BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Malam itu, 20 Mei 2013 di rumah Hozairi, calon kepala desa Gapura timur begitu ramai. Ada banyak tamu yang bertandang, berbicara berkelompok, sesekali tertawa dan sesekali terdiam sambil memainkan rokok yang tersulut dan terjepit di kedua jarinya. Lampu terang benderang baik yang ada di teras atau yang di letakkan di pinggir jalan paving menuju rumahnya. Sepeda motor silih berganti datang dan pergi. Orang-orang entah dari mana saja berasal, yang pasti tidak hanya dari satu desa itu. Pun maksud mereka beragam baik mulai dari hanya ingin silaturrahim dan ikut meramaikan suasana, ikut rembukan, ikut teman dan sebagainya. Sejak, tiga malam sebelumnya rumah ini sudah begitu ramai hingga menjelang subuh. Berjaga malam sudah dimulai dengan dibagi pos masingmasing. Dalam satu kampung bisa terdapat tiga pos atau lebih. Sedang yang bermalam (atangnge) di rumah Hozairi bertugas mengantarkan makanan jika ada salah satu kelompok penjaga yang kekurangan konsumsi dan selebihnya hanya nongkrong dan sesekali main kartu. Namun, malam ini suasananya jauh lebih ramai dan beragam. Mungkin pihak musuh juga ada di sini untuk memata-matai, begitu selentingan penulis dengar. Hozairi sebagai calon kepala desa tidak hanya sibuk menerima tamu, namun juga harus mengurus ini dan itu sebgai perlengkapan besok pagi.
1
Selain terdapat banyak orang yang berlatar belakang tidak sama, beberapa sosok kiai juga tampak di sana. Ada yang berpenampilan nyeleneh dengan rambut panjang dan sepertinya kesehatannya terganggu sehingga harus dipapah. Ada juga yang berpenampilan resmi sebagai seorang kiai dengan memakai sorban, jubah putih dan sebuah tasbih menggantung di tangan sedang bersama beberapa anjalnya1. Selain itu ada juga sosok yang berpenampilan santri (baju koko, sarung kotak, kopiah budar dari kain) yang sejak kedatangannya langsung masuk ke dalam kamar dan tak keluar lagi hingga waktu yang lama. Ternyata dia sedang melakukan laku ritual dengan mengaji berdiri dengan kaki tunggal. Itulah sekelumit gamaran pemilihan Kepala Desa di Madura menjelang hari H. Sebagai sebuah daerah pemerintahan, desa adalah satuan adminitrasi terkecil dalam skala nasional yang di dalamnya terdapat berbagai perangkat dan yang satu dengan yang lainnya saling bergantung dan dibawahi oleh seorang kepala desa yang merupakan kunci dari pada pemerintahan. Jadi, dilihat dari perannya seorang kepala desa adalah sosok yang sangat penting keberadaannya di tengah-tengah masyarakat desa itu sendiri. Menurut Teodore M. Smith (1984: 197-8), karena kepala desa mempunyai peran yang betul-betul nyata, maka ia merupakan raja kecil di daerahnya. Jadi bisa digambarkan bahwa sebagai seorang raja yang berkuasa di daerahnya, maka seorang kepala desa tidak cuma berfungsi sebagai pemerintah formal yang diundang-undangkan, namun dianggap lebih dari sekadar itu, yaitu sebagai pemerintah informal yang meliputi sosial budaya masyarakatnya.
1
Pengiring setia kiai di Madura.
2
Kepala desa mempunyai kedudukan yang sangat strategis baik dalam menjalankan hukum formal atau pun dalam menjaga kelangsungan kehidupan kebudayaan dalam masyarakatnya. Bahkan dalam beberapa desa tertentu di Madura setiap acara yang hendak diselenggarakan harus meminta persetujuan kepala desa terlebih dahulu jika tak ingin dihentikan di tengah jalan. Seperti yang pernah dirasakan oleh masyarakat Kombang di Pulau Poteran. Pada saat itu mereka agak susah menghubungi kepala desanya untuk meminta izin mengadakan acara Maulid Nabi. Hingga pada akhirnya pihak panitia memutuskan tidak usah meminta izinnya. Ketika semuanya sudah dipersiapkan dan segalanya sudah hampir rampung maka pihak kepala desa tiba-tiba memberi instruksi untuk menggagalkan semuanya. Tak hayal panitia gelagapan, untung saja ada tokoh yang bisa melakukan lobi dan akhirnya acara kembali dijalankan dengan catatan pihak kepala desa diberi porsi untuk sambutan. Selain itu kepala desa juga merupakan sosok yang masih menjaga kelanjutan feodalisme kerajaan dengan menjadi orang yang memiliki tanah bengkok atau percaton yang semestinya itu merupakan hak kekayaan di desanya. Menjadi kepala desa merupakan prestise yang sangat bergengsi dalam masyarakatnya. Selain mereka masuk dalam golongan pemerintah formal mereka juga sering terlibat dalam kegiatan kemasyarakatan baik dalam kebudayaan, keagamaan, dan juga sosial. Kehadiran mereka bahkan lebih bernilai pembenaran dan pengesahan dari pada sekadar keikutsertaan biasa. Sebagai sebuah jabatan tertinggi di desa, menurut Mien A Rifaie (2007: 108) kepala desa baru ada sejak perempat terakhir abad ke-19 yang keberadaannya justru dibentuk oleh Pemerintah Kolonial Belanda dalam rangka
3
mengahapus sistem pemerintahan yang bercorak panembahan. Di Madura kepala desa atau kalebun selalu dibantu oleh carek (sekretaris), dan beberapa perangkat desa yang juga termasuk apel sebagai pembantu kalebun di setiap dusunnya (kepala dusun). Pemilihan kepala desa biasanya diadakan secara langsung dengan ceplo’an yang diselenggarakan di desa tersebut pada satu titik tertentu dengan mempertimbangkan tempat yang mudah terjangkau oleh seluruh warga. Jika pemilihan kepala desa di Jawa pada zaman dahulu dilakukan dengan menggunakan lidi dan dimasukan ke kotak para calon kepala desa (Syahbudin Latief, 2000: 155), maka di Madura juga tidak banyak berbeda, hanya perkembangan akhir-akhir ini seiring dengan semakin canggihnya teknologi maka pemilihan kepala desa sudah mulai menggunakan surat suara yang berisikan gambar baik orang atau pun lambang (yang lebih sering buah-buahan). Sebagai jabatan yang dipertaruhkan di lapangan pemilihan dan tidak berlakunya sistem keturunan membuat setiap kontestan kepala desa berupaya semaksimal mungkin seperti bergerilya dari rumah ke rumah di malam hari, menyebarkan tim sukses silumannya di setiap kampung mencari kabar tentang gerakan musuhnya, mendatangi tokoh masyarakat, mengundang masyarakat ke rumahnya untuk beramah-tamah, memberi uang jajan dan juga meminta bantuan jasa perudkunan. Uniknya, dalam konteks desa, strategi politiknya begitu berbeda dibandingkan dengan politik yang lebih makro. Hal ini disebabkan oleh tiga hal. Pertama, karena begitu kecilnya ruang sehingga antara yang mencalonkan diri dengan pemilih relative berdekatan dan sangat mungkin saling mengenal. Kedua, karena rata-rata dari penduduk desa yang terlibat aktif menjadi pelopor salah satu calon adalah masyarakat tua yang masih awam terhadap strategi politik. Hal ini
4
dibuktikan dengan adanya anggapan bahwa peleyan kalebun reya peleyanna oreng budu (pemilihan kepala desa adalah pemilihannya orang awam). Ketiga, masih begitu kentalnya suasana mistik dengan keterlibatan ilmu magis yang diperlihatkan dalam arena pertarungan memperebutkan kepala desa tersebut seperti melakukan ritual-ritual khusus, meletakkan barang tertentu yang sudah dimantrai di sekitar tempat pemungukat suara (TPS), di jalan yang sering dilalui warga atau di rumahnya sendiri, penentuan waktu keluar rumah, penentuan mengenakan warna pakaian dan menentukan arah keberangkatan ke TPS. Berangkat dari kenyataan tersebut, maka terdapat banyak hal dalam proses pemilihan kepala desa di Madura yang mengarah pada praktik melibatkan jasa perdukunan. Praktik-prakti itu diantaranya adalah melakukan ritual baik individu atau pun kolektif. Ritual individu biasanya dilakukan sendiri oleh calon kepala desa baik setiap malam atau pun pada saat-saat tertentu sesuai dengan anjuran dukun yang sedang mendampinginya. Ritual kolektif biasanya dilakukan pada malam hari baik di rumah calon kepala desa atau pun di tempat yang diyakini keramat seperti pekuburan seorang wali atau leluhur di desanya. Selain itu keterlibatan dukun bisa sampai menyentuh ranah bagaimana seharusnya calon bersikap, bertindak, bagaimana pantongnya (orang yang bergerak mencari pendukung) diorganisir, dan lain sebagainya. Sehingga keterlibatan dukun dalam pemilihan kepala desa sangatlah penting dan menduduki tempat yang strategis. Sebagai masyarakat yang sangat taat
terhadap Agama Islam
(Abdurrahman, 1991, Andang Subaharianto, 2004, Rifaie, 2007, Syamsul Ma’arif, 2015) ini merupakan hal yang menarik mengingat di Madura sejak perkembangan Agama Islam kiai selalu menempati tempat tertinggi yang bahkan bisa
5
mengalahkan pangkat kesultanan (Sutarsimi dkk, 2002: 21). Hal ini bisa dibuktikan dengan banyaknya keluarga Kerajaan yang belajar agama dan menjadi tokoh agama dengan mendirikan pondok di sekitar rumahnya. Sampai sekarang pun bukti fisik itu masih ada yang berlokasi di desa Pajagalan tenggara keraton Sumenep. Dengan beralihnya peranan dari priyayi terhadap kiai pada akhirnya mereka kembali menemukan kedudukan istimewa yang sebelumnya sempat digoyahkan oleh tokoh-tokoh agama yang mulia berdatangan. Ketaatan yang dilabelkan kepada masyarakat Madura sebenarnya berkisar pada pelaksanaan syariat seperti sholat, zakat, puasa, naik haji, menutup aurat bagi laki-laki dan perempuan, menjaga hubungan yang bukan muhrim yang semuanya berkaitan dengan teknis. Sedangkan untuk praktik keagamaan lainnya mereka lebih mengikuti ajaran islam sinkretis seperti yang dicontohkan oleh Wali Songo sebagai salah satu lembaga penyebar Islam di Indonesia dan dilanjutkan oleh para kiai di Madura. Jadi, islam di Maudra adalah islam lokal yang sudah terakulutrasi dengan budaya setempat dengan mengadopsi beberapa tradisi yang telah ada dan telah diislamisasikan seperti membakar kemenyan, mengadakan slametan tanah dan rokat pekuburan nenek moyang. Jadi, ketaatan itu sebenarnya merupakan kepatuhan dalam melaksanakan ajaran islam sebagaimana yang telah dianjurkan oleh kiainya. Peranan seorang kiai selain penasihat keagaman juga adalah pencari solusi masalah-maslah sosial dalam menjaga tatanan sosial masyarakatnya (Abdurrahman Wahid, 1987) seperti menjadi penasihat dalam permasalahan ekonomi dan sosial budaya. Maka bisa kita mengerti jika sosok kiai menempati tempat yang sangat dihormati, apa lagi sosoknya yang lebih bermasyarakat dari
6
seorang Sultan atau pun Raja. Namun hal ini tidak untuk pemilihan kepala desa di Madura. Intensitas dukun telah mereduksi peran mereka. Dalam proses pemilihan kepala desa di Madura tergambar jelas kehadiran sosok dukun dalam segala hal, mulai dari yang sepele hingga yang besar. Sepertinya kehadiran mereka adalah fitrah yang sudah tidak lagi dapat dibantah. Apa lagi kebiasaan orang Madura yang animistis sebelum datangnya Agama Islam seperti membakar dupa, percaya pada roh nenek moyang, mengadakan selametan, percaya pada ilmu magis atau percaya pada kuburan yang dikeramatkan. Fenomena yang menarik untuk ditelusuri kenyataan hadirnya sosok dukun dalam pemilihan kepala desa di Madura adalah sosok kiai yang kemudian penulis memberinya sebutan kiai dukun. Diantara Kiai Dukun yang terlibat dalam pemilihan Kepala Desa yang penulis teliti adalah H. Afifi. Dia adalah seorang kiai yang mempunyai Pondok dan sekaligus lembaga formal (Pesantren Khalaf). Sehari-harinya waktunya dihabiskan untuk mengajar dan sesekali memraktikkan kedukunannya. Haji sebagai Kiai Dukun juga merupakan kiai langgar yang setiap waktunya dihabiskan untuk bertani dan turun ke tengah-tengah masyarakatnya untuk menyebarkan
ajaran
agama
yang
praktis.
Namun,
sesekali
dia
juga
memeraktikkan ilmu kedukunannya ketika dibutuhkan oleh masyarakatnya. Secara historis, kiai di Madura memang banyak yang tidak lepas dari praktik perdukunan baik sebagai penyembuh, peramal atau pun membantu masyarakatnya yang sedang mengalami masalah dengan ilmu magis (Rozaki, 2004; Kuntowijoyo, 1986; Noor, 1973; Aziz, 2012), seperti memberi nama cabang bayi, menentukan tanggal pernikahan dan memberikan air penyembuhan.
7
Seperti H. Afifi dan Haji, sebenarnya mereka telah mempelajari dan memiliki ilmu dukun saat baru belajar ilmu agama, namun sangat jarang dipraktikkan kecuali dalam waktu-waktu yang dirasa perlu saja. Alasan yang paling mendasar atas penggunaan ilmu perdukunan adalah pelayanan atas kepentingan masyarakat yang menginginkannya. Namun, kehadiran sosok Kiai Dukun dalam pemilihan kepala desa mengandung pertanyaan yang mendalam mengapa kiai menambah perannya sebagai dukun dalam pemilihan kepala desa di Madura. Dalam penelitian inilah penulis mencoba mengorek dan menjelaskan apa yang terdapat di balik semuanya. B. Tinjauan Pustaka M. Syahbudin Latif (2000) menuliskan proses pemilihan kepala desa di Jawa yang terletak di Kabupaten Sragen di Desa Guworejo. Dijelaskan proses pencarian orang atau calon pemilih, pendekatan yang dilakukan, gerakan yang dilakukan tim sukses bahkan hingga konflik-koflik yang terjadi. Pun dijelaskan hubungan baik kekeluargaan, dengan tokoh, organisasi dan juga emosional ikut berpengaruh dalam pemenangan salah satu calon. Abdur Rozaki (2004) menjelaskan hubungan kiai dengan calon kepala desa juga sangat erat karena sebagai sosok yang dihormati dan dimuliakan di tengah-tengah masyarakat dan juga dianggap mustajab segala doanya, kiai selalu diminta doa restunya, tidak cuma tersirat, bahkan bisa lebih nyata dalam bentuk selamatan-selamatan yang diadakan calon tersebut. Rudi Subiyanto (2006) menulis tentang peran kiai dalam pilkada yang bisa terealisasi dalam tiga tipe. Pertama sebagai aktor yang berperan langsung dalam kampanye-kampanye sebagai tim sukses dari salah satu calon. Kedua pendukung saja yang hanya memosisikan dirinya sebagai pendukung
8
namun tidak secara aktif berkampanye seperti timsukses yang lain. Biasanya kiai tipe ini menyatkan dukungan secara terang-terangan namun tidak ikut bergerak. Ketiga adalah partisipan yang hanya berpartisipasi saja dan tidak mendeklarasikan secara terang-terangan kepada siapa dia memihak. Sedang Nur Abdul Razak (2013) Dalam penelitiannya lebih menitikberatkan pada berlangsungnya praktik kejawen sehubungan dengan proses pemilihan kepala desa di Pogungrejo seperti memasang kemenyan, membawa keris, membuat tumpeng dan kegiatan lainnya yang berkaitan dengan islam kejawen. Dijelaskan juga bagaimana seorang kiai mempunyai andil dalam dukungannya yang berbentuk tirakatan seperti tahlilan dan doa bersama. Selain keterlibatan seorang kiai, dukun juga mewarnai jalannya pemilihan kepala desa di sana. Penelitian yang paling berdekatan dengan tema penulis ditulis oleh Abdul Aziz (2011). Dalam penelitiannya, Aziz mengulas hubungan dukun dengan kepala desa yang asimitris, juga perannya dalam pemenangan seorang calon kepala desa yang mau tidak mau harus diakui dan dipercaya kemanjurannya. Aziz juga menjelaskan masalah kedudukan dukun di tengah masyarakat Madura yang sebenarnya tidak mendapat tempat yang istimewa dikarenakan sebagai masyarkat yang islami dan berpegang teguh pada fiqih, dukun dianggap syirik (Aziz, 2011: 109) yang dosanya sangat besar di sisi Tuhan. Namun, di sisi lain sebagai sosok yang ahli dalam bidang ilmu ghaib (magic) dukun dianggap sebagai sosok yang mampu mendukung cita-cita seorang calon dengan cara laku magisnya. Sehingga dalam kasus pemilihan kepala desa dukun merupakan sosok penting meski dalam kenyataan sehari-harinya mereka bukanlah kelas yang diperhitungkan.
9
Hanya saja, Aziz menempatkan dukun sebagai sosok yang ekslusif. Padahal, berdasarkan hasil yang penulis dapat, dukun adalah sosok yang mempunyai peran yang lain di tengah masyarakatnya. Boleh jadi dia adalah seorang petani, pedagang, guru atau kiai. Seperti H. Afifi dia mempunyai pesantren di rumahnya dan juga sekolah formal yang meliputi TK, MI, MTs dan MA. Jadi, ketika seorang dukun didudukkan dalam ruang yang eksklusif kita hanya akan menempatkan dukun sebagai profesi tersendiri tanpa harus membedakan siapa dukun tersebut di tengah-tengah masyarakatnya. Padahal, sepanjang pengalaman penulis, dukun tidak lebih dari sekadar profesi sampingan dari profesi sesungguhnya. Hal yang menjadi kritik pada pendapatnya Aziz juga terdapat pada kata Asimitris yang ditempatkan pada anggapan bahwa tidak ada proses timbal balik berkelanjutan setelah pemilihan itu selesai. Sebagai sebuah strata, posisi asimitris itu memang benar karena selama berlangsungnya pemilihan kepala desa di Madura posisi dukun menempati tempat lebih tinggi dari calon kepala desa. Ia adalah penasihat dalam setiap tindakan yang bertujuan pemenangan si calon kepala desa, khususnya dalam tindakan ritual. Namun, Aziz menempatkan istilah asimitris dalam posisi yang salah. Dia beranggapan asimitris itu karena tidak ada hubungan timbal balik yang berkelanjutan setelah pemilihan. Berdasarkan kelima penelitian di atas, maka ada beberapa catatan penting mengenai relasi kiai dan dukun. Pertama dalam penelitian terdahulu, meski pun sudah dilakukan pengulasan antara hubungan baik calon kepala desa, dukun, kiai dan bahkan blater (jagoan) baik di Madura atau pun di tempat lain mereka hanya membahasnya sebagai entitas yang berbeda. Kedua kelima penelitian yang telah
10
diajukan di atas hanya membahas salah satu segi baik hubungan kiai dengan kepala desa atau hubungan dukun dengan kepala desa. Ketiga dalam penelitian mereka semuanya berpangkal pada anggapan yang sama bahwa kiai adalah tokoh agama, dukun adalah tokoh magis dan kepala desa adalah tokoh formal. Sehingga penelitian hanya menemukan hal yang kurang lebih sama, hanya saja berbeda objeknya. Maka, penelitian ini hadir dalam rangka mengkaji dan menjelaskan tentang penambahan peran seorang kiai dalam ilmu perdukunan yang konon dianggap syirik itu. Meski jika diakui sebenarnya praktik ini sudah lama, namun kehadirannya dalam pemilihan kepala desa mengundang tanda tanya besar, terutama bagi penulis. C. Permasalahan Dukun dalam praktiknya sebagai sosok yang identik dengan penyembuh atau pemberi jalan pintas sebenarnya bukan peristiwa baru. Peristiwa perdukunan sudah ada sejak zaman purba dulu. Saat itu orang yang mempunyai ilmu lebih (dukun) dan dinilai berani, maka mereka akan dijadikan pemimpian bagi kelompok tersebut. Dalam masyarakat terasing yang hidup di Indonesia, yang masih ternilai konservatif, dukun juga mempunya peran penting baik dalam penyembuhan, ritual, atau pun dalam proses menjalani kehidupan. Begitu juga pada masyarakat Indian dukun adalah sosok yang mempunyai karisma tinggi. Jadi kegagalan seorang dukun dalam proses penyembuhan pasiennya adalah mala petaka yang bisa mengancam kedudukannya. Bertolak dari data di atas maka, dukun adalah sosok yang menjadi tempat masyarakat untuk mencari perlindungan baik secara fisik atau pun mental.
11
Praktik perdukunan dalam kancah perpolitikan baik dalam skala nasional atau pun lokal merupakan rahasia umum. Praktik perdukunan, meminjam istilahnya setiadi adalah hidden transcript atau bisa diartikan semacam gerakan tersembunyi yang sama sekali tidak nampak di permukaan namun ada dan kehadirannya adalah niscaya. Jadi, sudah bisa dikatakan pasti bahwa di balik kemenangan calon atau pasangan calon dari hasil pemilu baik tingkat nasional atau pun lokal, selain masyarakat sebagai pemilih, terdapat gerakan perdukunan yang melandasinya. Memang ada yang begitu nyata namun juga ada yang masih samar- samar. Salah satu contoh dukun di Solo yang mengaku selalu didatangi para calon baik DPRD, DPR Provensi atau DPR RI untuk meminta bantuan dalam memuluskan
jalannya
menuju
kemenangan
(http://regional.kompas.com/read/2014/02/06/1747111/Jelang.Pileg.Mbah.Bowo. Ramai.Didatangi.Caleg. Download, 15 Oktober 2014). Tidak terkecuali di Madura, praktik itu meski pun dalam ajaran islam dianggap sebagai praktik syirik (menyekutukan Tuhan) dan sering dihindari, namun dalam hal ini mereka sering menjadi perhatian para calon yang hendak maju ke pentas pemilihan. Memang dilihat dari aktornya, dukun bisa dikategorikan menjadi tiga macam dukun. Pertama dukun yang murni dukun, biasanya mereka sering disebut sebagai penganut elmo temor (ilmu timur), yaitu ilmu yang cendrung dianggap datang dari jin atau syetan yang sebenarnya bisa sangat berbahaya. Biasanya dukun semacam ini adalah dukun yang dianggap sangat tipis keimanannya pada agamanya. Bahkan, bisa jadi terbuka kemungkinan melecehkan agamanya, Kedua, adalah dukun yang terdiri dari kaum santri. Biasanya dukun semacam ini lebih mengedepankan agamanya dari pada praktik
12
kedukunannya. Mereka sudah mengenal seperti apa ajaran agamanya. Ketiga, adalah dukun yang berasal dari golongan kiai. Hanya saja sebagai seorang kiai mereka masih lebih menampakkan peran kekiaiannya dari pada kedukunannya. Bahkan jika pun mereka mempraktikkan ilmu kedukunannya mereka tetap tidak melepaskan karisma kekiaiannya. Berdasarkan pembagian tiga kategori perdukunan tersebut maka dapat diklasifikasikan dukun yang mana yang paling banyak terlibat dalam pemilihan kepala desa di Madura. Dari ketiganya biasanya mereka lebih percaya kepada dukun yang berasal dari kalangan santri dan juga kiai. Sehingga dalam makalah ini penulis merumuskan masalah bagaimana peran kiai dukun dalam pemilihan kepala desa di Madura dan mengapa kiai menambah perannya sebagai dukun dalam peristiwa tersebut? D. Tujuan Dalam penelitian ini tujuan umum yang ingin dicapai oleh penulis adalah pemahaman terhadap peristiwa pemilihan kepala desa di Madura sebagai peristiwa politik yang tidak dapat dilepaskan dari peran perdukunan yang ternyata lebih banyak melibatkan tokoh kiai dan santri. Uniknya, predikat kekiaian dan kesantrian mereka tidak pernah tertanggalkan (nonaktif) meski hanya untuk sementara ketika mereka memeraktikkan ilmu dukunnya. Malah predikat kiai dan santri tetap lebih familiar dari pada predikat dukun yang sedang mereka praktikkan. Hal ini penting agar tidak terjadi salah tafsir atau kesimpulan yang tergesa mengingat diatara keduanya dipisah jurang yang relatif jauh, sehingga dalam pandangan masyarakat awam sangat sulit untuk bertemu.
13
Ada pun tujuan yang ingin dicapai dari makalah ini adalah mendeskripsikan peran kiai-dukun dalam pemilihan kepala desa di Madura dan menjelaskan penambahan berperan kiai sebagai dukun dalam peristiwa tersebut. E. Kerangka Pemikiran Sudah lazim diketahui bahwa seorang kiai adalah kunci penting dalam sirkulasi kehidupan masyarakat, terutama di Madura. Kiai adalah tempat berpedomannya masyarakat dalam segala hal baik agama, sosial dan budaya (Yanwar Pribadi, 2013: 3). Sangat wajar jika di masyarakat Madura yang mayoritas islam (NU) hubungan antara kiai dan masyarakatnya begitu ketat dan likat. Pada umumnya, faktor utama keterikatan masyarkat dengan kiainya dikarenakan oleh kepandaiannya dalam ilmu agama. Dari sanalah sosok karismatik tercipta bahkan yang lebih ekstrim, kiai dianggap segala-galanya. Berbeda halnya dengan seorang dukun yang sejak kedatangan Islam di tanah Madura tidak mendapat tempat yang spesial di mata masyarakatnya (Aziz, 2012: 109). Mereka hanya kelas biasa yang tidak punya pengaruh apa-apa, bahkan cenderung dijauhi karena doktrin syriki yang akan membawa manusia pada kemurtadan. Keahlian mereka hanya pada ilmu magis baik untuk membantu atau mencelakakan seseorang. Namun sejak ke datangannya, Islam datang pada momen yang berbeda yang juga membentuk wajah yang berbeda (Andrew Betty, 2009: 6). Ada yang ketat memberlakukan hukum fiqih ada yang lebih mengarah pada tasawwufnya. Cerita ini bisa ditemukan dengan mudah pada penyebar Islam pertama di Indonesia yang terkenal dengan sebutan Wali Songo. Kesembilan wali tersebut melakukan penyebaran islam dengan cara yang berbeda-beda. Sunan Giri terkenal
14
dengan penyebar Islam yang ketat dalam memberlakukan syariat, sehingga menolak segala yang berbau mistik dan magis. Sedang Sunan Kali Jaga menyebarkan Islam yang lebih bertumpu pada tasawuf dan mencoba mengakomodasi kebudayaan lokal yang berbau hindu dan mistik dan diberi nilai islam. Perbedaan pandangan ini melahirkan kelompok yang berbeda yang menurut Betty menjadikan dua kelompok antara “Islam” dan “Kejawen”. Meski tidak banyak perbedaan diantara keduanya namun praktik yang tidak sama persis tetap berpengaruh pada anggapan masyarakat setempat. Bisa dikatakan bahwa kelompok pertama adalah kelompok yang betul-betul ingin bersih dari segala keyakinan yang datang sebelumnya (aroma Hindu dan Budha) dan segala laku mistik-magisnya, sedang kelompok kedua masih berpandangan longgar dan mau menerima kepercayaan yang dahulu dengan dimasuki unsur-unsur Islam. Menurut mereka Islam adalah jalan keselamatan yang bisa ditempuh dengan berbagai cara yang berbeda. Dalam kaitannya dengan konsep kiai dukun penulis pertama mengacu pada konsep kiai menurut beberapa tokoh. Menurut Geertz kiai adalah makelar budaya, sedang menurut Hirokoshi ulama dan kiai perlu dibedakan. Ulama sebagai pemimpin karena sistem keturunan yang hanya berkedudukan di desa dan biasanya cenderung diasosiasikan dengan lembaga-lembaga keagamaan, sedang kiai keberadaannya dikarenakan ilmunya yang memang memadai dalam bidang agama dan mereka biasanya juga merupakan muballig yang tak terikat dengan struktur desa Islam yang normatif (Hiroko Horikoshi, 1987: 212). Mereka sebagai
15
sosok yang membawa perubahan pada masyarakatnya. Sedang menurut Deliar Noor kiai dibedakan menjadi dua macama: “the term kiai indicates two kinds of people. The first comprises those whose knowledge of Islam surpasses that of ordinary man and who typically devote themselves to teaching of islam. The second type is closely related to a dukun (healer) who is associated with mystical and secret doctrines and practices all kinds of medicine”, (Pribadi, 2013).
Definisi kedua yang digunakan oleh Deliar Noor hampir sama dengan yang dilontarkan oleh Kuntowijoyo, bahwa seorang kiai tidak hanya menjadi seorang tokoh di bidang agama namun juga bisa menjadi seorang dukun dan peramal nasib (Kuntowijoyo, 1989: 46). Inilah yang terjadi dalam pemilihan kepala desa di Madura. Calon kepala desa yang memakai jasa dukun mayoritas diperankan oleh sosok kiai baik yang ada di Madura atau pun yang didatangkan dari luar Madura. Dalam penelitian Betty, seseorang yang beragama Islam namun melakukan praktik perdukunan disebut dengan muslim spesialis (Betty, 2009: 97). Istilah ini yang akan diacu oleh penulis untuk menyebut kiai dukun. Perdukunan munurut Levi-Strauss (1997) adalah salah satu praktik irrasional dengan mengandalkan mantera-mantera. Dalam penelitian terhadap praktik samanisme
pada suku Indian, Strauss mempunyi kesimpulan bahwa
dukun tidaklah berbeda dengan seorang penipu atau ia tidak berbeda dengan seorang psikolog yang merangsang pasiennya dalam menyemangati dirinya sendiri untuk mencapai kesembuhan dengan cara tipuan-tipuan yang dipraktikkan. Sehingga pasien kemudian mempunyai keyakinan akan kesembuhan dirinya yang berakibat pada proses kepercayaan dirinya yang meningkat dan juga pada magnet dalam tubuhnya yang membentuk satu kesatuan utuh (Roos, 2007) hingga membuat tekadnya bulat dalam upaya kesembuhan.
16
Namun, menurut Robert Wessing dukun adalah orang yang ahli di bidang ilmu magis (1996: 261). Biasanya mereka sering dimintai pertolongan dalam meniti karir seseorang. Bisa juga untuk melindungi, membuat sakit bahkan membunuh seseroang. Hal senanda juga ditulis oleh Kuntowijoyo (1989 dan 2002) dan Aziz (2012) bahwa dukun adalah orang yang memraktikkan ilmu magis juga bisa meramalkan nasib seseorang. Menurut Saputra (2007) dukun adalah orang yang memiliki ngelmu ghaib yang diperoleh dengan cara laku mistik dan memanfaatkannya untuk membantu atau menolong orang yang membutuhkannya. Status sosial diantara keduanya sangat berbeda. Jika kiai adalah tokoh sentral yang menempati kedudukan tertinggi, maka dukun mempunyai posisi yang ambivalen. Keambivalenan ini karena status seorang dukun tidak bisa terlepas dari figur yang memerankannya. Berbeda dengan kiai yang statusnya di tengah masyarakat karena penguasaan ilmu-ilmu agamanya, ilmu yang dikuasai seorang dukun tidak bisa serta-merta menentukan kedudukannya di tengah masyarakat. Jadi, status figur di luar profesinya sebagai dukun itulah yang sebenarnya menentukan. Semisal dia adalah kepala suku, sesepuh kampung atau kiai, maka dia akan dihormati dan mendapat tempat istimewa di dalam masyarakatnya yang menurut Koentjaraningrat disebut dengan dukun produktif (1994: 423). Status yang dimiliki oleh keduanya akhirnya menentukan peran mereka di tengah-tengah lingkungan sosialnya. Jika seorang kiai mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakatnya dalam memecahkan permasalahan ekonomi, sosial budaya, hingga persoalan yang sifatnya pribadi (Sugiyanto, 2003: 21), maka dukun juga mempunyai peran yang sama di tengah-tengah masyarakatnya. Mereka juga
17
sering berperan dalam masalah-masalah ekonomi, politik, menyembuhkan penyakit atau menghindari musibah (Koentjaraningrat, 1994: 424). Hanya saja, dukun hanya berperan pada tataran yang bersifat duniawi sedangkan kiai mempunyai peran dalam kehidupan dunia dan ukhrowi. Jika dukun hanya berkutat dengan ilmu magisnya dalam mengendalikan kekuatan gaib sebagai bentuk bantuan terhadap kehidupan duniawi masyarakatnya kiai menekankan pada religi sebagai bentuk penyerahan kepada Tuhan demi kenyamanan hidup di dunia dan akhiratnya. Jadi, sebagai muslim spesialis kiai dukun adalah sosok yang pandai dalam ilmu agama. Mereka tidak harus mempunyai pesatren, langgar atau santri. Mereka bisa berasal dari kalangan masyarakat biasa yang mempunyai pengetahuan mendalam dalam bidang agama, disebabkan mereka pernah mondok selama beberapa tahun atau hanya ngaji di langgar. Bisa juga mereka adalah keturunan kiai pesantren. Mereka memraktikkan ilmu magis pada saat memegang salah satu calon kepala desa atau sebelum dan setelahnya, seperti menyembuhkan orang sakit, meramal nasib, membantu seseorang dalam masalah karier dengan menggunakan ilmu magis. Dalam konsepsi magis penulis merasa perlu untuk mengacu pada E.E. Evans- Pritchard dalam penelitiannya terhadap suku Azande. Dalam masyarakat Azande kepercayaan tentang magis memenuhi setiap sudut-sudut kehidupan mereka baik dalam menjaga rumah, tanaman, atau pun kesehatan mereka ( EvansPritchard, 1937: 426.). Bagi mereka magis diperlukan untuk kesejahteraan dan juga keselamatan dari pengaruh sihir (witchcraft) yang bisa menyebabkan penyakit atau bahkan membunuh. Bagi suku Azande magis berbeda dengan sihir
18
(witchcraft) karena ilmu sihir biasanya digunakan untuk melukai atau bahkan membunuh seseorang karena kebencian atau alasan lainnya yang tidak dibenarkan secara moral. Sedangkan magis adalah ritual yang setiap orang mempunyainya dalam rangka melindungi dirinya dari kejahatan sihir (witchcraft) yang dikirim oleh penyihir. Dalam magis terdapat keyakinan bahwa peristiwa alam tidak digerakkan oleh kehendak atau pikiran suatu makhluk pribadi, melainkan suatu hukum kekal yang bekerja secara sistematis (Ernest Cassirer, 1987: 114). Hukum itu timbul karena adanya yang ghaib yang tidak bisa dirasionalkan. Paling tidak ada dua hal yang membuat suku Azande melakukan magis. Petama, mereka sadar bahwa dunia ini penuh dengan daya-daya ghaib. Kedua, bahwa daya-daya ghaib tersebut dapat digunakan, tetapi penggunaannya tidak dengan akal pikiran melainkan dengan cara irrasional. Jadi, magis sebenarnya merupakan perbuatan yang dilakukan untuk mencapai suatu maksud tertentu melalui kekuatan-kakuatan yang ada di alam ghaib. Hal ini senada dengan Koentjaranigrat yang berpendapat bahwa magis adalah ilmu ghaib yang digunakan seseorang untuk mengondisikan atau mengatur alam sekitar bergantung keinginan si empunya ilmu (Koentjaraningrat, 1980: 276). Hal yang sama juga disampaikan oleh Davies bahwa Magic has been made to consist especially in the art of compelling spirits or deities to do the will of him who performs the requisite acts or speaks the needful words (Rev. T. Witton Davies, 1898: 241). Untuk melakukan magis biasanya mereka membutuhkan ritual-ritual dengan berbagai properti baik tanaman, mantra, atau benda-benda yang diyakini seabgai magis. Sedang cara pelaksanaannya juga beragam, ada yang bersifat komunal dan individual.
19
Suku Azande membagi magis terhadap dua bagian, yaitu black magic (magis hitam) dan good magic (magis baik). Black magic biasanya selalu menyebabkan kerusakan baik terhadap kesehatan seseorang atau pun propertipropertinya, mereka menyebutnya dengan sorcery, sihir yang dipraktikkan dengan teknik yang sama dengan magis yang meliputi mantra dan guna-guna (Wessing, 1996: 269). Sedangkan good magic adalah magic yang digunakan untuk menyerang seseorang yang diduga melakukan kejahatan (Pritcard, 1937: 388). Dalam praktiknya, good magic hanya sekadar untuk mengobati, menangkal atau bahkan juga membunuh pelaku kejahatan, namun hal itu dilakukan dalam rangka menegakkan moralitas suku Azande yang telah dilanggar. Berbeda dengan suku Azande, masyarakat Banyuwangi membagi magis menjadi empat bagian. Magis hitam, magis putih, magis merah, dan magis kuning. Keempat magis tersebut diyakini dibagi berdasarkan filosofi masyarakat Jawa terhadap isi tubuh manusia yang berbunyi sedulur papat, lima badan (Heru S. P. Saputra, 2013: 114-5). Magis hitam adalah magis yang digunakan untuk mencelakakan, melukai atau bahkan membunuh manusia yang dijadikan objeknya. Magis putih adalah magis yang digunakan untuk menolong seseorang yang terserang oleh magis hitam atau penyakit yang diyakini disebabkan oleh ilmu ghaib. Magis kuning adalah sejenis pengasih yang tidak berdampak drastis bagi objeknya. Magis merah meski pun merupakan sejenis pengasih namun bisa berdampak fatal bagi objeknya seperti gila, menangis terus menerus, atau menjerit-jerit. Jadi, sebagai seorang dukun yang mempunyai kekuatan magis, kiai biasanya melakukan berbagai cara agar calon kepala desa yang dibelanya bisa
20
menang dalam pemilihan di hari H. Pertolongan yang dilakukannya bisa berbentuk koteka2, azimat atau mantra-mantra. Sedangkan macam-macam jasa yang diberikannya bisa berupa pemenangan, keamanan, dan ketenangan ( Aziz, 2012: 132-141). Cara yang dilakukan pun beragam baik yang melalui usaha komunal atau pun individual. Perubahan peran yang disandang seorang kiai sebagai pembawa keagamaan terhadap praktik perdukunan merupakan bentuk transformasi yang terjadi. Heddy Shri Ahimsa-Putra menjelaskan bahwa transformasi adalah perubahan yang berlangsung pada tataran permukaan sedang pada tataran yang lebih dalam lagi perubahan tersebut tidak terjadi (2013: 62). Sedangkan Irwan Abullah menjelaskan bahwa transformasi menunjuk pada suatu proses pergantian (perbedaan) ciri-ciri (identitas) sosial dalam suatu waktu tertentu (2002: 263). Menurut Abdullah, transformasi setidaknya mempunyai tiga unsur penting. Unsur pertama adalah adanya perbedaan. Seorang kiai yang menjadi dukun akan mempunyai perwujudan yang berbeda dengan seorang kiai yang tidak pernah menyentuh dunia perdukunan, khususnya dalam praktiknya. Unsur kedua adalah konsep ciri atau identitas. Perubahan perwujudan pada akhirnya akan berdampak pada perbedaan identitas yang dimilikinya. Kiai murni biasanya masih terbatasi dengan kitab suci dan dalil-dalil lainnya, mempraktikkannya sesuai dengan yang sudah digariskan oleh kitab suci dan dalil-dalil tersebut. Sedangkan kiai dukun sudah beranjak lebih jauh dengan tafsir-tafsir terhadap kitab suci dan dalil-dalil lainnya yang lebih liberal hingga lahirlah ritual-ritual khusus yang tidak ada sebelumnya. Mereka lebih inovatif dengan memodifikasi bebrapa ayat-ayat yang 2
Biasanya berupa barang yang diyakini mempunyai kekuatan magis dan akan mempengaruhi jalannya pemilihan. Bisa berupa beras kuning, pasir, lidi atau benda yang lainnya.
21
ada dengan praktik-praktik yang sama sekali baru. Unsur ketiga adalah selalu bersifat historis yang terkait dengan satuan waktu yang berbeda. Sebagai kiai dukun juga tidak lepas kapan dan pada momen apa mereka bertransformasi dan kemudian kembali lagi pada habitatnya sebagai seorang kiai. E. Metode Penelitian Ada pun pendekatan yang dilakukan oleh penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan antropologis yang menekankan keterlibatan penulis dalam setiap peristiwa, tidak hanya menjadi pendengar yang selalu siap mewawancarai seorang informan, namun juga menuntut pemahaman dalam keterlibatan itu sendiri. Jadi, secara antropologis penulis akan menempatkan diri sebagai penduduk yang merasakan dan memahaminya sedemikian rupa. Ada beberapa langkah yang penulis lakukan dalam meneliti tema yang diangkat. Diantaranya adalah: 1. Cara riset yang dilakukan Dalam meneliti kiai dukun dalam pemilihan kepala desa di Madura penulis kali pertama menjadi salah seorang yang terlibat di dalamnya baik di Gapura Timur atau pun di Gapura Tengah. Selama pemilihan berlangsung penulis mencoba aktif mengikuti baik perkembangan isu atau pun mendatangi rumahnya secara rutin. Tiga bulan sebelumnya setiap malam sudah ada beberapa orang yang sering ngumpul untuk sekadar meramaikan dan bermain kartu. Selain itu calon kepala desa sudah mulai menyelenggarakan ritual ngaji bersama seminggu sekali. Penulis juga ikut aktif sebagai peserta mengaji itu. baru setelah mengaji selesai mereka akan ngumpul dan
22
terpecah menjadi beberap kelompok. Ada yang hanya bergurau, bermain kartu, berbincang santai hingga yang betul-betul merencanakan sesuatu dalam kesuksesan calon kepala desanya. Dari sanalah penulis mendapat banyak data sebagai bahan dalam penulisan etnografi ini. Data itu bisa didapat melalu rembukan mereka yang sengaja penulis dengarkan, tingkah laku sehari-hari calon kepala desa dan juga pantongnya dan juga wawancara yang dilakukan baik secara sistematis atau pun tidak terhadap calon kepala desa, pantong, tokoh masyarakat, dukun yang terlibat di dalamnya dan juga panitia penyelenggara. Penulis melakukan penelitian ini dengan dua tahapan. Tahapan yang pertama adalah keikutsertaan penulis dalam fenomina pemilihan kepala desa baik sebagai pertisipan dalam ritual yang dilakukan atau pun hanya pengamat yang berusaha mengerti setiap yang terjadi. tahap kedua adalah wawancara. Dalam melakukan wawancara penulis membaginya menjadi dua kegiatan. Wawancara pertama adalah wawancara berencana dengan informan yang telah ditentukan, waktu yang telah ditentukan dan pertanyaan-pertanyaan yang juga telah disiapkan. Sedangkan wawancara kedua adalah wawancara tak berencana yang meliputi informan yang tidak ditentukan sebelumnya. Biasanya wawancara ini dilakukan ditempattempat yang tak terduga seperti warung makan atau rumah teman. Alasan kenapa wawancara diletakkan pada langkah kedua, hal ini tidak lepas dari pemetaan siapa yang harus diwawancarai. Mereka yang diwawancarai adalah orang-orang yang terlibat di dalam pemilihan kepala
23
desa baik itu calon kepala desa, pantong, dukun dan tokoh masyarakat seperti Bunyani dan H. Afifi sebagai dukun yang berperan aktif dalam pemilihan kepala desa di Gapura Tengah dan Gapura Timur, H. Zarksyi sebagai tokoh masyarakat, Hozairi, H.Zaiful, Quraisyi dan H. Holis sebagai calon kepala desa dan beberapa orang yang juga aktif di dalamnya. Hal ini penting dalam wawancara berencana supaya pertanyaan dan jawabannya menemukan konteksnya yang tepat. Baru setelah semuanya terkumpul proses transkripsi dilakukan untuk memudahkan penulis dalam penyusunan hasil penelitian yang dilakukan. Dalam mentranskrip hasil wawancara dibutuhkan ketelitian mengingat tidak semua informasi yang didapatkan itu berkaitan dengan tema yang dimaksud. Kadang informan bercerita pengalamannya yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pemilihan kepala desa, kadang juga sekadar bergurau. Setelah semuanya selesai proses penulisan etnografi ini dimulai. 2. Orang-orang yang dihubungi dalam penelitian Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa orang-orang yang didatangi dalam keperluan wawancara adalah orang yang terlibat di dalam pemilihan kepala desa di Gapura Tengah atau pun gapura Timur yang meliputi calon kepala desa, dukun, tokoh masyarakat, pantong dan panitia penyelenggara. Selain itu masih terdapat beberapa orang yang dihubungi yang menurut penulis mengetahui seluk-beluk pemilihan kepala desa baik yang berada di dua desa yang sedang diteliti atau pun tidak. Cara ini
24
dibutuhkan oleh penulis untuk menambah data yang diperoleh sebagai bahan perbandingan dari data yang ada. 3. Informasi yang digali dalam penelitian Dari calon kepala desa penulis mencoba menggali informasi tentang proses selama dia mencalonkan diri. Proses yang dimaksud adalah usaha yang dilakukan baik yang berkaitan dengan dunia fisik atau pun non-fisik (supranatural). Termasuk mengorek siapa saja dukun yang memegangnya selama masa pemilihan dan anggapannya tentang dukun itu sendiri. Sedangkan yang berkenaan dengan usaha fisik penulis mengorek strategi dan juga orang-rang yang terlibat dalam strategi itu sendiri baik sebagai konseptor atau pun pantong. Terhadap dukun penulis mendapatkan informasi proses mendapatkan ilmu perdukunan dan bagaiaman mempraktikkannya. Kaitannya dengan pencalonan kepala desa penulis mendapatkan informasi bagaiaman dia memihak salah satu calon dan membuang calon yang lainnya, jasa apa saja yang diberikan, hingga bagaiamana dalam menyikapi antara menang dan kalah. Sedangkan dari pantong, penulis mendapat informasi bagaiaman peranannya dan apa saja yang dilakukan selama dia menjadi seorang pantong dari salah satu calon. Informasi mengenai dunia perdukunan juga didapatkan dari mereka. Untuk tokoh masyarakat penulis menggali informasi mengenai tanggapannya terhadap dunia perdukunan yang sering kali terlibat dalam usaha pemenangan pencalonan dari calon kepala desa
25
itu sendiri dan sekaligus status perdukunan menurut hukum islam yang mereka pahami. Terhadap panitia pelaksana penulis juga mendapatkan informasi masalah dukun dan dampaknya terhadap kinerja mereka selama proses berlangsung, khususnya pada hari pemilihan. Selain itu penulis juga mendapatkan informasi tentang persiapan dan proses kepanitiaan dalam pemilihan kepala desa di Gapura Tengah dan Gapura Timur. Informasi lainnya yang berkatian dengan dukun dan pemilihan kepala desa juga penulis dapat dari beberapa orang yang kebetulan penulis temui dalam wawancara tak berencana.
26