1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahasa memiliki fungsi yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Bahasa merupakan alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan manusia (Aristoles dalam Djojosuroto, 2007:48). Selanjutnya, Aristoteles menyatakan bahwa bahasa itu baru ada kalau ada sesuatu yang ingin diungkapkan, yaitu pikiran atau perasaan. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa dengan menggunakan bahasa dalam berkomunikasi manusia dapat menyampaikan pikiran dan perasaannya kepada orang lain; serta dapat pula meneliti dan menginterpretasikan yang mereka maksudkan atau kehendaki. Sebagai alat komunikasi dalam masyarakat, bahasa dapat dikatakan sangat lengkap dan jelas. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbiterer yang digunakan oleh anggota masyarakat untuk berkooperasi dan berinteraksi (Bloomfield,
1933
dalam
Djojosuroto:49-50).
Dengan
kata
lain,
sesungguhnya dengan penggunaan bahasa yang digunakan secara sewenangwenang itulah maka anggota masyarakat dapat berinteraksi, dan secara tidak langsung dapat mengidentifikasi orang lain. Bahasa itu berbeda-beda karena penutur berasal dari latar belakang yang berbeda, dan bahasa yang digunakan itu sendiri jelas berbeda. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kress dan Hodge (1979:1) bahwa bahasa yang
2
dimiliki oleh individu didapatkan dari masyarakat tempat ia tinggal atau hidup. Setiap bangsa memiliki bahasanya sendiri dengan dialek, aturan dan pola masing-masing Oleh karena itu, pada saat orang berbicara, dialek, aturan, pola yang digunakan, dibangun oleh masyarakat yang menggunakan bahasa itu dalam berkomunikasi sehari-hari. Bahasa juga merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat. Seseorang akan jelas kelihatan latar belakangnya pada saat dia menggunakan bahasanya. Sapir dan Whorf (1956:34) menyatakan bahwa bahasa dan masyarakat memiliki hubungan. Selanjutnya, dinyatakan bahwa dunia nyata manusia dibangun oleh kebiasaan-kebiasaan bahasa kelompok. Hal ini membuktikan bahwa bahasa, budaya, dan masyarakat berada dalam suatu keadaan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya karena melalui penggunaan bahasa tampak budaya penutur itu. Bahasa memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Bahasa membawa karakteristik budaya dan pikiran penuturnya. Menurut Halliday (1985:4), linguistik merupakan bagian dari sistem tanda (semiotik) yang merupakan suatu aspek untuk mempelajari makna. Selanjutnya dikatakan bahwa ada banyak cara untuk mempelajari makna, dan salah satunya adalah bahasa. Bahasa dipandang sebagai potensi semiotik. Bahasa sebagai salah satu dari sejumlah sistem makna yang secara bersama menyatu. Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) / (Systemic-
3
functional linguistics (SFL)) mempertimbangkan fungsi dan semantik sebagai dasar dari bahasa manusia sebagai alat komunikasi. LSF tidak sama dengan pendekatan struktural yang menekankan sintaksis. Orientasi ahli bahasa yang merupakan pengikut LSF mulai menganalisis konteks sosial dan kemudian mencermati bagaimana bahasa bertindak di dalamnya, dibatasi serta dipengaruhi oleh konteks sosial. Konsep kunci dalam pendekatan Halliday adalah " konteks situasi (context of situation)" yang diperoleh "melalui hubungan sistematik antara lingkungan sosial pada satu sisi/dan fungsi organisasi bahasa pada sisi yang lainnya " (Halliday, 1985:11). Bahasa digunakan dalam konteks, tempat orang-orang berada dalam suatu wacana ketika mereka menggunakan bahasa. Orang-orang tersebut dapat berkomunikasi karena memahami teks, konteks, dan pola atau struktur. Analisis teks berarti analisis bahasa yang ada di dalamnya (Brown dan Yule, 1983:1). Dikatakan pula oleh Halliday (1985a:10) bahwa seorang ahli bahasa yang menjelaskan bahasa tanpa memperhitungkan teks adalah mandul, menjelaskan teks tanpa menghubungkannya dengan bahasa adalah kosong.. Berdasarkan pendapat tersebut maka sangat penting dan menarik analisis dilakukan terhadap teks karena dalam teks terkandung bahasa yang tentunya dipengaruhi oleh konteks (sosial, budaya) dan bahkan ideologi masyarakat pengguna bahasa itu. Untuk itu, teori LSF sangat sesuai dipakai untuk menganalisis teks Kette Katonga Weri Kawendo (KKWK) karena di
4
samping dapat menganalisis bentuk lisan dan tulisan, teori ini
secara
eklektik
unsur
menggabungkan
atau
menjangkau
tidak
saja
leksikogramatika, tetapi juga metafungsi makna, konteks situasi (register), konteks budaya (genre) sampai pada ideologi. Menurut Halliday (1975:4-5, 1994:311; Fairclough (1995b:4 ), teks dapat berbentuk lisan atau tulisan. Teks juga dapat berbentuk prosa atau syair, dialog atau monolog (Halliday, 1975:1). Selanjutnya Halliday (1975) menyatakan bahwa teks dapat berupa pribahasa/pepatah sampai pada suatu keseluruhan sandiwara/lakon mulai dari suatu teriakan meminta tolong sampai pada keseluruhan diskusi dalam suatu komisi. Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat dikatakan bahwa teks bisa panjang dan pendek. Teks memiliki kekuatan untuk menciptakan lingkungannya sendiri; teks memiliki kekuatan karena cara dari sistem yang ada di dalamnya memiliki pengembangan dengan membuat/ memilih makna dari lingkungan seperti yang diberikan (Halliday, 2004:29).
Selain itu, Plum (2004) juga
menunjukkan bahwa faktor sosial harus menjadi bagian dari model teks agar secara utuh memenuhi kondisi konteksnya. Pengkajian teks, selain konteks merupakan satu bagian penting, struktur teks merupakan bagian terpenting untuk dicermati dan dikaji agar dapat diperoleh pemahaman secara utuh ( Halliday dan Hassan, 1985).
5
Keseluruhan struktur yang ada secara sistemik dikaji secara simultan melalui pengkajian teks. Dengan demikian, teks KKWK yang diteliti dan dikaji mencakup keseluruhan struktur dan konteks yang ada di dalamnya. Pada kenyataannya teks dalam dokumentasi bahasa telah dikenal secara luas, namun teks hanya mewakili sebagian kecil (mungkin sepersepuluh persen) dari bahan-bahan dokumentasi bahasa yang ada (Himmelmann, 1998 dalam Holton, 2005:1). Jika demikian, peran teks lisan, seperti cerita rakyat dan teks prosedural, sangat penting dalam upaya pemertahanan dan revitalisasi bahasa (lihat Holton, 2005:2). Terdapat dua hal penting yang berkaitan dengan kontribusi teks lisan dalam revitalisasi bahasa. Pertama, teks lisan dapat memberikan gambaran bagi model tertulis yang nantinya bermanfaat dalam pengembangan bahan tertulis. Kedua, dengan adanya rekaman, teks lisan dapat didengar sebagai cerminan pengalaman asli para penutur (lihat Holton, 2005). Dengan adanya teks lisan yang terekam dengan baik, transmisi bahasa, seperti cerita rakyat dan acara ritual, tidak hanya
bergantung
pada
kemampuan
“menuturkan”,
tetapi
dapat
ditranskripsikan untuk dibuat dalam bentuk tulisan yang akan menjadi bahan yang bisa dijadikan rujukan bagi generasi selanjutnya. Transkripsi teks lisan dalam bentuk tulisan dalam mendokumentasikan acara-acara ritual atau cerita-cerita rakyat dalam bentuk lisan akan lebih bermanfaat apabila disebarkan dalam bentuk tulisan.
6
Teks lisan memainkan peran yang sangat penting dalam hal pengembangan bahan tertulis. Teks lisan dapat menghasilkan pengucapan yang alamiah dan baik sehingga digunakan dalam pengembangan ortografi bahasa
tersebut
(Seifart
dalam
Balukh,2009:5)).
Teks
lisan
juga
menghasilkan konstruksi kalimat yang alamiah walaupun secara linguistik belum tentu beraturan. Kalimat-kalimat hasil transkripsi menjadi basis data penting dalam pengembangan tata bahasa (Mosel, 2006). Berkaitan dengan data leksikal, teks lisan sangat potensial dalam menghasilkan banyak kata dengan berbagai variasi, diksi, dan bentuk dalam waktu singkat. Selain itu, kata-kata yang dihasilkan menggambarkan berbagai makna dan fungsi dalam bahasa tersebut, dan hal ini sangat penting dalam membangun basis data leksikal untuk kamus (Haviland, 2006). Teks lisan yang ditrankrip dalam bentuk tulisan, akan lebih mudah dicermati bentuk leksikogramatikalnya, yang selanjutnya dianalisis makna yang tercermin dalam teks. Terdapat banyak ritual yang melahirkan teks yang ditemukan dalam masyarakat. Menurut Hodge dan Kress (1988:74), ada dua ritual yang secara umum terdapat pada hampir setiap budaya, yaitu perkawinan dan kematian (penguburan). Masyarakat Wewewa memiliki beberapa ritual yang melahirkan teks, antara lain, kematian, pemanggilan arwah, tarik batu kubur, pesta adat, pesta panen, perkawinan. Secara umum, teks ritual perkawinan yang ada di Pulau Sumba hampir sama, yaitu adanya tahapan yang diikuti
7
serta adanya belis, atau dikenal dengan mas kawin, meliputi hewan seperti kerbau, kuda, babi dan mamoli emas. Namun, di balik kesamaan yang ada terdapat beberapa perbedaan, yaitu bahasa yang digunakan. Dalam penggunaan bahasa terkandung struktur, makna, serta simbol khusus yang berbeda. Teks KKWK adalah salah satu teks ritual yang ada dalam masyarakat Wewewa. Di samping itu ada teks ritual lainnya yaitu tarik batu kubur (tongngu odndi), pemanggilan arwah (zaizo), dan lain- lain. Teks ritual KKWK adalah tuturan lisan dalam bahasa Waijewa yang digunakan oleh masyarakat adat pada saat meminang gadis. Bahasa Waijewa digunakan oleh masyarakat Wewewa yang ada di empat kecamatan, yaitu Kecamatan Wewewa Timur, Kecamatan Wewewa Barat, Kecamatan Wewewa Selatan, dan Kecamatan Wewewa Utara. Sama seperti bahasa lainnya, bahasa Waijewa digunakan untuk berkomunikasi antarsesama warga, baik pada setiap aktivitas sehari-hari maupun pada acara ritual-ritual lainnya. Seperti yang telah disampaikan terdahulu bahwa salah satu aktivitas yang menggunakan bahasa Waijewa adalah acara ritual pernikahan/perkawinan. Acara adat/ ritual perkawinan (deke mawinne) mencakup tiga proses/ acara, yaitu: ketuk pintu (tunda binna),
peminangan (kette katonga weri kawendo) dan pindah adat
(pamalle/padikki). Masing-masing acara adat ini melahirkan suatu teks yang
8
memiliki isi dan tujuan khusus pembicaraan yang berbeda. Proses ini melahirkan teks lisan yang dari segi linguistik menarik untuk diteliti. Pada proses ketuk pintu (tunda binna) terjadi dialog tentang penjajakan keberadaan seorang gadis dan kesediaan pihak keluarga perempuan untuk menerima dan menentukan proses selanjutnya yaitu proses peminangan (kette katonga weri kawendo). Pada acara adat peminangan (kette katonga weri kawendo) terjadi dialog antara perwakilan kedua keluarga, pihak perempuan dan laki-laki. Dalam proses peminangan (kette katonga weri kawendo) terjadi pembicaraan yang berisikan penawaran dan persetujuan jumlah hewan dan mas kawin lainnya yang diberikan oleh pihak keluarga pria kepada orang tua pihak perempuan. Belis (mas kawin) tersebut diberikan
mulai
pada
saat
peminangan
(kette
katonga
weri
kawendo/KKWK) sampai pada saat acara adat memboyong gadis ke rumah mempelai laki-laki, yang dalam bahasa Waijewa disebut pamalle. Belis (mas kawin) yang diberikan berupa hewan, misalnya kerbau, kuda, dan mamoli
(kepingan)
emas
Selanjutnya,
pada
proses
pindah
adat
(pamalle/padikki) terjadi dialog pemenuhan semua belis yang telah disepakati dan mengajak gadis ke rumah calon suaminya. Pada bagian ini pihak keluarga laki-laki harus menyerahkan seluruh belis (mas kawin) yang telah disepakati. Jika tidak, gadis belum diperkenankan untuk diboyong ke rumah mempelai laki-laki.
9
Penelitian ini difokuskan pada bagian acara adat peminangan (kette katonga weri kawendo) saja karena apabila ketiganya diteliti membutuhkan waktu yang cukup lama (antara beberapa bulan, bahkan tahun) karena jarak satu acara/proses dengan yang lainnya ditentukan oleh ketersediaan dan pemenuhan belis (mas kawin) yang diberikan. Pada acara adat KKWK terjadi dialog yang cukup panjang bahkan apabila tidak sampai pada kesepakatan bisa diundurkan dalam beberapa hari sesuai kesepakatan. Pada acara KKWK terjadi dialog antara juru bicara (ata panewe) dari keluarga laki-laki dan perempuan untuk
mencapai suatu kesepakatan
dalam peminangan gadis sampai pada pernikahan. Dalam pembicaraan tersebut terjadi dialog yang panjang antara juru bicara (ata panewe) dari kedua keluarga untuk mendapatkan suatu kesepakatan tentang jumlah belis (hewan dan mas kawin) yang akan diberikan pihak keluarga pria kepada keluarga gadis. Juga terjadi penawaran berapa jumlah kerbau, kuda dan berapa buah mamoli (kepingan) emas yang diberikan pada saat pihak keluarga pria datang melakukan peminangan dan pada saat pamalle/ padikki (pindah). Jumlah belis (mas kawin) tersebut sudah harus disepakati bersama oleh kedua keluarga besar pada acara ritual KKWK. Kesepakatan yang telah dicapai bersama
pada proses KKWK tidak dapat ditunda
ataupun dilakukan perubahan akan jumlah dan jenis mas kawin. Jika terjadi penundaan (tunda kira) atau penggantian maka akan ada sanksi adat.
10
Teks KKWK merupakan tuturan lisan yang ditranskrip dalam bentuk tulisan untuk selanjutnya dianalisis karena belum ada teks peminangan dalam bentuk tulisan. Tidak hanya teks peminangan saja, tetapi teks-teks ritual lainnya yang berhubungan dengan bahasa Waijewa belum ada. Selama ini, banyak penelitian yang hanya difokuskan pada bahasa Kambera di Sumba Timur. Misalnya, penelitian yang dilakukan oleh Mariann Klamer (1998) tentang ‘Short Grammar bahasa Kambera’, Sari (1998) tentang ‘Fonologi Bahasa Kambera’, Widarsini (1985) tentang ‘Pertalian Fonem Bahasa Austronesia Purba dengan bahasa Sumba dialek Kambera’, Simpen (2008) tentang ‘Sopan Santun Berbahasa Masyarakat Sumba Timur’. Penelitian bahasa Waijewa masih sangat terbatas. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Budasi (2007) tentang ‘Rerelasi kekerabatan genetis kuantitatif isolek-isolek Sumba di NTT’. Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat tujuh isolek di Sumba, yakni isolek Kodi, Wewewa, Lamboya, Kambera, Mamboro, Wanokaka dan Anakalang. Putra (2008) meneliti tentang segmentasi dialektikal bahasa Sumba berdasarkan
kajian
dialektologi.
Kasni
(2012)
tentang
strategi
penggabungan klausa bahasa Sumba dialek Waijewa. Penelitian tentang teks bahasa Waijewa nyaris belum ada. Teks Ritual KKWK ini menarik diteliti karena di samping belum ada penelitian dengan topik tersebut, juga terdapat sejumlah hal yang menarik
11
yaitu dari segi leksikogramatika, metafungsi makna, konteks situasi, budaya dan ideologi yang perlu dikaji secara ilmiah. Misalnya, dari segi konteks situasi, Semua pelibat menempati posisi masing-masing di sebuah ruangan tamu. Jumlah pelibat dalam teks yang melakukan dialog dibatasi yaitu empat pelibat dari pihak keluarga calon pengantin perempuan dan empat dari pihak pengantin laki-laki. Pelibat sebagai orang tua dari kedua calon pengantin tidak diperkenankan berdialog langsung walaupun mereka saling berhadapan atau mendengar pembicaraan kawan berbicara, tetapi melalui juru bicara mereka masing-masing Medan teks, yaitu yang berkenaan dengan pokok pembicaraan pada awal sampai akhir memiliki subpokok tersendiri, dan sebagainya. Jika dibandingkan dengan acara yang sama terjadi di Sumba Tengah, pada saat peminangan kedua keluarga tidak berada pada rumah yang sama melainkan menempati rumah yang berbeda namun berdekatan atau satu kompleks. Sehingga kedua keluarga tidak berhadapan atau bertatap muka. Juru bicara yang pergi menyampaikan isi pembicaraan kepada masingmasing orang tua kedua calon pengantin. Setelah terjadi kesepakatan, barulah kedua keluarga diperkenankan untuk bertatap muka dan saling berjabatan tangan. Keunikan tersebut tentunya memengaruhi penggunaan bahasa yang digunakan pelibat dalam teks. Selain itu, belum ada penelitian dalam teks bahasa Waijewa yang menerapkan teori Linguistik Sistemik Fungsional. Kegiatan KKWK
12
melahirkan suatu teks yang cukup panjang, dan apabila dikaji dengan menerapkan teori LSF akan sangat relevan yaitu secara sistemik terlihat jejaring yang dimulai dari leksikogramatika, semantik diskurs, konteks situasi, genre, dan ideologi yang tercermin di dalam teks.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, pertanyaan yang muncul ialah: Bagaimanakah struktur teks kette katonga weru kawendo/KKWK pada masyarakat adat Wewewa di Pulau Sumba? Pertanyaan ini dapat dirumuskan lagi ke dalam beberapa pertanyaan khusus seperti berikut. 1) Bagaimanakah leksikogramatika (transitivitas, modus dan tema) teks KKWK pada masyarakat adat Wewewa di Pulau Sumba? 2) Bagaimanakah hubungan interdependensi atau hubungan logis sintaksis dan hubungan logis semantik klausa dalam teks KKWK pada masyarakat adat Wewewa di Pulau Sumba? 3) Konteks
situasi
(variable
register)
yang
mana
yang
memengaruhi teks KKWK pada masyarakat adat Wewewa di Pulau Sumba? 4) Bagaimanakah genre dan struktur potensi generik teks KKWK pada masyarakat adat Wewewa di Pulau Sumba?
13
5) Ideologi apakah yang tercermin dalam teks KKWK pada masyarakat adat Wewewa di Pulau Sumba?
1.3 Tujuan penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum penilitian ini adalah untuk menemukan dan mengkaji dua hal, yaitu tujuan yang bersifat empiris dan tujuan yang bersifat teoretis. Tujuan empiris untuk menemukan dan mengkaji teks KKWK pada masyarakat adat Wewewa, dan tujuan teoretis untuk menguji, menjelaskan dan mendukung teori linguistik sistemik fungsional. Tujuan umum ini dijabarkan lebih khusus pada tujuan khusus.
1.3.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1) menemukan dan menjelaskan leksikogramatika (transitivitas, modus dan tema) teks KKWK pada masyarakat adat Wewewa di Pulau Sumba; 2) menemukan dan menjelaskan hubungan interdependensi atau hubungan logis sintaksis teks dan hubungan logiko-semantik KKWK pada masyarakat adat Wewewa di Pulau Sumba; 3) menemukan dan mengkaji konteks situasi (variabel register) yang memengaruhi bahasa dalam teks KKWK pada masyarakat adat Wewewa di pulau Sumba;
14
4) menemukan dan mengkaji genre teks KKWK pada masyarakat adat di Pulau Sumba; dan 5) menemukan dan mengkaji ideologi yang tercermin dalam teks KKWK pada masyarakat adat di Pulau Sumba.
1.4 Manfaat Penilitian Penilitian ini di samping memiliki tujuan juga diharapkan akan membawa manfaat. Manfaat yang diharapkan meliputi
dua hal, yaitu
manfaat teoretis dan manfaat praktis.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Hasil penilitian ini diharapkan bermanfaat bagi penguatan dan pengembangan teori linguistik. Teori yang dimaksud adalah teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF)
yang telah dikemukakan oleh
Halliday dan Hassan (1985:52). Mengkaji teks secara khas ditunjukkan dengan menguji elemen-elemen leksikogramatika dan fonologi. Namun, unit yang lebih kecil ini harus dipandang dari perspektif kontribusinya terhadap makna yang diekspresikan oleh keseluruhan teks dalam konteks. Bagi seorang ahli bahasa, penjelasan bahasa tanpa memperhitungkan teks adalah mandul, penjelasan teks tanpa menghubungkannya dengan bahasa adalah kosong (Halliday, 1985:10).
15
1.4.2 Manfaat Praktis Hasil penilitian ini diharapkan membawa manfaat praktis, antara lain, sebagai langkah awal membuat tuturan lisan dalam bentuk tertulis karena kenyataannya bahwa teks-teks yang ada masih dalam bentuk lisan. Teks tertulis akan merupakan pedoman bagi generasi yang akan datang agar tetap memiliki bentuk teks yang standar yang dapat digunakan; sebagai: (a) masukan kepada peneliti sendiri dan rujukan bagi peneliti lainnya tentang teks Kette Katonga Weri Kawendo (peminangan) di Kabupaten Sumba Barat Daya, (b) sebagai suatu cara untuk mempertahankan bahasa dan budaya Waijewa di Pulau Sumba khususnya di Kabupaten Sumba Barat Daya, (c) sebagai motivasi khususnya bagi generasi muda agar tetap dan selalu mempertahankan budayanya karena merupakan salah satu cerminan identitas dari
masyarakatnya, dan (d) sebagai salah satu cara untuk
mempromosikan bahasa dan budaya peminangan yang ada di Pulau Sumba, khususnya di Kabupaten Sumba Barat Daya.
16
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Pustaka yang terkait dengan topik ini menjadi acuan dalam penelitian ini. Ada sejumlah pustaka dalam bentuk buku yang dapat dijadikan acuan. Buku yang berjudul Language, Context and Text: Aspect of Language in Social Semiotic Perspective merupakan karya Halliday dan Hasan (1985), yang kajiannya menekankan pada bahasa dalam konteks sosial, yaitu pada fungsi sosial yang menentukan bentuk bahasa sebagai pilihan yang berkaitan dengan konteks sosial dan konteks budaya. Selanjutnya, Halliday dan Hassan (1985) menjelaskan pula bahwa jalan menuju pemahaman bahasa terletak dalam kajian teks. Secara semiotik sosial, Halliday dan Hassan (1985) menjelaskan bahwa teks dan konteks sangat berkaitan dalam menentukan pilihan bentuk ataupun makna. Dengan demikian, maka teks tidak hanya mengacu pada bahasa secara material,
tetapi merupakan suatu kesatuan
antara bahasa, konteks situasi, dan penuturnya, yang dalam terminologi linguistik sistemik disebut medan, pelibat, dan sarana. Ketiganya merupakan bagian penting yang tercakup dalam konteks sosial. Karya ini sangat relevan dijadikan acuan, mengingat analisis teks tidak terlepas dari analisis komponen-komponen yang terkait di dalamnya.
17
Halliday (1994), dalam bukunya An Introduction to Functional Grammar, membahas secara teknis penggunaan tata bahasa untuk menganalisis teks dengan memberikan dasar-dasar pemahaman bahwa kajian teks lebih ditekankan pada analisis leksikogramatika yang pendekatannya bersifat sistemik. Karya tersebut merupakan kajian dasar untuk mengkaji teks secara lengkap. Karya ini menekankan analisis klausa yang dikaitkan dengan metafungsi bahasa. Klausa sebagai pesan yang menyangkut konsep mempertukarkan proposisi dan proposal, dan dari konsep ini lahir istilah tema-rema dalam sistem informasi
komunikasi
antarpelibat. Dalam buku yang sama edisi terakhir, (Halliday,2004) juga menjelaskan bahwa klausa sebagai representasi pengalaman berfungsi untuk mengungkapkan ide atau gagasan. Dalam konsep ini dijelaskan bahwa inti sebuah pengalaman adalah proses; dan untuk memahami proses dalam hubungannya dengan unsur lain diperlukan analisis struktur transtivitas. Karya tersebut sangat relevan digunakan sebagai petunjuk untuk menganalisis teks dari segi leksikogramatika. Karya lain yang juga berkaitan dengan teks adalah karya Halliday dan Hassan (1976) berjudul Cohesion in English. Karya ini membahas kekohesifan teks yang meliputi, antara lain, referensi, ellipsis, konjungsi, dan kohesi leksikal. Bagian-bagian tersebut secara utuh tercakup dalam kajian struktur dan tekstur teks.
18
Karya Eggins (1994) dengan judul An Introduction to Systemic Functional Linguistics memberikan landasan untuk memahami teks serta teknik analisis teks. Konsep genre dengan lingkup kebudayaan dan register dalam lingkup konteks sosial diperkenalkan dalam buku ini. Selain itu juga Eggins memperkenalkan leksikogramatika, makna interpersonal, makna ideasional, dan makna tekstual. Makna interpersonal dengan struktur moodnya, makna ideasional dengan sistem transtivitasnya, dan makna tekstual dengan struktur tema-rema. Karya tersebut memberikan penjelasan dan contoh-contoh klausa serta memberikan cara menganalisis teks dari aspek leksikogramatika, semantik wacana, dan aspek generik. Buku lainnya yang dijadikan rujukan adalah karya Sutjaya (2001). Dalam bukunya, Sutjaya membahas grup nomina bahasa Indonesia dengan ancangan Sistemik Fungsional. Ia juga membahas masalah ketatabahasaan yang menyangkut sistem dan struktur grup nomina Bahasa Indonesia. Ia tidak mengkaji teks, tetapi data nomina diambil dari teks-teks dalam bahasa Indonesia. Walaupun hanya mengkaji grup nomina bahasa Indonesia, namun karyanya sangat sesuai dengan materi kajian dalam penelitian yang dilakukan ini, karena memberikan contoh-contoh grup nomina dalam bahasa Indonesia dan cara menganalisis berdasarkan pembahasan Halliday seperti tertuang dalam Introductional to Functional Grammar. Karya Hodge dan Kress (1988) dengan judul Social Semiotic juga menjadi rujukan dalam kajian teks yang menjadi fokus penelitian ini. Karya
19
ini memberikan wawasan tentang semiotik sosial dan konteks situasi sebagai penentuan makna. Karya ini dapat menjadi acuan sebagai pembanding pandangan Halliday tentang perspektif bahasa sebagai sistem semiotic, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang komprehensif. Karya Tukan, B. dkk (2003) dengan judul Adat dan Upacara Perkawinan Daerah NTT memberikan pemahaman awal tentang upacara adat perkawinan di daerah Nusa Tenggara Timur. Buku ini tidak menganalisis teks perkawinan, tetapi menjelaskan upacara adat yang dilakukan di Provinsi NTT. Karya ini dapat dijadikan acuan secara umum dalam memahami adat perkawinan yang ada di Provinsi NTT. Dalam kaitan dengan konsep ideologi dirujuk karya Hodge dan Kress (1979) dengan judul Language as Ideology. Penulis buku ini memberikan wawasan tentang cara menghubungkan pandangan dengan keberadaan penghasil itu sendiri. Pemahaman tentang analisis ideologi suatu masyarakat juga ada di dalamnya. Karya mereka juga membahas pandangan bahasa dan masyarakatnya. Karya mereka memberikan pemahaman yang sangat baik kepada peneliti tentang ideologi. Pandangan mereka sesuai dengan pandangan Halliday (1985) dan Eggins (1994) bahwa bahasa dan konteks memiliki hubungan atau saling memengaruhi satu dengan yang lainnya. Karya Simpen (2008) dengan judul Sopan Santun Berbahasa Masyarakat Sumba Timur menjelaskan bahwa perilaku kesantuan berbahasa pada penutur bahasa Kambera berlandaskan enam pedoman hidup yang
20
menjadi ideologi orang Sumba Timur yang disebut ‘Hopu lila witi- Hopu lila kunda’ ‘Akhir dari segala pembicaraan-akhir dari segala pintalan’. Empat dari
enam pandangan
hidup,
yaitu
tentang
hal
suami dan
istri,
berkepemimpinan dan hal yang dihormati, hal bertani dan berkebun, serta hal tentang marapu dapat memberikan masukan
dalam mengkaji bagian
ideolologi teks. Walaupun bahasa Kambera tidak sama dengan bahasa Waijewa, ada kesamaan pandangan secara umum tentang ideologi orang Sumba. Keseluruhan konsep yang telah disampaikan tersebut merupakan kajian pustaka dari buku-buku yang dijadikan rujukan dalam mengkaji teks. Konsepkonsep yang diuraikan sangat sesuai dengan kajian teks yang dilakukan dalam disertasi ini. Selain buku-buku acuan yang telah disebutkan di atas, penelitian ini juga berkaitan dengan sejumlah hasil penelitian yang menerapkan teori Linguistik Sistemik Fungsional. Penelitian yang dilakukan oleh Eggins (1994), yaitu ‘Analysis of the Crying Baby Texts, menerapkan teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF) dalam menganalisis teks Crying Baby. Dalam penelitiannya dideskripsikan penggunaan bahasa Inggris antara orang tua dan bayi yang diasuhnya. Teks itu berisikan ceritera tentang proses pengasuhan bayi yang akhirnya menghasilkan teks yang diberi nama Crying Baby Texts. Penelitian itu menguraikan teks dari segi leksikogramatika dan semantik diskursif secara mendetail. Penelitian tersebut menemukan bahwa leksiko-
21
gramatika dan semantik diskursif dapat memberikan keterangan atau tanda bagaimana teks diberi makna. Penelitiannya juga ditemukan bahwa teks kaya akan makna, tidak hanya makna yang terjadi dan alasan makna terjadi, tetapi juga makna tentang hubungan dan sikap serta makna jarak dan kedekatan. Dengan menghubungkan pepilihan bahasa yang khusus terhadap konstruksi dan
refleksi
situasi,
budaya,
dan
ideologi
ditemukan
bahwa
teks
memperlihatkan fakta tentang makna sandi (encode), seperti cara orang tua berbicara, pengalaman tanggung jawab dan harapan orang tua..Karya tersebut secara teoretis belum memberikan penjelasan bagaimana ideologi dapat memengaruhi penggunaan bahasa/teks. Karya itu hanya menjelaskan bahwa ideologi merupakan level yang lebih tinggi dari konteks linguistik sistemik. Walaupun secara teoretis ideologi belum diuraikan
secara mendetail,
penelitian tersebut relevan dengan kajian teks yang peneliti lakukan karena memberikan banyak contoh analisis, mulai analisis leksikogramatika sampai dengan analisis konteks, serta simbol-simbol lain yang ada dalam struktur teks. Graber (2001), dalam tulisannya yang berjudul Context in Text: A Systemic Functional Analysis of the Parable of the Sower menerapkan teori sistemik untuk menganalisis teks tertulis Alkitab Perjanjian Baru, yaitu Injil Matius, Markus, dan Lukas. Ia mencermati fungsi bahasa dalam teks dan sejauh mana konteks berkontribusi dalam teks. Penelitianya mencermati bagaimana hubungan antara bahasa dan konteks situasi (medan, pelibat, dan sarana) serta fungsi semantik yang merealisasinya. Hasil penelitiannya
22
menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan dalam teks memiliki peranan dalam aktivitas sosial. Walaupun penelitian itu tidak membahas ideologi yang ada dalam teks tersebut, penelitian itu memberikan pemahaman bagi peneliti bagaimana konteks situasi memengaruhi bahasa dalam teks. Oleh karena itu, hasil penelitian tersebut sangat cocok diterapkan dalam kajian teks yang dilakukan dalam penelitian ini. Plum (2004), dalam tulisannya yang berjudul Text and contextual Conditioning in Spoken English: A Genre-based approach, menerapkan dua teori, yaitu teori tata bahasa sistemik fungsional Halliday dan teori variasi Labov. Penelitiannya menemukan bahwa pemilihan relasi logiko-semantik memiliki hubungan dengan genre dan pertanyaan, sedangkan pemilihan taksis memiliki hubungan dengan jenis kelamin pembicara dan keanggotaan dalam kelompok sosial. Parataksis disenangi oleh laki-laki dan anggota masayarakat sosial bawah. Penelitian ini tidak membahas secara khusus leksikogramatika, tetapi membahas hubungan klausa. Penelitian ini dapat memberikan pemahaman peneliti tentang logiko semantik dalam klausa karena bagian logikosemantik merupakan salah satu bagian yang dikaji dalam disertasi ini. Rasna (2009), dalam penelitiannya yang berjudul “Teks Aji Blegodawa dari Perspektif Linguistik Sistemik Fungsional”, berbicara tentang teks magic, yaitu black magic (panestian). Teks ini berbentuk monolog. Satusatunya partisipan yang ada dalam teks tersebut adalah Blegodawa. Bentuk teksnya adalah oral. Teks ini tidak dikonsumsi secara umum, tetapi hanya
23
dimanfaatkan oleh dukun yang dapat mengendalikan emosinya untuk bisa mendiagnosis penyakit secara mudah. Penelitian tersebut menemukan siskumtan lokasi merupakan hal yang paling dominan dalam teks. Penelitian tersebut juga menemukan adanya tiga metafungsi makna, yaitu makna eksperiensial, interpersonal, dan tekstual. Namun, makna tekstual belum secara jelas diuraikan. Penelitian tersebut juga belum mengkaji ideologi teks dan hanya menyampaikan bahwa teks tersebut mengandung nilai-nilai. Sutama (2010), dalam penelitiannya yang bertajuk “Teks Ritual Pawiwahan Masyarakat Adat Bali”, mengkaji teks Pawiwahan dengan menerapkan teori Linguistik Sistemik Fungsional. Ia mengkaji keseluruhan bagian perkawinan yang dimulai dari marerasan (tahap pertemuan awal antara keluarga calon pengantin laki-laki dengan keluarga calon pengantin perempuan) sampai pada majauman (mengesahkan pernikahan) Keseluruhan struktur dapat dikaji secara menyeluruh karena fakta menunjukkan bahwa jarak bagian yang satu dengan yang lainnya tidak membutuhkan jarak waktu yang lama. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa teks ritual pawiwahan masyarakat adat Bali memiliki sejumlah dimensi struktur, yaitu (a) budaya yang berkaitan dengan adat tradisi, (b) struktur makro yang berkaitan dengan konteks sosial, (c) struktur mikro yang berkaitan dengan alur pesan dan informasi, (d) serta struktur makna. Ia juga mendeskripsikan bahwa dalam teks ritual yang ditelitinya ditemukan adanya sistem mood, transitivitas, dan tema-rema. Penelitiannya belum mengkaji appraisal (penilaian) yang
24
merupakan bagian dari modus (mood) teks. Penelitian tersebut dilihat dari segi analisis tema- rema terutama yang berkenaan dengan tema bermarkah belum dibahas secara tuntas. Namun, penelitian tersebut dapat dijadikan rujukan karena memberikan pemahaman tentang
struktur teks yang
merupakan salah satu kajian dalam disertasi ini. Kasni (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Strategi Penggabungan Klausa dalam dialek Waijewa” hanya mengkaji strategi penggabungan klausa yang ada dalam bahasa Waijewa. Data yang dianalisis tidak diperoleh dalam konteks/ fungsional, sehingga klausa yang dibahas sangat kaku karena mengikuti pola umum yang sudah dipersiapkan oleh peneliti. Namun, hasil penelitiannya
memberikan
hal
yang
bermanfaat
terutama
dalam
penggabungan klausa yang juga dibahas dalam penelitian ini, terutama dikaitkan dengan hubungan parataksis dan hubungan logiko semantik antarklausa dalam teks.
2.2 Konsep Untuk menghindari salah pengertian dalam memahami tulisan ini maka beberapa konsep yang digunakan dalam tulisan ini penting dijelaskan. Konsep-konsep itu adalah teks, konteks, genre dan struktur teks, ideologi, linguistik sistemik fungtional (LSF) , kette katonga weri kawendo, dan masyarakat adat. Setiap konsep dapat dijelaskan sebagai berikut.
25
2.2.1 Teks Menurut Halliday (1985:10), teks adalah bahasa yang berfungsi. Berfungsi dalam arti bahwa bahasa memainkan tugasnya
dalam suatu
konteks. Selanjutnya, Halliday (1994:311) menyatakan bahwa teks adalah ‘sesuatu yang terjadi, dalam bentuk lisan atau tulisan, didengar atau dibaca’. Selanjutnya, Halliday menyatakan bahwa analisis teks, berarti analisis produk dari proses, dan istilah teks merujuk pada produk. Fairclough (1995b:4) menyatakan bahwa teks adalah bahasa tulis dan lisan yang dihasilkan dalam suatu peristiwa diskursif. Apabila kita menganalisis teks maka kita menganalisis proses, dan istilah teks biasanya diambil sebagai rujukan ke produknya (Halliday, 1985:10; Hodge dan Kress, 1988:6). Hal ini menunjukkan bahwa teks merupakan suatu produk yang dapat berupa tulisan atau lisan yang dituliskan atau lisan saja. Berdasarkan pendapat para pakar tersebut, maka konsep teks dalam tulisan ini adalah suatu produk dari proses. Dikatakan suatu produk karena teks adalah hasil yang dapat direkam atau dibaca/ dipelajari. Dikatakan dari proses karena
teks didapatkan dari proses pemilihan makna yang
dipengaruhi oleh konteks, baik konteks sosial maupun konteks budaya termasuk ideologi. Teks KKWK adalah berasal dari
tuturan
lisan yang
teks lisan yang pada awalnya
direkam, dan selanjutnya ditranskrip
menjadi suatu teks lisan yang tertulis. Teks lisan tersebut dianalisis mulai dari jenjang leksikogramatika sampai pada ideologi teks.
26
2.2.2 Konteks Konteks adalah “text that is ‘with” atau yang juga disebut “with the text” (Halliday,1985:5). Jadi, yang dimaksud dengan “with” tersebut adalah segala sesuatu di luar yang diujarkan dan yang tertulis termasuk aspek nonverbal sehingga dikatakan sebagai keseluruhan lingkungan tempat teks itu ada atau diujarkan. Konteks, menurut Halliday dan Hassan (1985, 1989); Eggins (1994); Eggins dan Martin J.R (1997), meliputi konteks sosial, konteks budaya, dan konteks ideologi. Menurut Halliday (1985), LSF memperlakukan bahasa dan konteks sosial sebagai abstraksi pelengkap yang dihubungkan dengan pentingnya realisasi konsep. Selanjutnya, Halliday (1985:4) menyatakan bahwa bahasa adalah sistem semiotik. Bahasa memiliki realisasinya sendiri atau bentuk ekspresinya. Untuk itu ideologi, genre, dan register tidak memiliki bentuk realisasinya sendiri, tetapi mereka membutuhkan bahasa untuk mengekspresikan materi yang dimaksudkan. Bentuk ekspresi bahasa adalah fonologi atau grafologi, dan seterusnya. Ideologi direalisasikan oleh genre (cultural context) yang selanjutnya direalisasikan oleh register (konteks situasi ), dan register direalisasikan oleh leksikogramatika. Ideologi, genre, dan register adalah semiotik konotatif karena memaknai sistem semiotik lainnya (misalnya bahasa) sebagai bentuk ekpresi; dan bahasa itu sendiri adalah semiotik denotatif karena bahasa memiliki bentuk ekspresinya
27
sendiri, misalnya fonologi atau grafologi (Halliday dan Martin 1993:37). Konsep itu tergambar dalam diagram (1) berikut. Strata Konteks
Bentuk Ekspresi
Pelibat Semiotik Konotatif Genre
Medan Sarana
Bentuk Strata Isi
Bentuk Ekspresi Semiotik Denotatif
Diagram 1 :Bentuk Isi dalam Hubungan dengan Konteks Sosial ( Diadaptasi dari Halliday dan Martin,1993:37; Martin,1997:7)
Selanjutnya, secara keseluruhan bahasa dan konteks dalam perspektif sistemik fungsional Halliday dan Martin (1993) dapat dilihat pada diagram (2) berikut.
28
genre register semantik gramatika fonologi
Diagram 2: Bahasa dan konteks dalam perspektif sistemik fungsional Berdasarkan diagram (2) di atas dapat dicermati bahwa secara sistemik unsur-unsur saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Organisasinya secara sistemik dimulai dari fonologi sampai pada ideologi. Fonologi merupakan bidang ekspresi, grammatika dan semantik merupakan bidang isi, sedangkan register, genre dan ideologi merupakan konteks. Disertasi ini
mengkaji tataran leksikogramatikal sampai pada ideologi. Bagian
register meliputi field (medan), tenor(pelibat) dan mode/chanel (sarana), sedangkan struktur genre dan struktur teks meliputi tujuan dan struktur generik
teks
yaitu,
tahapan-tahapan
yang
pembukaan/pendahuluan, isi, dan penutup. Setelah
dimulai
dari
ketiga tahapan itu
dipahami, baru akan dikaji ideologi, yaitu bagian yang ada di balik teks.
29
2.2.3 Genre dan Struktur Teks Genre merupakan langkah orientasi tujuan menggunakan bahasa Struktur adalah bagian-bagian dari sesuatu yang disusun atau disatukan secara bersama (Hornby:2000). Hal ini berarti bahwa setiap bagian berkaitan
satu dengan yang lain dan membangun suatu teks. Hassan
(1985:53) menjelaskan bahwa struktur teks berkaitan dengan keseluruhan struktur itu sendiri, keseluruhan struktur pesan. Selanjutnya, Hassan (1985:53) menyatakan bahwa struktur teks meliputi elemen struktur teks dan struktur generik teks. Konsep struktur teks dalam disertasi ini dipahami sebagai keseluruhan susunan pesan yang ada. Struktur teks merupakan realisasi struktur generik suatu genre. Struktur tersebut terdiri atas elemen-elemen yang secara berurutan muncul dalam teks, serta memiliki kesatuan makna/pesan. Dengan mengikuti model Aristoteles (dalam Halliday, 1985: 53), maka struktur teks terdiri atas tiga elemen yaitu bagian awal, bagian pertengahan, dan bagian akhir.
2.2.4 Ideologi Konsep ideologi tidak dapat dilihat secara terpisah, tetapi harus disesuaikan dengan kerangka kerja teori sosial secara umum. Thomson (2003:17) menyatakan bahwa ideologi sebagai seperangkat kepercayaan yang diorientasikan pada tindakan secara tertutup yang berkaitan dengan
30
pluralitas politik barat: sebuah pandangan yang berusaha mengurangi kondisi institusional dan struktural suatu tindakan politik. Untuk itu, pembelajaran ideologi berarti pembelajaran cara tempat makna (pemaknaan) memberikan pembenaran terhadap relasi dominasi. Pengarahan suatu tindakan menjadi bermakna, sebagaimana sebuah teks yang dapat diinterpretasikan oleh siapa pun merupakan landasan primordial fenomena ideologi (Thompson, 2003:295). Pemahaman seecara lebih mendalam, ideologi menurut Ricoeur (dalam Thompson,2003), berhubungan dengan citra (image) yang diserap oleh suatu kelompok sosial, dan dengan representasi diri sebagai sebuah komunitas yang memiliki sejarah dan identitasnya. Ideologi dapat memberikan pemahaman yang tersirat dalam peristiwa-peristiwa tindakan yang terletak dalam asal usul suatu kelompok. Tugasnya adalah untuk menyebarkan keyakinannya yang melampaui para pendirinya dan juga untuk menjadikannya sebagai keyakinan bagi seluruh kelompok. Berdasarkan pandangan ini dapat dikatakan bahwa ideologi mempunyai fungsi sebagai mediasi dan penyatu untuk mengonsolidasikan dan mengeratkan. Ideologi merupakan penyatu bagi masyarakat pemiliknya. Ideologi tidak terjadi secara spontan, tetapi melalui proses tersendiri dan sampai pada suatu keyakinan yang menjadikannya sebagai penyatu dalam suatu kelompok masyarakat. Sejalan dengan itu, Martin (1997:237) menyatakan bahwa ideologi merujuk pada posisi kekuatan, juga bias politik
31
dan asumsi bahwa semua yang berinteraksi sosial membawa mereka dalam teks. Berdasarkan pendapat para pakar tersebut, konsep ideologi dalam penelitian ini adalah seperangkat kepercayaan dari suatu kelompok masyarakat yang direalisasikan dalam tutur dan tindakan, serta yang dapat mengikat dan mempersatukan mereka secara turun-temurun. Berkenaan dengan pandangan tersebut, analisis idiologi sangat berkaitan dengan bahasa karena bahasa merupakan media dasar makna (pemaknaan) yang cenderung mempertahankan relasi dominasi. Dengan kata lain, bahasa mengandung makna yang ada hubungannya dengan ideologi pengguna bahasa.
2.2.5
Kette Katonga Weri Kawendo (KKWK)
Frasa kette katonga weri kawendo terdiri atas empat kata yang memiliki
makna
‘peminangan’.
Kata
‘kette’
mengandung
makna
‘mengikat’,’ katonga’ bermakna ‘tempat duduk’ (yang terbuat dari bambu yang disebut bale-bale); ‘weri’bermakna ‘tanda larangan’; kawendo bermakna ‘tiris rumah’ (emper/serambi rumah yang terbuat dari alangalang). Jadi, frasa kette katonga bermakna mengikat bale-bale;
weri
kawendo bermakna melarang tiris rumah. Jadi, kette katonga weri kawendo bermakna mengikat dan melarang. Frasa mengikat bale-bale bermakna bahwa sesuatu telah diikat dan tidak bisa dilepas atau dipisahkan; frasa melarang tiris rumah bermakna bahwa sesuatu telah ditandai dalam bentuk
32
larangan untuk memilih yang lain atau mengubah sesuatu. Selanjutnya, frasa tersebut mengandung makna ‘meminang/peminangan’. Jadi, apabila terjadi acara
kette katonga weri kawendo maka kejadian tersebut menandakan
telah terjadi kesepakatan dari kedua keluarga calon pengantin laki-laki dan perempuan yang disatukan melalui pengikatan janji. Hal ini bermakna bahwa gadis telah dipinang (diikat) dan melarang orang lain melamarnya/ meminangnya lagi. Baik laki-laki maupun perempuan diikat dan dilarang untuk mengubah atau memilih orang lain sebagai calon suami atau calon istri. Acara KKWK merupakan salah satu bagian dari proses perkawinan di samping proses lainnya, yaitu tunda binna’yang mengandung makna ‘ketuk pintu sebagai perkenalan’ dan pamalle yang mengandung makna penjemputan) atau padikki yang mengandung makna ‘pemindahan’). Dari ketiga proses tersebut KKWK membutuhkan waktu yang cukup panjang dalam dialog untuk mencapai kesepakatan yang akan ditindaklanjuti pada kemudian hari.
2.2.6 Masyarakat Adat Frasa masyarakat adat terdiri atas dua kata. Kata masyarakat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Diknas,1995:635) bermakna ‘manusia dalam arti seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama’. Kata adat dalam kamus tersebut (Diknas,1995:6) bermakna
33
‘aturan, kebiasaan yang dilakukan sejak dahulu kala; juga bermakna wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem’. Berdasarkan konsep tersebut dapat dikatakan bahwa
masyarakat adat
adalah sekelompok masyarakat yang menjalankan kebiasaan (adat), yang berlaku sejak dahulu kala sesuai dengan yang dikehendaki yang diikat oleh seperangkat norma, hukum, dan tradisi nenek moyang mereka. Masyarakat adat tersebut harus tunduk pada kebiasaan yang telah disepakati bersamasama secara turun temurun. Selanjutnya, masyarakat adat Wewewa adalah masyarakat adat yang menggunakan bahasa Waijewa dalam berkomunikasi sehari-hari. Masyarakat adat Wewewa
tunduk pada adat, norma,
dan
kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat Wewewa.
2.2.7 Linguistik Sistemik Fungsional Linguistik Sistemik Fungsional/LSF adalah
teori linguistik dengan
pendekatan analisis terhadap teks, yaitu bahasa yang berfungsi dalam konteks. Teori ini mempertimbangkan fungsi dan makna sebagai dasar bahasa manusia untuk melakukan komunikasi. Hal yang paling hakiki dalam teori ini ialah upaya dalam membedah sistem klasifikasi yang dibuat sesuai dengan penutur bahasa yang bersangkutan.
34
2.3 Landasan Teori Teori Linguistik Sistemik Fungsional merupakan teori utama yang digunakan dalam menganalisis teks Kette Katonga Weri Kawendo/KKWK (peminangan) pada masyarakat adat Wewewa penutur bahasa Waijewa di pulau Sumba. Teori ini pada awalnya dikenal dengan nama Systemic functional grammar (SFG) kemudian menjadi systemic functional linguistics (SFL). Teori tersebut merupakan suatu model tata bahasa yang dikembangkan oleh Michael Halliday pada tahun enam puluhan. Teori tersebut merupakan bagian dari pendekatan semiotik sosial terhadap bahasa yang disebut
systemic
linguistics.
Istilah sistemik
menunjuk pada
pandangan bahasa sebagai suatu jaringan. Deng. Teori Linguistik Sistemik Fungsional merupakan suatu teori bahasa yang mengkaji fungsi bahasa dalam penggunaannya (konteks). Teori tersebut menempatkan bahasa sebagai unsur yang utama (Halliday, 1985:17). Dengan kata lain, teori LSF menjelaskan bagaimana bahasa berfungsi sesuai dengan konteksnya. Ada empat pandangan utama teori ini (Eggins, 1994:2). Keempat pandangan itu adalah: (i) bahasa itu fungsional, (ii) fungsi atau kegunaan menciptakan makna/ fungsi yang bermakna,
35
(iii) fungsi-fungsi/kegunaan bahasa dipengaruhi oleh konteks budaya dan konteks sosial tempat fungsi itu dipertukarkan, dan (iv) proses penggunaan bahasa adalah proses semiotik, yaitu proses membuat makna melalui pemilihan. Selanjutnya teori tersebut memperkenalkan empat kategori dasar dalam analisis, yaitu unit, struktur, kelas, dan sistem (Halliday, 1961). Keempat kategori tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1) Unit Unit, pada awalnya meliputi klausa, kelompok kata, kata, dan morfem (Halliday, 1961:58). Selanjutnya, dikatakan bahwa unit, menurut LSF, ada dua jenis, yaitu unit bahasa tulis dan unit tata bahasa. Konsep unit dapat dipahami dalam kaitannya dengan teks. Pada teks tulis, misalnya, setiap paragraf terdiri atas beberapa unit mulai dari unit terkecil, yaitu morfem, kata, kelompok kata, klausa, dan kalimat. Sementara itu, kalimat dibedakan dengan klausa karena satu proses direalisasikan oleh sebuah klausa. Kalimat secara tradisional, menurut Rose (2001, 2006), merujuk pada unit dalam bentuk teks tertulis, dan klausa secara luas dalam linguistik merujuk pada bahasa lisan. Kalimat bukan merupakan unit tata bahasa, melainkan unit bahasa tulis yang diawali dengan huruf kapital dan diakhiri dengan titik.
36
Halliday dan Matthiessen (2004:371) menyatakan bahw kalimat adalah unit tertinggi dari tanda baca pada jenjang grafologi. Satu kalimat direalisasikan oleh satu klausa saja (Rose, 2001,dan 2006). Hal yang sama juga dikatakan oleh Halliday dan Matthiessen (2004:371) bahwa kalimat adalah unit tertinggi dari tanda baca pada jenjang grafologi, Kedua unit tersebut selanjutnya diberikan terminologi yang berbeda, yaitu unit untuk bahasa tulisan dan jenjang (rank) untuk tata bahasa. Singkatnya, dapat dikatakan bahwa unit merupakan tata urutan yang dimulai dari morfem, kata, kelompok kata, klausa, dan kalimat. 2) Struktur Struktur adalah susunan unsur-unsur secara horizontal. Setiap struktur disusun berupa susunan kanonik, morfologis, fungsional gramatika, seperti subjek, predikat, komplemen dan ajung untuk klausa; dan modifier, head, dan qualifier untuk grup nomina. Struktur adalah susunan unsur-unsur secara sintagmatik (Halliday dan Matthiessen, 2004:22). Selanjutnya, Halliday (1985, 2004) menyatakan bahwa susunan fungsional semantik meliputi pelaku - proses - sirkumstan ataupun urutan informasi, sedangkan fungsi gramatika meliputi subjek dan predikat. 3) Kelas Secara umum kelas disebut juga kategori gramatikal yang berupa tataran kata sampai dengan klausa. Kategori nomina, misalnya, dapat berupa kata nomina, frasa nominal, dan klausa nominal, sama halnya dengan verba,
37
adjektiva, dan preposisi. Selain kategori umum, ada dua gagasan lain, yaitu kategori dan level. Keduanya disusun untuk menjelaskan aspek formal bahasa. Tiga level pokok adalah bentuk, substansi, dan konteks. Bentuk adalah organisasi substansi bagi peristiwa yang padat arti, yaitu leksikal dan gramatikal. Substansi adalah materi fonik dan grafik; dan konteks adalah hubungan antara bentuk dan situasi, yakni semantik. Ketiganya merupakan representasi dan konsep dasar ekspresi dan situasi. Konsep tersebut dapat dilihat pada model/diagram (3) berikut. Folk Names
Technical Terms
Meanings
(Discouse) Semantics
Wordings (words & structure)
Lexico- grammar
Sounds letters
Phonology Graphology
CONTENT
EXPRESSION
Diagram 3: Ekspresi dan relasi ( Diadopsi dari Eggins,1994::21)
4) Sistem Sistem merupakan padanan kata sistemik. Bahasa tersusun atas sistemsistem dan istilah-istilah yang satu dengan yang lainnya memberikan nilainilai yang didapat hanya dari saling ketergantungan di antara mereka. Sistem adalah seperangkat unit secara paradigmatik, yang satu dengan yang
38
lainnya bisa saling menempati dalam suatu struktur (Firth dalam Halliday, 1975:55) Selain mengandung empat gagasan, yaitu, unit, sistem, struktur dan kelas, teori LSF
juga memiliki tiga pilar utama. Ketiga pilar utama
dimaksud adalah sebagai berikut. (1) Bahasa merupakan satu sistem yang terdiri atas unsur-unsur ekspresi, bentuk, dan makna. Ketiganya menyatu dalam teks. Subbagian seperti fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, struktur, dan kelas berada di bawah ketiga level tersebut. (2) Bahasa sebagai fenomena sosial, yaitu perpaduan sistem bahasa dengan sistem sosial. Kedua sistem tersebut saling merujuk dan menentukan di dalam penggunaannya sehingga kedua sistem itulah yang menentukan terjadinya pilihan bentuk, makna, serta ekspresi di dalam konteks sosial. (3) Bahasa sebagai sumber daya yang fungsional. Artinya, bahasa memiliki metafungsi yang terdiri atas fungsi mempertukarkan atau interpersonal, fungsi memaparkan atau ideasional, dan fungsi merangkai atau tekstual . Ketiga metafungsi tersebut membentuk satu sistem yang fungsional. Analisis LSF pada strata leksikogramatika terjadi dari tiga metafungsi, yaitu makna ideasional, makna interpersonal, dan makna tekstual. Analisis ini menggunakan klausa sebagai representasi, pertukaran, dan pesan. Ketiga
39
metafungsi makna terealisasi dalam struktur klausa modus, transtivitas, dan tema-rema. Berdasarkan leksikogramatika dan logiko-sematik dapat dikaji pula register, genre dan struktur teks, dan ideologi yang tercermin di dalam teks. Selanjutnya, model analisis tiga metafungsi tergambar dalam diagram (4) berikut.
genre
genre// medan
sarana
register/
realisasi
Idiasional tekstual
bahasa pelibat interpersonal
Diagram 4: Metafungsi dalam Hubungannya dengan Register dan Genre ( Diadaptasi dari Martin,1997:8) Halliday (1996) memberikan alasan bahwa fokus ekslusif
LSF
pada
variabel register dibangun untuk secara bersama-sama memenuhi tiga tipe makna: medan (field) yang direalisasi melalui makna eksperiensial ( misalnya, pola transitivitas melalui pemilihan partisipan, proses, dan hubungan logis); pelibat (tenor) diekspresikan melalui makna interpersonal (misalnya: pola modus (mood), modalitas (modality) melalui pemilihan finit, adjung,
dan
adjektiva); dan sarana (mode) direalisasikan melalui makna tekstual (misalnya:
40
pola kohesi melalui pemilihan rangkaian tema dan referensi (Butler, 1985; Eggins, 2004; Halliday & Matthiesen, 2004; Martin & Rose, 2003). Berdasarkan uraian di atas, secara lebih kasat mata diagram (5) berikut memperlihatkan hubungan metafungsi makna, sumber linguistik, dan fungsi yang menjadi kajian disertasi ini. Tabel yang dimaksud memperlihatkan kajian teks KKWK secara menyeluruh dalam bentuk ringkas. Tabel 1: Tiga Metafungsi Makna (diadaptasi dari Thompson ,1996 dan Schleppegrell, 2004) Tipe metafungsi Medan (eksperiensial) /ideasional
Sumber linguistik
Tenor/pelibat (interpersonal)
Modus: -sistem modus dalam klausa (deklaratif, interrogatif, imperatif) -struktur modus Unsur kekohesifan (referen, repetisi, dan elipsis)
Mode/sarana (tekstual)
Kelompok nomina (Partisipan)
Fungsi
Kelompok adverbia, Siapa melakukan verba frasa apa untuk siapa? (Proses: preposisional, MMVERB) (Sirkumstan) Modalitas Penilaian Bagaimana (tipe modal & (ekspresi hubungan adjung utk dampak, putusan antar pelibat mengekspresi dan apresiasi) (pembicara & kan tingkat (Martin & Rose, pendengar & obligasi , 2003) pokok ketentuan/ persoalan? keharusan Rangkaian Gabungan Bagaimana tema: klausa: teks disusun tipe tema, hubungan untuk tipe tema tunggal interpendensi tertentu dan tema dan dalam jamak, tema hubungan interaksi, bermarkah logis mis: dialog, dan tidak semantik diskusi, dan bermarkah lain-lain
Catatan: MMVERB menunjuk pada Material, Mental, Verbal, Ekstensial, Relasional dan Behavioural
41
Apabila tabel (1) diperhatikan secara cermat maka pola/struktur transitivitas berada di bawah sumber linguistik (linguistic resources) yang meliputi tiga bagian, yaitu
kelompok nomina, kelompok verba dan
kelompok preposisi dan adverbia; struktur transtivitas merealisasikan makna eksperiensial yang selanjutnya merealisasikan medan teks. Struktur modus meliputi modus, modalitas dan penilaian (appraisal) yang merealisasikan makna interpersonal yang selanjutnya menunjukkan pelibat dalam teks. Struktur tema meliputi tema, elemen kohesif , dan gabungan klausa. Struktur ini merealisasikan makna tekstual yang selanjutnya menunjukkan sarana (mode) teks.
2.3.1 Leksikogramatika Pada level leksikogramatika ada tiga bagian penting yang merealisasikan metafungsi makna, yaitu, transitivitas, modus (mood) dan tema. Berikut adalah paparan ketiga bagian dari leksikogramatika tersebut. 2.3.1.1 Transitivitas Sistem seperti yang telah disampaikan sebelumnya merupakan seperangkat unit secara paradigmatik, yang satu dengan yang lainnya bisa saling menempati dalam suatu struktur, maka sistem transtivitas mencakup unsur-unsur yang saling berhubungan, yaitu partisipan, proses, dan sirkumstan.
42
Kesan pengalaman nyata kita terlihat/terungkap dalam proses (Halliday, 2004:170) misalnya dalam hal – terjadi (happening), melakukan (doing), merasakan (sensing), mengartikan (meaning), dan menjadi (being, becoming). Proses ini merupakan sistem transitivitas bahasa yang memiliki metafungsi eksperiensial, dan kemudian meneliti cara bahasa menafsirkan pengalaman manusia akan dunia di sekitarnya. Fokus analisis adalah
klausa sebagai representasi (tentang
pengalaman akan dunia). Transitivitas merupakan sumber untuk menguraikan pengalaman dan
dilakukan dalam bentuk proses. Bagian
yang tercakup dalam proses ini adalah proses itu sendiri, partisipan /peristiwa, dan .sirkumstan (Eggins, 1994:229; Halliday, 2004). Proses
direalisasikan
oleh
kelompok
verba;
partisipan/peristiwa
direalisasikan oleh kelompok nomina, dan sirkumstan
oleh kelompok
keterangan dan frasa preposisional. Ada enam proses, yaitu proses material, mental, verbal, eksistensi (wujud), relasional, dan perilaku (Eggins, 1994; Halliday,2004). Secara lebih jelas keenam proses tersebut dan partisipan yang mengikutinya dapat dilihat pada tabel (2) berikut.
43
Tabel 2: Proses dan Partisipan Proses
Partisipan
Material
Aktor (pelaku), tujuan/sasaran, lingkup, atributif , klien, penerima
Mental
Pencerap (Senser), fenomena
Verbal
Pembicara, pendengar, pembicaraan (verbiage)
Eksistensi
wujud ( excistent)
Relasional Perilaku
isi
Pembawa/atribut(Carrier/attribute), Token. Nilai (Value) Pemerilaku, perilaku (Behaver, behavior)
Sebelum pembahasan tentang proses, terlebih dahulu akan dibahas sirkumstan yang mengikuti proses dalam sstem transitivitas.
(1) Sirkumstan Unsur sirkumstan
merupakan salah satu elemen dalam sistem
transtivitas . Unsur sirkumstan menambah informasi tentang waktu (kapan), tempat (di mana), cara (bagaimana), dan alasan, sebab (mengapa, untuk apa, siapa). Unsur sirkumstan dapat digali dengan menggunakan pertanyaan di mana, mengapa, bagaimana, dan kapan. Unsur inti sirkumstan (Halliday, 2004:262) adalah sebagai berikut. (a) Lokasi (Location) : Di mana? (Where?)
(1) That child plays badminton in the park. ‘Anak itu bermain badminton di taman.’ (b) Alasan, sebab (Reason/cause ): Mengapa? (Why?)
(2) That child plays badminton for fun. ‘Anak itu bermain badminton untuk bersenang-senang.’
44
(c) Cara/Keterangan (Manner): bagaimana? ( How?) (3) That oldman crossed the road carelessly. ‘Orang tua itu menyeberang jalan dengan hati-hati.’ (d) Waktu (Time): Kapan? (When? (4) That oldman crossed that road yesterday. ‘Orang tua itu menyeberangi jalan itu kemarin.’ Contoh keempat klausa di atas memperlihatkan unsur sirkumtan (lokasi, alasan, cara, dan waktu). Sirkumstan tersebut menambah informasi tentang lokasi, alasan, cara, dan waktu.
(2) Proses dalam Transitivitas Ada enam proses dalam transtivitas, yaitu proses material, verbal, relasional, mental, eksistensial, dan perilaku ( Eggins, 1994:229; Halliday, 1994: 107-139; Halliday & Matthiessen, 2004:171-206). Ada tiga proses utama, yaitu material, mental, dan relasional (Halliday, 1994: 107; Halliday & Matthiessen, 2004:171). Tiga proses lainnya, yaitu perilaku, verbal, dan eksistensial. Proses perilaku dapat juga memiliki karakteristik proses material dan proses mental; proses verbal dapat juga memiliki karakteristik proses mental dan proses relasional; dan proses eksistensial dapat memiliki karakteristik proses relasional dan material. (a) Proses material Proses material adalah proses melakukan atau terjadi, dan Aktor adalah partisipan kunci. Partisipan dalam proses material adalah aktor , sasaran(goal), limgkup (scope), atributif, klien dan penerima (recipient).
45
Proses material dapat dites dengan mencari informasi tentang ‘apa yang aktor lakukan atau apa yang terjadi (Eggins, 1994;227). Contoh: (Diadaptasi dari Halliday dam Matthiessen, 2004:187-195) (5) They played ping pong yesterday Pt: Pr: Pt: Circ: Actor Material Scope Time mereka main ping pong kemarin ‘Mereka bermain ping pong kemarin.’ (6) Diana swallowed the ping pong ball by mistake :Pr: Pr: Pt: Circ: Actor material Goal manner Dina terima ping pong bola dengan salah ‘Diana menerima bola ping pong secara salah.’ (7) They gave Tom a house Pt: Pr: Pt: Pt: Actor Material Recipient Goal mereka beri Tom sebuah rumah ‘Mereka memberi Tom sebuah rumah.’ (8) The doctor made Alvin a tablet Pt: Pr: Pt: Pt: Actor Material Client Goal dokter buat Alvin sebua tablet ‘Dokter membuatkan Alvin sebuah tablet.’ Keempat klausa (5-8) di atas memperlihatkan pemakaian proses material (bermain, menerima, memberikan, dan membuatkan). Karena proses material mencakup verba dinamik, progressif dimungkinkan. Misalnya: Mereka sedang bermain ping pong kemarin (-- "They
were
playing ping pong yesterday"). (b) Proses Mental Partisipan dalam proses mental adalah pencerap (senser) dan fenomena. Pencerap (senser) adalah seseorang yang merasakan secara
46
emosional,
memikirkan,
dan
perceive
(merasa
bahwa
seseorang
memperhatikan). Fenomena adalah sesuatu yang dirasakan secara emosional, dipikirkan, atau perceived (terasa sedang diperhatikan). Proses mental berkenaan dengan kasih sayang (affection), kognisi (cognition), persepsi (perception), atau desideration ( Eggins, 1994; Halliday, 2004): (9) I hate injections Pt: Pr: Pt: Senser Mental Phenomenon saya benci suntikan ‘Saya membenci suntikan.’
[Affection]
(10) That show amazed me Pt: Pr: Pt: Phenomenon Mental Senser [Cognition] itu pertunjukan agum saya ‘Pertunjukan itu mengagumkan saya.’ (11) I saw that accident Pt: Pr: Pt: Senser Mental Phenomenon saya melihat itu kecelakaan ‘Saya melihat kecelakaan itu.’
[Perception]
Pencerap ( Senser) tidak selalu berada di depan. Contoh pada klausa (10) “That show amazed me”, fenomena that show berada di depan. (c) Proses Verbal (Verbal process) Partisipan dalam proses verbal (Eggins,1994:251; Halliday, 2004:253256) adalah sebagai berikut. (i) Pembicara (Sayer -- the addresser
47
(ii) Penerima/pendengar (Receiver -- the addressee, or the entity
targetted by the saying) (iii) Isi pembicaraan (Verbiage -- the content of what is said or indicated
Proses verbal meliputi semua modes of expressing dan indicating walaupun mereka tidak membutuhkan verba, misalnya memperlihatkan. Isi pembicaraan dapat direalisasikan sebagai sebuah klausa yang diproyeksikan secara penuh oleh partisipan atau sirkumstan (matter). Sebagai contoh, perhatikan kalimat berikut.(didaptasi dari Halliday dan Matthiessen, 2004:252-256). (12) His farther
tells
that child
a nice story
Pt: Pr: Pt Sayer Verbal receiver Verbiage ayahnya ceritera anak itu suatu ceritera menarik ‘Ayahnya menceriterakan anak itu suatu ceritera menarik.’ (13) The doctor expressed some concern Pt: Pr: Pt: Sayer Verbal Verbiage dokter itu nyatakan beberapa keprihatinan ‘Dokter itu menyatakan keprihatinan.’ (14) Tom explained about that accident Pt: Pr: Circ: Sayer Verbal Matter Tom jelaskan tentang itu kecelakaan Tom menjelaskan tentang kecelakaan itu. (15)
She Pt: Sayer dia ‘Dia
said that the book has been read. Pr: Pt Verbal katakan bahwa buku itu telah baca mengatakan bahwa buku itu telah dibaca.’
48
(d) Proses Eksistensi/Ujud Proses eksistensi meliputi struktur ekstensial yang didahului oleh frasa dalam bahasa Inggris, misalnya, there was/is something (Eggins,1994:254). Frasa ini berada pada posisi subjek. Tipe verba yang digunakan adalah verba be. Dengan demikian, akan mudah diingat bahwa apabila setiap saat terdapat konstruksi ujud maka hal itu adalah proses ekstensi.
Proses
eksistensi hanya memiliki satu partisipan yaitu eksisten. Eksisten itu sederhana karena menerangkan keberadaan. (16) Once upon a time there was a wise grammarian Sir: Pr:Ekst/ujud Pt:Ekst/perujudan pada suatu saat ada seorang ahli tata bahasa yang bijaksana ‘Pada suatu saat ada seorong ahli tatabahasa yang bijaksana.’
(e) Proses Relasional Proses relasional wajib menghendaki dua partisipan. Dalam sebuah klausa finit tentu tidak memiliki prosess relasional yang hanya memiliki satu partisipan. Proses relasional berkaitan dengan pemilikan (possessing) atau menjadi (becoming). Proses relasional itu bisa pengenalan ataupun atributif (Eggins, 1994:255). Proses pengenalan membolehkan partisipan dipertukarkan bersama-sama dengan perubahan yang berkaitan dalam fungsi gramatikal. Partisipan dapat dipertukarkan dalam dua cara, yaitu dengan hanya menukar posisi atau pemasifan.(Halliday, 2004: 216). Perhatikan contoh berikut yang diadaptasi dari Halliday dam Matthiessen, 2004: 210-216).
49
(17 a) Diana is a wise guest. Carrier Pr;intensive attributive Diana adalah seorang tamu bijak ‘Diana itu tamu bijak’. (17b) The wise guest is Diana Attributive Pr:intensive carrier bijak tamu adalah Diana ‘Tamu bijak itu adalah Diana.’ Pertukaran fungsi gramatikal dari partisipan pada kalimat 17a, Diana, adalah subjek, tetapi pada kalimat 17b menjadi komplemen. Sama halnya dengan the wise guest adalah komplemen pada kalimat 17a, tetapi menjadi subjek pada kalimat 17b. (18a) The exam takes up the whole day. S C ‘Ujian itu memerlukan sehari penuh.’ (18b) The whole day is taken up by the exam. S C ‘Sehari penuh diperlukan untuk ujian itu.’ Pertukaran fungsi gramatikal pada kalimat 18a, the exam adalah subjek, tetapi pada kalimat 18b adalah komplemen preposisional. Sama halnya pada kalimat 18b the whole day adalah subjek, tetapi pada kalimat 18a adalah komplemen. Proses atributif pada umumnya tidak menghendaki partisipan dipertukarkan .Proses atributif juga tidak mengenal pemasifan (Eggins, 1994: 257) (19a) He is blessed. S K ‘Dia keberkatan.’
50
(19b) Blessed is he. C S ‘Keberkatan dia.’
Pada kalimat 19 tidak ada pertukaran fungsi gramatikal. He pada ke duanya tetap menjadi subjek dan blessed tetap menjadi komplemen. Jika proses adalah pengidentifikasian maka partisipan adalah Token dan Value. Jika proses pengidentifikasian itu dapat mengoperasikan pemasifan maka dalam bentuk aktif subjek selalu Token (value tentunya adalah komplemen). Jika proses tidak dapat mengoperasikan pemasifan maka dibutuhkan tes penunjukan untuk menentukan label yang mana akan digunakan. Untuk itu pertama-tama dilakukan penempatan kembali verba yang dapat mewakili dalam membentuk konstruksi alternatif yang dapat diterima. Dengan demikian, akan diperoleh Token yang mewakili Value. (20) Today is Christmas Day Pt: Pr: Pt: Token Rel-Ident Nilai ‘Hari ini Hari Natal atau Hari ini adalah Hari Natal.’ (21) The World champion is Tomy Pt: Pr: Pt: Nilai Rel-Ident Token ‘ Juara dunia adalah Tomi.’ Tomy pada klausa (21) diidentifikasi oleh statusnya sebagai world champion. Tomy juga mewakili world champion, tetapi world Champion tidak mewakili Tomy.
51
Jika prosess itu atributif maka partisipan itu pembawa (Carrier) dan atribut (Attribute). Klausa yang memiliki proses atributif tidak dapat dipasifkan. Hal ini berarti bahwa subjek gramatika itu selalu adalah pembawa. (22) Tomy was great during World Competition Day Pt: Pr: Pt: Circ: Pembawa Rel-Atributif Waktu Tomy terkenal selama dunia kompetisi hari ‘Tomy terkenal selama pertandingan dunia.’ (23) Sally has a beautiful car Pt: Pr: Pt: Pembawa Rel-Attr Atributif Sally punya sebuah cantik mobil ‘Sally memiliki sebuah mobil bagus/cantik.’
(f) Proses Perilaku Partisipan utama itu adalah pemerilaku (behaver), tetapi kadangkadang melibatkan suatu perilaku, a Behaviour (Eggins, 1994:250) Proses perilaku (behavioural) adalah tipe intransitif, melibatkan hanya pemerilaku (behaver) sebagai partisipan. Jika ada dua partisipan maka partisipan kedua itu adalah perilaku (behavior). Proses perilaku itu adalah suatu prosess hibrid yaitu proses material dan proses mental. Karena proses perilaku itu bagian dari mental, proses ini melibatkan verba yang jelas merupakan kejiwaan. Demikian pula, proses ini bagian dari proses material, proses perilaku menghendaki bentuk progresif (Eggins, 1994:251).
52
(24) That girl nodded at her lecturer. Pt: Pr: Pt: Behaver Behavioural Behaviour gadis itu angguk pada dosennya ‘Gadis itu mengangguk pada dosennya.’ Pada contoh klausa (24) di atas verba nodded ‘mengangguk’ merupakan proses perilaku. Proses perilaku dalam klausa tersebut disebut behavioural.
2.3.1.2 Modus Modus merealisasi metafungsi makna interpersonal. Penggunaan klausa dalam sistem modus berfungi sebagai mempertukarkan pengalaman antarpelibat. Secara umum, pemahaman tentang modus merujuk pada bentuk verba yang menyatakan suatu fakta atau tindakan ( indikatif = deklaratif, interrogatif), imperatif, atau subjungtif (doubt). Namun, dalam konsep Halliday subjungtif tidak dibahas. Modus dalam kerangka Halliday (2004) secara teknis menunjuk pada Blok modus (Mood Block) yang terdiri atas komponen-komponen seperti Subjek (S), unsur Finit (F) dan adjung modal. Agar tidak membingungkan pemahaman, sebutan atas pemikiran yang secara umum telah dikenal sebelumnya, di sini digunakan istilah klausa modus (deklaratif, interogatif, dan sebagainya), yang dibedakan dari modus menurut Halliday. Apabila dicermati maka S,F dan adjung modal berada di bawah blok modus. Elemen-elemen lainnya berada di bawah Residu. Konjungsi dan adjung konjungtif serta vokatif dan ekspletif tidak termasuk dalam analisis modus (Halliday dan Christian, 2004: 125-133).
53
Struktur dalam klausa yang telah dikenal sebelumnya berupa sebuah singkatan SVOKA yang berasal dari Subyek, Verba, Objek, komplemen dan Adverbia (keterangan). Dalam konsep Halliday istilah tersebut mengalami penyesuaian. Penyesuaiannya dapat dilihat pada tabel (3) berikut. Tabel 3: Penyesuaian Istilah Menurut Konsep Halliday SVOKA Subjek Verba Objek Komplemen Adverbia
Haliday tidak ada perubahan berubah menjadi F (Finit), P (Predikat) Berubah menjadi komplemen Tetap sebagai komplemen Berubah menjadi AR (Adjung residu) atau AM ( Adjung modal )
Perbedaan antara komplemen dan
adjunct menurut Halliday &
Matthiessen (2004: 122-124) adalah: "A complement is an element within the Residue that has the potential of being Subject but is not ... It is typically realized by a nominal group." "An Adjunct is an element that has not got the potential of being Subject ... An Adjunct is typically realized by an adverbial group or a prepositional phrase (rather than by a nominal group)."
Pada kutipan di atas secara jelas terlihat bahwa jika menganalisis klausa dengan menggunakan LSF menurut Halliday, khusus untuk PKA (Predikat, Komplemen dan Adjung), maka mood block untuk S (Subjek), dan F (Finit) ada di bawah MODUS sedangkan P (Predikat) dan K (Komplemen) berada di bawah RESIDU, seperti pada (25).:
54
(25) He can’t Subjek Finit dia tidak bisa Mood
hear Predikat mendengar Residue
on the telephone Adjung telepone
‘Dia tidak bisa mendengar telepon.’
Terdapat dua tipe adjung, yaitu adjung modal (AM) dan adjung residu (AR). AR melengkapi informasi sirkumstansial yang dalam hal ini meliputi informasi tentang waktu, tempat, sikap/cara, dan sebagainya, termasuk agen dalam klausa pasif, misalnya him dalam the cake was eaten by him. Semua AR membentuk bagian dari residue. Adjung modal (AM), pada bagian yang lain, membentuk bagian blok modus. AM
melengkapi informasi
tambahan pada kemungkinan dan kebiasaan, dan sebagainya. (mood adjunct), atau pendapat pembicara, komentar, dan sebagainya. Jadi, AM meliputi baik modus maupun adjung komen. Singkatnya, S, F, AM dibawah Modus, dan P, K, AR di bawah Residu. Lebih jelasnya, yang mana merupakan bagian adjung modus dan adjung komen (Halliday dan Matthiessen, 2004: 126-131)) dapat dilihat pada tabel (4) berikut.
55
Tabel 4: Adjung Modus dan Adjung Komen (Diadaptasi dari Halliday dan Matthiessen, 2004:126-131) Tipe Adjung Modus : Kemungkinan Kebiasaan Obligasi/kewajiban Kepastian Intensitas Polaritas
Contoh mungkin, barangkali, boleh jadi. selalu, pernah, jarang, pada umumnya, biasanya dengan pasti, benar, secara jelas, tentu, secara benar. jelas. hanya, sederhana, bahkan, melulu, sesungguhnya,, kenyataannya, hampir mendekati,jarang tidak, bukan
Adjung Komen: Pengakuan sebetulnya, secara jujur, menyatakan kebenaran Pengharapan sungguh sial sangat menyenangkant ,untungnya/beruntung, disayangkan berharap Permohonan yg mendesak silahkan, dengan baik hati, dengan senang hati Penilaian/ Evaluasi dapat dimengerti, secara keliru, dengan penuh kecurigaan, cukup, secara sembarangan,secara tidak arif Opini dalam pikiran saya, dari sudut pandangan saya, secara pribadi,menurut pikiran saya Persuasif. meyakinkan Secara jujur, secara sungguh-sungguh, secara serius, Prediksi atas dugaan saya, anehnya, seperti yang diharapkan, dengan mengagumkan, kebetulan Anggapan dengan jelas, rupanya, nampaknya, .
Berikut adalah modus dan adjung komen (diadaptasi dari Halliday dan Matthiessen, 2004:126-131; Eggins, 1994): (i) Adjung Modus (26a) Maybe the ball fell on Tom's head. (probability) ‘Barangkali bola itu jatuh di atas kepala Tom.’
56
(26b) Drake seldom thinks straight these days. (usuality) ‘Drake jarang berpikir sungguh-sungguh (serius) akhir-akhir ini.’ (26c) Paul could hardly walk after the incident. (degree) Paul sangat sulit berjalan setelah kecelakaan itu. (ii) Adjung Komen (27a) Frankly, you were surprised at the outcome. (opinion) (27b) Fortunately, the doctor has left an adress. (desiderable) (27c) John has, supposedly, designed a new model of his car. (presumption) Contoh klausa (26a,b,c) memperlihatkan penggunaan mood ajung, sedangkan contoh (27 a,b,c) memperlihatkan penggunaan comment ajung.
(1) Subjek dan Finit Subjek (S) dan Finit (F) adalah komponen penting dalam blok modus. Finit, menurut Halliday & Matthiessen (2004: 115) memaparkan “suatu cara yang baik untuk membuat sesuatu dapat didebat dengan memberikannya suatu batas referensi; dan inilah yang Finit lakukan”. Elemen S memungkinkan preposisi dinyatakan atau ditiadakan. Subyek itu elemen yang memungkinkan fungsi klausa sebagai peristiwa interaktif. Beberapa contoh susunan S dan F yang merealisasi klausa modus (Halliday, 2004:137-139) berbeda dalam bahasa Inggris: (i) Deklaratif -- S^F (28) The tutorials made him hypertensive. ‘Tutorial itu membuat dia hipertensi.’ (ii) Pertanyaan informatif (ya/tidak/kata-kata tanya = S) -- S^F (29) What made him hypertensive? ‘Apa yang membuat dia hipertensi?’
57
(iii) Pertanyaan informatif lainnya -- F^S (30) When did he become hypertensive? Sejak kapan dia menjadi hipertensi? (iv) Pertanyaan ya/tidak -- F^S (31) Did the tutorials make him hypertensive? ‘Adakah tutorial itu membuat dia hipertensi?’ (v) Perintah (Imperative (ekslusif) – tidak ada (32) Complete the tutorial worksheet! ‘Lengkapilah lembaran kerja tutorial ini!’ (vi) Perintah (Imperative (inklusif) -- S (33) Let's complete the tutorial worksheet. ‘Mari kita melengkapi lembaran kerja tutorial ini!’ Klausa (28 -33) memperlihatkan susunan Subjek dan Finit/predikat dalam klausa modus deklaratif, pertanyaan, dan perintah. Posisi subjek dapat di depan atau di belakang finit/predikat tergantung pada klausa modus yang digunakan. (2) Penyatuan dan Pemisahan F dan P Dalam klausa finit , jika grup verba terdiri atas hanya satu verba maka F setara atau sama dengan P. Jadi, label verbanya adalah F/P. (34) The ball fell (F/P) on Tom's head, didn't it? ‘Bola itu jatuh (F/P) di atas kepala Tom, bukan?’ Suatu cara yang paling mudah untuk menentukan elemen F adalah menyisipkan Tag modus yang diambil dari elemen F dan S pada klausa utama. Pada klausa (34) tag modus adalah didn’t it. Cara yang paling mudah untuk menentukan unsur Finit adalah menyisipkan tag modus yang diambil dari unsur subjek dan finit pada klausa utama. Tag modus, didn't it –
58
memunculkan teka-teki karena klausa utama tidak memiliki verba did. Sehubungan dengan itu, Eggins (1994: 158) menjelaskan: "Where does the ‘did’ in the tag come from? What happens is that with verbs in the simple present or simple past declarative, the Finite element gets fused with another element, known as Predicator. In earlier forms of English, and still in emphatic forms of contemporary English, the did used to be present in the main part of the clause as well as in the tag [...] I did learn the English language from the guy, didn't I? [...] In unemphatic modern English, the did Finite has become fused in with the content part of the verb. But technically it is still there in the clause, as we see when we add the tag." Berdasarkan penjelasan kutipan di atas secara jelas dapat dikatakan bahwa unsur F melebur dengan unsur yang lain. Jadi, F (did) melebur dalam verba yang ada dalam klausa utama. Jika kelompok verba dalam klausa finit terdiri atas lebih dari satu verba maka F selalu verba awal/pertama yang mendapat label F. Segala sesuatu dalam kelompok verba adalah P. (35) Tom won't (F, AM) be eating (P) durians for a while. ‘Tom tidak akan (F, AM) makan (P) durian untuk sementara.’ Untuk verba yang terdiri atas lebih dari satu kata, seperti frasa atau verba preposisi, tendensi pengikut sistemik yakin bahwa kelompok verba melebur dalam unsure predikat finit yang diikuti adjung, seperti dalam bahasa Inggris switch (F/P) on (A). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa verba yang terdiri atas lebih dari satu kata itu merupakan perluasan dari verba sehingga merupakan bagian dari predikat.
59
(36) The boy switched (F/P-) on (-P) the radio. ‘Anak laki-laki itu menghidupkan radio.’ (3) Modalitas dalam Verba Finit Verba Finit adalah verba yang ditandai oleh kala (tense) dan/ atau modalitas. Modalitas merujuk pada tingkat keadaan yang tidak dapat dipastikan . Modalitas tidak hanya merujuk pada verba modal, misalnya can/could, may/migh", shall/should, will/would, mus", atau marginal modals, misalnya used to, had to, tetapi juga merujuk pada ide modalitas yang diperluas pada setiap verba dan tidak hanya verba modal. Untuk itu, dalam kaitan dengan verba modalitas, manifestasinya dilakukan dalam dua cara, yaitu modalisasi dan modulasi. Modalisasi mengandung makna kemungkinan, termasuk ketentuan atau kebiasaan. Kedua contoh di bawah ini memperlihatkan penggunaan makna kemungkinan dan kebiasaan. (37) He may have put on my briefs by mistake. (probability) ‘Dia mungkin telah meletakkan laporan saya secara salah.’ (kemungkinan) (38) He sings in the shower every Friday evening. (usuality) ‘Dia menyanyi di kamar mandi setiap hari Jumat malam.’ (kebiasaan) Modulasi mengandung makna keharusan, termasuk permohonan atau kecenderungan (Halliday, 2004:147). Ketiga contoh di bawah ini memperihatkan penggunaan modulasi yang mengandung makna seperti yang disebutkan.
60
(39) You ought to keep awake during the grammar lecture. (obligation) ‘Kamu harus tetap terjaga selama kuliah grammar.’ (40) He can sleep all he wants! (obligation) ‘Dia dapat tidur kapan dia mau.’ (41) He desperately tried to stay awake. (inclination) ‘Dia dengan putus asa mencoba tetap terjaga.’ Apabila menganalisis verba perlu dipertimbangkan bagaimana penggunaan modalitas. Modalitas yang dimaksudkan dalam hal ini adalah modalisasi yang mengandung makna kemungkinan dan kebiasaan, serta modulasi yang mengandung makna keharusan dan kecenderungan. (4) Penderita S Dalam bahasa Inggris terdapat konstruksi seperti it yang lebih dahulu digunakan. Dalam konstruksi tersebut isi yang mendahului subjek ditempatkan pada posisi akhir. (42) It is a shame to see a bruise on Newton's head. (= To see a bruise on Newton's head is a shame.) ‘Memalukan melihat memar di kepala Newton.’ (= melihat memar di kepala Newton memalukan) Untuk mengakhiri sistem modus atau lebih dikenal blok modus, di bawah ini dapat dikemukakan contoh Blok Modus yang berisikan MODUS dan RESIDU (Eggins, 1994; Halliday dan Christian, 2004), (43). You S Kamu MODUS ‘Kamu datang ke mari.’
come P datang RESIDU
here AR mari
61
(44) Let’s S mari kita MODUS
go P pulang RESIDU
‘Mari kita pulang ke rumah.’ (45). Do not Go F AM P MODUS RESIDU Jangan pulang
home AR rumah
home AR rumah
‘Jangan pulang ke rumah.’
2.3.1.3
Tema
Tema, menurut Halliday (1985a:39) merupakan unsur sebagai pesan awal dalam suatu klausa. Dengan kata lain, tema merupakan unsur awal klausa yang muncul pada awal klausa. Tema menyediakan konteks lokal bagi pengembangan pesan dalam klausa, yang juga merupakan butir awal, bahwa tema itu butir yang melebihi pesan dalam klausa dengan baik. Tema dalam bahasa Inggris selalu berada di awal klausa dan diikuti oleh rema. Tema memiliki tiga tipe yang berbeda (Halliday,2004:79), seperti tampak pada tabel (5) berikut.
62
Tabel 5: Tiga Tipe Tema Tema Tekstual
Tema Interpersonal
Tema Topikal
Kontinuitas Konjungsi Konjungtif ajung Wh-relative (½ tekstual, ½ topik) Vokatif Adjung modal Unsur finit Wh-question (½ int. ½ topik) Partisipan Sirkumstan Proses
Tema dalam klausa merupakan unsur yang muncul pertama, dan sesudah itu baru diikuti rema yang merupakan bagian dari klausa. Dengan demikian porsi tematik itu adalah segala sesuatu yang ada pada awal klausa, termasuk tema topikal . Pada tabel (5) di atas terlihat bahwa kontinuitas (continuatives), konjungsi (conjunctions), adjung konjungtif dan Whrelative merupakan tema tekstual. Perhatikan contoh-contohnya di bawah ini. (a) kontinuitas, misalnya, umm, yeah, .., (b) konjungsi, misalnya, dan, atau, tetapi (c) adjung konjungtif, mis.,biarpun, betapun, sebab, walaupun, ... (d) Wh-relative, misalnya, yang mana (which), siapa ( who, ...) ‘Wh-relatives’ dapat berupa baik sebagai tema tekstual maupun sebagai tema topikal .Jika sebuah klausa didahului oleh wh-relative baik dalam
63
tema tekstual maupun dalam tema topikal, maka segala sesuatu sesudah whrelative adalah rema. (46) Alvin, « who cried loudly, » lost his job. Txt/Top Rheme Alvin yang berteriak dengan keras kehilangan jabatannya ‘Alvin, yang berteriak keras kehilangan jabatannya.’ Tema interpersonal meliputi Vocatif, Adjung modal , unsu finit, dan kata-kata tanya . Contoh dari setiap bagian ini adalah seperti: (a) Vocatif (mis., Henry!, Tuan!, ...) (b) Adjung modal, termasuk modus dan adjung komen (misalnya., mungkin, biasanya, sebetulnya, ...) (c) Operator finit (misalnya., kata kerja bantu modal,kata kerja bantu be,) (d) Kata-kata tanya (misalnya, siapa, apa, dimana, bagaimana, mengapa) (47) Why did Alvin cry loudly? Int/Top Rheme mengapa Alvin berteriak dengan keras ‘Mengapa Alvin berteriak keras?’
Tema topik itu, semua harus dalam klausa utama, termasuk imperatf/perintah. Dalam tema topikal dikenal partisipan yang biasa disebut kelompok nomina,
siskumstan disebut PP atau AdvG. Kelompok
keterangan, dan proses disebut kelompok verba. Ketiganya merupakan bagian dalam tema topikal . Contoh klausa yang memiliki tiga tipe tema tampak pada (48).
64
(48) Well, Superman, why do you keep your briefs on the outside? Txt Int Int/Top Rheme ‘Baiklah Superman mengapa engkau menyimpan laporanmu di luar?’ Seperti yang telah dinyatakan sebelumnya bahwa tema topikal harus dalam klausa utama, maka tema yang lain, yaitu tema tekstual dan tema interpersonal, adalah pilihan (opsional). Karena keharusan adanya tema topical, perlu dicermati segala sesuatu yang ada pada awal klausa. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan atau dimasukkan unsur ellipsis.
(49) Michael hit Tom, ‘Michael memukul Tom
and was sorry about it. dan menyesalinya.’
Ada dua klausa dalam contoh di atas, yaitu "Michael hit Tom" + "and was sorry about it". Tema topikal pada klausa pertama adalah
"
Michael ". Pada klausa kedua and adalah tema tekstual, sehingga tema topikal bukan verba was. Dalam menganalisis klausa tersebut
perlu
dicermati klausa secara utuh, yaitu klausa sesungguhnya: "and (he) was sorry about it" . Jelaslah bahwa he adalah tema topikal elipsis. Tema topikal elispsis berada di dalam kurung: and
was sorry about it
Txt (Top) Rheme
Contoh lain yang menunjukkan adanya dua klausa, yang dipisahkan oleh dua tanda garis miring (//) tampak pada (50).
65
(50) Alvin took up aerobics // and
became even skinnier!
Top Rheme Txt (Top) Rheme ‘Alvin mengikuti erobik // dan menjadi lebih kurus.’
(1) Tema bermarkah dan tidak bermarkah Pemakaian pemarkahan berimplikasi pada pemunculan beberapa fenomena kurang khusus atau jarang. Apabila dikatakan bahwa tema itu dimarkahi maka hal itu menunjukkan hal yang kurang khusus atau jarang, karena hal itu direalisasi dengan cara yang demikian. Lawan tema yang dimarkahi adalah tema yang tidak dimarkahi. Pembicaraan tentang tema bermarkah dan tidak bermarkah, menunjuk pada hanya tema topikal dan bukan tema tekstual atau tema interpersonal. Penggunaan apakah tema topikal bermarkah atau tidak tergantung pada interogatif, atau
klausa modus, yaitu apakah klausa itu
deklaratif,
imperatif. Hal yang penting adalah bahwa tema tidak
bermarkah berbeda dari klausa modus. Tema tidak bermarkah berbeda dengan klausa modus. Perbedaannya dapat diuraikan sebagai berikut: (a) Deklaratif: Tema tidak bermarkah adalah subjek. Misalnya, dalam kalimat bahasa Inggris, Semua
"The man
picked his daughter's toys."
realisasi yang lainnya dari tema topikal itu bermarkah,
misalnya: " his daughter's toys, he loves to pick" . Dalam kalimat ini
66
his daughter's toys adalah komplemen, dari subjek sebagai tema topikal. (b) Interogatif terdiri atas polar dan kontent interrogatif: (i)
Polar: Tema tidak bermarkah memiliki dua bagian tema yaitu tema interpersonal yang direalisasikan oleh unsur finit, dan tema topikal yang direalisasikan oleh subjek. Sebagai contoh, "Did the man pick his daughter's toys?" Semua realisasi lainnya bermarkah.
(ii)
Isi: Tema tidak bermarkah adalah kata Tanya. Sebagai contoh, "Why did the man pick his daughter's toys?" Semua realisasi lainnya bermarkah.
(c) Perintah (Imperative): inclusif dan ekslusif. (i) Inklusif: Tema tidak bermarkah adalah let's atau let us, yang
sesungguhnya merupakan bentuk yang tidak patuh dari subjek (= we): "Let's pick our books!" Semua realisasi lainnya bermarkah. (ii) Ekslusif: Tema tidak bermarkah itu adalah proses, misalnya: "Pick
your books!" Semua realisasi lainnya bermarkah. Tema topikal yang direalisasikan oleh unsur sirkumstansial selalu bermarkah tanpa pengecualian. Jadi, apabila ada unsur sirkumstansial berfungsi sebagai tema topikal, maka tema itu bermarkah. Tidak semua tema bermarkah sama. Bandingkan kedua klausa di bawah ini.
67
(51a) Orange juice, she loves to drink. ‘Jus jeruk, dia senang minum.’ (51b) In the evenings, she loves to drink orange juice. ‘ Pada sore hari, dia senang mimum jus jeruk.’ Klausa (51a) kurang spesifik dari (51b). Untuk itu klausa (51b) lebih bermarkah dari (51a). Klausa tersebut memiliki tema pemarkahan ganda. Hal tersebut disebabkan oleh perluasan dari pemarkahan. 2.3.2
Hubungan Antarklausa
Hubungan antarkaluasa mencakup dua bagian tipe interpendensi, yaitu parataksis dan hipotaksis, serta hubungan logiko-semantik (Halliday dan Matthiessen, 2004:373). Hubungan antarklausa ini berada pada klausa kompleks. Klausa kompleks ada di bawah logika metafungsi bahasa yang merupakan perluasan dari ideasional metafungsi bahasa. Klausa kompleks merujuk pada hubungan yang ada di antara klausa dalam kalimat. Hubungan ini terdiri atas dua tipe, yaitu taksis dan logiko-semantik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Halliday (1994:216): "We shall assume, therefore, that the notion of 'clause complex' enables us to account in full for the functional organization of sentences. A sentence will be defined, in fact, as a clause complex. The clause complex will be the only grammatical unit which we shall recognize above the clause. Hence there will be no need to bring in the term 'sentence' as a distinct grammatical category. We can use it simply to refer to the orthographic unit that is contained between full stops. This will avoid ambiguity: a sentence is a constituent of writing, while a clause complex is a constituent of grammar."
68
Klausa kompleks dimarkahi berbeda dari klausa pemeringkatan (rangking). Klausa pemeringkatan (ranging) dimarkahi oleh label // …//, sedangkan klausa kompleks dimarkahi oleh penanda |||…|||. Klausa kompleks dibutuhkan dengan alasan bahwa klausa tersebut menghubungkan klausa yang satu dengan yang lain dalam cara yang khusus dan pembagian ke dalam klausa konstituen mungkin mengaburkan hubungan ini, misalnya: (52) He signed the papers after the lawyer had read them and verified the facts. ‘Dia menandatangani dokumen-dokumen itu setelah pengacara membaca dan membuktikan fakta-fakta itu.’ Apabila klausa (52) dicermati, maka ada tiga pemeringkstan klausanya, yaitu ||| He signed the papers // after the lawyer had read them // and verified the facts. ||| ‘Dia menandatangani dokumen itu // setelah pengacara membacanya// dan membuktikan fakta-fakta.’ Pembagian klausa tersebut mengaburkan fakta bahwa klausa kedua dan ketiga, "after the lawyer had read them and verified the facts", memiliki hubungan yang sangat dekat, yaitu keduanya adalah klausa terikat dan subordinasi pada klausa utama. Untuk itu dibutuhkan klausa kompleks. Alasan lain adalah pola distribusi dalam teks penting secara gaya bahasa. Suatu teks yang terdiri atas banyak klausa simplek akan memiliki banyak efek yang berbeda terhadap pembaca yang berhadapan dengan suatu teks yang memiliki banyak klausa kompleks.
69
Selanjutnya, akan secara khusus dicermati kedua tipe hubungan di antara klausa dalam klausa kompleks. Kedua tipe itu adalah sistem taksis dan logiko-semantik.
2.3.2.1 Hubungan Interdependensi Klausa Interdependensi klausa meliputi taksis atau sistem taksis. Sistem taksis menyatakan apakah hubungan klausa itu statusnya setara (equal) atau tidak.(unequal). Parataksis menyatakan hubungan antara dua unsur yang memiliki status yang setara.. Angka Arab yang digunakan mengisyaratkan parataksis. Karena hubungan
klausa
parataksis statusnya setara, maka
klausa dinomori secara sekuen, yaitu ‘1’ untuk klausa pertama dan diikuti oleh ‘2’ untuk klausa kedua dan seterusnya (Halliday dan Matthiessen, 2004: 374-376) . (53). He saw the lecturer and smiled. ‘Dia melihat dosen itu dan tersenyum.’
Klausa (53) memiliki dua klausa. Kedua klausa utama itu memiliki hubungan yang setara yang disebut hubungan parataksis.
Dengan
menggunakan penanda klausa seperti yang telah disebutkan sebelumnya maka klausa tersebut menjadi: ||| 1 He saw the lecturer // 2 and smiled. ||| ||| 1 Dia melihat dosen itu // 2 dan tersenyum || Hipotaksis menunjukkan hubungan dua elemen yang memiliki status yang tidak setara. Huruf Yunani digunakan untuk menandai hipotaksis.
70
Simbol α selalu di balik klausa utama atau klausa dominan. Simbol lainnya, yaitu β, dari depan digunakan untuk klausa terikat pada klausa bebas /utama atau klausa dominan, seperti pada (54). (54) ||| β If you can't convince them, // α ask them. ||| ||| β Jika kamu tidak dapat meyakinkan mereka, // α tanya mereka. ||| Hubungan parataksis dan hipotaksis dapat digabungkan, misalnya pada klausa (55) berikuti. (55) ||| β1 When Rowan came near // β2 and looked // α he was amazed at Alvin's ribcage. ||| ||| β1 Ketika Rowan datang mendekat // β2 dan memperhatikan // α dia tajub akan bingkai sangkar Alvin. ||| Klausa (55) di atas terbagi atas dua bagian. Bagian pertama "When Rowan came near and looked", dan yang kedua, "he was amazed at Alvin's ribcage". Karena bagian pertama subordinat atas yang kedua, maka hubungan ini adalah hubngan hipotaktis. Untuk itu segmen pertama menggunakan simbol β, dan untuk yang kedua digunakan simbol α. Apabila ada dua klausa dalam segmen pertama, maka β diulangi untuk ke dua-duanya. Sementara itu, segmen kedua hanya memiliki satu klausa. Jadi, tidak dibutuhkan untuk melakukan hal yang sama pada α. Untuk itu, segmen pertama ada dua klausa yang berhubungan satu dengan yang lainnya. Karena keduanya adalah klausa bebas, maka keduanya memiliki hubungan. Penanda hubungannya adalah "1" and "2". Kalimat tersebut dapat ditulis
71
dengan simbol sebagai berikut:: β1^β2^α, dengan simbol sisipan (^) yang menunjuk pada rentetannya. 2.3.2.2 Hubungan Logiko-Semantik Logiko-semantik menunjuk pada sifat dasar hubungan di antara klausa. Hubungan ini meliputi hubungan logis dan hubungan semantik. Hubungan logiko- semantik (Halliday dan Christian, 2004:377-406) memiliki dua tipe utama , yaitu ekspansi/perluasan (Expansion) yang terdiri atas ekstensi, enhansemen, dan elaborasi, dan proyeksi yang terdiri atas lokusi dan ide. (1)
Ekspansi (Expansion) Ada tiga jenis ekspansi, yaitu ekstensi, enhansemen, dan elaborasi.
Ketiga jenis ekspansi dapat diuraikan sebagai berikut. (a) Ekstensi (Ekstension) Salah satu jenis perluasan ( ekspansi) adalah ekstensi. Ekstensi memperluas klausa dengan menambah sesuatu yang baru, memberikan pengecualian , atau menawarkan alternatif. Simbol yang digunakan untuk ekstensi adalah "+" . Penanda
ekstensi di bawah ini memperlihatkan
konstruksi parataksis dan hipotaksis (Halliday, 2004:377)
(56a) ||| 1 Those singers sang poorly, // +2 and was booed off the stage. ||| ||| 1 Penyanyi itu menyanyi kurang bagus, // +2 dan diolok di atas panggung. |||
72
(56b) ||| α Those singers sang poorly, // +β being booed all the way||| ||| α Penyanyi itu menyanyi kurang bagus, // +β diolok sepanjang jalan ||| (b) Enhansemen (Enchancement) Klausa enhansemen menyediakan ciri-ciri sirkumstansi waktu, tempat sebab akibat, kondisi, hasil, dan sebagainya. Simbol untuk enhansemen adalah l "x" . (57) ||| 1 Alvin wanted a band, // x2 so he formed his own |||| |||| 1 Alvin menghendaki suatu orkes, // x2 sehingga dia membentuk nya sendiri ||| (58) ||| α Alvin formed his own band, // xβ because he wanted a band. ||| ||| α Alvin membentuk orkesnya sendiri, // xβ karena dia menghendaki sebuah orkes ||| Contoh (57) dan (58) di atas memperlihatkan perluasan makna yang berkenaan dengan sebab-akibat, yaitu karena menghendaki adanya orkesnya sendiri, Alvin membentuk satu band. (c) Elaborasi Klausa
elaborasi mengembangkan
makna
klausa
dengan
cara
mengulangi, mengomentari, menyederhanakan, atau menentukan secara terperinci atau mendetail. Dalam hubungan hipotaksis, elaborasi secara khusus direalisasi oleh klausa relatif non-restriktif.. Simbol penanda yang digunakan adalah "=" . (59) ||| 1 The group of Ariel recorded their first song in August 2010 // =2 it sold 13,000 copies ||| ‘Kelompok Ariel merekam lagu pertama mereka bulan Agustus 2010, lagu itu terjual 13 ribu keping’.
73
(60) ||| α The group of Ariel recorded their first song in August 2010, // =β which sold 13.000 copies ||| ‘Kelompok Ariel merekam lagu pertma mereka bulan Agustus 2010 yang mana terjual 13 ribu keping’. Contoh (59) dan (60) memperlihatkan perluasan makna dengan cara elaborasi, yaitu klausa yang mengikuti klausa primer memberikan penjelasan yang lebih terperinci yaitu terjualnya lagu tersebut dalam jumlah 13.000 keping. (2) Proyeksi Proyeksi merupakan perluasan makna dengan melaporkan kembali, menyampaikan ide dan fakta. Lokusi dan ide merupakan dua tipe utama dalam proyeksi. Lokusi menunjuk pada perluasan makna dengan menggunakan ucapan tidak langsung (reported speech/quoted speech). Simbol yang digunakan untuk lokusi adalah ("). Ucapan tidak langsung harus diproyeksikan dari proses verba (Halliday, 2004:378). (61) ||| "1 "Let's record that song!"// 2 Alvin declared. ||| ||| "1 "mari kita merekam 'lagu itu'!"// 2 Alvin menegaskan ||| (62) ||| α Alvin declared // "β that we should record that song'||| ||| α Alvin menegaskan // "β bahwa kami merekam lagu itu ||| Ide merupakan perluasan makna dengan melaporkan pendapat ( quoted atau reported thought).
Simbol
(') digunakan untuk menandai ide.
Melaporkan pikiran/pandangan harus diproyeksi dari proses mental, seperti pada (63).
74
(63) ||| '1 "He will buy a property in that city" // 2 Alvin thinks ||| ||| '1 "Dia akan membeli satu properti di kota itu " // 2 Alvin berpikir||| (64)
||| α Alvin thought // 'β that he will buy a property in that city ||| ||| α Alvin memikirkan // 'β bahwa ia akan membeli satu property di kota itu|||
Contoh (63) dan (64) di atas memperlihatkan perluasan makna dengan melaporkan pendapat atau ide, yaitu Alvin memikirkan bahwa ia akan membeli satu properti di kota itu. Keseluruhan contoh klausa yang telah disampaikan pada bagian ini mencakup tiga bagian struktur atau sistem yang tercakup dalam leksikogramatika suatu teks bahasa. Ketiga bagian itu adalah Struktur/sistim TRANSTIVITAS, MODUS dan TEMA serta beberapa contoh hubungan antarklausa yang meliputi hubungan taksis ( hubungan logis-sintaktik) dan hubungan logis-semantik.
2.3.3 Konteks Situasi : Tiga Variabel Register Bahasa digunakan dalam suatu konteks. Bahasa yang ada dalam teks juga ditentukan oleh konteks tempat bahasa itu digunakan.. Dengan mengikuti tradisi semantik fungsional yang dikemukakan oleh Firth (Eggins, 1994:52), Halliday ( dalam Eggins, 1994:52) menemukan konsep register yang merupakan abstraksi yang bermanfaat untuk membatasai variasi bahasa terhadap variasi konteks sosial dan mengusulkan adanya tiga aspek dalam setiap situasi yang memiliki konsekuensi linguistik, yaitu medan, sarana, dan pelibat.
75
Selanjutnya, Halliday (1985:12) menyatakan bahwa medan (field) merujuk pada "sesuatu yang sedang terjadi, kealamiahan aksi sosial tempat berlangsungnya aksi itu," sarana (mode) menyangkut "sesuatu yang partisipan kehendaki dengan penggunaan bahasa dalam situasi tersebut," dan pelibat (tenor) berkenaan dengan siapa yang mengambil bagian dalam transaksi secara alamiah atau apa adanya, status dan peranannya (Hasan dan Halliday, 1985:12). Ketiga variabel register tersebut menggambarkan hubungan fungsi bahasa dan bentuk bahasa. Dengan kata lain, register disesuaikan atau ditentukan oleh ciri-ciri kebahasaan yang secara tipikal dihubungkan dengan suatu konfigurasi ciri-ciri situasi, yaitu yang berkenaan dengan medan, sarana, dan pelibat " (Halliday, 1976:22). Misalnya, pelibat dalam teks meliputi hubungan antara addresser (pembicara) dan addressee (pendengar) dapat dianalisis dalam hal perbedaan dasar, seperti politecolloquial-intimate, pada suatu skala kategori yang menunjukkkan jarak formal dan tidak formal Hal yang sama juga terjadi pada sarana interaksi yang memanifestasikan kealamiahan atau keaslian kode/ sandi bahasa yang sedang digunakan dapat dibedakan dalam hal lisan dan tulisan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
bahasa yang digunakan
dalam suatu teks memiliki hubungan dengan konteks. Secara khusus, situasi konteks, dalam hal ini konteks sosial menurut Halliday dan Hassan (1985, 1989), meliputi tiga komponen yaitu medan (field), pelibat (tenor), dan sarana (mode). Ketiga konteks situasi tersebut direalisasikan dalam bahasa
76
pada tataran metafungsi makna yaitu makna eksperiensial merealisasi medan teks, makna interpersonal merealisasi tenor dan makna tekstual merealisasi sarana teks.
2.3.4
Genre dan Struktur Teks Genre makro menurut Martin (1992) dapat meliputi langkah,
orientasi tujuan menggunakan bahasa. Salah satu bagian teks yang perlu dicermati adalah genre dan struktur teks. Halliday (1975:6) menyatakan bahwa struktur adalah suatu relasi atau hubungan yang mempersatukan (unifying relation). Hassan ( dalam Halliday dan Hassa, 1985:53) menjelaskan bahwa struktur teks berkaitan dengan keseluruhan struktur itu sendiri, keseluruhan struktur pesan. Untuk itu, apabila suatu teks dianalisis maka salah satu bagian yang harus dicermati adalah struktur teks. Struktur teks menurut defenisi Aristoteles (dalam Halliday dan Hassan, 1985: 53) terdiri atas tiga elemen, yaitu bagian awal (the beginning), bagian pertengahan (the middle), dan bagian akhir (the end). Analisis struktur teks menurut pendekatan Linguistik Sistemik Fungsional telah dilakukan oleh Halliday (1985:53). Misalnya, dalam kajian mengenai seni pertunjukan Kabuki di Jepang ditemukan adanya tiga unsur dalam teks pertunjukan Kabuki, yaitu peristiwa perpisahan (precipitative event), peristiwa akibat (concequental event) dan peristiwa pembeberan
77
(revelation event). Konsep analisis struktur juga dilakukan oleh Martin (1997:16-17) terhadap struktur genre dengan mengajukan tipe struktur, yaitu particulate, yang terdiri atas orbital dan serial, prosodik dan periodik. Tipe struktur ini dihubungkan dengan makna ideasional, interpersonal, dan tekstual. Particulate berhubungan dengan makna ideasional yang meliputi orbital yang berhubungan dengan
makna eksperiental, dan serial yang
berhubungan dengan makna logika; prosodik yang berhubungan dengan makna interpersonal, dan periodik yang berhubungan dengan makna tekstual. Struktur genre menurut Martin ( 1997:17), harus diinterpretasi secara simultan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam menganalisis struktur genre perlu dianalisis seluruh bagian yang ada dalam struktur itu secara bersamaan. Berdasarkan perspektif konstituensi, Francis dan Martin (1991) menyatakan bahwa susunan struktur
meliputi Orientasi ^ Insiden
^Interpretasi ^ Coda. Berdasarkan beberapa konsep struktur teks yang telah diuraikan di atas maka dalam menganalisis struktur teks dicermati tiga elemen. Ketiga elemen dimaksud adalah bagian awal (the beginning), bagian pertengahan (the middle), dan bagian akhir (the end). Konsep genre atau struktur genre dari Martin (1997:17)) dan struktur teks dari Halliday (1985: 53) serta model Yunani, pada dasarnya
78
menguraikan bahwa struktur meliputi elemen-elemen yang secara beruntun dan saling berhubungan menyatu dalam teks. Dengan demikian analisis genre teks mencakup struktur generik dan secara simultan tercakup kontekstual konfigurasi dan struktur teks. Kontekstual konfigurasi (Halliday dan Hassan, 1985:55-59) meliputi medan, tenor dan sarana. Selanjutnya Halliday dan Hassan (1985:55) mengatakan bahwa konfigurasi kontekstual
memainkan peranan yang sangat penting
karena dari ciri konfigurasi kontektual inilah
dapat digunakan untuk
memprediksi jenis-jenis perkiraan struktur teks. Prakiraan tentang struktur elemen tersebut adalah: (i) elemen-elemen apa yang harus muncul, (ii) elemen-elemen apa yang dapat muncul, (iii) di mana elemen-elemen itu harus muncul, (iv) di mana elemen-elemen itu dapat muncul, (v) berapa sering elemen-elemen itu dapat muncul
Untuk itu dapat dikatakan bahwa dalam struktur teks terdapat elemenelemen yang harus atau wajib muncul, elemen-elemen yang boleh muncul atau sebagai pilihan. Juga terlihat pada bagian mana elemen-elemen itu muncul dan berapa kali kemunculannya dalam struktur teks. Secara lebih jelas dapat dikatakan bahwa kontekstual konfigurasi dapat memprediksi
79
elemen-elemen yang bersifat wajib, pilihan, dan pengulangan. Pada akhirnya akan dilihat apa yang menjadi maksud dan tujuan dari teks KKWK secara menyeluruh. Menurut (Martin dan Eggins,1997:236) tujuan dan maksud dari suatu teks hanya dapat diketahui dari genre teks itu. Dengan demikian sangat jelas bahwa genre teks mencerminkan apa yang menjadi maksud dari dan tujuan teks itu sendiri.
2.3.5
Ideologi Teks Konsep ideologi seperti yang diuraikan sebelumnya merupakan
seperangkat kepercayaan dari suatu kelompok masyarakat yang direalisasikan dalam tutur dan tindakan, serta yang dapat mengikat dan mempersatukan mereka secara turun-temurun. Untuk itu ,bahasa yang digunakan oleh sekelompok masyarakat mencerminkan ideologi masyarakat tersebut. Mengelaborasi ideologi yang tercermin melalui bahasa yang digunakan sangat menarik dan penting dilakukan. Bonvillian (2003:371) menyatakan bahwa ideologi diteruskan lewat perilaku komonikasi dan lewat bagaimana manusia berbicara tentang bahasa dan aktifitas lingual. Lebih lanjut Bonvillian (2003:371) mengatakan, bahwa pada bangsa modern ideologi bahasa memerlukan praktik yang menyeleksi dan menyebarluaskan suatu bahasa standar atau legitimasi bahasa yang digunakan dalam konteks umum, misalnya di sekolah, media, dan politik, ekonomi dan agama.
80
Bahasa dan ideologi berkaitan erat untuk melakukan elaborasi
yang
sistematik dengan alasan yang berikut. 1) Bahasa (wacana) sebagai kesadaran lisan (oral) dan tulisan sebagai interpretasi. 2) Peristiwa, tindakan, dan ekspresi secara konstan dapat diinterpretasikan dan dipahami karena selalu menggunakan prosedur interpretasi untuk memahami dirinya dan orang lain. 3) Analisis wacana berarti melakukan interpretasi atas interpretasi untuk menafsirkan wilayah pre-interpreted. 4) Situasi yang muncul dalam bentuk analisis wacana merupakan satu manifestasi yang disebut lingkaran hermeneutik. 5) Karakter kreatif dari proses interpretasi. Analisis wacana berupa konstruksi sintetik, suatu proyeksi kreatif tentang suatu makna yang mungkin. Merujuk pada konsep-konsep tersebut, dan sesuai dengan teori Linguistik Sistemik Fungsional, maka kajian ideologi dari teks menghendaki pemahaman yang komprehensif, baik yang bersifat linguistik mikro-makro maupun yang ada di luar linguistik itu sendiri. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa realisasi penggunaan bahasa dipengaruhi oleh konteks sosial , konteks budaya, dan ideologi. Bagan berikut memperlihatkan realisasi keterkaitan bahasa,
81
konteks dan ideologi, dan harmonisasi dalam pemilihannya. Diagram (5) berikut memperlihatkan hubungan itu.
Ideologi
Genre Medan/isi
Tujuan
pelibat medium/ saluran
Register
Wacana Semantik
Medan Hubungan leksikal Ekspresi atau ideasional
Leksikogramatika
Transtivitas
Pelibat Struktur percakapan
Sarana
Konteks
Referensi & konjungsi
Teks Bahasa
Interpersonal Modus
Tekstual Tema
Diagram 5: Realisasi Keterkaitan antara Bahasa. Konteks, dan Ideologi (Diadaptasi dari Eggins,1994:113) Diagram (5) di atas menunjukkan bahwa bahasa, konteks, dan ideologi memiliki keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Bahasa yang digunakan suatu masyarakat tertentu dipengaruhi oleh konteks yang selanjutnya mencerminkan ideologi dari masyarakat pengguna bahasa.
82
2.4 Model Penelitian Pada bagian Landasan teori telah dijelaskan bahwa teori utama yang digunakan dalam menganalisis teks ritual KKWK adalah Teori Linguistik Sistemik Fungsional dari Halliday (1985, 1994) dan Halliday dan Mathiessen (2004). Untuk itu, model penelitian dibutuhkan untuk memberikan gambaran alur berpikir dan langkah-langkah yang akan dilakukan oleh peneliti terhadap penelitian teks ritual KKWK. Penjelasan langkah-langkah peneltian itu disajikan dalam bentuk bagan. Bagan yang disajikan singkat, jelas, dan sederhana. Secara sistemik keseluruhan langkah yang ada dilakukan secara simultan. Artinya, dalam mengkaji satu bagian, bagian lainnya ikut terbawa di dalamnya. Namun, yang pasti bahwa dari bagan yang ada dapat diketahui beberapa hal, seperti teori yang digunakan, bahan atau obyek yang diteliti, fokus analisis, dan temuan baru yang dicari oleh peneliti. Dalam hal ini, peneliti
berusaha melakukan penelitian dan menjelaskan hasil sesuai
dengan model penelitian yang dipaparkan tersebut. Teks KKWK merupakan materi kajian penelitian yang dibahas dengan menggunakan teori LSF. Berdasarkan teori ini maka teks KKWK dikaji dari level leksikogramatika yang meliputi analisis struktur atau sistem transtivitas teks, modus teks dan struktur tema rema. Pada bagian semantik diskursif
dianalisis
hubungan
klausa
yang
meliputi
hubungan
interdependensi klausa dan hubungan logikosemantik. Analisis konteks
83
situasi dapat dikaji tiga variabel register, yaitu medan teks, pelibat teks, dan sarana teks. Selanjutnya, pada bagian genre dan struktur teks dianalisis struktur generik teks, baik dari segi makro maupun mikro teks; dan pada bagian ideologi yang tercermin dalam teks dianalisis ideologi pada konteks situasi (register) yang meliputi medan teks, pelibat, dan sarana teks, serta ideologi pada genre teks. Keseluruhannya merupakan suatu jaringan (network) yang memiliki hubungan satu dengan yang lainnya. Secara garis besar, model penelitian dapat disajikan dalam diagram berikut.
84 TEKS KKWK METODOLOGI
DATA
KUALITATIF
KUANTITATIF
DATA
Teori LSF
Leksikogramatika
Hubungan
Konteks
antarkalusa
Situasi
Analisis
Analisis
Analisi
1.Transitivitas
1.Hub. Interdependensi
1.Medan
2.Modus
Klausa (taksis):
3. Tema
-parataksis
2. Pelibat 3. Sarana
-hipotaksis
TEMUAN
Diagram 6: Model Penelitian
Genre
Ideologi
Analisis
Analisis
-Struktur teks
dan
struktur potensi
1. Ideologi teks KKWK 2. Ideologi Medan 3. Ideologi Sarana
85
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Pengantar Bab ini
menguraikan metode penelitian yang mencakup: (1)
pendekatan penelitian, (2) lokasi penelitian, (3) jenis dan sumber data, (4) instrumen penelitian, (5) metode dan tehnik pengumpulan data, (6) metode dan teknik analisis data, dan (7) metode dan teknik penyajian hasil analisis. Secara rinci setiap subbab ini dapat disajikan di bawah ini.
3.2 Pendekatan Penelitian Berdasarkan topik area dan permasalahan yang ada maka pendekatan penelitian ini adalah fenomenologi. Pendekatan fenomenologi menghendaki peneliti menempatkan memorinya, pengetahuannya, spekulasi, dan lain-lain yang berkenaan dengan fenomena itu, sehingga data dapat terungkap secara alamiah (Richards, 2003:18). Berdasarkan pendekatan fenomenologi tersebut
penelitian lapangan
dianggap cocok untuk meneliti penggunaan bahasa yang berkaitan dengan teks KKWK pada masyarakat adat Wewewa yang berbahasa Waijewa.
86
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian teks KKWK (peminangan) ini berlokasi di Pulau Sumba, Kabupataen Sumba Barat Daya (SBD), Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kabupaten ini memiliki jumlah penduduk 235.632 jiwa, memiliki 95 desa/kelurahan dan delapan kecamatan. Kedelapan kecamatan itu adalah: (1) Kecamatan Kodi, (2) Kecamatan Kodi Bangedo, (3) Kecamatan Kodi Utara, (4) Kecamatan Laura, (5) Kecamatan Wewewa Barat, (6) Kecamatan Wewewa Selatan, (7) Kecamatan Wewewa Timur dan (8) Kecamatan Wewewa Utara. Bahasa Waijewa digunakan oleh masyarakat penutur yang berada di empat kecamatan, yaitu Kecamatan Wewewa Barat, Kecamatan Wewewa Timur, Kecamatan Wewewa Selatan dan Kecamatan Wewewa Utara. Acara adat KKWK yang terjadi di empat kecamatan ini diambil secara purposif. Pada saat penelitian dilakukan acara KKWK terjadi di dua kecamatan induk, yaitu kecamatan Wewewa Timur dan kecamatan Wewewa Barat, sehingga observasi langsung dilakukan pada dua kecamatan tersebut. Empat acara KKWK diperoleh dari acara adat peminangan yang terjadi di Tambulotana, Waimangura, Tanggoba, dan Weerame. Penelitian dalam rangka penjaringan data dilakukan dari bulan Februari sampai dengan Mei 2012. Acara KKWK terjadi pada bulan Februari dan Maret 2012. Wawancara dilakukan sebagian pada bulan Februari dan Maret dan verifikasi pada bulan April dan Mei 2012. Bahkan,
87
wawancara berlanjut sampai pada bulan November 2012. Kenyataan ini dilakukan karena terdapat sejumlah data yang masih harus diverifikasi pada saat peneliti menganalisisnya.
3.4 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data kualitatif yang meliputi data primer dan sekunder. Data primer meliputi data bahasa lisan (tuturan dalam proses peminangan) yang dijaring melalui pengamatan langsung pada saat proses KKWK berlangsung, dan wawancara terhadap informan. Observasi langsung dilakukan empat kali proses KKWK. Data observasi ini menghasilkan empat korpus data bahasa lisan yang dianalisis serta menghasilkan teks lisan. Data sekunder berupa dokumentasi tertulis berkenaan data statistik tentang jumlah penduduk. Data lainnya juga diperoleh dari beberpa pelibat yang ditentukan berdasarkan teknik purposive sampling. Pelibat terdiri atas beberapa pelibat dalam teks, yaitu mediator (ata panewe ‘juru bicara’) berjumlah delapan orang, penengah’ lenango berjumlah delapan orang ; orang tua dari kedua mempelai berjumlah delapan orang; serta pemuka masyarakat berjumlah empat orang. Data juga diperoleh dari dua informan perwakilan dari Dinas Pemerintah yang secara khusus menangani bidang kebudayaan satu orang dan pariwisata satu orang. Total informan berjumlah 30 orang.
88
3.5 Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan untuk menjaring data meliputi alat perekam dan alat dokumentasi seperti handycam dan kamera digital. Handycam ini digunakan untuk merekam empat acara KKWK yang
selanjutnya
ditranskrip serta diverifikasi dan menghasilkan empat korpus data dalam bentuk tertulis sehingga dapat dianalisis leksikogramatikanya, konteks situasi, genre dan struktur teks, serta ideologi teks. Pedoman wawancara yang tidak terstruktur atau terbuka juga merupakan instrumen untuk menjaring data guna melengkapi data yang belum diperoleh melalui observasi. Wawancara ini lebih khusus pada data yang berkenaan dengan makna dari beberapa klausa, serta beberapa bagian dari konteks situasi teks. Selain itu peneliti sendiri langsung terlibat dalam proses penjaringan data baik melalui observasi maupun wawancara.
3.6 Metode dan Teknik Pengumpulan Data Ada dua metode pengumpulan data yang digunakan, yaitu metode observasi (metode simak) dan wawancara yang bersifat terbuka atau tidak terstruktur
(Guba dan Lincoln, dalam Maleong, 2010:174-215).
Metode observasi dengan alat handycam dilakukan pada saat empat acara KKWK berlangsung. Panduan wawancara tidak terstruktur juga disediakan untuk menuntun peneliti dalam melakukan wawancara. Wawancara dilakukan setelah observasi dilakukan. Teknik yang dilakukan adalah
89
teknik perekaman, pemotretan, dan pencatatan. Teknik perekaman digunakan untuk merekam acara KKWK secara menyeluruh dan alamiah. Teknik pemotretan digunakan untuk mendokumentasikan proses KKWK serta hal lain yang berkenaan proses tersebut, seperti, paralinguistik dan hal lainnya yang berhubungan dengan acara KKWK. Selanjutnya, teknik pencatatan digunakan untuk mencatat segala hal yang berkaitan dengan acara peminangan serta
dijadikan pedoman pada saat mewawancarai
informan.
3.7 Metode danTeknik Analisis Data Metode analisis data yang
digunakan adalah metode deskriptif-
kualitatif. Data juga dianalisis menggunakan penjumlahan sederhana yang bersifat kuantitatif .untuk melengkapi analisis kualitatif. Data dianalisis dengan
berpedoman
pada
Teori
Linguistik
Sistemik
Fungsional
(Halliday,1994, Halliday dan Martin 2004; Eggins, 1994), yaitu yang berhubungan dengan analisis leksikogramatika dan hubungan logis klausa dalam teks. Analisis konteks situasi, genre, dan struktur teks berpedoman pada Halliday dan Hassan (1985), Halliday dan Martin (1993), dan Martin (1997). Analisis ideologi berpedoman pada Halliday (1985), Eggins (1994), Thomson (1984), Kress dan Hodge (1979).
90
Metode analisis data yang digunakan adalah metode padan (Mahsun, 2005: 249-259). Metode ini dalam analisis data menghubung –bandingkan antarunsur yang bersifat lingual. Metode tersebut dapat digunakan untuk menganalisisa unsur lingual yang terdapat dalam bahasa yang sama. Berdasarkan metode padan, analisis data seluruhnya diawali dari analisis leksikogramatika meliputi analisis transitivitas yang berfokus pada partisipan, proses dan sirkumstan.
MODUS meliputi sistem modus,
struktur dengan BLOK MODUS yang terdiri atas Modus dan Residu, serta penilaian teks. Tema, meliputi tipe tema, tema bermarkah dan tidak bermarkah, tema tunggal dan tema majemuk, serta struktur tema. Selanjutnya, analisis konteks situasi (medan, pelibat, dan sarana teks,) dan genre serta struktur teks; dan diakhiri dengan analisis ideologi (ideologi teks KKWK, ideologi pada konteks situasi dan genre teks) yang tercermin dalam teks. Analisis tersebut saling berhubungan antara satu dengan lainnya secara sistemik. Untuk itu, teknik analisis data akan mengikuti prosedur analitik sebagai beriikut. Pertama, data rekaman lisan ditranskrip dalam bentuk tulisan dan verifikasi kembali untuk dilihat kesesuaianya. Kedua, Data dalam bentuk tulisan diberi penandaan, yaitu penomoran angka sesuai urutan berbicara pelibat dalam teks. Ketiga, menentukan batas-batas klausa, yaitu penanda || untuk batas klausa sederhana dan penanda ||| untuk batas klausa kompleks. Keempat, mengidentifikasi dan mengkaji leksikogramatika yang meliputi
91
(a) transitivitas teks, yaitu mengidentifikasi dan mengkaji tipe proses, partisipan dan sirkumstan, (b) modus teks, yaitu sistem modus, struktur modus termasuk blok modus, dan penilaian teks, dan (c) tema teks, yaitu tipe tema, tema bermarkah dan tidak bermarkah, tema tunggal dan jamak, serta struktur tematik tema. Metafungsi makna diidentifikasi dan dikaji secara bersamaan dengan transitivitas, modus, dan tema. Kelima, menentukan dan
mengkaji hubungan antarklausa,
yaitu hubungan
interdependensi dan hubungan logiko semantik. Keenam, menentukan dan mengkaji konteks situasi yang memengaruhi teks, yaitu medan, pelibat dan sarana berdasarkan transitivitas, modus dan tema. Ketujuh, menentukan dan mengkaji genre dan struktur generik teks berdasarkan konteks situasi yang direalisasikan oleh leksikogramatika. Kedelapan, menganalisis serta mengkaji ideologi yang tercermin dalam teks berdasarkan genre yang direalisasikan oleh konteks situasi, dan konteks situasi yang direalisasikan oleh transitivitas, modus, dan tema. Kesembilan, melaporkan hasil analisis dan temuan. Keseluruhan prosedur analitik tersebut di atas mengacu pada linguistik sistemik fungsional yang mana antara satu dan yang lainnya saling berhubungan, yaitu ideologi direalisasikan oleh genre yang direalisasikan oleh konteks situasi. Konteks situasi direalisasikan oleh sematik diskurs yang direalisasikan oleh leksikogramatika. Secara lingual seluruhnya berhubungan secara sistemik.
92
3.8 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Analisis disajikan dalam bentuk formal, yaitu menggunakan tabel dan diagram. Di samping itu, analisis juga disajikan dalam bentuk informal, yaitu, mendeskripsikan dalam kalimat dan paragraf. Dalam hal tertentu dilakukan penggabungan penyajian dalam bentuk formal dan informal, yaitu tabel atau diagram disajikan terlebih dahulu baru diikuti penjelasan atau deskripsi sesuai dengan yang tertera dalam tabel, atau diagram/maupun grafik.