BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Penelitian Agenda strategis untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang
makmur dan sejahtera, dilakukan secara terencana melalui suatu tahapan pembangunan. Konsep pembangunan jangka pendek, menengah, dan panjang, pada hakikatnya merupakan suatu rekayasa atau perubahan yang disengaja agar mendapatkan kondisi dan hasil lebih baik. Sebagai suatu konsep, sungguh disadari bahwa pembangunan merupakan konsep yang sarat dengan nilai (value loaded), sehingga sejak perumusan kebijakan, implementasi kebijakan, hingga evaluasi kebijakan bukanlah merupakan persoalan sederhana. Konsekuensi atas konstruksi demikian adalah, sejak awal harus sudah disadari bahwa pembangunan merupakan pilihan yang selalu memiliki karakter multidimensional (Moeljarto T, 1985: 16). Sesuai dengan karakter manusia sebagai makhluk multidimensional (M. Sastrapratedja, 1992: 27), maka pertanyaan-pertanyaan dan solusi di seputar pembangunan juga bernuansa menuju pembaharuan, penyempurnaan menuju sesuatu yang lebih baik dan berkelanjutan (sustainable development). Mengingat keragaman latar belakang suku, agama, ras, dan antargolongan (sara) di dalam masyarakat Indonesia, tampaknya pluralitas merupakan suatu keniscayaan yang tidak terbantahkan sebagai elemen yang perlu diperhatikan dalam pembangunan (Nurcholis Madjid, 1995: 82). Oleh karena itu semboyan ”bhineka tunggal ika” yang dicetuskan para pendiri bangsa beberapa tahun silam, selain memiliki pertanggungjawaban ideologis, seyogyanya juga dapat memberi
2
kontribusi pada kebutuhan praktis (AMW Pranarka, 1981: 62). Kebhinnekaan masyarakat Indonesia yang demikian kental, telah menjadikan setiap upaya memonopoli suatu kebenaran yang berwujud pemaksaan kehendak akan menghadapi resistensi yang kuat. Mengingat substansi pembangunan sejatinya diarahkan pada maksud membangun manusia secara utuh, telah menjadikan pembangunan fisik meskipun penting, dan demi kesuksesan pembangunan manusia. Atau dengan kata lain, pembangunan fisik harus mengabdi dan berorientasi pada penciptaan kondusivitas demi terbangunnya manusia sebagai makhluk bermartabat paling tinggi (Magnis Suseno, 1992: 138). Demikian rentannya proses penghargaan terhadap martabat manusia oleh manusia di dalam proses pembangunan, sebenarnya telah menjadi obyek pemikiran para cendikiawan di seluruh dunia. Dalam kerangka ini Soedjatmoko, Rektor PBB yang berkedudukan di Tokyo mengingatkan akan potensi dampak pembangunan dan teknologi yang dapat menciptakan dehumanisasi (Soedjatmoko, 1983: 17). Oleh karena itu sungguh rasional jika dalam suatu proses pembangunan, persoalan humanisasi, dan dehumanisasi menjadi sangat aktual untuk dibicarakan. Kepentingan pembangunan yang berorientasi penghargaan terhadap martabat manusia, tanpa kecuali meliputi seluruh umat manusia dan warga negara dalam segala tingkatan usia. Kebijakan pembangunan bermartabat manusia secara fungsional berlaku sama, antara penghargaan terhadap warga negara usia dewasa maupun warganegara usia anak-anak. Bahkan manusia dewasa wajib memberikan perlindungan terhadap manusia muda atau anak. Manusia anak harus ditempatkan
3
harkat dan martabatnya sebagaimana layaknya anak, sebab anak bukanlah konstruksi miniatur dari orang dewasa yang dapat diperlakukan sama dengan orang dewasa (JB. Mangunwidjaja, 1980). Corak multidimensional dalam pembangunan, di dalam aktualisasinya tidak dapat terhindar dari berbagai distorsi. Terciptanya kantong-kantong kemiskinan pada beberapa segmen masyarakat, baik kemiskinan harta, kemiskinan pendidikan, kemiskinan moral, dan kemiskinan teknologi, merupakan fakta yang dihadapi oleh beberapa daerah di Indonesia (Nasikun, 1995). Pembangunan yang by design bertujuan mengangkat dan melindungi martabat manusia, telah berdampak sebaliknya yaitu merendahkan manusia oleh manusia sendiri. Salah satu persoalan serius dan sangat meresahkan adalah dampak yang ditimbulkan dan berhubungan langsung terhadap nasib anak, yaitu berkaitan dengan perdagangan anak (child trafficking). Perdagangan anak yang terjadi di Indonesia telah mengancam eksistensi dan martabat kemanusiaan yang membahayakan masa depan anak. Sisi global, perdagangan anak merupakan suatu kejahatan terorganisasi yang melampaui batas-batas negara, sehingga dikenal sebagai kejahatan transnasional. Indonesia tercatat dan dinyatakan sebagai salah satu negara sumber dan transit perdagangan anak internasional, khususnya untuk tujuan seks komersial dan buruh anak di dunia. Korban perdagangan anak dari Indonesia pada umumnya didistribusikan ke Malaysia, Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab, Hongkong, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Singapura, dan Australia. Demikian pula sebaliknya, Indonesia sekaligus juga menjadi daerah perdagangan untuk
4
tujuan seks komersial dari negara-negara China, Thailand, Uzbekistan, Belanda, Polandia, Rusia, Venezuela, Spanyol, dan Ukraina. Ketidakmampuan Indonesia untuk menghapus perdagangan anak telah berdampak munculnya ancaman, akan dihentikan seluruh bantuan kemanusiaan dari dunia internasional terhadap Indonesia (U.S. Department of State Publication, 2005: 125-126). Menyadari bahwa anak adalah tunas, potensi, dan kelompok strategis bagi keberlanjutan bangsa di masa depan, maka pada dasarnya anak memiliki ciri-ciri dan sifat khusus yang harus dihormati, dipenuhi, dan dijamin hak-haknya. Anak harus terlindung dalam proses perkembangan dan kelangsungan hidupnya, sehingga terhindar dari diskriminasi, kekerasan, dan eksploitasi. Oleh karena itu, negara dengan segenap komponen, seperti pemerintah hingga masyarakat terkecil dalam keluarga, bertanggung jawab dan wajib menghormati, memenuhi, dan menjamin setiap anak agar terlindung dari praktik perdagangan orang. Karena itu diperlukan kerjasama seluruh pemangku kepentingan untuk mempercepat penghapusan perdagangan anak. Perdagangan anak sebenarnya sudah dikenal sejak 1949 sebagai bentuk dari kejahatan transnasional, dan sudah banyak dibicarakan dalam berbagai pertemuan tingkat global. Namun demikian dalam kurun waktu cukup lama tidak banyak negara menaruh perhatian serius untuk menghapus dan mencegahnya. Isu perdagangan anak baru mendapat perhatian secara serius setelah tahun 1994, dalam kaitannya dengan kejahatan organisasi internasional (Transnational Organization Crime, Desember 2002). Perdagangan anak disepakati sebagai masalah global yang harus dihapuskan dan dilakukan secara terorganisir oleh
5
seluruh negara. Untuk itu dimunculkan prosedur khusus dalam bentuk protokol Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk mencegah dan menghapus perdagangan anak. Komitmen penghapusan perdagangan anak ini dikenal sebagai Kesepakatan Palermo Italia tahun 2001. Kesepakatan penghapusan perdagangan anak sebagai isu global, sejalan dengan lingkup kesepakatan menghapus terorisme, penyelundupan senjata (arm smugling), peredaran gelap narkotika dan psikotropika (iliscit), pencucian uang (money laundry), penyelundupan orang (people smugling) dan perdagangan orang termasuk
anak
(child
trafficking).
Indonesia
telah
meratifikasi
dan
mengundangkan protokol PBB untuk penghapusan kejahatan transnasional tersebut. Saat ini sedang dalam proses ratifikasi protokol PBB untuk menghapus dan mencegah perdagangan orang termasuk anak. Pemerintah dan DPR RI sedang dalam proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Larangan Perdagangan Orang, termasuk larangan dalam perdagangan anak. Adanya peningkatan jumlah korban perdagangan anak di Indonesia, telah menempatkan Indonesia ke dalam kelompok negara yang dikategorikan tidak berbuat maksimal selama sepuluh tahun terakhir. Menyadari hal ini, Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 telah menetapkan suatu kebijakan yang bersifat akseleratif tentang penghapusan perdagangan anak. Berdasarkan Keputusan Presiden tersebut, maka penghapusan perdagangan anak dilakukan secara terorganisir, komprehensif, dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dengan prinsip utama, anak adalah korban. Untuk menterjemahkan formulasi tersebut dalam bentuk implementasi, maka dikembangkan jejaring
6
kelembagaan peduli anak. Demikian pula secara yuridis dimunculkan norma hukuman berat terhadap pelaku perdagangan anak. Materi Keputusan Presiden RI Nomor 88 tahun 2002 antara lain berisi: 1) Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN-P3A), sebagai aspek konseptual atau formulasi. 2) Pembentukan Gugus Tugas Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (GT-P3A) pada lingkup nasional, provinsi, dan kabupaten/kota, sebagai aspek operasional atau implementasi. RAN-P3A bertujuan untuk menghapus segala bentuk perdagangan anak melalui pencapaian 4 tujuan khusus yaitu: 1) Penetapan norma hukum dan tindakan hukum terhadap pelaku perdagangan anak. 2) Terlaksananya rehabilitasi dan reintegrasi sosial korban perdagangan anak. 3) Terlaksananya pencegahan perdagangan anak di keluarga dan masyarakat. 4) Terciptanya kerjasama dan koordinasi penghapusan perdagangan anak lingkup internasional, regional, nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Pada kenyataannya kebijakan nasional penghapusan perdagangan anak yang dilakukan oleh GT-P3A masih belum berjalan optimal. Jumlah kasus perdagangan anak dari tahun ke tahun ternyata makin meningkat. Berdasarkan data nasional, dari 2,9 juta Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia, sebanyak 10 persen mengalami masalah (290.000 TKW), dengan modus antara lain gaji tidak dibayar, paspor dan visa hilang, dianiaya, diperkosa, dan menjadi pekerja seks komersial. Sedangkan 10 persen dari TKW bermasalah tersebut (29.000 TKW),
7
dapat diklasifikasikan sebagai korban perdagangan. Data pemerintah pada tahun 2004 tercatat 619 yang disidik oleh kepolisian, dan 40 persen di antaranya telah diajukan ke pengadilan. Belum optimalnya implementasi GT-P3A sebagai kebijakan nasional, yang melibatkan peran serta pemerintah daerah pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota, ditengarai antara lain karena: 1) Adanya disparitas persepsi para pejabat yang berwenang terhadap kebijakan nasional penghapusan perdagangan anak. 2) Kurangnya dukungan sumber daya (resources). 3) Faktor lingkungan strategis yang dihadapi di tingkat operasional seperti berkembangnya perdagangan anak menjadi bisnis yang kuat dan lintas negara karena walaupun illegal hasilnya sangat menggiurkan (Kementerian Koor. Bidang Kesejahteraan Sosial, 2005). Pada umumnya korban perdagangan orang adalah TKW yang direkrut, dikirim, disekap, diiming-iming, dan ditipu daya dengan kekerasan dan eksploitasi menjadi buruh migran/TKW keluar negeri. Bentuk lain yang terjadi adalah penjualan bayi untuk diadopsi dan kepentingan tertentu, pengiriman wanita untuk kawin kontrak, pengantin kiriman banyak ke Taiwan dan Shanghai, sebagai objek penjualan organ, sebagai calon pengedar narkoba, dimasukkan ke dalam industri seks dan tempat hiburan, terkait pedophilia, dan berbagai modus operandi lainnya. Pemahaman atas deskripsi nasional persoalan perdagangan anak, akan semakin mendapat gambaran lebih valid berdasarkan pemahaman pada tingkat lokal atau daerah. Sebab persoalan yang dihadapi setiap daerah atas kasus-kasus
8
perdagangan anak tentunya tidak sama. Kabupaten Karawang sebagai lokus penelitian adalah berdasarkan pertimbangan realitas kuantitas dan kurun waktu satu dekade terakhir 1995/2005 ternyata kasus perdagangan anak yang berasal dari Karawang dan Indramayu sangat tinggi, laporan KBR Malaysia dari rata-rata 2600 korban perdagangan anak setiap tahun 64 % berasal dari daerah ini, selain itu beberapa data menunjukan bahwa kabupaten di pantai utara Jawa-Barat ini merupakan daerah pengirim TKW yang secara kuantitas menjadi korban perdagangan orang terbesar, selain itu laporan-laporan yang terungkap oleh satuan tugas penghapusan perdagangan anak Indonesia pun menyatakan bahwa Kabupaten Karawang telah lama dikenal sebagai daerah sumber tenaga kerja terbesar di Jawa Barat dan Indonesia. Namun demikian Kabupaten Karawang dalam waktu yang sama ternyata tercatat sebagai kabupaten penerima dampak terbesar terjadinya korban perdagangan anak khususnya untuk tujuan seks komersial dan buruh anak di mancanegara. Data terakhir pada tahun 2004 menunjukan terjadi pengiriman lebih dari 10.000 TKW ke berbagai negara khususnya Malaysia, Brunei Darussalam, dan Timur Tengah. Sebanyak 60 persen dari jumlah tersebut adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun, dan 20 persen di antaranya mengalami berbagai masalah, termasuk 10 persen diperkirakan menjadi korban perdagangan anak terutama untuk tujuan pekerja rumah tangga dan seks komersial. Pemerintah Kabupaten Karawang melalui GT-P3A seharusnya dapat melakukan upaya antisipatif untuk mencegah dan melindungi warga agar tidak menjadi korban perdagangan anak. Demikian pula sudah selayaknya pemerintah
9
Kabupaten Karawang melakukan upaya pelayanan publik korban perdagangan anak, sebagai bentuk hubungan pemerintah (yang memerintah) dengan rakyatnya (yang diperintah). Pada pelayanan publik tersebut seharusnya pemerintah daerah mampu memberdayakan jejaring kelembagaan publik perlindungan anak. Jejaring difokuskan pada tugas dan fungsi kelembagaan publik dalam penghapusan perdagangan anak di Kabupaten Karawang Dengan demikian maka peran pemerintah daerah menjadi sangat strategis dan menentukan, pemerintah daerah harus mempunyai pemahaman yang sama dengan jiwa dari Kebijakan nasional penghapusan perdagangan anak agar dapat diimplementasikan sebagaimana mestinya. Juga harus mampu menterpadukan semua faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan penghapusan perdagangan anak dan diarahkan agar dapat mempercepat penghapusan perdagangan anak. Data kabupaten Karawang menunjukan, meskipun RAN-P3A telah berjalan 4 (empat) tahun, namun kasus perdagangan anak belum juga dapat diatasi. Kasus yang disidik oleh kepolisian dan kejaksaan semakin bertambah, penanganan kasus belum terkoordinasi, pemulangan korban belum jelas siapa yang bertanggung jawab untuk membiayai, pencegahan di daerah pengirim baru dilakukan dalam bentuk proyek uji coba, kepedulian pemangku kepentingan termasuk kepedulian jaringan kelembagaan publik masih dianggap belum efektif. Oleh karena itu kelembagaan publik yang efektif dan memiliki kemampuan sumber daya serta kepemimpinan yang peduli anak, merupakan tuntutan yang sangat mendasar dalam mempercepat penghapusan perdagangan anak.
10
Mengingat demikian kompleksnya persoalan yang dihadapi pemerintah juga termasuk yang dihadapi oleh pemerintah daerah terhadap persoalan perdagangan anak, untuk itulah peneliti telah melakukan kajian berdasarkan pendekatan kualitatif deskriptif yang bersifat holistik. dengan menggunakan konstruksi kybernologi, yang secara konseptual mengutamakan penggunaan konsep
implementasi
kebijakan
publik,
konsep
Pemerintahan
termasuk
pemerintahan daerah, good governance, kelembagaan, dan konsep implementasi kebijakan publik menggunakan EVR sebagai alat analisis. Mengingat pokok bahasan adalah berkaitan dengan Implementasi Kebijakan Nasional Penghapusan Perdagangan Anak Di Kabupaten Karawang Provinsi Jawa Barat. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Cara demikian dianggap cukup bijak untuk mendapatkan data yang akurat pada suatu daerah dengan tipikal tertentu, mengingat adanya potensi hambatan mendapatkan data akurat karena adanya pertimbangan psikologis dan budaya. Telah digunakan kombinasi antara data primer dan sekunder. Untuk
mengungkapkan
gejala-gejala
yang
terjadi
dalam
mengimplementasi kebijakan penghapusan perdagangan anak secara kualitatif, khususnya
peran
pemerintah
daerah
sebagai
implementator
kebijakan
penghapusan perdagangan anak, dengan menggunakan model EVR Congruence (Environmental, Values, dan Resources) (Thompson, 1999:282), yang bermanfaat untuk mengungkap gejala terkait, berdasarkan parameter:
11
1) Lemahnya
dukungan
sumber
daya
yang
diperlukan
untuk
mengimplementasikan kebijakan penghapusan perdagangan anak. 2) Kondisi lingkungan ekonomi, sosial budaya, dan partisipasi masyarakat yang kurang kondusif terhadap implementasi kebijakan penghapusan perdagangan anak. 3) Kurang mendukungnya nilai-nilai sosial budaya masyarakat termasuk nilainilai dari kepemimpinan pemerintah daerah dan, organisasi kelembagaan yang peduli anak yang terkait dengan implementasi kebijakan penghapusan perdagangan anak. Keseluruhan hasil kajian pada akhirnya akan disusun secara sistematis dalam bentuk sebuah disertasi pada program strata 3 di Universitas Padjadjaran Bandung,
dengan judul ”Implementasi Kebijakan Nasional dan Peran
Pemerintahan Daerah dalam Penghapusan Perdagangan Anak (Studi di Kabupaten Karawang).”
1.2.
Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian, studi empiris pendahuluan dan studi
pustaka, peneliti mengidentifikasi beberapa permasalahan tentang Implementasi Kebijakan Nasional dan peran pemerintah daerah dalam Penghapusan Perdagangan Anak adalah: 1) Maraknya perdagangan anak dalam 10 tahun terakhir, dimasukkannya Indonesia sebagai negara sumber di dunia dalam perdagangan anak, di kelompokannya Indonesia ke dalam Tier 3 (negera yang tidak berbuat apa-apa
12
dalam 10 tahun terakhir dalam perdagangan anak) menjadi pendorong ditetapkannya
Keputusan
Presiden
Nomor
88
tahun
2002
tentang
Penghapusan Perdagangan Anak sebagai kebijakan nasional. 2) Namun
demikian,
sampai
tahun
2006
walaupun
Pemerintah
telah
mengeluarkan Kebijakan nasional penghapusan perdagangan anak selama empat tahun ternyata dalam implementasinya di tingkat kabupaten/kota belum diimplementasikan sebagai mana mestinya, sesuai dengan kebijakan nasional penghapusan perdagangan anak. 3) Belum diimplementasikannya Kebijakan Penghapusan Perdagangan Anak oleh pemerintah daerah kabupaten/kota diduga disebabkan oleh adanya pemahaman yang berbeda terhadap isu perdagangan anak baik oleh pemerintah, pemerintah daerah maupun masyarakat dan diduga terjadi karena adanya perbedaan cara pandang dalam memahami makna perdagangan anak sehingga terjadi perlambatan dalam mengimplementasikan Kebijakan Penghapusan Perdagangan Anak. 4) Perlambatan implementasi penghapusan perdagangan anak di kabupaten/kota seperti yang terjadi di kabupaten Karawang ditunjukkan oleh belum tuntasnya penyusunan Peraturan Daerah tentang Penghapusan Perdagangan Anak di Karawang; belum terbentuknya kelompok kerja penghapusan perdagangan anak; belum teranggarkannya biaya dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah untuk penghapusan perdagangan Anak; dan belum tersusunnya Rencana Aksi Daerah Kabupaten Karawang dalam menghapus Perdagangan Anak.
13
5) Perlambatan implementasi kebijakan penghapusan perdagangan anak di Kabupaten Karawang diduga disebabkan oleh lemahnya dukungan sumber daya (resources), kondisi lingkungan sosial budaya, ekonomi, dan partisipasi masyarakat yang kurang kondusif, dan tidak didukung oleh sistem nilai budaya, pemerintah daerah yang kurang peduli anak. 6) Perlambatan implementasi kebijakan penghapusan perdagangan anak juga diduga disebabkan oleh belum adanya kepemimpinan peduli anak yang mampu menterpadukan dengan baik antara faktor dukungan sumber daya, lingkungan strategis dan partisipasi masyarakat, serta faktor nilai sosial budaya, termasuk faktor kepemimpinan yang peduli anak. 7) Perlambatan implementasi penghapusan perdagangan anak di Kabupaten Karawang diduga juga terkait dengan suksesi kepemimpinan pemerintah daerah dengan pergantian kepemimpinan Bupati dan pergantian para pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Karawang khususnya yang berkaitan dengan penghapusan perdagangan anak, sehingga peran Pemerintah Daerah belum optimal. 8) Apabila hal ini dibiarkan, maka dikhawatirkan jumlah korban akibat perdagangan anak akan terus meningkat dan dapat mengancam martabat dan kelangsungan hidup anak, sehingga anak yang tidak terlindungi akan semakin banyak. Dari beberapa identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, dan mencermati gejala perdagangan anak di Indonesia khususnya di Kabupaten
14
Karawang maka penelitian merumuskan pertanyaan penelitian (Research Question), yang akan menjadi objek kajian dan pembahasan secara kualitatif dalam studi lapangan, yaitu: 1) Mengapa
Kebijakan
Nasional
Penghapusan
Perdagangan
Anak
di
Kabupaten/Kota belum dapat diimplementasikan sebagaimana mestinya? 2) Mengapa Pemerintah Daerah belum dapat berperan optimal dalam mengimplementasikan Kebijakan Nasional Penghapusan Perdagangan Anak? 3) Bagaimana
agar
peran
Pemerintah
Daerah
optimal
dalam
mengimplementasikan Kebijakan Nasional penghapusan Perdagangan Anak, sehingga Perdagangan Anak dapat terhapus?
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian Untuk
mengetahui
bagaimana
implementasi
kebijakan
nasional
penghapusan perdagangan anak dan mengetahui peran pemerintah daerah dalam implementasi kebijakan nasional penghapusan perdagangan anak; mengetahui faktor-faktor apa saja yang diperlukan untuk implementasi kebijakan penghapusan perdagangan anak.; dan mengetahui kondisi EVR lingkungan strategis (environment), faktor nilai-nilai (values), dan sumber daya (resources) dalam implementasi kebijakan penghapusan perdagangan anak.
15
1.3.2. Tujuan Penelitian 1) Mengkaji implementasi kebijakan nasional penghapusan perdagangan anak. 2) Mengkaji peran pemerintah daerah dalam penghapusan perdagangan anak sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan. 3) Mengkaji faktor-faktor yang diperlukan dalam mengimplementasikan kebijakan penghapusan perdagangan anak. 4) Mengkaji kondisi EVR lingkungan strategis (environment), faktor nilai-nilai (value), dan sumber daya (resources) dalam mengimplementasikan kebijakan penghapusan perdagangan anak.
1.4.
Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini secara komprehensif berfungsi sebagai filter
dalam memformulasikan produk keilmuan baik dalam tataran akademis, praktis, maupun politis. Oleh karena itu kegunaan penelitian dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Kegunaan
Akademis:
hasil
penelitian
dapat
dikontribusikan
bagi
pengembangan keilmuan berdasarkan kaidah-kaidah ilmu pemerintahan, khususnya terhadap implementasi kebijakan publik dalam penghapusan perdagangan anak. 2) Kegunaan praktis hasil penelitian ini diharapkan menghasilkan rumusan bagi bahan
rekomendasi
untuk
pemerintah
kabupaten
Karawang
mengimplementasikan kebijakan penghapusan perdagangan anak.
dalam
16
1.5. Metode Penelitian Pada penelitian ini untuk memberikan pemaknaan terhadap fenomena dan permasalahan yang terjadi digunakan penelitian kualitatif karena dengan penelitian kualitatif dapat diperoleh prinsip-prinsip umum yang mendasari wujud suatu gejala yang ada dalam kehidupan sosial manusia. Penelitian kualitatif sangat cocok untuk mengungkap masalah-masalah yang bersifat kasuistik seperti perdagangan anak, masalah masalah yang berkait dengan keperilakuan dan sikap, masalah sosiologi, serta masalah pemerintahan yang non prediksi sementara pendekatan kuantitatif pusat perhatiannya pada gejala-gejala yang mempunyai karakteristik tertentu dalam kehidupan manusia yang disebut sebagai variabel. Menurut Prof. Parsudi Suparlan, Antropolog dari Universitas Indonesia (Suparlan, 1994:24) pada pendekatan kuantitatif, hakekat di antara variabelvariabel dianalisis dengan menggunakan teori objektif. Sementara itu, dalam pendekatan kualitatif yang dianalisis bukan variabel-variabelnya, melainkan hubungannya dengan prinsip-prinsip umum dari satuan-satuan gejala lainnya dengan menggunakan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Hasil analisis dianalisis lagi dengan menggunakan seperangkat teori yang berlaku. Dalam pendekatan kualitatif, peneliti menggunakan metode penelitian pengamatan terlibat, wawancara semi terstruktur, dan menggambar.