1
BAB I PENDAHULUAN
1. 1
Latar Belakang Masalah Strategi Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel di Timur Tengah
menarik untuk dikaji, karena Pemerintahan di wilayah tersebut telah terlibat dalam perebutan kekuasaan di Timur Tengah sejak Islam berkuasa di Bilad al-Sham dengan berdirinya Dinasti Umayah (661-750 M). Kekuasaan Dinasti tersebut meliputi wilayah negara Suriah, Palestina, Jordan, dan Lebanon saat ini. Dinasti ini berhasil membangun armada laut dan merupakan kekuatan Islam di Utara dalam menghadapi Bizantium, dan saat itu peta Islam melebar ke Timur sampai ke Kabul, Kandahar, Ghazni, Bukhara, Samarkand, (Uzbekistan) dan Tirmiz, serta di front Barat adalah Kartagena (ibu kota Bizantium di Ifriqiyah) (Karim,2012:84-14). Kekuatan Islam juga mampu untuk mengambil alih Palestina yang dikuasai oleh tentara Perang Salib (Kristen) semasa Panglima Besar Sultan Salahudin al-Ayyubi pada tahun 1187. Masalah Palestina kemudian menjadi pemicu konflik yang menyeret Suriah setelah Inggris mengambil alih kekuasaan dari kekaisaran Ottoman, dan memberikan wilayah tersebut ke pada Zionis Yahudi untuk mendirikan negara Israel. Sejak negara itu merdeka pada tahun 1948, Suriah terlibat dalam masalah Palestina, dan memilki strategi dalam menghadapi konflik dengan Israel. Suriah menjalankan strateginya dalam menghadapi Israel melalui jalan perang secara langsung, perang tidak langsung di perbatasannya dengan di Lebanon dan melalui perundingan. Suriah telah berperang langsung dengan Israel pada tahun 1948,1967, dan 1973, serta terlibat secara tidak langsung akibat serangan Israel ke
1
2
Lebanon pada tahun 1982, 1993, dan 1996, tetapi juga Suriah melakukan perundingan dengan Israel melalui mediasi Amerika Serikat (AS) pada tahun 19912000. Dalam kaitan ini, strategi Suriah dalam menghadapi Israel terkait dengan upaya Suriah dalam mengambil kebijakan perang yang diperkuat dengan aliansi militer dengan Rusia (Uni Soviet) dan melalui jalur perundingan. Suriah juga mempertimbangkan aspek kekuatan militer dan negosiasi dalam menghadapi Israel untuk melindungi kepentingan keamanannya di kawasan Timur Tengah. Dari kondisi ini, pergolakan yang terjadi di Suriah pada awal Maret 2011 kemungkinan besar strateginya dalam menghadapi Israel memiliki dampak atas pergolakan di Suriah. Suriah dapat memengaruhi stabilitas keamanan regional, karena memiliki perbatasan langsung dengan Israel di Dataran Tinggi Golan. Dalam hal ini, seperti yang diutarakan oleh Henry Kissinger, bahwa there can be no war in the Middle East without Egypt and no peace without Syria (Drysdale and Hinnebusch, 1991:2). Salah satu alasan dari pernyataan tersebut adalah Suriah memiliki lokasi yang strategis berada di jantung kawasan Timur Tengah, perbatasan dengan Israel, Turki, Jordan, Irak dan Lebanon, berada di persimpangan Laut Tengah, dan Teluk Persia, serta antara benua Afrika dan Eurosia. Posisinya yang strategis memudahkan Suriah untuk membantu, dan mendukung kelompok perlawanan yang menentang keberadaan Israel melalui perbatasan. Posisi Suriah yang berada diperbatasan Israel dapat menjadi salah satu ancaman militer bagi Israel. Selama Dataran Tinggi Golan masih berada dalam pendudukan Israel, Suriah akan terus berupaya untuk dapat mengembalikan wilayah tersebut. Negosiasi antara Suriah dan Israel, yang berlangsung sejak tahun 1991 hingga tahun 2000, mengalami kegagalan. Israel tidak ingin mengembalikan wilayah tersebut. Penelitian ini menjadi penting, karena Suriah yang berada di garis depan
3
memiliki strategi dalam menghadapi Israel yang didukung dengan posisi geografi yang strategis berada di perbatasan dengan Lebanon. Posisinya di berbatasan ini menjadi pertahanan bagi Suriah dalam menerapkan strateginya untuk menghadapi Israel di Lebanon. Perbatasan Suriah-Lebanon menjadi salah satu keuntungan Suriah dalam membantu kelompok perlawanan Hizbullah di Lebanon Selatan. Sejak militer Suriah berada di wilayah tersebut pada tahun 1976, wilayah ini telah menjadi sasaran serangan Israel.
Dalam hal ini,
Lebanon Selatan memiliki perbatasan dengan
wilayah Dataran Tinggi Golan yang juga berbatasan dengan Israel. Keberhasilan Israel menduduki wilayah Dataran Tinggi Golan pada tahun 1967
merupakan
pukulan berat bagi Suriah. Negara-negara Arab yang terlibat konflik dengan Israel yaitu Mesir, dan Jordan yang telah mendapatkan wilayahnya, dan membuka hubungan diplomatik dengan Israel masing-masing tahun 1979, dan 1994, sedangkan Suriah tidak dapat memperoleh wilayah yang diduduki Israel meskipun telah melakukan negosiasi dengan Israel untuk mengembalikan Dataran Tinggi Golan sejak tahun 1991-2000. Dalam menghadapi konflik dengan Israel, Suriah didukung dengan kondisi geografis bahwa Suriah berada di perbatasan dengan Israel di wilayah Dataran Tinggi Golan. Keadaan posisi geografis yang berbatasan dengan Lebanon memudahkan Suriah untuk memberikan bantuan, dan fasilitas kepada para pejuang Palestina yang memiliki basis kekuatan perlawanan di Lebanon, dan menjadi target serangan Israel ke Lebanon. Terbentuknya Hizbullah di Lebanon pada tahun 1982 yang didukung Iran telah menjadikan Suriah berperan penting bagi kelompok dimaksud. Suriah dapat berperan di Lebanon, karena sejak tahun 1976 telah menempatkan pasukannya di Lebanon, dan kemudian telah ditarik mundur pada tahun 2005. Pidato Presiden
4
Hafiz al-Assad tanggal 27 Oktober 1994 ketika kunjungan Presiden William J. Clinton ke Damaskus menyampaikan bahwa Suriah berpedoman bahwa penyelesaian konflik Arab-Israel harus diselesaikan secara damai, komprehensif, dan sesuai dengan resolusi DK PBB no.242, dan 338 yaitu pengembalian seluruh tanah Arab sesuai batas 4 Juni 1967 secara adil, dan mengembalikan rakyat Palestina ke negaranya, serta Jerusalem Ibukota Palestina. Suriah merupakan negara terdepan yang tidak langsung terlibat konflik antara Israel-Lebanon, dan Israel-Palestina (Hamas) di Gaza. Dukungan Suriah terhadap kelompok ini dapat dikatakan sebagai salah satu strategi Suriah menghadapi Israel. Suriah masih belum mampu untuk merebut wilayahnya yang diduduki oleh Israel, sedangkan Mesir sekutu terdekatnya pada Perang 1967, dan Perang 1973 dengan Israel telah memperoleh wilayah Sinai. Mesir, bahkan telah menandatangi perjanjian perdamaian dengan Israel pada tahun 1979, dan Jordan pada tahun 1994 telah sepakat dengan Israel berkaitan dengan pembagian air di Sungan Jordan. Strategi Suriah dalam menghadapi Israel tidak dapat membawa kemajuan dalam menuju suatu perdamaian, dan bahkan ketika di masa presiden Bashar konflik dengan Israel semakin menguat dengan dituduhnya Suriah melakukan instabilitas politik di Lebanon, dan mendukung terorisme di Timur Tengah. Upaya Suriah dalam menghadapi Israel sangat terkait dengan masalah Dataran Tinggi Golan yang lokasinya sangat strategis. Wilayah Golan dengan luas 1860 km2, dibatasi dengan 4 negara yaitu Suriah, Israel, Jordan, dan Lebanon, memiliki ketinggian antara 209 m hingga 2814 m dari permukaan laut. Bagi Israel, Golan merupakan tempat yang sangat strategis, karena dataran tingginya dapat mendeteksi negara lain seperti Lebanon, dan Suriah. Serangan Israel ke Lebanon Selatan, dan kekuatan militer Suriah dapat segera dapat dideteksi melalui Dataran tersebut. Posisi strategisnya ini menjadi tujuan Israel untuk mempertahankannya.
5
Suriah berupaya untuk memperoleh kembali Dataran Tinggi Golan dengan kesediaannya menghadiri Konferensi Perdamaian Madrid, 30 Oktober 1991 bersama Jordan, Lebanon, Palestina, dan Israel serta dihadiri pula oleh AS dan Rusia (Uni Soviet). Konferensi Madrid merupakan awal negosiasi antara Suriah dan Israel mengenai Dataran Tinggi Golan. Perundingan selanjutnya antara Suriah-Israel tetap dilakukan secara informal dari tahun 1992 hingga 1995 hingga terbunuhnya PM Israel Yitzak Rabin tahun 1995, dan terhenti setelah PM Netanyahu menduduki Pemerintahan Israel tahun 1996. Selanjutnya, Pertemuan Tingkat Tinggi di Jenewa, 26 Maret 2000, yang diadakan atas mediasi AS dalam rangka pengembalian Dataran Tinggi Golan tidak mencapai solusi, karena Israel tidak ingin mundur sesuai dengan garis batas 4 Juni 1967. Dalam proses perdamaian Road Map for Peace yang disponsori oleh PBB, AS, Uni Eropa, dan Rusia (quartet) di bulan April 2003, quartet tidak melibatkan Suriah. Mereka tidak mengikutsertakannya meskipun Suriah memiliki pengaruh atas kelompok perlawanan Palestina di Damaskus, Suriah. Lebih dari itu, AS justru mendesak Yaser Arafat menunjuk Mahmoud Abbas (Abu Mazen) seorang arsitek perjanjian Oslo sebagai pengganti Perdana Menteri pada bulan Maret 2003 (Carter, 2007:158-159). Sebaliknya, Suriah justru dikesampingkan dalam masalah konflik dengan Israel. Lebih dari itu, Suriah bahkan telah dituduh melakukan campur tangan atas masalah dalam negeri Lebanon, dan Irak. Tuduhan ini membawa konsekwensi bagi Suriah yaitu, pertama, AS secara formal menerapkan sanksi ekonomi terhadap Suriah di tahun 2004, karena dianggap telah mendukung terorisme, menduduki Lebanon, dan mengembangkan senjata pemusnah massal. Kedua, AS, dan Perancis berhasil melakukan sanksi politik dengan mensponsori resolusi DK PBB No. 1559, dan 1701, yang intinya penarikan Suriah dari Lebanon yang dilaksanakan akhir April
6
2005. Ketiga,
penuduhan bahwa Suriah telah mengizinkan wilayahnya sebagai
tempat pelatihan terorisme. Menlu AS Powel mendesak Presiden Bashar al-Assad bulan Mei 2003 agar Suriah menutup semua kantor organisasi teroris Palestina di Damaskus, dan mengusir pemimpinnya termasuk juga melucuti Hizbullah di Lebanon (Gabil, 2006:140). Dalam hal ini, pada tanggal 20 Mei 2005, Dubes Suriah di AS mengatakan di harian New York Times, bahwa Syria has severed all links with US military representatives and the Central Intelligence Agency during the last 10 days because of what he called unjust allegations of Syrian Support to the Iraqi insurgency. AS, dan sekutunya berusaha memperlemah Suriah dalam percaturan konflik dengan Israel. Suriah dengan upayanya untuk menghadapi Israel secara regional justru sebaliknya semakin meningkat sesuai dengan laporan The Iraq Study Group Report (ISG)(2006:38-40).
Kelompok yang dipimpin oleh mantan Menlunya Presiden
George H. W. Bush, James Baker memberikan laporan, bahwa kerja sama dengan Suriah dalam membantu AS selama Perang Teluk di tahun 1991 perlu dipertahankan. Dalam laporannya ISG menjelaskan, bahwa untuk mengatasi stabilitas Irak, dan konflik Arab-Israel semua negara yang tertarik pada keamanan regional harus bekerja sama dengan Suriah, dan Iran. Laporan ini menujukkan pentingnya Suriah dalam percaturan konflik dengan Israel dalam mewujudkan perdamaian di Timur Tengah. Dalam mewujudkan perdamaian, Suriah berupaya melakukan perundingan informal dalam rangka menghadapi Israel. Setelah delapan tahun mengalami kebuntuhan, pada tanggal 21 Mei 2008
Suriah,
dan Israel mengumumkan
dimulainya pembicaraan perdamaian di bawah mediasi Turki. Dalam wawancara dengan Harian Qatar (SANA, 21 Mei 2008), Al-Watan, Presiden Bashar al-Assad menekankan Erdogan’s role in the process and praised his efforts that intensified
7
since April 2007 hingga tanggal tersebut, Turki telah lima kali menfasilitasi perundingan informal antara Suriah, dan Israel. Perundingan tersebut terhenti, karena adanya serangan darat Israel ke Gaza akhir Desember 2008. Israel menuntut, bahwa Suriah harus memutuskan hubungan dengan Hizbullah, dan Hamas serta Iran jika pertemuan akan dilanjutkan ke arah yang lebih formal (Hadar, 2007:4). Tuntutan ini tidak dapat dilaksanakan, dan dihentikan oleh Suriah ketika Israel melakukan penyerangan ke Jalur Gaza pada akhir tahun 2008. Perundingan informal merupakan salah satu upaya Suriah dalam menghadapi Israel. Secara tidak langsung, Suriah memiliki posisi tawar menawar, karena kelompok perlawanan yang didukungnya dapat bertahan terhadap serangan membabi-buta Israel ke Lebanon Selatan tahun 2006, dan dapat bertahannya Hamas di Jalur Gaza dari serangan keji Israel di tahun 2008. Strategi Suriah dalam menghadapi Israel secara tidak langsung telah memperkuat pengaruh Suriah terhadap kelompok dimaksud. Seperti yang diutarakan oleh David W, Lesch (2007: 20) bahwa Victory for Hizbullah was a victory of Syria. Bashar had very few strategic assets left as of early 2007, and Syrian Foreign Policy under Assad is all about having for quid pro quos, particularly regarding a return of the Golan Heights. Pengaruh Suriah atas atas kelompok perlawanan dapat dijadikannya sebagai posisi tawar-menawar dalam menekan Israel untuk melakukan perundingan. Strategi Suriah dalam menghadapi Israel ini menyebabkan Israel tidak dapat menghancurkan kekuatan Hizbullah di Lebanon Selatan dan Hamas di Gaza. Upaya ini kemungkinan besar berpengaruh atas terjadinya pergolakan senjata pada awal Maret 2011 yang bertujuan untuk memperlemah kekuatan perlawanan Suriah terhadap Israel, dan mengganti rezim di Suriah bagi kepentingan keamanan Israel. Hal ini diindikasikan, bahwa AS sekutu Israel, dan beberapa negara sekutu AS
8
berusaha untuk menyudutkan, dan memperlemah kekuatan militer, dan ekonomi Suriah dengan memberikan bantuan kepada para pemberontak, dan mensponsori resolusi Dewan Keamanan PBB dengan tujuan memberikan sanksi kepada Suriah. Dalam keadaan ini, Suriah mampu menghadapi tuntutan AS di PBB dengan menggalang sekutunya Rusia, dan China yang memiliki hak veto di DK PBB yang telah tiga kali menggagalkan penerapan sanksi kepada Suriah.
1.2.
Rumusan Masalah Pertanyaan-pertanyaan penelitian kemudian dikemukakan sebagai berikut:
1.2.1
Bagaimana strategi Suriah dalam menghadapi perang dengan Israel masa Presiden Hafiz al-Assad?
1.2.2
Bagaimana strategi keseimbangan komprehensif dalam menghadapi Israel di masa Presiden Hafiz al-Assad?
1.2.3
Mengapa dalam strateginya menghadapi Israel, dukungan Suriah terhadap kelompok Perlawanan Palestina-Hamas, dan Hizbullah serta aliansinya dengan Iran mendapatkan tekanan dari AS?
1.2.4
Bagaimana dampak strategi Suriah dalam menghadapi Israel terhadap gejolak politik di Suriah?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini sesuai dengan rumusan masalah adalah:
1.3.1
Menerangkan strategi yang dilakukan Suriah dalam menghadapi perang dengan Israel pada tahun 1948, 1963, dan 1973 serta perang tidak langsung dengan Israel di Lebanon.
9
1.3.2
Menerangkan strategi keseimbangan komprehensif yang dilakukan oleh Suriah dalam menghadapi Israel.
1.3.3
Menjelaskan strategi Suriah dalam menghadapi tekanan AS untuk memutuskan hubungan dengan kelompok perlawanan Palestina-Hamas, Hizbullah, dan Iran yang didasari hubungan antara Suriah-AS.
1.3.4
Menjelaskan hubungan antara strategi yang diambil Suriah dalam menghadapi Israel dan pengaruhnya atas terjadinya pergolakan di Suriah awal Maret 2011.
1.3.5
Selain sebagai bahan akademik untuk mengupas strategi Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel,penulis juga memiliki kewajiban moral sebagai seorang diplomat di Kementerian Luar Negeri untuk memberikan rekomendasi kebijakan luar negeri Indonesia khususnya dalam mengambil posisi atau sikap terhadap kondisi yang sedang terjadi di Suriah saat ini. Hal ini mengingat Kementerian Luar Negeri terkait dengan masalah kebijakan luar negeri Indonesia terhadap negara-negara Arab yang mana Indonesia sesuai amanat Pembukaan UUD 45 adalah ikut serta dalam menjaga ketertiban, dan perdamaian dunia.
1.4
Tinjauan Pustaka Dalam tinjauan pustaka ini penulis menguraikan, bahwa terdapat hasil-hasil
penelitian atau pemikiran sebelumnya yang berkaitan dengan Suriah dalam konflik di Timur Tengah. Tinjauan pustaka digunakan sebagai bahan dasar
penulis untuk
penulisan disertasi sebagai inspirasi, pendukung, dan penjelas dalam kajian ini. Tinjauan pustaka bertujuan untuk menunjukkan perbedaan pembahasan mengenai Suriah yang dibahas atau diteliti oleh penulis lainnya, dan ditujukan untuk
10
memberikan teori-teori, dan konsep-konsep politik dari penelitian sebelumnya sebagai bahan dasar dalam penyusunan disertasi selanjutnya. Tinjauan pustaka berdasarkan pada lima buku yaitu Syria, The United States, and The War on Terror in the Middle East oleh Robert G. Rabil; Last Chance: The Middle East in the Balance ditulis oleh David Garder; Commanding Syria oleh Eyal Zisser; The Truth About Syria oleh Barry Rubin Carsten: dan Assad: The Struggle of Middle East oleh Patrick Seale. Buku-buku tersebut sebagai bahan referensi, dan rujukan untuk menguatkan kajian disertasi. Robert G Rabil (2006) mengkaji mengenai kebijakan luar negeri AS terhadap Suriah, dan kebijakan AS di Timur Tengah. Dijelaskan, bahwa kebijakan luar negeri AS atas Suriah mengalami fluktuasi yaitu antara komitmen AS terhadap keamanan Israel, dan dukungan negara-negara Arab untuk mewujudkan kepentingannya. Suriah merupakan salah satu negara yang telah masuk dalam daftar negara teroris oleh AS sejak tahun 1979, dan menjadi faktor penting ketika Suriah tidak mendukung invansi AS ke Irak tahun 2003, dan perang terhadap terorisme. AS menyadari, bahwa Suriah memainkan peran penting atas ketidakstabilan keamanan di Irak.
Penulis lebih
menfokuskan pada kepentingan invasi AS di Irak dengan menyudutkan dukungan Suriah terhadap kelompok perlawanan Palestina sebagai kelompok terorisme. Selain itu, penulis tidak menjelaskan bagaimana strategi Suriah dalam menghadapi Israel melainkan lebih menganalisis kebijakan AS terhadap Suriah di Timur Tengah. Tulisan lain mengenai Suriah yang ditulis oleh David Garder (2009) menjelaskan, bahwa Suriah sebagai negara kunci dalam mempertahankan Lebanon dari serangan Israel, sehingga memiliki memiliki posisi penting atas konflik dengan Israel di Timur Tengah. Kedekatan Suriah dengan kelompok perlawanan Hizbullah menjadikan Suriah sebagai salah satu negara yang arti peran penting dalam menjaga
11
stabilitas keamanan di Lebanon selama lebih kurang 30 tahun. Dalam tulisannya dijelaskan, meskipun Suriah telah menarik mundur tentaranya dari Lebanon bulan April 2005 tetapi keterkaitannya dengan Hizbullah menjadikan perannya,
dan
pengaruhnya perlu diperhitungkan. Penulis hanya menfokuskan kebijakan Suriah di Lebanon dalam menghadapi Israel. Peran, dan pengaruhnya di Lebanon berkaitan dengan kekuatan Palestina di Lebanon menjadi bahan masukan berarti untuk memberikan gambaran lebih lanjut terhadap strategi Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel di Timur Tengah secara umum, dan konflik Arab-Israel khususnya. Tulisan ini dapat menjadi bahan analisis bagi strategi Suriah menghadapi Israel di Lebanon khususnya mengenai aliansi Suriah-Iran-Hizbullah. Selanjutnya dalam buku karangan Eyal Zisser (2008)
telah menjelaskan
mengenai naiknya Presiden Bashar al-Assad ketumpuk kekuasaan menggantikan Presiden Hafiz al-Assad serta kebijakan luar negerinya yang berlanjut dalam masalah konflik Arab-Israel. Pengarang menjelaskan kebijakan Suriah terhadap Amerika Serikat, Israel, dan Lebanon, namun tidak selesai mengupas bagaimana strategi Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel. Penulis lebih menekankan analisisnya pada sisi kebijakan Amerika Serikat di Timur Tengah dalam menghadapi Suriah, sehingga tidak mencerminkan masalah, dan realitas yang ada atas peran Suriah. Buku ini lebih mengedepankan konflik Timur Tengah, dan terorisme dari sudut pandang AS dan Israel. Kajian ini belum menjelaskan alasan dasar dari strategi Suriah menghadapi Israel. Penulis lain adalah Barry Rubin (2007) yang menjelaskan, bahwa Suriah merupakan negara yang mengedepankan kebijakan luar negeri berdasarkan dukungan kepada kelompok-kelompok yang dianggap teroris oleh AS antara lain Hamas, Islamic Jihad, dan kelompok perlawanan di Lebanon yaitu Hizbullah. Rabin lebih
12
banyak mengamati, dan menekankan dari sudut pandang AS, dan Israel, bahwa Suriah merupakan negara yang tidak akan pernah menginginkan perdamaian dengan Israel. Penyelesaian konflik antara Israel, dan Palestina tidak pernah menyinggung upaya Suriah ke arah perdamaian,
karena penulis mengganggap Suriah
menginginkan hegemoni atas wilayah Timur Tengah. Dalam pengamatannya, tulisannya secara jelas banyak menyudutkan kebijakan luar negeri Suriah sepihak terutama tuduhannya
memasok teroris ke Irak, sehingga tidak mungkin dapat
tercapai perdamaian mengingat Suriah tidak mau bekerja sama dengan AS untuk memerangi terorisme di era Pemerintahan Bush. Dalam kaitan ini perlu dilanjutkan kajian mengenai strategi Suriah dalam menghadapi Israel di Timur Tengah, dan dalam menjelaskan bagaimana strategi Suriah menghadapi Israel, karena apa yang telah dijelaskan sangat tidak mewakili kebijakan luar negeri Suriah dalam menghadapi Israel, dan perannya saat ini yang selalu diabaikan oleh Israel yang bersengketa dengan Hizbullah, dan Hamas. Patrick Seale (1995) menjelaskan dengan baik mengenai kebijakan luar negeri Suriah di kawasan Timur Tengah khususnya bagaimana Suriah di bawah Presiden Hafiz al-Assad memainkan perannya dalam menghadapi Israel. Penulisan ini menonjolkan riwayat Hafiz al-Assad, dan karirnya hingga menjadi Presiden Suriah. Peran Suriah dalam konflik Arab-Israel memegang peranan penting dalam kebijakan luar negerinya, termasuk hubungannya dengan negara-negara Arab lainnya dengan spirit Pan-Arabisme untuk tindakan represif secara militer dengan Israel. Seale berhasil mengkaji
mengenai doktrin Assad berkaitan dengan keseimbangan
kekuataan masa Perang Dingin. Kajian ini dapat menjadi sumber inspiratif untuk mengembangkan disertasi khususnya strategi Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel pada masa Presiden Bashar al-Assad.
13
Hal utama yang membedakan disertasi ini dengan kajian lainnya tentang Suriah adalah pembahasan yang komprehensif mengenai strategi Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel. Strategi Suriah sangat terkait dengan posisi geografinya yang strategis sebagai pedoman dalam menentukan geopolitiknya untuk menekan Israel agar kembali melakukan negosiasi dalam masalah Dataran Tinggi Golan dari masa Presiden Hafiz al-Assad hingga Pemerintahan Presiden Bashar alAssad. Disertasi ini juga membahas, bahwa posisi Suriah penting tidak saja, karena berada di perbatasan tetapi secara geopolitik Suriah juga memiliki strategi dalam memainkan peran yang lebih luas untuk menekan Israel melalui dukungan atau koalisinya dengan Iran, dan terhadap kelompok perlawanan Palestina, dan Hizbullah. Dalan disertasi ini lebih lanjut dikaji strategi yang diambil Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel yang cenderung membawa dampak atas upaya AS, dan sekutunya untuk menjatuhkan Presiden Bashar al-Assad. Posisi Suriah menjadi sangat vital di mata negara-negara besar seperti Rusia, China, dan Iran.
1.5
Kerangka Konseptual Dalam memahami judul “Strategi Suriah dalam Menghadapi Konflik dengan
Israel 1991-2013”,
maka perlu untuk mengetahui arti kata-kata dalam judul
dimaksud untuk memudahkan melakukan analisis dalam penelitian.
1.5.1
Strategi Strategi berasal dari turunan kata bahasa Yunani, “stratēgos”, yang dapat
diterjemahkan sebagai ‘komandan militer’ pada zaman demokrasi Athena. Kata strategi adalah a word of military origin, refers to a plan of action designed to achieve a particular goal. Strategi merupakan suatu rencana militer dalam mencapai
14
tujuan tertentu dengan target yang jelas. Strategi adalah bagaimana hubungan atas berbagai pendekatan dalam mencapai suatu tujuan tertentu. How a battle is fought is a matter of tactics: the terms and conditions that it is fought on and whether it should be fought at all is a matter of strategy.
Taktik merupakan bagian dari suatu
pertempuran sedangkan strategi menerjemahkan suatu tindakan dalam arti yang lebih luas dan dalam kondisi tertentu perang dapat dimulai atau tidak (Evans, 2011). Dalam bukunya Strategy, Liddell Hart (1967:322) menjelaskan, bahwa military strategy intrudes upon policy and, …it makes battle the only means of achieving strategic ends. Hart lebih tertuju pada masalah strategi militer yang ditujukan sebagai dasar bagi mulainya perang. Strategi militer dapat dikatakan sebagai akhir kebijakan ketika perang sudah berlangsung. Berkaitan dengan strategi militer Hart menjelaskan military strategy is "the art of distributing and applying military means to fulfil the ends of policy. Strategi militer merupakan bagian dari seni untuk menyalurkan dan menerapkan cara-cara militer. Strategi dalam kaitan ini merupakan bagian dari suatu pertempuran yang telah ditetapkan dengan kebijakan dalam waktu lama. Dalam bukunya The Power of Nations in the 1990s: A Strategic Assessment (1995), Ray Cline mendefinsikan strategi adalah as a part of political decision making process that conceptualizes and establishes goals and objectives designed to protect and enhance…interests in the international arena. (Heater dan Berridge, 1998:47) Strategi digunakan sebagai proses pengambilan keputusan politik yang diputuskan untuk mencapai sasaran, dan tujuan dalam melindungi, serta meningkatkan kepentingannya di dunia internasional dalam menghadapi negara lain bagi kepentingan politik dan keamanannya. Strategi ini menjadi dasar untuk mengaji strategi Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel pada tahun 1991-2013.
15
Strategi yang dijalankan oleh Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel tidak lepas dari penggunaan kekuatan militer, dan penerapan negosiasi. Berkaitan dengan itu,
Irtiza Hussain dalam bukunya Strategic Dimensions of
Pakistan’s Foreign Policy menjelaskan Strategy has often been described as the art or the science of the application of power for the achievement of political goals….Strategy necessitates the interspersing of military action with political negotiations (Hussain, 1989: 1-2). Hussain menekankan strategi dalam menerapkan kekuataan militer. Kekuatan militer merupakan menjadi vital dalam membuat suatu strategi, dan bahkan strategi sebagai suatu seni atau ilmu yang menerapkan kekuatan dalam mencapai tujuan politik. Penggunaan kekuatan militer dalam suatu strategi juga diselingi dengan pelaksanaan negosiasi atau perundingan Dari definisi, dan arti mengenai strategi,
maka dapat dikatakan bahwa
strategi adalah bagian dari suatu kebijakan untuk melindungi, dan meningkatkan berbagai kepentingannya berdasarkan kemampuannya antara tindakan militer dan negosiasi politik sesuai arah dan tujuannya.
1.5.2
Konflik Konflik menurut Michael Nicholson dalam bukunya Rationality and the
Analysis of International Conflict menjelaskan, bahwa: A conflict exists when two people wish to carry out acts which are mutually inconsistent. …the definition of conflict can be extended from individuals to groups (such as states or nations) (Nicholson, 1992:11). Konflik terjadi ketika dua pihak melakukan suatu tindakan yang saling berlawanan, dan memiliki kepentingannya sendiri yang tidak sepaham. Konfik meluas dari seorang individu hingga menjadi suatu kelompok seperti bangsa, dan negara dalam mempertahankan kepentingan tertentu. Menurut John Burton,
16
Disputes…suggests are short-term disagreements that are relatively easy to resolve. Sengketa secara garis besar cenderung lebih mudah untuk diselesaikan, dan sifatnya adalah jangka pendek. Konflik menurut Burton: Long-term, deep-rooted problems that involve seemingly non-negotiable issues and are resistant to resolution. Konflik tidak sama dengan sengketa. Konflik masalahnya lebih mengakar, dan biasanya cenderung dalam jangka waktu yang cukup lama, sehingga konflik cenderung akan melibatkan isu-isu yang sulit dirundingkan untuk mencari solusi yang dapat disepakati oleh kedua pihak (Burton,1993:55-64). Dari berbagai pendapat, disimpulkan bahwa konflik adalah masalah yang telah mengakar secara jangka panjang berdampak pada isu-isu yang muncul akibat suatu tindakan yang tidak sepaham yang melibatkan individu, kelompok atau negara yang sulit dirundingkan untuk mencapai solusi. Penulisan mengenai “Strategi Suriah dalam Menghadapi Konflik Dengan Israel” merupakan pengambilan keputusan politik oleh Suriah yang didasari atas arah, dan tujuan dalam rangka melindungi, dan meningkatkan kepentingannya berdasarkan kemampuan militer melalui negosiasi politik, dan tindakan militer dalam menghadapi ketegangan politik, dan konflik terbuka dengan Israel. Strategi Suriah ini didasari
oleh geopolitiknya dalam mengambil kebijakan sesuai dengan kondisi
geografisnya yang berbatasan dengan Israel
1.6
Kerangka Pemikiran Strategi Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel sangat terkait
dengan konflk Palestina-Israel yang berkaitan dengan keinginan suatu bangsa untuk membentuk suatu negara. Tidak ada konflik di dunia yang sangat problematika seperti konflik
antara Yahudi Israel, dan Arab Palestina yang masing-masing
17
menuntut wilayah yang sama. Kaum Yahudi, Kristian, dan Muslim yang menuntut wilayah suci yang sama, sehingga mengakibatkan peningkatan oposisi dari negaranegara Arab atas keberadaan negara Israel. Karen A. Mingst dalam bukunya Essentials of International Relation (2008) menjelaskan, bahwa Disputes over state territories and the desire of nations to form their own state have been major source of instability and even conflict. Konflik tersebut mengakibatkan instabilitas di kawasan Timur Tengah, karena Israel secara bertahap meluaskan ekspansi wilayahnya melalui perang, dan pemukiman-pemukiman baru. Ekspansi Israel ke wilayah Dataran Tinggi menjadi dasar atas strategi Suriah menghadapi Israel. Akibat dari pendudukan Israel, maka Suriah hanya mendapatkan air 269 juta, kubik dari 435 juta meter, padahal pertaniannya memerlukan 13.000 juta m kubik air. Israel memperoleh 700 juta meter kubik dari yang semestinya 260 juta meter kubik. Banyaknya jumlah pasokan air, karena curah hujan setahun di Golan mencapai 750 mm dibandingkan di Damaskus hanya 212 mm pertahunnya. (Zaitun, 2007:15-16) Di Dataran tersebut, Suriah menduduki seluas 610 kilometer persegi dari 185.179 km2, dengan kota provinsi Quneitra, berjarak 35 km dari ibukota Damaskus. Israel menduduki area seluas 1250 kilometer persegi. Titik tertinggi dari wilayah tersebut adalah Gunung Hermon (dinamakan Jabal Sheikh di Suriah) setinggi 2.224 meter di atas laut. Di sebelah Barat Suriah, berbatasan dengan Laut Mediteranian sepanjang pantai Utara Lebanon. Perbatasan terpanjangnya dengan Turki di sebelah Utara (822 km), dan kemudian di sebelah Timur dengan Irak (605). Dalam melihat strategi Suriah dalam konflik dengan Israel, maka secara geopolitik letak Suriah berada di wilayah konflik, karena adanya pendudukan Israel di wilayah Palestina yang kemudian meluas ke Lebanon, dan Jordan. Dengan melihat pada faktor geopolitik, maka lebih mudah untuk memahami perjuangan hidup suatu
18
negara dengan melakukan pengawasan atas wilayahnya. Pengembangan dari pengertian tersebut dapat diterapkan salah satunya dalam melihat kebijakan luar negeri. Alan Bullock, dan Oliver Stallbrass (1977:263) dalam The Fontana Dictionary of Modern Thought menjelaskan By geopolitics, it understands that ‘nations or states are engaged in a perpetual struggle for life…which can be derived from the study of geography and history and successfully applied to foreign policy. Richard Murir dalam Modern Political Geography yang dikutip dalam bukunya Alasdair Drysdale, dan Gerald H. Blake dalam The Middle East and North Africa: Political Geography dengan jelas mengatakan, bahwa political geographer believe that location matters and that they should show the spatial causes and effects of political process. Masalah wilayah dapat berpengaruh, dan menjadi penyebab proses politik yang terjadi di suatu negara. Proses politik yang terjadi dikaji berdasarkan geopolitik sebagai pandangan politik suatu negara yang diinspirasikan dengan posisinya dalam peta menurut pandangan H. Van der Wusten, dan G. Dijkink dalam jurnal German, British and French Geopolitics: Enduring Difference. Selain itu, E.H.Carr dalam bukunya Twenty Years Crisis menekankan, bahwa geopolitik tidak dipisahkan dengan politik internasional, dan tidak terkait dengan ideologi. Geopolitik menjadi dasar kebijakan untuk mencapai tujuan sesuai kondisi geografis negara tersebut. Geopolitik menjadi dasar pemikiran tradisi realis internasional yang menganalisis politik dari gambaran geografi.
Konsep
geopolitik
merupakan
upaya
pemikiran
realis
dalam
memperjuangkan kekuatannya dalam suatu wilayah (Drulak, 2006: 420-421). Geopolitik suatu negara menjadi dasar, dan memiliki tujuan untuk mendukung atau memberikan justifikasi perluasan kekuatan suatu negara atas dasar kerangka kerja gambaran geografisnya. Keadaan ini dianggap sebagai strategi
19
nasionalis yang berorientasi pada politik geografi yang disebut geopolitik. Dalam sistem internasional yang didasari oleh konflik, dan kompetisi, pemikiran ini akan menjamin dominasi posisi masing-masing negara. Pemikiran geopolitik menurut Guntram H. Herb dalam tulisannya the Politics of Political Geography menjelaskan Political geography have engaged with states in three ways: … to facilitate the process of maximizing its power over space; to maintain and manage its territorial existence; and to actively resist and question its spatially manifested actions. (Drulak, 2006: 430-51). Geopolitik dapat menentukan kebijakan suatu negara dalam menghadapi kondisi regional. Negara mendapatkan tiga pilihan apakah dengan meningkatkan kekuatan militernya dalam menghadapi negara-negara di sekitarnya atau berupaya untuk mempertahankan eksistensinya dengan bersikap netral di wilayah kekuasaannya atau kemudian negara tersebut
secara aktif melakukan
tranformasi ke arah perubahan dengan meningkatkan kekuatan ekonominya atau menghadapi ketidakstabilan, karena adanya perlawanan atau revolusi. Keadaan ini mempengaruhi geopolitik suatu negara dalam menghadapi masalah atau isu sesuai dengan kondisi geografisnya. Kondisi geografis suatu negara sangat terkait dengan sistem internasional yang anarki menurut pendekatan realis. Realis menganggap, bahwa
tidak ada
kewenangan di atas negara, dan negara sangat berdaulat. Sistem yang anarki akan membatasi tindakan para pengambil keputusan, karena akan mempengaruhi kapabilitas negara lain. Realis tradisional mengakui, bahwa negara bertindak, dan membentuk sistem, sedangkan neorealis yakin, bahwa negara akan dihalangi oleh struktur dari sistem yang berbentuk multipolar (multi kutub), bipolar (dua kutub), dan unipolar (satu kutub). Dalam multipolar, ada beberapa negara, atau sedikitnya tiga negara menikmati secara relatif kesamaan kekuatan militer. Dalam sistem bipolar
20
beberapa negara melakukan aliansi kepada dua kekuatan besar, sehingga menjadikan perimbangan kekuatan. Setiap perang yang terjadi adalah untuk mempertahankan perimbangan kekuasaan. Sedangkan dalam sistem unipolar, satu negara memiliki pengaruh dalam sistem internasional (Mings, 2008:86-87). Dalam kondisi sistem internasional yang anarkhi, negara yang kuat dari segi politik, dan militer serta ekonomi akan berusaha membawa negara di sekitarnya untuk mengikut arah kebijakan luar negerinya. Robert O. Kohane menyatakan hegemony states are willing to pay the price to enforce norms unilaterally if necessary in order to ensure the continuation of the system that benefit them. Dalam suatu sistem yang unipolar, satu-satunya negara adi kuasa akan bertindak sesuai ketentuannya secara unilateral, jika diperlukan untuk menjamin kelangsungan sistem yang menguntungkannya. Satu negara yang dominan ditandai dengan pengeluaran anggaran militer yang mana AS memiliki anggaran militer lebih besar dari lima belas negara yang digabung (Mings, 2008:88). Dalam suatu sistem internasional yang anarkhi, negarawan harus memilki moralitas dalam membuat kebijakan luar negeri. Menurut Fareed Zakaria dalam tulisannya
Is
Realism
Finished?,
dalam
Jurnal
National
Interest
1992
(Genest,1996:124-126), dikatakannya, A Moral Statesman operating in a realist world must hence keep in mind three caveats – chaos, competition, and caution. Pertama, seorang negarawan harus dapat mengatasi kekacauan dalam kehidupan internasional. Kedua, karena negara tergantung pada kemampuan keamanannya sendiri, maka negarawan harus dapat dipercaya untuk tidak melakukan kecurangan, dan kekerasan terhadap negara lain. Fareed Zakaria mengatakan, the competitive nature of international life ensures that if one country alone acts out of moral rather than strategic concern, it will encourage others to seek advantage; ketiga, seorang
21
negarawan harus bertindak sesuai dengan moral yang disebut ethic of responsbility. Negara harus bertindak sesuai dengan pertanggung jawaban etika internasional dalam sistem internasional. Teori mengenai moralitas dalam sistem internasional ini mewarnai sikap Suriah dalam membuat kebijakan luar negerinya, yang mana posisi yang berbatasan dengan negara-negara yang terlibat konflik dengan Israel yang bertindak di luar moral, sehingga menjadi perhitungan mendasar dalam menjalin hubungan dengan kelompok perlawanan di Lebanon Selatan, dan Palestina. AS, sebagai negara hegemoni dalam sistem unipolar, menjadi faktor utama penekan terhadap kebijakan luar negeri Suriah. Secara geografis, geopolitik Suriah membawa konsekwensi atas kebijakan luar negerinya dalam menghadapi konflik di Timur Tengah.
Dengan
demikian, kekuatan negara mempengaruhi negara lain sangat tergantung dari potensi kekuatannya. Keadaan menentukan strategi Suriah dalam menghadapi Israel. Dengan dasar pemikiran ini, dalam disertasi dikaji mengenai strategi Suriah yang memiliki kondisi posisi geografis yang strategis dapat memainkan pengaruhnya terhadap konflik dengan Israel. Dari posisinya yang strategis, maka geopolitik Suriah berupaya memperluas pengaruh, dan dukungannya dalam menentukan strateginya menghadapi Israel. Geopolitik Suriah menentukan arah kebijakan politik luar negeri Suriah berdasarkan atas faktor geografis dalam rangka mencari dukungan dalam mengadapi konflik dengan Israel agar dapat memperoleh kembali wilayah Dataran Tinggi Golan melalui penyelesaian damai atau cara-cara lain. Kebijakan luar negeri dapat diorientasikan dengan suatu keputusan atau tindakan suatu negara. Kal Holsti dalam bukunya The International Politics menekankan, bahwa orientasi kebijakan luar negeri merupakan general attitude and commitments toward the
external environment and its fundamental strategy for
22
accomplishing its domestic and external objective and aspiration and for coping with persisting threat. Strategi mendasar dalam kebijakan luar negeri dalam menghadapi konflik adalah mengisolasi diri, atau menjauhi konflik, bersikap netral atau nonalignment, dan membangun koalisi atau aliansi. Strategi ini dapat berubah sesuai dengan kondisi regional dan perimbangan kekuatan dalam sistem global. Kebijakan luar negerinya suatu negara diimplementasi menjadi kekuatan yang efektif melalui
diplomasi. Diplomasi biasanya dimulai dengan melakukan
tawar-menawar secara langsung atau tidak langsung agar dapat mencapai kesepakatan dalam suatu negosiasi atas suatu masalah. Menurut Karen A. Mingst: …, yet for bargaining to be successful, each party needs to be credible, that is, each party needs to make believable statement, assume likely positions, and be able to back up its position by taking action (Mingst, 2008:112). Hasil dari diplomasi mengarah pada negosiasi. Suatu negara harus dapat menyakinkan pihak lain atas posisinya dalam menghadapi posisi pihak lawan. Dalam ini proses negosiasi menurut Fred.C.Ikle dalam bukunya How Nations Negotiate menjelaskan, bahwa to resolve conflict and avoid the use of force, it is said, one must negotiate. Negotiation requires willingness to compromise, and both sides must make concessions (Iragorri, 2003: 92-93). Inti negosiasi adalah menghindari penggunaan kekuatan militer. Suatu negara harus memiliki komitmen yang dipercaya dalam memberikan konsensi kepada pihak lawan. Dalam kerangka pemikiran ini strategi Suriah dalam menghadapi Israel akan dilihat dari sudut pandang geopolitik Suriah yang berbatasan dengan negara-negara yang berkonflik dengan Israel. Di lain pihak, geopolitik mendasari strategi Suriah dalam menghadapi konflik juga dipengaruhi oleh sistem internasional yang anarkhi yang beralih dari bipolar menjadi unipolar dengan hegemoni AS di dunia internasional. Strategi Suriah dengan geopolitiknya yang diimplementasikan melalui
23
kebijakan luar negeri telah mendorong Suriah untuk menyusun perimbangan kekuatan dengan dukungan kepada aktor-aktor non-negara, seperti Hamas, dan Hizbullah. Selain itu, strategi Suriah dalam menghadapi Israel juga menerapkan negosiasi dalam mencapai kepentingannya.
1.7
Hipotesis Hipotesis yang dibangun dalam menjelaskan rumusan masalah atas strategi
Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel sebagai berikut: 1.7.1
Strategi Suriah dalam menghadapi Israel di Timur Tengah pada masa Presiden Hafiz al-Assad adalah: 1.7.1.1 Didasari kebijakan luar negeri anti Israel dan anti imperalis berdasar ideologi Partai Baath yaitu persatuan, kebebasan dan sosialisme. 1.7.1.2 Memperkuat aliansi dengan Mesir, Jordan, Arab Saudi dan Irak dalam perang menghadapi Israel. 1.7.1.3 Mendukung perjuangan bangsa Palestina dan mempertahankan wilayah Lebanon dari serangan Israel.
1.7.2
Penerapan Strategi Keseimbangan Komprehensif pada masa Hafiz al-Assad adalah: 1.7.2.1 Suriah melakukan aliansi dengan Iran, dan Rusia dalam mengatasi serangan Israel. 1.7.2.2 Suriah melakukan konfrontasi dengan Israel yang digunakan untuk menarik simpati negara Arab untuk memberikan bantuan ekonomi. 1.7.2.3 Suriah bersedia untuk melakukan perundingan dengan Israel dalam rangka memperoleh kembali Dataran Tinggi Golan.
24
1.7.3
Strategi Suriah dengan mendukung kelompok perlawanan Palestina-Hamas, dan serta aliansinya dengan Iran mendapatkan tekanan dari AS karena: 1.7.3.1 Suriah sanggup untuk meningkatkan pertahanan Hizbullah terhadap serangan Israel di Lebanon Selatan, dan pertahanan Hamas di Gaza. 1.7.3.2 Suriah dituduh mendukung kelompok terorisme yang dibantu oleh Iran untuk memerangi Israel. 1.7.3.3 Suriah dituduh atas ketidakstabilan politik di Lebanon
1.7.4
Dampak strategi Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel terhadap gejolak politik di Suriah adalah : 1.7.4.1 Semakin meningkatnya upaya AS dan sekutunya untuk melakukan intervensi militer, dan menuntut mundurnya Presiden Bashar alAssad, serta semakin kuatnya dukungan Rusia, dan China. 1.7.4.2 Pemutusan hubungan kerja sama Turki dengan Suriah yang mulai erat di bidang politik, ekonomi, dan militer. 1.7.4.3 Semakin memudahkan Israel, dan sekutunya untuk menghentikan dukungan Suriah terhadap kelompok-kelompok perlawanan. 1.7.4.4 Semakin mudahnya AS, dan sekutunya untuk memetakan kembali kekuatan militer di Timur Tengah, demi kepentingan Israel.
1.8
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif-eksplanatif dengan
menggunakan data kualitatif, dan data kuantitatif yang dimuat dalam tabel.. Metode ini bertujuan untuk menjelaskan, dan menelaah fenomena yang terjadi berkaitan dengan strategi Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel sejak tahun 1991 hingga tahun 2013 pada masa Presiden Hafiz al-Assad, dan Presiden Bashar al-Assad
25
serta menjelaskan implikasi dari strategi Suriah tersebut berkaitan dengan terjadinya pergolakan senjata yang terjadi pada mulai Maret 2011.
1.8.1
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode Library
Research (Studi Kepustakaan). Metode Studi kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan dokumen-dokumen yang sekiranya dapat dipergunakan untuk mengupas, dan mengeksplorasi masalah yang diambil dari buku, jurnal, majalah, koran, dan situs-situs kajian yang diakses melalui internet serta sumber-sumber lainnya yang diangggap relevan. Diharapkan dengan teknik pengumpulan data ini, maka penulis dapat menemukan data-data, dan fakta-fakta yang relevan untuk menelaah, dan menjelaskan serta menjawab rumusan-rumusan masalah.
1.8.2
Teknik Analisis Data Data-data yang diperoleh dikelompokan secara sequent analysis data, data
diolah sebagai suatu rangkaian/urutan peristiwa penting yang terjadi dalam suatu waktu. Peristiwa internasional yang terjadi dalam suatu kejadian adalah untuk menganalisis, dan menjelaskan kondisi internasional yang diamati di masa lampau. Menganalisis peristiwa-peristiwa penting yang terjadi atas strategi Suriah dalam menghadapi konflik dengan Israel pada masa Presiden Hafiz al-Assad, dan kemudian pada masa Presiden Bashar al-Assad, dan berlanjut pada dampak strategi Suriah dalam menghadapi konflik dengan pergolakaan yang terjadi di Suriah.
*****