ETNIS TIONGHOA DAN PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN INDONESIA MASA ORDE BARU DesvianBandarsyah, M.Pd.
Abstract
The collapse of economic field in the period of DemokrasiTerpimpin paved the way for transfer of power into the hands of OrdeBaru. In the hard economic times, the OrdeBaru regime employed the Chinese entrepreneur to improve the economic of the country. In this condition, TionghoaEthnics were involved to develop economic establishment of unconventional oil and gas, build the enterprises which were employed by foreign investors, launch the share to the public as well. Therefore, Chinese selfemployed were also incorporated in banking sector supported by establishing the private banks with the spirit of free market. By historical approach, this research aims to figure out the role of TionghoaEthnics in the growth of Indonesian economic during OrdeBaru regime. The result of this study discovered that any policy of OrdeBaru highly supported the domination of Tionghoa Ethnics, especially in economic field so that their existence endorsed the effort of economic growth in OrdeBaru. Keyword: SistemCukong, Private Sector, Liberalism Policy
A. Pendahuluan Berakhirnya Demokrasi Terpimpin padatahun 1967 mewariskan keadaan ekonomi yang sangat burukbagiperiodepemerintahanOrdeBaru di Indonesia. Padatahun1965, harga-harga pada umumnya naik lebih dari 500%. Keadaan yang paling parah terjadipadabulan Januari, Februari, dan Maret 1966 (Muhaimin, 1990: 51).Menghadapi kenyataan tersebut, pemerintah Orde Baru mengambil berbagai kebijakan untuk mengatasi
perekonomian
negarayang
semakin
memburuk.
Salah
satukebijakannyaadalahmenggunakanetnis Tionghoa setelah mempertimbangkanbahwa kedudukan ekonomi orang Tionghoa cukup kuat terutama dalam bidang perdagangan. Kuatnya kedudukan ekonomi orang Tionghoa itu dapat dilihat dari maraknya perkembangan toko-toko yang dimiliki etnis Tionghoa di sepanjang jalan-jalan utama di seluruh kota-kota kecil dan besar di Indonesia.Berdasarkan kecenderungan tersebut, maka pemerintah memanfaatkan orang Tionghoa untuk menarik modal dariinvestor asing.
1
Sikap pemerintah yang berpihak pada pengusaha Tionghoa berlanjut dalam bentuk kerjasama-kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan. Dalam hal ini banyak
pengusaha
keturunan
Tionghoa
yang
bekerjasama
dengan
elit
pribumidalampemerintahan yang kemudian berkembang menjadi persekutuan baru denganistilahSistem Cukong.1 Hal ini terjadi untuk menjamin kelancaran usaha mereka dari tindakan-tindakan yang sangat rentan dengan ketidakstabilan politik. Pada dasarnya kerjasama ini sangat menguntungkan kedua belah pihak terutama etnis Tionghoa yang muncul sebagai konglomerat baru dan mendominasi perekonomian di Indonesia. KeterlibatanpengusahaTionghoa juga ikut mempengaruhi perkembangan perekonomian secara nasional, baik dari segi akumulasi modal maupun dari segi jumlah pajak yang telah dibayarkan. Berbagai kemudahan lain yang diberikan pemerintah untuk memanfatkan investasi para pengusaha Tionghoa juga terlihat setelah pemerintah memberlakukan deregulasi finansialpadatahun 1988. Melalui deregulasi ini, sebagian besar pengusaha Tionghoa dapat mengkonsentrasikan kekuatan finansialnya.2 Hal ini semakin membuka kesempatan untuk memperkokoh usaha yang dimiliki oleh etnis Tionghoa. Demikian pada tahun 1990-an, kesempatan untuk membesarkan usaha juga terbuka dengan aktifnya bursa saham. Mulai saat itu satu persatu perusahaan besar milik para pengusaha Tionghoa didaftarkan dan diperjual belikan sahamnya kepada publik di bursa saham. Keadaan ini terus berlanjuthingga akhirnya perusahaan-perusahaan besar yang terdapat di Indonesia sebagian besar dikelola oleh para pengusaha Tionghoa. Berangkat dari uraian ini, maka dipandang perlu untuk melakukan penelitian mengenai peran etnis Tionghoa dalam perekonomian di masa Orde Baru.
1
Cukong adalah sebuah istilah Tionghoa yang berarti tuan. Dalam konteks Indonesia kata ini digunakan untuk pengusaha etnis Tionghoa yang berkolaborasi dengan elite kekuasaan (termasuk yang bediam di Istana) dalam berbagai usaha patungan. Mitra pribumi menyediakan fasilitas dan perlindungan sedangkan orang Tionghoa mengelola bisnis. Lihat: Leo Suryadinata.1999.Etnis Tionghoa Dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: LP3ES, hal. 93.
2
Deregulasi finansial ini salah satunya adalah dengan pendirian beberapa institusi finansial dan kerjasama yang dijalin pengusaha Tionghoa dengan institusi finansial asing. Institusi finansial tersebut berfungsi sebagai payung bagi para pengusaha Tionghoa yang ingin menekuni dunia usaha. Melalui institusi finansial yang mereka miliki, beberapa pengusaha besar secara tidak langsung dapat memberikan suntikan dana ataupun kredit bagi pengusaha Tionghoa lainnya, terutama bagi mereka yang baru menekuni dunia usaha. Di samping itu, mereka juga semakin mudah mendapatkan pinjaman dari pihak luar negeri. Lihat: I Wibowo. 1999. Restospeksi dan Rekontektualisasi Masalah Cina. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 69.
2
B. PerumusanMasalah Masalah
yang
dirumuskandalampenelitianiniadalahbagaimanaperan
etnis
Tionghoa dalam perekonomian di IndonesiamasaOrdeBaru?
C. KajianPustaka 1. Etika Konfusianisme Keberhasilan orang Tionghoa dalam bidang perekonomian di Indonesia dapat dikaitkan dengan ajaran-ajaran yang dibawa mereka dari negara asal menuju negara perantauannya. Ajaran-ajaran yang banyak memberikan pengaruh pada perkembangan dasar berfikir, pandangan hidup, dan filsafat orang Tionghoa tersebut adalah Budhisme, Taoisme, dan Konfusianisme. Namun, dari ketiga ajaran tersebut ajaran Konfusianisme yang sangat memberikan pengaruh besar. Konfusianisme adalah ajaran politik yang elitis. Dalam kajian itu, elit itulah yang berwenang untuk memerintah karena memiliki moral yang baik. Dalam hal ini maka dalam ajaran tersebut orang yang bermoral dipandang memiliki kedudukan yang tinggi. Dari pandangan ini muncul anggapan bahwa orang Tionghoa adalah orang yang beradab. Sikap seperti ini selalu mereka yakini secara kuat dan akan dibawa kemanapun mereka pergi merantau. Seperti yang dijelaskan sebagai berikut: Oleh karena itu walaupun pada waktu datang mereka mengembara tidak mempunyai apa-apa, akan tetapi dengan bekerja keras, tekun, dan sabar, serta hemat dalam pengeluaran…(Hidayat, 131-132). Berdasarkan keterangan di atas, sifat-sifat seperti hemat, tekun, sabar, pantang menyerah, dan selalu bekerja keras menjadi dasar dari praktek kehidupan etnis Tionghoa agar menjadi beradab. Sifat-sifat inilah yang juga mempengaruhi orang Tionghoa dalam bidang perekonomian, seperti yang diungkapkan oleh Limlingan (Suryadinata, 2002: 201): …sukses orang Tionghoa dalam bidang ekonomi terletak pada faktor-faktor kebudayaan (yaitu Konfusianisme) dan ras. Dia menyebut kepatuhan terhadap penguasa, mengutamakan harmoni, sifat kekeluargaan dan rasa hormat terhadap yang lebih senior dan sebagainya. Kebudayaan dan “ras Tionghoa” itu melahirkan strategi bisnis dan praktik manajemen yang unggul, yang akhirnya membawa mereka kejalan kejayaan.
3
Selain ajaran Konfusianisme, keberhasilan orang Tionghoa dalam bidang perekonomian juga dipengaruhi oleh adanya kebijakan-kebijakan dari pemerintah yang secara langsung maupun tidak ikut memberikan peran yang besar terhadap kelancaran bisnis mereka di Indonesia.
2.
KebijakanEkonomi Indonesia Pada awal Orde Baru terjadi ketidakstabilan ekonomi, yang sebenarnya
merupakan
warisan
dari
ketidakstabilan
politik
dan
ekonomi
yang
terjadi
padapemerintahan sebelumnya. Melihat hal tersebut maka kebijakan-kebijakan di bidang perekonomian mulai diupayakan pemerintah, sepertimeninggalkan polaekonomi komando versi Orde Lama dan membiarkan kekuatan pasar sebanyak mungkin menentukan keputusan-keputusan ekonomi. Keputusan ini dipandang penting dalam upaya menstabilkan dan membangun perekonomian serta menarik para kreditor dan investor asing. Berdasarkan hal tersebut, maka pemerintah Indonesia memberlakukan Undang-undang Penanaman Modal Asing (UUPMA) dan Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri (UUPMDN), sebagaimana dijelaskan berikut: Di bidang ekonomi perubahan penting yang dilakukan Orde Baru adalah dengan ditetapkannya TAP No. XXIII/MPRS/1966 tentang penyelesaian masalah ekonomi dan keuangan, serta ditetapkannya Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1967 dan Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tahun 1968 yang menjamin keamanan modal asing di Indonesia (Wirawan, 2000: 1965). DenganadanyaUUPMA pemerintahOrdeBarumemberikan
dan berbagai
UUPMDN kemudahan
yang
tersebut, memberi
jaminan
keuntungan dan perlakuan istimewa terhadap investor asing. Dalam hal ini kebijakan seperti itu justru memberikankesempatanbagi para pengusaha Tionghoa untuk dapat memperbesar usaha mereka, sehingga memiliki peranan yang penting dalam perekonomian di Indonesia. Situasi ini dijelaskan berikut: Pada awal pemerintahan Soeharto, tahun 1966-1967 warga etnis Tionghoa banyak diberi peluang, karena pada waktu itu mereka dianggap memiliki akses ke luar negeri untuk menarik modal investor asing, khususnya etnis Tionghoa berkewarganegara Taiwan, Hongkong, dan Singapura. Kenyataannya, strategi yang diterapkan oleh pemerintahan Soeharto waktu itu cukup berhasil menarik investor asing. Banyaknya investor asing yang pada umumnya memilih bekerjasama dengan etnis Tionghoa, karenamungkin kelompok ini dianggap telah menguasai jalur distribusi perdagangan dalam negeri dan dekat dengan elite 4
pemerintahan Soeharto, sehingga mudah mendapatkan konsesi dan lisensi (Sa’dun, 199: 48). Sejalan
dengan
adanya
kebijakan
tersebut,
pemerintah
OrdeBarujuga
menganjurkan para pengusaha Tionghoa untuk melakukan kerjasama usaha dengan perusahaan swasta nasional Indonesia. Denganadanya pemberian kebebasan bagi pengusaha Tionghoa untuk bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan swasta maupun pemerintah tersebut, pada akhirnya membawa dampak negatifseperti lahirnya kerjasama yang dilakukan para pengusaha Tionghoa dengan para elit pemerintahan. Kerjasama tersebutdimaksudkan dalam rangka memberikan perlindungan keamanan dan pemberian fasilitas yang dilakukkan oleh para elit pemerintah kepada para pengusaha Tionghoa, yang dibalasolehpengusaha Tionghoa dengan memberikan jaminan uang sebesar-besarnya terhadap perlindungan tersebut, guna memperlancar usaha mereka dalam bidang perekonomian. Kerjasama semacam ini kemudian dinamakan Sistem Cukong. Pada satu hal, kebijakan ekonomi pemerintah tersebut banyak memberikan keuntungan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan adanya keterbukaan penanaman
modal
asing
yang
akhirnyamemunculkandominasi
mendorong
Tionghoa
terciptanya dalam
pasar
bebas,
sektorperekonomian
seiringdengankondisiperekonomian Indonesia yang terus membaik dan stabil. Keadaan perekonomian yang terus membaik itu, tidak disertai dengan perbaikan ekonomi bagi para pengusaha pribumi yang merasa dirugikan dalam hal ini. Maka munculberbagaikritik-kritikmaupunaksi-aksi kebijakan
yang
yang
berisikecamanterhadapkebijakanlebihmemihakgolonganTionghoa,
dancenderungmematikanusahaperekonomiangolonganpribumi. Berdasarkan
desakan
tersebut,
pribumidalambidangperekonomian,
untuk
mengurangidominasi
telahdilakukanberbagaimacamusaha.
non Usaha-
usahaininampaknyatadalamKeppres 14 Tahun 1980, sertaKepres 18 Tahun 1981 yang memilikiketentuansebagaiberikut: 1. Sekurang-kurangnya 50% daripermodalanperusahaandimilikiolehpribumi. 2. Lebihdariseparuhkomisarisperusahaanadalahpribumi danlebihdariseparuhdireksiadalahpribumi.
5
3. Dalamhalperusahaanberbentukperseroankomanditeratau
firma,
makalebihdariseparuhpimpinanperusahaanadalahpribumi. 4. Dalamhalperusahaanperorangan,
makaperorangan
yang
bersangkutanadalahpribumi. Pada dasarnya segala upaya tersebut ditempuh pemerintah Orde Baru untuk mengurangi adanya dominasi ekonomi etnis Tionghoa di Indonesia, dan turut membantu usaha para pengusaha pribumi. Namun pada kenyataannya, upaya ini sulit untuk dijalankan. Keadaan ini terutama setelah jatuhnya harga minyak. Melihat kenyataan ini, maka pemerintah kembali menjalin kerjasama dengan para pengusaha Tionghoa yang pada dasarnya lebih berpengalaman dibandingkan para pengusaha pribumi. Keadaan semacam ini dijelaskan sebagaiberikut: Pada tahun 1984, untuk pertama kali di masa Orde Baru pengusaha-pengusaha etnis Tionghoa diundang hadir dalam pertemuan Kadin dalam rangka penjelasan proposal investasi pemerintah dalam Pelita IV (1984-1989). Dalam penjelasannya, pemerintah yang kesulitan dana akibat menurunnya penerimaan minyak, mengungkapkan bahwa 50% dana investasi atau 67,5 triliun rupiah diharapkan datang dari dalam negeri lewat investasi swasta. Secara implisit, hal ini ditujukan bagi para pengusaha etnis Tionghoa (Wibowo, 1999). Melihat kenyataan di atassulit dipungkiri bahwa kehadiran etnis Tionghoa dalam menunjang pembangunan di masa Orde Baru menjadi sangat penting. Hal ini yang mengakibatkan sektor-sektor vital perekonomian Indonesia dikendalikan oleh golongan tersebut. Dominasi yang nyata juga menjadi jelas dengan adanya kebijakan deregulasi finansial di tahun 1988 yang semakin memperkokoh usaha yang dimiliki etnis Tionghoa. Sejalan dengan itu memasuki tahun 1990, kesempatan untuk membuka usaha juga terbuka dengan aktifnya bursa saham. Hal ini adalah wujud dari besarnya peran etnis Tionghoa dalam upaya membangun perekonomian di masa Orde Baru.
D. HasildanPembahasan 1. Lahirnya Cukong dan Pertalian Modal Asing Berbagai masalah ketidakstabilan ekonomi pada masa Orde Baru menuntut adanya penyelesaian dari pemerintah yang saat itu baru saja mengalami pergantian rejim dari masa kepemimpinan Soekarno ke Soeharto. Untuk mengatasi masalah perekonomian tersebut, maka muncul slogan baru yaitu ekonomi sebagai penglima.
6
Adanya slogan baru yang muncul jelas menjadi titik penting dalam pengambilan kebijakan-kebijakan dalam upaya mengatasi masalah perekonomian yang tidak stabil. Langkah penting dalam kebijakan itu adalah dengan mendatangkan modal asing dalam jumlah yang besar. Melalui kebijakan ini pemerintah kemudian mengeluarkan UUPMDN dan UUPMA. Kebijakan tersebut pada dasarnya adalah memberikan kemudahan-kemudahan bagi para investor asing dan dan pengusaha Tionghoa untuk dapat menanamkan modal secara besar-besaran. Kebijakan UUPMA dan UUPMDN yang dimaksudkan mendorong investor asing untuk menanamkan modal di Indonesia memainkan peran yang dominan dalam penanaman modal dan membangun kerjasama ekonomi. Kerjasama tersebutbanyak dilakukan oleh invenvestor asing dengan para pengusaha Tionghoa yang dinilai lebih berpengalaman, memiliki modal yang besar, serta memiliki jaringan pasar yang luas. Hal ini tentu semakin memperbesar dominasi Tionghoa dalam sektor ekonomi Indonesia dan melemahkan para pengusaha pribumi. Semetara itu melalui UUPMDN, pengusaha Tionghoa diberikan insentif oleh pemerintah dalam menunjang program pembangunan ekonomi. Adanya berbagai kebebasan
untuk
menanamkan
modaldanusaha
yang
semakin
luas
memberikesempatanparapengusahaTionghoauntuk memperbesar usaha dan partisipasi mereka bukan hanya dalam bidang perdagangan, namun juga pada sektor lain seperti perbankan dan industri. Meski pada awalnya para pengusaha Tionghoa diberikan kesempatan untuk mengembangkan usahanya dalam rangka pembangunan ekonomi, namun dalam prakteknya mereka harus berhadapan dengan birokrasi dan masalah keamanan usaha mereka dari ancaman pribumi yang selalu memendam prasangka terhadap mereka. Untuk mengatasi kesulitan birokrasi tersebut mereka menjalin kerjasama dengan para elit pribumi yang dekat dengan kekuasaan. Adanya kerjasama itu dijelaskan berikut ini: Untuk menghindari kesulitan birokrasi dan untuk pengamanan banyak pengusaha etnis Tionghoa berkolaborasi dengan elit Indonesia, terutama dengan pihak militer. Kolaborasi tidak resmi yang sangat umum pada waktu itu adalah pengusaha etnis Tionghoa memberikan dukungan modal dan mengelola usaha, sedangkan elit Indonesia memberikan lisensi atau konsesi monopoli. Keduanya sangat diuntungkan oleh “kerja sama” semacam ini, yang dikenal waktu itu sebagai “cukongisme”.3 3
I Wibowo. 1999. Retropeksi dan Rekontektualisasi Masalah Cina. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 59.
7
Kerja sama tersebut menghasilkan suatu kerja sama yang saling mengisi antara elit pribumi dengan para pengusaha Tionghoa. Dengan adanya aksi-aksi kerusuhan sebagai imbas dari dominasi mereka dalam perekonomian, mereka tidak segan-segan untuk memberikan sogokan dalam bentuk uang dan sebagainya dengan jumlah yang besar.Sebagai jaminannya mereka diberikan perlindungan khusus oleh elit pribumi yang berkuasa. Mengenai praktek pemberian uang ataupun bantuan diuraikan berikut ini: Kadang-kadang, para cukong tersebut memberikan sumbangan untuk tujuan yang mereka anggap baik. Untuk beberapa saat, media massa rebak dengan laporanlaporan yang mengindikasikan keterlibatan mereka dalam pembiayaan kampanye politik Golkar sampai ke aksi-aksi yang kurang transparan.4 Maraknya sistem cukong di masa Orde Baru kemudian memicupraktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Pada akhirnya, kelompok KKN inilah yang sebetulnya menguasai ekonomi Indonesia. Hal ini munculdenganhadirnyabeberapa konglomerat baik dari kalangan pengusaha Tionghoa ataupun berasal dari elit pribumi yang memainkan peran sangat dominan dalam praktek tersebut seperti Liem Sioe Liong atau Sudono Salim, William Soeryadjaya, Eka Tjipta, Bob Hasan, dansebagainya. Sementara itu orang-orang yang berasal dari elit pribumi diantaranya adalah Ibnu Sutowo, Ali Murtopo, Ali Sadikin, dan beberapa petinggi militer yang memegang jabatan penting pada masa Orde Baru. Singkatnya pada masa Orde Baru, setiappengusaha yang dekat dengan kekuasaan bisnisnya akan menjadi berkembang dan besar. Hal ini terjadi pada Liem Sioe Liong atau
Sudono
Salim.
Kemampuannya
menjalin
kedekatan
dengan
Soeharto
menjadikannya menjadi salah satu konglomerat terbesar di Indonesia.5 Ini tidak dapat dipungkiri dari citranya sebagai pengusaha suskses yang mempunyai beberapa perusahaan besar seperti, PT. Bogasari, PT. Indocement, Bank Central Asia (BCA), Hotel Mandarin, PT. Tarumatex, dan lain-lain; yang merupakan deretan kelompok usaha-usaha besar strategis bagi perkembangan ekonomi Indonesia.6
4
Yusiu Liem. 2000. Prasangka Terhadap Etnis Cina: Sebuah Intisari Evaluasi 33 Tahun di Bawah Rejim Soeharto. Jakarta: Djambatan,hal. 75. 5
Hasil wawancara dengan Ferry Sito pengurus Yayasan Pancaran Tridharma, pada Jum’at, 7 Juni 2013, pukul 14.20 WIB, di Kantor Yayasan Pancaran Tridharma, Jln. Mayor Oking, Bekasi Barat. 6
SiswonoYudoHusodo. 1985. WargaBaru: LembagaPenelitianYayasanPadamuNegeri. hal. 83.
8
KasusCina
Di
Indonesia.
Jakarta:
Melihat kenyataan tentang besarnya peran serta pengusaha Tionghoa dalam perekonomian Indonesia, terutama setelah kedatangan para investor asing yang menanamkan modalnya dan bekerja sama dengan pengusaha Tionghoa hingga lahirnya praktik percukongan yang menimbulkan KKN di tubuh elit kekuasaan dan para pengusaha
Tionghoa
yang
ikut
terlibat
didalamnya,
makamunculkritik-kritik
terhadapkebijakan pemerintah tersebut. Kritik-kritik tersebut selanjutnya diwujudkan dalam bentuk aksi demostrasi. Tentang situasi tersebut digambarkan berikut: Pada akhir 1973 situasi di kalangan mahasiswa memanas, karena keresahan yang dialami rakyat melihat arah perkembangan ekonomi yang dilaksanakan pemerintah Orde Baru. Isu-isu korupsi, percukongan, modal asing, serta peranan Jepang menjadi sorotan mereka. Mahasiswa menilai bahwa pelaksanaan pembangunan memberikan porsi terlampau besar kepada modal asing, terutama modal modal Jepang sehingga menghancurkan modal dalam negeri. Aksi-aksi demonstrasi tersebut berkembang menjadi aksi rasialis anti Tionghoa dengan merusak dan menjarah toko-toko etnis Tionghoa. 7 Rangkaian demonstrasi ini akhirnya meledak dalam peristiwa kerusuhan pada tanggal 15 Januari 1974 yang dikenal dengan Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari). Peristiwa itu ditandai dengan penghancuran toko-toko milik etnis Tionghoa dan pengrusakan produk-produk Jepang. Semenjak saat itu pemerintah Orde Baru mulai menjalankan kebijakan ekonomi mengenai pembatasan dominasi etnis Tionghoa dan juga pihak asing dalam aktivitas perekonomian di Indonesia.
2. Kondisi Malari Sampai Awal Setelah 1980-an Setelah peristiwa Malari, diskusi mengenai etnis Tionghoa dan juga penanaman modal asing dibatasi. Hal ini untuk menghindari terjadinya aksi demonstrasi yang mengarah pada etnis Tionghoa. Setelah masa itu pula, muncul istilah pribumi dan non pribumi. Penggunaan istilah tersebut digunakan sebagai kritikan terhadap pengusaha etnis Tionghoa. Untuk mengurangi ketegangan yang terjadi, pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan ekonomi yang baru. Kebijakan ekonomi ini pada intinya dalam rangka upaya pemribumian atau Indonesiasi dengan tujuan untuk membantu para pengusaha pribumi agar dapat mengembangkan usahanya. Dalam upaya ini, pada tahun 1974 dikeluarkan
7
Benny.G. Setiono. 2003.TionghoaDalamPusaranPolitik: Mengunggkap Fakta SejarahTersembunyi Orang Tionghoa Di Indonesia.Jakarta: Elkasa, hal. 1002.
9
suatu peraturan yang mengharuskan semua investasi asing di Indonesia dikelola dalam bentuk patungan. Adapun peraturan akhir dalam upaya pemribumian atau indonesiasi ini adalah dengan dikeluarkannya Keppres No. 14 yang dikeluarkan tahun 1979, yang kemudian disempurnakan menjadi Keppres No. 14A tahun 1980 yang menetapkan bahwa departemen dan lembaga-lembaga pemerintah memberikan prioritas kepada para pengusaha dan kontraktor kelompok ekonomi lemah (yaitu pribumi Indonesia) untuk membeli barang-barang dan mengadakan kontrak. Untuk proyek besar, usaha patungan antara pribumi dan non pribumi digalakkan, akan tetapi pribumi harus memiliki andil 50% dan harus aktif dalam perusahaan tersebut.8 Melalui Keppres tersebut dan dengan adanya upaya pemerintah dalam hal merangsang
tumbuhnya
pengusaha
pribumi
dalam
usahanya,
makamuncullahpengusaha-pengusaha pribumi seperti Siswono Yudo Husodo, Fahmi Idris, dan Pontjo Sutowo yang terutama bergerak di sektor konstruksi. Disusul juga dengan munculnya putra-putri Soeharto seperti, Bambang Tri, Siti Hardiyati Rukmana, Sigit, dan Tommy Soeharto. Akan tetapi, walaupun ada aturan seperti Keppres No. 14A tahun 1980 ini secara keseluruhan, pengusaha etnis Tionghoa ternyata lebih banyak tumbuh dan menjadi besar. Hal ini karena, peraturan ini hanya membantu sebagian pengusaha pribumi saja, terutama mereka yang memiliki hubungan dengan kekuasaan atau telah memiliki kerja sama dengan pengusaha Tionghoa. Akhirnya, dominasi perekonomian Indonesia tetap berada pada para pengusaha Tionghoa. Dominasi etnis Tionghoa dalam perekonomian semakin jelas terutama setelah jatuhnya harga minyaksehingga mengakibatkan pemerintah kembali menjalin kerja sama dengan para pengusaha Tionghoa dalam upaya mendorong pendapatan bukan minyak. Bisnis etnis Tionghoa diharapkan dapat membantu program pembangunan pemerintah Orde Baru. Hal ini tercermin dalam pidato Soeharto berikut ini: Pemerintah hanya dapat menyediakan 54,1% dari keseluruhan biaya yang dibutuhkan bagi pembangunan tahap IV. Sementara sisanya 45,9% diharapkan datang dari sektor swasta, terutama untuk menunjang pengadaan lapangan kerja
8
Leo Suryadinata.1999.Etnis Tionghoa Dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: LP3ES, hal. 94.
10
dan memperoleh dana bagi program pembangunan dari penerimaan ekspor non migas.9 Berdasarkan hal tersebut, kebijakan ini secara jelas ditujukan kepada para pengusaha etnis Tionghoa melihat hanya golongan ini yang memiliki kemampuan secara finansial dan banyaknya para pengusaha Tionghoa yang bergerak dalam bidang non migas seperti industri manufaktur. Dalam hal ini pemerintah menaruh harapan yang besar akan partisipasi pengusaha Tionghoa, karena ketidaksanggupan pemerintah dalam menunjang pembiayaan pembangunan tahap IV di masa Orde Baru akibat turunnya harga minyak. Peran serta pengusaha Tionghoa dalam pembangunan masa Orde Baru yang memberikan pengaruh bagi terciptanya ekonomi yang lebih stabil adalah dalam menciptakan lapangan pekerjaan melalui bidang Industri. Dengan adanya lapangan pekerjaan di bidang industri, maka akan menyerap tenaga kerja yang banyak. Hal ini yang berdampak pada jumlah angka pengangguran yang menurun dan kesejahteraan meningkat.10 Melihat kenyataan tersebut, maka adanya bantuan dari pengusaha Tionghoa terutama turut serta mereka dalam mensukseskan pembangunan Orde Baru adalah hal penting. Adanya kesediaan golongan ini untuk turut serta dalam upaya pembangunan, mempengaruhi
sikap
pemerintah
terhadap
mereka.
Pemerintah
memberikan
kemudahan-kemudahan bagi mereka terutama dalam kedudukan dan pengakuan mereka dalam politik. Mengenai hal ini dijelaskan berikut: Sebelum anjloknya harga minyak, sebelum deregulasi dan debirokratisasi penggalakan ekspor non miga, peranan golongan menengah, khususnya keturunan Tionghoa tampak kurang memilki keabsahan. Mereka tidak memilki akses politik yang memungkinkan terciptanya suatu sistem korupsi struktural. Diregulasi dan debirokratisasi tentu membawa perubahan ke arah legitimasi golongan pengusaha tanpa memperdulikan keturunan. Telah terjadi perubahan kedudukan golongan pengusaha dari situs tidak absah menjadi absah.11 Seiring dalam upaya untuk menarik investasi bagi pengusaha Tionghoa adalah dengan dipermudahnya proses naturalisasi. Dalam hal ini pemerintah menjamin pemberian
kewarganegaraan
bagi
para
9
penguasaha
Tionghoa
yang
masih
I Wibowo, Op. Cit., hal. 68. Hasil wawancara dengan Hartono, wakil pimpinan PT. Maspion Kencana. Pada Kamis, Selasa, 11 Juni 2013, pukul 10.50 WIB di PT. Maspion Kencana, Desa Ganda Mekar Kec. Cikarang Barat, Bekasi 11 Onghokham. 2008.Anti Cina, Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu, hal. 48. 10
11
berkewarganegaraan asing secara singkat dan ketentuan yang tidak sulit. Sementara itu pemerintah juga mencoba menghapuskan penggunaan istilah pengusaha pribumi dan non pribumi dan menggantinya dengan istilah pengusaha nasional.
3. Pengusaha Etnis Tionghoa Pertengahan 1980-an dan Awal 1990-an Kebijakan ekonomi Orde Baru setelah tahun 1980-an yang penting dan semakin membuka kesempatan pengusaha Tionghoa dalam perekonomian adalah kebijakan deregulasi perbankan dan liberalisasi perbankan. Kebijakan ini merupakan tonggak penting dalam sejarah kebijakan ekonomi Orde Baru karena pemerintah melepaskan kendali dalam penentuan suku bunga kepada mekanisme pasar. Tonggak penting dalam kebijakan ekonomi Orde Baru adalah kebijakan deregulasi perbankan 1983. Melalui kebijakan ini, pemerintah (dalam hal ini Bank Indonesia) tidak campur tangan dalam penentuan suku bunga bank, melainkan diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar.12 Deregulasiperbankandimulaisejaktahun Indonesiamemberikankeleluasaankepada
1983.Padatahuntersebut,
bank-bank
Bank
untukmenetapkansukubunga.
Pemerintahberharapdengankebijakanderegulasiperbankanmakaakanterciptakondisidunia perbankan yang lebihefisiendankuatdalammenopangperekonomian. Berdasarkan hal ini, bank-bank pemerintah mempunyai kewenangan untuk menetapkan suku bunga secara mandiri. Akibat dari kebijakan ini adalah meningkatnya suku bunga perbankan, karena setiap bank dipaksa untuk bersaing dalam memperebutkan dana masyarakat yang sangat terbatas. Persaingan tersebut semakin ketat dengan dikeluarkanya kebijakan liberalisasi perbankan melalui Paket Kebijakan Oktober 1988 (PAKTO 1988). Melalui kebijakan liberalisasi perbankan ini pemerintah memberikan kemudahan dan keleluasaan bagi sektor swasta yang umumnya didominasi oleh etnis Tionghoa untuk mendirikan bank baru atau memperluas cabang-cabang banknya di seluruh Indonesia. Dalam hal ini pemerintah juga telah mengijinkan dibukanya lembagalembaga keuangan non-bank. Adapun tujuan dari usaha tersebut adalah untuk memobilisasi dana-dana jangka panjang untuk membiayai investasi perusahaanperusahaan. Lembaga-lembaga ini biasanya didirikan dalam bentuk kongsi bagi mereka
12
Muhamad Hisyam. 2003. Krisis Masa Kini dan Orde Baru. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 240.
12
yang mempunyai kepentingan perbankan di dalam dan di luar negeri. Hal ini memunculkan terjadinya kerjasama antara pengusaha Tionghoa dengan pihak asing. Pendirian beberapa institusi finansial dan kerja sama yang dijalin pengusaha Tionghoa dengan institusi asing sangat membantu sebagai sumber dana yang esensial bagi perkembangan usaha etnis Tionghoa. Institusi finansial tersebut dapat berfungsi sebagai payung bagi etnis Tionghoa yang ingin menekuni dunia usaha. Di samping itu, mereka juga semakin mudah mendapatkan pinjaman dari pihak luar negeri.13 Berdasarkan hal tersebut, dorongan untuk melakukan pinjaman asing oleh sektor swasta ini bertambah besar dengan dikeluarkannya Keppres No. 39 tahun 1991 yang memberikan kebebasan kepada swasta untuk melakukan pinjaman keuangan pada bankbank dan lembaga-lembaga keuangan internasional dengan kewajiban yang sangat ringan yaitu hanya melaporkan pelaksanaannya kepada Departemen Keuangan dan Bank Indonesia. Demikian bank-bank asing diberikan keleluasaan untuk membuka kantor-kantor cabangnya di luar ibukota negara. Adapun dampak secara langsung dari kebijakan ini adalah semakin banyaknya jumlah bank nasional maupun kantor-kantor cabang bankbank asing di kota-kota besar di Indonesia. Maka, dalam hal ini tumbuhnya persaingan yang ketat antar bank-bank yang muncul tersebut terutama untuk memperebutkan dana dari masyarakat. Munculnya persaingan yang marak itu mengakibatkan adanya persaingan tidak sehat di kalangan para pengusaha. Akibatnya peluang-peluang usaha dan kredit lebih banyak dimanfaatkan oleh para pengusaha Tionghoa dan asing yang lebih mapan dalam masalah permodalan. Hal ini membuat semakin kuatnya dominasi Tionghoa dan asing dalam melebarkan usaha mereka terutama dalam menambah kekayaan mereka. Sementara itu memasuki tahun 1990-an, kesempatan untuk membesarkan usaha juga semakin terbuka lebar dengan adanya bursa saham. Mulai saat itu satu-persatu perusahaan besar milik pengusaha etnis Tionghoa didaftarkan dan diperjualbelikan di bursa saham. Sampai pertengahan 1993, dari 162 perusahaan yang terdaftar di bursa saham Jakarta, 80% di antaranya adalah milik pengusaha etnis Tionghoa. Terlepas krisismoneter di Indonesia padatahun 1997-1998, kebijakan-kebijakan ekonomi yang dimaksudkan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi, membayar 13
I Wibowo,Op. Cit. hal. 69.
13
hutang luar negeri, dan menunjang pembangunan yang menjadi program inti pada masa kekuasaan Soehartomemangbanyakmelibatkanetnis Tionghoa. Peran serta etnis Tionghoa ini jelas penting karena pada kenyataannya mampu menyesaikan masalahmasalah ekonomi Orde Baru.
E. Kesimpulan Berdasarkan temuan penelitian, maka peneliti menyimpulkan hal-hal sebagai berikut: Orde Baru mengawali pemerintahannya dengan maksud mengadakan perubahan di bidang ekonomi dengan slogan ekonomi sebagai panglima dan mengeluarkan berbagai kebijakan ekonomi yang penting terutama diarahkan pada etnis Tionghoa. Dengan adanya UUPMDA yang dikeluarkan pada tahun 1967 dan UUPMA pada tahun 1968 memberikan peluang yang besar bagi etnis Tionghoa untuk memajukan usaha mereka. Namun, diantara kemudahan-kemudahan yang diberikan bagi golongan ini terdapat kesulitan yang menghalangi usaha mereka yaitu masalah birokrasi. Kesulitan birokrasi ini mereka atasi dengan banyak menjalin kerja sama dengan elit pribumi yang dekat dengan kekuasaan, sehingga etnis Tionghoa dapat menghindari masalah birokrasi dengan adanya jaminan keamanan atas usaha yang mereka kembangkan. Adanya kerja sama antara etnis Tionghoa dengan elit pribumi yang dekat dengan kekuasaan memunculkan adanya sistem cokong atau percukongan. Maraknya sistem percukongan disadari telah banyak melemahkan pengusaha pribumi yang memiliki modal lemah dan terutama telah menumbuhkan tumbuhnya KKN di kalangan elit pribumi dan pengusaha Tionghoa. Sistem kerjasama ini memunculkan kritik yang dilancarkan dalam bentuk demonstrasi. Aksi ini menuntut dihapuskanya sistem cukong dan dominasi perusahaan asing dan Tionghoa yang sangat melemahkan pengusaha pribumi. Kerusuhan ini dikenal dengan Peristiwa Malari. Semenjak peristiwa Malari, pemerintah Orde Baru lebih mendorong upaya pribumisasi untuk mendorong pengusaha pribumi yang lemah denganbantuan modal usahadankemudahan-kemudahanadministratif. Adanya kebijakan pemerintah yang lebih
14
mendorong usaha pengusaha pribumi ini tidak membuat pengusaha Tionghoa menjadi lemah. Namun, hal ini semakin membuat pengusaha Tionghoa lebih bersikap adaptif dengan mulai berpindah dari sektor perdagangan kepada usaha industri dan manufaktur. Ikut sertanya para pengusaha Tionghoa dalam mensukseskan pembangunan membuka peranan etnis Tionghoa dalam perekonomian Orde Baru. Semenjak itu kebijakan-kebijakan yang mengarah kepada dukungan etnis Tionghoa semakin digiatkan pemerintah Orde Baru dengan adanya kebijakan deregulasi dan liberalisasi perbankan yang semakin menambah besarnya dominasi etnis Tionghoa dalam perekonomian Indonesia pada masa Orde Baru.
Referensi
Coppel,CharlesA.1994.TionghoaIndonesia dalamKrisis, Jakarta:PustakaSinarHarapan Husodo,SiswonoYudo.1985.WargaBaru: KasusCinadi LembagaPenelitianYayasanPadamuNegeri
Indonesia.Jakarta:
Liem,Yusiu. 2000. Prasangka Terhadap Etnis Cina: Sebuah Intisari Evaluasi 33 Tahun di Bawah Rejim Soeharto. Jakarta: Djambatan M, Hidayat Z. 1977.Masyarakat dan Kebudayaan Cina Indonesia. Bandung: Tarsito Mas’oed, Mohtar. 1989.Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966-1971. Jakarta: LP3ES Muhaimin, Yahya A. 1990.Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 19501980. Jakarta: LP3ES Naveront, Jhon K. 1999.JaringanMasyarakatCina. Jakarta: PT.GoldenTerayon Press Onghokham. 2008.Anti Cina. Kapitalisme Cina dan Gerakan Cina: Sejarah Etnis Cina di Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu Pardede, Andreas. dkk. 2002. Antara Prasangka dan Realita: Telaah Kritis Wacana Anti Cina di Indonesia. Jakarta: Pustaka Inspirasi Setiono, Benny. G.2003.TionghoaDalamPusaranPolitik: Mengunggkap Fakta Sejarah Tersembunyi Orang Tionghoa Di Indonesia, Jakarta: Elkasa Suryadinata, Leo. 1999.Etnis Tionghoa Dan Pembangunan Bangsa. Jakarta: LP3ES _______________. 2002.Negara dan Etnis Tionghoa: Kasus Indonesia. Jakarta: LP3ES Tan, Mely G. 1981. Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia: Suatu Masalah Pembinaan Kesatuan Bangsa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
15
To, Oey Beng. 1991. Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia: Jilid I (1945-1958). Jakarta: Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia Wibowo, I. 1999. Restospeksi dan Rekontektualisasi Gramedia Pustaka Utama.
Masalah Cina. Jakarta: PT.
Wirawan, Yerry. 2000. Dinamika Ekonomi Politik Awal Orde Baru: 1966-1968. Jakarta: Skripsi. Program Studi Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
16