BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Ketertarikan Latar belakang subjektif memilih penelitian ini adalah karena jatuh cinta pada perkenalan pertama dan kedekatan emosional dengan khazanah sastra Melayu sebagai insider. Pilihan penelitian berdasarkan alasan akademik antara lain karena belum ada peneliti yang sepenuhnya tertarik meneliti konteks suara, magi, pergelaran, dan estetika lantunan suara dalam koba.1 Khusus untuk sastra lisan koba, pernah dilakukan empat kali penelitian, antara lain oleh; 1)Will Derks (1992)2, 2)Edi Ruslan Pe Amanriza, Tenas Effendy, & Sudarno Mahyudin pada (1990), 3)Alang Rizal, Hukmi, Jefri al Malay, Zuarman Ahmad, & SN Mayasari (2008), 4)terakhir oleh al-azhar & Zuarman Ahmad (2009)3. Sayangnya, peneliti sastra lisan Nusantara cendrung terseret arus avan-garde kajian-kajian literacy ketika meneliti sastra lisan di lapangan, sehingga aspek kelisanan yang sebenarnya tidak dijamah dengan baik.
1.2. Kajian-Kajian Sastra Lisan Dalam Perbandingan Wilhemus Anna Gerardus Derks, meminta Tuk Ganti Rabun membawakan koba Panglimu Awang (untuk selanjutnya saya sebut PA) selama dua malam, dan 1
Koba di Sungai Rokan pernah diteliti hanya seputar sastra, nilai-nilai, dan sedikit menyentuh tentang musik. (Lih. Derks 1991 & Setah 2009)
2
Penelitian Derks dimulai tahun 1988 (Derks 1992;01). Hasil penelitiannya diterbitkan dalam bentuk kitab-khatam-kaji berjudul The Feast of Story Telling (on Malay Oral Traditions), Leiden, 1994 (737 Hal.).
3
Penelitian ini dilakukan oleh al-azhar dan Zuarman Ahmad, namun atas kesepakatan kedua peneliti tersebut nama Setah dimasukkan dalam deretan paling awal dari nama penelitinya. Senyatanya, Setah terposisi sebagai subjek penelitian, bukan sebagai peneliti.
1
Pak Taslim melantunkan koba PA selama tiga malam4. Derks tidak menggunakan pendekatan antropologis, ditandai dengan tidak mengandalkan metode in-depth interview dan participant observations, tidak melakukan klarifikasi ulang klaimnya pada informan, bahkan tidak merasa perlu mengamati relasi koba dengan pola sosial-budaya masyarakatnya. Kerangka pembahasan dan analisis difokuskan untuk memenuhi desakan kaidah literacy. Derks hanya menganalisis konstruksi tubuh mati koba PA, menghindari penutur, mengelakkan keterlibatan aspek pertunjukan, dan lebih memilih untuk menjelajahi belantara teks transkripsi kelisanan koba PA.
[Photo 02] Pak Taslim bersama Will Derks saat mempersiapkan prosesi upacara tamat koba PA di Kubu Manggih tahun 1987. (Dok. Pak Taslim)
William A. Collins5 melakukan penelitian sastra lisan geguritan di Basemah Sumatra Selatan, menggunakan teori oral-formulaik untuk mengamati skematik pola-pola dan peringkat komposisi dalam tataran plot. Transkripsi geguritan diberi notasi-notasi makna kata-kata Basemah yang dianggapnya penting untuk dijelaskan lebih lanjut. 4
The first one, chanted by Pak Ganti, I recorded on tape in Pekanbaru, the capital of the Indonesian province of Riau (Sumatra), on the night of November thirteenth and fourteenth, 1988. Exactly one mounth later I recorded the second version, chanted by Pak Taslim, in a hamlet near Pasir Pengarayan, a small town about a hundred kilometers west of Pekanbaru. This second performance lasted for three nights. (Derks 1994;01)
5
Hasil penelitiannya diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul The Geguritan of Radin Suane, a study of the Basemah oral epic from South Sumatra (Collins 1998).
2
Pak Tenas Effendi menulis tentang sastra lisan Petalangan Bujang Tan Domang yang oleh Chambert-Loir dinyatakan sebagai kerja dokumentasi teks sastra lisan Melayu Petalangan menuju keberaksaraan (Effendi 2008;07). Penyusunan Bujang Tan Domang melibatkan upaya kerja keras 37 tokoh Petalangan yang berkompetensi mengumpulkan kembali sisa remahan sastra lisan Bujang Tan Domang yang sudah berkecai-kecai. Menurut Chambert-Loir, Pak Tenas telah memilih sebuah pendekatan yang cukup luar biasa, yaitu berusaha menyusun cerita yang sempurna dan pantas dianjungkan sebagai korpus karya kelisanan Melayu yang dapat dijadikan sebagai dasar perbandingan yang sangat kaya dengan teks tradisi tulisan sehingga layak memperoleh perhatian para filolog (Effendy 2008;08). Namun, jangan berharap akan menemukan hidangan tertulis yang detail, fokus, dan komprehensif tentang bagaimana sastra lisan ini dilantunkan, bahkan penuturnya raib tidak diketahui hingga hari ini (Rizal 1996). Satu rentang penelitian koba pernah dilakukan Ediruslan Pe Amanriza, Pak Tenas Effendy, & Pak Sudarno Mahyudin di Rokan Hilir tahun 1988/1989. Sayang, tidak banyak yang dilakukan ketiga peneliti ini pada sastra lisan koba, selain hanya menuliskan pengantar keterangan-keterangan ringkas dan umum tentang sastra lisan Melayu di Riau. Tidak ada informasi jelas dan detail tentang koba, selebihnya didominasi teks transkripsi sepuluh judul cerita koba dari seorang penutur bernama Muhammad Majid. Mustafa Mohammad Isa meneliti tentang sastra lisan Awang Belanga Penglipur Lara Dari Perlis tahun 1987 (201 Hal.). Kajiannya bertolak dari permasalahan pendokumentasian sastra lisan yang dilakukan pegawai pentadbir Inggris semasa, dilanjutkan oleh Bahagian Penyelidikan dan Pengembangan Bahasa/sastra Dewan Bahasa dan Pustaka Kuala Lumpur, hingga tahun 1975 sukses merekam lebih dari 600 cerita lisan. Keberhasilan itu diperkuat pula oleh sokongan kerja individual Zakaria Hitam (Pahang) mengumpulkan sekitar 280 cerita pada tahun 1975. Kritikan Isa
3
terhadap kerja-kerja pendokumentasian itu adalah; (1)terjadi penyuntingan naskah kelisanan, (2)terjadi perubahan pada cerita-cerita lisan sehingga tidak asli lagi6, (3) prosedur pendokumentasian tidak transparan sehingga diragukan keabsahannya. Pada tahun 1977, Universiti Kebangsaan Malaysia melakukan pengajian ilmiah terhadap cerita rakyat, namun menurut Isa tidak satupun mengaji tentang sastra lisan penglipur lara Melayu, bahkan Isa mengkritik hasil-hasil penelitian tersebut ringkas dan ringan, hanya menyentuh beberapa aspek dengan tujuan tertentu saja (Isa 1987; viii & ix). Isa berupaya menjelaskan perihal Mahmud bin Wahid sebagai penutur Awang Belanga, mulai dari riwayat hidupnya, aktifitas kelisanannya, tentang silsilah pewarisan, proses Mahmud belajar Awang Belanga, tentang kepercayaan tradisional Melayu yang dianut Mahmud, menganalisis struktur cerita untuk melihat klasifikasi motifnya, juga deskripsi selintas pintas tentang mistisisme seperti menyinggung tentang perlunya membaca doa pemanis suara (Isa 1987;34). Isa belum menelusuri konteks suara dalam sastra lisan Melayu, sehingga banyak yang belum terjelaskan secara detail dan mendalam. Isa selangkah lebih maju dibandingkan pendahulunya. Sudirman Shomary pernah menulis makalah tentang sastra lisan Buwuong Gasiong Kampar, yakni cerita yang dinyanyikan, kadangkala diiringi dengan gendang (Shomary 1995). Menurut Shomary, ia menggunakan metodologi deskriptif tentang strukturalisme sastra lisan pada tataran morfologi cerita. Mak Herman Maskar adalah peneliti sastra lisan nyanyi panjang Petalangan yang paling produktif. Telah diterbitkan tiga buku hasil penelitiannya antara lain; Nyanyi Panjang Balam Penganjow, Analisis Kehidupan Masyarakat Petalangan Pangkalan Kuras (Maskar 2007); Nyanyi Panjang Sutan Pominggie, Tradisi Lisan 6
Antara usaha-usaha yang telah dijalankan oleh pegawai-pegawai pentadbir Inggeris itu ialah: pertama, cerita-cerita yang mereka karang semula seperti Hikayat Awang Sulung Merah Muda, Hikayat Raja Donan, Hikayat Malim Demam, Hikayat Anggun Cik Tunggal dan lain-lain yang telah ditokok tambah atau disesuaikan dari segi isi dan bentuknya oleh penyuntingnya yaitu Raja haji Yahaya. (Isa 1987;vii)
4
Orang Petalangan di Riau (Maskar 2009); dan Nyanyi Panjang Lanang Bisai, Analisis Perspektif Gender (Maskar 2011). Dari garapan judul-judul buku tersebut dapat diterka arah penelitian yang dilakukannya. Penelitian koba paling mutakhir dilakukan Mak al-Azhar dan Pak Zuarman Ahmad terhadap sastra lisan koba Gombang Dang Tuongku yang dilantunkan Wak Setah7 di Kunto Darussalam, Rokan Kiri. Kerja analisisnya difokuskan pada aspek nilai-nilai dalam koba Gombang Dang Tuongku. Untuk apresiasi dan menghormati pelantun koba Dang Tuongku tersebut, nama Wak Setah diletakkan paling muka dari baris deret nama-nama penelitinya. Publikasi penelitian tersebut diberi judul Dang Da Gandu Nai, Koba Gombang Dang Tuongku (Setah 2009). Penelitian koba ini juga tidak terlalu fokus memperhatikan pertunjukan, eksistensi suara, dan magi dalam koba. Walaupun telah diupayakan menyentuh koba dari sudut pandang musik, namun hanya menyertakan keterangan teori musik secara umum dan sekilas. Pada tahun 1995/1996, Pusat Pengajian Melayu Universitas Islam Riau (PPMUIR) bekerja sama dengan pemerintah provinsi Riau melakukan identifikasi terhadap penutur sastra lisan Melayu di Riau. Hasil pemetaan ini cukup penting artinya bagi usaha-usaha pengkajian sastra lisan di Riau, karena telah berhasil menemukan 185 penutur sastra lisan, menyertakan data pribadi penutur sekaligus sinopsis singkat cerita yang dilantunkan. Hasilnya dipublikasikan dalam terbitan berjudul Peta Sastra Lisan Melayu di Riau. Pada tahun 2008, pekerjaan PPMUIR itu dilanjutkan oleh Mak Alang Rizal, melibatkan Hukmi, Jefri al Malay, Pak Zuarman Ahmad, dan Mayasari. Dilakukan kerja verivikasi, sehingga tereliminirlah beberapa nama dalam direktori lama yang dianggap kurang layak. Jumlah penutur edisi revisi 2008 bersisa hanya 141 orang, sekaligus di dalamnya telah ditambahkan 7
Wak Setah, nama sebenarnya Ketah, lahir tahun 1922 di Koto Intan, Kec. Kunto Darussalam, Rokan Hulu. Wak Setah buta aksara latin, namun beliau menguasai koba antara lain, 1)Koba Duli Tuanku, 2)koba Ali Amat, 3)koba Bujang Jauh, 4)koba Punai Anai, 5)Koba Tapah Godang, 6)koba Siti Manah, 7)koba Tak Tedo, 8)koba Concang Pua, 9)koba Sutan Bano, 10) Koba Tungga Junjungan. (Setah 2009;39 & 46)
5
nama-nama penutur temuan terbaru. Terakhir, kita lanjutkan ke buku-buku sastra lisan Nusantara terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam rangka melaksanakan Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia, atas dasar kerja sama pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi. Melakukan kerja penelitian sastra lisan menjangkau hampir ke seluruhan belahan Nusantara mulai dari Aceh hingga Papua. Bertujuan untuk mengumpulkan dan mengalihbahasakan sastra lisan dalam bentuk dokumentasi teks ke dalam bahasa Indonesia tulis, menggunakan analisis deskriptif kategoris dan klasifikatoris, terkadang menggunakan metodologi struktural atau fungsional sederhana. Terbitannya cendrung bertujuan positivistik sesuai dengan argumen-argumen pemerintah semisal, mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan kuantitas keberaksaraan, mendongkrak minat baca, menginput tambahan wawasan pengetahuan pada para pembaca, dan menyediakan buku-buku bermutu. Dalam satu kata pengantarnya Hasan Alwi8 menyatakan bahwa masalah bahasa dan sastra di Indonesia berkenaan dengan tiga masalah pokok, yaitu masalah bahasa nasional, bahasa daerah, dan bahasa asing. Ketiga masalah pokok itu perlu digarap dengan sungguh-sungguh dan berencana dalam rangka pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia (Tarno 1993).
1.3. Latar Belakang Permasalahan Suatu ketika, Pak Taslim pernah menjulurkan pernyataan bernuansa emosional; pada dasarnya semua cerita memang bisa direpresentasikan dengan cara nyanyian atau di-koba-kan. Pernyataan ini memancing reaksi, klaim, dan tanggapan bahwa Pak Taslim adalah seorang kreator dan komposer ulung. Saya anggap klaim asumsi klasik itu lahir dari perspektif komparatif sepintas lalu antara Wak Setah yang buta 8
Hasan Alwi (ahli bahasa Indonesia), pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sekarang Pusat Bahasa) antara tahun 1992-2001.
6
huruf dianggap cendrung lebih otentik (tradisi) murni mimesis dibandingkan Pak Taslim yang pandai baca tulis latin (bias keberaksaraan). Tuduhan dan kritikan lebih pedas dilancarkan secara sembunyi-sembunyi oleh beberapa pecandu koba yang tua-tua. Menuduh Pak Taslim pandai mòmpòtukang (modifikasi arbritrer), sekaligus meremehkan audiens zaman sekarang yang suka hati menelan mentahmentah pergelaran baru hidangan Pak Taslim. Bahkan, beberapa tukang jopuik koba profesional yang pernah berkolaborasi dengan Niek Debul atau Usup Awang menyatakan keberatannya tampil menjadi tukang jopuik koba pada pertunjukan Pak Taslim dengan alasan tidak bersesuaian lagu dan gaya lantunannya. Nihilisme kreatifitas adalah hal yang mustahil dalam peradaban manapun, apalagi untuk urusan seni. Manusia memiliki potensi-potensi kognitif9 dan tidak hidup begitu saja di tengah tengah alam seperti hewan, melainkan selalu mengubah alam itu (Peursen 1976;10), atau menikmati alam menggunakan kebudayaan yang diproduksinya. Tradisi atau kebudayaan bukanlah sesuatu yang tak dapat diubah, karena manusialah yang membuat dan menciptakan tradisi itu; ia menerimanya, menolaknya, atau mengubahnya secara individual maupun atas konvensi komunal (Peursen 1976;11). Sartre bersikeras bahwa semua pengetahuan seharusnya dialektis, bergerak maju, berubah dan melampaui diri, lalu menolak kemungkinan atas pengetahuan 'analitis', sistematis dan stabil (Badcock 2008). Pernyataan Sartre itu dibenarkan oleh Levi Strauss, namun menurut dia, bentuk pengetahuan dialektis sesuai bagi manusia yang selalu bergerak maju menempuh waktu, melintasi sejarah, menggunakan pengetahuan yang tersistematis, formal, dan analitis, merumuskan visi ideologisnya menggunakan karakteristik-karakteristik mental yang pada hakikatnya universal, berulang, dan tetap (Badcock 2008;136). Manusia mempunyai 9
The domain of cognitive psychology spans the entire spectrum of conscious and unconscious mental activities: sensation and perception, learning and memory, thinking and reasoning, attention and consciousness, imagining and dreaming, decision making, and problem solving. Other topics that fascinate cognitive psychologists include creativity, intelligence, and how people learn, understand, and use language. (Encarta Reference Library 2005)
7
kemampuan kuat untuk belajar, kelenturan, dan ketergantungan ekstrimnya pada jenis kegiatan belajar tertentu, selain kemampuannya untuk memilih (Geertz 1973). Any particular song is different in the mouth of each of its singers - Its clearness of outline Derks depend upon how many times he sings it; wheter it is an established part of his repertory or merely a song which he sings occasionally. (Lord 1960;100)
Bangsa Melayu memiliki puluhan ribuan naskah sastra yang tersebar di Nusantara, bahkan ke seluruh penjuru dunia. Dikoleksi secara pribadi maupun oleh instansi pemerintah dan museum.10 Fakta kuantitas itu bertolak belakang dengan realitas kekinian berkenaan dengan semakin berkurangnya pelaku tradisi lisan kita dari hari ke hari. Bila demikian, maka peluang kesempatan mengadakan penelitian langsung di lapangan pada pertunjukan sastra lisan dan penuturnya tentulah akan semakin kecil. Sehingga akhirnya nanti, ketika para pelaku kelisanan dan pusat ingatan telah berpulang ke tanah asalnya, artunya kita hanya berpeluang merekareka sesuatu di atas konstruksi tubuh mati sastra yang lahir dari kekuatan kelisanan tersebut. Alasan inilah yang menyebabkan saya bersigegas melakukan penelitian ini, dan menekankan pada soal kreatifitas, suara, dan magi dalam pergelaran koba PA yang dilantunkan Pak Taslim.
1.4. Kerangka Pemikiran Kata kunci yang ingin dilihat dalam penelitian ini ada pada diksi penelusuran kreatifitas. Kreatif berasal dari serapan bahasa Inggris. Menurut Kamus Encarta, makna kreatifitas adalah; cre·a·tiv·i·ty (noun) 1)being creative: the quality of being creative, 2)imaginative ability: the ability to use the imagination to develop new and original ideas or things, especially in an artistic context cre·a·tive (adjective) 1)able to create: able to create things, 2)new and original: using or showing use of the imagination to create new ideas or things, 3)a creative 10 Keberaksaraan sastra Melayu sudah mulai ditulis sejak abad ke-7 sampai abad ke-14 dan yang lebih muda tersimpan sekitar 8.000-10.000 naskah yang biasanya anonim. Orang-orang Eropa mulai mengenal adanya sastra Melayu sejak abad ke-17. Kajian ilmiah dilakukan terhadap sastra Melayu mulai pada akhir abad ke-8 hingga paruh pertama abad ke-19, akibat pegaruh meluasnya ekspansi penjajah ke Asia-Afrika. (Braginsky 1998;01)
8
approach to the problem of space ideas person: somebody who is responsible for coming up with new ideas and concepts for sales campaigns (informal) cre·a·tor (noun) somebody who creates: somebody who brings something into existence. (Encarta Reference Library 2005)
Untuk melihat kreatifitas, maka yang perlu diketahui adalah aspek-aspek kreatif dan pendukungnya, serta aspek penghambat atau anti kreatif. Cara analisis yang saya gunakan untuk melihat aspek-aspek kretaif tersebut adalah dengan pengkategorisasian dan klasifikasi berbasiskan teori formula dan formulaik11 Lord; Formula I mean 'a group of words which is regularly employed under the same metrical conditions to express a given essential idea. By formulaic expression I denote a line or half line constructed on the pattern of the formulas. By theme I refer to the repeated incidents and descriptive in the songs'. (Lord 1960;04)
Lord menggunakan formula-formulaik untuk menelaah epik Illiad and Odyssey12, Homer13. Berdasarkan teori tersebut saya mentransformasikan formulaformulaik untuk analisis pertunjukan koba yaitu, formula adalah; cara baku yang dipakai oleh tukang cerita, polanya sudah dikenal audiens melalui konvensi dalam masyarakatnya14. Formulaik adalah; cara tukang koba menciptakan variasi-variasi di atas formula untuk menciptakan daya tarik dan pesona dalam pertunjukannya15. Di dalam formula tentunya juga bermuatan aspek kreatif yang sudah baku dan dikenali 11 Teori formula-formulaik ini sudah lama dikenal dalam Islam. Formula sama dengan istilah 'asl' (asli/akar); sesuatu yang dibangun atas dasar asl itu sendiri, dikenal juga dengan istilah ushul-fiqih. Formulaik sama dengan 'far' (cabang); sesuatu yang dibangun di atas asl (Mahali ;03). Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim bin Ahmad al-Imamm al-Allamah Jalaluddin al-Mahalli (seorang mufasir/ahli tafsir), tahun 791 H/1389 M di Kairo, Mesir. 12 Iliad adalah epik tentang perang antara pasukan Troy dan Yunani. Diperkirakan terjadi pada abad ke-13 atau ke-12 SM, berlangsung di sekitar Dardanelles (sekarang Barat Laut Turki) (Rachmatullah, A. 2010;vi) Odyssey adalah bentuk lain epik Homer, tentang seorang raja dari Itacha dalam perang Troy. Diperkirakan ditulis oleh Hommer pada abad ke-8 SM (Encarta Refrence Library). 13 Hommer adalah nama yang ditujukan untuk pengarang epik Iliad dan Odyssey. 14 1)plan or method: a plan for or method of doing something, 2)method of doing something: a prescribed and more or less invariable way of doing something to achieve a particular end, 3)established form of words: an established and recognized form of words, for example, in a ceremony or legal document. (Encarta Reference Library 2005) 15 1)expressed as formula: having the nature of or expressed in terms of a formula, 2)unoriginal: unoriginal and reliant on previous models or ideas. (Encarta Reference Library 2005)
9
dalam suatu lokalitas di tempat pertunjukan seni seperti koba itu. Dibangun oleh suatu kesepakatan lokal yang terterima begitu saja atau terwariskan. Sedangkan formulaik sudah melampaui formula, dan sangat identik dengan upaya-upaya yang lebih diperkaya oleh aspek kreatif dan kekuatan potensi karakter individual si tukang cerita. Antara formula dan formulaik memang sulit untuk dipisahkan, sehingga saya akan menyebutnya formula-formulaik. Apabila muncul sesuatu yang benar-benar baru akan saya sebut neoformulaik; yakni sesuatu yang benar-benar baru, ditandai dengan tidak familiarnya audiens terhadap formula dan formulaiknya. Dalam pertunjukan koba ada tiga kategori penting, yakni; 1)teks (cerita), 2) suara (lantunan), 3)peran alat musik (babano). Selain itu kreatifitas selalu berelasi dan terbangun oleh; 1)audiens16, 2)kebudayaan dan masyarakatnya17, 3)waktu dan tempat18, 4)peran teknologi modern19. Aspek suara penting dalam sastra lisan20, berbeda dibanding body language, apalagi dengan keberaksaraan21. Meskipun Sweeney berupaya mengingatkan adanya keterhubungan antara orality dan literacy, menyebutkan bahwa; "kebudayaan retorika adalah kebudayaan lisan berselubung tulisan" (Sweeney 1994:04), namun 16 Audiens koba terbagi dua; 1)audiens aktif atau disebut dengan istilah tukang jopuik koba, 2) audiens pasif, yakni pendengar yang tidak melakukan aktifitas keterlibatan langsung dengan pertunjukan. 17 Aspek kebudayaan yang mempengaruhi kreatifitas antara lain; 1)bahasa yang digunakan, 2) konvensi aturan adat dan pantang larang, 3)mistisisme. 18 Aspek waktu dan tempat sangat mempengaruhi proses kreatif seorang tukang cerita. Pengalaman dan pembelajaran pada masa lalu berperan mendukung ketersedian amunisi bagi tukang cerita. Situasi yang terbangun saat pertunjukan mempengaruhi keputusan-keputusan kreatif tukang cerita. 19 Salah satu bentuk teknologi modern yang sangat mempengaruhi aspek kreatif dalam koba adalah keterlibatan perangkat sound system. 20 Secara geneologi, bahasa lisan lahir dan melekat pada perangkat alat ucap secara langsung, dan tulisan bukanlah teman seimbang bagi tutur lisan. Tulisan direpresentasikan dari tangan→pena→dawat→ke kertas, dari tangan→palu→pahat→batu atau kayu, atau dari →tangan→CPU/layar→printer→kertas, dll. Bahasa lisan diwujudkan melalui satu kali aktifitas kerja yang dinamakan berucap, berkata, bertutur, menyanyi, melagu, bersenandung, menumbai, ber-koba dll., meskipun secara empirik akhirnya representasi lisan menghilang seiring runtuhnya saat-saat tutur itu. (Junaidi-Syam 2012b) 21 Basis oral selalu dibedakan dengan sesuatu yang tertulis; 'oral' is often contrasted with 'written'. (Finnegan 1992a;05)
10
saya dapat memahami makna selubung atas sesuatu yang diselubungi. Secara akademik ada istilah oral, orally, orality, oral formulaic, oral literature studies, oral tradition, folklore, dan verbal art. Muncul satu istilah baru menindaklanjuti istilah oral, yaitu oral-aural atau resepsi atas suara (Finnegan 1992a;15). Istilah yang terakhir ini erat kaitannya dengan alam pertunjukan sastra lisan, dalam bentuk ketertarikan pada retorik, teknik, dan estetika pertunjukan (Finnegan 1992;12). Selain soal oral-aural, Finnegan menyebutkan bahwa untuk sebuah penelitian sastra lisan perlu mengacu pada aspek pertunjukannya (Finnegan 1992a;118) mengacu pada interkonektifitas antara pelantun, lantunan, dan audiens. Meski demikian menurut saya tidak cukup hanya berhenti pada aspek pertunjukan saja, penting pula untuk melihat budaya dan masyarakatnya untuk melihat mentalitas komunal. Upaya ini untuk menghindari agar tidak terjebak hanya pada soal kreatifitas display pergelaran. Kreatifitas pertunjukan seni sastra lisan seperti koba dibangun oleh tukang cerita sebagai individu mandiri yang berelasi dengan sosial budayanya. Selain itu, komponen bathiniah tidak boleh diabaikan karena orang Melayu berdiri di atas kepercayaan mereka terhadap konsep-konsep mistis, yang tentu saja sangat mempengaruhi atau mendukung proses kreatif. Peranan estetika rasa yang penting dalam pembangunan bathiniah, antara lain sebagai sense of taste, sense of smell, sense of touch, sense of hearing, dan sense of sight (Tolstoy 1962:84). Menurut saya, aspek tersebut mirip seperti klasifikasi orang Melayu mengenai 'gerak, gerik, rasa, dan periksa' yang dikontrol dan dikendalikan oleh fikiran (mind), dikonsumsi oleh hati (heart), dalam bentuk getaran-getaran perasaan (fellings), diberi makna (value) baik secara individual (imagination) maupun komunal menggunakan sistem kebudayaan (conventions), untuk tujuan-tujuan menikmati (enjoyment and pleasure) atau memberikan pesona (enchantment), melibatkan peran taktis (technic), siasat (politic), dan keyakinan pada hal-hal yang tersembunyi (mythicism). Semuanya ini terkait erat dengan
11
konsep-konsep seni dalam memahami kaidah dan hakikat mistisisme Melayu. Sastra lisan koba berbeda dari aktifitas keseharian karena bersifat extra ordinary, cendrung dilebih-lebihkan (excessive) atau berkelebih-lebihan (exagérée) mengacu pada klasifikasi Eugenio Barba (2006;03, 05, 11, 17, 18, 19, 25, 32, 55, 59, 77, 78, 130, 133, 138, 187, 220, 262, 264, & 294) tentang extra daily dan virtuosity. Konsep Barba tersebut bersesuaian dengan teori formulaik Lord dilihat sebagai sesuatu yang berkelebihan. Pertunjukan koba yang tidak berformula-formulaik tidak dapat disebut sebagai pertunjukan ideal. Oleh sebab itu teori Lord tersebut penting digunakan untuk analisis, kemudian digabung dengan teori filler. fill·er (plural fill·ers) noun; (1)something that fills: somebody who or something that fills something, (2)plugging or coating substance: a substance used to plug a crack or cavity or smooth a surface before painting or varnishing , (3)substance added for bulk: a substance such as sizing that is used to fill spaces or add bulk or strength to a material, (4)press broadcasting less important material: something, often relatively unimportant, added to fill space, for example, in a newspaper or between items in a broadcast or performance (Encarta Reference Library 2005)
Filler dalam bahasa Melayu disebut juga solò (sela)22; imbuhan; tambahan; sisipan; cuplikan; tempelan; isian; tumpangan; atau hiasan. Lantunan koba kaya dengan filler-filler, oleh sebab itu saya berasumsi bahwa keunikan lantunan koba ada pada variasi ragam filler yang digunakan. Seandainya
aspek
pertunjukan
dijadikan
perspektif
untuk
melihat
kegandrungan audiens bertahan mendengarkan lantunan koba yang plotnya sudah mereka ketahui, maka pertanyaa Derks seharusnya terjawab23. Koba bukan sekedar soal plot, bukan sekedar eksistensi tukang cerita dengan repertoarnya, akan tetapi menyangkut dengan relasi-relasi yang terkait dengan situasi, kondisi, ruang, tempat, waktu, dan konsep-konsep mistis maupun logis. 22 sĕla. I. Interval; intervening space; section. Di-sĕla: alternated; Pet. Ayam 87. S. pukang: perineum; point of junction of the lower limbs; Panj Sg. Tiada bĕrsĕla: uninterrupted; continuous; Bur. Pungg. 18, Mal. annals 62. Di-sĕla-sĕla pĕti: in the compartments of the box; Ht. Panj. 90. Also(W. Sum.) sala. Cf. Panj. ĕlat, chĕlah, bĕlah, sĕlat. (Wilkinson 1932;406) 23 Yet they most eagerly listened for three long nights to unfolding of the story, which, after all the previous retellings they had heard, they certainly did not for the plot, so then, why did they listen? (Derks 1994;567)
12
Meskipun Wellek & Warren (1989:157) menandaskan pernyataan tentang ketertarikan membahas pengarang, lingkungan sosial, dan proses sastra, karena adanya karya sastra, namun saya anggap perlu sedikit pengisaran perspektif, bahwa dengan menganalisis pergelaran, tukang cerita, audiens, suara, peristiwa, dan mistisisme, diharapkan akan teridentifikasi soal realita budaya dan mentalitas masyarakatnya24.
1.5. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penting penelitian bertumpu tentang soal kreatifitas yang terkait dengan formula-formulaik, dilihat dari aspek pergelaran, suara, dan mistisisme; 1.
upaya kreatif seperti apa, dan aspek formula-formulaik, serta aspek pendukung apa saja yang dipakai untuk menciptakan daya tarik dan pesona dalam pertunjukan koba?
2.
apa saja aspek penghambat atau anti kreatif yang mempengaruhi proses kreatif, dan mengapa Pak Taslim gagal móralun mengikuti perubahan zaman?
3.
apa saja jenis magi yang dipakai oleh seorang tukang koba, bagaimana efek pengaruhnya, dan seperti apa alasan logisnya?
4.
bagaimanana hubungan kontek sosial dengan pergelaran sastra lisan koba di Sungai Rokan?
5.
adakah temuan terbaru dalam penelitian ini terkait dengan aspek kreatif, formula-formulaik, maupun soal identitas?
1.6. Metode Penelitian Penelitian ini mengandalkan penelitian lapangan menggunakan metode 24 Kreatifitas terkait dengan mentalitas individual tukang cerita yang tentu saja berhulu pada mentalitas masyarakatnya pula.
13
in-depth interview dan participant observiations. Realita empirik dan informasi dicatat, direkam menggunakan perangkat voice recorder lalu ditranskripsi, dan objek visualitasnya dibekukan dalam format photografi. Langkah-langkah kerja pengumpulan data antara lain; (1)survey lapangan untuk melihat ketersebaran sastra lisan koba dan pelantunnya di Rambah, (2)menetapkan informan utama, (3) memastikan kesediaan informan utama atas topik yang akan digarap, (4)menemukan dan menetapkan informan pendukung berdasarkan relasi, potensi, dan signifikansinya terhadap data utama, 5)memastikan kembali keberadaan data-data voice recorder yang pernah direkam sebelumnya, apakah masih layak digunakan sebagai data penelitian? (6)selalu ingat untuk membuat jadwal wawancara sebelum melakukan karena in-depth interview dan participant observation memerlukan rentang waktu penelitian yang relatif lama, intensif, dan berulang-ulang, (7)membacakan dan menjelaskan hasil analisis kepada informan utama (dialog antara peneliti dan tineliti) (Ahimsa-Putra 1997:26), untuk menghasilkan etnografi yang transparan, reflektif, dan beretika demi menghindari problematika konflik antara peneliti dan tineliti, selain berguna untuk menemukan isu baru dari informan, (8)mengandalkan kemampuan resepsi indra tubuh, (9)melakukan siasat 'wawancara semi tertutup temporer'. Pada awal-awal proses pengumpulan data, informan utama tidak perlu diberitahu tentang tujuan dan maksud penelitian, untuk meminimalisir bias politis berfikir informan. 1.6.1. Data lapangan Jenis data yang diperlukan adalah tentang; (1)pertunjukan koba,25 (2)tukang 25 Data yang sudah dimiliki antara lain; (1)kaset rekaman koba PA tahun 1994, durasi 810 menit, kondisi masih sangat baik, (2)koba PA PakTaslim tahun 2006 di lapangan Taman Kota Pasirpengarayan, (3)rekaman koba Pak Taslim selama 8 (delapan) malam tahun 2008 di Pasirpengarayan, (4)rekaman pertunjukan Pak Taslim di Km. 12 Pasirpengarayan, 10 April 2013, (5)rekaman koba-koba lepas yang dilakukannya di berbagai tempat dan kesempatan. Data tambahan yang perlu diramu dan digali antara lain; (1)rekaman repertoar sastra lisan Pak Taslim, antara lain; rekaman onduò atau timang anak, tumbai, dikie, bòrudah, sicuriang dan antau kopa, (2)penjelasan tentang identifikasi suara, gaya, lagu, konsep dan peristilahan yang ada dalam koba PA, (3)rekaman koba PA Cik Ani, (4) rekaman onduò/ timang anak, lòlògan, nyanyi Tak Tinam Tak Kuteteh, koba Cambai, koba Takul, koba Kak Mòngkatak, dan ratok (ratap).
14
cerita, (3)tentang suara dan para penggiat suara (4)tentang mistisisme Melayu. Data kualitatif dijadikan sandaran utama untuk menjawab pertanyaan, didukung data kuantitatif, referensi kepustakaan, dan data unik yang berasal dari konsepkonsep emik. Data-data sastra lisan selain koba juga diperlukan untuk melihat dan menjelaskan interelasi antara genre sastra lisan di Rambah dengan koba PA Pak Taslim. Sastra lisan Sicuriang, Tak Tinam Tak Kuteteh, koba Kak Mòngkatak, lòlògan, pantun, dan nyanyi Antau Kopa, yang praktik atau sifat teksnya berdialog saya gunakan untuk mendukung analisis pertunjukan koba yang juga dibangun dengan konsep dialog antara tukang koba dengan audiens sebagai tukang jopuik koba. Langgam gaya nyanyian ratok26 (ratap) asosiatif dengan lagu koba. Dikie panjang dan barzanji marhaban adalah genre sastra lisan islami yang dijadikan mazhab acuan untuk mempelajari ilmu olah suara. Untuk melihat mistisisme perlu data-data praktik dan konsep-konsep magi yang mereka pakai. 1.6.2. Data pustaka Data-data diperoleh dari informan utama, informan pendukung, dan catatan di lapangan saat pertunjukan koba berlangsung. Data-data pendukung untuk menjelaskan bahasa Melayu menggunakan dua refrensi utama; A Malay-English Dictionary (romanised) (Wilkinson 1932) dan Trombo Rokan; Ensiklopedia Alam, Manusia dan Budaya Melayu Sungai Rokan (Taslim 1996). Dua buku ini berperan memberikan penjelasan tentang konsep-konsep kuno dalam bahasa Melayu. Sebagian besar konsep-konsep mistisisme Melayu berasal dari sinkretisasi antara kepercayaan Melayu kuno dan ajaran Islam (tasawuf), maka diperlukan data manuskrip, Alquran, hadis, dan kitab tasawuf untuk mendukung analisis. Referensi kepustakaan terkait tentang koba atau sastra lisan Melayu 26 ratap. I Mĕratap: to lamnent (in Words and not only in tears and cries); cf. tangis, raung. Ia r., bĕrbagai-bagai r.-nya: they lamented, saying all kinds of sorrowful things; Sg. Samb. The actual Words of a ratap are gpertunjukan: Lang. Buana 5. The num. coeff. of ratap may be biji (Ht. Sh.) or buah (Ht. Panji 80). (Wilkinson 1932;317)
15
menggunakan; 1)The Feast Story Telling on Malay Oral Tradition (Derks 1994), 2)The Geguritan of Raden Suane (Collins 1998), 3)Dang Da Gandu Nai; Koba Gombang Dang Tuongku, Nilai-nilai Pendidikan Dalam Koba (Setah 2009), 4)A Full Hearing (Orality and Literacy in Malay World) (Sweeney 1987) & Malay Word Music, A Celebration of Oral Creativity (Sweeney 1994). Untuk mistisisme menggunakan; Therapi shamanis dan pemeliharaan batas-batas duniawiah di kalangan Orang Asli Riau (Sumatra) (Porath 2010), dan Untaian Kata Leluhur Marjinalitas, Emosi dan Kuasa Kata-kata Magi di Kalangan Orang Petalangan Riau (Kang 2010). 1.6.3. Batasan lokasi Lokasi penelitian dilakukan di Pasirpengarayan, Kec. Rambah, Kabupaten Rokan Hulu, Propinsi Riau. Dari ibukota provinsi Riau Pekanbaru berjarak lebih kurang 200 km, dapat dicapai menggunakan transportasi darat dalam kisaran waktu antara tiga hingga empat setengah jam. Kota ini berada pada jalur jalan raya lintas tengah Sumatra yang menghubungkan Riau dengan Sumatra Utara. 1.6.4. Batasan analisis Dari tiga kategori penting dalam pertunjukan koba, yakni; 1)teks (cerita), 2) suara (lantunan), 3)peran alat musik (babano), maka aspek teks plot cerita tidak akan saya analisis karena pekerjaan ini sudah dilakukan oleh Derks. 1.
analisis hanya dilakukan seputar kreatifitas suara, peran alat musik, soal relasi dengan audiens, keterkaitan dengan kebudayaan dan masyarakatnya, pengaruh waktu dan tempat, serta peran teknologi modern
2.
khusus untuk alat musik babano yang digunakan Pak Taslim, saya tidak akan menganalisis akustiknya27, akan tetapi perlu menganalisis konsepkonsep yang dilekatkan pada babano yang dianggap relevan untuk
27 Akustik; melodi (lagu), ritme, tempo, warna nada dll. (Nakagawa 2000;06)
16
mendukung kreatifitas pertunjukan koba
1.6.5. Batasan informan Informan utama adalah pelaku langsung sastra lisan koba PA yakni Taslim bin Faham gelar Datuk Mogek Intan (tukang koba). Domisili; Jl. Syeh Ismail 75, RT 03/RW 01, Desa Rambah Tengah Utara, Kec. Rambah, Kabupaten Rokan Hulu, Riau. Alasan memilih objek penelitian koba PA antara lain; (1)Pak Taslim adalah satu-satunya tukang koba profesional yang masih hidup di dalam kebudayaan Sungai Rokan saat ini,28 (2)aspek populer; intensitas permintaan audiens lebih tinggi dibandingkan judul koba lain29, (2) aspek pertunjukan; adanya keterlibatan audiens sebagai tukang jopuik koba30, (3) aspek endurance; durasi lantunan koba relatif panjang dan bersambung, dapat ditampilkan hingga delapan malam bahkan lebih,31 (4) aspek mistisisme; koba PA disakralkan oleh Pak Taslim32. Informan pendukung terdiri dari individu-individu yang terlibat sebagai tukang jopuik koba Pak Taslim atau menjadi tukang jopuik tukang koba pendahulu Pak Taslim 28 Pemilihan subjek ini berhubungan dengan aktifitas penelitian pendahulu yang lebih menekankan pada aspek teks cerita dan meninggalkan aspek individu tukang cerita. Jika Pak Taslim wafat, maka kajian yang bisa dilakukan hanyalah sebatas penelitian literacy seperti yang dilakukan Lord terhadap Homer, karena peneliti tidak dapat bertemu muka untuk melakukan in-depth interview. 29 Kegandrungan masyarakat terhadap koba PA menunjukkan bahwa Pak Taslim lebih leluasa bertindak kreatif dalam repertoar ini dibanding repertoar koba lain yang dimilikinya. Termasuk soal durasi yang panjang memungkinkan untuk berlapang-lapang untuk variasi kreatif. Koba PA memuat cabang-cabang dan ranting-ranting cerita yang lebih rimbun dibanding repertoar koba yang lain. 30 Tukang jopuik koba (penjeput koba) adalah pendengar koba yang mempunyai kemampuan melantunkan syair, ungkapan, pantun, sindiran atau mampu melantunkan bagian-bagian penggalan cerita koba dengan nyayian atau seperti lagu koba. Kehadiran pendengar seperti itu menghidupkan suasana penampilan koba. Kretaifitas dalam pertunjukan koba PA lebih hidup karena keterlibatan audiens aktif ini dibandingkan repertoar koba lain yang tidak ada formula interaktif. 31 Untuk memiliki endurance diperlukan kiat dan formula khusus, sekaligus akan mendukung daya tarik (enchantment) pertunjukan koba. 32 Penyakralan pertunjukan koba dapat mempengaruhi audiens, hal ini merupakan bagian dari aspek enchantment.
17
di masa lalu. Beberapa informan adalah individu-individu penggiat suara Melayu dan sekaligus guru ilmu suara Pak Taslim, pada umumnya mereka adalah pelaku dalam seni dikie, barzanji, atau sebagai qori tilawah alquran. Keterlibatan mereka menjadi informan pendukung karena mereka juga mengadopsi dan mengamalkan ilmu suara Melayu, karena tidak ada ilmu suara khusus untuk pertunjukan koba. Beberapa diantara mereka adalah audiens pecandu koba PA, keterlibatan mereka diperlukan untuk data-data tentang pertunjukan kreatif Pak Taslim. Nama dan gelar panggilan informan saya sertakan di sini untuk memudahkan klarifikasi data bagi peneliti selanjutnya. Informan pendukung tersebut antara lain; (1)Imam Idris Yahya bin Kotan/Tuk Imam Dirih (80 Th.), (Kampung Padang), tukang jopuik koba Debul Awang, dan guru dikie panjang Pak Taslim, (2)Rohani binti Muhammad Zein/Cik Ani (55 Th.), (Pematang Berangan), bisa melantunkan koba PA,33 (3)Abu Nawas bin Ahmad/Pak Nueh (57 Th.), (Pematang Berangan), suami Cik Ani, (4)Rohana binti Sorun/Cik Anuik (51 Th.), (Rambah Tengah Utara), istri Pak Taslim, (5)Abdul Khalid bin Ensong/Mak Olit (92 Th.), (Pasir Putih), tukang jopuik koba Debul Awang dan Usup Awang, ahli dikie (buta aksa Arab dan latin), (6)Ustad Buhori bin Khalifah Salih gelar Datuk Paduko Rajo/Pak Ustad Buhori (70 Th.), (Rimbo Botong), bisa ber-koba, (7)Mak Jasman bin Da'im/Mak Ijeh (56 Th.), (Talikumain), informan magi, (8)Udin Pangkas/Pak Udin Pangkas (51 Th.), (Muara Rumbai), qori tilawah Alquran dan imam masjid, (9)Abdul Qadir Jailani/Ustad Qodir (40 Th.), (Koto Tinggi), qori tilawah Alquran dan guru mengaji, (10)Rusman bin Haji Sohor/Pak Suman Klipah (58 Th.), (Kampung Torondom), ahli dikie panjang, (11) Hendri (32 Th.), (Kampung Nogori), qori tilawah Alquran, juga pernah belajar dikie panjang di Muara Rumbai, (12)Basirun (40 Th.), (Kampung Baru), penggiat 33 Keberadaan Cik Ani sangat penting untuk perolehan data-data tentang koba sebagai perbandingan atas lantunan-lantunan Pak Taslim, dan data-data mistisisme yang dimiliki Cik Ani berguna untuk melengkapi data-data mistisisme Pak Taslim. Cik Ani bukanlah tukang koba, akan tetapi hanya seorang tukang koba-koba atau orang yang bisa melantunkan koba. Bedanya, dibandingkan tukang koba-koba lainnya, Cik Ani berpotensi untuk menjadi tukang koba profesional.
18
suara dan informan petunang, (13)H Akmal Hanafi bin H Sya'ban/Pak Haji Kumal (49 Th.), (Pasir Putih), auidens koba, pernah menyaksikan duet Pak Taslim dan Tuk Ganti rabun di Kampung Nogori, (14)H Anis bin Sahak/Pak Haji Anis (70 Th.), (Pasir Putih), teman seperguruan Pak Taslim dalam seni dikie, (15)Kamsanah binti Renduih/Maktuo Sikam (80 Th.), (Muaro Pawan), guru mengaji Pak Taslim, (16) Sawiyah/ Kak Iyah (60 Th.), (Muara Rumbai), tukang kaba Cinduò Matò, (17) Bansa binti Sotie Polowan/Uak Bansa (95 Th.), (Tobieh), informan petunang, (18) Zainab binti Khalifah Salih/Uak Inab (90 Th.), (Surau Munai) Informan khusus diperlukan untuk melengkapi data dari informan pendukung soal informasi terbaru, karena mereka pernah melakukan penelitian yang terkait dengan koba; (1)al-Azhar bin Tengku Tua Abdul Karim gelar Orang Kayo Dermawan/ Mak Al (52 Th.), (Pekanbaru), sastrawan dan budayawan yang mempunyai kepedulian besar terhadap sastra lisan Melayu di Riau, Ketua Umum Dewn Pimpinan Harian Lembaga Adat Melayu Riau periode 2012 - 2017, (2)Zuarman bin Ahmad/Pak Zuarman (50 Th.), dosen, kondektur Bandar Serai Orkestra, peneliti koba Wak Setah, (3)Alang Rizal bin Tengku Tua Abdul Karim/ Mak Alang (50 Th.), dosen, peneliti sastra lisan Melayu, (4)Hukmi bin Mukhtar (37 Th.), dosen dan peneliti etno musikologi.
1.7. Metode Analisis Prosedur analisis menggunakan cara-cara sebagai berikut; (1)menetapkan tiga kategorisasi data yakni; tentang peristiwa pergelaran, suara, dan mistisisme, (2) membuat model-model untuk memudahkan penjelasan atas hasil analisis, (3)basis analisis menggunakan teori formula-formulaik untuk melihat aspek kreatifitas, dan metode interteks untuk menganalisis formula-formulaik mistisisme. Intertextuality' (the relation of one literary text to another, particularly as experienced by the reader/audience—a single text cannot be fully understood as an independent self-standing entity). Texts not only refer to but in fact contain other texts. (Gracia
19
1995, James 1986)
Lampiran sastra lisan diperlukan untuk mendukung analisis, terutama data laporan tentang pergelaran koba Pak Taslim di Koto Tinggi Km 12, Rambah Samo, 10 April 2013. Analisis dilakukan sambil lalu dengan cara menelusuri aspekaspek yang berhubungan dengan kreatifitas yang dapat diidentifikasi di dalam data yang telah dikumpulkan. Cara menganalisis sambil lalu dan menelusuri apa saja yang dapat diambil dari data-data tersebut akan membuat tulisan penelitian ini memerlukan data-data keterangan yang beragam semisal soal struktur, fungsi, fenomena, konsep emik, model-model asosiatif dan lain sebagainya. Data-data yang telah diseleksi merupakan persediaan informasi penting, ydisusun berdasarkan substansi, kategorisasi, klasifikasi, signifikansi, dukungan, maupun relasirelasinya terhadap fokus analisis untuk tujuan menjawab pertanyaan penelitian, sekaligus untuk mewujudkan penampilan etnografi yang eksplisit sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
1.8. Metode Penulisan Metode penulisan antara lain; (1)retorika penulisan dibangun berhiaskan konsep dan istilah-istilah emik, bertujuan untuk menyuguhkan keunikan etnografi. Pilihan ini belajar dari Porath ketika dia dianjurkan menghiasi desertasinya menggunakan bahasa lokal; al-Azhar memperkenalkan saya pada pentingnya memahami orang Melayu dan pemakai bahasa Melayu dari tradisi lisan mereka, dan saya kira diskusi-diskusi kami sangat jelas membayang dalam risalah ini. (Porath 2010;02)
(2)gelar sebutan atau panggilan lokal sengaja ditulis untuk memenuhi syarat etika adab dan sopan santun, mempertahankan konsistensi antara hadir dan tak hadir sebagai perwujudan paralelisasi antara situasi di lapangan dan representasi tulisan, membangun keseimbangan antara pertemuan empirik di lapangan dengan karya etnografi. Meminjam istilah Geertz (1959;194); "upaya ini bukanlah rekonsiliasi
20
modern-kolot", namun terkait dengan “belajar antropologi harus bermula dari diri sendiri (self) dan keintiman (intimacy)”. Cara ini pernah menjadi tren retorika penulisan di masa awal kemerdekaan, dengan menuliskan gelar-gelar seperti; engku Zain, Sdr. Koesbini, bung Karno dll., (3)menyertakan photo, grafik, bagan skematik, dan model-model, (4)menyertakan lampiran-lampiran transkripsi koba untuk dijadikan acuan untuk melihat pola formula-formulaik lantunan yang dibangun oleh Pak Taslim. Transkripsi tersebut ditulis berdasarkan cara baru yakni dengan bersandar pada pola cara bernafas tukang koba, bukan berdasarkan gramatikal, (5)tubuh tulisan dibagi menjadi enam bab, ditambah lampiran-lampiran; bab I, pendahuluan; berisikan penjelasan prosedural penelitian menurut standar akademik, pengantar wilayah dan sosial budaya masyarakat Sungai Rokan34, bab II, pengantar tentang koba mulai dari proses mengundang, saat pergelaran, hingga melakukan ritual menamatkan cerita. Selain itu memuat data tentang defenisi, konsep-konsep, peristilahan yang menjelaskan seputar koba, bab III, data-data tentang latihan-latihan mengasah kreatifitas pertunjukan koba PA, berhubungan dengan persoalan teknis, pewarisan, serta aspek aspek pendukung kreatifitas , bab IV, tentang smistisisme dan magi, bab V, kesimpulan.
1.9. Hambatan dan Kesulitan di Lapangan 1.
Melakukan wawancara dengan orang Melayu perlu diperhatikan betul arti makna ucapannya, karena mereka sering menggunakan bahasa kiasan, suka berandai-andai dan membuat perumpamaan, berpetatah petitih, berbidal, dan menyukai pemeo. Soal kebahasaan yang meragukan sebaiknya dikonfirmasi langsung, ditanyakan, dan mohon dijelaskan kembali. Khusus untuk konsepsi-konsepsi non logis
34 Pengantar wilayah saya masukkan ke dalam bagian terakhir bab I atas pertimbangan bahwa penjelasan-penjelasan yang dipaparkan diperlukan untuk panduan bagi pembaca agar lebih mengenali kebudayaan masyarakat Sungai Rokan bagian hulu, dan data ini tidak signifikan untuk dianalisis, yang jika dibuang tidak akan merubah apapun terhadap hasil penelitian.
21
(mistisisme) perlu ditanyakan secara mendalam untuk memperoleh kejelasan makna dan tujuannya 2.
kita mudah bertanya dan mendapat jawaban tentang koba dari generasi tua yang berumur enam puluh tahun ke atas, tanggapan mereka juga beragam. Tidak demikian halnya dengan kaum muda, mereka kesulitan memberikan keterangan, bahkan tidak memahami eksistensi dan hakikat pergelaran koba
3.
beberapa informan enggan memberitahu konsep mistisisme yang dimilikinya. Untuk keperluan ini peneliti harus berpolitik agar pengetahuan magi yang mereka gunakan dapat diungkap, setidaknya dengan cara meminta deskripsi dan keterangan-keterangan cara menggunakannya saja jika mereka tidak berkenan memberikan matra mantranya
4.
proses dan prosedur penelitian in-depth interview dan konfirmasi ulang hasil analisis pada informan tentunya menyita ketersediaan waktu informan. Peneliti harus mengandalkan keintiman menyeluruh pada keluarga besar informan, memerlukan kesabaran ekstra, dan penjadualan ketat yang terus menerus diperbaharui. Kemudahan penelitian ini berpangkal pada kedekatan emosional antara peneliti dengan informan, terutama karena hubungan kekerabatan. Meski demikian peneliti harus terbuka dan berterus terang bahwa pengetahuan magi yang telah dijelaskan itu akan dipublikasikan.
1.10. Hambatan dan Problem Analisis 1.
Tidak semua konsep mistisisme dapat dijelaskan menggunakan alasanalasan logis, karena mistisisme juga bermuatan data, fakta, dan realita yang non logis
2.
dalam menganalisis aspek mistisisme Melayu, memang selalu ada masalah
22
karena keniscayaannya selalu berakhir pada hal yang bersifat Ilahiyah, daya supranatural, dan alam transenden. Mistisisme seringkali digolongkan sebagai aktifitas non logis yang sulit dijelaskan, namun dampak magi itu ada yang terbukti dalam realitas empirik karena "the actor in myth are usually Gods are supernatural beings" (Eliade; 1968; 06 & 10). Oleh karena itu, saya akan melihat mistisisme dari sudut pandang logis dengan terlebih dahulu melihat formula-formulaik mistisisme tersebut 3.
metode analisis logis belum tentu dapat diterima oleh informan, untuk itu perlu pendekatan berbasis etika dan keintiman interpersona agar tidak menimbulkan konflik antara konsep akademis dengan konsep emik yang mereka yakini. Ini adalah soal perlunya membangun jembatan komunikasi antara peneliti dan informan
4.
hasil analisis logis terhadap konsep mistisisme berimplikasi kepada hilangnya nuansa mistis dan sakralnya magi tersebut, meskipun ada keyakinan pada diri saya bahwa informan tidak menolak perspektif tersebut
5.
metodologi pengumpulan data melalui pertunjukan pesanan akan memunculkan bias, karena tukang cerita terpengaruh oleh setting dan stressing permintaan peneliti. Meskipun kualitas lantunan bisa saja sama atau bahkan lebih baik dibandingkan pergelaran reguler, karena tukang cerita tergerak oleh motivasi khusus untuk mengoptimalkan kualitas pergelarannya
6.
terjadi analisis yang tidak bersesuaian dengan konsep emik, misalnya seperti yang dilakukan Derks menyebutkan bahwa Tuk Saeh Panjang Janggut Turun dari surga, hanya karena dalam lantunan Tuk Ganti menyebutkan; Turun ayahnyo lò tiò la dori langik (turunlah ayahnya dari langit)35 Apakah langit sama dengan nirwana? Ketika saya tanyakan
35 Diartikan oleh Derks; Then he fals asleep, tossing about on the mattress, and he has a dream in which his father, "syaikh Panjang Ganjuik" (sheikh longbeard), comes down from heaven to
23
langsung kepada Pak Taslim tentang hal ini, beliau mengatakan bahwa itu tidak benar36.
1.11. Tujuan dan Manfaat 1.
menyibak tabir dan selubung yang selama ini belum pernah disentuh oleh peneliti pendahulu, sehingga ditemukan hal-hal baru atau untuk menjawab pertanyaan yang dibuat oleh peneliti sebelumnya dan belum dijawab melalui fakta tertulis
2.
menyusun etnografi tentang teknik dan mistisisme olah suara Melayu beserta tata cara pengamalan dan penggunaannya, sehingga dapat dijadikan refrensi penting bagi praktisi seni maupun akademisi
3.
untuk tujuan strategi kebudayaan, sebagaimana yang pernah disarankan Margareth Mead (1976;37) dan Koentjaraninggrat (1959:139) tentang perlunya menanggapi dialektika 'dunia lama' dan 'dunia baru' maupun dalam kerangka strategi akulturasi kebudayaan (Peursen 1976;10), dan untuk membangun proyeksi masa depan seni dan berkesenian Melayu khususnya, dan lingkup berkesenian Indonesia pada umumnya, yang menurut Koentjaraninggrat (1959:173-174) harus diisi dengan 'jiwa baru' yang menurut saya bukan hanya sekedar memecahkan persoalan Nasionalisme, akan tetapi menumbuhkan rasa percaya diri dalam berkarya maupun kontestasi
4.
diharapkan lahir defenisi baru untuk menjelaskan koba, dengan melibatkan perspektif aspek suara, magi dan pergelaran koba. Defenisi koba yang beredar saat ini hanya berlandaskan pengamatan teks
draw his son's attention to princes named Gadih Kainam. (Derks 1994;617) 36 Menurut konsep emik langit dan surga itu tidak sama. Langit dianggap ruang yang lowong hampa, sedangkan surga adalah suatu tempat yang berisikan makhluk dan serba ragam kesenangan-kesenangan.
24
keberaksaraan, pergelaran, atau menyinggung sedikit tentang magi dan peristiwa pergelaran 5.
untuk mempublikasikan budaya masyarakat pemilik sastra tersebut (Ahimsa-Putra 2005 ; 09 & 10)
1.12. Pengantar Wilayah Rokan Hulu terletak di bagian Barat Laut Provinsi Riau, antara 1o,25” LU dan 0o,20” LS serta antara 100o,42” sampai 103o,28 BT, luas wilayah sekitar 646.317 km2. Sebelah Timur berbatasan dengan Kab. Kampar, Kab. Siak, dan Kab. Bengkalis. Sebelah Barat berbatasan dengan Prov. Sumatera Barat dan Prov. Sumatera Utara. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kec. XIII Koto Kampar dan Bangkinang Barat (Kab. Kampar). Sebelah Utara berbatasan dengan Kab. Bengkalis dan Kab. Rokan Hilir. Pasirpengarayan, ibu kota Kec. Rambah, sekaligus ibu kota Kab. Rokan Hulu, Provinsi Riau, pada mulanya hanyalah nama tempat pendulangan emas di tepian Sungai Batang Lubuh.37 Seketika di sekitar tempat itu berubah menjadi ramai tatkala Tengku Sutan Mayang bergelar Tengku Sutan Mahmud Raja Rambah ke XIII (1919-1927) pindah dari Negri Rambah di Sungai Kumpai38 ke dekat Pasirpengarayan, sekaligus mendirikan pusat pemerintahan kerajaan Rambah baru, diberi nama Nogori39/Babussalam. Kerajaan Rambah berdiri sama tinggi dengan empat kerajaan berdaulat lainnya yaitu Tambusai, Kepenuhan, Kunto Darussalam, dan Rokan IV Koto. Lima kerajaan tersebut dikenal dengan sebutan limo payong sòkaki (lima payung sekaki), artinya; 37 Sungai Batang Lubuh, nama salah satu cabang Sungai Rokan. Sungai Rokan adalah salah satu dari empat aliran sungai besar di Riau selain Sungai Siak, Sungai Kampar dan Sungai Kuantan. Lubuh artinya tidak bersih atau kotor, tapi penamaan ini juga berhubungan dengan sekelompok orang asli di Sungai Rokan dikenal dengan nama Orang Lubuh atau Orang Lubu. (Amin 1959) 38 Jarak Pasirpengarayan - Negeri Rambah di Sungai Kumpai sekitar 7 km lewat jalan darat. 39 Pemerintahan kerajaan Rambah berakhir karena kekuasaan Melayu itu mansuh sebab bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tahun 1945.
25
lima kerajaan di Sungai Rokan yang mempunyai kerekatan emosional berbasis adat Melayu. Bangsa Melayu Sungai Rokan terekam dalam catatan Majapahit, dalam Sejarah Melayu,40 kronik Eropa, dan Arab. Wilayah kekuasaan kerajaan disebut dengan istilah luhak. Pada masa kolonial, luhak-luhak digabungkan ke dalam landschappen dengan mengikutsertakan dua wilayah kewalian, yakni Tandun dan Kabun, yang berada di bawah kendali kontroleur H.C.E. Quast (Kalender En Personalia 1903;226). Pusat pemerintahan kolonial tersebut awalnya berkedudukan di Lubuk Bendahara sekitar tahun 1901, selanjutnya kontroleur pindah ke Pasirpengarayan tahun 1905 (Iljas 1951;01), mendirikan distric onderneming berkantor di tepi Sungai Batang Lubuh persis berseberangan dengan Nogori. Tempat itulah yang akhirnya bernama Pasirpengarayan, kekal dikenal sampai sekarang. Pasirpengarayan tempat mendulang emas itu tidak pernah lagi disebutsebut. Pada masa kekuasaan Jepang, ketujuh wilayah itu disebut kunco, antara lain Tambusai-ku, Rambah-ku, Kepenuhan-ku, Rokan IV Koto-ku, Kunto Darussalamku, dan Tandun-ku, menjadi bagian dari Riau Nishi Bunshu (Kabupaten Riau Darat). Pemerintahan kewedananaan Pasirpengarayan berlangsung hingga tahun 1963. Selanjutnya Pasirpengarayan menjadi ibu kota Kec. di bawah Kab. Kampar sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 10 th. 1948. (Marzuki 2011). Prakarsa pendirian Kab. Rokan Hulu bermula atas usulan dan rekomendasi tokoh-tokoh masyarakat melalui musyawarah besar tahun 1962, 1968, dan 1997 di Pasirpengarayan. Berdasarkan UU No. 5 Th. 1974, di Pasirpengarayan didirikan kantor Pembantu Bupati Wilayah I Kab. Kampar pada tahun 1987. Kabupaten Rokan Hulu defenitif sejak 12 Oktober 1999 berdasarkan UU RI No. 53 Th. 1999, terdiri 40 Fakta berdirinya kerajaan Rokan tertulis dalam kitab Desawarnana atau dikenal juga dengan Nagarakertagama, Rokan disebut sebagai wilayah kerajaan berdaulat di luar wilayah kekuasaan Majapahit (Muljana 2006; Ayatrohaedi 2005;91). Dalam Sejarah Melayu disebutkan bahwa Raja Melaka menikah dengan seorang Putri dari kerajaan Rokan (Munsyi 1952; Lanang 1997;68). Adapun sehingga sekarang, kerajaan Rokan yang dimaksud dalam kitab Desawarnana itu belum diketahui letak pastinya, demikian pula asal muasal orang-orangnya, bahasa, seni dan kebudayaannya penuh warna warni aneka ragam cita rasa.
26
atas tujuh Kec. Tahun 2002 berubah menjadi sepuluh Kecamatan, akhir tahun 2003 menjadi dua belas Kecamatan, terakhir tahun 2007 kembali dimekarkan menjadi enam belas Kecamatan. Keseluruhannya antara lain; (1)Kec. Rokan IV Koto, (2) Kec. Tambusai, (3)Kec. Kepenuhan, (4)Kec. Bonai Darussalam, (5)Kec. Tandun, (6)Kec. Tambusai Utara, (7)Kec. Kunto Darussalam, (8)Kec. Rambah, (9)Kec. Kabun, (10)Kec. Rambah Hilir, (11)Kec. Rambah Samo, (12)Kec. Bangun Purba, (13)Kec. Pagaran Tapah Darussalam, (14)Kec. Ujung Batu, (15)Kec. Pendalian, dan (16)Kec. Kepenuhan Hulu. Jumlah penduduk Kabupaten Rokan Hulu sejumlah 474.843 jiwa (BPS Rokan Hulu 2010). 1.12.1. Wilayah Di wilayah ini mengalir sebatang aliran sungai besar bernama Sungai Rokan, nama kunonya Batang Kalimunting (Keremunting)41. “Dalam peta Portugis pada abad ke-16, Rokan dikenal dengan nama Arakan” (Ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu, 1999). Aliran Sungai Rokan bercabang dua, tepatnya di Kualo Sako (Rokan Hilir), diberi nama Rokan Kiri-Rokan Kanan. Rokan Kanan lebih dikenal dengan sebutan Batang Lubuh, meskipun dahulunya Rokan KiriRokan Kanan itu sama-sama bernama Batang Lubuh. Rokan Kanan memiliki tiga cabang aliran; (1)Batang Kumu; bercabang dengan Batang Lubuh dekat Labuhan Dagang, (2)Batang Sosah; bercabang dengan Batang Lubuh dekat Tobih, (3)Sungai Duo; bercabang dengan Batang Lubuh dekat Muara Rumbai. Rokan Kiri bercabang dua di bagian paling hulu dikenal dengan sebutan Cipang Kiri dan Cipang Kanan. Hulu Sungai Rokan Kiri berasal dari wilayah Pasaman Sumatra Barat, sedangkan Sungai Rokan Kanan dan tiga cabangnya mengalir dari wilayah Sibuhuan Tapanuli Selatan (Sumatra Utara). Keseluruhan 41 Oso Kampe olun benamo Kampe, laut Ombun nami asalnyo, duò Kuantan bolum benamo Kuantan, Sungai Ko-oi namo asalnyo, togo Batang Ai bolum benamo Batang Ai, Sungai Jonei namo asalnyo, ompat Siak bolum benamo Siak, Sungai Jantan namo asalnyo, limo Okan bolum benamo Okan, Sungai Kolomunting namo asalnyo. (Effendy 2008;93)
27
aliran Sungai Rokan bermuara ke laut Selat Malaka dekat Bagansiapiapi (Rokan Hilir). Selain percabangan yang besar-besar itu, terdapat banyak aliran anak-anak sungai yang menyusu ke cabang-cabang dan batang Sungai Rokan. Aliran bagian tengah Sungai Rokan mulai dari Tanah Putih hingga sampai muara terkenal cukup sulit dilayari. Selain sungainya dangkal dan banyak beting, ada satu gejala alamiah berupa gelombang arus pasang dinamakan bono.42 Mulai dari Tanah Putih ke hulu hingga Kota Tengah, alirannya tenang dan cukup dalam, baik untuk pelayaran. Bagian hulu berarus deras, banyak jeram, di tempat-tempat tertentu sangat dangkal di musim kemarau (Rohana dkk. 2008;52 & 54). Pada masa lalu, Sungai Rokan berperan sebagaimana layaknya fungsi jalan raya di zaman modern, menjadi penghubung dan pendukung utama aktifitas sosial ekonomi. Sungai juga membentuk pola karakteristik kebudayaan masyarakat di sepanjang alirannya, sehingga masyarakat Sungai Rokan menamakan dirinya urang Batang Okan, ughang Okan, uang Okan atau uang Oken, disebut dengan istilah lain 'urang nòn sòbatang ayie' (orang yang sebatang aliran sungai) sebagai fakta kekerabatan komunal meluas di atas entitas tematik aliran Sungai Rokan. Istilah tersebut ditransformasikan oleh kaum akademik ke dalam sebutan 'masyarakat kebudayaan Sungai Rokan' guna pembeda dari kebudayaan sungai-sungai besar di Riau seperti kebudayaan Sungai Kampar, kebudayaan Sungai Siak, dan kebudayaan Sungai Kuantan. Lima kerajaan di hulu Sungai Rokan dipengaruhi kutub-kutub kebudayaan besar Sumatra antara lain; (1)Minang,43 (2)Minangkabau, (3)Mandahiling, (4) Malaka, dan (5)Aceh. Minang menurut Datuk Duo Balai bermakna minonga (menengah) mengacu pada Muaratakus semasa yang pernah menjadi pusat 42 The river Rakan (Rokan), to the northward of Siak, by much the largest in the island, if it should not rather be considered as an inlet of the sea, takes its rise in the Rau country, and is navigable for sloops to a great distance from the sea; but vessels are deterred from entering it by the rapidity of the current, or more probably the reflux of the tide, and that peculiar swell known in the Ganges and elsewhere by the appellation of the bore. (Marsden 2005) 43 Keterangan Datuk Duo Balai Muaratakus tentang konsep soko, pusako dan limbago.
28
Aceh
Trengganu
Penang
Laut China Selatan
tM la Se a ak el
Deli Batu Bahara
Rokan Mi
Tambelan Siak
Mempawah
Riau
Kampar
u ba ka ng na
U
Pulau Tujuh
Melaka
Reteh
Borneo
Sukadana
Jambi
Bangka Belitung
Palembang
Laut Jawa Batavia
Cirebon Gresik Semarang
[Gbr 01] Peta Riau dan wilayah kebudayaan Sungai Rokan, berada pada titik pertemuan beberapa wilayah kebudayaaan besar Melayu lainnya.
adat soko Melayu kuno. Muaratakus dikenal sebagai talago undang (telaga undang).44 Kekuasaan Minangkabau berdiri pada era pasca Muaratakus, secara politis menyebarkan pengaruh hegemoni Pagaruyung ke wilayah Sungai Rokan memanfaatkan simbol Maharaja Diraja yang dikatakan berasal dari keturunan Iskandar Zulkarnain (Junaidi-Syam 2012a). Kebudayaan Batak-Mandahiling masuk melalui ekspansi diaspora raja-raja Mandahiling yang berpenetrasi ke dalam wilayah kekuasaan kerajaan Tambusai dan Rambah, kecuali di Kepenuhan, Kunto Darussalam, dan Rokan IV Koto. Imperium Malaka di Tanah Semenanjung membawa berpengaruh pada adat dan pola pemerintahan kerajaan. Aceh masuk melalui perang-perang (penaklukan) dan aktifitas penyebaran aliran tasawuf. Tidak terkecuali, adanya peran kerajaan Aru Barumun, meskipun data sejarah tertulis tentang kerajaan ini sangat minim (Junaidi-Syam 2012a). 1.12.2. Bangsa Melayu, bangsawan, dan pesukuan Sebutan 'Melayu' dipakai untuk dua keperluan, antara keduanya sulit dipisahkan bagai air dan lukah. Pertama istilah Melayu untuk menyebutkan bangsa, 44 Menurut Tambo Alam Minangkabau dan keterangan Datuk Duo Balai Muaratakus.
29
kedua Melayu sebagai nama salah satu suku45 (suku Melayu) atau penamaan untuk sub ordinat bangsa Melayu di 'Sumatra Tengah'. Sebutan bangsa Melayu meliputi keseluruhan mereka yang mengakui serumpun, dengan wilayah persebaran yang sangat luas, dikenal dalam istilah Mòlayu Bosa (Melayu Besar). Akhir-akhir ini muncul istilah 'Melayu raya' yang bernuansa politis demi memenuhi stressing membangun kembali konsep-konsp kejayaan bangsa Melayu di masa lampau. Berdasarkan struktur kelembagaan adat di Rambah, setiap suku dipimpin seorang pucuk suku yang dibantu oleh seorang wakil disebut tungkek atau sukòng. Pucuk suku membawahi beberapa induk suku yang setiap induk suku dipimpin oleh seorang datuk. Semua pejabat adat berhak memakai gelar sokò pusakò warisan turun temurun berdasarkan alur patutnya (Junaidi-Syam 2012a). Dalam setiap induk suku berdiri beberapa pengetua yang terdiri atas mamak adat, datuk adat, niniek mamak dan urang sòmondò, mereka mendapat anugerah gelar adat sesuai dengan kebesaran sukunya masing-masing. Orang-orang yang bersuku dinamakan urang pòsukuan (orang pesukuan), mereka memakai waris adat matrilinial46 disebut dengan istilah urang sokò, di Tambusai disebut sibah lua (orang luar istana), warna kebesarannya hitam. Selain orang-orang pesukuan ada bansò rajò (bangsa raja) dikenal dengan sebutan tongku-tongku (tengku-tengku), mereka tidak bersuku, akan tetapi masuk dalam puak bansòwan (golongan bangsawan),47 di Tambusai lebih dikenal dengan sebutan sibah dalam, warna kebesarannya kuning.48 Hanya orang berdarah raja-bangsawan-gahara yang berhak menjadi Raja 45 Suku Melayu ada di setiap luhak kerajaan hulu Sungai Rokan, di Sungai Kampar, Sungai Kuantan, Minangkabau hingga daerah Pesisirnya. Dari naskah Tambo Alam Minangkabau diketahui bahwa Minangkabau itu sejatinya adalah Melayu juga (Junaidi-Syam 2012a) 46 Dalam adat Rambah, ketentuan ini tidak mutlak. Pada beberapa kondisi khas, waris suku dapat juga dilakukan dengan cara jujuran, yakni anak mengikut suku ayah (patrilinial). 47 Bansòwan berasal dari kata bansò (bangsa) dan kata wan (putih), artinya bangsa yang menggunakan warna putih sebagai lambang kebesarannya. Menurut Pak Taslim, Wan itu orangnya putih tinggi besar (Taslim 2006). Mereka disebut-sebut berasal dari bangsa burung (orang yang datang dari tempat yang jauh). 48 Lambang kebesaran warna kuning yang sekarang digunakan kaum bangsawan adalah perubahan yang dilakukan Sultan Muhammad Syah mengacu pada Sedjarah Meladju. (Munsyi, 1952)
30
luhak. Kegaharaannya harus diuji dan terbukti sebelum ditakbalkan.49Tidak pernah ada orang pesukuan bersedia menjadi raja luhak sebab takut pada sumpah dan tulah adat. Pengecualian terjadi pada masa transisi kepemimpinan, bahwa hanya yang bergelar Datuk Bòndarò (Datuk Bendahara) boleh memegang jabatan 'raja sementara' menjelang ditakbalkan raja baru, sebatas bilangan hari yang telah ditentukan.50 Bangsa raja diurus dan diadatkan oleh orang-orang pesukuan, kedudukannya diistimewakan, sebagaimana disebut dalam petatah-petitih adat; nògori bòpaga adat (negeri berpagar adat) rajò diadatkan (raja diadatkan) dikurongkandangkan dek niniek mamak (dikurungkandangkan oleh ninik mamak)
Negeri adalah penamaan untuk pusat kerajaan karena di dalamnya mastautin seorang raja dengan daulatnya yang dikenal dengan istilah duli. Raja Melayu tidak berhak bersikap feodal, karena kekuasaannya diatur dan dikungkung oleh hukum adat. Raja harus setia terhadap adat dan tidak melampauinya, inilah azas pokok pemerintahan negara Melayu. rajò adil rajò disombah rajò solin rajò disanggah
(raja adil raja disembah) (raja zalim raja disanggah)
Ekstensial keadilan raja itulah sebenarnya yang disembah, bukan menyembah manifestasi badan zahir raja (ego raja). Raja zalim akan disanggah oleh hakikat adat, tidak disanggah oleh ego datuk atau individu rakyatnya. Untuk menyelesaikan masalah tidak cukup hanya bersandar pada konvensi hukum adat (formal), akan tetapi lebih mengandalkan daya supranatural (Ilahiayah) semisal sumpah sotie adat (sumpah setia adat). Daya sumpah itu disebut tulah, 'diharapkan' akan ditimpakan langsung dari Tuhan pada pelaku kezaliman. Tulah adat menjadi ancaman paling ditakuti51, tidak terbatas pada strata tertentu saja, tidak hanya menimpa raja atau 49 Dalam Haq Kebesaran Raja Rambah dituliskan urutan seorang yang berhak memegang daulat sebagai Raja Luhak Rambah; Fatsal 72. (Said, tanpa Th.;100) 50 Datuk Bendahara berhak menjalankan pemerintahan sementara selama 40 hari bila raja sakit, wafat atau bepergian. (Said, tanpa Th.;83) 51 Tulah adat adalah bala atau celaka yang menimpa pelaku, dapat berupa siksaan fisik akibat penyakit berat, siksaan mental semisal gila, atau kehancuran harta benda dan anak keturunannya. Dalam ungkapan adat disebutkan; ko ateh indò bò pucuk, kò bawah indò bòurek tunggang, di
31
datuk, bahkan juga pada rakyat biasa. Kesepakatan adat yang kuat dan baku itu berhasil menjatidirikan identitas bangsa Melayu sehingga berdiri kokoh di atas ideologinya sendiri, melalui penciptaan perangkat alat, konsep, serta lambang-lambang pembeda dari bangsa lain. Tentu saja seni dan berkesenian memainkan peranan utama dalam pekerjaan dan usaha-usaha tersebut. 1.12.3. Perekonomian Hingga tahun 1980-an sebagian besar masyarakat Melayu Sungai Rokan adalah petani ladang padi tradisional dengan cara menebang hutan rimba bersiklus sekali setahun.52 Sekarang, hampir tidak ada aktifitas berladang padi rimba, kecuali ladang padi yang diusahakan pada lahan kosong atau hutan bekas ladang yang kemudian segera dialihfungsikan menjadi kebun karet atau kelapa sawit, sehingga areal ladang semakin menipis dari tahun ke tahun. Kolonial Belanda membawa konsep perkebunan karet masuk ke Sungai Rokan sekitar tahun 1937-1942 oleh desakan industri. Kehadirannya membawa dampak positif bagi perekonomian masyarakat hingga hari ini. Proyek perkebunan klasik tersebut selanjutnya dikembangkan pemerintahan orde baru menggunakan teknologi perkebunan modern (SRDP). Kelapa sawit juga dibawa oleh maskapai perkebunan Belanda, namun perkembangannya tidak secepat kebun karet. Selanjutnya pemerintah orde baru mengambil kebijakan pemanfaatan lahan kosong untuk membangun perkebunan sawit raksasa. Keseluruhan luas kebun di Rokan Hulu 266.071,51 Ha., terdiri atas 56.447,20 Ha. (21,22 %) lahan karet, dan 207.804,18 Ha. (78,10 %) lahan kelapa sawit (BPS Rohul 2010). Areal kebun tongah-tongah dilariek kumbang (ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berurat tunggang, di tengah-tengah dilarik kumbang). 52 Seteroetipikal orang Melayu sering disebut sebagai bangsa pemalas, itu tidak membuktikan apapun karena bertolak belakang dengan kenyataan historis mereka yang bekerja keras membuka hutan belantara untuk berladang dalam siklus yang terus menerus sepanjang tahun.
32
terluas dikuasai PTPN dan Perusahaan swasta, selebihnya dikuasai para pendatang dan pemilik modal yang besar. Masyarakat yang memiliki kebun memiliki taraf perekonomian jauh lebih baik bahkan sangat sejahtera, tentunya berimbas pada sektor perdagangan lokal, serta implikasinya pada kualitas pendidikan berbanding lurus dengan bertambahnya lulusan perguruan tinggi di Rokan Hulu. Selain bertani, berkebun, dan berladang, masyarakat Melayu tradisional memenuhi kebutuhan lauk pauk dengan mencari ikan di sungai, beternak dan berburu. Saat ini sudah tidak lagi demikian karena hasil mencari ikan jauh berkurang semenjak kualitas air sungai tercemar oleh limbah pabrik-pabrik kelapa sawit (Rohana dkk. 2008;20), dan hewan buruan semakin langka disebabkan perburuan liar. Secara umum masyarakat tidak dapat lagi terlalu bergantung pada hasil-hasil alam. Pola pemerolehan bahan pangan beralih melalui transaksi perdagangan dan pertanian modern. Perubahan pola perekonomian tersebut berpengaruh pada aspek sendi budaya dan sosial masyarakat, tentunya juga terhadap sastra lisan yang dahulunya adalah kesenian petani ladang padi, sekarang berubah menjadi kesenian aplikatif untuk kepentingan-kepentingan prestise bagi sebagian besar masyarakat Melayu mapan yang merasa memiliki ingatan historis dan nostalgis terhadap tradisinya di masa lalu, sehingga muncul fenomena audiens palsu atau penonton basa-basi. 1.12.4. Agama Orang Melayu Sungai Rokan 100% memeluk Islam, dan ajarannya berurat berakar dalam kehidupan masyarakat, dibangun atas fondasi mazhab ahlul sunnah wal jamaah. Orang Melayu seolah-olah berbalut identitas mutlak dengan sebutan Melayu-Islam. Perstise Melayu dibangun di atas identitas Islam yang diperkirakan sudah masuk di abad pertama Hijriyah.53 Secara umum, orang Melayu tradisional 53 Ditemukannya dua surat dari Raja Diraja Melayu memohon kepada Umar bin Abdul Aziz (717-720 Damaskus-Suriah) agar mengirimkan ulama ke tanah Melayu, menurut Janutama bahkan Islam sudah tersiar ke Nusantara 605-618 M. (Janutama 2010;129, www.
33
adalah penganut fanatik sekaligus sederhana pemahaman dan pengamalan agamanya. Persoalan keagamaan di wilayah ini agak meruncing tersebab adanya pertikaian pendapat dan perbedaan fi'iliyah antara kaum tradisionalis dengan golongan pembaharu. Di awal abad ke-19, muncul kaum padri yang disebut juga kaum putih atau orang jubah putih bermazhab wahabiah pimpinan Haji Piobang, Haji Miskin, dan Haji Sumanik 1803 (Parlindungan 2007;126), kelompok ini pernah melakukan penetrasi dakwah pemurnian syariat ke Sungai Rokan. Demi melihat orang Melayu-Islam tidak mengamalkan syariat sebagaimana yang dianggapnya benar, merekapun menebar teror tindak kekerasan dan paksaan dengan cara menindas raja dan rakyatnya. Raja Rokan yang menolak ajaran baru itu dibunuh, kepalanya dipancung dan jasadnya dibuang ke Sungai Rokan. Dikisahkan bahwa selama tiga hari tiga malam mayat raja Rokan itu tidak hanyut, hanya berputar-putar dalam ulak sungai. Islam di Sungai Rokan mendapat pengaruh kuat dari kelompok thariqat54 tasawuf yang pada mulanya dibawa oleh penganjur aliran sufiah yang menjadi dagang-pengembara-intlektual di sepanjang alur jalur transportasi Selat Malaka dan sungai-sungai besar di Sumatra. Selanjutnya thariqat naqsabandiyah berkembang pesat di akhir abad ke-19 dibawa oleh Tuan Guru Syeh Abdul Wahab Rokan al Khalidi an Naqsabandiy, Besilam, Langkat, Sumatra Utara, dan Syeh Ibrahim Kumpulan55, Pasaman, Sumatra Barat. Kemah thariqat Kumpulan berpengaruh di Pasirpengarayan hingga ke bagian hulu, sedangkan thariqat naqsabandiyah Tuan Guru Syeh Abdul Wahab Rokan al Khalidi an Naqsabandiy56 berpengaruh hampir ke seluruh aliran kanzunqalam's.wordspress.com). 54 Thariqat; jalan atau petunjuk dalam ibadah sesuai dengan ajaran yang dibawa Rosulullah SAW. Cara dan pendakian yang ditempuh oleh ahli tasawuf. (Aziz 1998;77) 55 Abdul Wahab, Maulana Syekh Ibrahim Al Khalidi Kumpulan (1764-1914 M), lahir di Kampung Sawah Laweh, Kota Kecil Kec. Bonjol Pasaman. Mengajarkan ilmu agama Islam dan thariqat naqsabandiyah di sebuah surau bernama Surau Kaciak. (Taslim 2006) 56 Syeh Abdul Wahab Rokan Al Khalidi Naqsabandiy; (1811-1926 M) dikenal pula dengan
34
Sungai Rokan. Tahun 2005 tercatat sebanyakdelapan puluh lima madrasah suluk thariqat naqsabandiyah di Rokan Hulu,57 dipimpin para guru dan tuan guru yang bergelar khalifah mursyid atau syeh. Oleh sebab itulah di Sungai Rokan banyak ditemukan situs jejak para wali Allah, tuan syeh,58 dan melahirkan ahli-ahli tasawuf. Di kemudian hari, pada tahun 1970-an, masuk ajaran muhammadiyah. Perjuangan dakwah memurnikan ajaran Islam gelombang kedua tersebut awalnya dilakukan perlahan-lahan di wilayah perdagangan dan pendidikan, menargetkan komposisi pengikutnya terdiri dari para guru, pegawai, pedagang, pendatang luar, dan orang-orang yang mempunyai wawasan yang lebih terbuka. Kaum tua teridentifikasi berada dalam wilayah genggaman kaum thariqat dan ulama tradisional yang terkesan memihak atau toleran terhadap adat, diperkuat dengan dukungan masyarakat asli tempatan. Pemimipin mereka adalah para ulama tradisional, para guru dan syeh mursyid yang bersepakat menjalankan ajaran sesuai dengan cara lama (tradisi). Pengikut kaum tua sangat menghormati ulama mereka yang kemudian melahirkan tuduhan taklid buta. Tahun 1932, Tarbiyah Islam modern diperkenalkan Tuan Haji Yahya Ansharuddin dari Kepenuhan, mengembangkan metode madrasah haramain di Al Maktab al Darotul al Ulumiyyah al Arabiyyah al Islamiyyah, dikenal juga Maktab Darul Ulum. Eksponen lulusan madrasah ini melebarkan sayapnya membangun sekolah-sekolah agama di perkampungan asal mereka.59 gelar Tuan Guru Babussalam, Langkat Sumatra Utara, diberi bergelar 'Rokan.' karena beliau lahir di Rantau Binuang Sakti, Kepenuhan Kab. Rokan Hulu. Menurut silsilah dalam thariqat naqsabandiyah, beliau menempati urutan ke-32 dari Rasulullah SAW dalam hal penerimaan thariqat. Tuan Guru wafat dan dimakamkan di Babussalam Langkat Sumatra Utara. (Said 1998, Taslim 2006;02) 57 Data bersumber dari Koordinator thariqat naqsabandiyah wilayah Rokan. 58 Tuan Syeh Zainuddin, Tuan Syeh Tambusai, Syeh Abdul Wahab Rokan al Khalidi an Naqsabandiy, Tuan Syeh Mudo Tampang, Tuan Syeh Ismail, Tuan Syeh Nikum, Tuan Syeh Pasie, dll. (Rohana dkk. 2008) 59 (1)Tengku Baharuddin mendirikan Maktab Darul Ulum Muara Nikum, (2)H. Arsyad Takheruddin mendirikan Maktab Darul Ulum Teluk Riti, (3)Kotik Harun mendirikan Maktab Darul Ulum Muara Rumbai, (4)Muhammad Saleh mendirikan Maktab Darul Ulum Batang Samo, (5)Syeh Nasaruddin mendirikan Maktab Darul Ulum Rantau Kasai, (6)Khalifah Amin, Khalifah Ali,
35
Hari ini, jumlah para ustad yang mengajar agama semakin banyak, bahkan menjamur sekolah-sekolah Islam maupun madrasah taman pengajian Alquran, namun secara umum masyarakatnya cendrung relatif mengabaikan ajaran agama. Banyak faktor yang menyebabkan masyarakat Melayu Rambah berubah dari masyarakat sederhana yang beradat dan agamis menjadi masyarakat Melayu sekuler yang memperturutkan kegandrungan duniawiah ala kontemporer, beralih jalur dari konsep ajaran kebersahajaan faham kaum tua 'di masa lalu'. Persoalan tersebut tidak sesederhana deskripsi yang saya sebutkan tadi, namun perlu dijelaskan sepintas lalu untuk memberikan gambaran umum perkembangan Islam di Sungai Rokan, khususnya di Rambah. 1.12.5. Bahasa Sebagian kosa kata bahasa Melayu Sungai Rokan berasal dari serapan bahasa Sanskerta dan bahasa Arab dengan variasi logat tuturan yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah yang lain, bahkan melahirkan aksen logat yang berbeda antar kampung-kampung yang berdekatan. Batas variasi logat tersebut tidak mudah ditetapkan, karena pola pergerakan dan interelasi masyarakatnya yang dinamis. Relasi antar budaya yang melahirkan beragam logat di Sungai Rokan, antara lain; (1) bahasa Hulu Sungai Rokan Kiri bersinkretisasi dengan logat Rao Pasaman dan logat Kampar Hulu (Kampar kanan), (2)bagian Hulu Batang Lubuh dan Batang Sosah bersinkretisasi dengan logat Mandahiling, (3)bahasa di Tanjung Medan (Batang Kumu) hingga ke Labuhan Dagang (Kualo Batang Kumu), Ulak Kembahang (Kualo Ayie Itam) hingga ke Sikapeh atau Rangau dan sekitarnya (Kualo Sako), sampai ke Tanah Putih mengalami percampuran logat Tambusai, logat Melayu pesisir Timur, Khalifah Asfawi dan Abdul Hal.im mendirikan Maktab Darul Ulum Irsyadunnas Pasir Pandak, (7)Pokih Harun, Fakih Sutan dan H. Sohib mendirikan Maktab Darul Ulum Kampung Tangun, (8) Fakih Idham dan Fakih Wahhab mendirikan maktab di Pujut. Tahun 1975 berdiri Maktabah Rahmaniyah di Kampung Mesjid, diasuh oleh murid Tuan Yahya Ansharuddin antara lain, H Siddik, Tuan Mandak, Rukun, Pokih Mansur, dll. Beberapa tahun kemudian berdiri PGAP (Pendidikan Guru Agama Partikuler) berganti dengan PGAN (Pendidikan Guru Agama Negeri) di Babussalam. (Syarif 2003)
36
logat Melayu kepulauan dan logat Bonai, (4)Raogandin (Sungai Rokan Kiri) hingga ke Kunto Darussalam menggunakan logat Bonai, dan (5)dominasi logat Tambusai mulai berkurang mulai dari Jumrah hingga ke Bagansiapiapi dan Kubu, wilayah ini mendapat pengaruh yang lebih besar dari bahasa Melayu Tinggi atau oleh logat Melayu pesisir Timur Sumatra (Rohana dkk. 2008). Perbedaan logat di wilayah ini terbedakan atas tiga kategori yakni; (1)logat totok; logat lokal asli turun temurun, dianggap paling ideal menurut ukuran kelazimannya, disebut juga bahasò kampong asli (bahasa kampung asli), ciri-cirinya tidak menggunakan fonem 'r' (urang menjadi uang; rumah menjadi umah), atau fonem 'r' digantikan dengan 'gh' (urang menjadi ughang, dan rumah menjadi ghumah), (2)logat bega; artikulasi ujarannya tidak sempurna karena dipengaruhi logat bawaan luaran yang tak terelakkan oleh penggunanya, semisal parole orang Mandahiling, Jawa, Minang, Kampar, orang Semenanjung dll., (3)logat pasar atau bahasa pasaran; logat khas di wilayah yang bersentuhan dengan aktifitas perdagangan, pendidikan, dan politik, ciri-cirinya menggunakan fonem 'r' (rancak; rusak; rabak dll.). Kategori logat yang terakhir ini muncul berkembang di pasar Pasirpengarayan dan sekitarnya. Logat totok terkesan kampungan, logat pasaran dianggap kasar, sedangkan logat bega dianggap prematur. Selain itu ada logat yang lebih khas lagi semisal logat orang Bonai yang terasa jauh berbeda dengan ujaran orang Melayu Sungai Rokan pada umumnya karena pengaruh isolasi dan resistensi budaya. Ada identifikasi perbedaan logat berdasarkan posisi hulu-hilir, memunculkan istilah lugat urang ilie dan lugat urang mudiek (logat orang hilir dan logat orang mudik). Batas pemisah hulu dan hilir tidak dapat dipastikan secara rigid, karena setiap kampung-kampung dan luhak mempunyai acuan hulu dan hilirnya masingmasing sesuai perspektif yang digunakan. Muara Sungai (hilir) dianggap sebagai titik masuknya peradaban kebudayaan dari luar ke pedalaman (hulu) melalui aktifitas laut dan relasi antar sungai-sungai besar di pesisir Timur Sumatra. Bagi orang hilir
37
Batang Rokan, logat dan aksen orang-orang hulu sangat mudah diidentifikasi, demikian pula sebaliknya, dengan demikian segera diketahui bahwa orang tersebut berasal dari wilayah hulu atau hilir. Identifikasi general seperti itu tidak mudah dilakukan oleh pendatang baru dari luar Sungai Rokan. Kategori logat yang mengacu pada penggunanya, memunculkan klasifikasi; (1)bahasa orang tua-tua (kuno/kampungan), (2)logat bahasa urang kini (orang sekarang) yang terkesan lebih maju, dan (3) bahasa urang mudò-mudò kini (orang muda-muda sekarang); logat generasi muda zaman sekarang yang sudah berbeda dari logat pasar maupun totok. Perubahan variasi logat dan aksen atas pengaruh aktifitas sosial ekonomi memunculkan klasifikasi oposisi antara orang darek (kampung) dengan logat baruh (kota). Identifikasi perbedaan bahasa antar luhak muncul karena perbedaan pilihan kata, padahal maknanya sama atau tidak jauh berselisih, semisal tingkat kekeruhan air mulai dari koruh (keruh); kuhek (agak keruh); kodu (sangat keruh), ketiga kata itu bermakna keruh. Di Tambusai menggunakan kata kuhek, di Rambah lebih disukai menggunakan koruh. Contoh lain seperti pilihan kata mòntuò dengan undai (saudara perempuan ayah), atau nama ikan, ikan tanah; aruan; rutiang (ikan gabus). Pilihan kata yang lazim dan populer dalam suatu lokalitas menyebabkan seolah-olah bahasa mereka berbeda dibanding bahasa lainnya di Sungai Rokan. Ada bahasa praktis yang meminimalisir imbuhan atau tanpa formulaik sama sekali. Formulanya singkat, padat, lugas, namun terkesan kaku, kasar, dan kurang estetis. Formula ini dirasa kurang sesuai bagi orang yang mempunyai jiwa halus dan penyayang, tidak sesuai untuk larik nyanyian, dan sama sekali tidak bisa dipakai untuk formula pelantunan koba. Bahasa tanpa formulaik masih eksis dalam kehidupan sehari-hari orang Melayu khususnya di perkampungan bagian hilir Pasirpengarayan. Bahasa orang Pasirpengarayan disebut bahasò bògayò (bahasa bergaya) atau bahasò bòlogukan (bahasa bermelodi) karena pengaruh aksentuasinya dianggap berlebihan dan berhiaskan filler-filler.
38
Sepatah salam diujarkan dengan penggayaan bermelodi, dan jawaban salam itu harus bergaya juga, bila dijawab dengan kaku dan pendek-pendek terkesan tidak seni, tidak ramah dan kurang santun. Selain digayakan, dihiasi pula dengan gestur senyuman yang pantas dan berdurasi sederhana, jika senyum itu terlalu pendek, ada kesan paksaan, jika terlalu panjang dianggap gila atau terkesan penghinaan. Tanpa imbuhan
Dengan imbuhan
mano abang kò? (kemana kamu?)
kò mano ti abang kò? (kemana kamu?)
singgah dolu (singgah dulu?)
singgahlah ti nak nyo kitò dolu (singgahlah dulu?)
padek! (keterlaluan?)
jey padek ti tu ntong! (keterlaluan?)
iyò? (benarkah?)
iyò ti tu gak-a? (benarkah?)
[Tabel 01] Perbandingan formula bahasa tanpa imbuhan dan bahasa berformulaik.
39