borjuis adalah wujud ideal masyarakat di abad ke-18. Masyarakat berkembang menjadi lebih toleran, dan komponen-komponen kemasyarakatan tidak lagi terisolasi satu sama lain (Guillen, 1993: 41). Inilah yang membuka pintu dialog antarkarya sastra. Guillen mengatakan bahwa ide Goethe yang menghubungkan relasi sastra dan ekonomi terbukti dengan munculnya Communist Manifesto pada 1848 oleh Karl Marx. Faktanya, produksi karya-karya intelektual dan produksi berupa material menjadi “milik umum”. Jadi, sastra dunia akan terbentuk dari sastra lokal (Guillen, 1993: 42 mengutip Vajda (1964: 338–339)). Hal ini mengandung dua pengertian hubungan, yakni antarbangsa (internasional) dan antarwaktu (intertemporal). Hubungan ini pula yang menjadi kata kunci pada konsep internasional dan supranasional Guillen. Lokalitas dan makna yang muncul menumbuhkan dorongan bersastra (ide ini ada di pembahasan the one and the many). Maka, perbedaan internasional dan supranasional tidak akan saling memisahkan melainkan saling melengkapi (Guillen, 1993: 42). Dengan demikian, semakin jelaslah pengertian internasionalitas yang disinggung di awal, yaitu internasionalitas tidak berbicara
28
tentang dominasi kemenangan sebuah lembaga di atas keberanekaan di dunia ini. Internasionalitas berbicara tentang kontak antara perbedaan lokal. Kontak ini mengakibatkan tidak hanya kemungkinan perbedaan-perbedaan, tetapi juga konfirmasi nilai-nilai umum yang berlaku dan pertanyaan-pertanyaan atasnya. Nilai umum ini mengarah pada pengertian supranasional. Dikatakan di awal bahwa Guillen menciptakan konsep sastra banding karena ingin dan terinspirasi oleh sastra dunia Goethe. Investigasi sampai tahap supranasional adalah cara yang ditempuh sebab di dalamnya ada kontak, relasi, dialog, dan nilai. Guillen (1993: 45) mengutip Marino (1975: 68) tentang apa yang dilontarkan Goethe, Time as well as space tends to expand more and more, to become superimposed, transformed into a unified cultural consciousness of the world, permanent and simultaneous. Thanks to the universal system of communication that is literature, all literatures are on the way to becoming ‘contemporary’…. Thus ‘universal literature’ becomes the community of all literatures, past and present, no matter what their traditions, their languages, their historical dimensions and their geographical locations may be … The literary dialogue assumes a permanent and international character. Literary communication and community tend to merge. Kutipan tersebut berbicara tentang mencairnya perbedaan tempat dan waktu karya sastra tercipta. Tidak ada lagi posisi yang berbeda di antara mereka. Jalinan ini terbentuk karena dialog. Oleh karena itu, “universal literature” menjadi wadah komunikasi bagi semua karya sastra. Komunikasi dan komunitas ini akan menampakkan satu kesadaran budaya dunia yang permanen dan simultan. Maka, jalinan dialog adalah internasionalitas dan kesadaran budaya adalah supranasionalitas dalam konsep Guillen.
29
10.1.5 Taksonomi Taxonomy adalah pengklasifikasian. Guillen mengidentifikasi klasifikasi kajian sastra banding dan mengkritisi keberadaan penelitian-penelitian yang sudah dilakukan. Di antara tokoh-tokoh yang disebut dapat disimak berikut ini. Renato Poggioli (1943) menyebutkan empat arah investigasi sastra banding dalam artikelnya, yaitu (1) tematik atau studi tema folklore, (2) morfologi atau studi genre dan bentuk, (3) identifikasi sumber, dan (4) pengujian fortuna pengarang (Guillen, 1993: 95). Klasifikasi investigasi ini mempunyai kelemahan. Kelemahan terletak justru pada hubungan dua kutub yang diperbandingkan, karya sastra dan estetika. Di antara kedua kutub ini tercipta adu komentar, persilangan pendapat, dan kritikan yang terisolasi dari dunia di luarnya. Kenyataan ini tidak mengarahkan sastra banding pada entitas yang berupa supranasional atau kontinuitas sejarah, tetapi pada sejumlah akumulasi pembelajaran yang tampil bagus, bahkan elegan, namun hanya akumulasi dan tidak lebih dari itu (Guillen, 1993: 100). Ditambahkan oleh Guillen bahwa investigasi sastra banding yang ideal adalah objek kajiannya bersumber pada buku, yaitu karya sastra. Inspirasi Guillen ini berasal dari pendapat A.M. Bassy (1973: 18) tentang buku, the ideal place for the observation of the variations of the connection between the thing written and the thing seen, the changes in interpretation and in the attitude of the readers, and for the exercise of a psycho-sociology of the arts (Guillen, 1993: 103).
30
Buku, seperti kutipan di atas, memungkinkan terjadinya proses psikologis sekaligus sosiologis. Pembaca mereaksi buku dengan pikiran dan interpretasinya terhadap apa yang dibaca dan yang dialami. Menurut Guillen, buku yang tercipta merupakan perwujudan tentang apa yang dialami sebagai karya tulis yang original. Dari titik ini, terjawablah ideal Guillen tentang material sastra banding, yaitu membandingkan antarkarya sastra. Selanjutnya, Guillen mengungkapkan ketertarikannya terhadap teks (berwujud karya sastra) sebagai objek studi sastra banding. Ia mengatakan bahwa ia lebih tertarik mempelajari bagaimana teks, bentuk, atau genre dipresentasikan dan diorganisasikan. Di sana pikiran-pikiran tentang teks, bentuk, dan genre tarik-menarik antara unity yang terlihat pada wacana atau kesadaran pembaca dan perbedaanperbedaan secara spatial-historical yang tidak terhitung jumlahnya, begitu nyata dan jelas dalam dunia sastra. Guillen mempertanyakan pada diri sendiri bagaimana ide dari gaya individu terhubung dengan konsep gaya kolektif (1993: 104). Oleh karena itu, Guillen menyusun teori sastra bandingnya dengan beberapa klasifikasi seperti halnya penulis-penulis lain sastra banding sebagai berikut. Henri Peyre (1952) menghidupkan kembali tematologi sebagai tanda kebaruan minat pada mitos dan simbol pada bidang antropologi dan psikoanalisis. Harry Levin (sekitar 1952) menekankan pada (1) studi terjemahan, tradisi, dan gerakan, (2) transformasi genre melalui sejarah, (3) elaborasi “repertoire of themes”. A. Owen Alridge (1969) mengemukakan klasifikasi kajian sastra banding dalam jurnalnya yang berjudul Comparative Literature Studies. (1) “literary criticism”, (2) “literary movement”, (3)
31
“literary themes”, (4) “literary forms”, (5) “literary relation”. Francois Jost (1974) menggolongkan investigasi sastra banding dalam buku Introduction to Comparative Literature, yakni (1) “relations: analogies and influences”, (2) “movement and trends”, (3) “genres and forms”, (4) “motifs, types, themes” (Guillen, 1993: 103– 104). Guillen (1993: 105) mengusulkan lima kelas investigasi; (1) genology, (2) morphology, (3) thematology, (4) internationality, (5) historiology. Selanjutnya, kelas-kelas ini akan diterangkan pada subbab-subbab yang berbicara tentang prinsipprinsip sastra banding pada penelitian ini.
10.1.6 Model Supranasional Tiga model supranasional yang dijelaskan oleh Guillen berikut ini adalah kerangka konseptual yang tidak menutup kemungkinan jumlah model bertambah sepanjang ada kerangka konseptual yang dapat dipertanggungjawabkan. Model A merupakan model yang terkini. Model A adalah studi tentang fenomena dan supranasional yang berkaitan dan mengimplikasikan internasionalitas. Model A mengarahkan kajian, baik kontak genetik maupun relasi lain antara pengarang dan proses yang terjadi pada national sphere atau common cultural premises (Guillen, 1993: 69). Model B mempelajari segala fenomena atau proses yang terjadi pada peradaban yang berbeda. Peradaban tersebut sama sekali tidak memiliki ketergantungan satu sama lain. Semua ini dikumpulkan untuk dikaji. Pengujian ini
32
ditimbang dan dibawa ke arah common sociohistorical conditions. Model kedua ini mengangkat keberadaan proses dan pertumbuhan sosio-ekonomi yang berkembang sebagai basis. Kedua basis tersebut memungkinkan terjadinya gejala politik yang melanda masyarakat dan peradaban yang berbeda untuk disambungkan dan dibandingkan (Guillen, 1993: 70). Model C dilakukan dengan menggantungkan kajian pada prinsip dan tujuan teori sastra. Dengan demikian, model C memperbaharui entitas supranasional dari beberapa fenomena yang secara genetik independen. Keterpisahan adalah aspek utama yang dimanfaatkan untuk investigasi atas masalah yang harus diselesaikan. Model ketiga ini memungkinkan terjadinya dinamika; pergerakan ke arah bersikontra mulai tampak, atau pengetahuan baru atau fakta-fakta yang belum terpublikasikan terdeteksi. Hal ini akan menjadi tantangan bagi sebuah teori. Oleh karena itu, struktur diakronik dan perkembangannya diuji seperti yang ditunjukkan oleh kajian-kajian ideologis, keberadaan genre modern, atau gaya menulis sepanjang kerangka konseptualnya adalah teori sejarah sastra (Guillen, 1993: 70). Analisis data pada penelitian ini akan menggunakan model yang kedua, yaitu model B. Perkembangan novel-novel di Barat (istilah Barat oleh Guillen adalah Eropa Barat dan Amerika) didominasi oleh konflik antara sistem dan custom bermasyarakat dan kehendak pribadi. Peneliti beranggapan bahwa faktor sosiologis, yaitu kapitalisme, industrialisme, rasionalisme, dan puritanisme membayangi tema cerita. Fenomenanya berupa perselingkuhan. Maka, fenomena perselingkuhan
33
dianggap ada hubungannya dengan proses perkembangan masyarakat dari sisi sosiohistoris.
10.1.7 Prinsip-Prinsip Dasar Sastra Banding Prinsip-prinsip ini merupakan dasar investigasi sastra banding Guillen yang disinggung pada bab tentang taxonomi di atas. Guillen menetapkan lima kelas investigasi, yaitu genology, morphology, thematology, internationality, dan historiology. Namun, pada ulasan berikut ini hanya akan disampaikan tentang tematologi dengan alasan investigasi penelitian ini berangkat dari ketertarikan pada kesamaan tema cerita antara novel Lady Chatterley’s Lover dan novel-novel di kawasan Eropa dan Amerika.
10.1.7.1 Tema: Tematologi Tema, menurut selera Guillen, adalah salah satu alat menuju penemuan supranasional. Pandangan ini ditempuh dengan merekonstruksi pengertian tema yang sudah ada. Pengertian tema yang terdahulu mengarah pada apa yang dikatakan atau ingin dikatakan oleh pengarang. Oleh karena itu, tema dapat dikatakan sebagai pokok pikiran cerita sehingga identifikasi tema diwujudkan dalam kalimat yang mewakili ide seluruh cerita (Schuster, 1966:88; Yanni, 1994:70). Guillen mengkritisinya dengan melakukan rekonstruksi bahwa tema adalah apa yang digunakan pengarang untuk mengatakan sesuatu, “Not what the poem says, but what it uses to say it” (1993: 192). Diperjelas lagi di halaman lain, “…the theme is what the writer modifies,
34
modulates, overtunes, not what he says but what he uses to say with…”(1993: 197). Guillen juga mengutip Manfred Beller (1970: 2) yang mengatakan bahwa tema adalah elemen yang membentuk sebuah karya sastra in a perceptible way (dapat membentuk kesadaran dan dinikmati). Hal ini mempunyai alasan bahwa pada awal proses penciptaan, pengarang masuk dalam kegelapan, bahkan ketidaksadaran. Oleh karena itu, dibutuhkan Objekt untuk merealisasikannya dan membuat karya itu konkret (1993: 192). Sebenarnya, kata what pada kutipan hlm. 192 dan 197 yang dimaksudkan Guillen sama dengan kata objekt oleh Schiller. Maka, tema ala Guillen dapat dikatakan sebagai ”lembaga” yang memerlukan agen untuk menggerakkan lembaga tersebut (pada uraian selanjutnya disebut motif). Lembaga itu berbentuk objek. Jadi, objek yang dimaksud adalah tema. Dengan demikian, tema merupakan elemen untuk mengidentifikasi supranasional dengan alasan bahwa elemen tematik dapat menghubungkan satu karya sastra dengan yang lain (intertekstual) dan momenmomen yang berkesinambungan dalam sebuah karya sastra (intratekstual) (Guillen, 1993: 196). Mengingat tema adalah objek cerita, keberadaan tema menjadi relatif sebab tema memungkinkan untuk dimodifikasi, diperluas, dan diulang (Guillen, 1993: 192). Selain itu, wujud dari objek cerita dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu image dan motif (pengertian motif yang ini berbeda dengan motif oleh Elizabeth Franzel pada uraian selanjutnya). Selanjutnya, Guillen menampakkan alternatif dua bentuk kelompok objek tersebut menjadi beberapa wujud, yaitu images (seperti warna),
35
topoi8, dan commonplaces, karakteristik sebuah ruang dan latar (seperti kota besar pada novel modern), moral dan sosial atau profesional (seperti tokoh-tokoh ilmu pengetahuan dan ajarannya), dan motif (seperti keserakahan) (Guillen, 1993: 196). Pengklasifikasian senada dilakukan oleh penulis lain, yaitu S.S. Prawer (1973: 99– 100) yang mengelompokkan tema menjadi lima grup (Guillen, 1993: 198), seperti kutipan berikut, first, the literary representation of the natural phenomena (the sea), the fundamental conditions of human existence (the dream), and ‘perennial human problems’; second, the recurrent motifs of literature and folklore (the three wishes, the magic ring); third, recurring situations (the conflict of son with father); fourth, social types, or professional and moral ones (the gentleman, the criminal, the traveler); and finally, characters derived from mythology, legends, and literature itself (Prometheus, Siegfried, Hamlet). Terlihat beberapa perbedaan selain kesamaan antara Guillen dan Prawer. Akan tetapi, perbedaan ini tidak dimaksudkan untuk dijadikan polemik atau dikritisi melainkan memperkaya “wujud” objek cerita atau tema. Kenyataan ini memperkuat sekaligus membuktikan pernyataan sebelumnya yang menyatakan bahwa “the limits of a theme,…, are very relative … when a theme is modified, broaden, or repeated” (Guillen, 1993: 192) sebab “the writer modifies, modulates, overtunes” (Guillen, 1993: 196). Konsep Guillen ini mempunyai dampak pada kehadiran tematologi sebagai salah satu bidang investigasi pada kajian sastra banding. Mengenai pentingnya tematologi, natur, dan cara kerjanya akan diuraikan pada paragrafparagraf selanjutnya.
8
Topoi sama dengan sign; misalnya, mitos Aurora sebagai dewi bertangan merah dan rambut keemasan. (Guillen, 1993: 217).
36
Kemampuan pengarang untuk memodifikasi, mengubah, mengadopsi, dan melahirkan kembali sebuah tema mengakibatkan diversity (keberanekaan). Diversitas ini
memerlukan
connection
(ketersentuhan atau kebersinggungan).
Guillen
menyebutkan dua cara untuk mencapai connection ini dengan mengadopsi ide Prawer, yaitu dengan historical nature dan polarity. Berikut ini disampaikan peran history dan polarity. Peran sejarah digunakan untuk mendeteksi mana (wujud objek seperti disinggung di atas) yang nyata dan tidak. Untuk mempermudah, sebut saja mana yang perennial dan mana yang bukan. Perbedaannya adalah ada di mana. Dengan demikian, peran sejarah berbicara tentang evolusi tema, keasliannya, dan kemunculannya kembali dalam wujud yang berbeda dengan asalnya. Jika proses ini terdeteksi maka struktur dari kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkannya dapat dimanifestasikan. Jadi, hanya sejarah yang dapat bekerja seperti ini. Polaritas berbicara tentang dua hal yang berbeda, misalnya polaritas antara fenomena alam, seperti bunga, air, dan sebagainya dan a dream of a Golden Age. Selanjutnya, polaritas ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan semacam bagaimana dua hal tersebut saling berbaur dan mempengaruhi, mediator apa yang memfasilitasi ke-ter-saling-hubungan itu, kapan fenomena alam itu selesai dan kapan fenomena budaya atau masyarakat dimulai. Guillen memberikan penjelasan tentang uraian konsepnya tersebut dalam contoh-contoh yang bermacam-macam, salah satunya akan dicantumkan peneliti di sini. Puisi Pedro Salinas yang berjudul San Juan de Puerto Rico: El contemplado
37
(1946; diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi Sea of San Juan: A Contemplation) menggambarkan penyair yang berkontemplasi tentang kehidupan dengan
keingintahuannya
yang
dalam
dengan
mengeksplorasi
kehidupan,
menemukan nilai-nilai kehidupan, dan kembali untuk menemukan arti hidup. Tema puisi itu adalah laut. Jadi, penyair berhadapan dengan dan berpikir tentang laut, dan mengadakan dialog dengan laut. Dengan demikian, ada dua hal sebagai wujud objek, yaitu laut sebagai fenomena alam dan kehidupan sebagai images. Keduanya menjalin connection. Pertama, koneksi antara tema dan kehidupan. Kedua, tema dengan sejarah budayanya. Ketiga, tema dan variasinya. Koneksi antara tema dan kehidupan terlihat jelas dari apa yang terjadi pada penyair, yaitu kontemplasi kehidupan melalui laut. Adapun koneksi antara tema dan sejarah budayanya dapat ditelusuri melalui baris-baris yang memuat tentang laut yang menjadi tren sejak zaman Yunani. Laut yang saat itu dihadapi oleh penyair berhubungan dengan laut yang diceritakan di masa lalu. Tarik-menarik antara yang lalu dan yang sekarang adalah juga tarik-menarik antara original dan tradisi, antara individualitas dan sejarah. Maka, struktur akan terbentuk berdasarkan dari mana peneliti memulai investigasi melalui kesejarahan (dalam kasus ini, laut yang sekarang dihubungkan dengan laut di masa Yunani). Barangkali di tengah-tengah antara laut yang sekarang dan laut zaman Yunani terdapat laut-laut yang lain secara historis. Maka, struktur diakronis ini akan menghasilkan, misalnya, polaritas zaman modern, yaitu antara dunia masa kini dan rasa kehilangan yang kosong. Arah polaritas dari
38
evolusi laut yang sudah ditemukan kepada makna laut yang muncul di masa modern adalah gambaran bagaimana hubungan antara tema dan sejarah budaya bekerja. Tema sekaligus objek cerita yang berupa laut dapat dikategorikan wujud tema natural fenomenon (oleh Prawer). Connection secara historis terdapat pada laut yang direpresentasikan pada waktu yang berbeda (antara laut masa lalu sampai laut kini). Polarity-nya terlihat pada hubungan timbal balik antara laut dan makna kehidupan. Misalnya, kekosongan hidup yang melanda di era modern. Jadi, peran sejarah menghasilkan knowledge of collective and definite differences in time as well as in space (Guillen, 1993: 199–201). Polaritas antara dunia masa kini dan rasa kehilangan yang kosong disebut knowledge of collective; laut yang sekarang, laut-laut yang lain, dan laut zaman Yunani menunjukkan definite differences in time as well as in space. Laut sebagai satu-satunya fokus berkembang menjadi makna-makna yang berbeda sebab fokus tersebut berakar dan dikondisikan oleh sejarah. Image-image (laut dari zaman ke zaman) yang muncul merupakan sensibility chanels (makna laut dari zaman ke zaman) dan sekaligus merupakan cara mencapai pemahaman kehidupan (kekinian dan kekosongan) (Guillen, 1993: 204). Seorang peneliti sastra banding adalah orang yang menjadi saksi mata sebuah proses yang terus-menerus; dibaca dan dimitoskan pada karya sastra di dalam kerangka distinct historical societies. Sebuah penetrasi fenomena alam ke wilayah budaya, misalnya, membuktikan investigasi sastra banding pada sisi tema sangat membutuhkan peran sejarah sastra (sebab sejarah yang disampaikan pada contoh di atas berjalan pada koridor terhadap apa saja yang terjadi karya sastra saja) (Guillen, 1993: 209).
39
Guillen mengusulkan dua hal berkenaan dengan kemungkinan terbentuknya tema baru. Dua hal tersebut adalah fakta sosial dan proses budaya. Contoh analisis tematologi untuk membuktikan pandangannya tersebut terdapat pada analisisnya tentang tema fool (orang bodoh, bukan goblok). Analisis ini diambil dari penelitian Walter Kaiser dalam bukunya Praisers of Folly (1963). Menurut Kaiser, fool mengambil peranan penting pada karya-karya tiga sastrawan terkenal zaman Renaissance, yaitu Erasmus, Rabelais, dan Shakespeare (Guillen, 1993: 210–211). Keberterimaan fool oleh pembaca karya sastra zaman Renaissance merupakan keberterimaan premis-premis, aspirasi, dan momen-momen nostalgik tentang fool. Contohnya, di zaman modern, ada laki-laki ambisius yang pergi mengadu nasib di kota-kota besar; di abad pertengahan, ada peziarah, ksatria hebat, dan tokoh hero dari rakyat jelata. Demikianlah, fool ada di mana-mana pada masing-masing era. Kehadirannya dihargai karena kesederhanaannya, fool selalu digambarkan sebagai orang yang menikmati kebebasan hidup, dan mengomentari atau mengolok-olok aturan-aturan yang dibakukan. Dimulai dari sini, Guillen mengungkapkan bahwa sebuah tema tidak harus datang dari pergulatan intelektual, tetapi dari realitas hidup, yaitu kejadian yang terlihat dan dialami. Tema yang berhubungan dengan pergulatan intelektual dapat dimengerti dengan mengingat kembali wujud tema oleh Guillen dan Prawer di atas. Kalau menengok lagi pembicaraan tentang wujud tema, pergulatan intelektual tersebut terdapat pada wujud motif (dalam Guillen) atau the fundamental conditions of human existence, atau perennial human problems atau recurring situations (dalam Prawer).
40
Fool, dalam perspektif sejarah, memiliki representasi dan sebutan yang berbeda. Erasmus mengidentifikasi sebagai berikut: “the buffoon of kings, princes, and prelates those of Pope Leo X in Italy at the beginning of the sixteenth century; in Spain the jester, the semibuffoon (Charles V’s ‘Dr. Villalobos’), Don Francisco de Zuniga, Soplillo, Pabilos of Valladolid, the boobies and dwarves of Valezguez.” Shakespeare dan Ben Johnson juga menggunakan fool pada Henry V dan King Lear. Maka, Kaiser menjuluki fool dengan sebutan “holy simplicity”, mengutip Thomas a Kempis, dan “learned ignorance”, mengutip Nicolas of Cusa. Sedikit demi sedikit terbukalah jalan bagi “the problematization of rational thought, the praise of folly, and the mixing of jests and thruths” yang akan membawa kisah-kisah semacam Licenciado Vidriera, Master Glass, dan Don Quixote kepada konsekuensikonsekuensi pentingnya. Guillen mengkritisi apa yang sudah dilakukan Kaiser bahwa penemuan tentang pengaruh sejarah terhadap keberadaan fool secara historis dan kultur bukanlah sebuah penjelasan yang lengkap. Guillen melihat fool sebagai bagian image yang mewakili keberadaan fool pada umumnya. Oleh karena itu, Kaiser menyajikan selera dan sampel dari fool. Guillen berpendapat bahwa satu tema yang sudah ditentukan tidak dapat difungsikan sebagai synecdoche. Hal ini disebabkan oleh kehadiran fool pada masa Renaissance sampai Reformasi bersandingan dengan the rogue (orang licik). Pluralitas petanda-petanda yang dihasilkan oleh investigasi atas satu tema dalam satu periode menimbulkan perdebatan. Dengan ditemukannya lagi perkembangan keberadaan fool yang sejajar dengan keberadaan rogue di era yang
41
lain, Guillen menyebut gejala ini dengan polysemy, maka dapat ditengarai bahwa interpretasi atas tema dapat berkembang secara sirkular dan “bersayap”. Sirkulasi interpretasi dan bervariasinya wujud tema tergantung dari sejarah dan budaya. Ada fakta sosial, yaitu eksistensi fool dan rogue, dan proses budaya, yaitu signifikansi fool dan rogue. Investigasi secara tematis harus meletakkan terlebih dahulu sebuah kesadaran akan adanya perubahan. Struktur tematis berada dalam inkonsistensi. Inkonsistensi muncul karena adanya aspek sejarah dan budaya mempengaruhi perkembangan dan perubahan struktur tema. Namun demikian, inkonsistensi ini bergandengan satu sama lain pada kesempatan yang bersamaan. Hasil dari hubungan persistence and change menghasilkan possible discoveries and innovative variations (Guillen, 1993: 216). Jadi, keberadaan tema bersebaran di mana-mana, bahkan dalam sebuah cerita. Adalah tugas dari peminat kajian sastra banding untuk mengadakan seleksi terhadap mana yang berarti, mana yang tidak (Guillen, 1993: 126 dan 232), dan mana yang hilang (absence) (Guillen, 1993: 221). Proses penyeleksian dilakukan dengan mata jeli melihat aspek sejarah dan budaya. Kemampuan melihat, menyeleksi, dan membidik ini disebut kemampuan eidetic dalam pembicaraan tentang fenomenologi oleh Budi Darma9. Semakin banyak pengetahuan dari sisi sejarah dan budaya, semakin banyak kemungkinan tema yang terdeteksi dan semakin ketat penyeleksian tema sebagai bahan investigasi. Penyeleksian yang paling mudah, menurut Guillen, dilakukan
9
Budi Darma, Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2004), hlm.100–103.
42
ketika tema-tema budaya diperbincangkan, misalnya mitos Golden Age, ide tentang manusia sebagai mikrokosmos, dan sebagainya (Guillen, 1993: 126). Guillen mengapresiasi Elizabeth Frenzel yang menyumbangkan ide tentang tematologi, yaitu membedakan antara primary theme dan principal motif. Keberadaan dua istilah ini mendorong peneliti sastra banding untuk tidak memandang ringan penentuan tema yang secara implisit dapat dirasakan pada uraian paragraf di atas. Primary theme adalah materi yang dikumpulkan dan digunakan oleh pengarang, sedangkan principal motif adalah situasi yang signifikan yang dielaborasi oleh pengarang. Jadi, keberadaan rogue merupakan primary theme pada Othello karya Shakespeare pada contoh munculnya polysemy di atas, sedangkan bagaimana hasutan rogue yang membisikkan dusta mempengaruhi Othello untuk melakukan hal-hal jahat, misalnya membunuh Desdemona demi kekuasaan, merupakan principal motif. Dapat disimpulkan bahwa primary theme dan principal motif adalah dua entitas yang saling mendukung dan mengisi. Guillen (1993: 234–235) mengutip Curtius (1950: 165) tentang hal ini, For him ’Motiv’ is what makes the argument possible objectively, what invites its composition: the intrigue, fable, or ‘mythos’ of Aristotle. ‘Thema’ is the personal and subjective attitude of the writer face to face with what life and literature suggest to him. … Motifs are given, found, or invented; and without them it is difficult to find an approach to a drama or a novel. The theme is inescapable destiny of the writer. Kutipan di atas mengandung arti bahwa tema ibarat sebuah lembaga yang perlu digerakkan oleh agen, yaitu motif. Hal ini sudah disinggung pada penjelasan sebelumnya.
43
Di halaman lain, Guillen (1993: 236) menyatakan bahwa tema berjalan dengan kemisteriusannya sebab tema seperti bayangan yang tergeletak menunggu natural links (istilah Harry Levin) dengan archetypal source-nya. Dengan demikian, penemuan tema dapat ditelusuri terlebih dahulu pada motifnya. Maka, “All themes and characters and stories that you encounter in literature belong to one big interlocking family” demikan Frye dikutip oleh Guillen (1993: 237). Natural links, archetypal source, dan one big interlocking family mengarah pada supranasional. Penelusuran keterhubungan (natural links) tema yang sekarang dan yang lalu (archetypal source) disebut dengan tematologi. Tematologi bekerja dengan sejarah sastra dan budaya sekaligus. Sejarah berperan sebagai alat menghubungkan, sedangkan budaya berperan sebagai alat pemberi makna pada evolusi tema dan motif. Struktur yang terbentuk dari rangkaian tematis menciptakan supranasional (one big interlocking family). Dengan demikian, tematologi membawa misi unity untuk membangun struktur dari diversity karya-karya sastra yang bertebaran dalam waktu dan ruang. Tema dianalisis untuk mencari perannya dalam melacak hadirnya supranasionalitas.
1.11 Metode Penelitian 1.11.1 Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa teks tertulis, yaitu fenomena tentang perselingkuhan. Pengumpulan data primer berasal dari teks karya sastra sedangkan pengumpulan data sekunder berasal dari sumber-sumber tertulis pula.
44
Oleh karena itu jenis datanya adalah data kualitatif. Metode yang dipakai untuk mengumpulkan data kualitatif tersebut adalah kepustakaan. Penelitian data kualitatif bekerja dengan mendeskripsikan fenomena (Ahimsa Putra, 2009: 18). Maka penelitian ini akan dilakukan dengan mendeskripsikan fenomena di dalam karya sastra yang berupa pikiran, gagasan, norma, nilai, tingkah laku, peristiwa, dan ungkapan tokoh mengenai perselingkuhan. Selain itu, fenomena yang dideteksi pada sumber data sekunder juga berupa peristiwa-peristiwa yang terjadi dengan latar waktu dan tempat yang berbeda di Eropa dan Amerika di abad 17-20 yang berhubungan dengan unsur-unsur sosial, historis, dan kultural pada masyarakatnya.
1.11.2 Metode Analisis Data Metode analisis data variabel pertama, internasionalitas, menggunakan metode simak dan banding. Metode dokumentasi bekerja dengan mengumpulkan novel-novel apa saja yang mempunyai fenomena perselingkuhan yang tercipta sebelum Lady Chatterley’s Lover. Metode banding digunakan dengan cara membandingkan dan mencari motif fenomena perselingkuhan antara Lady Chatterley’s Lover dan novel-novel yang terkumpulkan diantaranya Madame Bovary, Anna Karenina, dan The Scarlet Letter. Data variabel kedua, struktur diakronis (kultural-historis tematis), dianalisis dengan menggunakan metode dialektika dan metode struktural. Data dari variabel pertama diperlakukan sebagai fenomena yang saling berdialog antara fenomena perselingkuhan dan motif perselingkuhan pada novel yang satu ke novel yang lain,
45
atau dari Lady Chatterley’s Lover pada data variabel pertama ke novel-novel sebelumnya. Tema dan motif dimaknai secara kultural, sedang tema dan motif tersusun menjadi struktur secara historis. Antara yang kultural dan historis juga terjadi dialektika. Metode struktural bekerja dengan cara menyusun hubungan yang terbangun dari dialektika yang terjadi. Analisis data variabel ketiga, supranasional, menggunakan metode induktif. Data variabel pertama, kedua, dan ketiga yang sudah teridentifikasi ditelaah untuk diambil sebuah pandangan baru yang bersifat lebih abstrak (dapat berupa pandangan, trend pemikiran, ideologi, filosofi, dll) sehingga hasil analisis data variabel keempat merupakan “benang merah” yang berupa supranasionalitas. 1.11.3 Kerangka Analisis Data Kerangka analisis perlu ditampilkan untuk menggambarkan bagaimana metode pengumpulan dan analisis data bekerja. Logika cara kerja metode-metode tersebut dijabarkan berikut ini. (1) Peneliti memulai mencari motif utama tema perselingkuhan yang terdapat pada Lady Chatterley’s Lover, Madame Bovary, Anna Karenina, dan The Scarlet Letter kemudian ditelaah persamaan dan perbedaannya (2) Tema perselingkuhan akan didialogkan (3) Dengan menggunakan sejarah sastra, akan dianalisis hubungan yang terbentuk di antara novel-novel
yang bertema
perselingkuhan. Hubungan yang dimaksud adalah bagaimana perselingkuhan bergerak, berubah, berkembang, bahkan (jika mungkin) dihilangkan. (4) Struktur tematis, sementara itu, juga memerlukan jasa budaya untuk memaknai setiap motif
46
perselingkuhan yang terjadi. (5) Evolusi yang terjadi digambarkan dalam sebuah struktur diakronis. (6) Struktur tematis diakronis akan dianalisis menjadi nilai filosofis yang berfungsi dasar alasan hadirnya fenomena perselingkuhan yang disebut dengan supranasional.
1.12 Sistematika Penyajian Penyajian penelitian ini disusun berdasarkan sistematika berikut ini. Bab I adalah pengantar yang berisi latar belakang permasalahan perselingkuhan sebagai bahan kajian, teori yang digunakan, dan metodologi. Bab II adalah tema perselingkuhan pada Lady Chatterley’s Lover, Madame Bovary, Anna Karenina, dan The Scarlet Letter. Bab II tersebut berisi persamaan di antara empat novel yang dibandingkan dengan terlebih dahulu menentukan motif utama tema perselingkuhan. Bab III adalah uraian mengenai perbedaan yang ditemukan pada empat novel yang dianalisis. Bab IV ini berisi analisis secara historis atas dialektika dan analisis makna perselingkuhan secara kultural pada dialektika yang terjadi pada Lady Chaterley’s Lover, Madame Bovary, Anna Karenina, dan The Scarlet Letter. Tujuannya utnuk mengidentifikasi struktur diakronis untuk menghasilkan supranasional novel-novel yang dibandingkan. Bab V adalah kesimpulan dan saran.
47
1.13 Definisi Operasional Istilah-Istilah Kunci Definisi digunakan untuk memberikan pengertian terhadap istilah-istilah penting pada penelitian ini dengan konteks yang sesuai. Istilah-istilah operasional tersebut adalah : 1. Elemen tematik: istilah ini sama dengan pengertian objek cerita. Objek merujuk pada agen yang menggerakkan lembaga berupa tema. Elemen tematik mempunyai banyak wujud. Wujud elemen tematik perselingkuhan adalah motif. 2. Perselingkuhan: hubungan ilegal di luar pernikahan antara istri atau suami dengan laki-laki atau perempuan lain dalam jangka yang panjang (extra marrital affair). 3. Internasionalitas: hubungan yang terjalin antara novel satu dan novel lainnya yang mempunyai kesamaan fenomena. 4. Diakronis: hubungan vertikal antara novel terkini dengan yang mendahului dan yang mendatang. 5. Struktur: gambaran keterhubungan antara entitas satu dan yang lain; dalam penelitian ini novel-novel dengan tema perselingkuhan. 6. Supranasionalitas: istilah ini sama dengan pengertian ideologi. 7. Motif: (1) salah satu wujud elemen tematik, (2) berarti juga faktor dalam konteks pengidentifikasian sebuah tema dengan mencari terlebih dahulu motif utama tema.