BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Meningkatnya bentuk kejahatan internasional saat ini telah membuat
pemerintah Indonesia berusaha keras untuk mendapatkan solusi dalam mencegah maupun mengatasinya. Setiap tindak kriminal yang dilakukan pada lintas batas wilayah telah sangat merugikan bagi Indonesia. Salah satu tindak kriminal tersebut adalah bersembunyinya para koruptor Indonesia di negara lain. Para koruptor yang melarikan diri tidak hanya merugikan ekonomi Indonesia, namun juga menurunkan citra aparat penegak hukum Indonesia di mata dunia. Walaupun pada dasarnya tindak pidana korupsi telah terjadi sejak era kerajaan di Indonesia dan berkembang pasca kemerdekaan1, pelarian para koruptor meningkat ketika Soeharto berhasil diturunkan dari kursi kepresidenan. Berdasarkan data dari ICW, setidaknya terdapat 43 koruptor dari masa Soeharto yang belum dieksekusi sampai sekarang. Padahal 37 dari 43 koruptor tersebut telah dipidanakan, 37 koruptor tersebut belum dieksekusi karena buron.2 Pasca tahun 2000, kasus pelarian koruptor ke luar negeri semakin meningkat. Berdasarkan data dari ICW, sejak tahun 2001 terdapat 45 koruptor Indonesia yang lari ke luar negeri, 29 diantaranya melarikan diri ke Singapura, dan sisanya ke Australia, Cina, dan Amerika Serikat. Beberapa nama koruptor yang lari ke Singapura adalah Andrian Kiki Ariawan, Eko Adi Putranto, Sherny Konjangiang, David Nusa Wijaya, Samadikun Hartono, Agus
1
M. Semma, Negara dan Korupsi, Yayasan Obor Indonsia, Jakarta, 2008, pp. 196-198 Viva News Online, ICW Desak Kejaksaan Tuntaskan Kasus Korupsi Era Soeharto (daring), 20 Oktober 2013,
diakses 16 November 2014 2
Anwar, Sujiono Timan, Maria Pauline, Djoko S. Tjandra, dan Anggoro Widjojo.3 Singapura dipilih sebagai tempat pelarian atas pertimbangan beberapa faktor, salah satu yang paling penting adalah karena di Singapura terdapat jenis simpanan uang dalam valuta asing yang terkenal dengan nama Asian Currency Unit (ACU).4 ACU mengatur simpanan uang yang dirahasiakan dengan sangat ketat. Faktor penting kedua adalah karena Singapura memiliki kebijakan Global Investor Programme (GIP). GIP merupakan program dimana warga asing dapat berinvestasi dengan mudah, yakni hanya dengan S$ 1 juta (sekitar 7 milyar rupiah), seorang warga asing dapat berinvestasi di sektor properti dengan izin yang mudah. Sebagai gantinya, mereka akan mendapatkan perlakuan yang sama dengan warga lokal, dan diberikan status izin tinggal tetap oleh imigrasi.5 Faktor-faktor lain yang membuat para koruptor ini memilih melarikan diri ke Singapura adalah kemudahan akses untuk mencapai Singapura karena selain tidak membutuhkan visa, banyak jam terbang dari Indonesia menuju Singapura. Selain itu, karena lokasinya yang cukup dekat dan mudah dijangkau, jika dibutuhkan menemui pihak lain(keluarga atau pengacara) juga tidak akan sulit.6 Walaupun diketahui para koruptor ini melarikan diri ke Singapura, sebagai negara yang menaati hukum internasional, Indonesia tidak bisa begitu saja menangkap mereka. Dalam penangkapan tersebut, hukum Singapura juga berlaku. Berdasarkan konsensus hukum internasional, sebuah negara tidak memiliki kewajiban untuk menyerahkan tersangka kriminal kepada negara asing karena negara adalah berdaulat atau memiliki otoritas atas orang yang berada di negaranya. Atas dasar ini, maka banyak negara-negara di dunia yang 3
Kompas Online, Daftar 45 Pelarian Indonesia ke Luar Negeri(daring), 4 Juli 2011, diakses 14 November 2014 4 C. Ong Tee, Singapore’s policy of non-internationalisation of the Singapore dollar and the Asian dollar market (PDF online), 5 Singapore Government EDB, Global Investor Programme (daring), Updated 6 August 2012, diakses 24 November 2014 6 Kompas Online, Singapura dan Koruptor Indonesia(daring), 22 Juli 2011, diakses 14 November 2014
membentuk Perjanjian Ekstradisi secara bilateral untuk menangkap pelakupelaku kriminal yang melarikan diri ke negara lain. Ekstradisi merupakan mekanisme penyerahan seorang tersangka tindak kriminal oleh negara tujuan dimana tersangka bersangkutan berada ke negara asalnya.7 Layaknya perjanjian-perjanjian bilateral lain, perjanjian ekstradisi tersebut bersifat timbal balik dengan ketentuan prosedural sesuai konsensus dua negara yang berkomitmen. Cara ini pula yang akhirnya diajukan oleh Indonesia untuk menangkap para koruptornya yang ada di Singapura. Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura pada dasarnya telah dirintis sejak tahun 1972 namun pembahasannya baru dimulai pada tahun 2004.8 Perumusan perjanjian ini sangat alot dikarenakan pihak Singapura enggan menandatangani dan menyetujui perjanjian tersebut sejak awal. Banyak pengamat menilai bahwa bersembunyinya koruptor Indonesia bukan menjadi ancaman bagi Singapura, justru beberapa menilai para koruptor ini meningkatkan devisa dan investasi negaranya dengan datang dan menyimpan sebagian besar uang mereka di bank-bank Singapura.9 Sehingga bagi Singapura, dengan ditandatanganinya perjanjian ekstradisi begitu saja tidak akan menguntungkan Singapura. Namun lambat laun Singapura menyadari adanya kesempatan untuk meraih keuntungan dari perjanjian tersebut. Melihat besarnya urgensi pemerintah Indonesia untuk menangkap para koruptornya, Singapura
7
M. Budiarto, Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan atas Hak Asasi Manusia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, p.13 8 Muliarta, Perjanjian Ekstradisi Singapura-Indonesia Ditandatangani (daring), 27 April 2007, diakses 8 November 2014 9 Jakarta Press, Koruptor Jadi 'Pahlawan Devisa' Bagi Singapura(daring), 5 Juli 2011, diakses 14 November 2014
mengajukan perjanjian Defense Cooperation Agreement (DCA).10 Isi dari DCA adalah sebagai berikut;11 a) The restoration and maintenance of the infrastructure and instrumentation for an Air Combat Manoeuvring Range in Pekan Baru in Sumatra, which would be used for air combat and intercept training by aircraft from both air forces; b) The restoration and maintenance of an Air Weapons Range in Pekan Baru in Sumatra, which would be used for air-to-ground weapons training by aircraft from both air forces; c) The provision of a Naval Gunfire Support Scoring System for use at Pulau Kayu Ara, which will allow ships from both navies to conduct naval gun firing exercises; d) The provision of naval technical assistance and access to naval training facilities; e) The development of Baturaja Land Forces Training Area in Sumatra, as well as the construction of the necessary infrastructure, to support army training by both countries; f) The continued training assistance provided by the SAF to the TNI in the areas of simulator training and academic courses; Layaknya perjanjian bilateral lain yang bersifat resiprosital, jika perjanjian tersebut disepakati maka artinya tidak hanya Singapura yang harus mengembalikan kriminal Indonesia yang buron di Singapura, namun Indonesia juga bertanggung jawab untuk mengirimkan kriminal Singapura yang buron di Indonesia. Selain itu, sesuai yang tertulis dalam perjanjian DCA, Indonesia dan Singapura akan mengadakan kerjasama dalam bidang pertahanan dan militer yakni dengan berbagi wilayah latihan dan melakukan latihan militer bersama. Akhirnya pada 27 April 2007 Perjajian Ekstradisi dan Defense Cooperation Agreement antara Indonesia dan Singapura ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri, Menteri Pertahanan dan Panglima Angkatan Bersenjata kedua negara, dengan disaksikan oleh Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong, di Istana
10
INSTITUTE OF PEACE AND CONFLICT STUDIES, Singapore-Indonesia Extradition Treaty and Defence Cooperation (daring), 27 May 2007, diakses 24 November 2014 11 MINDEF Singapore, Defence Cooperation Agreement (daring), 27 April 2007, diakses 24 November 2014
Tampak Siring Bali.12 Perjanjian tersebut menyepakati bahwa pelaku pidana yang dapat diekstradisi meliputi 31 jenis kejahatan termasuk terorisme, korupsi, penyuapan, pemalsuan uang dan kejahatan perbankan.13 Sayangnya, perjanjian ini gagal diratifikasi. Dari pihak Indonesia, DPR menolak meratifikasi perjanjian tersebut. Hajriyanto Yasin Thohari, anggota I DPR RI menentang peratifikasian DCA dengan mengajukan argumen negasi. “Menurut saya, karena DCA jelas sangat merugikan RI, dan Singapura jelas-jelas menolak ajakan negosiasi untuk membuat perbaikan DCA dan aturan pelaksanaannya –juga karena telah secara sepihak meratifikasi DCA –maka pemerintah kita harus segera mengumumkan pembatalan DCA. Apalagi yang kita tunggu? Nothing”.14 Selain Hajriyanto Yasin Thohari, Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) yaitu Dedy Djamaluddin Malik juga menyatakan bahwa fraksinya akan menolak ratifikasi perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Singapura.15 Selain Yasin Thohari dan Dedy Djamaluddin, mayoritas anggota DPR dari berbagai fraksi juga menolak ratifikasi perjanjian tersebut karena dinilai merugikan Indonesia.16 Akibat dari penolakan-penolakan tersebut, Perjanjian Ekstradisi dan DCA belum berhasil diratifikasi hingga saat ini.
1.2
Rumusan Masalah
12
Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia, Perjanjian Ekstradisi dan Perjanjian Pertahanan RI-Singapura ditandatangani di Tampaksiring, Bali (daring), 28 April 2007, diakses 24 November 2014 13 Muliarta, Perjanjian Ekstradisi Singapura-Indonesia Ditandatangani (daring), 27 April 2007, diakses 8 November 2014 14 Antara News, Anggota DPR: Singapura Secara Faktual Telah Membatalkan DCA(daring), 2007, diakses 17 November 2014 15 Merdeka News, PAN Tolak Ratifikasi Perjanjian Ekstradisi Dengan Singapura (daring), 12 Juni 2007, diakses 24 November 2014 16 Tempo News, PDIP Minta Perjanjian Pertahanan Dibatalkan (daring), 24 Mei 2007, diakses 24 November 2014
Pemaparan diatas menjadi alasan mengapa penulis memilih Penyebab Tidak Diratifikasinya Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura sebagai judul skripsi. Skripsi ini akan membahas proses perumusan kebijakan hingga proses ratifikasi perjanjian Ekstradisi dan DCA antara Indonesia dengan Singapura. Dari poin tersebut, maka ditarik satu rumusan masalah yakni Apa penyebab tidak diratifikasinya perjanjian ekstradisi antara Indonesia-Singapura?
1.3
Landasan Konseptual Untuk menjawab pertanyaan diatas, akan digunakan tiga landasan
konseptual yaitu teori Two Level Game oleh Robert D. Putnam, Liberalism as State Behavioralism in Ratification dan Undang-undang Republik Indonesia No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Two Level Game Pencetus teori Two Level Game adalah Robert Putnam. Ketika dunia internasional memperdebatkan tentang bagaimana politik domestik dan politik internasional dapat saling mempengaruhi, bagi Putnam yang paling penting adalah bagaimana menjalankan hubungan dua arah tersebut. Seorang pengambil keputusan (kepala negara) harus mampu menjalankan dua permainan, yakni domestik dan internasional, dan memenangkan keduanya. Kemenangan tersebut adalah hasil dari proses two level game yang berhasil. Putnam memfokuskan pada interaksi yang terjadi antara dua medan permainan, khususnya dalam proses ratifikasi. Konsep tersebut dikembangkan menjadi dua konsep yakni Acceptability Set (platform penerimaan) dan Win Set (platform kemenangan). Acceptability set merupakan tingkatan perjanjian yang dapat dicapai dan diperjuangkan oleh pengambil keputusan/ negosiator. Hasil pada konsep tersebut adalah persetujuan sementara (ditandatangani). Sedangkan win set merupakan perjanjian yang sudah dicapai dan dirasa cukup oleh negosiator (sudah
mendapatkan gain dari proses negosiasi).17 Walau begitu win set tidak bisa diukur dari persepsi negosiator semata, win set harus bisa diterima juga oleh publik dalam negeri. Dalam hal ini, masih diperlukan ratifikasi yang bisa jadi mendorong atau menggagalkan hasil dari proses negosiasi tadi. Jika bisa diterima oleh publik, maka proses negosiasi yang ditempuhnya berhasil (menang).18 Win set juga dapat dipahami sebagai kemenangan secara penuh dari proses negosiasi baik di tingkat internasional maupun tingkat domestik. Jika pengambil keputusan dapat meraih win set yang cukup besar di level internasional, maka dia juga akan dapat dengan mudah meraih win set pada level domestik. Begitu pula sebaliknya, jika pada level internasional win set yang ia dapatkan rendah, maka kemungkinan besar negosiator tidak akan meraih win set pada level domestik.19 Menurut Putnam, besarnya win set bergantung pada tiga hal, yakni preferensi dan koalisi pada level domestik, model institusi politik level domestik, dan strategi negosiator pada level internasional. Parameter tersebut yang akan digunakan penulis untuk menganalisis upaya Indonesia meraih win set dalam perjanjian ekstradisi. “The politics of many international negotiations can usefully be conceived as a two level game. At naional level, domestic roups pursue their interest by pressuring the government to adopt favorable policies, and politicans seek power by contructing coalition among those groups. At the international level, national governments seek to maximize their own ability to satisfy domestic pressures, while minimizing the adverse consequences of foreign developments.”20 Dengan kata lain, dalam teori two level game ini, pemerintah harus dapat memainkan ‘dua tingkat permainan’ dalam politik luar negerinya. Di tingkat domestik, pemerintah harus dapat merealisasikan aspirasi dan mengakomodasi kebutuhan domestik. Sedangkan di tingkat internasional, pemerintah berusaha
17
N. Pamuji, & H. Rais, Politik Kerjasama Internasional: Sebuah Pengantar, Institute of International Studies: Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2011, pp.33-41 18 P. B. Evans, & H. K. Jacobson, & R. D. Putnam, Double-edged Diplomacy: International Bargaining and Domestic Politics, University of California Press, 1993, pp. 29-31 19 R. D. Putnam, Diplomacy and Domestic Politics: The Logic of Two-Level Games, International Organization, Vol. 42, No. 3 (Summer, 1988), pp. 435-442 20 R. D. Putnam, p. 434
memenuhi kebutuhan domestik serta meminimalisir konsekuensi yang dapat berdampak pada negaranya. Sukses atau menang dalam konsep ini artinya negosiator
dapat
menyeimbangkan
tekanan
domestik
dan
tuntutan
internasional, dalam kata lain artinya mencapai kebijakan yang memuaskan keduanya. Liberalism as State Behavioralism in Ratification. Berdasarkan sebuah analisis yang dilakukan oleh Uta Oberdörster, terdapat tiga pandangan dalam menjelaskan karakteristik sebuah negara untuk mencapai ratifikasi. Tiga perspektif ini adalah Rationalism, Constructivism, dan Liberalism.21 Rationalism memandang bahwa dalam meratifikasi sebuah perjanjian internasional, negara bergerak atas dasar perhitungan cost and benefit. Menurut Rationalism, negara yang memiliki power lebih besar cenderung meratifikasi perjanjian internasional karena perjanjian tersebut memenuhi national interest, sedangkan negara yang lebih lemah cenderung meratifikasi sebuah perjanjian karena tekanan dari negara yang lebih powerful. Perspektif kedua, Constructivism, lebih fokus pada bagaimana norms terlibat dalam perjanjian internasional. Constructivism percaya bahwa sebuah negara meratifikasi perjanjian internasional atas dasar pengaruh normatif dalam dunia internasional. Karena itu, aktor negara dapat dengan mudah dibujuk untuk mengubah interest-nya untuk meratifikasi sebuah perjanjian.22 Perspektif ketiga dan perspektif yang akan digunakan oleh penulis dalam menganalisis proses ratifikasi perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Singapura adalah Liberalism. Liberalism menekankan pada pentingnya politik domestik. Liberalism memandang bahwa sebuah negara meratifikasi sebuah perjanjian internasional atas dasar faktor politik domestik. Preferensi sebuah negara tergantung pada politik yang terjadi dalam domestiknya, bukan pada faktor material. Karena itu, umumnya sebuah negara yang demokratis cenderung mencapai ratifikasi dengan lebih mudah, karena aktor-aktor dalam negara dapat menyampaikan preferensi dan opininya kepada pemerintah, dan 21 22
U. Oberdörster, Why Ratifiy? Lesson from Treaty Ratification Campaigns, pp. 681-692 Ibid.
pemerintah yang demokratis umumnya responsif terhadap domestiknya. Karena kepentingan domestik adalah kepentingan negara, maka interaksi negara dengan aktor politik domestik adalah kunci untuk mencapai successful ratification. Perspektif ini dinilai sebagai perspektif yang paling efektif untuk mencapai successful ratification dari dua perspektif lainnya karena liberalism mengutamakan kepentingan domestik dimana pada perspektif lain tidak dibahas.23 Undang-undang Republik Indonesia No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Sebelum adanya Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, kewenangan untuk membuat perjanjian internasional tertuang dalam Pasal 11 Undang Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Namun Pasal 11 UUD 1945 ini memerlukan suatu penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian internasional dapat berlaku dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk itu melalui Surat Presiden No. 2826/HK/1960 mencoba menjabarkan lebih lanjut Pasal 11 UUD 1945 tersebut.24 Isi yang diatur dalam Undang Undang No. 24 Tahun 2000, adalah Ketentuan Umum, Pembuatan Perjanjian Internasional, Pengesahan Perjanjian Internasional, Pemberlakuan Perjanjian Internasional, Penyimpanan Perjanjian Internasional, Pengakhiran Perjanjian Internasional, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan Penutup. Dalam undang-undang tersebut, dijelaskan pula bahwa dalam suatu pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatu perjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihak terhadap perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian internasional
23
Ibid. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL : LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 185 24
memerlukan pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak akan mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan.25 Dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPR dapat meminta pertanggung jawaban atau keterangan dari pemerintah mengenai perjanjian internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan nasional, perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan DPR, sesuai dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang No. 24 tahun 2000.
1.4
Hipotesis Penyebab tidak diratifikasinya perjanjian ekstradisi antara Indonesia
dengan Singapura adalah karena Indonesia gagal mendapatkan dukungan dari domestik. DPR sebagai lembaga yang berwenang untuk meratifikasi perjanjian ini secara formal menolak meratifikasi perjanjian tersebut karena perjanjian ekstradisi digabungkan dengan perjanjian kerjasama pertahanan yang mana sangat merugikan bagi Indonesia. Keputusan sepihak presiden untuk menggabungkan perjanjian ekstradisi dengan perjanjian kerjasama pertahanan tanpa diskusi terlebih dahulu dengan stake holders terkait dalam perjanjian tersebut dirasa sebagai tindakan gegabah yang tidak mempertimbangkan kerugian bagi negara. Atas pertimbangan tersebut, DPR meminta penundaan ratifikasi perjanjian ekstradisi yang digabungkan dengan perjanjian kerjasama pertahanan.
1.5
Jangkauan Penelitian Tinjauan penelitian ini dimulai pada tahun 2001 hingga tahun 2007.
Karena tahun 2001 merupakan tahun dimana Singapura pertama kali menunjukkan ketertarikannya untuk melakukan negosiasi lebih lanjut mengenai perjanjian ekstradisi. Pada tahun tersebut pula, terjadi beberapa kejadian yang
25
Ibid.
mendorong kedua negara untuk lebih serius dalam membicarakan perjanjian ekstradisi. Pada tahun 2007, perjanjian ekstradisi akhirnya berhasil ditandatangani bersamaan dengan perjanjian kerjasama pertahanan. Kemudian pada tahun itu pula, pemerintah Indonesia gagal meraih dukungan pada level domestik.
1.6
Metode Penelitian Dalam penelitian ini, metode yang akan dilakukan adalah metode
kualitatif. Dalam proses pengumpulan data, penulis akan menggunakan studi literatur/kajian pustaka. Data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pernyataan pemerintah yang terdapat pada sumber-sumber terpecaya dan data sekunder diperoleh buku, jurnal ilmiah, baik berupa cetak maupun digital.
1.7
Sistematika Penelitian Skripsi ini akan terdiri dari empat bab. Bab pertama akan berisi tentang
latar belakang masalah, rumusan masalah, landasan konseptual, argumen utama, jangkauan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Setelah itu, pada bab kedua penulis akan menjelaskan awal mula perumusan perjanjian ini secara sistematis. Dimulai dengan usaha Indonesia dalam mengajukan perjanjian ekstradisi ini untuk pertama kalinya. Pada bab ini pula, akan dijelaskan bagaimana terjadi kebutuhan dalam memenuhi kepentingan baik bagi Indonesia maupun Singapura dalam perumusan perjanjian ini. Kepentingan dari Indonesia dan Singapura akan dijelaskan dalam bab ini. Kemudian pada bab ketiga, penulis akan menjawab pertanyaan pada rumusan masalah. Bagaimana pada akhirnya perjanjian ini berhasil disepakati pada tingkat internasional, namun tidak diratifikasi pada tingkat domestik. Akan dianalisis apa penyebab dari tidak diratifikasinya perjanjian tersebut. Karena
itu, pada bab ini penulis akan menganalisis mengunakan konsep yang sudah tertulis dalam Landasan Konseptual. Bab terakhir akan berisi mengenai kesimpulan yang mencakup keseluruhan penelitian.