ABSTRACT Recipient of bribes in handling cases in the criminal justice system that has been happening is already a part of the engineering behind the law enforcement completion of any case law both small and large cases. The larger cases are examined, the greater the "inoome" eamed the actor komirasi in handling cases of this court. irregularities in handling cases in the judiciary becomes a thing should not happen in the reconstruction process of law and supremacy of law in our country so it should be dealt explicitly. The problems of implementation How the perpetrators of criminal liability in the bribery trial process, and how efforts can be made of the Judicial Commission in overseeing the administration of justice? The research method used is a normative juridical approach, namely setting the standard norms of a particular phenomenon by reviewing secondary data and discuss the implementation of criminal sanctions for law enforcement agencies that receive bribery in the handling cases connected with KUHP, Law No. 20 of 2001 on Eradication of Corruption. While the juridical analysis of data using qualitative methods, that is sourced from literature studies and field studies, and then compiled systematically, after the descriptive analysis presented. The study emphasizes the study of secondary data analysis or literature study supported by the primary data of Held studies . Based on the aforementioned. discussion the authors draw a conclusion as follows: The application of criminal sanctions for perpetrators of receiving bribes in the proceeding has not been effective or the maximum of the Penal Code and Law No. 20 of2001 on Eradication of Corruption. Not to be applied to the maximum, in practice the Act No. 20 of 2001 on Eradication of Corruption is often applied to the perpetrators, while other laws can also be applied so that the received lighter punishment, when all the different laws that can ensnare players will be entirely implemented so that it can lead to accumulation of penalties and can aggravate deterrent effect for the offender Judicial Commission that one role is to become the medium of public accountability in the form of extemal supervision is one of a very important part in the framework of judicial reform. The Judicial Commission was given the task of examining the decision made by the judge, this authority should not be associated with the authority of the Judicial Commission in the fomi of "other authorities in order to preserve and uphold the
honon dignity and conducts of judges", but was associated with "the judicial commission is independent of authority to propose the appointment of Supreme Court Justices”. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Usaha untuk memberantas korupsi sudah menjadi masalah global, bukan lagi nasional atau regional. Gejala korupsi ada pada setiap negara, terutama negara yang sedang berkembang dan membangun seolah-olah menjadi conditio sine qua non1. Ada usaha terutama karena desakan rakyat banyak agar korupsi dibabat habis kalau perlu dengan hukum darurat, seperti pidana yang
berat, sistem pembalikan beban
pembuktian, pembebasan penanganan korupsi dari instansi normal ke suatu badan independen yang dijamin integritasnya2. Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang (developing country) juga tidak luput dari masalah korupsi. Merebaknya berbagai kasus korupsi yang melanda bangsa Indonesia, sungguh sangat memprihatinkan. Korupsi belakangan ini bahkan telah masuk ke dalam berbagai bidang, baik ekonomi, politik maupun sosial budaya. Melihat kenyataan tersebut, sudah barang tentu pemerintah dan rakyat Indonesia harus mengerahkan segenap pikiran, daya dan upaya guna
________________
1
Dalam kamus hukum, conditio sine qua non diartikan: syarat yang tidak boleh tidak harus ada. Lihat I.P.M. Ranuhandoko, Terminologi Hukum Inggris – Indonesia. Cetakan ketiga, Jakarta: Sinar Grafika, 2003. hlm 155 2
Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Jakarta, Sinar Grafika, 2005, hlm. v
mencari metode penegakan hukum yang efektif, optimal, intensif dan berkesinambungan. Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1958 ketika dikeluarkan Peraturan Penguasa Perang Pusat/Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 Nomor Prt/Peperpu/013/1958 serta peraturan-peraturan pelaksanaannya dan Peraturan Penguasa Perang Pusat/Kepala Staf Angkatan Laut tanggal 17 April 1958 Nomor Prt/Z/I/7. Kemudian Pemerintah Republik Indonesia memandang bahwa Peraturan Penguasa Perang Pusat tersebut perlu diganti dengan peraturan perundang-undangan yang berbentuk undang-undang. Atas dasar itu dibuatlah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 24 (Prp) Tahun 1960, yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 24 (Prp) Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Beberapa upaya untuk pemberantasan korupsi berdasarkan Undang-undang Nomor 24 (Prp) Tahun 1960, seperti dilancarkannya ―Operasi Budhi‖. Kemudian pada akhir tahun 1967 Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 228 tahun 1967 tanggal 2 Desember
1967,
yang dipimpin oleh Jaksa Agung. Tampaknya pemberantasan korupsi dengan mempergunakan Undang-undang Nomor 24 (Prp) Tahun 1960 kurang berhasil, maka Undang-undang Nomor 24 (Prp) Tahun 1960 dilakukan penyempurnaan sehingga undang undang tersebut dicabut dan
diganti dengan Undang undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Ada
beberapa
pertimbangan
yang
mendasari
dilakukannya
penyempurnaan dan pergantian Undang-undang Nomor 24 (Prp) Tahun 1960, sebagaimana dikemukakan oleh Leden Marpaung, antara lain: a.
Adanya perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan /perekonomian negara yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana, tidak dapat dipidana karena rumusan pidana korupsi yang berdasarkan kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan;
b.
Pelaku tindak pidana korupsi hanya ditujukan kepada pegawai negeri sedang kenyataan, orang-orang
yang bukan pegawai negeri yang
menerima tugas/bantuan dari suatu badan negara, dapat melakukan perbuatan tercela seperti yang dilakukan pegawai negeri; c.
Perlu diadakan ketentuan-ketentuan yang mempermudah pembuktian dan mempercepat proses dari hukum acara yang berlaku tanpa tidak memperhatikan hak asasi tersangka/terdakwa3.
Setelah lebih dari dua dasawarsa berlakunya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971, ternyata tindak pidana korupsi tak kunjung mereda, bahkan dengan peningkatan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), modus operandi penyimpangan keuangan negara semakin canggih dan rumit sehingga Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 dirasakan tidak memadai lagi. __________________ 3
Leden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi - Pemberantasan dan Pencegahan, (edisi revisi 2004), Penerbit Djambatan, Jakarta 2004, hlm. 4
Di samping itu, tidak sedikit pula terjadi praktik praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang melibatkan para penyelenggara negara dengan pengusaha. Oleh karena itu, wajarlah jika kemudian MPR mengeluarkan ( TAP MPR ) nomor XI/MPR/1998)
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih Dan bebas KKN, yang antara lain menetapkan agar diatur lebih lanjut
dengan undang-undang upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan dengan tegas, dengan melaksanakan secara konsisten undang-undang tindak pidana korupsi. Atas dasar TAP MPR Nomor IX/MPR/1998 ini, kemudian lahir Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 dinyatakan sudah tidak berlaku lagi. Pada era reformasi, usaha pemberantasan korupsi dalam pemerintahan Presiden B.J Habibie ditandai dangan dibentuknya Komisi Pemeriksa Kakayaan Penyelenggara
Negara (KPKPN) melalui Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999
Tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas KKN. Komisi ini bertugas menerima dan memeriksa kekayaan para penyelenggara Negara 4. Pada masa pemerintahan Presiden Abdul Rahman Wahid dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) melalui 4
Dengan undang- undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), KPKPN dilebur menjadi bagian KPK
Peraturan Pemerintah Nomor
13 Tahun 2000 Tentang Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Belum banyak yang bisa diperbuat oleh TGPTPK, dan akhirnya TGPTPK harus dibubarkan karena peraturan pemerintah yang menjadi landasan hukum pendiriannya dinilai tidak sah5.
Korupsi sesungguhnya bukan hanya sekadar perbuatan yang merugikan keuangan negara, tetapi juga berpotensi merusak sendi - sendi kehidupan sosial dan hak - hak ekonomi rakyat. Oleh sebab itu, menurut Romli Atmasasmita, korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa (extra-ordinary crime)6. Tindak pidana
korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa maka upaya
pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa pula. Korupsi di Indonesia adalah penyakit yang sangat parah. Apabila mengacu pada prognosis korupsi yang dibuat Syed Hussein Alatas (1968), penyakit korupsi di Indonesia
telah memasuki tahap
kedua yakni tahap meluas (wide-spread, deeply rooted)7 yang juga dinamakan extraordinary crime. Tatanan sosial akan hancur, jika alasan moral yang menyatukan individu, yakni hidup bersama dan saling bekerja sama demi mencapai tujuan kesejahteraan sudah tidak lagi diyakini sebagai pengikat kehidupan sesama anggota masyarakat. ____________ 5
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 08 P / HUM / 200, Tanggal 11 Juli 2001
6
Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance & Komisi Anti Korupsi di Indonesia. Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional, Depertemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2002, hlm. 9. Lihat pula: Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi (Sebuah Bunga Rampai), Penerbit PT Alumni, Bandung, 2006, hlm.111. 7
Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Editor Joni Emirson dkk, Penerbit Buku Kompas, Jakarta 2006, hlm.141.mengutip Syed Husseain Alatas bahwa: ”Penyakit Korupsi Melalui Tiga Tahap yakni, tahap(1) Terbatas; (2) Meluas, dan akhirnya; (3) menghancurkan masyarakat dimana koruptor itu berada di dalamnya”.
Kehidupan bersama individu dalam negara menghadapi ancaman serius, ketika para
profesional
yang
menjadi
penggerak
utama
sistem
hukum
tidak
lagi
memperhatikan tanggung jawab dan kepentingan publik dalam melaksanakan pekerjaannya.
Konsekuensi dari kehidupan bersama masyarakat adalah setiap individu bebas harus mau menundukkan dirinya di bawah tatanan kehidupan sosial. Hal itu berarti, individu harus rela membiarkan kebebasannya dibatasi. Pembatasan kebebasan individu melalui hukum dilaksanakan para penegak hukum yang bertugas untuk memastikan setiap orang yang dibatasi kebebasannya, memiliki sisa kebebasan yang setara. Keterlibatan para penegak hukum yang menerima penyuapan dalam menangani perkara di peradilan di lingkup tugasnya, tentu meresahkan masyarakat. Skeptisisme masyarakat terhadap moralitas para profesional hukum, merupakan contoh: Hakim Mutadi Asnun, SH yang menangani perkara kasus suap oleh Gayus Tambunan. Hakim Syarifudin. SH. MH bersalah karena menerima gratifikasi sebesar Rp. 250.000.000,- ( Dua ratus lima puluh juta rupiah ) dari curator Puguh Wirawan saat menangani kasus kepailitan PT SKY Camping Indonesia. Hakim Imas Dianasari , SH
selaku Hakim Ad Hoc pada pengadilan tindak
pidana Korupsi di Pengadilan Hubungan Industrial ( PHI ) yang menerima gratifikasi dari PT. ONAMBA Indonesia. Hakim
Kartini Marpaung .SH. MH sebagai hakim Ad Hoc pada pengadilan
Tindak Pidana Korupsi di Propinsi Jawa Tengah menerima Gratifikasi sebesar Rp. 100.000.000,- ( seratus juta rupiah ) pada tanggal 17 Agustus 2012. Hakim Heru Kusbandono menerima gratifikasi sebesar Rp. 50.000.000,-
(
Lima puluh juta rupiah ) sebagai Hakim Ad Hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kota Pontianak, memberikan bantuan untuk memenangkan perkara Sekretaris
Daerah Propinsi Semarang ,masalah sangat serius yang perlu segera ditanggapi. Kepercayaan masyarakat sangat serius yang perlu segera ditanggapi. A. Identifikasi Masalah Berdasarkan pemaparan dalam pendahuluan diatas, maka dalam penulisan tesis ini penulis mengangkat suatu permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah Pencegahan Gratifikasi pada Hakim
dalam proses peradilan,
berdasarkan undang – undang nomor 31 tahun 1999 J0 Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ? 2. Bagaimanakah Peranan Komisi Yudicial terhadap pelaksanaan pengawasan peradilan ?
B. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang dibahas dalam penulisan tesis ini, membahas permasalahan tersebut mempunyai tujuan : 1. Untuk mengkaji
menganalisis dan menemukan peranan, supaya penegak
hukum yang menerima gratifikasi dalam menangani perkara dikenakan sanksi pidana sesuai dengan undang-undang yang berlaku dengan hukuman yang sangat berat, dan tidak ada lagi penegak hukum yang menerima suap. 2. Untuk
Komisi Yudisial menjalankan perannya memberikan pengawasan
terhadap proses peradilan, sehingga dalam proses peradilan tidak terjadi penyimpangan. C. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan dari Penelitian ini adalah :
1. Secara teoritis. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama bagi ilmu hukum dan peraturan perundang-undangan terkait dengan sistem pengawasan Hakim di Indonesia. Terhadap dunia akademik, diharapkan hasil penelitian ini sebagai dorongan atau motivasi untuk melakukan penelitian-penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan pengawasan Hakim.
2. Secara Praktis. Penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sebagai Lembaga yang mempunyai fungsi pengawasan Hakim, khususnya bagi Lembaga Peradilan yang menjadi objek pengawasan, sehingga praktek pengawasan dapat berjalan efektip dan efisien serta memberikan daya guna dan hasil guna. D. Kerangka Pemikiran Menurut Montesque, dalam setiap Pemerintahan terdapat tiga jenis kekuasaan yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif, dimana ketiga jenis kekuasaan itu mesti terpisah satu sama lainnya, baik mengenai tugas atau (functie) maupun mengenai alat perlengkapan (orgaan) yang melakukannya
Menurut ajaran ini tidak dibenarkan adanya campur tangan atau pengaruhmempengaruhi antara kekuasaan yang satu dengan yang lainnya, oleh karena itu ajaran Montesque disebut Pemisahan Keuasaan.8. Berkaitan dengan kekuasaan negara, Undang-Undang Dasar 1945 menganut azas pemisahan kekuasaan dalam arti formil, oleh karena itu pemisahan kekuasaan itu tidak dipertahankan secara prinsipil, dengan kata lain Undang-Undang Dasar 1945 hanya mengenai pembagian kekuasaan (division of power) bukan pemisahan kekuasaan (separation of power)9.1 Dalam perjalanannya, sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami perubahan yang sangat mendasar sejak adanya Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Perubahan
tersebut
dilatarbelakangi
adanya
kehendak
untuk
membangun
pemerintahan yang demokratis dengan checks and balances yang setara dan seimbang diantara cabang-cabagng kekuasaan, mewujudkan supremasi hukum dan keadilan, serta menjamin dan melindungi hak azasi manusia. Sebagai konsekuensi dari sistem pembagian kekuasaan yang diterapkan di negara Republik Indonesia, fungsi kekuasaan kehakiman atau yudikatif dipegang oleh lembaga yang telah ditentukan dalam Bab IX Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan tiga lembaga negara yang termasuk dalam lingkup kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY). Namun menurut Pasal 24 ayat 2 hanya Mahkamah Agung dan Badan Peradilan
dibawahnya
dan
Mahkamah
Konstitusi
yang
merupakan
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, sedangkan Komisi Yudisial tidak memiliki
8.
Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1996, hlm 5.
kewenagan tersebut sehingga badan ini sering disebut sebagai lembaga ekstra yudisial.Dalam perkembangan negara, salah satu tujuan utama amandemen Undang-Undang Dasar 1945 adalah untuk menata keseimbangan (check and balance) antara lembaga negara. Setiap lembaga baik legislatif, eksekutif, dan yudikatif mengalami perubahan yang signifikan, khususnya perubahan terhadap lembaga yudikatif dimaksudkan untuk menciptakan kekuasaan kehakiman yang merdeka yang merupakan salah satu prinsip penting bagi Indonesia sebagai suatu negara hukum. Prinsip ini menghendaki kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur
tangan
pihak
manapun
dalam
bentuk
apapun,
sehingga
dalam
menjalankan tugas dan kewajibannya ada jaminan ketidakberpihakan kekuasaan kehakiman kecuali terhadap hukum dan keadilan. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari Indonesia sebagai negara hukum, Indonesia secara formil sudah sejak tahun 1945 (Undang-Undang Dasar 1945 pra-amandemen) mendeklarasikan diri sebagai negara hukum, terbukti dalam penjelasannya menegaskan, Indonesia adalah Negara yang berdasarkan hukum dan bukan negara yang berdasarkan kekuasaan belaka. Konsep negara hukum Indonesia dipertegas Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen dalam Pasal 1 ayat 3 yang merupakan : Negara Indonesia adalah negara hukum. Dalam kapasitas sebagai negara hukum, diperlukan peradilan yang bersifat dan tidak memihak serta adanya mekanisme judisial review. Peradilan yang independen ini identik dengan kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun dan dalam bentuk apapun telah berusaha diwujudkan dengan pembentukan Komisi Yudicial berdasarkan ketentuan pasal 24B
Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang menurut Pasal 13 Undang-undang tersebut Komisi Yudicial mempunyai wewenang : 1. Mengusulkan pengangkatan hakim Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat; 2. Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Untuk lebih jelasnya, dibawah ini akan disampaikan hal hal yang berhubungan dengan amandemen Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial sehubungan dengan fungsi, kedudukan, kewenangan dan hubungan tata kerja kedua lembaga tersebut setelah berlakunya Undang-Undang Dasar 1945. Secara prinsip, amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan untuk memperbaiki mekanisme check and balance diantara lembaga negara pemegang kekuasaan legislatif,eksekutif dan yudikatif yang selama orde pemerintahan baik orde lama dan orde baru belum dapat terlaksana dengan baik. Khususnya pada lembaga yudikatif diusahakan ada jaminan ketidakberpihakan kekuasaan kehakiman kecuali terhadap hukum dan keadilan, kemudian dilakukan penyatuan atap lembaga peradilan pada Mahkamah Agung,yang semula kewenagan administrasinya, personil, keuangan, dan organisasi peradilan berada pada Departemen Kehakiman yang telah ada, selanjutnya penyatuan atap berada pada Mahkamah Agung yang berpotensi menimbulkan monopoli kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung. Berdasarkan
penilaian
rendahnya
kepercayaan
publik
terhadap
lembaga
pemegang kekuasaan kehakiman tersebut, hal ini menjadi tugas berat kekuasaan
kehakiman untuk membangun kembali citra peradilan, menjadi bermartabat dan dihormati masyarakat. Tentu yang menjadi sorotan terkait dengan citra peradilan adalah aparat peradilan khususnya hakim yang menerima gratifikasi dalam penegakan hukum. Masyarakat menyandarkan harapan yang sangat besar kepada hakim yang benarbenar memiliki integritas dan profesionalisme, sehingga tindakan dan tingkah lakunya menunjukan ketidakberpihakan (impatiality), memiliki integritas moral, serta pada kemampuannya memberikan putusan yang baik. Keberhasilan seorang hakim dalam menegakkan hukum selain bersandar pada prinsip the rule of law dan kemandirian kekuasaan hakim, juga sangat ditentukan bagaimana integritas dan perilakunya dalam menjalankan tugas sehari-hari baik didalam persidangan maupun diluar persidangan. Maka diperlukan sistem pengawasan terkait dengan pembinaan bagi para hakim. Selama ini fungsi pengawasan terhadap hakim dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai pengawas tertinggi atas perilaku hakim dan sejauh mana hukum telah ditegakkan dengan seksama dan sewajarnya. Salah satu fungsi Mahkamah Agung RI adalah fungsi pengawasan yang diberikan oleh Undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yaitu dalam Pasal 39 ayat 1 yang menyebutkan : Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan dalam lingkungan peradilan yang berada dibawahnya berdasarkan ketentuan Undang-undang. Selanjutnya pelaksanaan pengawasan juga didasarkan pada Pasal 32 Undangundang Nomor 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, menyatakan sebagai berikut:
(1) Mahkamah Agung melakukan pengawasn tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada dibawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman (2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan (3) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang hal hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua badan peradilan yang berada dibawahnya (4) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan kepada peradilan kepada semua badan peradilan yang berada dibawahnya (5) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam pemeriksaan dan memutus perkara. Kehadiran Komisi Yudisial di Indonesia didasarkan pemikiran bahwa Hakim Agung yang sudah duduk di Mahkamah Agung dan para hakim merupakan figur-figur yang sangat menentukan dalam perjuangan penegakan hukum dan keadilan. Melalui Komisi Yudisial ini, diharapkan dapat diwujudkan lembaga peradilan yang sesuai dengan harapan rakyat sekaligus dapat diwujudkan penegakan hukum dan pencapaian keadilan melalui putusan hakim yang terjaga kehormatan dan keluhuran martabat serta perilakunya
Ekstensi Komisi Yudisial dengan mandat Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-undang Komisi Yudisial menjadi sangat penting dan strategis dalam menjaga hukum agar tidak disalahgunakan oleh hakim. Sejalan dengan uraian tersebut pendapat Yohanes Usfunan mengatakan sebagai berikut10 Dalam konteks supremasi hukum, pengawasan merupakan salah satu unsur esensial dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih, sehingga siapapun pejabat negara tidak boleh menolak untuk diawasi, melihak pengawasan tiada lain untuk melakukan pengendalian yang bertujuan mencegah absolutisme kekuasaan, kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan wewenang.
Komisi Yudisial sebagai institusi yang berwenang mengawasi tingkah laku hakim, pejabat, dan pegawai peradilan memiliki fungsi yang sangat penting dalam memberantas mafia peradilan. Ketegasan dan konsistensi institusi ini, sangat jelas untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dalam tubuh lembaga peradilan semuanya bertumpu pada tangan hakim. Komisi Yudicial merupakan sebuah institusi yang diberikan mandat oleh Undang – Undang Dasar untuk melakukan pengawasan terhadap hakim diberbagai tingkatan baik hakim Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Agama maupun Hakim Agung mempunyai fungsi yang sangat strategis dalam mendukung upaya penegakan hukum sebagai konsekuensi dari paham indonesia sebagai negara hukum. Hakim adalah aktor utama penegak hukum ( Law enforcement ) di pengdilan yang mempunyai peran lebih apabila dibandingkan dengan jaksa, pengacara, dan panitera. Hakim merupakan Living interpretator pada saat hukum mulai memasuki wilayah das sein dan meninggalkan wilayah das sollen. E.
Metode Penelitian
Dalam penelitian yang dilakukan digunakan beberapa buku metode peneliatian, metode yang bertujuan untuk mendapatkan hasil penelitian yang subyektif, dan untuk mendapatkan hasil penelitian tersebut diperlukan informasi yang akurat dan data- data yang mendukung. Maka sehubungan dengan hal tersebut metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : 1. Spefikasi Penelitian. Metode deskriptif analitis dimana maksudnya untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai fakta dan permasalahan yang berhubungan dengan objek yang diteliti, dan untuk selanjutnya dianalisis dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan dan pendapat para pakar yang berkaitan dengan permasalahan diatas. 2. Metode Pendekatan. pendekatan yuridis normative yang menerangkan aturan – aturan berupa konstruksi hukum dan filsafat hukum yang berdasarkan aliran positive yaitu hukum yang berlaku dalam penelitian ini, yaitu : mengacu pada peraturan perundang- undangan atau Kitab Undang- undang Hukum Pidana yang selanjutnya disebut KUHP 3.
Tehnik Pengumpulan Data. Tehnik Pengumpulan Data yang digunakan adalah : 1.
Data Utama, yaitu data – data yang diperoleh dari sumber – sumber berupa buku – buku tentang Hukum dan perundang – undangan dsb.
2.
Data Sekunder, yaitu data – data yang actual atau monografi dari sumber – sumber berupa makalah – makalah, diskusi – diskusi dsb.
4.
Metode Analis Data. Dalam melakukan analisis data guna memperoleh kesimpulan yang erat kaitanya dengan tema judul pembahasan maka digunakan metode Yuridis kualitatif, yaitu : 1.
Antara hukum yang satu dengan yang lain tidak boleh bertentangan.
2.
Memperhatikan hierarki.
3.
Kepastian hukum.
Dalam penyusunan usulan penelitian ini penulis menggunakan jenis data studi dokumentasi, penelitian hukum yang meliputi studi bahan- bahan hukum yang terdiri dari : 1. Bahan Hukum primer Bahan Hukum Primer yaitu, Undang- undang Nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, KUHP, Undang- undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang- undang Nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Kepres Nomor 39 tahun 2010 tentang Satgas Mafia Hukum. 2. Bahan Hukum Skunder Data sekunder yaitu data tidak langsung yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Sumber data dalam hal ini yaitu Doktrin, Literatur, Perundang- undangan, hasil-
hasil penelitian yang berwujud laporan, artikel- artikel dalam media cetak serta media massa lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. 3. Bahan Hukum Tersiar Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, berupa kamus Hukum. Tahapan penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data – data meliputi : a. Penelitian kepustakaan ( Library research ) adalah suatu penelitian yang dilakukan untuk mempelajari, mengkaji, dan menganalisis data skunder yang berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Bahan hukum primer sebagai bahan hukum yang diperoleh langsung dari berbagai peraturn perundang – undangan mulai dari UUD 1945 hingga ketentuan hukum yang bersifat tehnis yang berkaitan erat dengan pengawasan hakim.
Studi
Kepustakaan juga meliputi bahan – bahan hukum skunder berupa literatur, karya ilmiah, makalah, hasil penelitian, bahan kuliah yang berkaitan dengan materi yang diteliti. Untuk melengkapi dan menjelaskan materi bahan – bahan hukum primer dan sekunder, dugunakan bahan tersier berupa kamus. b. Penelitian Lapangan ( Field reserarch ). Penelitian Lapangan ( Field reserarch ) ini dimaksud untuk mendapatkan data primer, tetapi diperlukan hanya untuk menunjang dan melengkapi bahan hukum yang tidak didapatkan diperpustakaan, dilakukan melalui pencarian data sekunder di Komisi Yudicial.
4. Tehnik Pengumpulan Data. Data penelitian dikumpulkan dengan tehnik sebagai berikut : a. Studi dokumen, yaitu melakukan penelitian terhadap data skunder untuk mendapatkan landasan teoti dan memperoleh informasi dalam bentuk formal dan data melalui naskah resmi yang ada. b. Wawancara yaitu melakukan tanya jawab untuk memperoleh data primer secara langsung dengan responden yang berkaitan dengan masalah yang diteliti, yaitu Komisi Yudicial. 5. Analisis Data. Terhadap data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan data primer yang diperoleh dari lapangan, dilakukan analisis secara yuridis kualitatif yaitu Penarikan Kesimpulan dalam analisis dilakukan secara induktif tanpa menggunakan rumus – rumusan dan angka – angka statistik. Data penelitian ini selanjutnya dianalisa dengan menggunakan yuridis kualitatif, diantaranya perundang- undangan yang satu tidak boleh bertentangan dengan yang lainnya, kepastian hukum dan hukum yang berkembang dan hidup dalam masyarakat digunakan untuk berusaha menganalisa data dengan menguraikan dan memaparkan secara jelas dan apa adanya mengenai objek yang diteliti. Data- data dan informasi yang diperoleh dari analisa, dikaitkan dengan teori dan peraturan yang berlaku yang bertujuan untuk memecahkan permasalahan yang diangkat. Maka atas dasar hal ini selanjutnya penulis dapat menarik kesimpulan mengenai penerapan sanksi pidana terhadap pelaku penyalahgunaan wewenang dalam proses peradilan.
Lokasi Penelitian yaitu : a. Perpustakaan 1. Perpustakaan Pascasarjana Magister Hukun Universitas Langlangbuana Bandung Jl. Karapitan Nomor 116 Bandung 2. Perpustakaan Pascasarjana Magister Hukum Universitas Padjadjaran Bandung Jl. Dipati Ukur Nomor 27 Bandung b. Komisi Yudisial di jakarta.
PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai jawaban identifiasi masalah sebagai berikut : 1. Penerapan sanksi pidana bagi pelaku penerima suap dalam proses persidangan belum efektif atau maksimal Pasal 55 dan Pasal 56, Pasal 88, Pasal 110, Pasal 209 dan 210 KUHP, Pasal 1 ayat (1) sub c, dan Pasal 5, 6, 11 dan 12 Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Belum dapat diterapkan secara maksimal, dalam praktek Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sering diterapkan kepada pelaku, padahal undang-undang yang Iain juga dapat
diterapkan sehingga hukuman yang diterima Iebih ringan, berbeda bila semua
undang—undang yang dapat menjerat pelaku diterapkan seluruhnya akan menimbulkan akumulasi sehingga dapat memperberat hukuman dan dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku. 2. Komisi Yudisial yang Salah satu peranannya adalah menjadi medium akuntabilitas publik dengan bentuk pengawasan eksternalnya adalah salah satu bagian yang sangat penting dalam rangka reformasi peradilan. Komisi Yudisial diberi tugas untuk memeriksa putusan yang telah dibuat oIeh hakim sebaiknya kewenangan ini tidak dikaitkan dengan Undang Undang Nomor 22 Tahun 2004 wewenang Komisi Yudisial berupa "wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan- keluhuran martabat serta perilaku hakim", melainkan dikaitkan dengan ‖Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung‖. Dari sejumlah fungsi pengawasan merupakan salah satu fungsi yang sangat penting dalam pencapaian tujuan itu sendiri, seperti perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan tidak akan dapat berjalan dengan baik apabila fungsi pengawasan ini tidak dilakukan dengan baik.
Hukum yang berkeadilan merupakan kebutuhan kolektif, sehingga harus diciptakan secara kolektif pula bukan sendiri – sendiri. Komisi Yudisial ( KY ) dan Mahkamah Agung ( MA ) merupakan ujung tombak dalam mengawal terciptanya rasa keadilan, Kerja sama strategis antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung perlu didasarkan pada sikap saling percaya, hormat menghormati dan peka terhadap hal – hal yang sensitive, Makna dari semua itu adalah aparat yang terlibat dalam proses hukum yang menyimpang dari rasa keadilan harus ditegakkan pula sesuai Undang undang dan aturan hukum yang berlaku.
2. Saran 1. Supaya penerapan sanksi pidana bagi penegak hukm penerima suap
( gratifikasi )
dalam proses peradilan dapat memberikan efek jera diperlukan perubahan pada Pasal 1 ayat (1) sub c, dan Pasal 5, 6, 11 dan 12 Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan memperberat ancaman hukuman. Disamping itu diperlukan undang-undang khusus mengenai Criminal Justice System, yang mengatur khusus mengenai proses peradilan pidana, sehingga dalam menjerat para pelaku penerima suap dapat dikenakan undang-undang tersebut. 2. Supaya Komisi Yudisial sesuai Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2004 Pasal 12B bagi hakim yang melanggar kode etik maka akan diterapkan juga bagi hakim penerima gratifikasi akan digunakan Undang – undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 20 Tahun 2001 , dalam melakukan pemeriksaan terhadap hakim penerima gratifikasi ,dan hasil pemeriksaan dapat disampaikan kepada Mahkamah Agung lebih cepat sehingga memberikan efek jera kepada hakim – hakim yang lain agar tidak melakukan perbuatan yang tercela, dimana seharusnya hakim dapat memberikan putusan bersifat obyektif dan tidak ada keberpihakan kepada siapapun sehingga dalam melakukan pengawasan dapat maksimal dan sesuai dengan peranan dan fungsi Komisi Yudisial. Hal ini disebabkan secara sepihak hukum merupakan pantulan persepsi sosial dan kepentingan para pengambil kebijakan dan dengan demikian
hakim sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman harus tunduk pada kebijakan semacam ini.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku Dalam kamus, Condition sine Guo , diartikan sarat yang tdk boleh tidak harus ada. Lihat L.P.M Ranuhandoko, Terminologi Hukum Inggris Indonesia, Cetakan ketiga, Jakarta : Sinar Grafika, 2007 Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di berbagai Negara, Jakarta, Sinar Grafika, 2005. Laden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi- Pemberantasan dan Pencegahan, ( edisi revisi 2004), Penerbit Djambatan, Jakarta 2004, Dengan Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ), KPKPN dilebur menjadi bagian KPK. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 08 P / HUM/ 200, tanggal 11 Juli 2001 Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Govermence & Komisi Anti Korupsi di Indonesia, Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Ham RI, Jakarta, 2002, hal, 9. Lihat pula Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi ( sebuah Bunga Rampai ), penerbit PT Alumni, Bandung, 2006. Sajito Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Editor Joni Emirson dkk, Penerbit buku Kompas, Jakarta 2006, hlm. 141 .Mengutip Syed Husseain Alatas bahwa : Penyakit Korupsi melalui tga tahap yakni, Tahap ( I ) Terbatas ( 2 ) Meluas ( 3 ) Menghancurkan masyarakat dimana Koruptor itu berada di dalamnya B. Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, llmu Hukum,Teori Hukum dan Filsafat Hukum, Relika Aditama, Bandung, 2008. Montsqui dikutip oleh Moh, Kusnadi dan Harmaily Ibrahim, dalam bukunya Pengantar Hukum tentang Negara Indonesia, Pusat study HTN Fakultas Hukum UI, Jakarta , tanpa tahun. Ismail Sunny, Pengantar Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1996, Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang KY sebagai Lembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan RI pasca Amandemen UUD 1945, Prestasi pustaka
Djoko Prakoso dan Ali Suryati, Upetisme Ditinjau Dari Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, cetakan I tahun 1971, Bina Aksara, Jakarta, 1986. Djoko Sarwoko, Hubungan Tata Kelola Pengadilan dan Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana, Hanjar Sespim Polri, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2010.
Emong S. Komariah, Ajaran Sifat Melawan Hukum Material dalam Hukum Pidana Indonesia, Prisma, No. 7 Juli 1995. Garuda Wlko, Pembangunan Sistem Hukum Bagi Keadilan, Raja Gratindo Persada, Jakarta, 2009. HR Abdussalam, DPM Sitompul, Sistem Paradilan Pidana, Restu Agung, Jakarta, 2007. HR. Otja Salman, Filsafat Hukum, (Perkembangan & Dinamika Masalah), Ratika Aditama, Bandung, 2009. Jan Rammalink, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003. K. Bartans, Etika, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002. Lumitang, P.A.F. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung. 1990. Lili Rasjidi, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju. Bandung, 2003. Marwan Effendy, Tipologi Kejahatan Perbankan dari Perspektif Hukum Pidana, Sumber Ilmu Jaya, cet. I, 2005. Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, PT Rinaka Cipta, Jakarta, 2002. Muladi, Kapita Salekta Sistem Peradilan Pidana, UNDIP, Samarang, 1995. Muladi, Barda Nawawi Ariaf, Teori-teori dan Kelayakan Pidana, Alumni, Bandung, 2010. P.A.F. Lumintang, Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum Negara, Sinar Baru, Bandung, 1986. Pontang Moarad BM, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana, Alumni, Bandung, 2005. Poedjawiyatna, Etika Filsafat Tingkah Laku, Rinaka Cipta, Jakarta, 1996. Rismawaty, Kepribadian dan Etika Profesi, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2008. Ronny Hanitijo Soamitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988. Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Binacipta, Bandung, 1996. Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan Jawab Pidana (Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana), Centra, Jakarta, 1968. R. Soesilo, KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politea, Bogor.1996 , Kitab Undang-undang Hukum Pidana. ctk. Ulang , politea, Bogor, 1996. Sadjijono, Etika Profesi Hukum, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2008. Schaftimeister, D, Fraud Bestrijding Zonder Grondslag, Leiden Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, 1990.
Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Perdana Ide Dasar Double Track System & Implementasinya, Raja Grasindo Persada, Jakarta, 2004. Soebroto Brotodiredjo, Jati Diri, Profesionalisme dan Modernisasi Polri, Sanyata Sumanasa Wira, Sespim Polri, Jakarta, 1996. Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, CV Rajawali, Jakarta, 1990. Sudarto, Hukum Pidana Jilid I, Undip, Semarang, 1973., Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983. Suhrawardi K. Lubis, Etika Profesi Hukum, Sinar Graha, Jakarta, 2006. Supamwan Usman, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2008. Sunyadarmawan, L, Himpunan Keputusan-Keputusan Dari Mahkamah Agung, Jakarta. 1967. Van Bemmelen-Van Hattum Hand en Leerboek II, Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Retika Aditama, Bandung, 2003. The Constitution Of Thailand, adopted In 1997. The Constitution Of Argentina, all amendments up to 22 Aug 1994.
B. Perundang-undangan Perundang-Undangan, Undang—Undang No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP, Kitab Undang—Undang Hukum Pidana Undang-Undang No. 3 tahun 1971 tentang Suap Undang—Undang No. 31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian. Undang-Undang No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan. Undang-Undang No. .22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.dan Undang – Undang N0m0r 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial Pengganti UU No 22 Tahun 2004 Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pengganti Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kepres No. 39 tahun 2010 tentang Satgas Mafia Hukum.
C. Sumber·Sumber Lain Depdikbud Rl, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka cetakan pertama, Jakarta, 1988. Main Hakim Sendiri dan Budaya Hukum, dalam http://www.hukum.online
Muladi, (Makalah), Sinkronisasi Pelaksanaan Pengakan Hukum dalam Mewujudkan Integrated Criminal Justice System, Makalah dalam diskusi hukum ICJS, Yogyakarta, 25 - 26 Juli 1990. Romli Atmasasmita, Proses Penanggulangan Korupsi di IndonesiaMemasuki Abad 21 : Suatu Reorientasi atas Kebanyakan Hukum Pidana di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya, FH UNPAD, Bandung 25 September 1990.