BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan pemilu legislatif tahun 2009 di Kota Bitung memuat suatu fenomena menarik. Fenomena yang dimaksud adalah kemenangan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) di daerah tersebut. Pada pemilu legislatif 2009, partai tersebut dalam hal ini secara keseluruhan tidak mendapat suara yang signifikan, baik di tingkat nasional maupun di berbagai daerah lain yang ada di Indonesia. Hanya saja di Kota Bitung justru PKPI meraih suara terbanyak dan menjadi partai pemenang pemilu legislatif di Kota Bitung tahun 2009. Kemenangan PKPI pada pemilu legislatif tahun 2009 di Kota Bitung tersebut menyisakan sebuah fenomena unik yang belum pernah terjadi pada masa sebelumnya. Keunikan yang dimaksud terletak pada proses kemenangan PKPI di Kota Bitung. Apabila dilihat dalam konteks tiga wajah partai sebagaimana disampaikan Kats And Mair, dalam hal ini PKPI dapat dikatakan merupakan party in office. PKPI sendiri di tingkat pusat tidak meraih suara signifikan pada pemilu legislatif tahun 2009. Hal ini bisa dilihat dari fakta bahwa PKPI merupakan salah satu dari 29 partai yang tidak mengirimkan perwakilan di DPR karena perolehan suara di tingkat nasional tidak mencapai ambang batas 2,5% dari standar Parliamentary Threshold (Romli, 2010). Raihan suara PKPI secara nasional dalam pemilu legislatif tahun 2009 hanyalah 0,90% dari total
1
hasil pemilu. Kondisi tersebut menunjukan bahwa secara nasional, elektabilitas PKPI tidak cukup tinggi. Sementara itu, pada tingkat provinsi, khususnya di Sulawesi Utara, PKPI juga tidak mendapat dukungan suara yang signifikan karena dalam komposisi anggota legislatif di DPRD Provinsi Sulawesi Utara tidak terdapat anggota legislatif yang berasal dari PKPI. Hal ini juga serupa di seluruh daerah provinsi dan kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Fakta tersebut menunjukan bahwa pada pokoknya secara keseluruhan PKPI tidak mendapat suara signifikan dalam pemilu legislatif tahun 2009. Pada sisi lain, untuk pemilu legislatif di Kota Bitung, meskipun sebelumnya Kota Bitung dikenal sebagai daerah basis kuat dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), PKPI justru meraih suara terbanyak. Semenjak jatuhnya masa pemerintahan Orde Baru dan memasuki masa reformasi pada tahun 1998, pelaksanaan pemilu telah dilakukan selama tiga kali, yaitu pemiliu tahun 1999, 2004, dan 2009. Sementara itu, untuk hasil pemilu di Kota Bitung sendiri dapat dilihat bahwa partai yang cukup mendominasi adalah PDIP. Hal demikian dikarenakan pada pelaksanaan pemilu di Kota Bitung untuk dua periode berturut-turut hasilnya selalu didominasi oleh PDIP. Partai tersebut terbukti mampu memenangkan pemilu dua periode berturut-turut yaitu tahun 1999 dan pada pemilu 2004 di Kota Bitung. Kondisi demikian dapat dilihat pada tabel di bawah ini mengenai perbandingan partai pemenang pemilu legislatif di Kota Bitung pada tahun 1999 dan 2004:
2
Tabel 1.1 Perbandingan Partai Pemenang Pemilu Legislatif di Kota Bitung Tahun 1999 dan 2004 NO
NAMA PARTAI
TAHUN/ JUMLAH SUARA 1999
2004
1
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
25.771
26.776
2
Partai Golongan Karya
16.839
15.822
3
Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
10.214
15.822
4
Partai Kristen Nasional
5.792
*)
5
Partai Kebangkitan Bangsa
4.679
*)
6
Partai Demokrat
*)
5.452
7
Partai Damai Sejahtera
*)
4.760
Sumber: Data KPU Provinsi Sulawesi Utara dan KPU Kota Bitung Keterangan: *) = tidak masuk sebagai 5 besar partai pemenang pemilu Tabel di atas menunjukan bahwa kedudukan PDIP merupakan partai yang berbasis di Kota Bitung sebab menjadi pemenang selama dua periode pemilu berturut-turut dan memiliki selisih yang cukup banyak dengan partai lain. Apabila dibandingkan dengan PKPI, dapat dilihat bahwa partai tersebut hanya menduduki peringkat ketiga setelah PDIP dan Partai Golkar pada pemilu tahun 1999 dan 2004. Berkuasanya PDIP di Kota Bitung menjadi hal yang lumrah karena sudah diketahui bersama bahwa PDIP merupakan sebuah partai besar yang eksisitensinya dalam kehadiran panggung politik di Indonesia sudah cukup lama atau telah melembaga di masyarakat Kota Bitung. Pada perjalanan waktu dalam konstelasi politik yang ada di Kota Bitung, maka PKPI kemudian menjadi partai pemenang pemilu tahun 2009 dengan mengalahkan partai-partai besar lain yang ada di Kota Bitung. Kemenangan
3
Partai ini juga telah menerobos kekuatan partai besar yang mendominasi sebelumnya di Kota Bitung yaitu PDIP. Hal ini bisa dilihat pada tabel di bawah tentang urutan lima besar yang menang di Kota Bitung pada tahun 2009. Tabel 1.2 Lima Besar partai Pemenang Pemilu di Kota Bitung Tahun 2009 NO 1
NAMA PARTAI Partai
Keadilan
dan
JUMLAH SUARA Persatuan
17.856
Indonesia 2
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
15.190
3
Partai Golongan Karya
11.613
4
Partai Demokrat
9.975
5
Partai Amanat Nasional
5.851
Sumber: Data KPU Kota Bitung Tabel di atas menunjukkan bahwa pada pemilu tahun 2009 di Kota Bitung PKPI berhasil menjadi pemenang. Kemenangan PKPI tersebut merupakan suatu babak baru yang terelakan. Hal ini pula seperti yang dikatakan di atas adalah fenomena baru, sebab kemenangan PKPI yang notabene adalah partai kecil karena dalam tingkat nasional dan tingkat provinsi tidak mendapat jatah dalam kursi parlemen akan tetapi dalam pemilu di tingkat kota/kabupaten partai ini justru bisa menang dalam pemilu 2009, khususnya di Kota Bitung. Fenomena unik tersebut kemudian mendasari ketertarikan penulis untuk melakukan penelitian terhadap kemenangan PKPI dalam pemilu legislatif Kota Bitung tahun 2009. Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan, maka penulis merasa perlu untuk dilakukan kajian secara lebih mendalam atas fenomena unik tersebut. Oleh sebab itu, penulis kemudian tertarik melakukan
4
penelitian dengan judul “Analisis Kemenangan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia dalam Pemilu Legislatif Kota Bitung Tahun 2009.” Berdasarkan asumsi penulis, keunikan yang terjadi dalam kemenangan PKPI pada pemilu legislatif di Kota Bitung tahun 2009 tersebut tidak dapat dilepaskan dari politik distribusi dan hubungan patron-client yang diterapkan oleh PKPI. Hal demikian didukung dengan adanya fakta bahwa pada tahun 2009, yaitu ketika pemilu legislatif dilaksanakan, tiga tahun sebelumnya salah seorang kader PKPI terpilih sebagai Walikota Bitung pada Pilkada tahun 2006. Sementara itu, PKPI merupakan partai tunggal pengusung Walikota Bitung terpilih tersebut. Berdasarkan hasil wawancara awal yang telah penulis lakukan dengan Ketua PKPI tahun 2009 yang sekaligus merupakan Walikota Bitung terpilih tahun 2006 (dan masih menjabat sampai saat ini) dapat diketahui bahwa pada tahun 2009 kedudukan kader PKPI sebagai Walikota Bitung sedikit banyak memberikan pengaruh pada kemenangan partai tersebut. Hal demikian dikarenakan sebagai partai pemerintah yang sedang berkuasa maka PKPI memiliki akses yang lebih luas untuk mengklaim keberhasilan programprogram pemerintah. Selain itu, PKPI secara tidak langsung juga terlibat dalam proses distribusi sumber daya yang dilakukan pemerintah sebab walikota terpilih merupakan bagian tidak terlepaskan dari PKPI. Pada sisi lain, sosok Walikota Bitung sendiri dinilai memiliki banyak loyalis dari kalangan masyarakat Kota Bitung. Uraian tersebut yang kemudian memperkuat asumsi
5
penulis terkait dengan penerapan politik distribusi dan pemanfaatan hubungan patron-client dalam upaya memenangkan pemilu.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan, maka pertanyaan penelitian yang ingin dijawab dalam penelitian ini ialah “Mengapa PKPI menang di Kota Bitung sedang di daerah lain mengalami kekalahan dalam pemilu legislatif tahun 2009?”
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan utama dalam penelitian yaitu untuk mengetahui latar belakang yang menyebabkan PKPI dapat memenangkan pemilu legislatif di Kota Bitung pada tahun 2009 meskipun kalah di daerah lain. Latar belakang yang menyebabkan PKPI meraih kemenangan tersebut dalam penelitian ini dilihat dari keterkaitan antara kemenangan PKPI dengan kemenangan salah satu kader PKPI menjadi Walikota Bitung pada pilkada Kota Bitung tahun 2006. Selain itu, pada penelitian ini juga dilakukan analisis terhadap penerapan politik patronase maupun pemanfaatan hubungan patron-client oleh individu-individu kandidat PKPI dalam memenangkan pemilu legislatif tahun 2009 di Kota Bitung.
D. Manfaat Penelitian Beberapa manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
6
1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan merangsang peneliti lain, baik sebagai bahan informasi maupun sebagai acuan untuk kajian tentang penerapan teori politik patronase dalam kemenangan suatu partai politik pada pemilu maupun dan teori politik clientism dalam kemenangan kandidat partai politik. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada partai politik dalam menerapkan politik patronase dan clientism secara optimal untuk mengikuti pemilu serta menjadi bahan masukan untuk proses evaluasi dari hal yang telah diterapkan.
E. Tinjauan Pustaka Berdasarkan hasil penelusuran yang telah penulis lakukan pada beberapa referensi, tidak ditemukan penelitian dengan judul “Analisis Kemenangan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia dalam Pemilu Legislatif Kota Bitung”. Penulis dalam hal ini menemukan beberapa penelitian terdahulu yang memiliki unsur persamaan dengan penelitian penulis, namun sekaligus memiliki pula perbedaan di dalamnya. Penelitian mengenai analisis kemenangan partai politik dalam pemilu pernah dilakukan oleh Yulia Aditiani (2010) dari Fakultas Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro dengan judul “Analisis Kemenangan Partai Kebangkitan Bangsa dalam Pemilu Legislatif Tahun 2004 di Kabupaten Pekalongan”. Penelitian tersebut dilakukan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi kemenangan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), baik faktor internal (dalam partai) maupun faktor eksternal (di luar partai) dalam pemilu
7
legislatif tahun 2004 di Kabupaten Pekalongan, serta untuk menjelaskan faktor yang membedakan PKB sebagai partai baru yang minim pengalaman dengan Golkar dan PDIP yang cenderung sarat dengan pengalaman sebagai kontestan pemilu. Penelitian tersebut menganalisis kemenangan partai sebatas pada faktor internal dan eksternal, berbeda dengan penelitian penulis yang mengkaji pemanfaatan hubungan patron-client dalam memenangkan pemilu. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa faktor keberhasilan strategi kampanye, faktor kemapanan jaringan organisasi partai serta faktor figur tokoh partai seperti Gusdur dan Kyai-Kyai lokal merupakan faktor internal yang telah mempengaruhi kemenangan PKB dalam pemilu legislatif tahun 2004 di Kabupaten Pekalongan. Sementara faktor keberadaan basis massa PKB sebagai kelompok sosial terbesar di Kabupaten Pekalongan, masih terlestarikannya budaya paternalistik di kalangan Kyai dan Santri-nya pada pondok-pondok pesantren tradisional, faktor kekecewaan masyarakat terhadap kegagalan pemerintahan Megawati dan PDIP dalam menyejahterakan masyarakat, serta faktor ditetapkanya sistem daerah pemilihan yang mempermudah kinerja LPP DPC PKB Kabupaten Pekalongan merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi kemenangan PKB dalam pemilu legislatif tahun 2004 di Kabupaten Pekalongan. Sementara itu, faktor yang membedakan PKB dengan PDIP dan Golkar antara lain adalah PKB mempunyai kedekatan ideologis dengan basis massa-nya, sedangkan kedekatan PDIP dengan basis massa-nya
8
bersifat emosional semata. Sementara Golkar sendiri tidak mempunyai basis massa yang jelas di Kabupaten Pekalongan. Penelitian lain telah dilakukan oleh Achmad Mauludini (2010) dari Fakultas Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro dengan judul “Analisis Kemenangan Partai Demokrat dalam Pemilihan Umum Legislatif (DPR RI) 2009 di Kota Semarang”. Penelitian tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mendukung kemenangan Partai Demokrat di Kota Semarang pada tahun 2009. Analisis kemenangan partai dalam penelitian tersebut dilakukan dengan paradigma konstruktivisme dan fokus pada karakteristik kepercayaan (trust) yang berkembang dalam masyarakat. Berbeda dengan penelitian penulis yang lebih fokus untuk melihat hubungan patron-client dalam kemenangan partai. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat empat faktor yang paling berpengaruh pada kemenangan Partai Demokrat pada pemilu legislatif 2009di Kota Semarang. Keempat faktor tersebut adalah figur kepemimpinan, citra ideologis partai, jaringan kekuasaan serta adanya politik transaksional. Melalui keempat faktor tersebut nampak bahwa mayoritas pemilih di Kota Semarang sesungguhnya memiliki sistem kepercayaan terbuka dengan kepenganutan nilai yang lemah (kepercayaan fleksibel). Modal sosial yang berkembang di dalam masyarakat sendiri cukup lemah yang dilihat dari karaktersistik mayoritas masyarakat yang pragmatis serta berkembangnya kepercayaan semu dalam masyarakat.
9
Lebih lanjut, Abdi Karya (2010) dari Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara melakukan penelitian dengan judul “Kemenangan Partai Lokal (Studi kasus kemenangan Partai Aceh (PA) pada pemilihan Legeslatif di Kabupaten Aceh Tamiang 2009)”. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui proses kemenangan Partai Aceh pada Pemilu Legeslatif 2009 di Kabupaten Aceh Tamiang. Analisis kemenangan partai dalam penelitian tersebut dilihat dari aspek strategi politik, mesin politik, dan budaya politik partai lokal di daerahnya. Berbeda dengan penelitian penulis yang cenderung mengkaji kemenangan partai nasional di tingkat lokal. Hasil penelitian menunjukan bahwa strategi yang dipakai pada pemilu legeslatif 2009 oleh Partai Aceh (PA) merupakan faktor penentu kemenangan yang paling utama. Selain strategi politik, faktor penentu kemenangan PA dalam pemilu legislatif 2009 adalah adanya mesin politik yang solid, budaya politik, dan atmosfir politik. Pada pemilihan Legislatif PA juga mendapat hambatan, seperti struktur partai, pendanaan, adanya intimidasi, dan tidak terpenuhinya quota 30% untuk calon legislatif perempuan. Sementara Samad Umarama (2009) dengan judul “Strategi Pemenangan Partai Keadilan Sejahtera pada Pemilu Legislatif 2004 (Studi di Kabupaten Kepulauan Sula Propinsi Maluku Utara)” dari Program Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Penelitian tersebut bertujuan untuk menjelaskan strategi pemenangan yang ditempuh oleh PKS
10
Kabupaten Kepulauan Sula pada Pemilu Legislatif 2004, serta dasar dan implementasi strategi yang ditempuh. Teori yang digunakan pada penelitian tersebut adalah teori partai politik, dalam arti partai politik sebagai kelompok kepentingan yang dikombinasikan dengan teori persaingan partai yang di kemukakan oleh Anthony Down. Berbeda dengan penelitian penulis yang menggunakan teori politik distributif dari Stokes et al., dan teori hubungan patron-client oleh Stokes. Hasil penelitian menunjukan bahwa strategi yang digunakan adalah perpaduan dari konsep manajemen pemasaran dengan konsep politik yang disesuaikan dengan karakteristik situasi dan kondisi masyarakat Kepulauan Sula. PKS melakukan penerapan langsung direct marketing, gerilya marketing, dan logika menjaring massa. Logika menjaring massa sendiri meliputi logika ketokohan, logika agama/ideologi, logika jaringan, logika pragmatisme, logika sosial budaya. Berbeda dengan fokus penelitian Lucky Dhandy Yudha Kusuma (2014) dengan judul “Afiliasi Politik Kiai Nadhlatul Ulama dalam Pemenangan Pasangan Irsyad-Gagah pada Pilkada Kabupaten Pasuruan 2013” dari Universitas Airlangga. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui pola interaksi Kiai Nahdlatul Ulama (NU) dengan warga nahdliyin serta pola interaksi politik Kiai NU dengan DPC PKB Kabupaten Pasuruan serta hal yang melatarbelakangi afiliasi Kiai NU dengan pasangan calon Irsyad Yusuf dan Riang Kulup Prayuda pada Pilkada Kabupaten Pasuruan tahun 2013. Hubungan patron-client yang dikaji pada penelitian tersebut dapat dilihat dalam bahasan pemberian dukungan politik sebagai tim pemenangan kepala
11
daerah. Hubungan patron-client tersebut yaitu hubungan antara kiai sebagai elit NU yang memiliki kekuasaan hierarkis atas masyarakat dan santri. Berbeda dengan penulis yang melihat patron-client dalam bahasan pencarian dukungan politik dari masyarakat Kota Bitung. Hasil penelitian menunjukan bahwa hubungan warga nahdliyin dengan Kiai masih bersifat patron-client yang kuat. Kiai merupakan elit NU yang memiliki kekuasaan hierarkis atas masyarakat dan santri, keduanya memiliki hubungan patron-client. Sementara hubungan politis Kiai dan PKB terbentuk sebagai konsekuensi kesadaran kritis kiai dalam menanggapi dinamika politik dan menjadikan PKB sebagai aspirasi politiknya. Kiai tidak dapat memenuhi kepentingannya tanpa menjalin komunikasi dengan elit lain yang memiliki akses politik. Uraian tersebut menunjukan beberapa penelitian terdahulu yang penulis temukan. Sementara itu, untuk melihat lebih jelas persamaan dan perbedaan antara penelitian penulis dengan penelitian terdahulu tersebut. Persamaan antara penelitian-penelitian tersebut dengan penelitian penulis adalah terkait dengan fokus kajian yang diteliti, yaitu analisis kemenangan dalam pemilu. Persamaan lain adalah pada metode penelitian yang digunakan, yaitu deskriptif kualitatif. Sementara itu, terdapat pula perbedaan dari penelitian penulis dengan beberapa penelitian terdahulu tersebut. Perbedaan utama yang menjadi suatu bentuk unsur orisinalitas dan kebaharuan dalam penelitian ini adalah penggunaan teori patronase yang belum digunakan pada penelitian-penelitian terdahulu. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa penelitian terdahulu yang
12
cenderung menganalisis kemenangan partai politik dalam pemilu dari identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal saja. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dilihat bahwa telah banyak penelitian terdahulu yang mengkaji tentang kemenangan partai politik dalam pemilu. Hanya saja belum banyak kajian yang menggunakan teori patronase (hubungan patron-client dan politik distributif) guna menganalisis kemenangan dalam kampanye. Oleh sebab itu, penelitian ini menjadi perlu untuk dilakukan karena menganalisis kemenangan partai melalui dasar teori dan sudut pandang yang berbeda.
F. Kerangka Teori 1. Teori Hubungan Patron-Client Teori patronase dalam hal ini banyak digunakan untuk melihat sistem politik di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, khususnya dalam pelaksanaan pemilu. Menurut Scott dalam hal ini terdapat satu pola dasar yang sama pada beberapa negara di kawasan tersebut. Pola dasar tersebut berkaitan dengan eksistensi suatu kelompok yang memiliki seorang tokoh dengan kekuasaan atau posisinya untuk memberikan jaminan keamanan, bujukan, atau keduanya (yang diistilahkan sebagai patron), serta adanya individu-individu pengikut dari tokoh tersebut (yang diistilahkan sebagai client). Individu yang menjadi pengikut dalam kelompok ini akan memberikan loyalitas dan bantuan pribadi dalam hubungannya dengan patron (Scott, 1992).
13
Pada pokoknya, hubungan patron-client merupakan hubungan antara dua pihak dimana individu dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang dimiliki untuk menyediakan perlindungan atau keuntungan tertentu, atau keduanya, untuk individu-individu dengan tingkat status sosial ekonomi yang lebih rendah (client). Imbal balik yang diberikan oleh client adalah dalam bentuk dukungan, bantuan, ataupun pelayanan pada patron. Patron pada umumnya memiliki posisi resmi dan kewenangan sehingga memiliki pula kekuatan pemaksa atas kepatuhan client. Hanya saja apabila kedudukan dan kewenangan tersebut cukup untuk menciptakan kepatuhan dari client maka hubungan patron client tidak diperlukan. Pada umumnya, hubungan tersebut diperlukan dalam konteks diperlukan norma dan sanksi atau adanya kebutuhan atas hubungan timbal balik jika terjadi ketidakseimbangan kekuatan yang besar untuk mencapai penggunaan kewenangan oleh patron (Scott, 1992). Sejalan dengan pendapat tersebut, menurut Legg (dalam Sjafrina, 2012), hubungan patron-client di bidang politik merupakan bentuk hubungan antara dua pihak, yaitu yang lebih tinggi kedudukannya (patron) dengan client sebagai pihak yang lebih rendah. Hubungan patron-client pada umumnya berkenaan dengan penguasaan sumber daya yang timpang, hubungan
pribadi
(particularistik),
dan
berdasarkan
asas
saling
menguntungkan. Sumber daya yang timpang tersebut dapat mencakup kekayaan, kedudukan, ataupun pengaruh. Patron dalam hal ini akan
14
menstransfer sumber data yang dikuasai dan dimiliki kepada client. Sebagai balasannya, client akan membalas pemberian tersebut dalam bentuk lain. Pada umumnya adalah dalam bentuk kesetiaan berupa dukungan pada patron saat pemilu. Pola dasar pada hubungan patron-client adalah adanya kepemimpinan yang terpusat dan golongannya. Teori hubungan patron-client dalam hal ini dinilai sebagai dasar analisis yang tepat untuk digunakan pada masyarakat atau komunitas kecil dengan hubungan kekuasaan antar pribadi yang menonjol. Meskipun analisis patron-client menyediakan dasar yang kuat untuk memahami struktur dan dinamika masyarakat di tingkat lokal, namun nilai-nilainya tidak terbatas pada wilayah pedesaan (Scott, 1992). Scott (1992) membagi aspek yang menjadi ciri dari hubungan patron client menjadi tiga. Pertama adalah adanya ketidakseimbangan dalam dua pihak tersebut yang dapat dilihat dari kesenjangan kekayaan, kekuasaan, dan status. Client dalam hal ini menjadi pihak yang posisi tawarnya lebih lemah sehingga kemudian lebih memilih untuk memberikan loyalitasnya pada patron sehingga keuntungan juga dapat diperolehnya. Kedua adalah face to face atau hubungan personal antara patron dengan client. Hubungan tersebut akan membangun solidaritas dan rasa saling percaya di antara kedua belah pihak. Kondisi demikian lebih lanjut dapat memunculkan ikatan emosi yang dapat berpengaruh positif pada hubungan patron client. Ciri yang ketiga adalah adanya fleksibilitas. Fleksibilitas dalam hal ini berkaitan dengan pertukaran sumber daya antara patron dengan client yang
15
sangat bervariasi dari waktu ke waktu. Berbeda dengan hubungan kontraktual lainnya, hubungan patron dengan client sangat memberikan kelonggaran dan eksistensinya akan tetap terjaga bahkan pada kondisi perubahan sosial yang cepat. Eksistensi hubungan patron dengan client tersebut akan terjaga selama masing-masing pihak patron maupun client memiliki sesuatu untuk ditawarkan atau dipertukarkan satu sama lain. Hubungan patron client tidak dapat dilepaskan dari pembentukan suatu kelompok khusus. Kelompok tersebut dibedakan menjadi dua. Pertama adalah patron-client cluster, dan patron-client pyramid. Patronclient cluster terbentuk ketika hubungan antara patron-client merupakan hubungan antau ikatan langsung dari client pada patron. Berikut merupakan gambar dari patron-client cluster: Gambar 1. Patron-Client Cluster
Sumber: Scott (1992) Gambar tersebut merupakan gambar yang menunjukan hubungan patron-client dalam pola kluster. Dapat dilihat bahwa hubungan antara patron dengan client merupakan suatu hubungan langsung, yaitu beberapa client yang berhubungan dengan seorang patron tanpa perantara. Sementara patron-client pyramid terbentuk jika terdapat banyak kluster namun tetap fokus pada satu orang patron. Berikut gambar dari patron-client pyramid:
16
Gambar 2. Patron-Client Pyramid
Sumber: Scott (1992). Gambar tersebut menunjukan bahwa dalam hubungan patron-client pyramid maka tidak seluruh client memiliki hubungan secara langsung dengan patron. Dapat dilihat bahwa terdapat jaringan di antara client dan dalam hal ini patron menjalin hubungan dengan beberapa jaringan client tersebut. Sementara itu, beberapa aspek yang berkaitan dengan pembentukan kelompok dalam hubungan patron client adalah sebagai berikut Scott (1992): a. Tujuan Client dalam hubungannya dengan patron akan memiliki tujuan berbasis individu. Pada sisi lain, terdapat pula tujuan bersama dari seluruh client dalam kelompok. Tujuan bersama tersebut pada umumnya berbasis pada kesamaan karakter dari anggota kelompok. b. Otonomi kepemimpinan Patron memiliki otonomi yang luas dalam membuat aliansi atau suatu keputusan selama proses penciptaan kesejahteraan untuk client. Dalam hal ini, patron harus memperhatikan kepentingan kolektif dari kelompok yang dipimpinnya.
17
c. Stabilitas kelompok Stabilitas dalam hal ini berkaitan dengan disintegrasi dalam kelompok. Terutama mengenai pembagian sumber daya serta upaya patron dalam memenuhi permintaan client. Oleh sebab itu, kualitas kepemimpinan dalam kelompok akan menentukan tingkat ketahanan kelompok tersebut. d. Komposisi dalam kelompok Kelompok dalam hal ini akan menjadi sangat heterogen. Pada kelompok dalam bentuk kluster, perbedaan terlihat dari kelas-kelas individu pembentuknya. Sementara pada kelompok dalam bentuk piramida, ada kemungkinan terdapat perbedaan status namun tidak menutup kemungkinan kelompok terbentuk dari status yang sama. Lebih lanjut, Scott (1992) juga menguraikan bahwa terdapat beberapa variasi dalam hubungan patron clinet. Berikut merupakan beberapa variasi tersebut: a. Patronase berbasis sumber daya, dimana patron akan membentuk client berdasakan pada kemampuan client. Dalam hal ini patron akan menggunakan kemampuannya dan mengharapkan adanya sumber daya manusia yang diperoleh. b. Client berbasis sumber daya, dimana client dapat memberikan sumber daya yang berbeda dalam hubungannya dengan patron. Sumber daya tersebut misalnya sumber daya manusia dalam bentuk tenaga kerja,
18
loyalitas sebagai kelompok pelindung bagi patron, ataupun bertindak sebagai kelompok pendukung politik. c. Keseimbangan antara aspek sukarela dengan paksaan, dimana aspek paksaan dalam hubungan patron client memiliki beberapa tingkatan. Hal tersebut berkaitan dengan tidak adanya pilihan dalam diri client selain menjadi pengikut patron yang memiliki kontrol terhadap berbagai keperluan client. d. Daya tahan yang berkaitan dengan lama tidaknya hubungan patron client dapat bertahan. Pada umumnya, hubungan tersebut berjalan sampai salah satunya meninggal. e. Homogenitas, di mana patron memiliki kemungkinan atas pengikut yang heterogen atau dapat pula homogen. Dalam hal ini, proporsi dari para pendukung patron yang berbagi karakteristik sosial dan bertentangan dengan karakter sosial tertentu akan menjadi ukuran bagi tingkat homogenitas tersebut. Pada sisi lain, hubungan patron client memiliki dinamikanya tersendiri. Dinamika tersebut berkaitan dengan salah satu dinamika hubungan patron client dapat dilihat dalam pemilihan umum. Dalam hal ini, dapat dilihat pengaruh dari kompetisi partai pada proses pemilu terhadap kerangka hubungan patron client. Dinamika tersebut dapat dilihat dari empat hal, yaitu Scott (1992): a. Meningkatkan posisi tawar patron dengan memasukan client menjadi bagian sumber dayanya
19
b. Meningkatkan integrasi vertikal struktur patron client dari daerah sampai ke tingkat pusat c. Mengarah pada pembentukan piramida patron client yang baru d. Memberikan kontribusi bagi kelangsungan hidup patron client oposisi di tingkat lokal Lebih lanjut, Scott (1992) juga menjelaskan bahwa mekanisme pemilu memberikan tuntutan pada partai politik untuk membangun jaringan sampai ke tingkat lokal. Pada umumnya, partai akan memanfaatkan eksistensi hubungan patron-client dalam suatu kelompok yang telah terbangun di berbagai daerah. Oleh sebab itu, mekanisme kampanye di daerah dengan mengaktifkan serta mempolitisasi hubungan emosional kemudian dinilai lebih efektif daripada melakukan kampanye melalui rapat-rapat. Salah satu dampak negatifnya adalah adanya upaya untuk mengumpulkan sebanyak mungkin client untuk memperkuat elektabilitas patron karena penilaian atas pentingnaya kemenangan pemilu. Scott (1992) menyatakan bahwa keberhasilan suatu partai dalam pemilu dapat dilakukan dengan upaya memanfaatkan hubungan patronclient. Pemanfataan hubungan patron-client tersebut dapat ditujukan pada hubungan patron-client secara individual maupun dalam kelompokkelompok. Bentuk dari upaya patron diungkapkan pada umumnya berupa janji untuk membuka lebih banyak lapangan pekerjaan, ataupun penawaran pinjaman uang dan pembiayaan bagi masyarakat. Oleh sebab itu, tidak semua partai politik akan membangun jaringan baru dengan para patron di
20
tingkat lokal untuk memenangkan pemilu tetapi dapat pula memanfaatkan jaringan atau hubungan patron-client yang telah terbentuk di tingkat lokal. Pada sisi lain, menurut Tomsa dan Ufen (2013) hubungan patronclient di negara-negara Asia Tenggara dinilai tidak sederhana. Hal demikian dikarenakan hubungan patron-client yang berkembang dalam masyarakat sangat kuat dan telah lama terjalin. Hubungan tersebut kemudian tidak jarang mengarah pada praktik-praktik kampanye yang melanggar aturan hukum, seperti misalnya suap, intimidasi, atau bahkan jual beli suara dalam pemilu. Sementara itu, Tomsa dan Ufen (2013) juga menguraikan bahwa hubungan patron-client pada proses pemilu tidak terlepas dari adanya pertukaran sumber daya yang terjadi. Pertukaran sumber daya di antara patron-client telah berlangsung lama dan tidak hanya terjadi pada waktu menjelang pemilu saja. Berbeda dengan money politic yang cenderung mengarah pada praktik jual beli suara sebab seorang individu dapat menerima uang dari beberapa kandidat secara bebas serta tidak terdapat kontrol dari pemberi uang apakah individu tersebut memenuhi janjinya untuk memilih atau tidak (Tomsa dan Ufen, 2013). Sementara itu, pada praktik pemilu dalam hal ini hubungan patronclient tidak dapat dilepaskan dari hubungan antara masyarakat, broker, kandidat, dan partai yang digambarkan sebagai suatu piramida. Broker dalam hal ini merupakan penghubung antara masyarakat pemilih dengan kandidat dan partai (Tomsa dan Ufen, 2013). Ketika suatu partai tumbuh
21
semakin besar, maka dalam hal ini patron tidak mengetahui secara pasti jumlah client yang memiliki hubungan dengannya. Hal ini terjadi karena hubungan yang terjalin sifatnya masih tradisional sehingga tidak terdapat hubungan tatap muka langsung. Pada akhirya patron hanya mengenal beberapa orang dari client saja. Aspek personalistik tetap diperlukan karena merupakan level mendasar dan menengah dari piramida yang telah disinggung sebelumnya. Personalistik dalam hal ini terletak antara pemilih dengan broker pada satu sisi dan di antara broker dengan kandidat. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa piramida hubungan antara masyarakat pemilih, broker, kandidat, dan partai politik sangat berkaitan dengan hubungan patron-client yang telah terbentuk di dalam masyarakat. Uraian tersebut menunjukan bahwa hubungan patron client dapat digunakan untuk menganalisis kemenangan partai politik dalam pemilu. Hubungan patron client dalam hal ini berkaitan dengan ikatan yang terbentuk antara patron sebagai individu yang memiliki penguasaan sumber daya dengan client sebagai pengikutnya di tingkat lokal. Untuk memenangkan pemilu di daerah, partai politik dapat memanfaatkan hubungan patron client yang telah terbentuk dalam masyarakat, maupun membangun sendiri jaringan tersebut. Pada satu sisi, hubungan patron client dapat menjadi faktor yang sangat menentukan bagi kemenangan partai karena adanya basis dukungan dari client. Pada sisi lain, kondisi demikian membuat proses pemilu memerlukan biaya yang mahal sebab diperlukan
22
anggaran lebih banyak untuk menjaga basis dukungan partai di daerah tersebut. 2. Politik Distributif Politik tidak dapat dilepaskan keterkaitannya dengan proses distribusi sumber daya di dalamnya. Bahkan proses distribusi sumber daya dalam politik banyak dinilai lebih kontroversial dari pada distribusi barang dalam pasar. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada negara-negara demokrasi terdapat kesepakatan (meskipun bukan dalam bentuk konsensus) bahwa pemilik kewenangan politik memiliki hak untuk melakukan distribusi sumberdaya lintas generasi melalui pemungutan pajak untuk pendidikan anak-anak maupun untuk melindungi masyarakat dari kemiskinan (Stokes et al, 2012). Selain itu, tidak dapat dipungkiri pula adanya kesepakatan pendisutribusian sumber daya melalui program-program kesejahteraan atau program peningkatan lapangan pekerjaan. Pada sisi lain, distribusi sumber daya yang dilakukan untuk membangun hubungan politik dengan perusahaan swasta maupun pemberian bantuan uang tunai sebagai imbalan atas pemungutan suara dalam pemilu juga banyak dikritik secara luas. Hal demikian menunjukan bahwa distribusi sumber daya dalam politik pada satu sisi diterima secara luas oleh masyarakat universal, namun pada sisi lain juga dicela sehingga tidak sedikit pelakunya yang dihukum pidana mengingat adanya kecenderungan praktek politik uang di dalamnya (Stokes et al, 2012).
23
Distribusi sumber daya dalam politik tersebut tidak dapat dilepaskan dari upaya politik untuk meraih kemenangan dalam pemilu. Dalam hal ini, apabila para pemegang otoritas politik berfokus pada kemenangan pemilu, maka distribusi sumber daya tersebut dapat mengarah pada berbagai tindakan atau strategi untuk memenangkan pemilu (Stokes et al, 2012). Pada akhirnya distribusi sumber daya yang dilakukan cenderung lebih dekat pada praktik politik uang untuk memenangkan pemilu. Politik uang atau money politics dapat dipahami sebagai upaya penyalahgunaan keuangan publik atau negara untuk kepentingan politik tertentu, ataupun penggunaan dana secara melawan hukum untuk mencapai kemenangan, baik berupa pembujukan maupun paksaan yang pada akhirnya mampu mempengaruhi pilihan masyarakat secara langsung (Winardi, 2009). Bentuk-bentuk dari money politics tersebut tidak selalu berupa pemberian uang secara langsung kepada pemilih untuk tujuan pembelian suara. Money politics dalam hal ini dapat pula dilakukan secara halus dalam bentuk program-program sosial pemerintah (Sulistyo dan Kadar dalam Winardi, 2009). Oleh sebab itu, beberapa tindakan distribusi sumber daya yang tidak dilakukan dengan bijak dan semata-mata hanya ditujukan bagi kemenangan pemilu kemujdian cenderung mengarah pada praktik money politics. Pemerintah melalui program-program sosial pemberian bantuan uang tunai pada masyarakat, penciptaan lapangan pekerjaan, kredit ringan, serta upaya pendistribusian sumber daya lain pada masyarakat. Pajak dan pendistribusian pendapatan juga dilakukan dari masyarakat kaya pada
24
masyarakat miskin. Upaya tersebut dapat dikatakan sebagai upaya pejabat untuk menarik perhatian konstituennya sehingga pendistribusian berbagai sumber daya tersebut dilakukan untuk mencari dukungan suara saat pemilu tiba (Stokes et al, 2012). Hal demikian dikenal pula dengan sebutan sebagai politik distribusi karena adanya sumber daya yang didistribusikan. Salah satu penerapan politik distribusi berkaitan dengan pemanfaatan program-program
negara
atau
program
pemerintah
untuk
meraih
kemenangan pada pemilu. Oleh sebab itu, politik distribusi dalam hal ini akan lebih cenderung menguntungkan partai penguasa dalam pemerintahan. Hal demikian dikarenakan partai pemerintah kemungkinan memiliki kontrol secara lebih ekslusif dalam memanfaatkan keberhasilan program-program pemerintah (Stokes et al, 2012). Hal ini diistilahkan sebagai political monopoly sementara lawan politiknya merupakan economics monopolist. Apabila didasarkan pada teori politik distribusi, maka aliran anggaran tersebut tidak hanya diwujudkan secara langsung dalam bentuk uang namun juga dalam wujud lain. Pada pokoknya dalam hal ini yang dimanfaatkan adalah program-program pemerintah. Oleh sebab itu, menjadi masuk akal apabila politik distribusi dalam hal ini banyak diterapkan oleh partai-partai pemerintah penguasa sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Secara garis besar penerapan politik distribusi dapat dibagi menjadi dua, yaitu programmatic dan non-programmatic. Penerapan politik distribusi secara programmatic berkaitan dengan pemanfaatan berbagai program pemerintah untuk meningkatkan elektabilitas
25
partai politik dalam pemilu. Penerapannya harus didasarkan pada dua hal utama sebagai berikut (Stokes et al, 2012): a. Sasaran dari distribusi yang dilakukan adalah publik b. Kriteria formal distribusi haruslah benar-benar berbentuk distribusi sumber daya tersebut Penggunaan program-program pemerintah dalam hal ini membuat diperlukannya suatu batasan yang jelas antara mekanisme yang legal dan menyalahi ketentuan hukum. Hal demikian dapat dilakukan untuk mencegah adanya praktik jual beli suara dalam pemilu. Pada pokoknya, upaya yang dilakukan tersebut bertujuan untuk mengubah pendirian masyarakat sehingga memberikan suaranya pada partai yang bersangkutan melalui publikasi keberhasilan program-program pemerintah. Pada sisi lain, terdapat pula penerapan politik distribusi secara nonprogrammatic. Menurut Stokes et al (2012), beberapa bentuk penerapan politik distribusi non programatic adalah sebagai berikut: a. Unconditional partisan bias Penerapan politik distribusi ini berkaitan dengan pemahaman bahwa pendistribusian sumber daya pada individu-individu dalam masyarakat dapat meningkatkan dukungan individu tersebut kepada partai atau kandidat yang melakukan distribusi sumber daya. Misalnya dalam bentuk hadiah yang secara langsung diberikan partai kepada individu-individu dalam masyarakat. Stokes et al (2012) menyatakan bahwa pada umumnya masyarakat mampu membedakan upaya partai
26
politik yang dilakukan dengan sasaran utama adalah individu. Oleh sebab itu, tidak terdapat konsekuensi bagi individu yang telah mendapat distribusi sumber daya tersebut namun memberikan suara pada partai atau kandidat lain. Lebih lanjut, apabila distribusi sumber daya tersebut dilakukan dengan sasaran publik atau masyarakat secara kolektif, maka penerapannya dikenal dengan istilah pork barrel atau politik gentong babi. Pada umumnya, politik gentong babi dilaksanakan di lokasi yang berkaitan dengan politisi, misalnya berdasarkan Dapil aatau daerah geografis tertentu. Bentuk politik gentong babi sangat beragam, namun keseluruhannya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk meningkatkan elektabilitas pada pemilu melalui pelaksanaan program-program dengan sasaran masyarakat di wilayah tersebut (Brickers et al, 2007). Menurut Walker (2010), politik gentong babi banyak memberikan keuntungan pada politisi incumbent dalam pemilu. Hal demikian dikarenakan politisi tersebut memiliki akses terhadap uang negara sehingga memiliki wewenang untuk menggunakan uang tersebut bagi penyelenggaraan program-program untuk konstituennya. Oleh sebab itu, politik gentong babi kemudian banyak dinilai tidak etis untuk dilakukan. Hal demikian dikarenakan bukan hanya besarnya uang negara yang dihamburkan demi kepentingan terselubung politisi pada program yang dilaksanakan, tetapi juga karena pada umumnya program-program tersebut tidak jelas tujuannya.
27
Pada sisi lain, pelaksanaan politik gentong babi juga memunculkan kondisi tidak fair antara politisi incumbent dengan politisi baru mengingat adanya keuntungan yang dapat diraih oleh politisi incumbent dalam pemilu (Walker, 2010). Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa seolah-olah penerapan politik gentong babi dalam hal ini merupakan upaya terselubung untuk membeli suara dalam pemilu melalui program-program yang dibiayai oleh uang negara. b. Clientism Penerapan politik distribusi dapat pula dilakukan dengan menawarkan keuntungan materi apabila masyarakat memberikan suaranya pada partai politik tertentu (Stokes et al, 2012). Berbeda dengan unconditional partisan bias maupun pork barrel yang tidak memberikan konsekuensi apabila penerima sumber daya tidak memilih partai besangkutan, pada clientism terdapat adanya ketakutan apabila tidak memberikan suara pada partai yang telah mengalokasikan sumber dayanya. Hal ini terjadi karena partai politik akan memberikan suatu gambaran negatif apabila masyarakat tidak memberikan suara pada partai yang bersangkutan. c. Patronage vs Vote and Turnout-Buying Istilah patronase dalam hal ini merujuk pada arus manfaat secara internal di dalam partai. Artinya bahwa terdapat penerapan politik distribusi non programatik dengan sasaran anggota dari partai politik. Sementara itu, adapula upaya untuk mempengaruhi pendirian masyarakat
28
di luar partai, termasuk dalam bentuk pemberian suap yang dikenal dengan istilah vote buying. Selain itu, terdapat pula bentuk upaya mempengaruhi pendirian masyarakat, termasuk memberikan suap untuk memilih partai tersebut dalam survey atau jajak pendapat sehingga seolah-olah elektabilitas partai tersebut tinggi. Hal ini dikenal dengan istilah turnout buying (Stokes et al, 2012). Sementara itu, penerapan vote buying dalam hal ini dapat dilihat sebagai bentuk penerapan distribusi sumber daya secara individu. Menurut Sumarto (2014), pembelian suara merupakan program dengan sasaran individu atau rumah tangga. Pembelian suara tersebut akan dilakukan sebelum pemilu dilakukan dan diikuti tujuan agar penerimanya memberikan suara saat pemilu dilangsungkan. Secara harfiah, konsep pembelian suara melibatkan pasar dukungan politik dengan pembeli suara memberikan sesuatu yang diinginkan oleh penjual suara dan kemudian penjual suara menyerahkan suara sebagai imbalannya (Sumarto, 2014). Penerapan pembelian suara dalam pemilu tersebut menunjukan bahwa pemberian dukungan pada partai politik atau kandidat tidak berlangsung di ruang hampa. d. Constituency Service Partai politik adakalanya akan melakukan tindakan untuk membantu konstituen dalam menyelesaikan masalah yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini partai politik akan melakukan upaya-upaya penyelesaian masalah yang dihadapi masyarakat tidak semata-mata
29
hanya untuk simpatisan partai saja, tetapi juga untuk masyarakat luas. Hal ini dikenal dengan istilah constituency service (Stokes et al, 2012). Sementara itu, secara umum politik distribusi tidak hanya dilakukan dalam bentuk distribusi yang sifatnya non programatik. Adapula politik distribusi yang dilakukan dalam bentuk programatik. Stokes et al (2012) menyatakan bahwa berbeda dengan programatik, untuk non programatik pada umumnya tidak terdapat kriteria publik atau lebih banyak ditujukan kepada masyarakat partisipan partai politik secara langsung. 3. Hubungan antara Politik Distributif dengan Teori Patron-Client Politik distributif merupakan upaya pendistribusian sumber daya yang dilakukan untuk menarik perhatian konstituen sehingga pendistribusian berbagai sumber daya tersebut dilakukan untuk mencari dukungan suara saat pemilu tiba (Stokes et al, 2012). Bentuk nyata politik distributif adalah melalui klaim keberhasilan atas program-program pemerintah ataupun melalui upaya distribusi sumber daya langsung pada masyarakat secara nonprogramatik. Politik distribusi tidak dapat dilepaskan dari hubungan antara patron dengan client. Pola hubungan patronase yang ada dalam masyarakat kerap dinilai menjadi penghambat bagi pemenuhan unsur demokratis dalam pemilu. Hal demikian dikarenakan pola hubungan patronase berdasarkan pada posisi yang tidak seimbang antara patron dengan client sehingga bertentangan dengan demokrasi yang menjunjung kesetaraan dan kebebasan dalam pemilu (Sjafrina, 2012). Pada sisi lain, eksistensi hubungan patron
30
dengan client dalam masyarakat juga dapat berimplikasi positif bagi efektivitas upaya-upaya pemenangan pemilu. Hal demikian dikarenakan hubungan patron-client memuat unsur loyalitas di dalamnya. Oleh sebab itu, tidak jarang tokoh masyarakat yang menjadi patron kemudian pilihan politiknya dapat mempengaruhi masyarakat pengikutnya sebagai client yang loyal. Hal penting yang dapat dilihat dalam hal ini adalah adanya keterkaitan antara partai dengan hubungan patron client di tingkat lokal. Partai akan membangun jaringannya sendiri melalui hubungan patron client maupun bergantung pada hubungan patron client yang telah terbentuk dalam masyarakat kemudian mengintegrasikannya pada organisasi partai. Kondisi demikian membuat proses meraih kemenangan dalam pemilu menjadi memerlukan biaya yang sangat tinggi. Ketergantungan partai pada hubungan
patron client kemudian
mengalirkan
anggaran
lebih
guna
menuntut partai politik untuk meraih
kemenangan
maupun
mempertahankan basis kekuatan partai di daerah pemilihan tertentu. Sementara itu, aspek tingkat elektabilitas kandidat maupun partai politik kemudian menjadi sangat penting guna memenangkan pemilu. Tingkat elektabilitas dalam pemilu tersebut merupakan suatu hal yang dipengaruhi oleh client. Kondisi demikian menurut Scott (1992) terjadi karena setiap suara (vote) dari client akan sangat menentukan keberhasilan kandidat dalam pemilu. Lambat laun client kemudian menyadari bahwa sumber daya yang dimilikinya tersebut dapat berubah atau bahkan
31
dipertukarkan menjadi sumber daya lain yang akan didistribusikan kandidat terpilih. Pada akhirnya kondisi tersebut membuat posisi patron menjadi sangat bergantung pada penerimaan sosial di dalam lingkungan masyarakat daerahnya. Kondisi demikian tidak dapat dilepaskan dari upaya pembentukan kembali mekanisme distributif dari pengaturan tradisional dalam pemilu. Ketika kedudukan patron menjadi tergantung pada penerimaan sosial dalam komunitasnya, maka patron kemudian dituntut untuk mendapatkan dukungan lebih besar dari pada dukungan client pada lawan-lawan politiknya. Dalam hal ini mekanisme paksaan terhadap client tidak akan lebih efektif dari pada upaya memberikan penawaran-penawaran yang lebih baik kepada client dibanding lawan politiknya. Melalui mekanisme demikian, maka patron akan dapat memperoleh dukungan dari komunitas tersebut. Akibatnya, guna mendapat penerimaan sosial tersebut tidak jarang kandidat atau partai politik melakukan berbagai cara, termasuk cara-cara yang tidak dibenarkan oleh ketentuan. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa keterkaitan antara politik distribusi dengan pemanfaatan hubungan patron-client dalam upaya pemenangan pemilu dapat dilihat dari dua sisi. Pertama adalah pemanfaatan eksistensi hubungan patron-client yang telah tumbuh dalam masyarakat, sedangkan yang kedua adalah menempatkan kandidat sebagai patron itu sendiri. Dalam hal ini, kandidat sebagai kepanjangan tangan dari partai politik melakukan distribusi sumber daya secara langsung kepada
32
masyarakat sebagai client. Harapannya yaitu melalui distribusi sumber daya tersebut maka loyalitas klien dapat dipertahankan, sehingga bermanfaat bagi upaya pemenangan pemilu. Apabila seorang kandidat memanfaatkan eksistensi hubungan patronclient yang telah terbentuk dalam masyarakat, maka pihak patron tersebut berkedudukan sebagai penghubungan antara kandidat dengan masyarakat. Sebagaimana diketahui bahwa kandidat partai politik yang berada di dalam pemerintahan akan memiliki akses terhadap sumber daya sehingga dapat mendistribusikannya pada masyarakat. Ketika masyarakat berkedudukan menjadi client maka distribusi sumber daya dapat diarahkan guna meningkatkan elektabilitas kandidat. Sebagai imbal baliknya maka masyarakat yang telah mendapat distribusi sumber daya kemudian memberikan loyalitasnya pada kandidat bersangkutan. Terkait dengan hal demikian, maka secara teoritis diperlukan penghubung antara partai dengan masyarakat guna mengoptimalkan distribusi sumber daya dalam hubungan patron-client tersebut. Penghubung ini dikenal dengan istilah broker. Broker dalam hal ini merupakan penghubung antara masyarakat pemilih dengan kandidat (Tomsa dan Ufen, 2013). Broker juga diistilahkan sebagai middleman karena posisinya sebagai mediator (Sumarto, 2014). Tokoh-tokoh masyarakat dan individu yang memiliki pengaruh pada kelompok tertentu merupakan broker dalam hubungan antara kandidat dengan masyarakat. Pada konteks ini, maka individu-individu kanidat
33
kemudian dapat memanfaatkan aspek loyalitas masyarakat terhadap tokoh masyarakat tersebut melalui distribusi sumber daya. Bentuk nyatanya adalah dengan menegaskan pilihan politik tokoh-tokoh masyarakat dengan harapan secara tidak langsung dapat mempengaruhi pilihan politik masyarakat. Uraian tersebut menunjukan bahwa bagi individu kandidat, broker merupakan client karena kandidat merupakan patron. Sementara itu, bagi masyarakat, broker adalah patron karena masyarakat merupakan client. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa hubungan patron-client yang terbentuk antara kandidat dengan masyarakat dilakukan melalui mediator broker di dalamnya. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa penerapan politik distribusi tidak dapat dilepaskan dari hubungan patron-client. Hal demikian dikarenakan aliran distribusi sumber daya dilakukan melalui jalur-jalur hubungan patron-client dalam masyarakat, yaitu dari kandidat ke masyarakat secara langsung, atau dapat pula dilakukan melalui perantara broker.
G. Kerangka Berpikir Pada penelitian ini, penulis bermaksud untuk melihat kemenangan PKPI pada tahun 2009. Kemenangan PKPI di Kota Bitung dalam hal ini tidak dapat dilepaskan dari kedudukan PKPI sebagai Partai Pemerintah yang pada tahun 2006 telah berhasil mengusung salah seorang kadernya sebagai Walikota Bitung terpilih. Pada sisi lain, kemenangan PKPI tersebut juga sangat berkaitan
34
dengan peran para kandidat atau calon legislatif PKPI dalam mengoptimalkan upaya-upaya pemenangan pemilu. Peran utama kandidat yang dimaksud yaitu terkait dengan pembangunan jaringan dalam masyarakat guna meraih dukungan suara, terutama untuk menjadi penghubung antara PKPI dengan masyarakat, baik secara langsung ataupun melalui tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki kekuasaan dalam masyarakat. Kerangka berpikir pada penelitian ini diawali dengan melihat PKPI sebagai suatu partai politik peserta pemilu. Partai tersebut berhasil meraih kemenangan pada pemilu legislatif tahun 2009 di Kota Bitung meskipun secara nasional tidak memiliki tingkat elektabilitas yang cukup baik. Upaya pemenangan pemilu tersebut tentu tidak dapat dilepaskan dari individuindividu kandidat PKPI di Kota Bitung. Faktanya, PKPI merupakan salah satu partai yang tidak memiliki kursi di DPR pusat, namun sejak pertama mengikuti pemilu justru elektabilitasnya mengalami tren positif di Kota Bitung. Puncaknya terjadi ketika pemilu legislatif tahun 2009 karena juga bertepatan dengan jabatan Walikota Bitung yang dijabat salah seorang kader PKPI. Hal demikian memunculkan asumsi bahwa kemenangan PKPI di Kota Bitung tahun 2009 berkaitan dengan kedudukan salah seorang kadernya sebagai Walikota Bitung. Berdasarkan dasar pemikiran tersebut, maka pada penelitian ini analisis kemenangan PKPI dilakukan berdasarkan teori politik distribusi dan hubungan patron-client. Pemikiran tersebut didasari fakta bahwa PKPI merupakan Partai Pemerintah di Kota Bitung. Sementara itu, untuk aspek hubungan patron-client
35
pada penelitian ini lebih difokuskan pada hubungan antara individu-individu kandidat dengan masyarakat, baik secara langsung maupun melalui broker dalam masyarakat sebagai perantaranya. Hubungan kandidat PKPI secara langsung dengan masyarakat dalam hal ini berkaitan dengan kedudukan kandidat-kandidat PKPI sebagai patron dari masyarakat. Sementara itu, apabila hubungan tersebut dilakukan melalui broker sebagai perantaranya, maka broker dalam hal ini adalah client dari kandidat dan sekaligus sebagai parton dari masyarakat yang menjadi sasaran distribusi sumber daya oleh kandidat PKPI. Secara garis besar, dapat dikatakan bahwa distribusi sumber daya oleh kandidat PKPI dilakukan melalui jalur-jalur hubungan patron-client. Hal demikian didukung dengan kedudukan PKPI sebagai partai politik yang berada dalam pemerintahan sehingga memiliki kemudahan untuk melakukan distribusi sumber daya sepanjang jalannya pemerintahan. Oleh sebab itu, pada masa kampanye menjelang pemilu kemudian kandidat PKPI juga lebih mudah mengklaim keberhasilan program-program pemerintah guna meningkatkan perolehan suara. Sebagaimana diketahui bahwa dalam hubungan patron-client terdapat pertukaran sumber daya di antara patron dengan client. PKPI melalui para kandidatnya juga dapat mendistribusikan sumber daya pada masa kampanye guna meningkatkan dukungan masyarakat. Secara garis besar, media yang digunakan untuk pendistribusian sumber daya daalm pola hubungan patronclient tersebut mengacu pada distribusi non programatik (Stokes et al, 2012).
36
Terdapat tiga media utama yang digunakan oleh kandidat PKPI dalam pendistribusian sumber daya bagi masyarakat, yaitu melalui pembelian suara secara individu atau rumah tangga (vote buying), pork barrel, dan pelayanan sosial jelang pemilu (constituency service). Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa penelitian ini lebih fokus pada hubungan patron-client antara kandidat PKPI dengan masyarakat yang dilakukan melalui vote buying, pork barrel, constituency service sebagai media
distribusi
sumber
dayanya.
Berikut
merupakan
bagan
yang
menunjukkan kerangka pemikiran pada penelitian ini: Gambar 3. Kerangka Berpikir PARTAI KEADILAN DAN PERSATUAN INDONESIA KANDIDAT (PATRON) TOKOH MASYARAKAT (BROKER)
Media yang digunakan dalam pola hubungan patron-client: 1. Pork barrel 2. Vote buying 3. Constituency Service
MASYARAKAT (CLIENT)
MENANG PEMILU 2009
37
H. Definisi Konsep Definisi konsep dalam hal ini berkaitan dengan pendefinisan beberapa konsep kunci yang dipakai dalam penelitian ini. Berikut merupakan beberapa konsep tersebut: 1. Partai politik adalah kelompok yang terdiri dari orang-orang berpandangan sama yang berjuang untuk memperoleh kekuasaan dan pengaruh dalam pemerintahan, untuk dapat mempengaruhi opini publik dan mewujudkan pandangan politiknya (Schroder, 2010) 2. Hubungan patron-client adalah hubungan antara dua pihak dimana individu dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang dimiliki untuk menyediakan perlindungan atau keuntungan tertentu, atau keduanya, untuk individu-individu dengan tingkat status sosial ekonomi yang lebih rendah (client) (Scott, 1992) 3. Politik
distribusi
adalah
upaya
pejabat
untuk
menarik
perhatian
konstituennya sehingga pendistribusian berbagai sumber daya tersebut dilakukan untuk mencari dukungan suara saat pemilu tiba (Stokes et al, 2012)
I. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis atau metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif atau penelitian naturalistik adalah penelitian yang bersifat atau memiliki karakteristik, bahwa datanya
38
dinyatakan dalam keadaan sewajarnya atau sebagaimana adanya dengan tidak berubah dalam simbol-simbol atau bilangan. Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau proses menjaring data atau informasi yang bersifat sewajarnya, mengenai suatu masalah dalam kondisi aspek, atau bidang pada objeknya (Nawawi, 1994). Menurut Dabbs analisis kualitatif fokusnya pada penunjukan makna, deskripsi, penjernihan dan penempatan
data
pada
konteks
masing-masing,
dan
seringkali
melukiskannya di dalam kata-kata daripada angka-angka. Dalam penelitian kualitatif ini mengambil model penelitian deskriptif, yakni penelitian yang dimaksudkan untuk ekspolorasi dan klasifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial (Singarimbun, 1989). Oleh sebab itu, kajian mengenai kemenangan PKPI dalam pemilu legislatif Kota Bitung Kota Bitung tahun 2009 diuraikan secara deskriptif. 2. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah studi kasus (case studi), yakni pendekatan penelitian yang penelaahannya diarahkan kepada suatu kasus secara intensif mendalam dan mendetail serta komprehensif. Pendekatan studi kasus digunakan karena merupakan pendekatan yang paling sesuai untuk mengkaji fenomena yang diteliti. Dalam penelitian ini fenomena yang dikaji adalah mengenai penerapan politik patronase dalam kemenangan PKPI pada pemilu legislatif di Kota Bitung tahun 2009 serta pemanfaatan hubungan patron-client oleh para kandidat PKPI pada pemilu legislatif di Kota Bitung tahun 2009. Dikarenakan merupakan suatu bentuk
39
penerapan pendekatan studi kasus, maka hasil penelitian tidak ditujukan untuk mencari generalisasi. Hal demikian dikarenakan setiap kemenangan partai dalam pemilu akan memiliki keunikannya tersendiri. Oleh sebab itu, penggunaan studi kasus dipilih karena lebih memungkinkan untuk dilakukan analisis mendalam pada fenomena kemenangan PKPI dalam pemilu legislatif tahun 2009. 3. Situasi Sosial dan Informan Penelitian ini merupakan penelitian kualitatatif. Dalam jenis metode penelitian ini tidak mengenal akan istilah populasi, tetapi oleh Spradley, dalam Sugiyono (2013) hal ini dinamakan social situation atau situasi sosial. Situasi sosial terdiri dari tiga elemen yaitu tempat, aktor, dan aktivitas yang berinteraksi secara sinergis. Situasi sosial dalam penelitian ini, melingkupi Partai Keadilan dan Persatuan Kota Bitung. Elemennya yaitu aktivitas (aktivitas kegiatan partai), aktor (pengurus partai dan calon legislatif) dan tempat (sekretariat partai dan rumah). Sampel dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan responden tetapi sebagai narasumber, partisipan, dan/atau informan. Pada penelitian kualitatif, peneliti memasuki situasi sosial tertentu dan wawancara kepada orang-orang yang dipandang tahu tentang situasi sosial tersebut. Penentuan sumber data pada orang yang diwawancarai dalam penelitian ini dilakukan secara purposif, yaitu dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu. Adapun informan dalam penelitian ini adalah sebagia berikut:
40
a. 1 orang Ketua Badan Pemenangan Pemilu Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia Kota Bitung b. 1 orang Ketua PKPI tahun 2009 yang sekaligus merupakan Walikota Bitung tahun 2006-sekarang c. 2 orang Pengurus Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia Kota Bitung d. 3 orang Anggota Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia Kota Bitung yang menjadi Anggota Legislatif terpilih pada pemilu tahun 2009 e. 2 orang tokoh pemuka agama di Kota Bitung f. 2 orang pegawai pemerintah Kota Bitung 4. Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data Sugiyono
(2013)
mengungkapkan
terdapat
dua
hal
yang
mempengaruhi kualitas data hasil penelitian, yaitu kualitas instrumen penelitian dan kualitas pengumpulan data. Dalam penelitian kualitatif, kualitas instrumen dan kualitas pengumpulan data berkenaan dengan caracara yang digunakan untuk mengumpulkan data. Dalam penelitian ini, peneliti merupakan instrumen kunci. Sebagaimana yang disampaikan juga oleh Nasution dalam (Sugiyono, 2013) bahwa tidak ada pilihan lain dari pada manusia sebagai instrumen utama atau dalam hal ini peneliti sebab segala sesuatunya belum pasti. Sehingga penelitian ini instrumen utamanya ada peneliti sendiri, namun selanjutnya setelah fokus penelitian menjadi jelas, maka kemungkinan akan dikembangkan instrumen penelitian sederhana yang diharapkan dapat melengkapi data.
41
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian ini adalah mendapatkan data (Sugiyono, 2013). Adapun dalam teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, adalah: a. Wawancara sebagai teknik pengumpulan data primer Wawancara
telah
dilakukan
terhadap
informan
penelitian.
Instrumen yang digunakan adalah pedoman wawancara dan ditujukan pada para informan. Data-data yang digali dengan teknik wawancara adalah mengenai proses penerapan politik patronase oleh PKPI dalam memenangkan pemilu legislatif Kota Bitung tahun 2009. Selain itu, wawancara juga telah dilakukan untuk menggali data mengenai pemanfaatan hubungan patron-client oleh para kandidat pemilu legislatif Kota Bitung terpilih dari PKPI. Data tersebut meliputi data-data mengenai pemanfaatan keberhasilan program-program pemerintah Kota Bitung oleh PKPI maupun kandidat dari partai tersebut, baik program yang dimanfaatkan, metode pemanfaatan, maupun implikasi dari pemanfaatan program tersebut. b. Studi dokumen sebagai teknik pengumpulan data sekunder Data yang digali dengan teknik studi dokumen adalah berbagai data terkait dokumentasi partai dan kandidat PKPI dalam proses kampanye yang telah dilaksanakan untuk menghadapi pemilu legislatif Kota Bitung tahun 2009 serta 2014. Data dari hasil studi dokumentasi yang telah diperoleh adalah mengenai berbagai dokumentasi PKPI dalam pemilu
42
legilatif tahun 2009 di Kota Bitung. Data tersebut digunakan sebagai data untuk melengkapi data dari hasil wawancara. 5. Teknik Analisis Data Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum, sementara dan setelah selesai di lapangan (Sugiyono, 2013). Seperti juga yang disampaikan oleh Nasution (1998) bahwa analisis telah mulai sejak merumuskan dan mejelaskan masalah sebelum terjun ke lapangan dan berlangsung terus sampai penulisan hasil penelitian. Proses analisis data menggunakan model analisis interatif dari Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2013). Berikut merupakan tahap-tahap analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini: a. Reduksi Data Reduksi data yaitu merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting dalam data. Pada proses ini, penulis menyisihkan terlebih dahulu data-data hasi wawancara dan studi dokumen yang tidak sesuai dengan rumusan masalah. Melalui reduksi data maka diperoleh data-data yang lebih mengerucut dan fokus untuk menjawab rumusan masalah. b. Penyajian Data Setelah data direduksi, selanjutnya data tersebut disajikan. Penyajian data dalam penelitian ini dilakukan dalam bentuk tabel, gambar, serta data berupa narasi, uraian singkat, dan bagan. Penyajian
43
data tersebut mempermudah penulis dalam menyusun kesimpulan penelitian. c. Kesimpulan Verifikasi Data yang telah disajikan kemudian dijadikan dasar penarikan kesimpulan. Kesimpulan dalam penelitian ini merupakan jawaban akhir atas rumusan masalah.
J. Sistematika Penulisan Dalam penelitian ini, peneliti memaparkan tulisan dalam 5 Bab yang disajikan dengan alur argumen berurutan dan jelas sebagai berikut: Pada bab I, penulis memaparkan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah dalam penelitian ini, selanjutnya dirumuskan masalah tersebut dalam sebuah rumusan masalah, tujuan dari penelitian ini, serta manfaat yang diharapkan. Selain itu, pada bab I juga diuraikan mengenai kerangka teori dan kerangka konseptual yang dipakai sebagai acuan dalam pembahasan, serta metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Selanjutnya pada bab II dibahas tentang deskripsi umum penelitian yang memuat uraian tentang setting sosial dari wilayah penelitian yaitu di Kota Bitung Sulawesi Utara beserta pembagian dapil dalam pemilu. Selain itu dipaparkan pula mengenai gambaran secara umum dari Partai Keadilan dan Persatuan Kota Bitung. Sementara pada bab III diuraikan dan dibahas tentang berisi uraian tentang pemanfaatan hubungan patron-client untuk pemenangan PKPI dalam
44
pemilu legislatif tahun 2009 di Kota Bitung. Pada bagian tersebut diuraikan mengenai hubungan patron-client yang telah terbentuk dalam masyarakat serta pemanfaatanya untuk kepentingan politik, terutama guna memenangkan pemilu. Selain itu, pada bagian ini juga diuraikan tentang temuan penelitian terkait media yang digunakan dalam hubungan patron-client antara kandidat PKPI dengan masyarakat pada pemilu legislatif Kota Bitung tahun 2009. Bab IV menguraikan tentang pola hubungan patron-client antara kandidat PKPI dengan masyarakat. Pada bagian ini, dipaparkan mengenai kedudukan masing-masing pihak dalam hubungan patron-client tersebut serta hak dan kewajiban yang terbentuk sebagai implikasi dari hubungan tersebut. Pada bagian ini diuraikan pula mengenai keterkaitan kemenangan PKPI dengan kemenangan salah seorang kader PKPI sebagai Walikota Bitung tahun 2006. Bab terakhir adalah Bab V sebagai bab penutup. Bab tersebut berisi kesimpulan dan rekomendasi dari penelitian ini.
45