BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH Kewenangan pemerintah berkaitan erat dengan persoalan asas legalitas,
asas yang tentunya mendunia. Hal ini disebabkan asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum, terutama negara dengan sistem hukum kontinental. 1 Senada dengan pendapat F. J. Stahl, bahwa salah satu unsur pokok yang harus dimiliki negara hukum, yakni pemerintah berdasarkan undang-undang (hukum). Ini sesuai dalam konsep Hukum Administrasi, asas legalitas juga dikenal, dikatakan bahwa pejabat tata usaha negara dapat berbuat hukum asalkan ada dasar wewenang yang bersumber dari undang-undang. 2 Menurut sejarah, asas pemerintahan berdasarkan undang-undang berasal dari pemikiran hukum abad ke-19 yang didominsi oleh pemikiran legalistikpositivistik. 3 Secara normatif, setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan undang-undang (hukum) atau kewenangan yang melekat padanya. Penerapan asas legalitas, menurut Indroharto, akan menunjang berlakunya kepastian hukum dan kesamaan perlakuan. 4 1
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, eds. kesatu, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 94. 2 Dikutip dari catatan mata kuliah Hukum Pajak pada tanggal 20 Februari 2007. 3 http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=12884 diakses pada tanggal 25 Oktober 2008. 4 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Op. Cit., hlm. 97 sebagaimana dikutip dari Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara : Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm. 83-84.
1
Penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan asas legalitas, dalam prakteknya tidak memadai apalagi di tengah dinamika masyarakat yang sering terjadi perubahan dalam kehidupannya. Hal ini karena hukum tertulis senantiasa mengandung kelemahan-kelemahan. Menurut Bagir Manan, hukum tertulis memiliki berbagai cacat bawaan dan cacat buatan. 5 Meskipun asas legalitas mengandung kelemahan, tetap saja asas ini dianut oleh banyak negara dalam hal penyelenggaraan negara dan pemerintahan, karena telah disebutkan bahwa asas legalitas merupakan dasar atau sebagai pijakan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Dengan kata lain, dalam penyelenggaraan negara pemerintah harus memiliki legitimasi, yakni kewenangan yang diberikan undang-undang (hukum). Dengan demikian, substansi asas legalitas adalah wewenang. 6 Ketika
konsepsi
negara
hukum
sebagai
negara
jaga
malam
(nachwakerstaat) masih dipertahankan dengan falsafah laissez fairie-nya, masyarakat yang lemah cenderung tertindas oleh masyarakat yang kuat, karena laissez faire memang menginginkan minimnya peran serta negara dalam hal kesejahteraan umat. Atas perkembangan yang terjadi, konsepsi negara hukum ini beralih,
dan
berkembang
menjadi
negara
kesejahteraan
(welvaarstat).
Konsekuensinya, negara harus menjamin adanya kemakmuran, kesejahteraan masyarakat, atau dengan kata lain negara harus menjadi pelayan masyarakat. Dalam suatu negara hukum yang demikian ini, tugas negara sebagai pelayan 5
Bagir Manan, Peranan Hukum Administrasi Negara dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam makalah pada Penataran Nasional Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum UNHAS, Ujung Pandang, 31 Agustus 1995, hlm. 1-2. 6 http://www.jpip.or.id/articles/view/96. diakses pada tanggal 6 November 2008.
2
publik adalah menyelenggarakan dan mengupayakan suatu kesejahteraan sosial (yang oleh Lemaire disebutnya dengan : bestuurzog) bagi masyarakatnya. 7 Peran serta negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat dilaksanakan oleh pejabat administrasi negara (pejabat tata usaha negara), atau yang biasa disebut dengan administrasi negara (dalam Hukum Administrasi). Di dalam menjalankan fungsinya, administrasi negara haruslah menundukkan dirinya pada aturan hukum yang telah ada (berdasarkan asas legalitas), namun mengingat sedemikian luasnya aspek kehidupan sosial dan kesejahteraan masyarakat yang digeluti itu, tentunya tidak semua dapat diakomodasi oleh aturan (hukum) yang telah tersedia. Dalam kondisi yang demikian, membawa administrasi negara pada konsekuensi khusus, yakni adanya kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan kebijaksanaannya sendiri, terutama pada permasalahan yang genting, dan belum ada instrumen hukum yang mengaturnya. Kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan kebijaksanaannya sendiri ini, dalam Hukum Administrasi disebut dengan pouvoir discretionnaire atau freies Ermessen. 8 Freies Ermessen ini muncul sebagai alternatif untuk mengisi kekurangan dan kelemahan di dalam penerapan asas legalitas (wetmatigheid van bestuur). 9 Adanya freies Ermessen ini lalu bukannya tidak menimbulkan masalah, karena dengan adanya kewenangan bebas maka pada saat yang sama berarti terbuka celah bagi penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) atau 7
Saut P. Panjaitan, Makna dan Peranan Freies Ermessen dalam Hukum Administrasi Negara dalam SF Marbun dkk (penyunting), Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, ctk. kesatu, UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 104. 8 Ibid., hlm. 107, diambil dari Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 12. Lihat juga E. Utrecht dalam Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, FH UNPAD, 1960, hlm. 23. 9 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Op. Cit., hlm. 179.
3
tindakan sewenang-wenang (willekeur) yang dapat merugikan warga negara. Bahkan mungkin saja dengan sikap-tindak administrasi negara yang demikian ini bisa merugikan keuangan atau perekonomian negara (baca : korupsi). Pasal 1 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan : “Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya, karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Undang-undang tersebut akhirnya dihapus, dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Rumusan yang hampir mirip dengan Pasal 1 ayat (1) huruf b UndangUndang Nomor 3 Tahun 1971, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menyatakan : “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).” Rumusan pasal ini menekankan pada pelaku dalam kapasitas pejabat publik yang berhubungan dengan pelaksanaan kesejahteraan masyarakat sebagai subjek delik tindak pidana korupsi, karena terdapat rumusan delik yang berbunyi “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan”. Menurut Philipus M. Hadjon, dengan
4
dicantumkannya unsur “menyalahgunakan wewenang” dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menimbulkan suatu “grey area” dimana kebijakan pejabat dapat mempunyai dimensi Hukum Pidana. 10 Dan setelah ditelaah dengan seksama, ternyata kesemua undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (baik yang lama maupun yang baru) tidak mempunyai batasan yang limitatif baik dalam isi pasal maupun dalam penjelasan mengenai satu rumusan pasal tersebut. Jika demikian bagi hemat Penulis, akan terjadi banyak penafsiran pada rumusan pasal ini, dan akan menjadi preseden buruk penegakan hukum di Indonesia. Berikut, Penulis akan menampilkan praktek penegakan hukum dalam kasus korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki jabatan atau mempunyai wewenang publik karena kewenangannya. Ada 2 (dua) kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik yang menyalahgunakan kewenangannya ketika menjalankan wewenangnya. Pengadilan Negeri Lubuklinggau beberapa waktu yang lalu, tepatnya tanggal 10 Februari 2009 telah memutus bersalah 2 (dua) orang atas nama terdakwa H. M. Syarif Hidayat dan Heriansyah. Berdasarkan Surat Keputusan Bupati Musi Rawas Nomor 821. 2/ 127/ KPTS/ BKD/ 2004 tanggal 15 April 2004, H. M. Syarif Hidayat merupakan seorang pejabat publik selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Musi Rawas. Sedangkan Heriansyah, terdakwa kedua selaku Pemegang Kas Sekretaris Daerah
10
Dikutip dari Kata Pengantar Pakar oleh Philipus M. Hadjon dalam “Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi dalam Pengelolaan Keuangan Daerah” oleh Nur Basuki Minarno hlm. vii.
5
Kabupaten Musi Rawas berdasarkan Keputusan Bupati Musi Rawas Nomor : 36/ KPTS/ VIII tertanggal 7 Maret 2004. Keduanya terbukti dalam dakwaan subsidair tim Jaksa Penuntut Umum Eben Nesser Silalahi dan Oktafian Syah Efendi, yakni melanggar Pasal 3 Jo. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diatur dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 11 Dalam pertimbangan majelis hakim yang diketuai oleh Encep Yuliadi, mengenai unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” disebutkan sebagai berikut : 12 Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan adalah menggunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang diduduki atau dijabat untuk tujuan lain dari maksud diberikannya kewenangan, kesempatan atau sarana tersebut; Menimbang, bahwa selaku Sekretaris Daerah Terdakwa I - Drs. H. M. Syarif Hidayat, MM bin H. Jahri adalah Pejabat Pengguna Anggaran pada pos Sekretariat Daerah pada APBD Tahun anggaran 2004 yang kewenangannya adalah : 1. Pengelola anggaran pada pos sekretariat daerah; 2. Membantu Bupati meneliti SKO sesuai permintaan atau tidak; 3. Atasan langsung Pemegang Kas, menandatangani SPP (Surat Permintaan Pembayaran) yang diajukan Pemegang Kas; 4. Memberikan persetujuan pembayaran terhadap anggaran yang ada pada saldo kas bendahara (Kas Pemegang Kas) selaku atasan langsung Pemegang Kas. 11 12
Putusan Pengadilan Negeri Lubuklinggau Nomor : 466/ Pid. B/ 2008/ PN. LLG. Ibid., hlm. 52-53.
6
Menimbang, bahwa kewenangan Terdakwa II - Heriansyah bin Ali Kusin sebagai Pemegang Kas Sekretariat Daerah Kabupaten Musi Rawas adalah menerima uang derah yang dicairkan berdasarkan SPMU (Surat Perintah Membayar Uang) yang diterima, menyimpan uang daerah yang dicairkan dari SPMU pada brankas dan pada Bank Sumsel, rekening giro atas nama Pemegang Kas, mengeluarkan uang daerah atas perintah Ka.Bag Keuangan, Sekretaris Daerah, dan Bupati dan melakukan penatausahaan keuangan serta bertanggung jawab kepada Sekretaris Daerah Selaku atasan langsung Pemegang Kas; Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan Terdakwa I - Drs. H. M. Syarif Hidayat, MM bin H. Jahri selaku Pengguna Anggaran pada pos Sekretaris Daerah Musi Rawas dan Terdakwa II - Heriansyah bin Ali Kusin selaku Pemegang Kas dengan menggunakan jabatan yang ada padanya telah membuat keluarnya uang dari APBD Kabupaten Musi Rawas sebesar Rp 1.800.000.000,- (satu milyar delapan ratus juta rupiah) dari Dana Operasional Sekretarit Daerah untuk dibagi-bagikan kepada 45 (empat puluh lima) Anggota DPRD Musi Rawas periode 1999-2004 meskipun para tedakwa mengetahui selaku Pengguna Anggaran dan Pemegang Kas dalam APBD Kabupaten Musi Rawas tahun anggaran 2004 dananya tidak tersedia dan tidak mencukupi untuk keperluan itu, sehingga dalam Nota Dinas permintaan pencairan dana direkayasa seolah-olah dana tersebut dikeluarkan untuk beaya operasional seperti cetak, jilid, foto kopi, konsumsi harian, konsumsi rapat, beaya pemeliharaan bangunan kantor, pemeliharaan bangunan tempat tinggal dan beaya pemeliharaan alat angkutan darat yang telah dikeluarkan pada tahun anggaran 2004 karena tidak mencukupi lalu dimintakan dan menjadi beban bagi anggaran APBD tahun 2005; Menimbang, bahwa maksud kewenangan yang diberikan Undang-Undang kepada terdakwa adalah agar mereka terdakwa dapat menjaga agar uang yang kelur dari APBD Kabupaten Musi Rawas benar-benar sesuai dengan mata anggaran yang ada dalam APBD Kabupaten Musi Rawas pada tahun anggaran 2004; Menimbang, bahwa dengan demikian para terdakwa telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya kewenangan, sarana dan kesempatan yang ada pada mereka terdakwa, sehingga unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan telah terpenuhi.
7
Masih dalam kasus korupsi oleh pejabat publik, pada tahun 2002 yang lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggelar sidang perkara pidana atas nama terdakwa : Akbar Tanjung, Dadang Sukandar, dan Winfried Simatupang dengan dakwaan primair-subsidair yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum, Fahmi tertanggal 14 Maret 2002. 13 Primair : Pasal 1 ayat (1) sub b Jo. Pasal 28 Jo. Pasal 34 c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Jo. Pasal 43 A UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo. Pasal 65 KUHP. Subsidair : Pasal 1 ayat (1) sub b Jo. Pasal 28 Jo. Pasal 34 c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Jo. Pasal 43 A UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo. Pasal 65 KUHP. Akbar Tanjung saat itu berkedudukan sebagai Menteri Sekretaris Negara (MENSESNEG) pada pemerintahan presiden BJ. Habibie, telah menerima dan menggunakan uang Badan Urusan Logistik (BULOG) sebesar Rp 40.000.000.000,- (empat puluh milyar rupiah), namun bertentangan dengan tugas dan fungsi Kantor Sekretariat Negara. Dalam kasus ini telah terjadi pengaliran dana untuk bantuan korban bencana alam di Indonesia yang dialirkan dari pemerintah melalui rapat kabinet dan diputuskan memakai dana non budgeter BULOG yang dikepalai oleh Rahardi Ramelan (terdakwa di persidangan yang lain) dan disalurkan ke MENSESNEG, dan dari MENSESNEG disalurkan kepada Yayasan Raudlatul Jannah yang hal ini melibatkan Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang, dan Winfried Simatupang adalah salah satu kader 13
Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum No. Reg. Perk. : PDS-118/ JKTPS/ 03/ 2002 dalam SF Marbun (penyunting), Akuntabilitas Putusan Akbar Tanjung oleh Mahkamah Agung : Keterbukaan Keterukuran Sanksi, ctk. kesatu, UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 1-15.
8
Golkar. 14 Pokok permasalahan adalah pengaliran dana dari Rapat Kabinet dan penyaluran dana dari Yayasan Raudlatul Jannah, karena menurut hemat Penulis, bagaimana bisa dana anggaran untuk Badan Urusan Logistik sebesar Rp 40.000.000.000,- (empat puluh milyar) dengan begitu mudahnya mengalir dari Badan Urusan Logistik ke Menteri Sekretasi Negara dan dengan begitu mudah turun ke Yayasan Raudlatul Jannah yang sama sekali tidak dikenal dan ada kemungkinan fiktif. Dalam pertimbangan majelis hakim yang diketuai oleh Amiruddin Zakaria setelah menyimak pandangan-pandangan hukum baik dari Penasihat Hukum maupun, Penuntut Umum maka Majelis bependapat sebagai berikut : 15 a. Bahwa Terdakwa I – Ir. AKBAR TANJUNG sebagai koordinator yang ditunjuk oleh Presiden R.I., (Prof. Dr. B.J. Habibie), seharusnya mempedomani asas-asas pengelolaan keuangan negara semisal APBN, membentuk staff atau panitia, pimpinan proyek apapun namanya ataukah menunjuk staff yang professional yang bertugas memonitor, memantau secara cermat pelaksanaan yang dilakukan oleh kontraktor pelaksana (Yayasan Raudlatul Jannah); b. Bahwa fakta hukum di persidangan Terdakwa I – Ir. AKBAR TANJUNG sama sekali tidak membentuk panitia atau panitia kecil, untuk itu sehingga bagi Terdakwa I – Ir. AKBAR TANJUNG tidak mempunyai sarana internal untuk mengontrol pertanggung jawaban keuangan negara sebesar Rp 40.000.000.000,- (empat puluh milyar rupiah) yang diperuntukkan untuk penyaluran sembako berdasarkan amanat penunjukkan Presiden R.I. (Prof. Dr. B.J. Habibie) pada pertemuan tanggal 10 Februari 1999; c. Bahwa fakta hukum yang terungkap ternyata penerimaan cek senilai Rp 40.000.000.000,- (empat puluh milyar rupiah) dari BULOG kemudian Terdakwa I – Ir. AKBAR TANJUNG menyerahkan begitu saja kepada Ketua Yayasan Raudlatul Jannah in casu Terdakwa II – H. DADANG 14
http://kompas.com/berita-terbaru/0112/06/headline/024.htm diakses pada tanggal 1
Januari 2009 15
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 449/ Pid. B/ 2002/ PN. Jkt Pst dalam SF Marbun (penyunting), Akuntabilitas Putusan … Op. Cit., hlm. 292-293.
9
SUKANDAR lalu Terdakwa III – WINFRIED SIMATUPANG melalui (alm.) Dadi Suryadi tercemin suatu sikap yang kurang cermat; d. Bahwa kekurangcermatan Terdakwa I – Ir. AKBAR TANJUNG tersebut berarti bukan hanya bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum pengelolaan keuangan negara tetapi juga justru memberi peluang banyak kepada pihak Yayasan Raudlatul Jannah menyalahgunakan keuangan negara; e. Bahwa sebenarnya apabila Terdakwa I – Ir. AKBAR TANJUNG menyadari begitu pentingnya dibentuknya suatu panitia atau tim atau apapun namanya di bawah pengawasan internalnya selaku administrator yang ditunjuk Presiden R.I. (Prof Dr. B.J. Habibie), misalnya yang menjadi kelaziman dalam suatu kerja proyek dilakukan pembayaran atau pengeluaran dana secara bertahap (pertemijn) dilakukan setelah ada kontra prestasi dalam arti ada hasil laporan kerja dan berita acara pelaksanaan dari kontraktor; f. Bahwa dari pertimbangan-pertimbangan di atas, dalam kaitannya satu sama lain, Majelis berpendapat dengan tidak tergambarnya suatu mekanisme koordinasi kerja yang terpadu yang baik maka perbuatan Terdakwa I – Ir. AKBAR TANJUNG menurut hukum bertentangan dengan asas-asas kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian dalam melakukan pengelolaan uang negara pada Terdakwa I – Ir. AKBAR TANJUNG memiliki kewenangan untuk itu, bahkan Terdakwa I – Ir. AKBAR TANJUNG mempunyai pengalaman setelah sebelumnya telah menduduki jabatan penting di negeri ini. Pada tanggal 24 September 2002, dalam persidangan yang terbuka untuk umum, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan pidana terhadap Akbar Tanjung selama 3 (tiga) tahun penjara, dan terhadap Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang masing-masing dipidana selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan, dan ketiga terdakwa tersebut dikenakan denda masingmasing Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). Terhadap putusan ini, ketiga terdakwa tersebut mengajukan banding.
10
Dalam putusan banding Pengadilan Tinggi Jakarta ternyata menolak banding dari masing-masing terdakwa dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 16 Selanjutnya ketiga terdakwa tersebut mengajukan upaya hukum kasasi. Pada pemeriksaan tingkat kasasi ini, ternyata Mahkamah Agung dalam amarnya mengadili sendiri : Menyatakan Terdakwa I – Ir. AKBAR TANJUNG tersebut tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan kepadanya dalam dakwaan Primair dan Subsidair. 17 Pada pembuktian unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” pada Pasal 1 ayat (1) sub b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, karena telah keluar dari koridor surat dakwaan dan hanya menggunakan ukuran/ parameter ketentuan-ketentuan tidak tertulis, Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut : 18 Pertimbangan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta yang pada dasarnya mengambil alih pertimbangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut, adalah jelas-jelas salah dalam penerapan hukumnya, dengan alasan-alasan sebagai berikut : Dalam pembuktian unsur “menyalahgunakan kewenangan … dst” pada Pasal 1 ayat (1) sub b UU No. 3 Tahun 1971 adalah jelas hanya dapat digunakan ukuran/ pedoman aturan tertulis, dan tidak dapat digunakan parameter hukum tidak tertulis, baik berupa asas-asas kepatutan pada umumnya, asas-asas kepatutan dalam pengelolaan keuangan negara maupun asas pengelolaan keuangan negara yang baik yang ada dalam Keppres No. 16 Tahun 1994; Baik asas-asas kepatutan, maupun “asas-asas pengelolaan keuangan negara yang baik yang ada dalam Keppres 16 Tahun 1994”, adalah sama-sama merupakan ketetentuan yang tidak 16
Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta (Putusan Banding) Nomor : 171/ Pid./ 2002/ PT. DKI dalam Ibid., hlm. 307-358. 17 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Reg. No. 572 K/ pid./ 2003 dalam Ibid., hlm. 359-531. 18 Ibid., hlm. 434-436.
11
tertulis, karena Majelis Hakim dalam pertimbangannya hanya menyebutkan “asas-asas dan tidak menunjuk kepada ketentuan atau pasal-pasal tertentu dari Keppres 16 Tahun 1994 yang dijadikan pedoman atau parameter dan yang dilanggar oleh Terdakwa I dalam melaksanakan tugas sebagai koordinator pengadaan dan penyaluran sembako bagi masyarakat miskin tersebut”; Dalam Undang-Undang No. 3 ahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi asas-asas kepatutan dan aturan atau parameter tidak tertulis hanya dapat diterapkan secara terbatas dalam pembuktian Pasal 1 ayat (1) sub a, berkaitan dengan bestanddeel delict (delik inti) unsur (wederrechtelijk), berdasarkan adanya “wederrechtelijk” (melawan hukum materiil) yang terkandung dalam delik korupsi pada Pasal 1 ayat (1) sub a tersebut; Prinsip tersebut ditegaskan dalam Penjelasan Umum UndangUndang No. 3 Tahun 1971 yang menyatakan bahwa “sarana melawan hukum mengandung pengertian formal maupun materiil.” Sarana melawan hukum yang mengandung pengertian formal maupun materiil pada Pasal 1 ayat (1) sub a ini, tidak dapat diterapkan pada unsur “menyalahgunakan kewenangan … dst” pada Pasal 1 ayat (1) sub b, karena menyalahgunakan kewenangan merupakan perbuatan melawan hukum, tetapi perbuatan melawan hukum tidak selalu merupakan penyalahgunaan kewenangan; Sesuai dengan Surat Dakwaan seperti telah dikutip secara singkat di atas, dalam menilai apakah perbuatan Terdakwa I telah menyalahgunakan kewenangannya atau tidak, maka yang menjadi ukuran atau parameternya adalah Keppres No. 104 Tahun 1998 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Negara, Keppres No. 16 Tahun 1994, tentang pelaksanaan APBN, sebagaimana telah diubah dengan Keppres No. 24 Tahun 1995 dan Keppres No. 8 Tahun 1997, dan DAB (Dasar Akuntansi BULOG); Khusus mengenai Keppres No. 16 Tahun 1994, Judex Facti dalam hal ini Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta yang mengambilalih pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, telah menegaskan bahwa dana BULOG non budgeter (non-neraca) tidak termasuk pengaturannya dalam Keppres No. 16 Tahun 1994, sehingga terhadap dana non budgeter sebesar Rp 40.000.000.000,- tersebut tidak diberlakukan Keppres No. 16 Tahun 1994. Mengenai parameter berupa Keppres No. 104 Tahun 1994, ternyata sama sekali tidak dipertimbangkan oleh Judex Facti, karena kecuali Keppres No. 104 tersebut tidak mengatur tentang kewenangan penyaluran sembako untuk masyarakat miskin lagi pula Terdakwa I sama
12
sekali tidak terbukti melanggar Keppres No. 104 tersebut. Sedangkan mengenai parameter berupa DAB yang memang merupakan parameter akuntansi intern instansi BULOG, tidak dipertimbangkan oleh judex Facti; Oleh karena itu dalam pertimbangan Judex Facti dalam putusan a quo, Judex Facti hanya menyebutkan parameter berupa asasasas kepatutan, dan asas-asas pengelolaan keuangan negara yang baik yang ada dalam Keppres No. 16 Tahun 1994, tanpa menyebutkan ketentuan atau pasal-pasal tertentu dari Keppres No. 16 Tahun 1994, yang dijadikan parameter untuk menilai apakah Terdakwa I benar terbukti melakukan perbuatan penyalahgunaan kewenangan yang dimaksud pada Dakwaan Primair tersebut; Dengan demikian, pertimbangan judex Facti dalam pembuktian unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya … dst” pada Pasal 1 ayat (1) sub b UU No. 3 Tahun 1971 adalah salah dalam menerapkan hukum karena kecuali telah tidak didasarkan atu keluar dari koridor Surat Dakwaan, dan juga karena hanya didasarkan pada parameter ketentuan tak tertulis berupa asas-asas belaka, walaupun disebutkan sebagai asas-asas pengelolaan keuangan negara di dalam Keppres No. 16 Tahun 1994, namun Keppres No. 16 Tahun 1994 itu sendiri telah dinyatakan oleh Judex Facti sebagai aturan yang tidak relevan untuk dijadikan parameter penyalahgunaan kewenangan Terdakwa I dalam perkara ini. Kasasi dari Akbar Tanjung ini akhirnya dikabulkan oleh Mahkamah Agung dan ia diputus bebas, sedangkan kedua terdakwa yang lain, Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang dipidana penjara 1 (satu) tahun dan 3 (tiga) bulan. 19 Berangkat dari berbagai macam pandangan para sarjana hukum mengenai konsep penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud Pasal 3 UU PTPK, dan pandangan para hakim yang beraneka ragam dalam memutus perkara korupsi yang diawali dari penyalahgunaan wewenang ini, maka Penulis tertarik
19
Ibid.
13
untuk meneliti keterkaitan doktrin para pakar hukum mengenai penyalahgunaan kewenangan dengan putusan pengadilan.
B.
RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka
permasalahan yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah doktrin Hukum Pidana dalam penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi? 2. Bagaimanakah putusan pengadilan terhadap perkara-perkara korupsi yang terkait dengan penyalahgunaan wewenang?
C.
TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut : 1. Untuk mengetahui doktrin Hukum Pidana dalam penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi; 2. Untuk mengetahui dan menganalisis putusan pengadilan terhadap perkara-perkara korupsi yang terkait dengan penyalahgunaan wewenang.
D.
TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan hukum berkaitan erat dengan perkembangan masyarakat,
karena terdapat adagium bahwa “hukum selalu ketinggalan dengan perubahan
14
masyarakat”, hal ini tidak lain karena masyarakat selalu bergerak dinamis, dan hukum seringkali terlambat untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat. Fakta ini diperjelas dengan perbuatan masyarakat yang merugikan kepentingan publik, atau dalam hal ini seseorang melakukan tindak pidana yang dulunya dapat dikualifikasikan perbuatannya dalam Wetboek van Strafrecht (KUH-Pidana peninggalan Kolonial). Namun, seiring perkembangan zaman dan dinamika masyarakat, hukum menjadi ketinggalan pada saat masyarakat melakukan kriminalitas di luar pengaturan Hukum Pidana. Suatu penelitian oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro mengenai penelitian terhadap “Perkembangan Delik-Delik Khusus dalam Masyarakat yang mengalami Modernisasi”, menunjukkan hasil-hasil antara lain sebagai berikut : 20 1.
2.
3.
4.
Ditinjau dari intensitas dan frekuensi terjadinya kejahatan, yang paling banyak dilakukan adalah delik-delik terhadap harta benda, kemudian menyusul delik-delik lalu lintas, delik-delik terhadap orang, delik-delik terhadap ketertiban umum dan delik-delik kesusilaan. Ada pengaruh kemajuan teknologi terhadap pola tingkah laku tindak pidana terhadap perkembangan teknik pelaksanaan tindak pidana. Ada hubungan lamgsung antara kemajuan-kemajuan dalam sektor perhubungan dan gerak kemasyarakatan yang berkenaan dengan ruang geografi (mobilitas horizontal) dengan peningkatan tindak pidana. Intensitas kejahatan menimbulkan rasa takut, gelisah dan cemas di kalangan masyarakat, adapun delik-delik yang dirasakan paling mencemaskan adalah pelanggaran lalu lintas, penodongan, penjambretan, perampokan, perdagangan dan penyalahgunaan narkotika, perkosaan, penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum-oknum penguasa.
20
Muladi dan Barda Nawawi A., Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 86-87.
15
Oleh karena itu, berkaca dari hasil penelitian tersebut, hendaknya hukum, dan lebih spesifik adalah Hukum Pidana harus mengikuti perkembangan masyarakat, meskipun penegakan Hukum Pidana bersifat ultimum remidium (senjata pamungkas). 21 Hal ini penting, karena hukum, termasuk Hukum Pidana adalah merupakan salah satu instrumen terpenting dalam penyelesaian konflik yang tersedia dalam masyarakat. 22 Korupsi, adalah salah satu dari sekian banyak tindak pidana yang diatur di luar KUHP. Hal ini karena KUHP sudah tidak mampu mengakomodasi berbagai macam bentuk korupsi dan modusnya. Sebagai contoh, awalnya suatu tindak pidana diyakini hanya dilakukan oleh orang (natuurlijk persoon) sebagaimana diatur dalam Pasal 59 KUHP, namun dengan berbagai perkembangan pemikiran dan teknologi, baik orang maupun korporasi (yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum) dapat dikategorikan sebagai pelaku tindak pidana. Hal ini menimbulkan permasalahan dalam Hukum 21
Di antara ahli hukum pidana masih belum ada kesepahaman pendapat berkaitan dengan apakah hukum pidana sebagai ultimum remidium ataukah ia sebagai primum remidium? Muladi misalnya mengusulkan, bahwa hukum pidana tidak lagi ditempatkan sebagai senjata pamungkas (ultimum remidium) di dalam menanggulangi kejahatan, lebih-lebih akhir-akhir ini marak sekali bermunculan kejahatan-kejahatan baru yang sangat kompleks tetapi ia ditempatkan sebagai senjata awal (primum remidium). Sebaliknya Romli Atmasasmita mengatakan, bahwa penempatan hukum pidana sebagai ultimum remidium masih relevan daripada primum remidium baik pada kejahatan biasa yang modus operandinya tidak begitu kompleks maupun pada kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang bukan sindikat kriminal, seperti kejahatan korporasi. Lihat Muladi, “Fungsionalisasi Hukum Pidana di Dalam Kejahatan Yang Dilakukan Oleh Korporasi”, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 23-24 November 1989, hlm. 5. Badingkan dengan Loebby Loqman, “Tinjauan Yuridis Fraudulent Misrepresentation”, dalam Kiki Pranasari dan Adrianus Meliala (editor), Praktek Pemberian Keterangan yang Tidak Benar : Suatu Modus Penyimpangan Ekonomi, UI Press, Jakarta, 1991, hlm. 98. Lihat juga Romli Atmasasmita,”Bentuk-bentuk Tindak Pidana Yang dilakukan oleh Produsen pada Era Perdagangan Bebas: Suatu Upaya Antisipatif, Preventif, dan Represif”, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen dalam Sistem Hukum Nasional Menghadapi Era perdagangan Bebas, Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, Bandung, 9 Mei 1998, hlm. 12-13. 22 Salman Luthan, “Anatomi Rancangan Undang Undang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi” dalam Makalah, Yogyakarta, 4 Oktober 2003, hlm. 1.
16
Pidana itu sendiri, khususnya menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Apakah unsur kesalahan tetap dapat dipertahankan seperti halnya pada manusia, kesalahan dalam Hukum Pidana ini berarti jantungnya, demikianlah; dikatakan Idema. 23 Payung hukum pemberantasan tindak pidana korupsi yang berlaku sekarang ini adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK). Dalam undang-undang ini terdapat sebuah delik yang berisi unsur penyalahgunaan wewenang yang termaktub dalam Pasal 3 UU PTPK, adapun selengkapnya unsur delik pasal ini adalah sebagai berikut : 1.
Setiap orang;
2.
Dengan tujuan;
3.
Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
4.
Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;
5.
Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Konsep menyalahgunakan wewenang dalam Pasal 3 ini hanya dimiliki oleh pejabat publik, karena wewenang yang dimaksud adalah yang bersumber dari peraturan perundang-undangan (sesuai dengan asas legalitas). Secara teoretis,
23
Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, ctk. kedua, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2009, hlm. 2 sebagaimana dari Sudarto, Hukum Pidana I (Semarang : Badan Penyediaan Bahan-Bahan Kuliah FH UNDIP, 1987) hlm. 86 (Sudarto I) dari Muladi dan Dwija Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Sekolah Tinggi Hukum, Bandung, 1991, hlm. 5.
17
kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Mengenai atribusi, delegasi, dan mandat ini, H. D. van Wijk/ Willem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut (terjemahan): 24 1.
Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan;
2.
Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya;
3.
Mandat
terjadi
ketika
organ
pemerintahan
mengizinkan
kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Dalam konsep hukum administrasi, setiap pemberian wewenang kepada suatu badan atau kepada pejabat Administrasi Negara selalu disertai dengan “tujuan dan maksud” diberikannya wewenang itu, 25 sehingga penerapan wewenang itu harus sesuai dengan “tujuan dan maksud” diberikannya wewenang itu. Dalam hal penggunaan wewenang tersebut tidak sesuai dengan tujuan dan maksud pemberian wewenang itu maka telah melakukan penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir). 26 Selain itu, masih dalam Hukum Administrasi, setiap penggunaan wewenang oleh pejabat Administrasi Negara haruslah berdasarkan pada hukum formil atau peraturan perundang-undangan yang berlaku (sesuai dengan asas 24
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara … Op. Cit., hlm. 104-105 dari H. D. van Wijk/ Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, Vuga, ‘s-Gravenhage, 1995, hlm. 129 bandingkan dengan B. de Goede, Beeld van het Nederlands Bestuursrecht. bewerkt door H. van den Brink, Vuga Uitgeverij b.v., ‘s-Gravenhage, 1986, hlm. 56 lihat juga P. J. P. Tak, Rechtsvorming in Nederland. Samson H. D. Tjeenk Willink Open Universiteit, 1991, hlm. 99-103. 25 http://www.jpip.or.id/articles/view/96. diakses pada tanggal 13 Januari 2009. 26 Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang ... Op. Cit., hlm. 80.
18
legalitas). Namun, jika dalam hal tidak ada aturan yang memberikan wewenang kepada pejabat pemerintah, maka akan lahir suatu kondisi dimana pemerintah bertindak di luar ketentuan undang-undang. Hal seperti ini lah yang dikhawatirkan, bahwa pemerintah menggunakan wewenang untuk tujuan lain, berarti terjadi penyalahgunaan wewenang. Diskresi merupakan wewenang dari pejabat. Ada yang mengartikan diskresi adalah pengambilan keputusan (beschikking) berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun ada pula yang mendeskripsikan bahwa diskresi adalah penyimpangan atas peraturan perundangan yang berlaku oleh pejabat (karena bisa saja undang-undang tidak mengatur demikian, atau mengaturnya, tapi samar-samar) untuk mengambil keputusan yang bersifat segera, dan mendesak. Kondisi demikian juga berpotensi terjadi penyalahgunaan wewenang pemerintah oleh pejabat Administrasi Negara. Melihat dari dua pendapat demikian, jika mendasarkan pada asas legalitas dalam Hukum Pidana (nullum delictum, noella poena sine praevia lega poenali), inilah yang menurut Indriyanto Seno Adji, Hukum Administrasi dan Hukum Pidana memasuki “grey area” dengan segala teknikalitas kesulitan dengan proses pemidanaan, bahkan hingga kini menimbulkan debatebelitas di kalangan ahli Hukum Pidana. Betapa tidak, keputusan pejabat negara baik dalam rangka “beleid” maupun “diskresi” menjadi ajang kajian akademis untuk dijadikan alasan penolakan maupun justifikasi pemidanaan dalam area Hukum Pidana. 27
27
Indriyanto Seno Adji, “Overheidsbeleid Dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”, artikel pada Jurnal Keadilan, Edisi No. 2 Vol. 4, 2006, hlm. 10 lihat juga Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang… Op.Cit., hlm. 15.
19
Jika secara formil, penyalahgunaan wewenang dalam ranah Hukum Pidana tidak dijelaskan secara eksplisit, bagaimana atau seperti apa batasan penyalahgunaan wewenang tersebut. Apakah mungkin formulasi penyalahgunaan wewenang mendasarkan pada hukum materiil? Mengingat bahwa Hukum Pidana menyanjung tinggi terhadap asas legalitas. Hal ini penting sekali mengingat unsur “penyalahgunaan wewenang” sebagai bagian inti delik (bestanddeel delict) dan harus dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam proses persidangan. Apabila penyalahgunaan wewenang dilihat dari perspektif Hukum Administrasi, ukurannya jelas. Menurut Patuan Sinaga, supaya kebebasan atau pouvoir discretionnaire dapat ditolerir menurut Hukum Administrasi, maka selain memenuhi asas legalitas (wetmatigheid) dan asas yuridiktas (rechtmatigheid), administrasi negara (pejabat publik) harus memenuhi tiga tolok ukur lainnya : 28 1.
Tidak melanggar atau menyimpangi ketaatasasan yang dianut dalam hirarki peraturan perundang-undangan;
2.
Tidak melanggar hak dan kewajiban asasi masyarakat;
3.
Dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan umum.
Badan peradilan merupakan institusi yang mampu menyumbang salah satu sumber hukum berupa yurisprudensi, melalui hakim yang memeriksa dan mengadili suatu perkara.
28
Patuan Sinaga, Hubungan Antara Kekuasaan Dengan Pouvoir Discretionnaire Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, dalam SF Marbun dkk (penyunting), Dimensi-Dimensi Pemikiran … Op.Cit., hlm. 103.
20
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, beberapa tugas hakim antara lain : 29 1.
2.
3.
4.
Tugas pokok dalam bidang peradilan (teknis yudisial), diantaranya adalah : a. Menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya; b. Mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang (pasal 5 ayat [1]); c. Membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan demi tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan beaya ringan (Pasal 5 ayat [2]); Tidak boleh menolak untuk memeriksa dengan dalih bahwa hukum tidak/ kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya (Pasal 16 ayat [1]). Tugas yuridis, yaitu memberi keterangan, pertimbangan dan nasehat-nasehat tentang soal-soal hukum kepada lembaga Negara lainnya apabila diminta (Pasal 27); Tugas akademis/ ilmiah dalam melaksanakan tugas pokoknya, yaitu hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat [1]).
Di dalam konsep Hukum Pidana, secara formal, tidak ada pengertian tentang penyalahgunaan wewenang, hanya di dalam formulasi Hukum Administrasi-lah hal ini ada batasan-batasan tertentu. Ketika seseorang didudukkan dalam kursi pemeriksaan sebagai terdakwa dalam pengadilan dengan dakwaan penyalahgunaan wewenang, kemanakah seorang hakim akan mencari penyelesaian perkara itu? Melalui pemeriksaan di pengadilan (kebenaran materiil) mungkin saja dapat ditempuh, namun hemat Penulis saat ini banyak sekali modus para pelaku korupsi yang mungkin saja dia dapat mengelak dari hukum formil tentang korupsi. Ini karena tidak ada batasan 29
Lihat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman lihat juga Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, ctk. Pertama, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 125-126 dan143-172.
21
jelas apa dan bagaimana unsur penyelahgunaan wewenang dalam Pasal 3 tersebut. 30 Berdasarkan tugas hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, bahwa seorang hakim tidak boleh menolak suatu perkara yang secara formil tidak ada aturannya, karena itu hakim juga dituntut menemukan hukum atas apa yang dia periksa (rechtsvinding). Di dalam menjalankan tugasnya, kemandirian hakim dapat diukur melalui 2 (dua) faktor, yaitu faktor internal yang datangnya dari dalam hakim itu sendiri (iman, SDM, pendidikan hakim, dan sebagainya); dan faktor eksternal yang berupa peraturan perundangan, intervensi proses peradilan, hubungan hakim dengan penegak hukum lain, tekanan dari luar, kesadaran hukum, dan faktor sistem pemerintahan. 31 Saat ini di tengah-tengah dunia yang berkecamuk (perang, bencana alam, kesengsaraan,
korupsi,
dan
sebagainya),
masyarakat
(umat)
cenderung
mengutamakan habl min Allah (hubungan vertikal kepada Tuhan sendiri), belum habl min al-nas (hubungan horisontal dengan sesama), yang didengungkan baru amar ma’ruf (ajaran kepada kebaikan), belum nahi munkar (larangan kemungkaran, alias kritik sosial). Seharusnya agama dapat berperan optimal dan positif. Senyatanya korupsi, penyalahgunaan wewenang berada dalam tataran perbuatan munkar, dan merupakan hubungan antar manusia (habl min al-nas). 30
http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=13&artid=
12884. 31
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan … Op.Cit., hlm. 58-63.
22
Berkaitan dengan hal ini, Islam mengajarkan anti korupsi, dalam bahasa agama, korupsi masuk dalam kategori kemunkaran yang harus dihentikan oleh siapapun yang menyaksikannya. Rasulullah Saw. bersabda : “Barang siapa di antara kamu melihat kemungkaran, hendaklah dia merobahnya dengan tangannya. Kalau tidak sanggup (dengan tangan, maka robahlah) dengan lisannya. Dan apabila tidak sanggup (dengan lisan), maka robahlah dengan hatinya. Yang demikian itu adalah selemah-lemahnya iman.” (H.R. Muslim). Selanjutnya, dalam konsep Islam, wewenang erat kaitannya dengan amanah. Amanah dalam pengertian yang sempit adalah memelihara titipan dan mengembalikannya kepada pemiliknya dalam bentuk semula. Sedangkan dalam pengertian luas, amanah mencakup banyak hal seperti : menjaga rahasia, memelihara semua nikmat yang diberikan Allah Swt., menunaikan kewajiban dengan baik dan tidak menyalahgunakan jabatan. 32 Allah Swt. memikulkan ke atas pundak manusia tugas-tugas yang wajib dia laksanakan, baik hubungannya dengan Allah Swt. maupun dengan sesama manusia dan makhluk lainnya. Tugas seperti itu disebut taklif, manusia yang ditugasi disebut mukallaf, dan amanahnya disebut amanah taklif. Amanah inilah yang secara metaforis digambarkan oleh Allah Swt. tidak akan mampu dipikul oleh langit, bumi, dan gunung-gunung karena beratnya, tapi manusia bersedia memikulnya. 33 Allah Swt. berfirman : “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka 32
Yunahar Ilyas, Korupsi Dalam Perspektif Agama-Agama : Panduan Untuk Pemuka Umat, ctk. pertama, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pendidikan (LP3) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta, 2004, hlm. 99. 33 Ibid., hlm. 101.
23
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (Q.S. Al-Ahzab 33 : 72). Dari kajian singkat yang telah dilakukan oleh Penulis, adalah Nur Basuki Minarno, salah seorang pakar Hukum Pidana di Indonesia yang pernah mengaji tentang konsep penyalahgunaan kewenangan dalam tindak pidana korupsi. Di dalam bukunya yang berjudul “Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah” yang diterbitkan oleh Laksbang Mediatama, Surabaya, menguraikan tentang kualifikasi subjek atau pelaku penyalahgunaan wewenang yang berimbas korupsi, berbagai macam perbuatan atau modus pelaku, sampai dengan praktek putusan pengadilan yang cukup kontroversial diangkat olehnya. Melalui penelitian yang akan dilakukan oleh Penulis, secara garis besar tidak jauh berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh Peneliti sebelumnya. Namun dalam penelitian ini, Penulis akan menampilkan secara jelas, siapa dan bagaimana tindak pidana korupsi yang diawali dengan penyalahgunaan kewenangan itu dilakukan. Melalui kajian secara mendalam tentang pelaku tindak pidana dan parameter-parameter perbuatan penyalahgunaan kewenangan.
E.
DEFINISI OPERASIONAL Doktrin atau sering disebut juga dengan pendapat sarjana hukum.
Pendapat para sarjana hukum yang ternama juga mempunyai kekuasaan dan
24
berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh hakim, apalagi jika sarjana hukum itu menentukan bagaimana seharusnya. 34 Penyalahgunaan wewenang. Penyalahgunaan adalah melaksanakan di luar tujuan, 35 bisa juga dikatakan dengan melaksanakan suatu pekerjaan yang sebenarnya bukan porsinya. Sedangkan wewenang merupakan pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum publik. 36 Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten.) 37 Pemerintah adalah adalah badan hukum publik (berisi jabatan-jabatan atau complex van ambten), penyelenggara kesejahteraan masyarakat yang menyandang hak dan kewajiban dalam tugasnya menyelenggarakan amanah konstitusi dan/ atau peraturan perundang-undangan. Korupsi secara harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari
34
C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, ctk. Kedelapan, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm. 51 lihat juga Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, ctk. Pertama, Sinar Grafika Ofset, Jakarta, 2004, hlm. 17. 35 Diskusi atau wawancara dengan Salman Luthan, dosen Hukum Pidana FH UII (dosen pembimbing skripsi Penulis), 11 Maret 2009. 36 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara … Op. Cit., hlm. 101sebagaimana dikutip dari H.D. Stout, de Betekenissen van de Wet, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1994, hlm. 23. 37 Ibid., hlm. 102 sebagaimana dari Bagir Manan, Wewenang Provinsi, Kabupaten, dan Kota dalam rangka Otonomi Daerah, Makalah pada Seminar Nasional, Fakultas Hukum UNPAD, Bandung, 13 Mei 2000, hlm. 1-2.
25
kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. 38 Sedangkan menurut Transparansi Internasional, korupsi adalah “perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.” 39 Namun dalam penulisan karya ilmiah kali ini, Penulis membatasi pada tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Putusan pengadilan. Berdasarkan Kamus umum Bahasa Indonesia, putusan pengadilan berarti barang apa yang sudah diputus (sudah pasti, tentu, tetap) oleh pengadilan. 40 Jadi
judul
Penyalahgunaan
penelitian
Wewenang
skripsi
yang
Pemerintah
mengaji
dalam
tentang
Kasus
“Doktrin
Korupsi
dan
Implementasinya dalam Putusan Pengadilan” ini akan menelaah pendapatpendapat para sarjana hukum mengenai perbuatan, sikap-tindak yang dalam hal ini dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi yang bagaimana yang dinilai menjadi perbuatan penyalahgunaan wewenang dalam konsep rumusan delik Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di samping itu, penelitian ini juga mengaji bagaimana praktek putusan pengadilan atas berbagai pandangan tentang konsep penyalahgunaan kewenangan sebagaimana dimaksud 38
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, ed. Revisi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 5. 39 Mohammad Amien Rais, Agenda-Mendesak Bangsa : Selamatkan Indonesia!, ctk. Ekstra, PPSK Press, Yogyakarta, 2008, hlm. 177 sebagaimana dikutip dari Indonesia Corruption Watch. 40 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, ctk. Kelima, PN Balai Pustaka tahun 1976.
26
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasn Tindak Pidana Korupsi.
F.
METODE PENELITIAN Adapun metode penelitian yang akan Penulis gunakan dalam penelitian
ini adalah : 1. Fokus Penelitian Fokus yang akan menjadi kajian dalam penelitian ini adalah doktrindoktrin Hukum Pidana tentang perbuatan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh pelaku dalam kasus korupsi dan putusan pengadilan terhadap perkara-perkara korupsi yang terkait dengan penyalahgunaan wewenang. 2. Nara Sumber 41 Nara sumber dalam penelitian ini adalah para pakar atau ahli atau pihakpihak yang mempunyai kompetensi atau ahli dalam suatu masalah atau yang berwenang dalam masalah yang diteliti. Dalam hal ini Penulis membagi antar pakar Hukum Administrasi dan Hukum Pidana serta para praktisi, pihak-pihak yang dimaksud antara lain : a. Ridwan HR, S.H., M.Hum; 41
Pada kenyataannya di lapangan, Penulis tidak dapat menemui nara sumber seperti : Ridwan HR, SF Marbun, dan Edward OS. Hieraij karena aktivitas nara sumber yang sangat padat. Namun demikian, Penulis mewawancarai pakar yang terkait dengan penulisan skripsi ini, antara lain : Masnur Marzuki (dosen HTN FH UII) dan Muh. Ali Muthohar (Pengkaji di Gedung Bundar Jaksa Agung Muda bagian Pidana Khusus dan HAM Kejaksaan Agung Republik Indonesia). Mengenai pendapat kedua nara sumber tersebut dapat dilihat pada bab II dan bab III.
27
b. Dr. SF. Marbun, S.H., M.Hum; c. Dr. Mudzakkir, S.H., M.H.; d. Dr. Edward Oemar Syarief Hieraij, S.H., M.Hum; dan e. Hakim-hakim yang pernah memeriksa dan mengadili perkara korupsi penyalahgunaan wewenang. 3. Bahan Hukum Bahan hukum dalam kajian yang akan diteliti ini berupa : a. Bahan Hukum Primer, yaitu peraturan perundang-undangan dan/ atau konvensi internasional yang relevan dengan permasalahan yang dibahas. Antara lain : 1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); 2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; 3) Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme; dan 4) Berbagai Putusan Pengadilan yang terkait dengan perkara korupsi penyalahgunaan wewenang. b. Bahan Hukum Sekunder. Pada penelitian ini, Penulis akan mengambil bahan yang tidak mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, seperti data dari bukubuku (literatur), jurnal, rancangan peraturan-peraturan perundangan,
28
hasil wawancara dan penelitian terdahulu serta karangan-karangan ilmiah yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. c. Bahan Hukum Tersier, berupa : 1) Kamus Hukum; 2) Kamus Bahasa Inggris (dan termasuk bahasa asing lainnya); 3) Kamus Umum Bahasa Indonesia; 4) Al Qur’an dan Al Hadits beserta Terjemahannya; dan 5) Berita, Majalah, Tabloid, dan Surat Kabar, termasuk bahan-bahan atau artikel-artikel terkait yang berasal dari Internet. d. Sebagai penunjang penelitian ini, maka Penulis juga mencari data berupa hasil dari wawancara (interview) pada nara sumber yang telah direncanakan. 4. Cara Pengumpulan Bahan Hukum a. Studi Pustaka, yaitu dengan mengumpulkan, mengaji karangankarangan ilmiah berupa jurnal, hasil penelitian hukum terdahulu, dan literatur yang berhubungan dengan penelitian ini, kemudian dianalisis dan diambil kesimpulannya. b. Studi Dokumen, yaitu dengan mengumpulkan dokumen-dokumen resmi institusional berupa putusan-putusan pengadilan, risalah sidang dan lain-lain yang berkaitan dengan penelitian ini, kemudian dianalisis dan diambil kesimpulannya. c. Teknik wawancara (interview) bebas terpimpin, yaitu dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada para pakar atau ahli yang
29
mempunyai kompetensi atau ahli dalam suatu masalah atau yang berwenang dalam masalah yang diteliti, dengan menggunakan pedoman pertanyaan berupa pokok-pokok pertanyaan dan masih dapat mengurangi kekakuan dengan prinsip bebas. 42 5. Metode Pendekatan Metode pendekatan ialah sudut pandang yang digunakan peneliti dalam memahami
dan
menyelesaikan
permasalahan.
Pendekatan
yang
digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan atau yuridis normatif. Dan jika dianggap perlu digunakan pendekatan lain sebagai penunjang dari pendekatan yuridis tersebut, misalnya : pendekatan konseptual. a.
Pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundangundangan dan putusan-putusan pengadilan. Metode penelitian ini dikenal juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yang menganalisis baik hukum sebagai law as it is written in the books, maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through judicial process. 43 Penelitian hukum normatif merujuk baik pada hukum positif di dalam peraturan perundang-undangan nasional dan negara lain. Di samping itu, penelitian hukum normatif juga merujuk
42
Rony Hanitijio Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Juri Metri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1998, hlm. 73. 43 Hendra Tanu Atmadja, Hak Cipta Musik Atau Lagu, Program Pascasarjana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 32
30
pada putusan hakim in concreto atau judge made law. 44 Peter Mahmud Marzuki menyebutnya dengan istilah pendekatan undangundang (statute approach) yang dilakukan dengan menelaah semua undang undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan fokus penelitian untuk mencari tahu ratio legis dan ontologisnya sebuah undang-undang. 45 b.
Pendekatan konseptual filosofis adalah pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin dalam ilmu hukum yang berhubungan dengan fokus penelitian. 46
6. Metode Pengolahan dan Analisis Bahan-Bahan Hukum Data yang terkumpul dari hasil penelitian ini dianalisa secara deskriptif kualitatif, yaitu penguraian data-data yang diperoleh dalam penelitian tersebut digambarkan dan ditata secara sistematis dalam wujud uraianuraian kalimat yang diambil maknanya sebagai pernyatan atau kesimpulan. 47 Kesimpulan yang diberikan selalu jelas dasar faktualnya sehingga semuanya selalu dapat dikembalikan langsung pada data yang diperoleh. 48
44 45
Ibid. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Ctk. Kesatu, Kencana, Jakarta, 2005,
hlm. 93. 46
Ibid., hlm. 95. Rony Hanitijio Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum …, Op. Cit., hlm. 82, 98. 48 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Ctk. Kedua, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, hlm. 6. 47
31