Sastra Diasporik?: Suara-Suara Tionghoa Baru di Indonesia1 Pamela Allen (University of Tasmania)
Abstract Since the ‘beginning’ of modern Indonesian literature in the early twentieth century, Indonesian writers have engaged with the project of defining Indonesian identity. Most serious writers engaged both with the mission of creating a new literature and with the project of interrogating and investigating issues of national identity. It is a mission which continues to inform Indonesian literature in the twenty first century. Literature written by peranakan Chinese flourished at the end of the nineteenth century and the early twentieth century. But because the first language of these peranakan writers was low or ‘market’ Malay, much of it received scant attention from Indonesian critics, who reserved their praise for writing in the court—derived high Malay favoured by the recognised publishing houses. Peranakan literature reached its zenith in the 1920s and 1930s—which was also a time of heightened Chinese nationalism in Java. Thanks to the meticulous work of two scholars in particular—Claudine Salmon and Leo Suryadinata—much of this early writing has now been documented and critically analysed. However, Salmon and Suryadinata’s commentary effectively ends at 1965. Chinese-Indonesians who did continue to write during the New Order on the whole projected themselves and were constructed by others as ‘Indonesian’. They thus assimilated as writers as they did as citizens, and their ethnicity never featured as part of their work. The category ‘ChineseIndonesian literature’ for all intents and purposes ceased to exist. It was subjected to the same process of erasure as Chinese ethnicity. Since the fall of Soeharto Chinese-Indonesian writers have begun to write as ChineseIndonesians, some using their Chinese names, some writing in Mandarin. This paper begins to fill a significant gap in documenting the ways in which recent literary works by ChineseIndonesians give expression to their understanding of themselves and their place in the Indonesian nation-state.
Pendahuluan Sejak ‘permulaan’ sastra Indonesia modern di awal abad kedua puluh, para penulis Indonesia menggelar proyek penciptaan dan 1
Tulisan ini merupakan revisi dari makalah yang disajikan dalam panel ‘ N a t i o n B u i l d i n g , Multiculturalism and Ethnic Chinese’ pada Simposium
64
pemerian jati diri Indonesia, yaitu suatu usaha yang tumbuh dari gerakan nasionalis serta keadaan akhir kolonialisme. Sebagai akibat, Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-3:‘Membangun Kembali Indonesia yang “Bhinneka Tunggal Ika”:Menuju Masyarakat Multikultural’ , Kampus Universitas Udayana, Denpasar, Bali, 16–19 Juli 2002.
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
kesusastraan dipahami bukan saja sebagai suatu produk untuk konsumsi dan hiburan, melainkan lebih sebagai bagian penting dari usaha membangun bangsa (nation building). Penulis-penulis yang terhitung paling serius berkiprah baik dalam tugas menciptakan kesusastraan baru, maupun dalam memeriksa dan meneliti pokok-pokok tentang identitas nasional. Usaha ini merupakan kecenderungan yang terus mewarnai kesusastraan Indonesia sampai saat ini. Karya-karya sastra Indonesia yang paling terkenal dari penghujung abad ke-20 misalnya adalah novel-novel Pramoedya Ananta Toer dan Y.B. Mangunwijaya, cerpencerpen Seno Gumira Ajidarma, sajak-sajak Rendra, Putu Oka dan Wiji Thukul serta lakonlakon Ratna Sarumpaet dan Riantiarno. Semua merupakan hasil kerja para penulis masalahmasalah sosial yang bergumul dengan wacana apa artinya menjadi seorang ‘bangsa Indonesia’. Karya sastra peranakan Tionghoa sudah berkembang pada akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, mendahului terbitnya tulisan-tulisan modern dari pribumi Indonesia. Novel Melayu-Tionghoa tumbuh sejak tahun-tahun 1870-an, bersamaan dengan berdirinya percetakan-percetakan pertama milik warga Tionghoa. Namun, karena bahasa pertama penulis-penulis peranakan pada waktu itu adalah Melayu rendah (laag Maleisch), Melayu pasar (passer Maleisch) atau Melayu ceracau (brabbel Maleisch), banyak novel tersebut tidak begitu diperhatikan kritikus Indonesia, yang lebih menghargai tulisan dalam bahasa Melayu tinggi (hoog Maleisch) yang lebih disukai penerbit-penerbit yang sudah mapan. Namun, pada tahun 1927 Kwee Tek Hoay masih berani menulis, ‘Kami percaya bahwa logat Melayu rendah akhirnya akan mengungguli dan menghapus seluruh bahasa Melayu Riau atau Melayu Ophuysen yang
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
sekarang masih dilindungi pemerintah’ (Maier 1991:76). Sastra peranakan mencapai puncaknya pada tahun 1920-an dan 1930-an, sejalan dengan memuncaknya nasionalisme kaum Tionghoa di Jawa. Sejak masa kolonial, orang Tionghoa di Indonesia mengalami pembedaan, disebabkan perbedaan-perbedaan budaya serta agama, karena pengaruhnya dalam ekonomi nasional dan (kenyataan ini tampaknya paradoks, mengingat bertentangan dengan ekonomi Tionghoa yang dominan), dan karena keterlibatannya konon dengan komunisme. Paham hibriditas peranakan Tionghoa tersebut termuat dalam sebutan yang menggambarkan mereka di Jawa sebelum masa Kemerdekaan: Cina wurung, londa during, Jawa tanggung (‘bukan orang Tionghoa lagi, belum jadi orang Belanda, blasteran Jawa)’ (Blusse 1991: 5). ‘Di mana-mana orang Tionghoa ada di antara kami, tetapi mereka bukan bagian dari kami… ‘ (Rush 1991:21). Mackie (1991:92) mengemukakan: seluruh minoritas Tionghoa-Indonesia telah mengalami berbagai bentuk diskriminasi dan penolakan hak-hak pendidikan, sosial, serta pekerjaan, konon demi peningkatan perekonomian pribumi, yaitu kebijaksanaankebijaksanaan yang tidak mampu dihindari atau diprotes orang-orang Tionghoa kaya
Analisis ilmiah tentang masalah-masalah yang dihadapi minoritas Tionghoa di masa pascakolonial di Indonesia bertitik berat pada hubungan antara persoalan etnisitas, kewarganegaraan dan identitas serta cara-cara bagaimana ‘perbedaan’ Tionghoa dilihat sebagai pemersulit bagi proyek pembangunan bangsa yang koheren di Indonesia. Setelah menjabat presiden Indonesia di tahun 1966, menyusul usaha penggulingan (secara resmi disebut ‘kudeta gagal oleh pihak Komunis’) yang mengakibatkan jatuhnya Soekarno, Presiden Soeharto menerbitkan
65
dekrit yang melarang segala kegiatan yang berbau agama atau kebudayaan Tionghoa. Sekolah-sekolah dan organisasi-organisasi Tionghoa ditutup. Nama pribadi serta perusahaan Tionghoa dilarang. Aksara Tionghoa dilarang, kecuali dalam surat kabar Harian Indonesia yang memuat dua teks (agar diizinkan pemerintah) melalui pengawasan ketat untuk memuat berita dalam kedua bahasa Indonesia dan Mandarin. Pencarian dan pengejaran gencar terhadap warga TionghoaIndonesia setelah kudeta, yang semula didasarkan atas sangkaan keterlibatan mereka dengan komunisme, berubah menjadi usahausaha sistematis untuk menindas, mengintimidasi, serta mendiskreditkan orang Tionghoa sepanjang rezim Orde Baru. Dari segi politik, kerawanan orang-orang Tionghoa dimanfaatkan oleh para penguasa Orde Baru, yang mengizinkan kaum Tionghoa untuk berbisnis dan yang sementara itu mengantongi sebagian besar dari keuntungan. Berbeda dari kebijaksanaan anti-integrasi pemerintah kolonial Belanda, tindakan Orde Baru adalah pencanangan program asimilasi melalui Program Pembauran, yaitu ‘kebijaksanaan dasar untuk memecahkan masalah Tionghoa’, yang beranjak dari asumsi bahwa etnisitas Tionghoa tidak cocok dengan ‘kepribadian nasional’ (Heryanto 1998:103). Oleh karena itu penghapusan adalah satusatunya pemecahan yang dapat dilakukan. Sesuai dengan program ini masyarakat Tionghoa dianjurkan secara aktif untuk melakukan pernikahan dengan pribumi dan memeluk agama Islam. Di awal tahun-tahun 1990-an, sejalan dengan pertumbuhan kelas menengah masyarakat Indonesia, tampak adanya tanda-tanda pelunakan sikap, setidaknya pada tingkatan resmi, terhadap kaum Tionghoa-Indonesia. Pada tahun 1997, misalnya, beberapa sekolah swasta di Jakarta mulai menawarkan pelajaran
66
bahasa Tionghoa kepada murid-murid Tionghoa dan pribumi sebagai mata pelajaran ekstrakurikuler. Namun, tanda-tanda perubahan ini tidak seberapa jika dibandingkan dengan perubahan-perubahan hebat yang menimpa warga Tionghoa-Indonesia selama kerusuhan-kerusuhan yang mulai pada pertengahan bulan Februari 1998 dan mencapai puncaknya dengan mundurnya Soeharto pada bulan Mei tahun itu. Kurun waktu empat bulan ini ditandai oleh kekejaman yang keji terhadap orang-orang Tionghoa. Perusuh-perusuh merampok serta membakar rumah, toko, pabrik dan gudang milik warga Tionghoa dan menyerang mereka di jalan-jalan, termasuk banyaknya wanita Tionghoa diperkosa. Kerusuhan-kerusuhan ini disambut dengan protes keras yang bertubi-tubi dari masyarakat Tionghoa di seluruh dunia kepada pemerintah Indonesia. Lengsernya Soeharto kemudian memungkinkan peredaan suasana yang memberikan kesempatan kepada kaum Tionghoa-Indonesia untuk membahas secara terbuka pengalaman mereka sebagai minoritas tertindas. Peredaan ini dinyatakan pada tanggal 17 Januari 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid menarik dekrit presiden tahun 1967 yang membuat warga Tionghoa-Indonesia dapat secara terbuka merayakan Tahun Baru Tionghoa untuk pertama kalinya dalam waktu 33 tahun. Berkat usaha-usaha cermat terutama yang dilakukan dua orang ilmuwan, yaitu Claudine Salmon dan Leo Suryadinata, banyak karya awal tulisan yang dihasilkan peranakan Tionghoa sekarang sudah didokumentasikan dan dianalisis secara kritis. Di dalam bibliografi Salmon Literature in Malay by the Chinese of Indonesia tercatat lebih dari 2500 judul lakon, syair serta terjemahan, yang mencakup karya lebih dari 800 orang pengarang. Suryadinata, yang mungkin merupakan komentator paling terkenal tentang masalah etnik Tionghoa di In-
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
donesia, membahas tulisan-tulisan warga peranakan dalam sejumlah bukunya termasuk sebuah buku tentang topik ‘Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia’. Namun, ulasan-ulasan Salmon dan Suryadinata berakhir pada tahun 1965. Orang Tionghoa-Indonesia yang tetap menulis selama Orde Baru menganggap dirinya dan dipandang oleh orang lain sebagai ‘orang Indonesia’. Dengan demikian mereka berbaur sebagai penulis sebagaimana mereka berbaur sebagai warganegara, dan etnisitas mereka tidak pernah menjadi ciri karya mereka. Kategori ‘sastra Tionghoa-Indonesia’ dengan segala maksud dan tujuannya telah berakhir. Kategori ini telah menjalani proses penghapusan seperti halnya dengan etnik Tionghoa. Di masa reformasi, sastra Tionghoa boleh dikatakan masih berkedudukan sebagai suatu ‘sub-budaya’ atau sub-kultur (sebagian menyebutnya ‘budaya diasporik’), setingkat kebudayaan daerah—yang dengan semangat otonomi daerah—kini menjalani proses revitalisasi serta pembangkitan kembali. Tidak lama sesudah Soeharto mundur, dua perkumpulan penulis Tionghoa-Indonesia berdiri yaitu ‘Perhimpunan Seni Budaya Ibu Pertiwi’ di akhir tahun 1998 dan ‘Perhimpunan Penulis Tionghoa Indonesia’ di tahun 1999. Salah seorang perintis dalam proses revitalisasi sastra Tionghoa adalah Wilson Tjandinegara yang oleh Taufiq Ismail dijuluki sebagai ‘penyair aktivis tiga jurus: Pejuang hubungan antar budaya, penerjemah karya sastra t imbal balik Indonesia-Mandarin sekaligus penyair. 2
Wilson, yang masih menyandang nama Indonesianya—oleh Veven Sp Wardhana disebut ‘nama pemberian negara’ dalam ki-
sahnya ‘Panggil Aku Pheng Hwa’—alih-alih nama aslinya Chen Tung Long, mulai kegiatan menerjemahkan sastra Mandarin ke bahasa Indonesia sebelum akhir rezim Soeharto. Pada tahun 1996 dia menerjemahkan Bisikan Hati dari bahasa Mandarin, sebuah antologi puisi dari penyair Tionghoa Teo Un. Sumbangansumbangan terbaru Wilson, keduanya diterbitkan Komunitas Sastra Indonesia di tahun 2001, adalah antologi Jeanne Yap Lelaki adalah Sebingkai Lukisan dan koleksi Ming Fang Janji Berjumpa di Kota Pegunungan. Salah satu hasil usaha Wilson untuk menghasilkan karya-karya ini sebagaimana tulisan-tulisan terdahulunya (Tjandinegara 1998; Herfanda dkk 2000), adalah bangkitnya kembali perhatian terhadap pembacaan syair dwibahasa. Aspulis (2002a) mengemukakan dalam pembahasannya tentang karya-karya Wilson: Kini, pembacaan dwibahasa menjadi bagian yang ditunggu hampir di setiap acara sastra nasional.
Sapardi Djoko Damono memandang pentingnya usaha Wilson sebagai suatu proses pengalihan puisi bahasa Mandarin ke dalam bahasa Indonesia yang secara ipso facto menjadikan puisi tersebut bagian dari sastra Indonesia. 3 Mungkin ada yang tidak sependapat dengan anggapan ini , tetapi sekarang kita dimungkinkan untuk ‘membayangkan’ sastra Indonesia dengan cara baru.
Masalah-masalah identitas Salah satu aspek paling nyata dari polemik seputar masalah identitas Tionghoa di Indonesia adalah justru bahasa Tionghoa yang menjadi dasar identitas tersebut. Kaum Tionghoa, kebudayaannya, kepercayaannya, dan boleh dikatakan bahkan keberadaannya di Indonesia dicap oleh para kolonialis, 3
2
Dimuat di ‘Darah daging sastra Wilson Tjandinegara’. http://cybersastra.net/edisi_mei2002/mei2002_1.htm
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
‘Pengantar ringkas’ Resonansi Indonesia penyunting Ahmadum Yosi Herfanda dkk. Jakarta: Komunitas Sastra Indonesia. Hlm.8
67
ilmuwan, serta politikus sebagai ‘masalah Cina’ (dibaca sebagai ‘Cina yang bikin masalah’). Meskipun hal ini tidak serta-merta menjadi ramalan yang menjadi nyata, tidak dapat disangkal bahwa sedikit banyak kita setidaknya dibentuk , dipengaruhi, serta diperikan oleh julukan-julukan yang dikenakan orang lain kepada kita. Dalam kasus kaum Tionghoa di Indonesia, tepat digambarkan sebagai ‘sekali masalah, tetap masalah’. Atau, kalau ditinjau dari segi lain, seperti baru-baru ini dipertanyakan Ignatius Wibowo (2000:8), ‘Sampai kapan kecinaan seseorang berhenti?’ Pembahasan tentang masalah identitas yang muncul dari puisi akhir-akhir ini harus ditempatkan dalam konteks pemahaman heterogenitas ‘identitas’ Tionghoa-Indonesia. Ketetapan, (fixedness) atau ‘pembekuan’, identitas tersebut merupakan sebuah mitos yang diabadikan sebagian oleh pemerintah Orde Baru, sebagian oleh adanya sikap rasis terbuka di beberapa kalangan masyarakat Indonesia sekarang, dan harus diakui, sebagian oleh sejumlah warga peranakan Tionghoa itu sendiri. Dalam sebuah lingkungan yang didasarkan atas sistem oposisi biner kami/ mereka, ‘Mereka’ itu pasti merupakan ‘yang Lain’ (the other) yang dapat diperikan dan diketahui4. Dalam konteks warga TionghoaIndonesia, istilah ‘masalah Tionghoa’ dimanfaatkan untuk ‘menjelaskan’ kecinaan dan untuk membenarkan prasangka terhadap mereka. Selama rezim Soeharto, tidak ada ruang untuk mendekonstruksi istilah tersebut dan di zaman pascaSoeharto diharapkan bahwa julukan tersebut dapat diteliti, sehingga akan terungkap maknanya, yaitu: sebuah frasa serbaguna yang memungkinkan kita beranggapan bahwa kita ‘mengenal’ orang-orang 4
Terjemahan dari: In an environment predicated upon an us/them binary, the ‘them’ must be a definable, knowable ‘Other’.
68
Tionghoa-Indonesia. Kenyataannya adalah, secara kategorial Tionghoa Indonesia bermakna ganda, sebagaimana juga kategori pribumi. Hal ini sejalan dengan fakta bahwa kaum Tionghoa-Indonesia tersebar di manamana di Indonesia. Mereka memiliki berbagai agama serta budaya, dan telah diserap serta dibentuk oleh lingkungan setempat melalui berbagai cara. Di manapun mereka diakui sebagai suatu kelompok, pengakuan tersebut didorong oleh sikap permusuhan dan tekanantekanan dari luar (Lev 1991:98). Afiliasi dengan budaya, bahasa, serta etnik Tionghoa sangat beragam. Contoh beberapa anekdot berikut membantu menggambarkan keadaan ini. Dua tahun lalu saya berbicara dengan seorang dosen bahasa Mandarin, yaitu warga Tionghoa-Indonesia dari Jakarta. Dia bersikukuh bahwa orang-orang Tionghoa-Indonesia harus melupakan etnisitas Tionghoa demi terpeliharanya suatu bangsa Indonesia yang serasi dan homogen. Dia bahkan bangga bahwa anak-anaknya sama sekali tidak berbahasa Mandarin dan tidak bisa berkomunikasi dengan nenek mereka. Ada orang-orang Tionghoa-Indonesia lain yang sama sekali tidak mempermasalahkan etnisitas mereka. Kecinaan mereka tidaklah relevan. Di tahun 1990, pada sebuah simposium di Universitas Cornell tentang peran kaum Tionghoa-Indonesia dalam menggalang kehidupan Indonesia modern, penulis lakon N. Riantiarno mengatakan bahwa dia senang telah menerima undangan, tetapi dia bingung sekali tentang topik yang akan disajikannya. Dia tidak merasa sebagai seorang Tionghoa, tetapi dia merasa dirinya sebagai orang Indonesia dari Cirebon, dan berkata: ‘Sebagai pendiri teater Koma, yang saya hanya tahu tentang orang-orang Tionghoa di Indonesia adalah bahwa ada banyak orang Tionghoa kaya, tetapi sedikit saja yang bersedia mensponsori hasil karya saya’… (Blusse 1991:5).
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
Di forum yang sama Harry Tjan Silalahi menyatakan bahwa usaha-usaha untuk melestarikan kelompok etnik Tionghoa sebagai sebuah suku sesungguhnya bisa membahayakan proses pembangunan bangsa di Indonesia; dia mengutarakan bahwa sifat kecinaan secara lambat laun harus ditinggalkan dan harus dilebur dalam budaya nasional Indonesia. Dibesarkan sebagai seorang peranakan Katolik di lingkungan Jawa, penerima pendidikan Belanda, serta diangkat ke dalam keluarga Batak, dia merasa dirinya sebagai penghuni beberapa dunia. Di sejumlah kalangan, orang Tonghoa-Indonesia memunculkan istilahistilah seperti ‘kasno’ (orang yang menyembunyikan kecinaannya) dan ‘kirno’ (orang yang menyangkal kecinaannya). Penyangkalan atau penghapusan etnisitas Tionghoa mungkin mewakili satu ujung dari rentang panjang konstruksi identitas Tionghoa. Di ujung lain (yang paling kental) terdapat orang-orang yang sering disebut ‘totok’, yang secara kultural berhaluan Tionghoa. Sejumlah pengusaha kelas kakap termasuk dalam kelompok terakhir ini: Liem Sioe Liong (Sudono Salim), Mochtar Riady, The Nin King, Go Swie Kie, dan Eka Tjipta Wijaya. (Tan 1991:120). Lalu apa yang dapat kita harapkan, kalau ada, dari sekumpulan tulisan hasil karya orang Indonesia keturunan Tionghoa? Apakah kita harus mengharapkan, dan hanya mengharapkan , kiprah-kiprah terbuka yang membahas masalah identitas? Haruskah orang TionghoaIndonesia menulis tentang etnisitasnya saja, karena orang Indonesia nonTionghoa ‘mengenal’ mereka sebagai suku etnik Tionghoa? Dengan kata lain, apakah kita mengharapkan dari seorang penulis Batak, penulis Bali, penulis Minangkabau untuk hanya menulis tentang apa yang mengakibatkan mereka menjadi orang Batak, Bali, dan Mingkabau? Jika sastra daerah menggunakan atau banyak memuat bahasa daerah, apakah sastra Tionghoa-Indo-
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
nesia juga harus memakai atau banyak memuat bahasa Mandarin? Apakah sajak-sajak dalam bahasa Indonesia yang ditulis penyair Tionghoa-Indonesia memiliki makna berbeda dari kumpulan sajak dalam bahasa Indonesia yang ditulis pribumi? (Kita harus ingat kenyataan penting, yaitu bahwa generasi muda Tionghoa berbicara dan berpikir hanya dalam bahasa Indonesia). Apakah sajak-sajak terjemahan dari bahasa Mandarin ke bahasa Indonesia—bagian dari proyek Wilson Tjandinegara—masih tetap sastra TionghoaIndonesia ‘otentik’? Di manakah sifat Tionghoa berakhir dan sifat Indonesia mulai? Pertanyaanpertanyaan ini telah dibahas oleh, antara lain, Melani Budianta, dalam usaha menentukan apakah karya penulis Tionghoa-Indonesia harus dipahami sebagai sastra Tionghoa-Indonesia atau sebagai bagian dari sastra Indonesia saja. Pertanyaan-pertanyaan yang harus tetap kita ajukan adalah, apa makna julukan ‘Tionghoa’ di sini, dan jika memang bermakna, bagaimana julukan tersebut membentuk cara kita membaca serta menyimak karya-karya tersebut? Atau dengan kata lain, apakah penulisnya telah mati? (is the author dead?) Berikut ini saya akan meneliti sejumlah karya sastra—saya akan membatasi diri, mengingat sajak memakan waktu banyak 5 —tulisan orangorang Tionghoa-Indonesia (yin hua) di era pascaSoeharto. Saya akan mencari cara-cara yang dipakai penulis-penulis ini untuk menangani masalah identitas tersebut di atas.
5
Tentang pembahasan karya fiksi, baca makalah saya ‘Contemporary literature from the Chinese “diaspora” in Indonesia’, disajikan pada konferensi Asian Studies Association of Australia di Hobart pada tanggal 1 Juli 2002. Makalah tersebut serta makalah ini merupakan dasar bagi sebuah artikel yang akan terbit dalam edisi khusus mendatang (Oktober 2003) jurnal Asian Ethnicity (disunting Pam Allen dan Sarah Turner) tentang identitas Tionghoa-Indonesia sejak jatuhnya Suharto.
69
Masalah Tionghoa Sejauh mana etnisitas Tionghoa-Indonesia dimuat dalam syair berikut, topik tersebut hampir selalu termasuk konteks masalah Tionghoa. Khususnya, banyak sajak mengesankan adanya kemungkinan penggalangan kerja sama antara kaum Tionghoa dan pribumi untuk tujuan bersama, yaitu membangun bangsa Indonesia yang bersatu dan kokoh. Walaupun ditulis sebelum era reformasi, sajak ‘Balada Seorang Lelaki di Nan Yang’ tulisan Wilson Tjandinegara 1996 merupakan semacam lagu nasional yang menggambarkan cita-cita tersebut. Sejak abad lima belas dengan perahu Jung mereka arungi lautan ganas larikan diri dari bencana dan malapetaka tinggalkan negeri leluhur mencari tanah harapan di Nan Yang Perkampungan nelayan di Teluk Naga seorang encek pembuat arak mengubur kesendiriannya bersama seorang pendamping setia gadis pribumi lugu sederhana Kikuk seperti ayam dan itik yang satu pakai sumpit yang satu doyan sambel dengan bahasa isyarat berlayar biduk antarbangsa beranak pinak dalam kembara Dari generasi ke generasi warna kulit makin menyatu jadilah generasi persatuan Cina benteng teladan pembauran Sungai Cisadane jadi saksi perjalanan hidup kedua anak bangsa bersama melawan penjajah Belanda bergotong royong terjalin persaudaraan sejati seperti Cisadane terus mengalir dari abad ke abad
70
menuju tanah air—Indonesia (Tjandinegara 1999)
Sungguhpun syair ini bernada optimistik, terasa kesan amat nyata bahwa ‘sifat yang tidak kita milikilah yang justru telah menjadikan pribadi kita sekarang’: yaitu, sifat kecinaan yang dipahami dengan cara menjadi non pribumi. Pemikiran semacam ini menjadi alasan bagi istilah-istilah ‘pri’ dan ‘nonpri’ untuk tetap dipakai, meskipun banyak orang berpendapat bahwa istilah-istilah tersebut sudah usang. Misalnya, dalam prakata tahun 1999 pada antologi Resonansi Indonesia, Leo Suryadinata menggunakan istilah-istilah itu, meskipun dalam tanda kutip (Herfanda dkk 2000:15). Sajak Wilson ‘Kambing Hitam’ bernada kesal terhadap proses mempertentangkan satu golongan etnis terhadap golongan etnis lain secara terus-menerus, dan kepada stereotipstereotip yang muncul akibat proses tersebut: Sejak purbakala yang paling banyak di dunia ini adalah ‘kambing hitam’ Walau kulit dan bulunya hitam namun darahnya sama merah Para ambisius pengejar kekuasaan politisi pengobral janji para orang culas lempar batu sembunyi tangan Mereka itulah menghitamkan kambing jadikan kurban Ketika dibutuhkan mereka diperalat ketika tak mampu kuasai situasi dijadikan tumbal Zaman apa pun negara mana pun yang paling malang nasibnya adalah kau: ‘kambing hitam’ (Tjandinegara 1999)
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
Tragedi Mei Hanyalah lewat jalur puisi yang secara blakblakan mengisahkan tragedi Mei, puncak rasa kekesalan mendalam yang meletus menjadi kemarahan dan kepiluan. Tragedi Mei telah dijadikan dasar banyak tulisan tentang persoalan kecinaan sejak jatuhnya Soeharto. Bahkan, tokoh utama dalam kisah Veven Wardhana, ‘Wo Te Pao-Pe’, memberi kesan bahwa sekarang sifat kecinaan itu diperikan dalam parameter tragedi Mei. ‘Kok kayaknya eksistensi orang-orang Cina baru terasa karena kerusuhan Mei saja’ (Wardhana 2002:14). Sebagaimana Wilson Tjandinegara (1999 :28) mengingatkan kita, Tragedi bulan Mei telah menggemparkan dunia. Korbannya kebanyakan dari etnik Tionghoa. Sebuah tragedi yang meninggalkan noda hitam dalam sejarah Indonesia. Sebagai penyair yang punya hati nurani, pasti mengutuk peristiwa tersebut dan menyampaikansimpatinya kepada para korban, dengan caranya seorang penyair…
Hati nurani Wilson dinyatakan dalam barisbaris berikut dari syairnya ‘Kita tidak boleh berdiam diri’: Menerima perlakuan tidak adil menahan diri terhadap hinaan orang ternyata ada batasnya Karena, kita tak boleh berdiam diri! Kita juga manusia, adalah manusia! punya hak yang sama betapa mungkin diinjak-injak Karenanya, kita tak boleh berdiam diri (Tjandinegara 1999).
Sajak-sajak terakhir karya Ming Fang dan Jeanne Yap juga mengangkat kengerian harihari Mei 1998. Dengan pilihan kata serta latar yang melukiskan jalan-jalan berdarah di Jakarta, sajak-sajak tersebut secara kuat mengingatkan kita akan sajak-sajak Taufiq Ismail di hari-hari naas bulan Februari 1966. Dalam syair ‘Darah, bersimbah di atas dada pahlawan’ (Tjandinegara 2001). Ming Fang menulis
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
tentang ‘tubuh seorang pemuda/bersimbah darah’ dan ‘mahasiswa yang memperjuangkan hak rakyat.’ Namun, pada dua baris terakhir Ming Fang kembali ke masalah Tionghoa: ‘Asalnya dari akar yang sama/Mengapa saling menganiaya?’ Rasa ‘simpati kepada para korban’ yang dituntut Wilson Tjandinegara dari para penyair yang berbelas kasihan juga tampak jelas dalam sajak Jeanne Yap ‘Darah di langit darah di bumi menyatu di bulan Mei’, yaitu suatu masa yang dilukiskannya sebagai ‘musim dingin paling kejam’ dan ‘mimpi buruk paling mengerikan dalam kehidupan.’ Dalam sajaknya, korban-korban tragedi Mei, bagaikan pahlawan-pahlawan perang, gugur demi masa depan cucu-cucu mereka: ‘Kalian/berkorban’, ‘darah/semoga terbalas/ketenangan bagi anak cucu.’ Sajak yang mungkin paling menyedihkan tentang Mei 1998 adalah karya Medy Loekito ’14 mei 1998’: malam tak lagi hening kugapai tangan Tuhan tiada
Sajak ini mencerminkan rasa kehilangan yang mungkin lebih mendalam dari kehilangan nyawa manusia.
Penutup Ariel Heryanto (2001) secara meyakinkan menulis bagaimana identitas ‘ke-Cina-an’ di Indonesia tetap dipahami sebagai sesuatu yang ‘tetap dan pasti’ di era pascaSoeharto. Dia mengemukakan bahwa sifat kecinaan tidak hanya dihancurkan pihak Orde Baru, melainkan juga dikonstruksi orde tersebut. Dengan demikian,upaya rehabilitasi tidaklah cukup. Diperlukan upaya mendekonstruksi seluruh pemikiran ‘identitas Tionghoa’. Usaha ini merupakan sebuah proyek yang masih harus ditangani para penyair sekarang. Meskipun pembahasan di atas menunjukkan kepedulian tentang masalah Tionghoa serta Tragedi Mei
71
1998, tidak banyak penelitian dilakukan tentang bagaimana konsep ‘kecinaan’itu bisa dimaknai di Indonesia saat ini. Pemakaian stereotipstereotip tradisional—seperti ‘pri’ dan ‘nonpri’—dan proses mempertentangkan berjalan terus, yaitu usaha-usaha untuk mengabadikan ‘ketetapan’ yang disinggung Ariel Heryanto. Pada kesempatan ini rasanya tepat bagi saya untuk mengakhiri tulisan dengan puisi ‘Co Kong Tik’ karya Tan Lioe Ie. Penyair ini merasa dirinya sebagai warga Tionghoa-Indonesia, dan dalam sajak-sajaknya dengan jelas dia menyatakan hubungan eratnya dengan kebudayaan serta tradisi Bali. Lihat nyala api dan kepulan asap Pejamkan mata Hentakkan kaki (Taabb! Taabb! Taabb!) Jadilah rumah! Yang kecil di bumi Dibesarkan di langit
Harum dupa dan lingkaran anak Biarkan Tu Ti Ong mabuk Soja Kui Soja Kui Soja Kui Salam takzim anak-cucu Tangan kasih mengembus langit dan waktu Yang dulu tangis kini tawa Fajar menyingsing Jilatan api dan ombak di kaki-kaki karang Bila usai bukalah mata Takjub akan kasih hormat tetesan darah Soja Kui Soja Kui Soja Kui Yang kecil di bumi dibesarkan di langit
Referensi Al-Fayyadl, M. 2002 ‘Sastra Tionghoa dan Prasangka “Politik Identitas”,’ cybersastra.net: situs sastra nusantara http://cybersastra.net/edisi_mei2002/mei2002_5.htm. Diakses 17 June 2002. Aspulis 2002a ‘Fenomena Sastra Mandarin Lima Tahun terakhir di Indonesia’, cybersastra.net: situs sastra nusantara http://cybersastra.net/cgi-bin/naskah/viewesai.cgi?category =5&id=1014846775 Sighted 20 May. 2002b ‘Dua antologi Jeanne Yap dan Ming Fang curahan hati penuh makna’, cybersastra.net: situs sastra nusantara http://cybersastra.net/cgi-bin/naskah/viewesai.cgi?category =5&id=1014846568 Sighted 17 June 2002. Blussé, L. 1991 ‘The Role of Indonesian Chinese in Shaping Modern Indonesian life: A Conference in Retrospect’, dalam Proceedings of the Symposium Held at Cornell University in conjunction with the Southeast Asian Studies Summer Institute July 13-15, 1990, Cornell Southeast Asia Project. Hlm.1–11.
72
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
Budianta, M. 2000 ‘Nasi Beracun: Sastra yang Menghibur’ Mitra 4 (Maret):37–38, 73–77. 2002 ‘Darah Daging Sastra Wilson Tjandinegara’. cybersastra.net: situs sastra nusantara http://cybersastra.net/edisi_mei2002/mei2002_1.htm Sighted 13 May 2002 Herfanda, A.Y., dkk. 2000 Resonansi Indonesia. Jakarta: Komunitas Sastra Indonesia. Hlm.15. Kwee, T.H. 1969 The Origins of the Modern Chinese Movement in Indonesia. Terjemahan dan editing oleh Lea E. Williams, Ithaca, N.Y. : Modern Indonesia Project, Southeast Asia Program, Cornell University. Heryanto, A. 1998 ‘Ethnic Identities and Erasure: Chinese Indonesians in Public Culture’, Joel Sdalam (peny.) dalam Southeast Asian identities: Culture and the Politics of Representation in Indonesia, Malaysia, Singapore, and Thailand. Singapore: ISEAS. 2001 ‘Remembering and Dismembering Indonesia’, Latitudes 1, February:10–15. Lev, D. 1991
‘Becoming an Orang Indonesia Sejati: The political Journey of Yap Thiam Hien’, dalam Proceedings of the Symposium Held at Cornell University in Conjunction with the Southeast Asian Studies Summer Institute July 13–15, 1990, Cornell Southeast Asia Project. Hlm.97–112.
Mackie, J. 1991 ‘Towkays and Tycoons: The Chinese in Indonesian Economic Life in the 1920s and 1980s’, dalam Proceedings of the Symposium Held at Cornell University in Conjunction with the Southeast Asian Studies Summer Institute July 13–15, 1990, Cornell Southeast Asia Project. Hlm.83–96. Maier, H. 1991 ‘Forms of Censorship in the Dutch Indies: The Marginalization of Chinese-Malay literature’, dalam Proceedings of the Symposium Held at Cornell University in Conjunction with the Southeast Asian Studies Summer Institute July 13–15, 1990, Cornell Southeast Asia Project. Hlm.67–81. Ratnaningsih, R. 1999 ‘Still no Closure on May 1998 Atrocities Against Ethnic Chinese’ http:// members.tripod.com/~LuciferOne/9902/39.htm Sighted 13 May 2002. Rush, J 1991
‘Placing the Chinese in Java on the Eve of the Twentieth Century’, dalam Proceedings of the Symposium Held at Cornell University in Conjunction with the Southeast Asian Studies Summer Institute July 13–15, 1990, Cornell Southeast Asia Project. Hlm.13–24.
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003
73
Sidharta, M. 2001 ‘Chinese Culture’s Comeback’, Latitudes 1, February:6–9. Suryadi, N. 2002 ‘Tragedi Mei dalam Sajak Wilson Tjandinegara’, cybersastra.net: situs sastra nusantara http://www.cybersastra.net/home.htm Sighted 13 May 2002. Suryadinata, L. 1978 Pribumi Indonesians, the Chinese Minority, and China: A Study of Perceptions and Policies. Kuala Lumpur: Heinemann Educational Books (Asia). 1996 Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia. Jakarta: Grasindo. 1997 The Culture of the Chinese Minority in Indonesia. Singapore: Times Books International. Tan, M.G. 1999 The Social and Cultural Dimensions of the Role of Ethnic Chinese in Indonesian society. Proceedings of the Symposium Held at Cornell University in conjunction with the Southeast Asian Studies Summer Institute July 13–15, 1990, Cornell Southeast Asia Project. Hlm.113–125. Tjandinegara, W. 1998 Menyangga Dunia di atas Bulu Mati. Jakarta: Komunitas Sastra Indonesia. 1999 Rumah Panggung di Kampung Halaman. Jakarta: Komunitas Sastra Indonesia. 2001a Janji Berjumpa di Kota Pegunungan. (Poetry by Ming Fang, translated by Wilson Tjandinegara). Jakarta: Komunitas Sastra Indonesia 2001b Lelaki adalah Sebingkai Lukisan. (Poetry by Jeanne Yap, translated by Wilson Tjandinegara). Jakarta: Komunitas Sastra Indonesia Wardhana, V.Sp. 2002 Panggil Aku Pheng Hwa. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Wibowo, I. 2000 ‘Kapan kecinaan akan Berhenti?’ Mitra 4 , 7–9 Maret:66–68.
74
ANTROPOLOGI INDONESIA 71, 2003