STRATEGI AMERIKA SERIKAT DALAM MERESPON KONFLIK SURIAH-ISRAEL PERIODE 2002-2008
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh: Andhini Citra Pertiwi 109083000064
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
ABSTRAK
Skripsi ini membahas serta menganalisa strategi yang ditempuh Amerika Serikat dalam merespon konflik Suriah dan Israel pada periode 2002-2008. Penelitian ini menggunakan teori Regional Security Complex, konsep strategi Balance of Power dan kepentingan nasional. Amerika Serikat menempuh langkah-langkah yang kontradiktif dalam kasus ini, karena memilih strategi yang konfrontatif dan kooperatif. Strategi Amerika Serikat dalam merespon Konflik Suriah – Israel tahun 2002 – 2008 didasari oleh National Security Strategy tahun 2002 yang implementasinya adalah (1) mengadakan pembicaraan damai yaitu Konferensi Jenewa dan Konferensi Anapolis; (2) mengadakan kerjasama kontra terorisme; (3) memberikan bantuan ekonomi dan militer kepada Suriah dan Israel; (4) mengeluarkan Syria Accountability Act; (5) menutup Kedutaan Besar AS di Suriah; (6) mendukung tindakan konfrontatif Israel atas Suriah. Strategi ini ditempuh untuk mencapai kepentingan nasional AS, adanya Doktrin Bush dan menjaga balance of power di Timur Tengah.
KEYWORDS: BALANCE OF POWER; BUSH DOCTRINE; NATIONAL INTEREST; US NATIONAL SECURITY STRATEGY; NEOCONSERVATIVE; REGIONAL SECURITY COMPLEX; STRATEGY; SYRIA ACCOUNTABILITY ACT;
iv
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirrobilalamin, puji syukur akan selalu penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmat, kasih sayang dan ridha-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial di Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Sholawat dan salam pun selalu tercurah kepada baginda Rasulullah SAW, suri tauladan terbaik sepanjang masa yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman terang dengan cahaya Al Quran. Penulis juga ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada lima sosok manusia yang paling penting dalam hidup penulis yaitu Mama Krisna Sesnita, Papa Iswandi Taruhun, Abang (alm) Zacky Yudha Perwira, Abang Andhika Yudha Perwira dan Adek Umar Mursid yang senantiasa mendoakan, menemani dan berjuang bersama penulis. Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi yang berjudul “Strategi Amerika Serikat dalam Merespon Konflik Suriah-Israel Periode 2002 – 2008” adalah berkat adanya bimbingan, arahan, bantuan, dukungan dan doa yang diberikan oleh berbagai pihak kepada penulis. Untuk itu dengan ketulusan hati penulis ingin menghanturkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ibu Debbie Affianty M.Si, Kepala Jurusan HI UIN Jakarta sekaligus pembimbing skripsi yang luar biasa bagi penulis. Terimakasih yang setulus-tulusnya karena telah membimbing dan mendidik penulis dengan penuh kesabaran, kepedulian, kecerdasan dan kebijaksanaan. Bahkan saat sakit, beliau masih mengingat janji konsultasi dengan penulis. Penulis juga memohon maaf yang sebesar-besarnya jika selama proses pembuatan skripsi ini, seringkali merepotkan dan mengecewakan beliau. Penulis benar-benar bersyukur dapat dibimbing oleh pendidik sehebat beliau. 2. Bapak Dr. Basham Al Khatib Charge d’Affaires Republik Arab Suriah untuk Indonesia, yang telah berbaik hati menyediakan waktu (dan kopi Suriah) untuk wawancara yang telah membuka wawasan penulis dalam memandang permasalahan penelitian serta memberikan nasehat kepada penulis untuk menjadi scholars muslim yang kritis terhadap tiap informasi. 3. Ayahanda Drs. Armein Daulay M.Si, atas semua ilmu, nasehat dan perhatian yang diberikan kepada penulis selama ini. 4. Bapak Agus Nilmada M.Si selaku Sekretaris Prodi HI FISIP UIN serta Bapak dan Ibu Dosen Prodi Hubungan Internasional atas ilmu, nasehat dan motivasinya selama ini. Semoga penulis dapat terus mengamalkan ilmu yang telah diberikan, sehingga dapat menjadi amal jariyah yang tak terputus bagi Bapak dan Ibu. Terimakasih juga kepada Pak Jajang yang v
telah membantu kebutuhan administrasi penulis selama ini. Terimakasih juga kepada seluruh civitas akademika dan staf serta karyawan FISIP UIN Jakarta terutama Mbak Reni. 5. Mbak Endang dari Information Research Center US Embassy Jakarta, segenap staf Perpustakaan Ali Alatas Kementerian Luar Negeri RI dan staf Perpustakaan Utama UIN Jakarta yang sangat membantu dalam proses pengumpulan data-data skripsi ini. 6. Ibunda Ir. Yarsi Berlianti, terimakasih atas dukungannya kepada penulis selama ini. 7. Segenap keluarga besar Kamil dan keluarga besar Taruhun yang telah mencurahkan kasih sayang dan dukungan kepada penulis. Serta kepada Ibunda Marhamah yang selalu menyemangati dan memberikan inspirasi kepada penulis 8. Mbak Suhati atas segala nasehat serta dedikasinya dalam menyiapkan makanan yang bergizi dan membersihkan rumah sehingga penulis nyaman dan sehat dalam mencari ilmu dan mengerjakan skripsi. 9. Nekad Travelers: Marina Ika Sari, Mirna Asnur, Dyah Widowati Kusumaningputri dan Putri Sri Tanjung yang telah menjadi saudari terbaik penulis sehingga hari-hari penulis sebagai mahasiswa sangat seru dan berwarna. 10. Sahabat-sahabat tersayang penulis: Elhumairoh Wijaya, Dwi Cahya Yuliani, Aisyah Kemala, Mely Chintya Devi, Norman Hendrawan Gultom dan Nuzulul Dina atas kebersamaan dan motivasinya agar penulis segera lulus. 11. Fuzi Fauziah, yang telah membantu dan memotivasi penulis dalam proses pengesahan skripsi ini. 12. Teman-teman HI 2009 terimakasih untuk kebersamaannya selama ini khususnya untuk kelas B: Dani, Dewi, Dwita, Anggi, Fadhli, Fajar, Valdy, Ismet, Satria, Dafi, Bagus, Dimas, Risky, Eka, Rajif, Edwin, Heri, Nabiel, Farhan, Noufal, Imam, Aziz, Fajri, Imi. 13. Kakak-kakak HI Angkatan 2007 sampai adik-adik HI angkatan 2011 terutama Peni, Detty, Isti, Mila dan Shofi serta seluruh civitas akademika yang tidak penulis sebutkan disini tetapi akan terus penulis ingat eksistensinya. 14. Pengurus Ikatan Pelajar Muhammadiyah Cabang Pamulang dan IPM Tangerang Selatan Periode 2012 – 2014, tempat penulis banyak belajar tentang hidup. 15. Kepada kucing dan kelinci penulis yang selalu menemani penulis begadang saat mengerjakan skripsi dan tugas – tugas kuliah. Juga kepada brownies, beatypink dan si Putih yang setia menemani.
vi
Terakhir dan yang paling spesial, terima kasih sedalam-dalamnya kepada partner terbaik penulis, Indra Ramadhan yang selalu berada di sisi penulis dalam suka maupun duka serta menjadi sharing partner dan think tank yang bijaksana dalam menghadapi berbagai dinamika hidup. Serta kepada keluarganya: Ibu, Bapak dan Adek yang warm dan sangat baik kepada penulis. Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini belumlah sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang konstruktif akan sangat penulis hargai untuk proses penyempurnaan tulisan ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah khazanah ilmu pengetahuan hubungan internasional khususnya dalam ranah strategi. Nuun Wal Qolami Wamaa Yasthuruun Pondok Petir, 28 November 2014 Penulis, Andhini Citra Pertiwi
vii
DAFTAR ISI ABSTRAK..................................................................................................................iv KATA PENGANTAR.................................................................................................v DAFTAR ISI.............................................................................................................viii DAFTAR TABEL......................................................................................................xi DAFTAR ILUSTRASI..............................................................................................xii DAFTAR SINGKATAN..........................................................................................xiii DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................................xv BAB I
: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah..................................................................1 1.2 Pertanyaan Penelitian.......................................................................6 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................................6 1.4 Tinjauan Pustaka ...........................................................................6 1.5 Kerangka Teoritis 1.5.1 Teori Regional Security Complex.....................................9 1.5.2 Strategi..............................................................................9 1.5.2 Kepentingan Nasional………………………………..…….12 1.5.3 Balance of Power…………………………………...….14 1.6 Metode Penelitian …………………………………………….....16 viii
1.7 Sistematika Penulisan…………………………………………....17 BAB II
: STRATEGI AS DALAM MERESPON KONFLIK SURIAH DAN ISRAEL PERIODE 2002 – 2008 2.1 Posisi AS di Timur Tengah………………………………………20 2.2 Strategi AS dalam Merespon Konflik Suriah – Israel Periode 2002 – 2008…………………………………………………......25 2.2.1 Strategi Kooperatif AS dalam merespon Konflik Suriah – Israel Periode 2002 – 2008………………………….....27 2.2.2 Strategi Konfrontatif AS dalam merespon Konflik Suriah- Israel periode 2002 – 2008………………………….35
BAB III
: KONFLIK SURIAH DAN ISRAEL PERIODE 2002 - 2008 3.1 Sejarah Konflik Suriah dan Israel ……………………………….40 3.2 Okupasi dan Aneksasi Dataran Tinggi Golan……………….......41 3.3 Konflik Perbatasan…………………………………………….....48 3.4 Konflik Pengaruh antara Suriah dan Israel di Lebanon……….....52 3.5 Aliansi Suriah dengan Iran dan Hizbullah…………………....56
ix
BAB IV : ALASAN AS MENJALANKAN BEBERAPA STRATEGI UNTUK MERESPON
KONFLIK
SURIAH
DAN
ISRAEL
PERIODE 2002 – 2008 4.1 Mencapai Kepentingan Nasional di bidang Ekonomi, Kesehatan dan Keamanan melalui Inovasi IPTEK …………………………70 4.2 Pengaruh dari Doktrin Bush……………………………………..75 4.3 Menciptakan Balance of Power di Timur Tengah………………86 BAB V
: KESIMPULAN……………………………………………………92
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................xv LAMPIRAN – LAMPIRAN.............................................................................................xxxiii
x
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Perbandingan Supply Minyak Timur Tengah dengan Supply Minyak Dunia Periode 2002 – 2008……………………………………….......... .............20 Tabel 2.2 Lima Negara Donor Terbesar di Timur Tengah Periode 2002 – 2008……23 Tabel 2.3 Sepuluh Negara yang Mendapatkan Bantuan Keuangan Terbesar dari AS Tahun 2008……………………………………………………………......................30 Tabel 2.4 Bantuan Luar Negeri AS kepada Negara Arab periode 1946 – 2010……..31 Tabel 2.5 Peningkatan Bantuan Militer AS kepada Israel Periode 2006 – 2008…....32 Tabel 3.1 Perbandingan Perolehan Suara Koalisi March 8 dan March 14………….59 Tabel 4.1 Perdagangan AS – Suriah tahun 2006-2007................................................69 Tabel 4.2 Nilai Ekspor dan Impor AS – Israel Periode 2002 – 2008………………..70 Tabel 4.3 Ilustrasi Hubungan antara Prinsip Neokonservatisme dalam Pembuatan Kebijakan Luar Negeri AS, Doktrin Bush dan National Security Strategy 2002…...80 Tabel 4.4 Military Balance Anggaran Militer Israel dan Suriah…………………….89
xi
DAFTAR ILUSTRASI Ilustrasi 1.1 Model Strategi Art Lykke…………………………………………........10 Ilustrasi 2.1 Diagram Distribusi Bantuan Regional AS Tahun 2004………………..24 Ilustrasi 3.1 Peta Dataran Tinggi Golan……………………………………………..43 Ilustrasi 3.2. Penetapan Garis Perbatasan 1923, 1949 dan 1967………………........51 Ilustrasi 3.3 Pembagian Wilayah Suriah – Israel sesuai Resolusi DK PBB nomor 350 Tahun 1974 …………………………………………………………....51 Ilustrasi 4.1 Hubungan antara Prinsip Neokonservatisme, Doktrin Bush dan National Security Strategy 2002…………………………………………....……79
xii
DAFTAR SINGKATAN
AIPAC
: American Israel Public Advisory Committee
AS
: Amerika Serikat
BoP
: Balance of Power
DK PBB
: Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa
FMF
: Foreign Military Financing
PBB
: Prserikatan Bangsa Bangsa
PM
: Perdana Menteri
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Wawancara dengan Charge d’Affaires Suriah untuk Indonesia……xxxiii
xiv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Skripsi ini membahas strategi Amerika Serikat dalam merespon konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008. Republik Arab Suriah (Al-Jumhūriyyah alArabiyyah as-Sūriyyah) dan Israel (Medīnat Yisrā'el) adalah dua negara yang berada di Asia Barat. Sejarah kedua negara ini berawal dari kekalahan Kerajaan Ottoman di Perang Dunia I tahun 1918. Kerajaan Otoman adalah kerajaan yang berpusat di Anatolia (saat ini Turki) dan mendominasi Timur Tengah, Afrika Utara dan Eropa bagian tenggara di abad ke-15 sampai ke-16 (Chary 2009:587). Kekalahan Kerajaan Ottoman dalam Perang Dunia I menyebabkan wilayahwilayah Kerajaan Ottoman dikuasai oleh dua negara pemenang Perang Dunia I yaitu Perancis dan Inggris (Smith dan Youngs 2010:2). Melalui Perjanjian Sykes – Picot 1916, Perancis menguasai Suriah dan Lebanon. Di sisi lain, Inggris menguasai Yordania (yang kemudian dibagi menjadi Palestina dan Israel) dan Irak (Philips 2010:39). Liga Bangsa-bangsa mengesahkan hasil perjanjian Sykes Picot secara resmi pada tahun 1922 (Philips 2010:40). Pada 1944 Suriah memproklamirkan kemerdekaan dari Perancis (Philips 2010:41). Kemudian tahun 1958 Suriah bergabung dengan Mesir membentuk United Arab Republic, namun pada 1961 United Arab Republic terpecah lagi dan Suriah kembali menjadi Republik Arab Suriah (Philips 2010:44). Sedangkan Inggris melalui Deklarasi Balfour 1917 membuka peluang berdirinya Negara
1
2
Yahudi di tanah Palestina. Hal ini diperkuat dengan dikeluarkannya Resolusi 181 oleh Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang pembagian wilayah Palestina menjadi Israel, Palestina dan Kota Yerussalem yang berada di bawah administrasi PBB. Pada 14 Mei 1948, sehari sebelum mandat Inggris berakhir, Israel mendeklarasikan kemerdekaannya (Zannoti 2012:2). Negara-negara Arab termasuk Suriah tidak setuju dengan kemerdekaan Israel di atas tanah Palestina dan hendak mengagalkan pembentukan negara Israel, oleh karena itu mereka menyerang Israel pada tahun 1948. Peristiwa ini dikenal dengan Perang Arab – Israel I. Negara-negara Arab mengalami kekalahan dalam perang ini karena Israel mendapatkan bantuan dari Amerika Serikat (AS) (Foundation for Middle East Peace 1992:1). Kemudian Suriah dan negara-negara Arab menyerang Israel lagi di tahun 1967. Pada perang Arab – Israel II ini, negara-negara Arab kembali mengalami kekalahan karena alasan yang sama bahkan Israel berhasil mengokupasi beberapa wilayah Arab seperti Dataran Tinggi Golan (dari Suriah), Semenanjung Sinai (dari Mesir), Tepi Barat dan Gaza (menurut Resolusi 181 masuk dalam wilayah Palestina) (Foundation for Middle East Peace 1992:1). Negara-negara Arab kembali menyerang Israel di tahun 1974 untuk merebut daerah-daerah yang diokupasi dalam Perang 1967, namun kembali gagal karena Israel tetap dibantu oleh AS. Negara-negara Arab yang mayoritas merupakan anggota Organization Petroleum Exporting Country (OPEC) melakukan embargo minyak sebagai
3
bentuk protes kepada AS dan Israel. Embargo yang dilakukan dari tahun 1973 – 1975 ini menyebabkan kenaikan harga minyak dunia dari 17.000 dollar AS per barel pada tahun 1973 menjadi 53.940 dollar AS perbarel pada tahun 1974. Kenaikan tajam harga minyak dunia ini menyebabkan resesi global (Darmstadter 2013:4). Pada 1975, Presiden AS Richard Nixon mempertimbangkan strategi agar negara-negara Arab menghentikan embargonya. Presiden AS Richard Nixon memutuskan bahwa strategi yang paling tepat adalah dengan melibatkan diri dalam proses perdamaian Arab – Israel (history.state.gov). Strategi ini berhasil menghentikan embargo pada tahun 1975 dan membuat Israel – Mesir mencapai kesepakatan damai di tahun 1984. Israel setuju mengembalikan Semenanjung Sinai kepada Mesir dan Mesir setuju untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel (history.state.gov). Sedangkan proses perdamaian Suriah – Israel tidak berjalan dengan signifikan. AS hanya berhasil memimpin kesepakatan gencatan senjata Suriah – Israel tahun 1974. Padahal AS meyakini bahwa Suriah adalah negara penentu terciptanya perdamaian di Timur Tengah sebagaimana pendapat Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger: “No war is possible without Egypt and no peace is possible without Syria” (Tidak akan ada perang tanpa Mesir dan tidak akan ada perdamaian tanpa Suriah) (Daoudy 2008:1). Signifikansi Suriah sebagai penentu perdamain di Timur Tengah adalah karena secara geostrategis Suriah berbatasan langsung dengan Israel dan secara
4
ideologis, Suriah adalah penyeru Pan Arabisme bersama Mesir sehingga menjadi inisiator bagi negara-negara Arab saat berperang melawan Israel. Pan Arabisme menurut Adeed Dawisha dalam Danielson (2007:18) adalah kesatuan politik di antara negara-negara Arab yang berada di Timur Tengah. Maksud kesatuan politik ini adalah adanya hubungan politik-budaya yang membuat negara-negara Arab saling bekerjasama di bidang ekonomi, sosial, politik serta dalam hal mendukung atau menolak suatu isu di kawasan. Arti penting Suriah membuat AS berusaha terus memimpin proses perdamaian Suriah – Israel dengan meletakkan dasar perdamaian Suriah – Israel pada Konferensi Madrid 1991. Presiden AS saat itu, Presiden George H.W Bush menyusun kerangka perdamaian berdasarkan Resolusi DK PBB Nomor 232 dan 338 dan prinsip land for peace (tanah untuk perdamaian) (Migdalovitz 2010:5). Proses ini terus berlanjut dan menemui titik terangnya pada Pertemuan Oslo tahun 1993 ketika Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin berjanji untuk mematuhi resolusi tersebut dengan menyerahkan Dataran Tinggi Golan kepada Suriah sesuai dengan garis batas 1967. Janji PM Rabin ini dikenal dengan istilah Rabin Deposit (Daoudy 2008:1). Pembicaraan damai selanjutnya membahas implementasi Rabin Deposit namun terdapat sebuah tantangan dalam perkembangan implementasi Rabin Deposit karena PM Rabin dibunuh pada tahun 1995. PM Shimon Peres yang menggantikan PM Rabin menolak merealisasikan Rabin Deposit namun tetap ingin melanjutkan proses perdamaian. Proses perdamaian terus dilanjutkan sampai
5
tahun 2000 namun tidak mencapai titik temu dalam hal perbatasan dan pengaturan keamanan (Daoudy 2008:14). Pasca terhentinya proses perdamaian Suriah – Israel pada tahun 2000, AS tidak melanjutkan proses perdamaian sampai terjadi peristiwa 9/11 tahun 2001. Pasca 9/11 AS mengeluarkan National Security Strategy tahun 2002 yang berisi landasan strategi AS dalam memandang dinamika hubungan internasional. Salah satu isinya adalah tentang bagaimana AS merespon konflik regional untuk mencapai perdamaian (US National Security Strategy 2002). Landasan strategi ini berbeda dengan strategi yang sebelumnya diterapkan oleh Presiden Bill Clinton yang selalu bersifat kooperatif dalam merespon konflik Suriah – Israel yaitu melalui pembicaraan damai. Amerika Serikat pada periode 2002 – 2008 menerapkan strategi yang terkadang kooperatif dan terkadang bersifat konfrontatif dalam merespon Konflik Suriah – Israel. Contohnya pada tahun 2003 dan 2007 AS mengadakan pembicaraan damai namun pada tahun yang sama (2003) mendukung serangan Israel ke penampungan pengungsi Palestina di Suriah. Pada tahun 2007 Israel melakukan serangan ke lokasi yang diduga pengembangan reaktor nuklir Suriah (www.bbc.com edisi 16 september 2014). Strategi AS yang terkadang kooperatif dan terkadang konfrontatif dalam merespon konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008 menyebabkan tidak ada perkembangan berarti dalam proses perdamaian Suriah – Israel. Strategi kontradiktif seperti apa yang digunakan AS dalam merespon konflik Suriah – Israel dan mengapa AS memilih strategi tersebut merupakan permasalahan yang menarik untuk diteliti.
6
Periode 2002 - 2008 dipilih pasca kegagalan AS dalam memimpin diplomasi perdamaian Suriah – Israel sejak Konferensi Madrid tahun 1991 sampai Inisiasi Jenewa tahun 2000. Penelitian ini dimulai pada tahun 2002 karena AS mengeluarkan National Security Strategy sebagai landasan baru kebijakan luar negerinya. Penelitian ini tidak mengambil periode kontemporer karena diplomasi perdamaian Suriah – Israel mulai ditangani Turki pada akhir 2008. Adapun peran AS pada masa kontemporer hanya menangani konflik domestik Suriah. 1.2 Pertanyaan Penelitian Penelitian ini akan menjawab pertanyaan penelitian: Mengapa AS memilih menggunakan beberapa strategi dalam merespon Konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui strategi yang dilakukan AS dalam merespon konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008 2. Untuk mengetahui mengapa AS melakukan strategi yang kontradiktif dalam merespon Konflik Suriah – Israel periode 2002 - 2008 Sedangkan manfaat penelitian ini adalah sebagai rujukan bagi penelitian selanjutnya yang terkait dengan strategi AS dalam merespon konflik Suriah dan Israel.
7
1.4 Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai strategi Amerika Serikat dalam merespon konflik Suriah - Israel telah dilakukan oleh Windratmo Suwarno dalam sebuah artikel di Jurnal CMES Volume V Nomor 1 Edisi Juli-Desember 2012, Pusat Studi Timur Tengah, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Artikel ini berjudul Mediasi dalam Hukum Internasional Studi Kasus: Mediasi AS dalam kasus Suriah – Israel tahun 1991-2000. Menurut Suwarno (2011:2) perundingan yang dimulai sejak tahun 1991 hingga tahun 2000 yang dilakukan melalui mediasi AS tidak dapat mencairkan ketegangan hubungan antara kedua negara. Suwarno menggambarkan peran mediasi AS dalam perundingan damai Suriah – Israel dan menjelaskan konsensi-konsensi yang diberikan kedua belah pihak dalam mencapai kesepakatan sesuai dengan hukum internasional (Suwarno 2012:18). Pembeda antara penelitian Suwarno dan penelitian ini adalah dari segi tahun penelitian dan kerangka pemikiran yang digunakan. Penelitian Suwarno periode 1991 – 2000 sedangkan penelitian ini mengambil rentan waktu 2002 – 2008. Suwarno menggunakan konsep mediasi, sedangkan skripsi ini menggunakan teori strategi, konsep balance of power dan konsep kepentingan nasional. Selanjutnya penelitian tentang Konflik Israel – Suriah juga dilakukan oleh Ruth Silaen dari Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” tahun 2011. Skripsi ini berjudul “Latar Belakang Israel mempertahankan Dataran Tinggi Golan pada masa pemerintahan Perdana Menteri (PM) Benyamin Netanyahu”. Skripsi ini menggunakan teori pembuatan keputusan dan konsep geopolitik. Kesimpulan penelitian tersebut adalah Perdana Menteri Benyamin Netanyahu
8
menunjukkan respon yang berbeda dengan pendahulunya. Jika Perdana Menteri (PM) Israel sebelumnya menerima tawaran untuk melepaskan Dataran Tinggi Golan, PM Benjamin Netanyahu menolak untuk melepaskan Dataran Tinggi Golan (Silaen 2011:11). Pembeda penelitian Ruth Silaen dengan penelitian ini adalah subjek penelitian. Subjek penelitian Ruth Silaen adalah Israel pada masa PM Netanyahu sedangkan subjek penelitian ini adalah Amerika Serikat tahun 2002-2008. Selain itu penelitian Ruth Silaen menggunakan teori pembuatan keputusan dan konsep geostrategis sedangkan penulis menggunakan teori strategi, konsep balance of power dan konsep kepentingan nasional untuk menjawab pertanyaan penelitian. Penelitian tentang Dataran Tinggi Golan juga dilakukan oleh Stale Bie dalam disertasinya di Universitetet I Oslo tahun 2012. Disertasi ini berjudul “Analisa Komparatif Negosiasi Israel dari Sinai ke Dataran Tinggi Golan”. Penelitian ini menganalisa mengapa Semenanjung Sinai bisa dikembalikan kepada Mesir melalui perjanjian damai sedangkan Suriah yang tidak membuat perjanjian damai mengklaim memiliki Dataran Tinggi Golan. Hasilnya adalah tiga faktor penjelas dari hasil perundingan damai Israel – Suriah tahun 1991 -2000. Pertama mengenai taktik negosiasi; kedua, peran mediator; dan ketiga, opini publik Israel (Bie 2012:5). Pembeda penelitian Bie dengan penelitian ini adalah secara objek penelitian, Bie mengambil studi komparasi antara negosiasi Israel – Mesir dengan negosiasi Israel – Suriah. Sedangkan objek penelitian ini adalah strategi AS dalam merespon konflik Suriah – Israel. Selanjutnya penelitian Bie menggunakan teori
9
negosiasi untuk menjelaskan hasil negosiasi melalui tiga faktor: pertama, taktik negosiasi; kedua, peran AS sebagai mediator; ketiga, opini publik Israel. Sedangkan skripsi ini menggunakan teori regional security complex, strategi, konsep balance of power dan konsep kepentingan nasional. 1.5 Kerangka Pemikiran Penelitian ini akan mengeksplorasi strategi yang dilakukan oleh AS dalam merespon konflik Suriah – Israel dan mengapa AS melakukan strategi tersebut. Oleh karena itu penelitian ini menggunakan kerangka pemikiran: (1) teori regional security complex; (2) strategi; (3) balance of power dan (4) kepentingan nasional. 1.5.1 Teori Regional Security Complex Menurut Buzan dan Waever (2003:40-44) security complex adalah kelompok negara-negara yang memiliki fokus isu keamanan yang sama sehingga kepentingan nasional di bidang keamanannya tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain. Teori ini memiliki akar konstruktivis karena mengamati pola pertemanan (amity) dan permusuhan (enmity) dalam sistem regional. Teori ini menunjukan bahwa sistem regional bergantung pada aksi dan interpretasi aktor tidak hanya sekedar refleksi dari balance of power. 1.5.2 Strategi Menurut Harry R. Yarger (2006:1) strategi adalah seni dan ilmu dalam membangun dan menggunakan power di bidang politik, ekonomi, sosiopsikologis dan militer. Strategi diimplementasikan melalui arah kebijakan untuk
10
menjaga dan mencapai kepentingan nasional. Strategi erat kaitannya dengan perilaku negara dan aktor lainnya serta bagaimana negara merespon suatu keadaaan. Menurutnya, strategi adalah keserasian antara tujuan/hasil (ends), konsep strategi/ rangkaian aksi (ways) dan sumberdaya (means). Menurut Axelrod dan Keohane (1985:226-227), politik internasional tidak selalu berkaitan dengan perang antar negara melainkan tentang kerjasama antar negara dalam berbagai isu dalam jangka waktu tertentu. Kerjasama ini disebabkan adanya persamaan kepentingan, prediksi masa depan dan jumlah aktor dalam politik internasional. Lebih jauh menurut Axelrod dan Keohane (1985:226-227) strategi suatu negara berfokus pada interaksi antar negara dan usaha negaranegara dalam membangun institusi yang memiliki prinsip, norma, nilai dan prosedur tertentu dalam mengatur hubungan internasional. Sedangkan Mearsheimer dalam Toft (2003:7) melihat tujuan dari tiap negara adalah mencapai hegemon. Kondisi geografis dunia yang dibatasi oleh perairan membuat hegemoni global sulit dicapai. Oleh karena itu great power berusaha mencapai hegemoni regional. Menurut Mearsheimer ada dua strategi untuk mencapai hegemoni regional: pertama secara langsung yaitu dengan menambah power dan kedua secara tidak langsung yaitu dengan mencegah negara revisionis menambah power nya (Toft 2003:4). Revisionis adalah negara yang berusaha mengubah status quo yang dibuat oleh great power dengan cara mengubah garis territorial internasional, ideologi atau distribusi power dalam sistem global atau regional untuk mencapai kepentingan nasionalnya (Plano dan Olton 1999:16).
11
Amerika Serikat menggunakan Model Strategi Art Lykke yang dibuat oleh Kolonel Arthur Lykke pada tahun 1989. Model Strategi Art Lykke menitikberatkan empat hal dalam menentukan sebuah strategi yaitu ends (tujuan/hasil), ways (konsep strategi/ rangkaian aksi), means (sumberdaya) dan risk (resiko). Tujuan (ends) selalu menjawab pertanyaan apa yang ingin dicapai, konsep (ways) menjawab pertanyaan bagaimana sumberdaya digunakan. Sumberdaya (means) menjelaskan apa yang akan digunakan untuk mengeksekusi konsep. Resiko (risk) adalah jarak antara apa yang ingin diraih, konsep dan sumberdaya yang tersedia dengan tujuan yang ingin dicapai. Hubungan antara tujuan (ends), konsep (ways), sumberdaya (means) dan resiko (risk) terlihat dalam ilustrasi berikut (Bartholomees 2010:49-50). Ilustrasi 1.1 Model Strategi Art Lykke Strategi Sumberdaya
Konsep
Tujuan
Resiko Sumber: Diolah dari Bartholomees (2010:48) Tujuan
mengekspresikan
kepentingan
nasional
contohnya
seperti
menciptakan stabilitas regional. Konsep harus berupa petunjuk pelaksanaan tentang bagaimana sumberdaya akan digunakan contohnya konsep penangkalan. Sumberdaya adalah sesuatu yang bersifat fisik dan dapat dihitung seperti tentara,
12
persenjataan, sumberdaya organisasi seperti NATO dan Palang Merah Internasional. Means merupakan hal-hal yang tidak terlihat seperti keinginan, kapasitas industri dan intelektual. Keseimbangan antara tujuan, konsep dan sumberdaya akan meminimalisir resiko, sedangkan ketidak-seimbangan antara ketiganya akan mengakibatkan resiko kegagalan sebuat strategi semakin besar (Bartholomees 2010:49-50). Kalkulasi yang baik antara ends, ways dan means hanya bisa diperoleh melalui strategic appraisal (taksiran strategi). Fungsi strategic appraisal adalah untuk menghitung (secara kuantitas) dan menilai (secara kualitas) apa yang diketahui, apa yang tidak diketahui dan apa yang penting bagi AS (Bartholomees 2010:53). Model Strategi Art Lykke dan strategic appraisal inilah yang akan digunakan untuk menganalisa alasan AS dalam memilih strategi tertentu dalam merespon Konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008. 1.5.3 Kepentingan Nasional Menurut Morgenthau dalam Roskin (1994:5-6) kepentingan nasional menurut kepentingannya terdiri dari vital dan sekunder. Kepentingan Vital adalah kepentingan yang berkaitan dengan kelangsungan hidup suatu negara, contohnya usaha negara untuk menjaga kedaulatan wilayahnya. Kepentingan sekunder adalah kepentingan yang tidak menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup suatu negara jika tidak tercapai contohnya ekspansi sumberdaya alam yang dilakukan suatu negara terhadap negara lain. Berdasarkan durasinya, kepentingan nasional terbagi menjadi temporer dan permanen. Kepentingan nasional temporer adalah yang bersifat sementara, contohnya dukungan AS terhadap Suriah dalam isu
13
teorisme. Sedangkan kepentingan permanen adalah kepentingan yang berlangsung dalam jang waktu yang lama seperti kepentingan AS untuk beraliansi dengan Israel. Berdasarkan
kekhususannya,
kepentingan
nasional
terbagi
menjadi
kepentingan nasional yang bersifat umum dan khusus. Contoh kepentingan yang bersifat umum adalah penerapan nilai-nilai AS seperti demokrasi secara universal. Contoh kepentingan yang bersifat khusus adalah meredam aliansi Iran – Suriah. Menurut
kesesuaiannya,
kepentingan
nasional
terbagi
menjadi
yang
komplementer dan konfliktual. Kepentingan nasional komplementer adalah kepentingan yang saling melengkapi, contohnya kerjasama AS dengan Suriah dan Israel dalam isu kontraterorisme. Sedangkan kepentingan konfliktual adalah kepentingan nasional yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya contohnya AS menginginkan perdamaian Suriah – Israel namun disisi lain AS ingin mengamankan eksistensi negara sekutunya yaitu Israel (Roskin 1994:5-6). Menurut U.S. Army War College kepentingan nasional terdiri dari keamanan nasional, promosi nilai-nilai nasional, kepentingan ekonomi dan menciptakan tatanan negara yang menguntungkan bagi negara tersebut (Bartholomees 2010:56). Definisi kepentingan menurut U.S Army War College inilah yang akan digunakan untuk memahami alasan AS memilih strategi tertentu dalam merespon konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008. Konsep kepentingan nasional digunakan untuk menjelaskan dua hal yang saling
berhubungan.
Di
satu
sisi,
kata
kepentingan
(interest)
14
mengimplementasikan kebutuhan yang sesuai dengan suatu standar yang telah disahkan, kemudian diklaim mengatasnamakan negara. Disisi lain, kepentingan nasional juga digunakan untuk menjelaskan dan mendukung suatu kebijakan. Kepentingan nasional bisa bersifat inklusif yaitu mengakomodir semua kelompok kepentingan atau setidaknya kelompok kepentingan terbesar yang ada di AS, contohnya kelompok neokonservatif. Selain itu kepentingan nasional juga bisa bersifat eksklusif yaitu tidak mempertimbangkan rekomendasi dari kelompok kepentingan di AS (Griffiths dan O’callaghan 2007:216-217). 1.5.4 Balance of Power (Perimbangan Kekuatan) Menurut Hans J. Morgenthau Balance of Power atau yang selanjutnya disebut sebagai BoP adalah aspirasi negara-negara untuk memperoleh power, mempertahankan atau menumbangkan status quo dan membuat konfigurasi power. Tujuan BoP menurut Morgenthau adalah untuk mencapai stabilitas sistem (Morgenthau 2010:199-200). Power menurut Gilpin dalam Sheehan (1996:15) adalah kemampuan aktor dalam mempengaruhi perilaku aktor lain. Menurut Paul, Wirtz dan Fortman (2004:2) BoP berasal dari strategi balancing yang dilakukan negara-negara di level sistemik (internasional) atau subsistemik (regional) sebagai hasil dari equilibrium power di antara negaranegara kunci. Tujuan dari balancing adalah untuk mencegah hegemon negara lain dan jika usaha pencegahan ini sukses artinya BoP telah tercipta dalam sistem internasional atau regional.
15
Menurut Miller dalam Paul, Wirtz dan Fortman (2004:240) BoP regional berdasarkan pada logika: pertama, BoP regional bergantung pada bagaimana great power berhubungan dengan sistem regional. Great Power mempengaruhi sistem regional karena kapabilitasnya yang superior dan memiliki sekutu yang kuat di regional. Great Power melakukan BoP dengan cara mendukung/mengembargo aktor di regional, memberikan bantuan ekonomi, investasi, sanksi dan transfer teknologi. BoP regional kemudian dapat mempengaruhi BoP global sehingga negara-negara great power berlomba untuk melalukan BoP regional untuk mencapai hegemoni global.
Kedua, setelah kompetisi BoP regional yang
dilakukan para great power, BoP regional akan terbentuk di antara negara-negara kawasan yang memiliki power lebih rendah dari great power dan usaha hegemoni global yang ingin dicapai sebuah negara great power akan gagal. Hasilnya tidak ada satupun great power yang menjadi hegemoni global namun hanya menjadi hegemoni regional. Ketiga, negara-negara yang tidak menjadi hegemon regional akan melakukan bandwagon dan negara yang menjadi hegemon regional akan melakukan balancing dari ancaman revisionis untuk menjaga status quo. Keempat, dalam konflik regional seperti ini negara-negara cenderung melakukan balancing kepada aktor lokal, khususnya negara revisionis. BoP menurut Paul et al. (2004:2) terbagi menjadi tiga, yaitu hard balancing, soft balancing dan assymetric balancing. Hard balancing adalah strategi yang menunjukan adanya rivalitas yang tinggi antar negara-negara dengan cara berlomba-lomba meningkatkan kapabilitas militernya dan membentuk aliansi formal serta aliansi perlawanan untuk mengimbangi kapabilitas negara lawan. Soft
16
Balancing adalah aliansi sembunyi-sembunyi yang berlangsung dalam jangka waktu singkat. Biasanya dilakukan dengan cara pembangunan militer terbatas, kerjasama yang bersifat ad hoc dan kolaborasi di institusi regional atau internasional. Assymetric balancing adalah usaha negara dalam melakukan balancing terhadap aktor non negara yang tidak memiliki kapabilitas militer konvensional dan melakukan ancaman secara tidak langsung contohnya seperti organisasi teroris. Analisa dalam skripsi ini akan menitikberatkan pada metode AS dalam menggunakan hard balancing di Timur Tengah. AS menjadikan Israel sebagai aliansinya di Timur Tengah. Menurut Liska dalam Shehaan (1996: 59), aliansi berperan penting untuk menghubungkan antara teori dan praktek dalam BoP serta menghubungkan kebijakan AS dan Israel dalam mempengaruhi sistem regional Timur Tengah. Aliansi dapat mendorong keseimbangan sejauh dapat mengatur power negara-negara yang potensial menjadi revisionis di Timur Tengah, seperti Suriah. 1.6 Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut Taylor dan Bogdan, penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang yang diteliti (Suyanto dan Sutinah 2007:166). Tahap-tahap penelitian kualitatif adalah menetapkan fokus penelitian dengan menggunakan logika induktif. Dalam hal ini fokus penelitian skripsi ini adalah strategi AS dalam merespon konflik Suriah – Israel periode 2002-2008.
17
Kedua, menentukan setting dan subjek penelitian, yaitu konflik Suriah – Israel tahun 2002 - 2008. Ketiga, tahap pengumpulan data dengan menggunakan metode wawancara dengan Kuasa Usaha Suriah untuk Indonesia yaitu Dr. Basham Al Khatib. Selain itu penelitian ini juga menggunakan metode penelusuran data (Bungin 2009:108). Data-data yang digunakan terdiri dari biografi, surat-surat pribadi, buku-buku, jurnal, catatan harian, memorial, kliping, dokumen pemerintah/swasta AS, Israel dan Suriah, data yang tersimpan di website pemerintah AS, Israel, Suriah dan PBB. Kemudian data-data ini juga diperoleh dari studi pustaka di Information Research Center (IRC) US Embassy Jakarta, Perpustakaan Ali Alatas Kementerian
Luar
Negeri
Republik
Indonesia,
Perpustakaan
Pusdiklat
Kementrian Luar Negeri Indonesia dan Perpustakaan Utama UIN Jakarta. Tahap selanjutnya adalah melakukan pengolahan dan analisa data (Suyanto dan Sutinah 2007:170-175). Penelitian ini mengelaborasi latar belakang keterlibatan AS dalam konflik Israel-Suriah, strategi AS dalam merespon konflik Israel – Suriah dan mengapa strategi AS terkadang bersifat koperatif , terkadang konfrontatif (kontradiktif). Kemudian menganalisa dengan kerangka pemikiran teori regional security complex, strategi, kepentingan nasional dan balance of power. Tahap penyajian data yaitu penelitian disajikan dalam bentuk kata-kata untuk membagi pemahaman peneliti mengenai penelitiannya kepada orang lain (Suyanto dan Sutinah 2007:170-175).
18
1.7 Sistematika Penulisan BAB I
: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1.2 Pertanyaan Penelitian 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4 Tinjauan Pustaka 1.5 Kerangka Teoritis 1.5.1 Teori Regional Security Complex 1.5.2 Strategi 1.5.3 Kepentingan Nasional 1.5.4 Balance of Power 1.6 Metode Penelitian 1.7 Sistematika Penulisan
BAB II
: STRATEGI AS DALAM MERESPON KONFLIK SURIAHISRAEL PERIODE 2002 – 2008 2.1 Posisi AS di Timur Tengah 2.2 Strategi AS dalam Merespon Konflik Suriah – Israel Periode 2002 – 2008 2.2.1 Strategi Kooperatif AS dalam merespon Konflik Suriah – Periode 2002 – 2008 2.2.2 Strategi Konfrontatif AS dalam merespon Konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008
BAB III
: KONFLIK SURIAH – ISRAEL PERIODE 2002 – 2008 3.1 Sejarah Konflik Suriah dan Israel 3.2 Okupasi dan Aneksasi Dataran Tinggi Golan
19
3.3 Konflik Perbatasan 3.4 Konflik Pengaruh antara Suriah dan Israel di Lebanon 3.5 Aliansi Suriah dengan Iran dan Hizbullah BAB IV : ALASAN AS MENJALANKAN BEBERAPA STRATEGI UNTUK MERESPON KONFLIK SURIAH – ISRAEL PERIODE 2002 – 2008 4.1 Mencapai Kepentingan Nasional di bidang Ekonomi Kesehatan dan Keamanan melalui Inovasi IPTEK 4.2 Pengaruh dari Doktrin Bush 4.3 Menciptakan Balance of Power di Timur Tengah BAB V
: KESIMPULAN
BAB II STRATEGI AMERIKA SERIKAT DALAM MERESPON KONFLIK SURIAH- ISRAEL PERIODE 2002 – 2008 2.1 Posisi Amerika Serikat di Timur Tengah Timur Tengah merupakan terminologi yang diberikan oleh Eropa untuk mendeskripsikan kawasan geografis antara Eropa dan Asia Timur Jauh. Negaranegara Timur Tengah yang sebagian besar termasuk dalam Benua Asia namun sebagian lain masuk dalam Benua Afrika Utara (Owen 2008:1). Jumlah negara Timur Tengah menurut website resmi Central Intelligence Agency (CIA) berjumlah 17 negara ditambah 2 wilayah yaitu Gaza dan Tepi Barat (cia.gov). Signifikansi Timur Tengah adalah letaknya yang strategis di antara Eropa dengan Asia sehingga menjadi jalur transportasi dan perdagangan. Timur Tengah juga merupakan produsen minyak terbesar di dunia, hal ini dapat dilihat dari tabel perbandingan jumlah minyak yang dihasilkan Timur Tengah dibanding keseluruhan kawasan lain di dunia. Tabel 2.1 Perbandingan Supply Minyak Timur Tengah dengan Supply Minyak Dunia Periode 2002 - 2008 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Dunia
77.100,67
79.606,39
83.102,08
84.701,22
84.665,07
84.607,68
85.760,17
Timur
21.570,83
22.992,18
24.770,01
25.693,32
25.341,29
24.785,35
26.116,49
28%
29%
30%
30%
30%
29%
30%
Tengah Persentase
(dalam ribu barel)
Sumber : Website US Energy Information Administration
20
21
Dari tabel 3.1 dapat disimpulkan bahwa Timur Tengah periode 2002 – 2008 rata-rata menyediakan 30% dari total persediaan minyak dunia. Hal ini membuat Timur Tengah memiliki bargaining position yang tinggi dalam dunia internasional. Argumen ini terlihat dalam peristiwa embargo yang dilakukan negara-negara Timur Tengah (mayoritas tergabung dalam Organization Petroleum Exporting Countries) pada tahun 1973 – 1975. Negara-negara OPEC mengembargo AS karena membantu Israel dalam Perang Arab - Israel. Efeknya adalah terjadi kenaikan harga minyak dunia dari 17 dollar AS per barel pada tahun 1973 menjadi 53 dollar per barel pada tahun 1974 (Darmstadter 2013:4). Peristiwa ini membuat AS menyadari arti penting Timur Tengah sehingga Presiden Nixon memutuskan strategi yang paling tepat untuk menghentikan embargo dan menjaga alur minyak dengan melibatkan diri dalam proses penyelesaian konflik ArabIsrael (history.state.gov diakses pada November 2013). Langkah awal yang dilakukan AS adalah dengan mengadakan Konferensi Madrid tahun 1991 untuk membuat konsep dasar penyelesaian konflik di Timur Tengah. Lahirlah konsep land for peace yaitu konsep untuk menukarkan perdamaian, yang indikatornya seperti membuka hubungan diplomatik dan kerjasama di berbagai bidang, dengan mengembalikan tanah yang diokupasi dan aneksasi Israel pada Perang 1967. Konsep land for peace diterjemahkan dalam Resolusi DK PBB Nomor 242 (history.state.gov). Setelahnya, AS terus memimpin proses penyelesaian konflik di Timur Tengah dengan mengadakan Konferensi Wye River tahun 1995-1996, Perundingan Shepherdstown tahun 2000
22
hingga menemui kegagalan di Perundingan Jenewa tahun 2000 (Olmert 2011:204206). Penjelasan proses sejarah keterlibatan AS tersebut menandakan bahwa AS menjadi tumpuan utama dalam proses penyelesaian konflik Arab – Israel. Menurut penulis ada empat hal yang membuat AS menjadi tumpuan utama dalam penyelesaian konflik Arab – Israel yaitu: pertama, AS memiliki hubungan diplomatik dengan delapan belas negara di Timur Tengah kecuali Iran (state.gov). Kedua, ada persepsi bahwa konflik Arab – Israel adalah poxy war yang disebabkan oleh Perang Dingin dimana negara super power memberikan dukungan kepada negara tertentu untuk menjadi antagonis dan protagonis di kawasan. Negara super power pada masa itu adalah AS dan Uni Soviet. Sejak tahun 1973 keduanya berkompetisi untuk menjadi hegemon. Hegemoni global hanya bisa dicapai dengan monopoli nuklir dan hal tersebut mustahil untuk dicapai. Oleh karena itu keduanya berusaha menjadi hegemon regional (Toft 2003:6). Perang regional ini tidak secara langsung disebabkan oleh external great power namun oleh atribut aktor lokal serta tujuan dan persepsi bersama yang dibentuk oleh dukungan great power terhadap suatu negara (Miller 2004:154). Contohnya, Suriah didukung oleh Uni Soviet dan Israel didukung oleh Amerika Serikat sebelum keruntuhan Uni Soviet tahun 1991. Ketiga, Pasca keruntuhan Uni Soviet, AS menjadi satu-satunya major power di Timur Tengah sehingga bisa memberikan reward dan punishment bagi negaranegara Timur Tengah agar ikut serta dalam proyek penyelesaian konflik yang
23
dipimpin AS. Bukti bahwa AS menjadi major power di Timur Tengah dapat terlihat dari posisi AS sebagai negara pendonor terbesar bagi Timur Tengah seperti terlihat berikut. Tabel 2.2 Lima Negara Donor Terbesar di Timur Tengah Periode 2002 – 2008 (dalam juta dollar AS) Negara
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Amerika
575,09 2749,17 3759,59 11946,25 55564,24 4497,01 4197,70
Serikat Jerman
206,61 271,12
205,15
2259,43
664,82
2526,76 2263,37
Jepang
129,41 220,80
838,70
3680,65
1008,72
1041,12 2068,48
Norwegia 80,01
133,22
95,81
117,12
148,82
155,79
158,65
77,77
129,59
211,46
196,50
79,15
71,23
205,11
Belanda
Sumber: Website OECD (www.stats.oecd.org) Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa pada periode 2002 – 2008, AS adalah negara donor terbesar bagi Timur Tengah. Jumlah bantuan luar negeri AS terus meningkat sejak tahun 2002 sebesar 575 juta dollar AS sampai 4 milyar dollar AS pada tahun 2008. Jumlah tertinggi bantuan luar negeri terbesar AS ke Timur Tengah diberikan pada tahun 2006 saat terjadi Perang Israel (yang merupakan sekutu AS) dengan Hizbullah (yang merupakan sekutu Suriah dan Iran).
24
Keempat, usaha AS untuk menjaga hegemoninya di Timur Tengah dapat dilihat dari anggaran bantuan luar negeri AS yang terbesar dialokasikan kepada Timur Tengah. Ilustrasi 2.1 Diagram Distribusi Bantuan Regional AS Tahun 2004 Asia Timur 3%
Amerika Latin 11%
Afrika 18%
Timur Tengah 39% Asia Selatan 17%
Eropa/Euras ia 12%
Sumber: CSR Report for Congress 2004:14 Diagram ini menunjukan bahwa Timur Tengah merupakan kawasan yang sangat penting bagi AS. Hal ini dibuktikan dari alokasi bantuan luar negeri AS kepada Timur Tengah tahun 2004 mencapai 39% dari total bantuan luar negeri AS. Jumlah yang terbesar jika dibandingkan dengan kawasan lain seperti Afrika yang hanya 18%, Asia Selatan 17%, Eropa/Eurasia 12%, Amerika Latin 11% dan Asia Timur 3%. Lebih jauh lagi, AS menilai Suriah sebagai kunci perdamaian Arab – Israel karena letak Suriah yang berbatasan langsung dengan Israel serta pada tahun penelitian Suriah memainkan peran yang penting dalam mendukung negara lain seperti Palestina, Iran dan Lebanon dalam berkonfrontasi dengan Israel.
25
Signifikansi Suriah ini membuat AS merespon konflik Suriah – Israel sebagai agenda utama AS di Timur Tengah sejak masa Presiden Nixon sampai Presiden Clinton. Strategi yang digunakan oleh AS pada masa Presiden Nixon sampai Presiden Clinton pun cenderung kooperatif dengan mengadakan dialog perdamaian. Namun pada masa Presiden George Walker Bush strategi yang digunakan oleh AS
dalam merespon konflik Suriah – Israel cenderung kontradiktif. Hal ini
ditegaskan dalam pernyataan Presiden George W Bush: “Not every effort has to be an American effort. It is extremely important that the parties themselves are taking responsibility” (Migdalovitz 2010:5). “Tidak semua upaya harus menjadi upaya AS. Sangatlah penting bagi tiap negara melakukan kewajibannya” (terjemahan penulis). Bagian selanjutnya akan mengelaborasi lebih jauh strategi kontradiktif seperti apa yang dipilih Presiden George W. Bush dalam merespon Konflik Suriah – Israel selama periode 2002 – 2008. 2.2 Strategi Amerika Serikat dalam Merespon Konflik Suriah – Israel periode 2002 -2008 Kontradiktifsi strategi yang digunakan AS dalam merespon Konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008 terlihat dalam National Security Strategy poin ketiga mengenai dasar kerjasama dengan negara lain untuk menyelesaikan konflik regional. Prinsipnya sebagai berikut:
26
Pertama, Amerika Serikat harus menginvestasikan waktu dan sumberdayanya untuk membangun hubungan internasional dan institusi yang dapat membantu menangani krisis lokal saat krisis tersebut timbul. Kedua, Amerika Serikat harus realistis tentang kemampuannya dalam membantu negara-negara yang tidak ingin atau tidak siap untuk membantu dirinya sendiri. Ketika pihak-pihak terkait telah siap atas perannya, maka barulah AS akan bergerak dengan jelas (US National Security Strategy tahun 2002 poin ketiga). Poin pertama dalam prinsip tersebut merekomendasikan agar AS ikut serta dalam penyelesaian konflik lokal yang berpotensi meningkatkan potensi konflik regional namun pada poin kedua AS diminta untuk realistis pada kemampuannya dalam menolong negara lain, sehingga AS akan bergerak setelah negara-negara menyadari perannya masing-masing. Sedangkan pada masa sebelum Presiden George W. Bush, AS menjadi pihak yang aktif dalam mempersiapkan negaranegara untuk memahami posisinya agar siap memulai proses perdamaian seperti pada shuttle diplomacy yang dilakukan oleh Menlu Kissinger pada masa Presiden Nixon sampai masa Presiden Clinton. Shuttle Diplomacy atau Diplomasi Ulang Alik adalah diplomasi yang dilakukan dengan cara melakukan kunjungan resmi ke negara-negara yang ingin diajak bekerjasama (Suryokusumo 2004:66). Oleh karena itu implementasi dari dua prinsip dalam national strategy ini kontradiktif, terbagi menjadi dua jenis strategi yaitu yang bersifat kooperatif dan strategi yang bersifat konfrontatif.
27
2.2.1 Strategi Kooperatif AS dalam merespon Konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008 Strategi kooperatif AS dalam merespon Konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008 adalah mengadakan pembicaraan damai, memberikan bantuan ekonomi kepada Suriah dan Israel dan mengadakan kerjasama dengan Suriah dan Israel. Strategi kooperatif pertama AS adalah mengadakan pembicaraan damai melalui diplomasi ulang alik (shuttle diplomacy) dan dua konferensi dalam periode penelitian (2002 – 2008). Pada 2002 Suriah diundang dalam pembicaraan damai tidak resmi di Rice University. Kemudian pada 8 Januari 2003 Mantan Duta Besar AS untuk Suriah sekaligus delegasi AS dari Intitut Baker Edward Djerjian dan Senator Arlen Specter melakukan pembicaraan lanjutan dengan delegasi Suriah di Damaskus untuk berdiskusi mengenai hubungan AS – Suriah, perang melawan terror dan perdamaian Timur Tengah (AP 1/8/03 dalam Leveret:181). Selanjutnya Menlu Powel bertemu dengan Presiden Assad di Damaskus (International Herald Tribune, 5/3/03 dalam Leveret:184). Menurut Kuasa Usaha Suriah untuk Indonesia Dr. Basham Alkhatib dalam wawancara dengan penulis (22/4/2014), Menlu Powel memberikan prasyarat kepada Presiden Assad jika ingin mendapatkan kembali Dataran Tinggi Golan maka Suriah harus memutuskan hubungannya dengan Iran, Hizbullah dan Hamas dan mendukung invasi AS ke Irak. Menurut Dr. Alkhatib Presiden Bashar Al-Assad menolak prasyarat ini dan mengatakan bahwa tidak ada prasyarat untuk berunding dengan Israel. PM Israel Ariel Sharon juga menolak rekomendasi AS untuk melanjutkan
28
negosiasi perdamaian dengan Suriah sebelum Suriah menghentikan aliansinya dengan Iran dan Hizbullah (AP, 9/14/04 dalam Leveret 186). Selanjutnya, pada 11 September 2004 Wakil Menlu AS William Burns bertemu dengan Presiden Assad di Damaskus untuk membahas prospek perdamaian Suriah dan Israel, campur tangan Suriah dalam pemilihan umum di Lebanon, dan kerjasama AS – Suriah dalam mengamankan perbatasan Suriah – Irak (AFP 9/11/04; AP 9/12/04 dalam Leveret 2005:195). Sedangkan Israel kembali menolak permintaan Suriah untuk melanjutkan negosiasi sampai Suriah menghentikan dukungannya terhadap Hamas dan Suriah (AFP, 12/1/04 dalam Leveret 2005:199). Selain melalui diplomasi ulang alik, AS juga mengadakan Inisiasi Jenewa tahun 2003. Konferensi ini utamanya membahas perdamaian Palestina – Israel. Namun juga membahas garis batas Israel dengan negara Arab lainnya termasuk Suriah - Israel sesuai dengan Resolusi DK PBB nomor 242 dan 338 yaitu garis batas 4 Juni 1967. Inisiasi Jenewa tahun 2003 menghasilkan konsep two state solution yaitu konsep yang menyatakan bahwa pendirian dua negara berdaulat di atas tanah Palestina merupakan solusi untuk mencapai perdamaian bagi Israel dan Palestina (Roadmap 2003:1). Konsep two state solution ini dijabarkan oleh AS bersama Rusia, Uni Eropa dan Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) dalam roadmap perdamaian pada 20 April 2003 (Gingrich 2005:86). Roadmap 2003 membahas fase-fase dalam mewujudkan perdamaian, tenggat waktu, dan tahapan dalam menjalin hubungan
29
politik, keamanan, ekonomi, humaniter dan pembangunan institusi di antara kedua negara di bawah pengawasan Quartet. Target akhirnya adalah menciptakan perdamaian Israel – Palestina pada tahun 2005 (Roadmap 2003:1). Roadmap 2003 juga mencantumkan perdamaian Suriah dan Israel. Namun menurut Presiden Assad dalam wawancara dengan harian Al Anbaa (5/26/03 dalam Leveret 2005:183-184), Roadmap 2003 tidak menyediakan langkah konkrit menuju kesepakatan final. Menurut Presiden Assad, Suriah tidak mengerti hubungan antara Suriah dan Lebanon dengan roadmap yang dibuat ini (New York Times dalam Leveret 2005:183-184). Selanjutnya AS mengadakan konferensi terakhir selama periode 2002-2008 yaitu Konferensi Annapolis di tahun 2007. Konferensi Annapolis telah dipersiapkan sejak 2006 dan membahas posisi negara-negara Arab dan kesiapannya untuk menjalin perdamaian dengan Israel. Menlu Condoleeza Rice berkomunikasi dengan negara-negara peserta konferensi dan berusaha membantu menetapkan perselisihan di beberapa isu (Fishere 2008:33). Konferensi Annapolis mempertemukan seluruh pemimpin negara-negara Arab dengan Israel namun tidak berhasil memberikan standar peningkatan hubungan Arab – Israel. Konferensi ini juga tidak menghasilkan cara yang berarti untuk menyelesaikan konflik Suriah – Israel (Mitha 2008:1) Suriah berhasil menambahkan isu Dataran Tinggi Golan dalam agenda Konferensi Annapolis. Hasilnya adalah langkah lanjutan dalam penyelesaian Konflik Suriah – Israel pada 13 bulan setelah pertemuan. Arti penting Konferensi Annapolis bagi Suriah adalah mulai berhentinya embargo AS kepada Suriah
30
(melalui Syria Accountability Act 2005) sehingga AS mulai kembali melakukan diplomasi ulang alik untuk menyelesaikan konflik Suriah – Israel (Scham 2007:13). Strategi AS yang kedua adalah memberikan bantuan ekonomi kepada Suriah dan Israel. Sejak tahun 1981 AS dan Israel telah menandatangani MoU kerjasama strategis. Salah satu implementasinya adalah AS memberikan dukungan ekonomi dan militer untuk membangun kekuatan Israel, memberikan status aliansi non NATO dan menandatangani kesepakatan perdagangan bebas dengan Israel. Bantuan militer (foreign military financing) dan bantuan ekonomi (economic support fund) AS kepada Israel sejak tahun 1949 telah mencapai 115 milyar dollar (Eeisentadt dan Pollock 2012:3). Berikut adalah tabel yang menunjukan bahwa Israel merupakan negara penerima bantuan keuangan terbesar AS pada tahun 2008. Tabel 2.3 Sepuluh Negara yang Mendapatkan Bantuan Keuangan Terbesar dari AS Tahun 2008 Negara
Total bantuan AS
Populasi
Rata-rata bantuan
(dalam juta dollar AS)
pertengahan tahun
AS perkapita
2007 (juta)
(dalam dollar AS)
Israel
2.380
7,3
326,02
Mesir
1.706
74,4
23,24
Afghanistan
1.058
31,9
33,16
Pakistan
738
169,3
4,36
31
Jordan
688
5,7
120,70
Kenya
586
36,9
15,88
Afrika Selatan
574
47,9
11,98
Kolumbia
541
46,2
11,71
Nigeria
491
144,4
3,40
Ethiopia
456
77,1
5,91
Sumber: Cato Handbook for Policy Maker 2009:540 Tabel di atas mendeskripsikan bahwa pada tahun 2008, Israel merupakan negara penerima bantuan terbesar AS di dunia. Total bantuan luar negeri AS ke Israel tahun 2008 mencapai 2,38 milyar dollar AS. Bandingkan tabel bantuan luar negeri AS diatas dengan tabel bantuan luar negeri AS kepada negara-negara Arab khususnya Suriah, seperti terlihat dalam tabel berikut. Tabel 2.4 Bantuan Luar Negeri AS kepada Negara Arab periode 1946 - 2010 Negara
Bantuan
Militer Bantuan Ekonomi
Total
(dalam dollar AS)
(dalam dollar AS)
Afghanistan
27 milyar
22 milyar
49 milyar
Bahrain
525 juta
13 juta
538 juta
Mesir
57 milyar
57 milyar
114 milyar
Iran
8 milyar
5 milyar
13 milyar
Irak
21 milyar
38 milyar
59 milyar
Lebanon
800 juta
2,6 milyar
3,4 milyar
Libya
99 juta
1,4 milyar
1,5 milyar
Pakistan
11 milyar
41 milyar
52 milyar
32
Suriah
338.000
2,2 milyar
2.2 milyar
Yaman
166 juta
2 milyar
2,1 milyar
Sumber : George Washington University Project (fastfactusa.org) Penulis membandingkan kedua tabel diatas dan menyimpulkan bahwa total bantuan luar negeri AS kepada Israel dalam kurun waktu 1 tahun (tahun 2008) lebih besar dari total bantuan luar negeri AS kepada Suriah dalam kurun waktu 64 tahun (1964-2010). Total bantuan luar negeri AS kepada Israel tahun 2008 adalah 2,38 milyar dollar AS sedangkan total bantuan luar negeri AS kepada Suriah periode 1946 – 2010 hanya 2,2 milyar dollar AS. Selanjutnya AS mendukung Israel saat Perang Israel – Hizbullah 2006 dan Suriah mendukung Hizbullah. Oleh karena itu pasca kekalahan Israel dalam Perang Israel – Hizbullah, Presiden Bush mengumumkan peningkatan bantuan militer AS ke Israel secara keseluruhan pada sepuluh tahun setelahnya, mulai dari tahun 2007. Kesepakatan ini akan diterapkan secara bertahap sejak tahun 2007 dan direncanakan pada tahun 2018 Foreign Military Financing (FMF) AS ke Israel akan mencapai 3,1 milyar per tahun (Sharp 2010:7). FMF adalah bantuan militer utama dari AS dalam bentuk perpanjangan pembiayaan untuk transfer persenjataan dari AS ke Israel (Sharp 2010:7). Berikut adalah tabel peningkatan bantuan militer AS kepada Israel periode 2006 – 2008. Tabel 2.5 Peningkatan Bantuan Militer AS kepada Israel Periode 2006 –2008 (dalam juta dollar) Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008 FMF
2.257,2
2.340,0
2.380,560
Sumber : Kementrian Luar Negeri AS dalam Sharp (2010:7)
33
Tabel ini memperlihatkan peningkatan FMF AS pada tahun 2006 mencapai 2,25 milyar dollar AS. Jumlah ini terus meningkat pada tahun 2007 mencapai 2,34 milyar dollar AS dan terus meningkat menjadi 2,38 milyar dollar AS pada tahun 2008. Jumlah ini akan terus ditingkatkan sampai menjadi 3,2 milyar dollar AS pertahun pada tahun 2018 (Sharp 2010:7). Strategi kooperatif ketiga AS adalah mengadakan kerjasama kontraterorisme dengan Suriah dan Israel. Aliansi Suriah – Iran dalam mendukung serangan Hizbullah ke Israel dianggap sebagai kegiatan terorisme oleh Amerika Serikat. Presiden Bush yang pada periode 2002-2008 mengeluarkan deklarasi perang global melawan terorisme (Global War on Terrorism), memberikan dua jenis respon terhadap Suriah. Pertama mengecam, kemudian mengeluarkan kebijakan yang konfrontatif seperti Syria Accountability Act; kedua, melihat peluang kerjasama dengan Suriah. Syria Accountability Act akan dielaborasi lebih jauh pada bagian strategi konfrontatif. Sedangkan yang dimaksud dengan AS melihat peluang kerjasama dengan Suriah dijelaskan dalam ilustrasi berikut: keinginan Suriah untuk memperoleh kembali Dataran Tinggi Golan merupakan celah bagi AS agar Suriah mau memenuhi permintaan AS demi mendapatkan kembali Dataran Tinggi Golan. Kuasa Usaha Suriah untuk Indonesia, Dr. Basham Alkhatib dalam wawancara (22/4/2014) dengan penulis mengatakan bahwa Menteri Luar Negeri AS Collin Powell saat menemui Presiden Assad tahun 2003 di Suriah meminta Suriah membantu AS menghadapi Al Qaeda di Irak dan menghentikan aliansi dengan Iran dan Hizbullah jika ingin memperoleh kembali Dataran Tinggi Golan.
34
Dari pernyataan ini dapat disimpulkan bahwa ketika itu strategi AS adalah jika Suriah bersedia bekerjasama dengan AS dalam memberantas terorisme, maka AS akan kembali memimpin proses perdamaian Suriah dengan Israel. Bentuk kerjasama yang diharapkan AS dari Suriah dan Israel terutama di bidang intelijen. AS membagi tipe-tipe negara yang melakukan kerjasama intelijen kontra-terorisme. Kontra Teorisme adalah doktrin yang mengarahkan aksi AS, melemahkan teroris dan mengubah lingkungan tempat beroperasi teroris sebagai tempat yang anti teorisme (Benjamin 2008:3). Pertama, aliansi tradisional seperti Kanada, Inggris, Australia, Israel dan anggota NATO. Kedua, aliansi baru seperti Pakistan, Yaman dan Uzbekistan. Ketiga, musuh tradisional seperti Suriah dan Libya (Reveron 2008:5). Strategi Intelijen Nasional AS memiliki tiga tujuan dalam membangun hubungan intelijen. Pertama, mengikat dan memperkuat usaha intelijen bersama yang bisa memberikan bantuan dalam mengidentifikasi dan melawan kelompok organisasi teroris baik di luar maupun di dalam wilayah AS (Reveron 2008:9). Kedua, berkoordinasi dengan erat dengan badan intelijen untuk saling bertukar analisa dan taksiran mengenai ancaman dan pilihan untuk meresponnya. Ketiga, memastikan pengetahuan yang berasal dari hubungan dengan intelijen dari luar negeri, menginformasikan keputusan intelijen dan membangun pilihan yang efektif dalam meresponnya (Reveron 2008:9). Salah seorang pejabat senior Central Inteligence Agency (CIA) mengatakan bahwa Suriah bukanlah satu-satunya sumber intelijen namun sangat membantu bagi AS. Suriah juga yang memberikan informasi serangan Al Qaeda di instalasi
35
AS di Bahrain sehingga serangan ini dapat dicegah. Kemudian pada 2003, AS dengan informasi intelijen Suriah, berhasil menangkap pakar mikrobiologi Irak bernama Huda Salih Ammash. Ammash adalah satu-satunya buronan perempuan yang namanya tercantum dalam daftar 55 orang pejabat Irak di era Presiden Saddam Hussein yang dicari AS. Menurut asumsi AS, Ammash ikut bertanggung jawab dalam pengembangan senjata biologis di Irak (Sale, Richard dalam UPI Inteligent Correspondent, www.upi.com). Disisi lain AS juga mengadakan kerjasama kontraterorisme dengan Israel untuk melindungi Israel dari Suriah dan aliansinya. Sharing intelijen AS – Israel telah dimulai sejak tahun 1950. Kerjasama ini menyangkut aktivitas sensitif, sharing informasi, pertukaran intelijen terkait dengan agen terorisme dan bergabung dalam operasi ofensif cyberwarfare. Contoh operasi cyberwarfare AS – Israel adalah meletakan virus Flame dan Stuxnet di jaringan computer pusat pengembangan nuklir Iran (Eisenstadt dan Pollock 2012:10). Selain strategi yang bersifat kooperatif AS juga melakukan strategi yang bersifat konfrontatif dalam merespon Konflik Suriah – Israel pada periode 2002 – 2008. 2.2.2 Strategi Konfrontatif AS dalam merespon Konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008 Strategi konfrontatif AS dalam merespon Konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008 adalah mengeluarkan Syria Accountability Act, menutup kedutaan besar AS di Suriah dan mendukung tindakan konfrontatif Israel ke Suriah. Strategi konfrontatif pertama AS adalah membuat Syria Accountability Act. Syria Accountability Act adalah undang-undang yang dibuat untuk menekan
36
Pemerintahan Presiden Assad untuk bekerja lebih keras dalam memerangi terorisme baik di negaranya maupun diluar negeri. Ini merupakan pendekatan baru yang memadukan hukuman sanksi ekonomi dengan tekanan diplomatik (Salhan 2004:1). Syria Accountability disetujui oleh Senat AS pada 11 November 2003 dengan jumlah suara 89 (menerima) banding 4 (menolak) (Washington Times, 11/12/03 dalam Leveret 2005:187). Selanjutnya pada 20 November 2003 Syria Accountability Act disetujui oleh House of Representatives dengan jumlah suara 408 (menerima) banding 8 (menolak) (AP, 11/20/03 dalam Leveret 2005:187). Akhirnya Syria Accountability Act disahkan oleh Presiden Bush 12 Desember 2003 (New York Times, 12/14/03 dalam Leveret 196). Konsekuensi dari Syria Accountability Act adalah otoritas finansial AS dilarang bekerjasama dengan Bank Komersial Suriah pada Oktober 2004. Western Union juga memutuskan kontraknya dengan Bank di Suriah. Western Union memperluas jaringan dengan beberapa bank swasta yang baru berdiri di Suriah, mengingat sebelumnya hanya bekerjasama dengan bank pemerintah (SR, 10/04 03 dalam dalam Leveret 196). Pada akhir 2004 Pemerintahan Bush memberikan sanksi tambahan kepada Suriah dengan membatasi perusahaan AS melakukan bisnis disana. Anggota Dewan Keamanan Nasional mengatakan bahwa AS tidak akan bernegosiasi dengan Suriah sampai dukungan terhadap kelompok teroris dihentikan. Syrian Accountability Act menjadi stick bagi AS untuk mengatur Suriah dan tetap
37
memberikan carrot bagi Suriah dalam bentuk kerjasama-kerjasama dalam memerangi kelompok teroris seperti Al Qaeda dan Hizbullah (Salhan 2004:1). Strategi konfrontatif kedua adalah AS menutup Kedutaan Besarnya di Damaskus pada tahun 2005. Hal ini dipicu oleh peristiwa pembunuhan PM Lebanon Rafik Hariri pada tahun 2005. Menurut AS, Suriah melakukan pembunuhan ini karena pada 2004 DK PBB meminta pasukan Suriah dan Israel keluar dari Lebanon. AS menganggap bahwa Suriah adalah dalang dalam pembunuhan tersebut dengan fakta meninggalnya Ghazi Kanaan, kepala badan intelijen Suriah untuk Lebanon karena bunuh diri. AS menganggap bahwa Kanaan bunuh diri karena merasa bertanggung jawab atas meninggalnya Rafik Hariri. Ini menyebabkan Hubungan AS – Suriah makin buruk, akibatnya AS menarik Duta Besarnya dari Damaskus pada tahun 2005. Kedutaan Besar AS baru dibuka lagi pada tahun 2010 (www.bbc.com). Namun Kuasa Usaha Suriah untuk Indonesia Dr. Alkhatib dalam wawancara dengan penulis menyatakan bahwa Suriah tidak terlibat dalam pembunuhan ini dan hal ini juga telah dikonfirmasi oleh Saad Hariri, putera PM Rafik Hariri yang juga pernah menjabat sebagai PM Lebanon. Strategi konfrontatif yang ketiga adalah AS mendukung tindakan konfrontatif Israel terhadap Suriah. Pada Oktober 2003, AS mendukung serangan Israel ke perkemahan pengungsi Palestina yang berada di Suriah sebagai balasan atas serangan kelompok Hamas terhadap Israel. Sementara di Irak, pejabat AS mengancam akan melakukan aksi militer terhadap Suriah jika tetap menfasilitasi kelompok revisionis melintasi perbatasannya (International Crisis Group 2007:6).
38
AS menolak diadakannya pembicaraan lanjutan dengan Suriah tanpa kehadiran Iran dalam konferensi perdamaian mengenai Irak dan menasehati Israel untuk tidak melanjutkan negosiasi perdamaian. Hal ini sangat jelas bertentangan dengan laporan Baker – Hamilton, yang merekomendasikan AS untuk bekerjasama dengan Suriah dan melanjutkan pembicaraan damai antara Suriah dan Israel (International Crisis Group 2007:6-7). Kemudian ketika Ketua House of Representatives AS Nancy Pelosi berkunjung ke Damaskus pada April 2007, Suriah menyampaikan keinginannya untuk kembali ke meja perundingan tanpa syarat. Namun internal Israel belum setuju untuk memulai perundingan kembali (International Crisis Group 2007:67). Israel beralasan bahwa mereka tidak bersedia memulai perundingan kembali dengan Suriah karena tidak ingin bertentangan dengan kebijakan luar negeri AS dalam mengisolasi dan menekan Suriah. AS menolak anggapan bahwa AS menjadi penghalang bagi proses perdamaian Suriah – Israel, AS menjelaskan jika Suriah serius dan Israel setuju maka AS tidak akan menolak mengadakan proses perdamaian lanjutan. Namun menurut AS fokus Suriah bukanlah pada Dataran Tinggi Golan melainkan pada Lebanon. Hal ini diperlihatkan dari usaha Suriah untuk menghentikan pengadilan dan pencarian fakta atas pembunuhan Perdana Menteri Lebanon Rafik Hariri dan menekankan pengaruhnya di Lebanon. Menurut AS, Suriah akan melakukan apapun untuk mendapatkan kembali Dataran Tinggi Golan dan menjaga pengaruhnya di Lebanon, oleh karena itu biaya di balik semua kesepakatan dengan Suriah dengan Israel adalah Lebanon (International Crisis Group 2007:5).
39
Presiden Bush dalam buku biografinya (Bush dalam Olmert 2011:208) mengatakan bahwa PM Olmert mengumumkan bahwa Suriah tidak akan menjadi target. Menurut Presiden Bush tidak membalas perlakuan Suriah terhadap Israel merupakan kekeliruan yang membuat dukungan Suriah terhadap Hizbullah makin besar. Hal ini dibuktikan dengan pemberian dukungan AS terhadap Perang Israel Hizbullah di Lebanon dan Dataran Tinggi Golan untuk melenyapkan Hizbullah. Presiden Bush memberikan rekomendasi agar Israel menyerang Hizbullah dan Suriah saja (Parry 2006:11). Kemudian pada Oktober 2008 helikopter AS menyerang perbatasan Suriah di Desa Hwijeh. Pemerintah Damaskus mengecam serangan yang menewaskan delapan orang itu sebagai agresi serius. Seorang pejabat militer AS menyatakan serangan oleh pasukan khusus itu ditujukan ke jaringan pejuang asing yang berkaitan dengan Al-Qaeda, yang bergerak melewati Suriah menuju Irak (Suaramerdeka.com edisi 29/10/2008). Dari penjabaran strategi ini dapat disimpulkan bahwa strategi AS pada periode penelitian (2002 – 2008) terlihat kontradiktif. AS mengadakan diplomasi ulang alik dan konferensi damai dan tidak menggunakan kekerasan secara langsung terhadap Suriah namun disisi lain mendukung aksi-aksi konfrontatif Israel terhadap Suriah, memberikan sanksi dan menutup kedutaan besarnya di Damaskus (Rabinovich 2010:3).
BAB III KONFLIK SURIAH – ISRAEL PERIODE 2002 - 2008 3.1
Sejarah Konflik Suriah dan Israel Konflik antara Suriah – Israel dimulai sejak pendirian negara Israel di tanah
Palestina tahun 1948 yang ditandai dengan pecahnya Perang Arab – Israel I (tahun 1948-1949). Setelah itu, kembali terjadi konflik terbuka di antara keduanya pada Perang Arab – Israel II (1967). Pada Perang Arab - Israel II, Israel berhasil mengokupasi Dataran Tinggi Golan (dari Suriah), Sheeb’a Farms (dari Lebanon), Semenanjung Sinai (dari Mesir) serta Gaza dan West Bank (dari Palestina) (International Crisis Group Report 2007:5). Negara-negara Arab termasuk Suriah, ingin merebut kembali daerah yang di okupasi oleh Israel sehingga terjadi Perang Arab Israel III. Perang Arab – Israel III terjadi pada 1973 dan diakhiri oleh gencatan senjata pada 1974 (International Crisis Group Report 2007:5). Gencatan senjata 1974 antara Suriah – Israel dimediasi oleh AS dengan membuat garis pemisah sepanjang 10.100 km (International Crisis Group Report 2007:5). Garis gencatan senjata ini diawasi oleh 1.000 pasukan keamanan PBB yang tergabung dalam United Nation Disengagement Observer Force (UNDOF). Garis gencatan senjata ini dibatasi oleh pagar logam dan pasukan Suriah - Israel hanya boleh ditempatkan sejauh 25 kilometer dari batas ini, dengan jumlah maksimal 6.000 pasukan (International Crisis Group Report 2007:5). Hingga tahun 2008, Suriah dan Israel masih dalam status gencatan senjata dan belum mencapai perjanjian damai. Mantan Menteri Pertahanan Israel Moshe Dayan, 40
41
yang menjadi salah satu pembuat kebijakan untuk mengokupasi Dataran Tinggi Golan, mengatakan bahwa 80% Konflik Suriah – Israel dimulai dari provokasi Israel (Repko 2007:1). Berikut adalah konflik yang terjadi antara Suriah – Israel pada periode penelitian. 3.2 Okupasi dan Aneksasi Israel atas Dataran Tinggi Golan Dataran Tinggi Golan adalah wilayah Suriah yang diokupasi oleh Israel pada 5 Juni 1967. Israel menganeksasi Dataran Tinggi Golan pada 15 Desember 1981 (Eiland 2009:5). Okupasi dan aneksasi ini ilegal dan bertentangan dengan hukum internasional Konvensi IV Jenewa dan Resolusi DK PBB nomor 497 tahun 181. Resolusi ini melarang okupasi melalui kekerasan, melarang Israel mengganti status Dataran Tinggi Golan menjadi aneksasi, melarang negara lain mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan dan menyerukan agar Israel menjaga hak masyarakat pribumi yang berwarganegara Suriah (Human Rights Council Report 2009:2). Presiden AS saat itu Ronald Reagan juga menolak okupasi dan aneksasi yang dilakukan oleh Israel atas Dataran Tinggi Golan (Repko 2007:1-2). Dataran Tinggi Golan terdiri dari perbukitan seluas 444 mil persegi yang berbatasan dengan Sungai Yarmouk di sebelah selatan, Sungai Jordan dan Laut Galilee di Barat, Gunung Hermon di utara dan Wadi Al-Ruqqad di Timur (Daoudy, 2008 :8). Penduduk pribumi Golan berkewarganegaraan Suriah dan saat diokupasi Israel tahun 1967 berjumlah 500.000 jiwa (Daoudy, 2008 :8). Pada tahun 1991, Israel mengusir 130.000 penduduk pribumi Golan dan terus mengusir yang lainnya secara
42
bertahap sampai hanya berjumlah 20.000 pada tahun penelitian (2008) (Daoudy 2008 :8). Setelah proses pengusiran ini, Israel mendirikan 20.000 permukiman ilegal disana (Human Rights Council Report 2009:3). Komposisi penduduk Golan tahun 2008 terdiri dari 20.000 Yahudi Israel, 17.000 Druze Suriah dan 3000 Alawites sehingga jumlahnya adalah 40.000 jiwa (Eilland, 2009). Penduduk Golan yang termasuk dalam Yahudi Israel bermukim di pusat Kota dan Kibbutzes sedangkan Druze Suriah terkonsentrasi dalam empat desa di timur dan kaum Alawites di perbatasan Utara. Dataran Tinggi Golan pernah dikuasai oleh Britania Raya, Perancis, Israel dan Suriah (Gurtler 2010:4). Dataran Tinggi Golan tidak memiliki signifikansi sejarah dan religi seperti West Bank bagi Israel. Namun, Yahudi telah membangun sinagog sejak tahun 23 SM di Dataran Tinggi Golan. Sedangkan Suriah memiliki hubungan sejarah yang kuat dengan Dataran Tinggi Golan karena mayoritas penduduk Golan adalah penduduk Suriah dan merujuk pada perjanjian Sykes-Picot Dataran Tinggi Golan adalah milik Suriah (Gurtler 2010:10). Hak Suriah atas Dataran Tinggi Golan dipertegas kembali dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 497 tahun 1981. Resolusi ini menyatakan bahwa okupasi dan aneksasi Israel di Dataran Tinggi Golan bertentangan dengan Piagam PBB dan ilegal menurut hukum internasional. Oleh karena itu, melalui resolusi ini PBB menghimbau agar Israel segera mengembalikan Dataran Tinggi Golan kepada Suriah dan dalam proses pengembalian tersebut tetap menghargai hak-hak
43
warganegara Suriah yang berada di Golan sesuai dengan Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 tentang perlindungan penduduk di masa perang (UNISPAL.org). Resolusi inilah yang dijadikan sebagai landasan dalam proses perdamaian Suriah dan Israel. Ilustrasi 3.1 Peta Dataran Tinggi Golan
Golan Heights
Sumber: Wingfield (2013:39) Seperti terlihat dalam peta, Dataran Tinggi Golan secara geostrategis dan militer sangat penting bagi Suriah dan Israel karena menjadi pembatas antara
44
keduanya. Topografi Golan yang berupa pegunungan, menawarkan wilayah yang ideal untuk meluncurkan serangan, melakukan aktivitas intelijen dan spionase (Gurtler 2010:11). Israel menempatkan pasukan dan pos penjagaan di Gunung Hermon yang jaraknya hanya 35 kilometer dari Damaskus sehingga Damaskus berada di daerah yang rawan dari serangan Israel (Daoudy 2008:8). Kemudian signifikansi Dataran Tinggi Golan dalam Sumber Daya Air pun sangat krusial karena merupakan masalah yang sensitif bagi Suriah dan Israel. Suriah pernah mengalami embargo air oleh Turki di tahun 1986. Ketika itu Turki menghentikan persediaan air di Suriah sehingga menyebabkan krisis air, dampaknya status Suriah ditingkatkan menjadi dalam keadaan bahaya, setengah juta petani meninggalkan tanah pertaniannya dan melakukan urbanisasi ke kota-kota besar (Bechor dalam Olmert 2011:208). Israel pun pernah diembargo air oleh negaranegara Arab di tahun 1960an (pbs.org). Saat ini Dataran Tinggi Golan menopang sepertiga dari sumber kebutuhan air bagi Israel (Olmert 2011:208). Selanjutnya signifikansi Dataran Tinggi Golan dalam bidang ekonomi adalah memberikan keuntungan dalam sektor pertanian dan pariwisata. Dataran Tinggi Golan menyumbangkan 40% daging, 30% apel, 38% ekspor anggur, 32% kentang, 23% jagung, 50% ceri, 41% wool, 28% telur dan 6% susu bagi pasar domestik Israel (El Abd, 2009:44). Mempertahankan Dataran Tinggi Golan berarti menjaga swasembada pertanian Israel karena berpotensi menopang 70% dari kebutuhan Israel. Pendapatan yang diterima Israel dari sektor pertanian dan pariwisata Dataran Tinggi
45
Golan mencapai 500 juta shekel (mata uang Israel), senilai dengan 136 juta dollar AS per-tahun (El Abd 2009:44). Menurut Jeff Halper, koordinator Israeli Committee Againts House Demolitions dalam Wingfield (2013:12-13), Israel memiliki tiga dimensi kebijakan untuk menjaga kekuasaannya di Golan. Dimensi pertama, aksi militer dan kekerasan termasuk menggunakan pemerintahan militer, bekerjasama, penahanan, memperpanjang masa tahanan, pengusiran, memasang ranjau, menyiksa dan melakukan hal-hal yang brutal. Dimensi kedua, birokrasi dan mekanisme hukum termasuk mengatur siapa yang menduduki posisi penting di Golan, mengatur akses pekerjaan, memperketat izin melakukan perjalanan, menggunakan lisensi dan surat izin sebagai teknik dalam mengontrol hak-hak politik, kebijakan pajak yang diskriminatif dan pembangunan rencana dan zona permukiman bagi warga Israel dan membatasi pertumbuhan komunitas di daerah okupasi. Dimensi ketiga, mengatur penggunaaan lahan dengan cara mengambil alih lahan, menghancurkan kota dan desa yang telah dibangun sebelum okupasi, membangun permukiman untuk Israel, membangun jalan raya, taman industri, area militer, zona keamanan, konservasi sumber daya alam, situs arkeologi dan sejarah, lahan hijau, membangun industri pariwisata dan menguasai sumber daya air dan sumber daya alam (Wingfield 2013:12-13). Menurut Kuasa Usaha Suriah untuk Indonesia Dr. Basham Alkhatib dalam wawancara dengan penulis (22/4/2014), bagi Suriah pengembalian Golan ke dalam kedaulatannya merupakan bentuk perlindungan bagi para penduduk, sumber daya
46
alam, identitas dan harga diri Suriah, karena secara identitas masyarakat Suriah yang hidup di Golan sangat loyal terhadap Suriah. Hal ini terlihat saat Israel menganeksasi Golan pada 1981 dan menawarkan pemberian kewarganegaraan Israel, sebagian besar penduduk Suriah menolaknya. Hanya 1% penduduk Suriah di Golan yang mau mengubah kewarganegaraannya menjadi warga negara Israel (Gurtler 2010:17). Warga Suriah di Golan tetap memasang bendera Suriah, foto presiden Suriah dan menggunakan bahasa Arab dalam kehidupan sehari-hari. Gaya hidup seperti hiburan pun mengikuti tradisi di Suriah. Mereka juga membentuk organisasi yang pro Suriah untuk mengadvokasi saat pemerintah Israel melakukan diskriminasi, contohnya organisasi Al Marsad (Gurtler 2010: 17). Al Marsad adalah organisasi internasional yang berdiri pada tahun 2003 dan berlokasi di Majdal Shams, Dataran Tinggi Golan. Al Marsad didirikan oleh kelompok profesi yang berasal dari bidang hukum, kesehatan, pendidikan, jurnalis, insinyur dan pegiat HAM. Al Marsad fokus dalam mengkaji dan mengadvokasi isu Hak Asasi Manusia (HAM) di Dataran Tinggi Golan. Tujuan utama organisasi ini adalah memonitor dan mendokumentasikan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Israel di Dataran Tinggi Golan dan menyampaikannya ke forum-forum internasional (golan-marsad.org). Signifikansi Dataran Tinggi Golan bagi Suriah dan Israel membuat keduanya terus berkonflik untuk menguasainya. Hal ini terlihat dari pernyataan Presiden Bashar Al-Assad dalam wawancara dengan Koran Austria Die Presse (19/12/2007): “Suriah
47
tidak bisa mempercayai Israel selama tidak menghentikan agresinya di Timur Tengah dan selama Israel tidak mengembalikan Dataran Tinggi Golan maka Suriah tidak akan mengakui keberadaan Israel” (www.pressidenassad.net diakses pada 28 Oktober 2014).
Disisi lain konflik ini juga menjadi alasan bagi kedua negara untuk tidak melakukan perang. Israel berada di pihak yang salah karena okupasi dan aneksasi ini bertentangan dengan hukum internasional oleh karena itu jika bertindak lebih jauh seperti melakukan perang terbuka dengan Suriah, akan menuai kecaman dari dunia internasional dan kelompok revisionis yang beraliansi dengan Suriah. Revisionis adalah aktor yang tidak puas dengan sistem internasional atau regional sehingga ingin mengubah norma status quo yang telah dibuat oleh great power seperi Amerika Serikat (Collins 2010 dalam e-ir.info.com). Sedangkan jika Suriah ingin merebut Golan melalui jalur militer, AS akan membantu Israel seperti pada perang Arab – Israel (tahun 1948-1974) sehingga Suriah akan kalah. Oleh karena itu Dataran Tinggi Golan merupakan akar utama konflik Suriah – Israel sekaligus penyanggah dan pengikat bagi kedua negara (khususnya Suriah) untuk tetap bersedia mengikuti pembicaraan damai yang dipimpin AS periode 2002 – 2008 (Gurtler 2010:12).
48
3.3
Konflik Perbatasan Konflik selanjutnya yang terjadi pada periode 2002-2008 adalah dalam masalah
perbatasan. Konflik ini disebabkan oleh perbedaan perspektif yang digunakan Suriah dan Israel sebagai landasan dalam agenda negosiasi perbatasan pada Inisiasi Jenewa tahun 2003 dan Konferensi Annapolis tahun 2007. Konflik perbatasan juga merupakan penyebab gagalnya diplomasi perdamaian AS pada tahun 2000 (Nejad 2004:155). Terdapat tiga garis batas yang menjadi landasan perbatasan Suriah dan Israel yaitu garis batas tahun 1923, garis batas tahun 1949 dan garis batas tahun 1967. Pada 1923, Inggris dan Perancis membuat batasan wilayah antara Palestina (sekarang termasuk Israel) dan Lebanon Raya (termasuk Suriah). Menurut garis batas 1923, hulu Sungai Jordan (yang terletak antara Danau Hula dan Laut Galilee) dan seluruh Laut Galilee dan Yarmouk masuk dalam wilayah Palestina (sekarang Israel). Antara Danau Hula dan Laut Galilee terdapat garis batas yang memanjang 12 kilometer sebelah timur Sungai Jordan dan lebar 10 meter, letaknya berada dibawah Dataran Tinggi Golan (Ma’oz 2005:1). Garis batas ini terdapat di sepanjang timur laut garis pantai Laut Galilee, persisnya selebar 10 meter sejajar dengan garis pantai. Kedaulatan garis batas 12 kilometer ini berada di tangan Palestina (kini Israel). Suriah mendapatkan akses untuk memancing, berenang dan menggunakan air di garis batas selebar 10 meter tersebut sesuai dengan perpanjangan perjanjian antara Inggris dan Perancis di tahun 1926. Karena Suriah sering mengakses daerah ini dan lebarnya tidak signifikan maka secara de facto Suriah-lah yang menguasai garis wilayah
49
sepanjang 12 kilometer dan lebar 10 meter ini sampai Perang Arab – Israel tahun 1967 (Hof 2009:4-5). Seperti terlihat pada gambar berikut. Gambar 3.2. Ilustrasi Penetapan Garis Perbatasan 1923, 1949 dan 1967
Sumber: Hof 2009:5 Signifikansi garis sepanjang 12 kilometer dan lebar 10 meter ini menurut Sherman dalam Repko (2007:2) adalah siapapun yang mengusai garis ini maka akan menguasai alur Laut Galilee. Hal ini dikarenakan air di daerah ini berasal dari Golan
50
kemudian menjadi hulu bagi Laut Galilee. Laut Galilee sangat penting karena menyediakan 33% dari seluruh persediaan air bersih bagi Israel (Repko 2007:2). Posisi Suriah dan Israel pada Perang 1967 masih sesuai dengan perpanjangan perjanjian Inggris dan Perancis tahun 1926. Pasca perang, untuk mengatur sengketa perbatasan ini dibuatlah Armistice Demarcation Line (ADL) yaitu garis batas sementara yang memisahkan negara-negara yang sedang berkonflik. ADL menambahkan wilayah demiliterisasi sampai ke daerah hulu Galilee yang bernama Mushmar Ha-Yarden. Kesimpulannya adalah ADL terdiri dari garis batas 1923 ditambah Mushmar Ha-Yarden (Hof 2009:5). Kemudian saat terjadi Perang 1974, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) atas inisiatif Amerika Serikat mengeluarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 350 Tahun 1974. Resolusi ini berisi peta pemisahan kekuatan militer Suriah – Israel menjadi daerah A dan daerah B. Daerah A merupakan batas kekuatan militer Israel dan daerah B merupakan batas kekuatan militer Suriah. Antara daerah A dan B ditempatkan pasukan PBB yang diberi nama United Nation Disengagement Observer Forces (UNDOF) (Resolusi DK PBB Nomor 350 Tahun 1974). Berikut adalah gambaran pembagian Suriah – Israel menurut Resolusi DK PBB Nomor 350 Tahun 1974.
51
Ilustrasi 3.3 Pembagian Wilayah Suriah – Israel sesuai Resolusi DK PBB Nomor 350 Tahun 1974
Sumber: UNDOF Website (www.undof.unmission.org) diakses pada 4 September 2014 UNDOF berfungsi sebagai pengawas gencatan senjata antara Suriah dan Israel, mengawasi pemisahan kekuatan militer antara Suriah dan Israel serta mengawasi daerah pemisahan dan pembatasan sesuai dengan kesepakatan pasca Perang 1974 (www.undof.unmission.org). Area yang diawasi UNDOF panjangnya 75 kilometer dengan lebar sekitar 10 km dan pusatnya 200 meter di bagian paling selatan mengarah ke Gunung Hermon. Kekuatan UNDOF berjumlah 1.250 personil yang berasal dari enam negara yang berasal dari negara-negara anggota
PBB yang
diperbaharui setiap enam bulan sekali (www.undof.unmission.org) Pada periode 2002-2008 konfigurasi pengaturan keamanan di perbatasan Suriah – Israel masih bergantung pada UNDOF. Sedangkan untuk proses diplomasi penyelesaian sengketa perbatasan masih terkendala di perbedaaan perspektif dasar penentuan garis batas. Suriah menginginkan penetapan perbatasan sesuai dengan
52
garis batas tahun 1967, yaitu seluruh daerah yang dikuasai Suriah sampai pada tahun tersebut, yang kemudian diokupasi Israel harus dikembalikan kepada Suriah (Nejad 2004:207). Sedangkan Israel memberikan prasyarat untuk pengembalian daerah tersebut yaitu dengan membuat konservasi alam di daerah-daerah okupasi yang kelak akan dikembalikan Israel kepada Suriah. Strategi ini dipakai Israel agar daerah okupasi seperti Dataran Tinggi Golan yang kaya akan sumber daya alam tidak digunakan Suriah untuk mengancam Israel misalnya dengan melakukan embargo air atau aktivitas militer dan spionase (Hof 2009:6). 3.4 Aliansi Suriah dengan Iran dan Hizbullah Aliansi Suriah dan Iran mulai terbentuk pada tahun 1979 ketika Suriah menjadi Negara Arab pertama yang mengakui kedaulatan Republik Iran yang dipelopori oleh Ayatullah Khomeini (Trombetta 2007:2). Aliansi ini terus bertahan sampai periode penelitian 2002-2008. Aliansi Suriah - Israel memiliki dua konotasi: secara ideologis dan secara fisik. Secara ideologis aliansi ini merupakan kekuatan aktif yang berusaha mengubah keadaan di Timur Tengah dan berkonfrontasi dengan kepentingan Barat yang disimbolkan oleh AS dan Israel. Kedua, secara fisik aliansi ini dimulai dari Iran, melewati Irak (ketika AS keluar dari Irak, aliansi ini akan berusaha melebarkan pengaruhnya ke Irak) dan terus berlanjut sampai ke Suriah, Lebanon dan Palestina (Amidror 2007:1). Oleh karena itu AS memberikan label Axis of Resistance kepada aliansi Suriah, Iran dan Hizbullah (Olmert 2011:208). Istilah yang paling tepat untuk menggambarkan hubungan dalam aliansi Suriah, Iran dan Hizbullah adalah proxy (wakil) dan client (klien). Hizbullah merupakan
53
klien yang mewakili Suriah – Iran untuk berhadapan dengan Israel di Lebanon (ElHokayem 2007:1). Presiden Bashar Al-Assad dalam sebuah interview (19/12/2007) dengan Koran Austria Die Presse (dalam website resmi Presiden Assad pressidentassad.net) menggambarkan aliansinya dengan Iran: “Iran adalah negara yang sangat penting di Timur Tengah dan Damaskus tidak ingin kehilangan aliansi dengan Iran. AS mencoba mengisolasi Suriah karena menolak kebijakannya seperti dalam invasi Irak, namun hal ini tidak akan sukses mengisolasi Suriah karena Suriah memiliki hubungan yang baik dengan Iran”. Lebih jauh mengenai Hizbullah, Presiden Assad menilai: “Hizbullah adalah pergerakan yang kuat di Lebanon. Tanpa Hizbullah, perdamaian dan kestabilan tidak akan tercipta di Lebanon.” Hizbullah adalah organisasi Islam Syiah sekaligus partai politik dan organisasi kesejahteraan sosial yang didirikan pada tahun 1982. Hizbullah didirikan oleh para pelajar yang pulang dari kota Najaf (Iran) yang dibimbing oleh Ayatulloh Khomeini (pemimpin Revolusi Islam Iran) dengan Hussein al-Musawi sebagai pemimpinnya (Addis dan Blanchard 2011:1). Pendirian Hizbullah merupakan respon dari okupasi Israel di Lebanon tahun 1982. Markas Hizbullah berpusat di Lebanon, namun aktivitas pergerakannya berskala regional bahkan internasional (Addis dan Blanchard 2011:1). Aliansi Suriah dengan Iran dan Hizbullah memperuncing konfliknya dengan Israel. Hal ini terlihat dalam perang antara Israel dan Hizbullah yang terjadi pada tahun 2006 (Goodarzi 2013:48). Menurut Israel, perang ini dipicu oleh penculikan dua tentara Israel oleh Hizbullah. Israel kemudian mulai melakukan serangan udara
54
sejak tanggal 12 sampai 16 Juli 2006 (Matthews 2008:33-36). Tujuan serangan ini adalah untuk memaksa Hizbullah keluar dari Lebanon Selatan. Hasan Nasrullah pemimpin Hizbullah mengatakan bahwa Israel telah memulai perang terbuka, maka Hizbullah membalasnya dengan mengirimkan roket ke Israel (Matthews 2008:33-36). Serangan udara berbalas ini kemudian dilanjutkan dengan perang secara langsung mulai 17 Juli – 14 Agustus 2006. Israel merasa tersudut di Maroun al Ras dan Bint Jbeil dan memilih untuk mundur yang menandai kemenangan Hizbullah dalam perang ini (Matthews 2008:49-50). Kemenangan Hizbullah dalam perang melawan Israel tidak terlepas dari bantuan Suriah dan Iran. Iran menyerahkan persediaan senjata untuk Hizbullah di bandara Suriah kemudian Suriah mengirimnya ke Lebanon untuk menyuplai Hizbullah melalui Lembah Beeka (G.Sullivan dan W. Sullivan 2006:61). Iran yang mengatur target roket dan misil atau menjadi pusat kontrol bagi Hizbullah dan menjaga agar Israel tidak sampai menembakkan nuklir dengan menyiapkan Zelzal (roket jarak jauh). Sedangkan Suriah berperan sebagai pusat intelijen bagi Hizbullah dengan mengumpulkan informasi terkait pergerakan Israel (G.Sullivan dan W. Sullivan 2006:61). Israel merespon keterlibatan Suriah dalam Perang Israel – Hizbullah dengan mengirimkan pesawat tempur untuk menyerang Istana Presiden Suriah di Latakia pada 2006. Serangan ini merupakan peringatan untuk menghentikan dukungan Suriah terhadap Hizbullah (Salem 2008:5). Pasca Perang Israel – Hizbullah tahun 2006 potensi konflik Suriah – Israel makin meningkat. Hal ini dikarenakan, kemenangan
55
Hizbullah membuat mindset yang telah dibangun pasca Perang Arab – Israel bahwa militer Israel tidak terkalahkan telah terbantahkan. Asumsi ini dibuktikan oleh pernyataan Kepala Intelijen Militer Israel (AMAN) Mayor Jendral Amos Yadin kepada Majalah Jane’s Defence Weekly dalam (Cordesman 2007:12) sebagai berikut : “Suriah akan mengambil hikmah dari perang Israel – Hizbullah 2006, yaitu tentang efektivitas advanced anti-tank weapons dalam melawan pertahanan baja Israel dan keterbatasan Angkatan Udara Israel dalam menghadapi roket api di area yang dekat dengan permukiman penduduk. Sebelum Perang Israel – Hizbullah 2006, Suriah tidak memikirkan opsi untuk berkonfrontasi secara militer dengan Israel, namun dengan kemenangan Hizbullah maka opsi tersebut akan sangat dipertimbangkan oleh Suriah.” Implementasi dari asumsi ini adalah adanya pengembangan senjata yang dilakukan aliansi Suriah – Iran untuk meningkatkan kemampuan misil untuk Hizbullah. Contohnya pada tahun 2006 jangkauan misil Hizbullah hanya mampu mencapai kota Haifa di Israel dan pada 2008 misil Hizbullah telah mampu mencapai pusat Israel yaitu kota Tel Aviv (Ospina dan Gray 2014:4). Lebih jauh lagi menurut Israel dan AS, aliansi Iran dan Suriah juga berusaha mengembangkan nuklir sejak tahun 2004 dengan bantuan dari Rusia dan Korea Utara (world-nuclear.org). Untuk merespon kerjasama pengembangan senjata Suriah – Iran ini maka pada September 2007, Israel menyerang Al Kibar yaitu suatu daerah di Suriah bagian utara. Israel menyatakan bahwa serangan itu untuk menghentikan pembangunan fasilitas nuklir Suriah (www.bbc.com diakses pada 4 Juli 2014).
56
3.5
Konflik Pengaruh antara Suriah dan Israel di Lebanon Konflik selanjutnya yang terjadi antara Suriah - Israel pada periode 2002 –
2008 adalah konflik pengaruh di Lebanon. Akar konflik ini bermula ketika Suriah dan Lebanon di bawah mandat Perancis tergabung menjadi Suriah Raya. Perancis tidak menetapkan garis batas yang pasti antara Suriah dan Lebanon. Sehingga ketika Suriah dan Lebanon menjadi negara berdaulat, kedua negara belum mengadakan pembicaraan mengenai garis batas yang tetap. Akibatnya, salah satu daerah bernama Sheeb’a Farms yang pada peta Perancis masuk ke dalam teritorial Suriah, dikelola secara administratif oleh Lebanon (Kaufman 2006:2). Tahun 1950, Suriah mulai mengambil alih daerah perbatasan ini dan membangun pos militer dan mendaftarkan warga Sheb’a Farms menjadi warga negara Suriah (Kaufman 2006:2). Kemudian Israel mengokupasi Sheb’a Farms, Desa Kfar-Shuba dan Desa Ghajar bersamaan dengan Dataran Tinggi Golan pada Perang Arab – Israel 1967. Menurut Israel daerah-daerah ini adalah milik Suriah. Namun Suriah mengklaim bahwa daerah tersebut adalah milik Lebanon. Israel menilai bahwa klaim tersebut merupakan strategi Suriah untuk menciptakan ambiguitas untuk menjaga eskalasi permusuhan di perbatasan Israel dan Lebanon serta mencegah diadakannya negosiasi perdamaian secara bilateral (El-Ezzi 2012:75). Namun asumsi Israel ini dibantah oleh Duta Besar Suriah untuk Indonesia Dr. Basham Alkhatib dalam wawancara dengan penulis (22/4/2014). Menurut Dr. Alkhatib Suriah mendukung Lebanon memperoleh kembali Sheeb’a Farms atas dasar persaudaraan, sama seperti dukungan Suriah terhadap pengembalian Gaza dan Tepi Barat kepada Palestina.
57
Dalam bidang militer Suriah telah menempatkan pasukannya di Lebanon sejak Perang Saudara Lebanon tahun 1976 sampai tahun 2005 dan menguasai 9 banding 10 keseluruhan wilayah Lebanon saat okupasi Israel tahun 1982. Okupasi Israel di Lebanon berlangsung dari tahun 1982 – 2000 (El-Ezzi 2012:74). Okupasi ini bertujuan
untuk:
pertama,
menghilangkan
ancaman
Palestine
Liberation
Organization (PLO) ke perbatasan Israel bagian Selatan; kedua, menghancurkan infrastruktur PLO di Lebanon; ketiga mengusir militer Suriah yang berada di Beeka Valley dan mengurangi pengaruh Suriah di Lebanon; keempat, membangun pemerintahan yang stabil di Lebanon dan memperkuat posisi Israel di Tepi Barat (Solley 1987:1). Walaupun dalam masa okupasi Israel, hegemoni Suriah di Lebanon tetap terlihat melalui Perjanjian Thaif tahun 1989 yang menyatakan bahwa Suriah dan Lebanon adalah saudara dan tidak akan saling mengancam satu sama lain (Perjanjian Thaif 1989:8). Implementasi perjanjian Thaif adalah Suriah menambah jumlah pasukannya dari 15.000 pada 1976 menjadi 40.000 setelah tahun 1990an (setelah okupasi Israel). Pasukan Suriah baru keluar dari Lebanon saat terjadi peristiwa pembunuhan PM Rafiq Hariri pada 14 Februari 2005 (Saliba 2007:1). Israel dan AS menuduh Suriah menjadi dalang dalam pembunuhan ini karena PM Hariri mendukung Resolusi DK PBB Nomor 1599 Tahun 2004 yang menghimbau agar seluruh pasukan asing (termasuk Suriah) keluar dari Lebanon dan menghormati kedaulatan Lebanon. Namun hal ini dibantah oleh Dubes Suriah untuk Indonesia
58
dalam wawancara dengan penulis (22/4/2014). Menurutnya, anak dari PM Rafik Hariri, yaitu Saad Hariri membantah keterlibatan Suriah dalam pembunuhan ayahnya. Dalam bidang politik, Suriah dan Israel secara aktif melakukan proxy war dengan mencari dukungan dari partai tertentu di Lebanon. Contohnya saat penarikan diri Suriah tahun 2005 terjadi Revolusi Cedar yang membuat suara partai politik Lebanon terbagi menjadi dua yaitu: pertama, Koalisi March 8 yaitu kelompok Pro Suriah yang melakukan demonstrasi 8 Maret 2005 di pusat kota Beirut untuk menuntut agar pasukan Suriah tetap berada di Lebanon. March 8 terdiri dari Hizbullah, Lebanese Democratic Party, Lebanese Communist Party, Amal Movement, Armenian Revolutionary Fed, Ba’ath Arab Socialist Party, Worker’s League, Al Marada, Syrian Social Nationalist Party dan Free Patriotic Movement (Schweizer 2009:30-33). Sedangkan Israel mendukung Koalisi March 14 yaitu kelompok anti Suriah yang merespon kelompok March 8 dengan ikut berunjuk rasa menuntut penarikan diri tentara Suriah dari Lebanon. March 14 terdiri dari Future Movement, Progressive Socialist Party, Democratic Renewal, Phalangist, Lebanese Democratic Left Movement, Lebanese Forces, Armenian Democratic Liberal Party dan Social Demokrat Hunchakian Party (Schweizer 2009:30-33). Pasca protes di bulan Maret 2005 ini sampai tahun 2008, konfigurasi partai politik Lebanon tetap terpecah menjadi koalisi partai yang pro Suriah (March 8) dan koalisi partai yang pro Israel (March 14) (Chambers 2009:2). Perbandingan perolehan suara March 8 dan March 14 dapat dilihat pada Tabel 2.1.
59
Tabel 3.1 Perbandingan Perolehan Suara Koalisi March 8 dan March 14
Sumber: Chambers (2009:2) Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa terjadi kompetisi yang dinamis antara koalisi March 8 yang pro terhadap Suriah dengan koalisi March 14 yang pro terhadap Israel. Pada Pemilu Parlemen tahun 2005 koalisi March 14 unggul dengan perolehan 72 kursi sedangkan koalisi March 8 hanya memperoleh 56 kursi. Sedangkan pada tahun 2009, koalisi March 8 unggul dengan perolehan 71 kursi sedangkan koalisi March 14 hanya memperoleh 57 kursi. Siapapun yang memenangkan pemilu di Lebanon akan memberikan dampak yang signifikan pada
60
hubungan Lebanon – Suriah dan Lebanon – Israel melalui proses legislasi di Kongres. Kemenangan kelompok March 8 pro Suriah di Kongres Lebanon akan melanggengkan hubungan Suriah – Lebanon dan membatasi hubungan Lebanon dengan Israel. Dari segi ekonomi, Lebanon memberikan kesempatan pada 300.000 warga Suriah yang tidak mendapatkan lapangan pekerjaan di Suriah. Jumlah ini bisa meningkat sampai satu juta jiwa pekerja saat musim panen pertanian dan pembanguna gedung-gedung baru (seperti revitalisasi pasca Perang Israel – Hizbullah 2006). Perputaran pembayaran di bidang tenaga kerja antara Suriah – Lebanon bisa mencapai satu milyar dollar AS pertahunnya. Dalam bidang perdagangan, 35% ekspor Lebanon bergantung pada jasa transit yang di sediakan Suriah. Hal ini tentu mendapatkan keuntungan bagi Suriah karena jumlah perputaran uangnya mencapai 600-700 juta dollar AS pertahun. Selain itu dalam kebijakan finansial, pasca diberlakukannya sanksi ekonomi AS kepada Suriah melalui Syrian Accountability Act maka aktivitas finansial Suriah bergantung pada Bank Lebanon yang banyak membuka cabang di Suriah. Terakhir yang terpenting, jika partai Pro-Suriah memenangkan pemilihan umum di Kongres Lebanon, maka aliansi Suriah – Hizbullah – Iran dapat terus terjaga sebagai senjata saat berkonflik dengan Israel (Yacoubian 2006:3-4). Sedangkan jika partai Pro Israel March 14 yang memenangkan pemilihan umum di Lebanon, maka Israel dapat mempengaruhi pemerintah Lebanon untuk memutuskan hubungan dengan Suriah. Israel juga bisa mempengaruhi pemerintah
61
untuk membatasi aktivitas Hizbullah yang dianggap sebagai kelompok revisionis yang beraliansi dengan Suriah dalam berkonflik dengan Israel. Dari segi legislasi, contoh nyata kompetisi March 8 dan March 14 terjadi saat dialog nasional tahun 2006. Saat itu PBB merekomendasikan agar Pemerintah Lebanon meratifikasi Resolusi DK PBB nomor 1595 tentang pembentukan tim pencari fakta untuk mengusut pembunuhan PM Rafiq Hariri. Koalisi March 14 mengajukan rancangan perundang-undangan yang pada poin ketiga berbunyi “jika pelaku pembunuhan telah ditemukan maka tidak hanya pelaku tersebut yang bertanggung jawab namun juga otoritas yang menaungi pelaku tersebut serta negara lain yang berafiliasi dengan otoritas tersebut”. Koalis March 8 merasa keberatan dengan draft poin ketiga ini karena merasa, perundang-undangan ini merupakan usaha March 14 yang di back-up oleh AS dan Israel untuk mengintervensi tim pencari fakta yang akan dibuat pasca ratifikasi dengan tujuan akhir menjadikan Hizbullah dan Suriah sebagai terdakwa dalam pembunuhan PM Rafik Hariri (Salem 2006:2). Perbedaan antara March 8 dan March 14 juga terlihat saat ratifikasi Resolusi DK PBB nomor 1701 tentang gencatan senjata Israel- Hizbullah dan Resolusi DK PBB nomor 425 tentang invasi Suriah di Israel (Salem 2006:4).
BAB IV ALASAN PEMILIHAN STRATEGI AS DALAM MERESPON KONFLIK SURIAH – ISRAEL PERIODE 2002 -2008 AS telah memimpin usaha perdamaian Suriah – Israel selama lima puluh tahun. Presiden George W. Bush membuat strategi yang sangat berbeda dibandingkan dengan pendahulunya dalam merespon Konflik Suriah dan Israel. Presiden Nixon sampai Presiden Clinton lebih menggunakan strategi persuasif dengan cara mengadakan diplomasi damai untuk membujuk Suriah dan Israel ke meja perundingan, sedangkan Presiden George W. Bush menggunakan strategi yang terkadang kooperatif terkadang konfrontatif. Menteri Keuangan AS Paul O’Neill menyampaikan pendapat Presiden Bush mengenai konflik Suriah – Israel: “Kita akan memperbaiki ketimpangan yang terjadi dalam periode Presiden Clinton. Kita akan lebih cenderung memihak Israel dan kita akan konsisten. Presiden Clinton telah melampaui batas oleh karena itu AS dalam masalah. Jika kedua belah pihak tidak menginginkan perdamaian maka tidak ada cara untuk memaksa mereka berdamai. Usaha-usaha yang dilakukan oleh AS untuk mewujudkan perdamaian Timur Tengah adalah kegagalan sejarah. Presiden Bush tidak ingin mengulangi kegagalan dari pendahulunya yang terlalu menfokuskan diri pada konflik Timur Tengah namun tidak kunjung berhasil mencapai perdamaian” (Foundation for Middle East Peace 2002:5). Presiden George W. Bush sebagai pembuat strategi (strategist) memiliki pilihan untuk menggunakan power secara koersif atau persuasif untuk mencapai tujuan
62
63
(Bartholomees 2010:45). Presiden George W. Bush juga bisa memilih apakah AS mau merespon konflik Suriah – Israel atau menolak meresponnya. Walaupun telah mengeluarkan penyataan demikian, AS sebagai great power tetap merespon dinamika konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008. Untuk memahami proses pemilihan strategi AS penulis akan mengelaborasi tahapan pembuatan strategi (Strategic Appraisal) agar terlihat jelas mengapa strategi tersebut diambil. Pertama, AS menentukan level pembuatan strategi yaitu National Security Strategy tahun 2002 sebagai landasan pemilihan kebijakan tertinggi Amerika Serikat. Kedua, AS menentukan kepentingan nasionalnya. Menurut U.S. Army War College, AS memiliki tiga kepentingan utama yaitu keamanan fisik, promosi nilainilai AS dan kemakmuran ekonomi. Tiga kepentingan ini kemudian menghasilkan tiga grand strategy yaitu memelihara keamanan AS, mendukung perekonomian AS dan mempromosikan nilai-nilai AS. Donald E. Nuechterlein memberikan dua tambahan kepentingan utama lagi yaitu keamanan dalam negeri dan membuat tatanan dunia yang menguntungkan bagi AS dan sekutunya (Bartholomees 2010:56). Langkah ketiga adalah menentukan intensitas kepentingan.
Intensitas
kepentingan dalam teori strategi menurut U.S Army War College dan Neuchterlein (dalam Bartholomees 2010:56) terbagi menjadi empat yaitu survival, vital, penting dan peripheral. Intensitas Kepentingan AS dalam merespon konflik Suriah – Israel periode 2002 - 2008 tergolong dalam kepentingan nasional yang penting karena bila
64
tidak dipenuhi akan menyebabkan kerusakan dengan cepat dan akan berimbas pada kepentingan nasional yang utama. Keempat, Pemerintah AS mengumpulkan informasi secara komprehensif mengenai dinamika konflik Suriah Israel beserta potensi konflik dan perdamaian di antara kedua negara (Bartholomees 2010:56). Informasi yang dikumpulkan oleh pemerintah AS mengenai konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008 seperti yang terangkum dalam laporan Carol Migdalovitz (2010:52) seorang ahli Timur Tengah dalam lembaga penelitian Kongres AS (Congressional Research Service). Salah satu informasi yang dibahas dalam laporan ini terkait dengan alasan dukungan AS pada serangan Israel ke reaktor nuklir Suriah pada 6 September 2007. Laporan ini menyebutkan bahwa pada 24 April 2008, Penasehat Kebijakan Keamanan Nasional Stephen Hadley dan Direktur Central Inteligent Agency (CIA) Michael Hayden dan Direktur Federal Bureau Intelligence (FBI) Mike McConnel hadir di Kongres AS. Mereka melaporkan bahwa target serangan Israel ke Suriah tanggal 6 September 2007 adalah reaktor nuklir Suriah di daerah Deir ez-Zor yang pembangunannya didukung oleh Korea Utara. Menurut Hayden reaktor tersebut mampu memproduksi satu senjata pemusnah masal jika tidak segera dihancurkan oleh Israel (Migdalovitz 2010: 53). Informasi lainnya berasal dari laporan Iraq Study Group, yaitu sebuah kelompok yang dibentuk oleh Kongres AS pada Maret 2006. Iraq Study Group diketuai oleh Mantan Menteri Luar Negeri AS James A. Baker dan mantan anggota
65
Kongres AS dari Partai Demokrat Lee H. Hamilton sebagai wakil ketuanya, bersama 10 orang anggota kongres aktif yang terdiri dari lima orang Anggota Kongres dari Partai Republik dan lima orang dari Partai Demokrat. Tujuan pembentukannya adalah untuk mencari solusi bagi konflik Irak (Beehner 2006 dalam cfr.org). Iraq Study Group menyimpulkan bahwa Irak akan stabil dan kepentingan nasional AS di Timur Tengah dapat terpenuhi jika AS memiliki komitmen yang kuat dan komprehensif dalam memimpin perdamaian di semua lini khusunya Suriah dan Israel. Iraq Study Group membuat laporan (2007:39) yang memberikan rekomendasi agar AS bersikap kooperatif dalam merespon Konflik Suriah - Israel karena: 1. Tidak ada solusi militer yang bisa menyelesaikan konflik di Timur Tengah; 2. Adanya aksioma yang berbunyi jika proses politik berhenti maka akan terjadi kekerasan pada level realitas; 3. Kepedulian AS kepada Israel sebagai sekutu, agar tidak terus berada dalam situasi perang abadi; 4. Satu-satunya basis untuk mencapai perdamaian di Timur Tengah adalah Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 242 dan 338 dengan prinsip land for peace; 5. Perdamaian abadi hanya bisa dicapai melalui negosiasi perdamaian seperti yang terjadi pada Israel – Mesir dan Israel – Yordania;
66
Untuk itu Iraq Study Group merekomendasikan Suriah agar: 1. Menaati Resolusi DK PBB nomor 1701 bulan Agustus 2006, tentang penghormatan atas kedaulatan Lebanon; 2. Suriah harus mau bekerjasama dengan AS dalam investigasi pembunuhan Perdana Menteri Lebanon Rafiq Hariri dan Mantan Menteri Perindustrian Lebanon Pierre Amine Gemayel; 3. Suriah harus menghentikan pemberian bantuan kepada Hizbullah dan Iran; 4. Suriah harus menggunakan pengaruhnya untuk membebaskan tentara Israel yang ditawan oleh Iran dan Hizbullah; 5. Suriah harus berhenti ikut campur dalam pemilihan umum di Lebanon; 6. Suriah harus menghentikan bantuannya kepada kelompok revisionis Palestina; 7. Komitmen Suriah untuk mempengaruhi Hamas agar memahami hak Israel untuk berdaulat; 8. Suriah harus mengamankan perbatasannya dengan Irak; Sebagai ganti prasyarat ini, Israel harus mengembalikan Dataran Tinggi Golan. AS juga akan memberikan jaminan keamanan Israel berupa pasukan internasional di perbatasan, termasuk tentara AS jika diminta oleh kedua negara (Laporan Iraq Study Group 2007:39).
67
Pentingnya informasi ini sebagai pertimbangan dalam memilih strategi yang diungkapkan oleh Presiden George W. Bush saat publikasi Laporan Iraq Study Group di Washington DC tanggal 7 Desember 2006: “and truth of the matter is, a lot of reports in Washington are never read by anybody. To show you how important this one is, I read it and Tony Blair read it”(BBC 7 Desember 2006). “sesungguhnya, banyak laporan di Washington yang tidak dibaca oleh orang-orang. Untuk menunjukan betapa pentingnya laporan ini, saya dan Tony Blair (Perdana Menteri Inggris) membacanya” (terjemahan penulis). Laporan Migdalovitz tentang informasi yang diberikan pejabat AS di Kongres merupakan salah satu gambaran informasi yang dipertimbangkan oleh AS untuk memilih strategi konfrontatif. Disisi lain laporan Iraq Study Group merupakan salah satu sumber informasi yang dipertimbangkan oleh AS dalam memilih strategi kooperatif. Setelah mengumpulkan informasi, Pemerintah AS melakukan langkah kelima yaitu mengidentifikasi dan mengevaluasi faktor strategi. Faktor strategi adalah hal-hal yang berpotensi untuk menambah atau mengurangi pencapaian kepentingan nasional. Pada proses ini Pemerintah AS mempertimbangkan strategi apa yang paling berpotensi dalam mencapai kepentingan nasional, bisa berupa mempromosikan, menghalangi, melindungi atau mengancam Suriah dan Israel (Bartholomees 2010:58). Pada tahap ini pemerintah AS memilih melakukan strategi yang kooperatif untuk mengamankan kepentingan nasional AS di Timur Tengah dan strategi yang konfrontatif untuk mengamankan Israel.
68
Selanjutnya dari proses evaluasi faktor strategi, Pemerintah AS menjalani proses keenam dalam pembuatan strategi yaitu menentukan faktor kunci strategi berdasarkan ends, ways dan means. Faktor kunci berasal dari interaksi AS dengan Suriah dan Israel serta dari prioritas kepentingan nasional yang tercantum dalam US National Security Strategy tahun 2002. Hubungan AS – Suriah periode 2002 – 2008 diwarnai sejumlah isu seperti peran Suriah di Lebanon, hubungan Suriah dengan Hizbullah dan Iran, pembunuhan Perdana Menteri Lebanon Rafiq Hariri, dugaan pengembangan senjata pemusnah massal Suriah yang bekerjasama dengan Korea Utara, hubungan Suriah – Rusia, permasalahan pengungsi Irak di Suriah dan dinamika konflik Suriah – Israel (Sharp 2008:9-24). Terkait dengan pembunuhan PM Lebanon Rafiq Hariri dan dugaan keterlibatan Suriah, Menteri Luar Negeri AS Condoleeza Rice memanggil pulang Duta Besar AS untuk Suriah Margaret Scobey (Sharp 2008:24). Kemudian pada Perang Israel – Hizbullah 2006, AS kembali menyadari ancaman Suriah atas stabilitas Lebanon (Sharp 2008:28). Hal ini membuat penasehat kebijakan AS untuk Timur Tengah terpecah menjadi dua pendapat dan akhirnya sepakat mengirimkan surat rekomendasi kepada Presiden George W. Bush agar Suriah diundang dalam Konfrensi Annapolis (Sharp 2008:28-29).
69
Lebih jauh lagi dari sisi ekonomi, pasca di masukannya Suriah ke dalam daftar negara pendukung terorisme, AS memberikan berbagai sanksi dalam bidang ekonomi melalui Syrian Accountability Act (Sharp 2008:31-32). Dalam bidang perdagangan hubungan AS – Suriah diperlihatkan dalam tabel statistik berikut: Tabel 4.1 Tabel perdagangan AS – Suriah tahun 2006 – 2007 (dalam juta dollar AS) 2006
2007
Ekspor AS ke Suriah
$221,4
$356,7
Impor AS dari Suriah
$188,4
$159,4
(dalam juta dollar AS) Sumber Sharp (2008:25) Tabel tersebut menunjukan bahwa ekspor AS ke Suriah pada tahun 2006 mencapai 221,4 juta dollar AS. Jumlah ini menungkat menjadi 356,7 juta dollar AS pada tahun 2007. Sedangkan impor AS ke Suriah menurun dari 188,4 juta dollar pada tahun 2006 menjadi 159,4 juta dollar AS pada tahun 2007. Ketujuh, Pemerintah AS merumuskan strategi baik yang kooperatif maupun yang konfrontatif dalam merespon Konflik Suriah – Israel periode 2002 - 2008. Pada proses ini Presiden George W. Bush bersama pejabat-pejabat terkait, sebagai pembuat strategi AS harus memiliki kompetensi sistem berfikir yang kreatif, kritis, etis dan mempertimbangkan waktu
(thinking
in
time) dalam
merumuskan strategi
70
(Bartholomees 2010:63). Dalam proses ini pemerintah AS mempertimbangkan faktor-faktor alami seperti geografi, populasi, sumberdaya alam serta pertimbangan sosial yang terdiri dari faktor ekonomi, militer, politik dan psikologis-sosial (Bartholomees 2010:63). Pemerintah AS juga mempertimbangkan dimensi strategi yaitu penduduk, masyarakat, kebudayaan, politik, etik, ekonomi dan linguistik, organisasi, administrasi, informasi dan intelijen, teori strategi dan doktrin, teknologi, operasional, komando, geografi, perselisihan, musuh dan waktu (Bartholomees 2010:64). Elaborasi dari faktor-faktor dan tahapan-tahapan tersebut membuat penulis menyimpulkan bahwa alasan Amerika Serikat memilih strategi yang terkadang konfrontatif dan terkadang koperatif dalam merespon konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008 adalah sebagai berikut. 4.1 Amerika Serikat Ingin Mencapai Kepentingan Nasional Bidang Ekonomi, Kesehatan dan Keamanan melalui Inovasi IPTEK Amerika Serikat sebagai great power terbesar (sejak berakhirnya Perang Dingin) membutuhkan pembaharuan dan revitalisasi ekonomi, militer dan keamanan untuk menjaga perannya dalam kepemimpinan regional dan global. Salah satu langkah yang ditempuh guna mencapai hal itu ialah melalui inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Nilai strategis Israel sebagai enam besar negara dengan inovasi terbesar di dunia membuat AS lebih memprioritaskan keamanan Israel dibandingkan dengan mengakomodir keinginan Suriah untuk mencapai perdamaian (Eeisentadt dan Pollock 2012:xii).
71
Kepentingan AS di bidang ekonomi terlihat dari nilai ekspor dan impor AS – Israel. Pada periode 2002 – 2008, nilai impor AS dari Israel selalu lebih besar dari nilai ekspor AS ke Israel yang terlihat dalam tabel berikut. Tabel 4.2 Nilai Ekspor dan Impor AS – Israel Periode 20002 – 2008 (dalam juta dollar AS) Tahun 2002
Ekspor 7.026,7
Impor 12.415,7
Balance -5.389
2003
6.892,1
12.786,6
-5.876,5
2004
9.169,1
14.551,5
-5.382,4
2005
9.373,3
16.830,5
-7.093,1
2006
10.964,8
19.166,8
-8.201,9
2007
12.887,5
20.794,4
-7.906,9
2008
14.486,9
22.335,8
-7.849
Sumber: Website resmi US Departement of Commerce United States Bureau Pada periode 2002 – 2008, AS selalu mengalami defisit perdagangan dengan Israel sekitar 5.384 – 8.201 juta dollar AS. Impor barang dari Israel ke AS mayoritas dalam bidang pertanian, bahan-bahan kimia, peralatan manufaktur, alat-alat optik, fotografi, kesehatan, bahan perakitan kapal laut, roket dan pesawat, senjata dan amunisi (Website Resmi Biro Statistik Israel www1.cbs.gov.il). Dari tabel 4.3 diketahui bahwa ekspor AS ke Israel sebesar 12,8 milyar dollar AS dan impor dari Israel ke AS sebesar 20,7 milyar dollar AS. Maka jumlah intensitas perdagangan AS – Israel tahun 2007 mencapai 33,6 milyar dollar AS (Website resmi
72
US Departement of Commerce United States Bureau). Jika jumlah ini dibandingkan dengan intensitas perdagangan AS – Suriah tahun 2007 yang hanya berjumlah 356,7 juta dollar AS (ekspor AS ke Suriah) dan 159,4 juta dollar AS (impor AS dari Suriah) dan totalnya 516,1 juta dollar AS. Maka besar intensitas perdagangan AS – Israel mencapai 65 kali lipat intensitas perdagangan AS – Suriah tahun 2007 (Sharp 2008:25). Israel juga merupakan negara pemasaran barang dan jasa AS urutan ke-19 di dunia (Pomerantz 2007:131). Defisit perdagangan AS terhadap Israel juga memperlihatkan keunggulan Israel di bidang Sumber Daya Manusia (SDM), Ilmu Pengetahuan dan Tekonologi (IPTEK), kesehatan, obat-obatan dan keamanan. Dalam bidang pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), Israel berhasil menciptakan 10 dari 1.000 lapangan kerja bagi pekerja AS, baik dalam spesialisasi bidang teknologi informasi, pembangunan sumber daya medis, dan pertahanan. Di bidang teknologi informasi, Israel masuk dalam dua puluh besar penanam investasi langsung di AS (Eeisentadt dan Pollock 2012:xii). Keunggulan Israel membuatnya menjadi negara yang potensial bagi kepentingan nasional AS. Oleh karena itu sejak tahun 1981 AS – Israel telah menandatangani Memorium of Understanding sebagai kerangka berpikir dalam mengadakan konsultasi dan kerjasama peningkatan ketahanan nasional kedua negara. AS – Israel juga telah menandatangani nota kesepahaman Strategic Defence Innitiative sejak tahun 1986 dan isu yang menjadi perhatian dalam kerjasama ini terus berkembang seperti dalam pembuatan sistem pertahanan dari peluru balistik. Pada tahun 2007, AS
73
juga
menjadikan
Israel
sebagai
partner penelitian strategis
dalam
usaha
kontraterorisme (Zanoti 15-16). AS – Israel juga melakukan sharing peningkatan teknologi keamanan nasional dan intelijen. Hasil sharing ini adalah AS memiliki teknologi kapal tanpa awak yang sangat berguna dalam mengumpulkan informasi intelijen dan pertempuran. Israel juga merupakan salah satu negara di dunia yang paling aktif dalam mengembangkan pelindung kendaraan lapis baja, perisai roket jarak dekat, teknik perlindungan pasukan dan penggunaan teknologi robotik (Blackwill dan Slocombe 2011:9-10). Sehingga dengan melakukan kerjasama keamanan dengan Israel AS bisa meningkatkan kualitas kendaraan lapis bajanya, meningkatkan kualitas roket jarak dekat dan perlindungan pasukan dengan teknologi robotik. AS dan Israel juga mengadakan kerjasama cybersecurity yang substansial. Israel adalah penemu intel (chip komputer), penemuan ini menyumbangkan 40% dari keuntungan perusahaan komputer AS. Desain dan teknik algoritma Israel merupakan kunci untuk mengamankan transaksi finansial dan telekomunikasi AS. Keunggulan Israel di bidang teknologi informasi membuat sebagian besar perusahaan teknologi tinggi AS seperti Microsoft, Apple, Cisco, Abbott Laboratories, IBM, Google, GE, dan General Motors meletakkan pengaturan inkubator teknologinya di Israel (Eeisentadt dan Pollock 2012:xii).
74
AS juga memperoleh kepentingan nasionalnya dengan keunggulan Israel dibidang teknologi penelitian kesehatan dan obat-obatan. Sebagian besar perusahaan manufaktur obat-obatan Israel beroperasi di AS. Contohnya perusahaan Israel bernama Teva yang menjadi manufaktur obat-obatan generik terbesar di dunia sebagian besar perusahaannya beroperasi di AS. Perusahaan Teva tersebar di 30 wilayah di seluruh AS dan menyerap lebih dari 7.000 tenaga kerja. Teva juga membantu AS menghemat anggaran kesehatan sebesar 217 milyar dollar AS karena memberikan harga murah untuk obat-obat generik (website resmi Teeva tevagenerics.com). Israel juga merupakan negara dengan jumlah pemilik hak paten dibidang
peralatan
kesehatan
terbanyak
didunia.
Institut
Weizman
telah
mengeluarkan ribuan produk kesehatan dan mendapatkan royalti dengan jumlah terbesar di dunia. Lebih jauh lagi dari 322 milyar dollar AS pasar peralatan kesehatan dunia, pasar Israel mencapai 1,8 milyar. Jika dihitung sebagai pendapatan perkapita maka Israel urutan keempat di dunia produsen alat-alat kesehatan (Eeisentadt dan Pollock 2012:xiii). Lebih jauh lagi teknik, prosedur dan produk obat-obatan dan kesehatan Israel telah diterapkan di AS. Hal ini membuat Israel telah berkontribusi secara langsung bagi kesehatan dan ekonomi AS dengan mengurangi biaya kesehatan, membuka lapangan kerja baru, meningkatkan produktifitas pekerja AS dan menambah kesuksesan manufaktur biomedis AS (Eeisentadt dan Pollock 2012:xiii).
75
4.2 Doktrin Bush sebagai Konsep Pembuatan National Security Strategy 2002 Alasan kedua yang menjadi pertimbangan AS dalam merespon Konflik Suriah – Israel periode 2002 – 2008 adalah adanya Doktrin Bush. Doktrin Bush merupakan salah satu landasan pemikiran yang mengilhami pembuatan National Security Strategy 2002 serta implementasi strategi yang dipilih AS dalam merespon Konflik Suriah – Israel periode 2002 - 2008. Doktrin Bush memiliki empat elemen utama. Pertama, kepercayaan mengenai rezim domestik negara. Kedua, sebuah kebijakan baru bernama preventive war. Ketiga, kemampuan bertindak secara unilateral sesuai kebutuhan. Keempat, menciptakan hegemoni Amerika Serikat (Jervis 2003:366). Doktrin pertama yaitu kepercayaan akan pentingnya rezim domestik negara dalam menentukan kebijakan luar negeri dan menentukan waktu yang tepat untuk mentransformasikannya ke politik internasional. Amerika Serikat memiliki pihak yang menentang hubungan AS - Suriah dan menentang strategi kooperatif untuk merespon konflik Suriah - Israel. Kelompok penentang ini disebut dengan kelompok Neokonservatif. Neokonservatif generasi pertama awalnya merupakan terminologi
yang
digunakan oleh Michael Harrington untuk menamai sekelompok orang Amerika, yang mayoritas keturunan Yahudi dan anti terhadap Uni Soviet. Kemudian Neokonservatif generasi kedua (yang ada pada periode penelitian) berkembang menjadi kelompok intelektual yang mendukung kebijakan luar negeri Hawkish (Celik 2005:21).
76
Kebijakan Luar Negeri Hawkish adalah kebijakan luar negeri yang cenderung menggunakan aksi koersif, kekuatan militer dan meragukan efektivitas dari sebuah konsesi yang berbentuk negosiasi (Kahneman dan Renshon, 2006 dalam artikel foreignpolicy.com). Kelompok Neokonservatif dengan patron Hawkish dalam pemerintahan AS periode 2002 - 2008 diwakili oleh Wakil Presiden Dick Cheney dan Menteri Pertahanan Donald Rumsfeld serta tokoh-tokoh sentral dalam pemerintahan AS seperti John Bolton (Duta Besar AS untuk PBB), Wolfowitz (Wakil Menteri Pertahanan AS kemudian menjabat sebagai Presiden Bank Dunia), Douglas Feith (Wakil Menteri Pertahanan), Richard Perle (Ketua Defense Policy Board Advisory Committee) dan David Wurmser (Penasehat Kebijakan Timur Tengah AS) (Heilburnn 106-107). Neokonservatif sebagai ideologi dalam kebijakan luar negeri AS mempunyai lima prinsip yaitu internasionalisme, keunggulan (primacy), unilateralisme, militerisme dan demokrasi. Internasionalisme yaitu keyakinan bahwa AS harus memainkan peran aktif dalam sistem internasional untuk menjamin pencapaian kepentingan nasionalnya. Keunggulan, yaitu menjaga tatanan dunia yang unipolar dengan AS sebagai pemimpinnya dan mencegah munculnya negara pesaing yang dapat mengubah sistem regional atau internasional. Unilateralisme yaitu menggunakan power AS secara unilateral untuk menjaga keamanan dan perdamaian dunia. Militerisme maksudnya untuk menjaga keunggulan dan kemampuan bertindak secara unilateral, AS harus memiliki kapabilitas militer yang melebihi negara-negara lain
77
yang ada di dunia. Prinsip terakhir adalah demokrasi yang merupakan salah satu nilai fundamental AS yang harus disebarkan ke seluruh dunia (Vaisse 2010:3-7). Hubungan antara kelompok neokonservatif AS dengan Israel menurut Jacob Heilbrunn dalam MacDonald (2008:1) adalah neokonservatisme yang merupakan seperangkat pemikiran yang dibentuk oleh pengalaman imigran Yahudi yang mengalami holocaust dan pada abad 21 ini berjuang melawan totalitarianism. Kelompok neokonservatif telah menjadikan Suriah target konfrontasi AS jauh sebelum peristiwa 9/11 yaitu sejak dikeluarkannya laporan strategi clean break tahun 1996. Clean Break adalah laporan strategi yang ditulis oleh kelompok Neokonservatif AS yang terdiri dari Richard Perle, James Colbert, Charles Fairbanks, Douglas Feith, Robert Loewenbarg, David Wurmser dan Meyrav Wurmser sebagai rekomendasi bagi pemerintahan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk menghadapi tantangan ketika ia menjabat. Isinya adalah rekomendasi untuk membatalkan konsep land for peace yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan Israel dan agar Israel fokus pada realitas regional balance of power dengan pendekatan realpolitik dan menggantungkan diri pada aksi dan sumberdaya AS (Institute for Research: Middle Eastern Policy Inc. 2003:2). Isi dari Strategi Clean Break adalah agar Perdana Menteri Netanyahu, dalam berkonflik dengan Suriah harus melakukan usaha-usaha untuk meningkatkan dukungan Kongres AS, meyakinkan AS untuk mempertanyakan legitimasi pembicaraan damai yang telah dilakukan dengan Suriah, menangkal Suriah dengan melakukan serangan langsung, menolak konsep land for peace untuk mengembalikan
78
Dataran Tinggi Golan dan melakukan pembicaraan dengan Suriah dan Iran terkait masalah (Lebanon Institute for Research: Middle Eastern Policy Inc. 2003:3). Menteri Pertahanan Israel Shaul Mofaz mengatakan bahwa “kami memiliki sebuah daftar masalah panjang dengan Suriah yang menurut kami harus dibereskan oleh Suriah dan wajar jika itu harus dilakukan melalui tangan AS” (Mearsheimer dan Walt 2010:433). Pernyataan ini menandakan adanya usaha Israel untuk mempengaruhi pemerintah AS dalam memilih strategi pro- Israel dalam kaitannya dengan Konflik Suriah – Israel. Jika Kelompok Neokonservatif merupakan sekumpulan orang-orang yang disatukan dengan ideologi neokonservatisme, maka ada pula institusi legal yang mengimplementasikan prinsip-prinsip neokonservatif. Institusi yang berideologi neokonservatif diantaranya American Israel Public Affairs Committee (AIPAC), American Jewish Committee (ACJ), American Jewish Congress, American for Peace Now, Anti – Defamation League, Foundation for Middle East Peace, The Israel Project dan S. Daniel Abraham Center for Middle East Peace (Zanotti 2012:34). Seluruh institusi pro-Israel ini disebut sebagai kelompok Lobi Israel oleh Profesor John Mearsheimer dan Stephen M. Walt dalam bukunya “Dahsyatnya Lobi Israel” (2010:174). Salah satu kelompok yang penulis bahas adalah American Israel Public Affairs Committee (AIPAC) yang mempromosikan legislasi strategi konfrontatif terhadap Suriah di Kongres AS (Mearsheimer dan Walt 2010:432). AIPAC adalah organisasi Zionis-Amerika yang didirikan oleh I.L Kenen pada tahun 1959. AIPAC
79
mengandalkan kontak dengan para legislator untuk mengamankan kepentingan Israel di AS (Mearsheimer dan Walt 2010:185-186). Contoh keberhasilan kelompok neokonservatif dan AIPAC dalam melobi pemerintahan Presiden Bush dan Kongres adalah disetujuinya Syrian Accountability Act 2003. Presiden Bush awalnya menolak Syrian Accountability Act yang diajukan Kongres pada 2002 karena takut legislasi itu dapat merusak upaya penciptaan stabilitas di Irak dan dapat membuat Suriah menghentikan pemberian informasi intelijen yang berguna kepada Washington dalam menangani Al Qaeda. Kongres setuju menunda legislasi ini sampai Baghdad benar-benar dikuasai AS. Setelah Presiden
Irak
Saddam
Hussein
jatuh
dari
kekuasannya
maka
kelompok
neokonservatif dan AIPAC kembali melobi Presiden Bush dan Kongres (Mearsheimer dan Walt 2010:432). Akhirnya Presiden Bush setuju menandatangani Syrian Accountability Act walaupun dengan keengganan. Keengganan ini dibuktikan dari pernyataan salah satu pejabat senior di Gedung Putih bernama Flyn Leverett bahwa: ”Dalam komunikasinya dengan Presiden Suriah, Presiden Bush selalu mengakui kerjasama AS dan Suriah efektif dalam membendung Al Qaeda. Meloloskan Syrian Accountability Act sama artinya dengan memutuskan simbiosis mutualisme ini dan Presiden Bush mengakui bahwa strategi konfrontasi ini bisa membuat AS menanggung resiko” (Mearsheimer dan Walt 2010:436). Pengesahan Syrian Acountability Act memperlihatkan keberhasilan Kelompok Neokonservatif dan Kelompok Lobi Israel dalam mempengaruhi Presiden George W. Bush. Oleh karena itu, menurut penulis prinsip-prinsip ideologi Neokonservatif juga
80
mempengaruhi pembuatan doktrin Presiden Bush. Kemudian Doktrin Bush mempengaruhi US National Security Strategy tahun 2002. Asumsi penulis ini senada dengan pendapat Vaisse (2010:9) bahwa pemerintahan Presiden Bush banyak dipengaruhi oleh kelompok neokoservatif karena Presiden Bush menjadikan tokoh neokonservatif seperti Paul Wolfowitz dan Richard Perle sebagai penasehat strategi AS di Timur Tengah. Ilustrasi 4.1 Hubungan antara Prinsip Neokonservatisme, Doktrin Bush dan National Security Strategy 2002
Prinsip Neokonservatif me
National
Doktrin mempengaruhi Bush
mempengaruhi
Security Strategy 2002
Sumber: Ilustrasi dibuat oleh penulis berdasarkan penjabaran Prinsip Neokonservatif (Vaisse 2010:3-7), Doktrin Bush (Jervis 2003:365) dan US National Security Strategy 2002 Hubungan dari isi prinsip neokonservatif, Doktrin Bush dan US National Security Strategy 2002 penulis ilustrasikan dalam sebuah tabel sebagai berikut.
81
Tabel 4.3 Tabel Ilustrasi Hubungan antara Prinsip Neokonservatisme dalam Pembuatan Kebijakan Luar Negeri AS, Doktrin Bush dan National Security Strategy Tahun 2002 Prinsip
Doktrin Bush
US National Security
Neokonservatisme 1. Internasionalisme
Strategy 2002 Kepercayaan
mengenai
Memperjuangkan
rezim domestik negara
aspirasi
dalam
kemanusiaan
pembuatan
kebijakan Luar Negeri AS
dan
menentukan
Membangun agenda kerjasama
waktu yang tepat untuk
global
mentransformasikannya
lainnya
dalam
politik
martabat
Internasional
dengan power
Bekerjasam dengan negara
lain
mencegah
untuk konflik
regional 2. Keunggulan
AS
harus
keunggulan menciptakan
memiliki
Mentransformasikan
untuk
institusi keamanan
stabilitas
nasional AS untuk
dan perdamaian di level regional
dan
menghadapi
82
3. Unilateralisme
internasional
tantangan dan
Unilateralisme
peluang di abad 21
Mempromosikan era baru pertumbuhan ekonomi melalui pasar bebas dan perdagangan bebas
4. Militerisme
Preventive War
Memperkuat Aliansi untuk
melawan
terorisme global dan mencegah serangan kepada
AS
dan
Aliansi
AS
(termasuk Israel)
Mencegah
musuh
menggunakan senjata masal untuk mengancam sekutu,
AS, negara-
negara sahabat AS 5. Demokrasi
Memperluas
83
lingkaran pembangunan dengan keterbukaan masyarakat
dan
pembangunan infrastruktur demokrasi
Sumber: Prinsip Neokonservatif (Vaisse 2010:3-7), Doktrin Bush (Jervis 2003:365) dan US National Security Strategy 2002 Doktrin kedua Presiden Bush yaitu preventive war yang kemudian dituangkan dalam US National Security Strategy 2002, terinspirasi dari prinsip militerisme kelompok neokonservatif dengan patron hawkish-nya. Hal ini diungkapkan oleh Profesor John Mearsheimer dalam Kabalan (2010:13), menurutnya neokonservatif percaya bahwa AS adalah negara dengan power terbesar di dunia dan power ini harus digunakan untuk membentuk tatanan dunia yang sesuai dengan kepentingan AS. Sehingga penggunaan power secara militer akan lebih efektif dibandingkan dengan diplomasi. Doktrin Bush dan prinsip militerisme melahirkan strategi baru bernama preventive war. Berdasarkan National Security Strategy tahun 2002, AS boleh menyerang negara lain terlebih dahulu (preventive war) jika diperlukan demi alasan
84
keamanan untuk menghentikan negara yang jahat beserta aliansi grup terorisnya sebelum negara teroris tersebut menjadi ancaman dan menggunakan weapon of mass destruction (senjata pemusnah masal). Maka bisa dikatakan perang melawan teror yang dicanangkan Presiden Bush sebagai alasan untuk membela Israel dari Suriah, merupakan strategi ofensif yaitu menyerang sebelum musuh menyerang duluan (Azpiroz 2012:180). Hal ini terlihat jelas dari dukungan AS pada serangan Israel ke Suriah pada tahun 2003, Perang Israel – Hizbullah tahun 2006 dan penyerangan perbatasan di Desa Hwijeh pada 2008. Kemudian, prinsip kemampuan bertindak unilateral. Ini merupakan karakteristik dari kelompok Neokonservatif yang tidak percaya pada institusi multilateral (Celik 2005:27). Menurut kelompok Neokonservatif hanya dominasi great power seperti AS-lah yang bisa mendominasi penentuan norma dunia tentang mana yang boleh dilakukan negara-negara dan mana yang tidak. Oleh karena itu AS tidak mempertimbangkan norma saat memilih strategi karena AS-lah yang paling berwenang membuat norma tersebut. Contohnya saat gagal memimpin perdamaian antara Suriah dan Israel, padahal dari segi kapabilitas AS adalah negara yang paling mampu menyukseskan perdamaian ini. AS tidak mempertimbangkan norma dan stereotype aktor-aktor lainnya akan penciptaan perdamaian abadi, AS hanya mempertimbangkan kepentingan AS. Lebih jauh lagi Amerika Serikat sebagai great power memiliki kapabilitas untuk bertindak sesuai dengan kepentingannya tanpa mementingkan kepentingan aktor lain.
85
AS akan menjadi aktor rasional yang menunjukan pencarian strategi yang tetap dan menginginkan pilihan yang lebih disukai. Preferensi ini bisa berupa: sikap egois, menghancurkan diri sendiri, dan lain-lain. Oleh karena itu strategi AS terhadap Suriah terkesan eksklusif sehingga bersifat kontradiktif mengikuti lingkungan strategis. AS tidak membutuhkan saran dari PBB maupun aktor lain untuk menentukan strateginya. Contoh tindakan unilateral AS adalah melakukan veto terhadap tiap resolusi yang akan dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengenai Israel. Selanjutnya menciptakan hegemoni AS. Kelompok Neokonservatif berpendapat bahwa AS sedang menghadapi tantangan dalam mengatur sistem dunia yang unipolar pasca keruntuhan Uni Soviet. Agar sistem unipolar ini langgeng maka AS harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk menyebarkan nilai-nilai Amerika Serikat seperti demokrasi ke seluruh dunia. Menurut Kelompok Neokonservatif, otoritarian dan teokrasi merupakan akar dari gerakan anti-Amerika dan lahirnya kelompok teror seperti Hizbullah di Timur Tengah. Usaha menciptakan hegemoni ini berkaitan erat dengan Doktrin Bush dan dukungan Neokonservatif terhadap strategi baru bernama preventive war atau perang pencegahan untuk meredam kelompokkelompok teror ini dalam menghalangi usaha AS untuk menyebarkan nilai-nilai AS ke seluruh dunia (Celik 2005:27). Untuk menjaga hegemoninya di Timur Tengah, AS melakukan usaha-usaha manajemen hegemoni. Usaha-usaha ini dilakukan melalui strategi balancing yang bertumpu pada aliansi AS – Israel untuk meredam Suriah yang dianggap sebagai
86
negara revisionis pasca dimasukkan dalam daftar negara pendukung terorisme oleh Departemen Luar Negeri AS (Country Reports of Terrorism 2008:282). 4.3 AS menciptakan Balance of Power (BoP) di Timur Tengah Politik Internasional Timur Tengah didominasi oleh beragam konflik (yang bisa berkembang menjadi eksternalisasi konflik domestik dan bilateral), perang saudara dan intervensi eksternal dari great power. Great power pada era perang dingin adalah Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet. Keduanya tertarik untuk berperan dalam dinamika Timur Tengah karena sumber daya minyak yang dimiliki Timur Tengah, lokasinya yang strategis sebagai jalur penghubung Asia dan Eropa serta kepentingan politik dan ekonomi. Keterlibatan AS dan Uni Soviet mempengaruhi politik regional khususnya ketika AS dan Uni Soviet berkompetisi melakukan balancing dengan adu pengaruh terhadap beberapa negara di Timur Tengah atau ketika AS sebagai satusatunya great power yang tersisa melakukan manajemen hegemoni. Kompetisi balancing antar great power dan manajemen hegemoni ini akan menciptakan balance of power dan mencegah lahirnya hegemoni regional karena negara-negara akan cenderung beraliansi dengan great power (bandwagoning) (Paul, Wirtz dan Fortmann 2004:202). Oleh karena itu kehadiran negara-negara revisionis seperti Suriah dan Iran akan dimarjinalkan dan mendapat penangkalan dari great power. Pasca Perang Dingin dan keruntuhan Uni Soviet balance of power berubah dari bipolar yaitu Uni Soviet dan Amerika Serikat ke unipolar hanya AS saja. Menurut analisa penulis, AS menjaga aliansi dengan Israel untuk menjaga hegemoninya melawan negara-negara yang pernah berada di bawah pengaruh Uni Soviet seperti
87
Suriah. Sejarah mencatat bahwa keberpihakan negara-negara Arab begitu dinamis sehingga sering berubah aliansi contohnya Suriah pada Perang Teluk 1990 – 1991 mendukung AS namun saat invasi AS ke Irak tahun 2003 menentang AS. Maka Israel yang non-Arab adalah sekutu yang paling loyal dan tepat untuk mengakomodir keinginan dan kepentingan AS di Timur Tengah. Lebih jauh lagi bagi AS, peran penting Israel di Timur Tengah adalah sebagai buck-catcher yaitu negara yang menerima tanggung jawab untuk menghadapi aggressor dari negara buck-passer (AS) (Toft 2003:8). Israel akan membantu AS menghadapi aktor-aktor di kawasan yang masuk dalam terminologi “musuh” bagi AS seperti Hizbullah. Keberadaan Israel membuat AS tidak harus selalu turun langsung dalam menghadapi Hizbullah contohnya Perang Israel – Hizbullah tahun 2006. AS hanya memberikan bantuan kepada Israel dan Israel-lah yang menyerang Hizbullah secara langsung. Menurut analisa penulis konflik Israel dengan Suriah dan negara-negara Arab lain yang menolak keberadaan Israel juga memberikan keuntungan sendiri pada AS, yaitu membuat Suriah dan negara-negara Arab tergantung pada AS untuk mendapatkan kembali daerah yang telah diokupasi oleh Israel melalui jalur diplomasi. Oleh karena itu, menurut analisa penulis AS harus menjaga kapabilitas militer Israel agar aktor lain di Timur Tengah, tidak bisa mengalahkan Israel dengan jalur militer. Jika Suriah bisa mendapatkan kembali Dataran Tinggi Golan dengan jalur militer maka Suriah dan negara-negara Arab tidak memerlukan peran AS lagi di kawasan. Jika negaranegara di Timur Tengah yang sebagian besar merupakan negara OPEC tidak merasa
88
membutuhkan AS lagi maka ketika terjadi konflik yang disebabkan oleh keberadaan dan okupasi Israel serta kepentingan AS yang eksklusif maka skenario terburuk (bagi AS), yaitu embargo minyak seperti tahun 1973 akan terulang lagi. Selain itu jika tidak ada pengaturan balance of power dari great power seperti AS maka eskalasi konflik di Timur Tengah akan meningkat seperti munculnya aktor-aktor revisionis yang ingin mengubah tatanan regional yaitu Iran, Hizbullah, Al Qaeda, Israel, Suriah, Irak dan akan terjadi perlombaan pengembangan senjata nuklir untuk menciptakan imperium dan hegemoni di Timur Tengah, seperti yang sudah mulai marak terjadi pada periode 2002-2008. AS sebagai Great Power dalam BoP berperan sebagai balancer (Shehaan 1996:77). Fungsi balancer adalah mencegah lahirnya hegemoni suatu negara atau aliansi terhadap negara-negara lain atau bahkan membuat sebuah imperium dalam sistem internasional. AS sebagai balancer akan mengeluarkan kebijakan yang penting dalam menjaga keseimbangan power di Timur Tengah. Implementasinya bisa melalui fleksibilitas diplomatik, memberikan dukungan bagi Israel untuk melawan Suriah, atau bahkan melakukan aksi militer terhadap Suriah (Shehaan 1996:65-66). Balancing (penyeimbangan) adalah mengambil langkah bertanggung jawab secara langsung untuk menghalangi aggressor (penyerang) yang potensial melalui pembangunan internal (penyeimbangann internal) atau dengan formasi aliansi internasional (penyeimbangan eksternal) atau kombinasi dari keduanya (Toft 2003:8). Lebih jauh lagi Organski dalam Sheehan (1996:54) mengidentifikasi metode yang digunakan oleh negara-negara untuk menjaga Balance of Power yaitu meningkatkan
89
kemampuan militer, memperluas territorial, membangun buffer zone, beraliansi, ikut campur dalam masalah internal negara lain atau memecah belah dan menaklukan. Dalam hal ini, AS meningkatkan kapabilitas militer Israel dengan memberikan bantuan keuangan yang jumlahnya selalu meningkat, dari tahun 1987 ke tahun 1990 jumlahnya 2,3 milyar dollar AS, tahun 1991-1994 jumlahnya 2,7 milyar dollar AS, tahun 1995 – 1998 jumlahnya 2,6 milyar dollar kemudian tahun 1999 – 2002 jumlahnya naik drastis menjadi 7 milyar dollar (Cordesman dan Popescu 2007:17). Jumlah ini merupakan jumlah bantuan militer terbesar yang diberikan AS diantara negara di Timur Tengah lainnya. Dibandingkan dengan Suriah yang pada tahun 1987 – 1990 mendapatkan bantuan dari Rusia senilai 5,3 milyar dollar AS, tahun 1991 – 1994 turun drastis menjadi 500 juta dollar AS, tahun 1995 – 1998 senilai 200 juta dollar AS dan tahun 1999 – 2002 senilai 100 juta dollar AS. Jumlah bantuan militer ini memperlihatkan usaha AS dan Rusia untuk tetap menjaga pengaruhnya dan menciptakan superioritas militer. Bantuan ekonomi dan militer yang diberikan AS digunakan oleh Israel untuk melakukan balancing militer terhadap Suriah dan negara-negara Arab lainnya. Berikut adalah perbandingan anggaran belanja militer Israel dan Suriah dalam periode penelitian 2002 – 2008.
90
Tabel 4.4 Military Balance Anggaran Militer Israel dan Suriah (dalam Milyar Dollar AS) Negara 2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Israel
9,672
7,865
10,925
10,864
11,967
10,044
10,098
Suriah
2,020
1,594
1,7431
1,382
1,877
1,551
2,020
Sumber: Cordesman 2010:38 Tabel diatas menunjukan bahwa jumlah anggaran militer Israel jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah anggaran militer Suriah. Aliansi AS menjadi peran penting
dalam
membentuk
perimbangan
konvensional
di
Timur
Tengah.
Perimbangan konvensional adalah waktu dan intensitas sumber daya, maksudnya negara-negara bisa membuat perubahan signifikan bagi kekuatan dan kelemahan angkatan militernya dengan perencanaan yang matang, sumberdaya yang memadai dan pembangunan militer yang tertata dengan baik. Perimbangan militer merupakan kombinasi dari anggaran belanja negara di bidang militer, bantuan luar negeri, kapasitas industri nasional dan strategi yang efektif dan perencanaan militer yang bisa mencapai balance of power di Timur Tengah. Dengan usaha balancing yang dilakukan AS ini, militer Israel tetap unggul secara kualitas meskipun hanya memiliki jumlah personil militer yang terbatas (Cordesman 2010:4). Kemudian AS juga melakukan balancing diplomatik dengan cara menveto resolusi PBB yang di inisiasi oleh Suriah dan tidak menguntungkan bagi Israel. Contohnya draft resolusi nomor s/2002/1385 tanggal 20 Desember 2002 terkait
91
dengan pembunuhan Ian Hook staf PBB dan penyerangan kantor World Food Programme di Kamp Pengungsian Jenin, Tepi Barat. Selanjutnya AS juga menveto draft resolusi nomor s/2003/891 tanggal 16 September 2003 tentang keputusan Israel untuk mengganti Pemimpin Otoritas Palestina Yasser Arrafat. AS juga menveto draft resolusi nomor 14 Oktober 2003 tentang pembangunan pagar keamanan oleh Israel di Tepi Barat. Kemudian AS menveto draft resolusi nomor s/2004/783 tanggal 5 Oktober 2004, draft resolusi nomor s/2006/508 tanggal 13 Juli 2006 dan draft resolusi nomor s/2006/878 tanggal11 November 2006 tentang himbauan penghentian operasi militer Israel di Gaza dan penarikan pasukan dari daerah tersebut (Okhovat 2011:60-61). Aliansi AS dan Israel pada akhirnya berusaha menciptakan balance of power untuk meredam kemungkinan saling menghancurkan antara Arab dan Israel serta meredam kebangkitan negara-negara revisionis yang ingin mengubah tatanan politik di Timur Tengah. Suriah dan negara-negara Arab tidak akan menghancurkan Israel karena Israel memiliki sekutu yang sangat kuat (AS) dan senjata nuklir. Israel pun tidak akan menghancurkan Arab karena menyadari kapabilitas militer-nya yang walaupun tergolong superior di Timur Tengah namun masih belum bisa mengalahkan gabungan negara-negara Arab tanpa bantuan AS. Pola seperti ini membuat tidak akan ada perdamaian abadi di Timur Tengah jika AS sebagai great power tidak mengizinkan dan tidak benar-benar menjadikan perdamaian sebagai kepentingan nasionalnya. Maka penciptaan BoP merupakan salah satu alasan pemilihan strategi
92
kontradiktif AS, fungsinya adalah untuk melindungi Israel namun tetap membuka peluang hubungan dengan Suriah. Lebih jauh lagi balancing dengan strategi kontradiktif yang dilakukan AS bertujuan untuk membuat tatanan regional yang menguntungkan bagi AS. Tatanan regional dimana AS berperan sebagai balancer membuat AS menjadi satu-satunya negara yang mampu menciptakan stabilitas di Timur Tengah. Efeknya negara-negara di Timur Tengah seperti Israel, Arab Saudi dan Turki akan cenderung memilih untuk beraliansi dengan AS. Negara revisionis seperti Suriah juga akan memilih bekerjasama dengan AS karena ingin mendapatkan wilayahnya kembali melalui negosiasi perdamaian yang dipimpin oleh AS. Ketika proses strategic appraisal ini selesai maka Pemerintah AS akan mendapatkan rekomendasi kepentingan nasional apa yang AS miliki dalam merespon Konflik Suriah - Israel, mengidentifikasi sumberdaya yang tepat untuk mencapai kepentingan ini serta resiko dari strategi yang dipilih. Hasil akhirnya, strategi yang dipilih akan menciptakan efek yang sesuai harapan dan merealisasikan kepentingan nasional (Bartholomees 2010:64).
BAB V KESIMPULAN Amerika Serikat merupakan great power yang telah melibatkan diri dalam proses penyelesaian Konflik Timur Tengah, salah satunya konflik Suriah - Israel, sejak resolusi Perang 1973. Awal mula keterlibatan AS dalam proses perdamaian Suriah – Israel adalah ketika negara-negara Arab melakukan embargo minyak kepada AS karena dukungan AS terhadap Israel dalam Perang Arab – Israel 1973. Konflik Suriah – Israel yang terjadi pada periode penelitian (2002 -2008) disebabkan oleh okupasi dan aneksasi Israel atas Dataran Tinggi Golan tahun 1967, Konflik perbatasan, Aliansi Suriah dengan Iran dan Hizbullah dan Konflik perebutan pengaruh di Lebanon. Ada empat hal yang membuat AS menjadi satu-satunya tumpuan dalam penyelesaian Konflik Arab – Israel. Pertama, AS menjalin hubungan diplomatik yang luas dengan negara-negara Timur Tengah, khususnya Israel. Kedua, superioritas perekonomian AS memungkinkan AS untuk memimpin perdamaian di Timur Tengah dengan cara memberikan bantuan ekonomi dan teknologi bagi pihak-pihak yang bersedia terlibat dalam proses perdamaian. Ketiga, pasca Perang Dingin, keruntuhan Uni Soviet menyebabkan negara-negara aliansinya yang berada di Timur Tengah, seperti Suriah bersedia meminta AS memimpin proses perdamaian. Keempat, AS adalah satu-satunya aktor yang berhasil mengadakan direct talks antara negara-negara
92
93
yang berkonflik sehingga mengubah perang terbuka menjadi cold peace melalui perjanjian damai dan gencatan. Secara umum strategi AS dalam konflik Suriah – Israel membawa lima fungsi yaitu pertama, membangun kontak jika kedua pihak tidak berusaha berhubungan. Kedua, menyelidiki posisi yang menentukan titik temu dan menentukan target yang akan dicapai. Ketiga, menyediakan persuasi, tekanan dan insentif yang dibutuhkan. Keempat, menyarankan solusi yang dapat menjembatani kedua belah pihak. Kelima, menawarkan jaminan yang dapat dipercaya atas implementasi (Fishere, 2008:28). Tujuan negosisasi Suriah – Israel terbagi menjadi dua hubungan yaitu hubungan antara kedaulatan di Golan dan perdamaian penuh dan hubungan antara penarikan diri dan normaliasi. Secara spesifik, landasan Strategi Amerika Serikat dalam merespon konflik Suriah – Israel pada periode 2002 – 2008 dituangkan dalam National Security Strategy tahun 2002. Poin National Security Strategy yang dipegang teguh oleh AS untuk merumuskan strategi adalah bekerjasama dengan negara lain untuk menyelesaikan konflik regional yaitu Konflik Suriah – Israel. Strategi
ini
memiliki
dua
prinsip.
Pertama,
Amerika
Serikat
menginvestasikan waktu dan sumberdayanya untuk membangun
harus
hubungan
internasional dan institusi yang dapat membantu menangani krisis lokal saat krisis tersebut timbul (US National Security Strategy tahun 2002). Kedua, Amerika Serikat harus realistis tentang kemampuannya dalam membantu negara-negara yang tidak
94
ingin atau tidak siap untuk membantu dirinya sendiri. Ketika pihak-pihak terkait telah siap atas perannya maka AS akan bergerak dengan jelas (US National Security Strategy tahun 2002). Implementasi dari strategi ini adalah mengadakan pembicaraan damai untuk mengakomodir Suriah dan Israel yaitu Inisiasi Jenewa tahun 2003 dan Konferensi Annapolis tahun 2007. Kemudian mengadakan shuttle trip untuk mengunjungi Suriah dan
Israel
untuk
mempersiapkan dimulainya pembicaraan damai. Kedua,
meningkatkan kerjasama dan memberikan bantuan kepada
Israel. Ketiga,
mengadakan kerjasama kontra-terorisme dengan Suriah dan Israel. Keempat, memberikan tekanan kepada Suriah melalui Syria Accountability Act dan menutup Kedubes AS di Suriah. Kelima mendukung tindakan konfrontatif Israel terhadap Suriah. Strategi ini cukup menarik untuk diteliti karena terkadang bersifat konfrontatif dan terkadang kooperatif. Oleh karena itu penulis menggunakan teori strategi, konsep balance of power dan kepentingan nasional untuk menganalisa alasan AS memilih strategi yang kontradiktif ini. Hasilnya penulis menemukan alasan AS memilih strategi ini adalah pertama, mengamankan kepentingan AS, bukan untuk mencapai perdamaian Suriah – Israel. Kedua sebagai implementasi dari Doktrin Bush. Ketiga, AS ingin menciptakan balance of power di Timur Tengah.
DAFTAR PUSTAKA Abdou, Mahmoud M.A. 2012 The Middle East Process and U.S Special Interest Groups. Jerman: Heidelberg University Thesis. Al-Rousan, Mogammad Ali. 2013. American – Israeli relations during Presiden Bill Clinton Reign. European Scintific Institute. Amidror, Yaakov. 2007. The Hizballah – Syria – Iran Triangle. Middle East of International Affairs Vol 11 No.1. Axelrod, Robert dan Robert O. Keohane. 1985. “Achieving Cooperation under Anarchy: Strategies and Institutions”. World Politics, Vol. 38 No. 1: 226227. The John Hopkins University Press. Diunduh pada 2 Januari 2015 (http://links.jstor.org/sici?sici=00438871%28198510%2938%3A1%3C226%3AACUASA%3E2.0.CO%3B2A) Azpiroz, Maria
Luisa. 2013. Framming as A Tool for Mediatic Diplomatic
Analysis: Study of George W. Bush’s Political Discourse in The War on Terror. Communicaton & Society Communication Y Sociedad. BBC 7 Desember 2006. The Misunderestimated President? diakses pada 24 Desember 2014 (http://news.bbc.co.uk/2/hi/7809160.stm) BBC 16 September 2014. Syria Profile diakses pada 24 Desember 2014 (http://www.bbc.com/news/world-middle-east-14703995).
xv
BBC News. 2014. “Robert Ford is The First US Abassador to Syria Since 2005” edisi
16
Januari.
Diunduh
pada
24
Desember
2014.
(http://www.bbc.com/news/world-middle-east-12202821) Beehner, Lionel. 6 Desember 2006. The Baker Hamilton Commision (aka Iraq Study
Group).
Council
On
Foreign
Relations
(http://www.cfr.org/iraq/baker-hamilton-commission-aka-iraq-studygroup/p12010). Bie, Stale. 2012. Tesis “From Sinai to The Golan Heights: A Comparative Analysis of Israeli Peace Negotiations”. Master Thesis in Political Science Institute of Political Science Universitet I Oslo Biro Statistik Israel, Website Resmi. Data jenis komoditas Ekspor Israel ke AS pada tahun 2008 diuduh pada 24 Desember 2014 (http://www.cbs.gov.il/fortr/?MIval=%2Fimpexp%2Fimpexp_bycountries _e.html&TypeOfActivity=1&SortingType=1&FYY=2008&LYY=2011& SumOrDetail=2&MyContinent=4&MyCountry=505&TypeOfPresentation =2&MyYear=2008&SortBy=2) Blackwill, Robert D. Dan Walter B. Scolombe. 2011. Israel A Strategic Asset for The United States. The Washington Institute for Near East Policy. Bungin, Burhan. 2009. Penelitian Kualitatif: Ekonomi, Komunikasi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya h.108. Jakarta: Predana Media.
xvi
Bartholomees, Jr. 2010. The US Army College Guide To National Security Issues Volume 1 Theory of War and Strategy: 49-53. Pennsylvania: Director, Strategic Studies Institute, U.S Army War College. Beehner, Lionel. 2006. The Baker Hamilton Commission Council on Foreign Relations
Website
diunduh
pada
6
Januari
2014
(http://www.cfr.org/iraq/baker-hamilton-commission-aka-iraq-studygroup/p12010) Ben-Meir, Alon. 2010. Common strategic interests balancing support for Israel against other American interests. American Diplomacy Publishers. Benjamin, Daniel. 2008. Strategic Counterterrorism. Foreign Policy at Brookings Intitution :Washington D.C. Bradbury, Edward. 2009. US Diplomacy From Wilson to Bush. Review Company Ltd. Buzan, Barry dan Ole Waever. 2003. Regions and Powers The Structure of International Security. New York: Cambridge University Press. Cato Institute. 2009. Cato Hand Book for Policy Maker 7th Ed. Washington D.C: Cato Institute. Celik, Arif. 2005.Thesis The Role of Neoconservative Ideas In The Security Policies of The First George W. Bush Administration. Departement of International Relations Bilkent University Ankara.
xvii
Chary, Frederick B. 2009. Warfare In The Age of Expansion: 587. Diunduh pada 24 Desember 2014 (http://salempress.com/store/pdfs/weapons_warfare.pdf) CIA,
Website
Resmi
diunduh
pada
24
Desember
2014
(https://www.cia.gov/library/publications/the-world factbook/wfbExt/region_mde.html) Cordesman, Anthony H. 2011. Terrorism Center Reporting Terrorism in The Middle East and Central Asia, Augus 2010. Washington D.C: Center for Strategic and International Studies. Cordesman, Anthony H, Arleigh A. Burke dan Aram Nerguizan. 2010. The Arab – Israel Military Balance: Conventional Realities and Assymetric Challenge. Washington D.C. : Center for Strategic and International Studies. Cordesman, Anthony H. dan George Sullivan. 2007. Lesson of the 2006 Israel – Hizbullah War. Washington D.C: Center for Strategic and International Studies. Cordesman, Anthony H. dan Ionut C. Popescu. 2007. Israel and Syria: The Military Balamce and Prospect of War. Washington D.C: Center for Strategic and International Studies.
xviii
Cordesman, Anthony H. 2007. The Israeli “Nuclir Reactor Strike” and Syrian Weapons of Mass Destruction: Backgroun Analysis. Washington D.C: Center for Strategic and International Studies. Collins, Bennet. 7 Oktober 2010. USA: Status Quo or Revisionist Power? Diunduh pada 27 Maret 2014 (http://www.e-ir.info/2010/10/07/usa-statusquo-or-revisionist-power/#_ftn12) Daalder, Ivo H. dan James M. Lindsay. 2003. The Bush Revolution: The Remaking of America’s Foreign Policy. The Brookings Institution. Daoudy, Marwah. 2008. “A Missed Chance For Peace: Israel and Syrians Negotiations Over The Golan Heights”. Journal of International Affairs Columbia University: 1-14. Danielson, Robert Eugene. 2007. Nasser and Pan Arabism: Explaining Egypt’s Rise In Power. Washington DC : Naval Postgraduate School. Darmstadter, Joel. 2013. Recalling the Oil Shock of 40 Years Ago h.4. Resources For The Future. El Ezzi, Ghassan. 2006. Israel and Peace in Lebanon: A Lebanese Perspective. Eisenstadt, Michael dan David Pollock. 2012. Asset Test: How the United States Benefits from Its Alliance with Israel. Washington D.C : The Washington Institute for Near East Policy. EMAP Businesss International. 2005. Damascus looks to old ally for support.
xix
--------------------------------------. 2007. Tel Aviv calls for direct peace talks with Damaskus; lack of US participation raises daibts over success of negotiations. Elridge, Alyssa. 2013. No Exit: The Bush Doctrine and Continuity in U.S Middle East Policy. Stanford Journal of Muslim Affairs. Facethefactus. Org George Washington University Project.2013. “US Aid From 1964-2010”. diunduh pada 15 Januari 2014 (http://www.facethefactsusa.org/facts/Billions-cant-buy-peace-in-theMiddle-East) Fishere, Ezzedine Choukri. 2008. “Againts Conventional Wisdom: Mediating Arab – Israeli Conflict” h.33. Center for Humanitarian Dialogue. Foundation for Middle East Peace. 1992. Report on Israel Settlement in Occupied Territories. Washinton D.C: Foundation for Middle East Peace Gingrich, Newt. 2005. Defeat of Terror, not Roadmap Diplomacy, Will Bring Peace. Middle East Quarterly. Griffiths, Martin; Terry O’Callaghan dan Steven C. Roach. 2007. International Relations: The Key Concepts Second Editio h. 216-217. Routledge Taylor and Francis Group. Goodarzi, Jubin. 2006. Syria and Iran: Diplomatic Alliance and Power Politics in The Middle East. New York: Tauris Academic Study.
xx
Golan Al-Marsad. Website resmi Organisasi Golan Al Marsad diunduh pada 24 Desember 2014 (www.golan-marsad.org); (https://www.facebook.com/pages/Al-Marsad-Arab-Human-RightsCentre-in-Golan-Heights/1430895697124379); (https://twitter.com/golanmarsad) Hadar, Leon T. 2007. A Diplomatic Road to Damascus: The Benefit of U.S Engagement with Syria. California: The Independent Institute. Heilburnn, Jacob. 2004. The Neoconservative Journey dalam Peter Berkowitz, Varieties of Conservatism in America. Hoover Institution Press. Hinnebusch, Raymond. 2005. Resisting American Hegemony: The Case of Syria. University of St. Andrews. Hof, Frederic C. 2009. Mapping Peace between Syria and Israel. Washington D.C : United States Institue for Peace . Holsti, K.J. 1987. Politik Internasional Kerangka Analisa. Jakarta : Pedoman Ilmu Karya. International Crisis Group. 2007. Restrating Israel – Syriah Negotiations Middle East Report No.63. Institute for Research Middle Eastern Policy Inc. 2003. Clean Break or Dirty War? Israel Foreign Policy Directive to The United States. Middle East Foreign Policy Brief. Iraq Study Group. 2006. Iraq Study Group Report. Jervis, Robert. 2003. Understanding Bush Doctrine. Political Science Quarterly. New York: The Academy of Political Science Volume 118 No.3.
xxi
Jones, David T. 2009. Innocent Abroad: An Intimate Account of American Peace Diplomacy in the Middle East. American Diplomacy Publisher. Jentleson, Bruce, Andrew M. Exum dan Melissa G. Dalton. 2012. Strategic Adaptation Toward a New U.S Strategy in The Middle East. Washinton D.C : Center for New American Security. Kabalan, Hasan. 2012. US Foreign Policy In The Middle East 2003-2008: The Power of Neoconservatism. Thesis School of Arts and Sciences Lebanese American University. Kaim, Markus. 2008. Great Powers and Regional Orders. United States: Ashgate Publishing Company. Kahneman, Daniel dan Jonathan Renshon. 27 Desember 2006. Why Hawks Win. Diunduh pada 1 November 2014 (http://www.foreignpolicy.com/articles/2006/12/27/why_hawks_win) Krause, Peter dan Stepehen Van Evera. 2009. Public Diplomacy: Ideas for the war of ideas. Wiley Periodicals, Inc. Kurtzer, Daniel. 2012. Balancing Commitments and National Interests. American Diplomacy Publishers. Leary,
Kimberlyn.
2009.
Engaging
extremists:
diplomacy
through
deradicalization. President and Fellows of Harvard College, through the John F. Kennedy School of Government. by the President and Fellows of Harvard College.
xxii
Leverett, Flynt. 2005. The Road Ahead Middle East Policy In The Bush Administration’s Second Term. Washington D.C: The Brookings Institute. MacDonald. 2008. The Neoconservative Mind, Review They Knew They Were Right The Rise of Neocons. The Occidental Quarterly Vol 8 No. 3. Mandel, Daniel. 2002. U.S. diplomacy: even-handed, empty-handed. Middle East Quarterly. Ma’oz, Moshe. 2005. Can Israel and Syria Reach Peace? Obstacle, Lessons and Prospects. The James A. Baker III Institute For Public Policy Rice University. MEDD Middle East Economic Digest. 1994 a. Syria attacks Golan vore proposal. EMAP Business International. -----------------------------------------------. 1994 b. It depends on Rabin: Israel, Syria and Lebanon. EMAP Business International. Migdalovitz, Carol. 2007. “Israel – Palestinian Peace Process: The Annapolis Confrence” h.5. CSR Report for US Congress. Miller, Benjamin. 2007. State, Nations and Great Powers: The Sources of Regional War and Peace h.154. New York: Cambridge University Press. Mitchell, George J, dkk. 2001 Sharm El-Sheikh Fact-Finding Committee Report “Mitchell Report”. Mitha, Farooq. “Whats Next for Syria After Annapolis Confrence” h.1. diunduh pada 24 Desember 2014
xxiii
(http://www.gellermithalaw.com/pdf/What%27s%20next%20for%20Syria %20after%20Annapolis.pdf) Morgenthau, Hans J dan Kenneth W. Thompson. 2010. Politik Antar Bangsa (edisi terjemahan) h. 199-200. Jakarta:Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Morris, Mary E. 1993. The Persistence of External Interest in the Middle East. National Defense Research Institute (RAND). New
York
Times
diunduh
tanggal
12
Desember
2014
(http://www.nytimes.com/interactive/2008/05/21/world/middleeast/20080 521_MIDEAST_PRIMER.html?ref=golanheights&_r=0) OECD, Website Resmi. “Negara-negara Penyumbang Dana Terbesar Bagi Timur Tengah. Diunduh pada 24 Desember 2014 (http://stats.oecd.org/qwids/#?x=1&y=6&f=2:249,4:1,7:1,9:85,3:51,5:3,8: 85&q=2:249,13,81,82,83,85,91,95,131,141,147,167,183,134,191,223,G9+ 4:1,2+7:1+9:85+3:51+5:3+8:85+1:29,27,3,4,5,6,58,7,8,9,10,11,60,12,13,1 4,61,15,16,17,18,62,19,63,75,20,21,22,23,24,176,192+6:2002,2003,2004, 2005,2006,2007,2008&lock=CRS1) Olmert, Josef. 2011. “Israe’ – Syria; The Elusive Peace”. Digest of Middle East Studies Volume 20 No. 2 h. 204-206. Policy Studies Organization Wily Periodicals Inc. Okhovat, Sahar. 2011. The United Nations Security Council: Its Veto Power and Its Reform. Sydney: Centre for Peace and Conflict Studies.
xxiv
Oren, Michael. 2011. Continuity and change: Israel's relationship with the United States and the world. Georgetown University, Edmund A. Walsh School of Foreign Service Washinton D.C : The Saban Center . Osinga, Frans. 2007. Science, Strategy and War: The Strategic Theory of John Boyd. New York : Routledge. Ottaway, Marina. 2008. Diplomacy in the Middle East: Arab allies their own agendas. Harvard International Relations Council, Inc. Owen, Roger. 2008. One hundred years of Middle Eastren Oil h.1. Brandaies University. Otterman, Sharon. 2005. MIDDLE EAST: The Road Map to Peace. Parry, Robert. 13 Agustus 2006. Israel Leaders Fault Bush on War dalam Consortiumnews.com
diakses
pada
24
Desember
2014
(https://consortiumnews.com/2006/081206.html) Paul, T.V. James, J. Wirtz dan Michel Fortman. 2004. Balance of Power: Theory and Practice in 21st Century h. 2, 240. California: Stanford University Press. PBS.org. 2002. what role have natural resources played in the politics and economy of the middle east. Diunduh pada 24 Desember 2014 (http://www.pbs.org/wgbh/globalconnections/mideast/questions/resource/) Philips, Douglas A. 2010. Syria. New York : Infobase Publishing.
xxv
Plano, Jack C. dan Roy Olton. 1999. Kamus Hubungan Internasional. Jakarta : CV. Putra A. Bardin. Pomerantz, Sherwin. 2007. Economic Cooperation Israel and The United States: From Modest Beginnings to a Vibrant State. Pressident Assad, Website Resmi diakses pada 24 Desember 2014 (http://www.presidentassad.net/index.php?option=com_content&view=cat egory&id=99&Itemid=468) Pressman, Jeremy. 2006. The United States and the Israel Syria War. Brandeis University. Procon.org diakses pada 24 Desember 2014 (http://israelipalestinian.procon.org/view.backgroundresource.php?resourc eID=934 ) Quandt, William. 2005. Peace Process American Diplomacy and The Arab – Israeli Conflict Since 1967. Berkeley and Los Angeles: Brookings Intitution Press and University of California Press. Roskin, Michael G. 1994. National Interest: From Abstraction to Strategy. Strategic Study Institute: US Army War College. Rabinovich, Itamar. 2010. How to Talk and How Not to Talk to Syria: Assesing Obstacle to and Opportunities in a Future Israeli-Syrian-American Peace Negoitation.
xxvi
Repko, Elliot M. 2007. The Journal of International Policy Solutions The Israeli – Syrian Conflict: Prospect for a Resolution. George Washington University Elliot School of International Affairs. Reveron, Derek S. 2008. “Counterterrorism and Inteligence Cooperation”. Journal of Global Change and Governance Volume I No. 3 h.5,9. Rhynhold, Jonathan. 2010. Is the pro-Israel lobby a block on reaching a comprehensive peace settlement in the Middle East? Berghahn Books Inc. Roskin, Michael G. 1994. National Interest: From Abstraction to Strategy: 5-6. Director Strategis Studies Institute: US Army War College. Rubin, Michael.2009.The Enduring Iran-Syria-Hizbullah Axis. Middle East Forum.
Diunduh
pada
14
Desember
2014
(http://www.meforum.org/2531/iran-syria-hezbollah-axis) Scham, Paul. 16 November 2007. “Annapolis, Nomber 2007: Hopes and Doubts” h.13. diunduh pada 25 Maret 2014 (http://www.mei.edu/content/annapolis-november-2007-hopes-anddoubts). Salem, Paul. 2008 Syrian – Israeli Peace: A Possible Key to Regional Change. Carnegie Endowment for International Peace.
xxvii
Sharp, Jeremy M. 2010. “US Foreign Assitance to the Middle East: Historical Background, Recent Trends and The FY 2011 Request” h.7. Congressional Research Service. Sharp, Jeremy M. dan Alfred B. Prados. 2007. Syria: U.S Relations and Bilateral Issues. Congressional Research Service. Schwab, Klaus dan Michael E. Porter. 2008. The Global Competitiveness Report 2008 -2009. Jenewa: World Economi Forum. Shalom, Zaki. 2011. The White House Middle East policy in 1973 as A Catalyst for The Outbreak of The Youm Kippur War. Indiana University Press. Shindler, Colin. 2008. A History of Modern Israel. Cambridge University Press. Silva, Marta. 2010 The Annapolis Confrence: a chronic case of too little, too late? George Washington University: Washington D.C. Sale, Patrick. Syria Helped US Catch Mrs. Anthrax diunduh pada 14 Desember 2014 (http://www.upi.com/Top_News/2003/05/08/Syria-helped-US-catchMrs-Anthrax/86331052404164/) Sheehan, Michael. 1996. The Balance of Power: History and Theory h.59. London and New York : Routledge Taylor and Francais Group. Silaen, Ruth. 2011. “Latar Belakang Israel Mempertahankan Dataran Tinggi Golan Pada Masa Pemerintahan Benjamin Netanyahu”. Skripsi S1 Jurusan xxviii
Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Veteran Yogyakarta. Smith, Ben dan Tim Youngs. 2010. “Middle East Peace Process: historical background and a detailed chronology from 1990 to 2010”. International Affairs and Defend Section: 2. Library House of Common Suaramerdeka.com. Serangan Amerika ke Suriah dikecam diakses pada 24 Desember 2014 (http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2008/10/29/36790/Sera ngan.Amerika.ke.Suriah.Dikecam) Suwarno, Windratmo. 2012. “Mediasi dalam Hukum Internasional. Studi Kasus: Mediasi AS dalam Konflik Suriah – Israel 1991-2000”. Jurnal CMES Vol. V No.1: 2-18. Pusat Studi Timur Tengah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Suyanto, Bagong dan Sutinah. 2007. Metode Penelitian Sosial h.166, 170-175. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Teeva,
Website
Resmi
diunduh
pada
24
Desember
2014
(http://www.tevagenerics.com/about-teva-generics/who-we-are). The Economist. 1995. Opening The Road to Damascus. Economist Intelligence Unit N.A. Incorporated.
xxix
Thomas, Michael. 2007. American Policy Toward Israel: The power and limits and beliefs. New York: Routledge. Toft, Peter.2005. John J. Mearsheimer: An Offensive Realist between Geopolitics and Power h.6. Copenhagen: University of Copenhagen. United Nations Website. 2003. “Security Council Meets in Emergency Session Following Israel Air Strike Againts Syria”. Diunduh pada 12 Agustus 2014 (http://www.un.org/News/Press/docs/2003/sc7887.doc.htm). United Nations Information System on The Question of Palestine (UNISPAL). 1981. “Resolusi 497 tahun 1981”. diunduh pada 2 Januari 2015 (http://unispal.un.org/UNISPAL.NSF/0/73D6B4C70D1A92B7852560DF 0064F101) United States Departement of Commerce United States Bureau. “Trade In Goods with Israel”. diunduh pada 13 September 2014 (https://www.census.gov/foreign-trade/balance/c5081.html) United States Energy Information Administration Website. “Total Oil Supply 2002 – 2008”. Diunduh pada 24 Desember 2014 (http://www.eia.gov/cfapps/ipdbproject/iedindex3.cfm?tid=5&pid=53&ai d=1&cid=ww,&syid=2002&eyid=2008&unit=TBPD) United States President. 2002. National Security Strategy of The United States. The White House. xxx
United States Departement of State. 2013a. “Milestones 1969-1976: Oil Embargo 1973-1974”.diunduh pada 24 Desember 2014 (https://history.state.gov/milestones/1969-1976/oil-embargo) ------------------------------------------. 2013b. “US Relations With Iran”. Diunduh pada 24 Desember 2014 (http://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/5314.htm) United States Departement of State Publication Office of the Coordinator for Counterterrorism. 2009. Country Reports on Terrorism 2008. United States Departement of Trade, Official Website diakses pada 24 Desember 2014 (https://www.census.gov/foreign-trade/balance/c5081.html#2002) Vaisse, Justin. 2010. Why Neoconservatism Still Matters. Foreign Policy at Brookings. Walker, Edward.2002. Hizbullah is a terrorist organization. Middle East Institute Middle East Quarterly. Walt Stephen M. dan Mearsheimer. 2010. Dahsyatnya Lobi Israel. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Waltz, Kenneth. 1979. Theory of International Politics. US: Addison-Wesley Publishing Company. Wilcox Jr., Philip C. 2009. Brokering Mideast peace. The Christian Century Foundation.
xxxi
World Nuclear Association diakses pada 24 Desember 2014 (http://www.worldnuclear.org/info/Safety-and-Security/NonProliferation/Appendices/Nuclear-Proliferation-Case-Studies/) Yarger, Harry R. 2006. Strategic Theory for The 21st Century: The Little Book on Big Strategy. Zayani, Mohammed. 2008. Courting and containing the Arab street: Arab public opinion, the Middle East and U.S. public diplomacy. Association of ArabAmerican University Graduates. Zannoti, Jim. 2012. Israel: Background and U.S Relations. Congressional Research Service.
xxxii
Lampiran 1 Wawancara
penulis
bersama
Kuasa
Usaha
Suriah
untuk
Indonesia,
Dr. Basham Alkhatib pada tanggal 22 April 2014. Berikut kutipan wawancaranya: 1. Dr. Basham Alkhatib (Charge d’Affaires) 2. Andhini Citra Pertiwi (Me) Ambassador : “What can I do for you?” Me
: “First I want you to know that our pray belongs to your country. May Allah gives you strength and patience through the sad day. Sir, related to my thesis, I want to know how is the economic, social and political conditions in Golan Heights?”
Ambassador : “Amin, Thank you. Don’t worry the storm will be passed because we always believe in Allah SWT. Talking about the Golan Heights, it cannot be separated with the others Israeli occupied territory, such as Palestine and Lebanon". Israel occupied those territory after 1967 war and it's contrary to UN charter. Golan Heights is our territory, the Golan tree is belongs to Syrian, The Golan water is belong to Syrian and the Golan People is Syrian. So we will do everything to take it back. The Israeli only takes an advantage from Golan natural resources and they don't stop to build settlement and nothing US can do to stop it because Israel is their ally.” Me
: “So what was the US role to resolve that?”
Ambassador : “The US did nothing to resolve that.” Me
: “How about 2003 peace map and Annapolis Conference?” xxxiii
Ambassador : “Yes, US held that, but the main purpose was not for creating everlasting peace in Middle East. But only for US interest. You know what, in 2003 US Secretary of State Colin Powell met my president and he said "I can help you to take Syrian territory back, but you should agree with US invasion in Iraq and you should end your relationship with Iran, then you also should help us to combat terrorist in the region. After hearing that, my president decided to walk out from that meeting. From 1991 Madrid Conference until now we always stand for not only to taking back our territory but also to support Palestine and Lebanon to obtain their right. What do you see from implementation of US peace conference for Middle East? Israel still continued settlement construction, Palestinian still haven't a sovereign state, Iraq situation remains poorly and the conflict still go on so the innocent people still become a victim.” Me
: “Why is it always like that sir?”
Ambassador : “Because, like i said before, US only seeking for their interest. If their interest is diplomacy, so they'll do diplomacy and if their interest is war, so they'll do war.” Me
: “How about the incentive sir? Did US give an incentive to Syria to join in peace conference?”
Ambassador : “Yes a little incentives but every incentives had a consequences and the consequences is always related to their interest.” Me
: “How about your opinion about bush diplomacy in Syria after 9/11 and after Iraq war?”
xxxiv
Ambassador : “If you talk about US, you don't talk about leader characteristic but you talk about US system. So i think there was no big differences between Bush Jr or Bush Sr or the others US president.” Me
: “In some President Bush speech, he mentioned Syria as a part of axis of evil by supporting Hezbullah in creating terror. According to his speech, the true Syrian mission behind that was to improve the bargaining position of the Golan Heights issues in any peace talks that the US held. What's your opinion?”
Ambassador : “Who is the real terrorist in here? who's been stealing the others country natural resources, who's been occupying the others country territory, who's attacking Palestinian, who's been never stop to fulfill their interest? That's the real terrorist I think.” Me
:” In 2005, the US embargoed Syrian because allegedly participating in the killing of Lebanese Prime Minister Rafiq Hariri. After that US Syrian relation was stretchable. What is your opinion about that?"
Ambassador : “There was cool fact about that news. With the God permission, the sons of Al Hariri, his name is Saad Hariri declared that Syria was not involved in his father assassination. So, it is more than enough to clear that news." Me
: “What is the solution to resolve Israel - Syrian Conflict?”
Ambassador : “First, from governmental level, our stands is always clear. We accepted normalization with Israel if they gives back our territory included Lebanon dan Palestine territory according to the 1967 international border. Second we should have new civilization and cultural project which needed cooperation with the others Arab and Muslim Country including Indonesia. That project can increase our xxxv
mutual understanding and solidarity, so our bargaining position in international arena could be stronger”. Me
: “What is your hope for US to resolve this conflict?”
Ambassador : “We don’t hope to US. We only hope to God. Because Allah who has everything. And we only can hope to the other Arab or Muslim country like Indonesia.”
xxxvi