COERCIVE DIPLOMACY AMERIKA SERIKAT TERHADAP KONFLIK INTERNAL LIBYA REZA INDRA ADICHAPUTRA (210000237)
Abstract Internal conflict in Libya between the Libyan government and its people in the phenomenon of the Arab spring in 2011 encourages the international community through the United Nations to take action. Libyan government's acts of violence against civilians protesting by using military facilities be the basis action to be taken by the United Nations. Based on the UN (United Nations) Security Council meeting as the party who has the authority to participate protect Libyan civilians, the UN Security Council issued resolution No. 1973 related to the conflict in Libya. UN mandate for NATO forwarded to the Security Council and implemented in the United States as a member of both institutions to conduct coercive diplomacy. Coercive diplomacy launched an attack in the form of access to the Libyan military weapons used against unarmed civilians. United States act along with member states of the UN Security Council and NATO resulted in the death of the Libyan leader, Muammar Qaddafi, which put an end to the internal conflict in Libya.
I. PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Fenomena Arab Spring merupakan sebuah puncak dari meletusnya kesabaran dan kesadaran masyarakat atas pola pemerintahan di negara-negara Timur Tengah. Negara negara Timur Tengah identik dengan bangsa Arab yang dikenal dalam sistem pemerintahan yang pola kepemimpinannya dikuasai dalam rentang waktu yang lama oleh seorang pemimpin bahkan turun-temurun. Kebebasan berpendapat dan berserikat, rendahnya mutu pendidikan, diskriminasi terhadap perempuan dan tersingkirnya kaum minoritas menjadi sebuah hal yang langka dan menjadi alasan yang kuat terjadinya pergolakan oleh masyarakat yang dikenal dengan nama Arab Spring. Dinamakan Arab Spring karena keidentikan musim semi (spring) dengan kondisi bahagia, bunga bermekaran, daun menguning dan berwarnawarni setelah dilaluinya musim dingin salju dimana fenomena Arab Spring dianggap sebagai sebuah kondisi yang mirip yaitu tumbangnya rezim, yang dianalogikan dengan musim dingin yang menyiksa, dan diakhiri dengan “kemenangan” masyarakat Arab atas memperjuangkan
1
hak dalam memperoleh kehidupan yang lebih baik dari belenggu sistem pemerintahan yang sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Fenomena Arab Spring di Timur Tengah diawali pada tanggal 17 Desember 2010, Mohamed Bouazizi, seorang pedagan kaki lima, membakar diri di Sidi Bouzid, Tunisia, sebagai protes terhadap penganiayaan yang diterima dari agen kota (Semacam Satpol Pamong Praja di Indonesia).1 Kematiannya, hari kemudian, berubah menjadi tragedi nasional yang menyebabkan Presiden Zein al-Abedin Ben Ali terpaksa lengser. Seperti api yang merambat dan melahap benda apapun, protes kemudian menyebar dari satu negara Arab ke negara Arab yang lain sampai seluruh wilayah Timur Tengah, mengantarkan era baru dalam sejarah wilayah Timur Tengah dan dikenal sebagai “Musim Semi Arab” (Arab Spring) atau “Kebangkitan Arab” (Arabian Uprising).2 Pada tanggal 14 Januari 2011, protes pecah di ibukota Yordania dan kota-kota besar lainnya. Pada 16 Januari, seorang ibu rumah tangga di Yaman berusia 32 tahun mem-posting pesan di Facebook memanggil orang-orang untuk melakukan pemberontakan di Tunisia, sebuah inisiatif diikuti oleh rantai gejolak yang beberapa bulan kemudian memaksa Presiden Ali Abdullah Saleh untuk mundur.3 Pada tanggal 25 Januari, sebuah kelompok pemuda di Mesir menggunakan Facebook untuk mengatur unjuk rasa untuk memprotes kebrutalan polisi, keadaan hukum darurat, kurangnya kebebasan, dan korupsi di tempat-tempat umum seperti di Tahrir Squere, suatu tindakan yang menyebabkan penggulingan Presiden Hosni Mubarak.4 Pada tanggal 13 Maret, pasukan keamanan Suriah melepaskan tembakan ke arah orang-orang yang berkumpul di masjid utama Deraa di Suriah selatan untuk membicarakan tentang bagaimana menanggapi penangkapan beberapa siswa yang menulis slogan-slogan anti-rezim di dinding sekolah mereka. Demonstrasi dengan berbagai tingkat intensitas juga meletus di Irak, Lebanon, Maroko, dan Arab Saudi.5 Fenomena Arab Spring tidak terkecuali juga terjadi di Libya. Negara yang diberkahi anugrah kekayaan alam berupa Minyak bumi yang besar dimana dari data OPEC menunjukkan bahwa Libya merupakan negara ke tujuh belas terbesar di dunia penghasil bahan minyak bumi (petroleum production) dalam rentang tahun 1980-20046 dimana dengan kemampuan sumber daya alamnya yang menunjang kemampuan ekonomi membuat Libya 1
Mansoor Moaddel. The Arab Spring and Egyptian Rovolutions Maker: Predictor of Participation. Population Studies Center:Amerika Serikat.2012. Hlm 3. 2 Ibid, Hlm 3. 3 Ibid, Hlm 3. 4 Ibid, Hlm 4. 5 Ibid, Hlm 4. 6 http://www.opec.org/library/Annual%20Statistical%20Bulletin/interactive/2004/FileZ/XL/T33.HTM (diakses 11 Mei 2013) 2
memiliki bargaining position dalam tatanan politik di Afrika dan dalam tatanan dunia. Dipimpin oleh seorang kolonel yang bernama Moammar Abu Minyar Al-Qaddafi atau biasa disebut Qaddafi. Qaddafi yang melakukan kudeta militer pada tahun 1969 dan memulai kepemimpinannya dan menetapkan dasar negara kombinasi dari ideologi sosialis dan Islam.7 Setelah 42 tahun kepemimpinanya, Qaddafi diangggap telah menjalankan pemerintahan korup dan tidak memperhatikan kesejahteraan rakyatnya yang menyebabkan Protes ribuan warga Libya terjadi seiring pemerintah yang melakukan pelanggaran hak asasi manusia dengan menahan pengacara Fathi Terbii di Benghazi, Libya, yang mengarah ke pemberontakan bersenjata melawan Qaddafi. 1.2 IDENTIFIKASI MASALAH Libya dikenal sebagai negara dari benua Afrika yang memiliki track record yang menyita perhatian internasional tak lain karena dipimpin oleh seseorang yang eksentrik yaitu Moammar Qaddafi. Kebijakan Qaddafi “mensponsori” penyerangan terhadap pesawat terbang Pan Am 103 yang sedang melintasi Lockerbie, Skotlandia, pada 21 desember 19888 yang menewaskan 259 orang.9 Hal tersebut menyebabkan Libya mendapat berbagai sanksi, mulai dari sanksi ekonomi hingga embargo senjata. Pada tahun 2003 pemerintahan Libya menyerahkan dua tersangka pelaku pemboman pada kasus pesawat Pan Am dan membayar kompensasi sebesar 2,3 milyar Dollar AS terhadap kejadian tersebut disertai dengan persetujuan Libya untuk tidak meneruskan proyek pengembangan senjata perusak massal (weapon of mass destruction).10 Libya dikenal sebagai negara anti-barat, khususnya Amerika Serikat, dimana pada era presiden G.W Bush mengkategorikan Libya sebagai salah satu dari negara axis of evil karena sering berseberangan pandangan dan melawan kebijakan AS dalam politik internasional dan kebijakan radikal negara dalam hal ini misalnya adalah pengembangan nuklir dan senjata pemusnah massal.
7
www.cia.gov/Libya.htm (Diakses 11 Mei 2013) www.cia.gov/Libya.htm. (diakses tanggal 11 mei 2013) 9 Bruce W. Jentleson dan Christopher Whytock. Who “won” libya: The Force Diplomacy debate and its implications for theory and policy. Diakses dari situs live.belfercenter.org tanggal 11 mei 2013. 10 Azyumari Azra. Anatomi krisi Libya, Yaman dan Bahrain. Kompas.com. http://internasional.kompas.com/read/2011/02/25/03120395/Anatomi.Krisis.Libya.Yaman.Bahrain. diakses 11 mei 2103 8
3
Kecenderungan dalam fenomena Arab Spring berupa pergolakan yang terjadi di negara Timur Tengah disebabkan oleh protes terhadap pemerintahan. Protes tersebut cenderung dilakukan terkait sikap pemerintah yang kerap melakukan pelanggaran HAM, memenjarakan penduduk tanpa proses pengadilan dan penyalahgunaan kekuasaan serta wewenang serta diperparah praktik korupsi, kolusi dan nepotisme dalam tubuh pemerintahan. Hal ini juga terjadi di negara Libya, masyarakat Libya memanfaaatkan momentum rakyat Timur Tengah yang protes terhadap pemerintahan (Arab Spring) yang dianggap kerap mengabaikan suara rakyat. Sikap pemerintah yang kerap melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), tingginya angka kemiskinan dan permasalahan ekonomi (dua hal yang selalu berkaitan erat) hingga tindakan represif pemerintah terhadap masyarakat. Pergolakan yang terjadi di Libya didorong oleh tindakan pelanggaran HAM oleh pemerintah yang menyebabkan terjadinya protes dan unjuk rasa menuntut adanya reformasi dalam upaya pemerintah memenuhi kebutuhan masyarakat dan aspirasi masyarakat. Respon pemerintah Libya terhadap para protester (pengunjuk rasa) dengan penggunaan senjata peluru tajam dan cara kekerasan dalam membubarkan aksi unjuk rasa menyebabkan terjadinya pergolakan di Libya. Masyarakat yang tidak berhenti untuk melakukan aksi protes terhadap pemerintah dan penggunaan senjata oleh aparat Libya dalam merespon protes masyarakat menyebabkan pelanggaran HAM dan mendapat perhatian internasional. Dalam momentum fenomena Arab Spring tersebut, terjadi konflik internal rakyat Libya terhadap pemerintah Libya dibawah kepemimpinan Qaddafi. Konflik internal yang menyebabkan pelanggaran HAM dengan adanya penggunaan kekerasan oleh aparatur negara yang menyebabkan tidak sedikit korban jiwa yang meninggal dan terluka. Korban tewas dari aksi protes anti-pemerintah di Libya mencapai 300 orang, termasuk 111 tentara dan 189 warga sipil seperti dilansir stasiun televisi nasional Libya pada hari Rabu 23 februari 2011.11 Dalam konflik internal ini terdapat dua sisi yang saling berkonflik antara negara (aparatur / pemerintah) dan rakyat (dimana terdapat kelompok masyarakat sipil yang membentuk kelompok perlawanan). Konflik antara dua kubu tersebut menyebabkan adanya “campur tangan” PBB dalam melihat kejahatan kemanusiaan karena Pemerintah Qaddafi menggunaakan senjata berat seperti pesawat tempur hingga tank dalam melawan kelompok oposisi (kelompok rakyat sipil yang menentang pemerintah).
Diakses dari http://www.Berita.liputan6.com. “Korban Tewas kerusuhan Libya capai 300 orang”. Diakses tanggal 12 mei 2013. 11
4
pada tanggal 17 Maret 2011, Dewan Keaman (DK) PBB melakukan sidang ke- 6.498, lalu mengeluarkan serta mengesahkan Resolusi DK PBB No.1973 terkait dengan situasi di Libya yang semakin memburuk.12 Resolusi tersebut secara garis besar antara lain mengatur mengenai penerapan gencatan senjata dan penghentian seluruh tindakan kekerasan serta penyerangan terhadap penduduk sipil dalam waktu sesegera mungkin. Perlunya upaya-upaya yang intensif untuk merumuskan suatu solusi politik yang damai dan berkelanjutan atas krisis di Libya, kewajiban bagi Otoritas Libya untuk mematuhi hukum internasional, perlindungan atas penduduk sipil (Protection of Civillians), pelaksanaan Zone Larangan Terbang (No Fly Zone), pelaksanaan Embargo Senjata (Enforcement of the Arms Embargo), dan pembekuan sejumlah aset perorangan, instansi pemerintah maupun perusahaan Libya.13 Amerika Serikat menggalang suara dalam tubuh DK PBB dengan melibatkan Inggris dan Prancis terlibat dalam konflik di Libya. Keikutsertaan Inggris dan Prancis tersebut sesuai dengan mandat DK (DK) PBB berdasar resolusi 1973. Amerika Serikat sebagai negara yang menjunjung nilai demokrasi dan HAM menjadi pionir dalam melaksanakan resolusi PBB 1973 yang disetujui oleh 10 negara anggota DK yaitu Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Bosnia dan Herzegovina, Kolombia, Gabon, Libanon, Nigeria, Portugal dan Afrika Selatan. 5 negara anggota DK lainnya yaitu Rusia, Jerman, Tiongkok, India dan Brazil memilih sikap abstain dan tidak ada negara anggota DK PBB yang menolak resolusi. DK PBB melalui NATO ikut serta dalam upaya penggulingan Qaddafi dari singgasana kepemimpinannya. Pengiriman pasukan oleh negara Amerika Serikat juga tidak lepas dari kematian duta besar AS untuk Libya di Benghazi yang menyebabkan pengiriman pasukan oleh Amerika Serikat berikut kebijakan menarik seluruh warga negaranya serta melindungi rakyat Libya dengan penggunaan senjata sesuai resolusi PBB 1973. Hal tersebut merupakam tindak lanjut upaya mencegah korban sipil yang jatuh lebih banyak lagi dari aksi pembantaian warga sipil di berbagai kota di Libya. 1.3 Pembatasan Masalah Penulis menentukan batasan konsepsional dari penulisan penelitian ini dari segi ruang lingkup dan periodisasi dari penelitian yang akan dilakukan:
Ruang lingkup yang akan diamati dalam konflik di Libya ini adalah dinamika konflik dimana konflik internal antar pemerintah Libya dan Rakyatnya serta
Ukar dan Ketut. “Resolusi DK PBB1973”. Diakses dari http://www.old.setkab.go.id/berita-1370-resolusidewan-keamanan-pbb-1973.html. pada 13 mei 2013. 13 Ibid 12
5
respon internasional melalaui mandat PBB diimplementasikan oleh pihak-pihak tertentu yang kemudian melancarkan diplomasi kekerasan (Coercive diplomacy).
Periode bulan Januari 2011 hingga Desember 2011 yang dipilih penulis dalam penelitian ini. Alasan pemilihan periode ini karena gejala fenomena Arab Spring dimulai sejak awal tahun 2011 dan dalam dinamika serta perkembangannya, sepanjang tahun 2011 merupakan tahun dimana Libya mengalami konflik hingga berujung pada kematian Qaddafi dan terjadi transisi pemerintahan Libya yang berdampak pada perubahan pola pemerintahan hingga dasar negara (konstitusi).
1.4 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka penulis merumuskan permasalahan mengenai coercive diplomacy dalam fenomena arab spring dengan studi kasus di negara libya dalam bentuk pertanyaan: Bagaimana bentuk diplomasi kekerasan (coercive diplomacy) Amerika Serikat dan sekutu yang disebabkan konflik internal di Libya? 1.5 Kerangka Pemikiran Dalam menganalisa konflik internal di Libya ini, penulis akan mengkaji terlebih dahulu konflik internal yang terjadi di Libya dengan mengacu pada perspektif konflik internal dalam sebuah negara dengan asumsi peningkatan konflik internal yang terjadi di Libya menjadi pemicu adanya coercive diplomacy dalam penyelesaian konflik di Libya oleh negara-negara seperti Inggris, Prancis, Amerika Serikat, Italia hingga Lebanon sesuai mandat DK PBB berdasarkan resolusi 1973. Dengan adanya mandat tersebut DK PBB melalui NATO melakukan melindungi warga sipil Libya dari pembantaian oleh aparat keamanan Libya yang berdalih bahwa konflik terjadi sebagai akibat “pembangkangan” sekelompok rakyat terhadap pemerintah Libya. Sebelum membahas mengenai konflik internal, perlu kita ketahui dahulu definisi dari konflik itu sendiri. Dahrendorf mendefinisikan konflik sebagai sebuah keadaan yang terjadi akibat adanya tekanan yang mengelilingi keputusan dalam beberapa pilihan, yang kadang dimanifestasi melalui konfrontasi antar pihak.14 Definisi lainnya yang dijelaskan oleh Azar, bahwa konflik merupakan perbedaan dalam opini, pertentangan, dan argumen yang terjadi dalam sebuah hubungan manusia, dalam organisasi, komunikasi, ataupun dalam tingkatan
14
Oliver Ramsbotham, Tom Woodhouse dan Hugh Miall, Contemporary Conflict Resolution; Third Edition, Polity Press, Cambridge. 2011 Hlm 86 6
internasional.15 Ross mengatakan bahwa konflik dalam beberapa negara terjadi akibat adanya pencampuran konsiderasi sosio-ekonomi dan budaya, dengan status kelompok minoritas dalam ranah politik.16 1.5.1 Konflik internal Konflik internal (intra state conflict) adalah sengketa politik kekerasan atau yang berpotensi kekerasan dimana dapat ditelusuri faktor utama dari domestik ketimbang faktor sistemik (eksternal), dan di mana kekerasan bersenjata terjadi atau mengancam untuk memperoleh suatu hal dari kepentingan yang diperjuangkan dalam sebuah wilayah negara.17 Menurut Michel E. Brown, beberapa alasan mengapa konflik internal penting untuk dikaji dalam berbagi kasus yang mempengaruhi tatanan internasional, yaitu: 18
Pertama, konflik internal telah merebak ke seluruh wilayah negara dan menimbulkan aksi-aksi kekerasan.
Kedua, konflik internal telah menyengsarakan masyarakat yang menjadi korban yang tidak berdaya akibat konflik, seperti pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, dan pengusiran.
Ketiga, konflik internal penting karena sering melibatkan negara-negara tetangga sehingga bisa menimbulkan konflik perbatasan. Pengungsi yang menyeberang ke negara tetangga atau pemberontakan yang mencari perlindungan ke negara tetangga dapat menimbulkan permasalahan baru yang dapat memicu konflik bersenjata antar negara yang bertetangga.
Keempat, konflik internal penting karena sering mengundang perhatian dan campur tangan dari negara-negara besar yang terancam kepentingannya dan organisasi internasional. Konflik internal mencuat pasca perang dingin dimana menurut Kalevi Holsty
pergeseran atau perubahan pola konflik yang sebelumnya merupakan konflik antar negara, kemudian berkembang menjadi konflik yang terjadi antara kelompok tertentu dalam sebuah kedaulatan negara dengan akar konflik masalah kenegaraan (statehood), kepemerintahan (governance), serta peran dan status bangsa serta komunitas dalam negara.19 15
Ho-Won Jeong. Understanding Conflict and Conflict Analysis. Sage Publications:London.2008. Hlm. 27 Ibid. 17 Aleksius Jemadu. Analisa Konflik Internal dari Perspektif Hubungan internasional Dalam (editor)Yulius P. Hermawan. Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu dan Metodologi. Yogyakarta:Graha Ilmu. 2007. Hlm 91 18 Ibid. Hlm. 91 19 Ibid. Hlm. 92 16
7
1. 5.2 Diplomasi Kekerasan (Coercive Diplomacy) Dalam perkembangannya sejak konsep awal diperkenalkan di Eropa yang ditandai dengan kongres Wina (1815) dengan pendefinisian diplomasi klasik oleh Ernest Satow, adalah aplikasi penggunaan kecerdasan dan taktik dari perwakilan negara dalam menjalin hubungan antar negara yang merdeka.20 Namun pedefinisian tersebut telah mengalami pergeseran dimana dalam pendefinisian klasik hanya melibatkan aktor-aktor pemerintah. Perkembangan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi membentuk perubahan signifikan dalam praktek diplomasi dimana dalam prakteknya menurut Sukawarsini Djelantik praktek diplomasi berkembang karena dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti:21
Revolusi teknologi informasi;
Peningkatan peran media massa;
Globalisasi bisnis dan sistem keuangan
Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam hubungan internasional (diplomasi publik)
Munculnya
isu-isu
non-tradisional
seperti
pelanggaran
HAM,
lingkungan,
terorisme,dll) Terkait dengan pengkajian diplomasi kekerasan, pola diplomasi dan hubungan antar negara juga dipengaruhi oleh kemampuan ekonomi, politik dan sosial yang menjadi “aset” dalam menghimpun perngaruh dan kekuatan dalam tatanan internasional. Diplomasi digunakan sebagai sarana atau alat untuk menyampaikan kepentingan, pengaruh dan kerjasama atau secara umum menunjukkan sikap sebuah negara terhadap negara lain. Diplomasi kekerasan menjadi sarana diplomasi sebagai bentuk keengganan ataupun sikap tidak sepakat terhadap sikap pihak lain. Diplomasi kekerasan menurut Ken Ohnisi dipandang penulis sebagai sebuah pendefinisian yang menggambarkan penggunaan diplomasi kekerasan dalam pelaksanaannya di tatantan internasional dimana diplomasi kekerasan adalah sebuah upaya oleh suatu pihak terhadap pihak lainnya dengan penggunaan kekuatan (force) agar merubah sikap sesuai keinginan dari pengguna kekuatan yang memaksa pihak yang ditekan. 22
20
Christer Jonsson dan Martin Hall. Essence of Diplomacy. New York:Palgrave Macmillan.2005. Hlm 47 Sukawarsini Djelantik. 2008. Diplomasi antara Teori dan Praktik. Yogyakarta: Garah Ilmu. Hal. 28. 22 Ken Ohnisi. The intervention in Libya as coercive diplomacy: why didn’t Gadaffi accept the international comunity’s demand? The National Institute for Defense Studies News. August-september 2011. 2011. Hlm 32 21
8
Branislav L. Slantchev dalam tulisannya National Security Strategy: The Diplomacy of Strategic Coercion melihat bahwa dalam sejarahnya perang atau penggunaan kekuatan (force) dalam bentuk perang sebagai bentuk mengejar atau mencapai kepentingan nasional telah berakhir eranya seiring dengan tidak berlakunya “prinsip” yang telah lama disepakati dari seorang ahli perang mahsyur Carl Von Clauswitz 150 tahun yang lalu dalam penggunaan militer dalam bentuk perang.23 Asumsi yang juga diamini oleh Jomini, Mahan, Douhet yaitu efektivitas penggunaan pasukan dan menyerang musuh di titik terlemah dengan kekuatan penuh tidak relevan lagi menurut Slantchev seiring perkembangan tekonologi, informasi dan komunikasi. Namun, dalam pelaksanaannya, penggunaan kekerasan tidak ditolak oleh asumsi Slantchev dimana menurut Slantchev diplomasi merupakan kegiatan negosiasi dan cenderung yang halus (benign) maka penggunaan kekuatan (force) dibagi menjadi dua oleh Slantchev yaitu brute force (secara langsung atau brutal) dan Coercive use of force (menggunaakn kemampuan untuk menghukum atau mengancam tanpa serangan langsung) dimana ilustrasi dalam pendefinisian ini sebagai berikut: Seorang kakak kelas yang bandel dan nakal terkenal kuat dan punya pengaruh mengancam dan memaksa seorang adik kelas untuk menyerahkan uang jajannya dengan tindakan kekerasan (brute force). Pada keesokan harinya, kakak kelas tersebut (yang memilki postur tubuh lebih besar dan menyeramkan) meminta uang jajan adik kelas tersebut tanpa tindakan kekerasan akan diberikan uang jajan adik kelas tersebut (Coercive use of Force).24 Ilustrasi tersebut merupakan taktik yang digunakan pemimpin besar kerajaan Mongolia, Jenghis Khan, dalam memperluas kekuasaannya dimana dalam satu kesempatan Jenghis Khan melakukan brute force dalam penyerangan namun seiring kehebatannya yang telah terkenal Jenghis Khan cukup menunjukkan puluhan ribu pasukannya di hadapan musuhnya maka Jenghis Khan memperoleh kekuasaan dan pengaruh. Kondisi tersebut berlaku dengan syarat bahwa pihak lawan “mengakui” dan menentukan sikap terkait penggunaan kekuatan (force) oleh pihak lainnya dan yang paling penting terkait hubungan internasional, sikap tersebut (coercive diplomacy) mendapat dukungan internasional.
23
Branislav L. Slantchev.National Security Strategy: The Diplomacy of Strategic Coercion. Department of Political Science, University of California. 2008. Hlm 57 24 Ibid, Hlm 58 9
Sejak berakhirnya perang dunia II, pola diplomasi kekerasan (coercive diplomacy) secara umum diberikan kepada negara-negara non-demokratis. Dalam tatanan dunia yang mendorong diplomasi dengan hegemoni nilai-nilai demokrasi, sanksi, embargo dan ancaman menjadi pola baru dalam diplomasi. Hal ini (coercive diplomacy) dibuktikan dengan berbagai kejadian seperti yang dialami Libya dimana pemerintah Qaddafi yang anti-barat juga menjalankan pemertintahan non-demokratis yang membuat negara seperti Amerika Serikat memberlakukan embargo senjata, namun Libya di bawah kepemimpinan Qaddafi tidak bergeming karena faktor berlimpahnya kekayaan alam berupa pengolahan minyak bumi (petroleum) yang menyebabkan Libya tidak terlalu mendapatkan dampak negatif dari sanksisanksi internasional. Sanksi tersebut juga sebagai akibat sikap agresif Libya di bawah kepemimpinan Qaddafi dimana kerap dicurigai membiayai kelompok-kelompok (oleh Amerika Serikat dan sekutu yang melancarkan propaganda “war on terror”) terorisme di berbagai wilayah sepreti di Irlandia, Filipina dan negara-negara Afrika dan Timur Tengah lainnya, hal tersebut tidak hanya kecurigaan namun dapat dilihat dari sikap Qaddafi dalam forum internasional yang terang-terangan menunjukkan sikap anti-barat.
10
II.PEMBAHASAN 2.1 KONFLIK INTERNAL LIBYA Dalam mengkaji konflik internal di Libya, setelah penulis memaparkan dalam kerangka pemikiran terkait urgensi analisa internal negara dalam hubungan internasional, maka dalam melihat kasus di Libya ini penulis melihat penyebab terjadi pergolakan dan protes oleh rakyat terhadap pemerintah libya adalah sikap abai dan tidak empati terhadap kondisi rakyat (grass root). Jika kita menggunakan penyebab konflik internal oleh Edward Azar dalam bukunya The management of Protracted Social Conflict: Theory and Cases dimana menurut Azar ada 4 pra-kondisi yang menjadi pemicu konflik internal, yaitu:25
Pertama, hubungan yang tidak harmonis antara kelompok identitas seperti suku, agama dan budaya dengan pemerintah. Pemerintah cenderung tidak mengakui eksistensi kelompok identitas tersebut dan bahkan berusaha mengeliminasinya demi kepentingan dan keutuhan negara. Akibatnya, terjadi pertentangan terhadap kelompok identitas tertentu dan mendorong para anggotanya untuk melakukan perlawanan terhadap negara.
Kedua, konflik juga dikaitkan dengan kenyataan bahwa pemerintah telah gagal dalam memenuhi kebutuhan dasar kemanusiaan sehingga terjadi proses kemiskinan. Proses secara ekonomi telah menciptakan kemiskinan sementara kekuatan ekonomi dan politik dari pusat menikmati surplus ekonomi sebagai hasil eksploitasi SDA di daerah-daerah yang dilanda konflik.
Ketiga, sebab konflik internal berkaitan dengan karakteristik pemerintahan yang otoriter dan mengabaikan aspirasi politik dari masyarakat. Dalam hal ini pemerintah pusat menyakini asumsi bahwa kekuasaan yang terpusat (sentral) menjamin kontrol yang efektif atas masyarakat. Bahkan kekuatan militer digunakan terhadap setiap bentuk protes atau perlawanan terhadap pemerintahan yang otoriter. Pemerintah daerah juga tidak dapat berfungsi sebagai alat perjuangan kepentingan masyarakat daerah dikarenakan elit-elit daerah ikut menikmati eksploitasi SDA.
Keempat, konflik internal dikaitkan dengan International Linkages, yaitu sistem ketergantungan yang terjadi antara negara dengan sistem ekonomi global dimana pemerintah mengeluarkan kebijakan yang lebih memihak kekuatan modal asing daripada kepentingan penduduk lokal. Misalnya, dalam rangka melindungi
25
Yulius P. Hermawan, Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu dan Metodologi, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2007, hal. 91 11
kepentingan investor asing pemerintah rela menindas rakyatnya sendiri dan mengabaikan hak-hak dasar mereka sebagai manusia. 26 Dari paparan di atas, pemerintahan Libya yang diprotes oleh rakyatnya dalam fenomena Arab Spring memenuhi seluruh “syarat” terjadinya konflik internal dalam sebuah negara. Dalam konflik internal pemerintah Libya dibawah pimpinan Qaddafi melakukan berbagai upaya pelanggaran HAM terhadap rakyat sipil yang mencoba mengkritik pemerintah bahkan memenjarakan individu-individu yang mengkritisi pemerintah atau lawan politik tanpa proses hukum dengan dalih mengancam stabilitas keamanan dalam negeri. Pemerintah Libya tidak dapat mendistribusikan kekayaan negara kepada rakyat sipil sehingga kemampuan finansial negara yang kuat tapi pembangunan tidak merata dan kemiskinan masih menjadi permasalahan dan jarak (gap) antara kaya dan miskin yang lebar. 2.2 Coercive Diplomacy di Libya Dalam pelaksanaan diplomasi kekerasan oleh Amerika Serikat di Libya menggunakan dalih human intervention. Amerika Serikat dibawah kepemimpinan Presiden Barack Obama telah menyusun strategi sedemikian rupa; menggunakan kekuatan militer sebagai last resort, strategi militer dengan prospek yang bagus, menggunakan cara-cara dan alat-alat yang proporsional, berkoalisi dengan pihak yang lebih luas dan mendapat legitimasi dari DK PBB.27 Hasilnya cukup memuaskan bagi Amerika Serikat, yaitu tujuan jangka pendek untuk menghentikan kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh Muammar Qaddafi dan tujuan jangka panjangnya untuk melengserkan Qaddafi dari kepemimpinan di Libya; keduanya tercapai. Kebijakan humanitarian intervention yang dilakukan oleh Amerika Serikat dilaksanakan tanpa menghabiskan biaya yang banyak, tanpa tentara Amerika Serikat terjun langsung ke Libya dan tanpa korban jiwa dari pihak Amerika Serikat. Amerika Serikat beranggapan bila humanitarian intervention yang didasarkan pada Responsibility to Protect (RtoP). ini tidak dilaksanakan maka kejahatan-kejahatan Qaddafi akan terus berlangsung di Libya. Pemerintahan Obama sendiri sangat menekankan dan mendorong RtoP sebagai norma global yang vital. Sebagai tindak lanjut berikutnya, pemerintahan Obama mengeluarkan Presidential Study Directive on Mass Atrocities (PSD-
26
Aleksius Jemadu. Analisa Konflik Internal dari Perspektif Hubungan internasional Dalam (editor)Yulius P. Hermawan. Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu dan Metodologi. Yogyakarta:Graha Ilmu. 2007 27 S. Patrick, Libya and the Future of Humanitarian intervention (online),
, diakses tanggal 12 mei 2013 12
10). PSD-10 mendefinisikan mass atrocities sebagai inti kepentingan akan keamanan nasional dan inti tanggung jawab moral dari Amerika Serikat.28 PSD-10 ini mencakup beberapa tindakan dalam menghadapi mass atrocities seperti diplomasi preventif, sanksi ekonomi dan finansial, embargo senjata dan tindakan pemaksaan.29 Menurut Noam Chomsky, resolusi DK PBB 1973 oleh Amerika Serikat (dan Inggris, Perancis) sebagai izin untuk berpartisipasi langsung untuk memihak pihak pemberontak dalam pertempuran di Libya.30 Sehingga penggunaan kekerasan tersebut merupakan langkah strategis sesuai dengan pemaparan penulis terkait penggunaan kekerasan dalam kerangka pemikiran dimana Amerika Serikat dengan menggunakan kemampuan bargaining dan posisi strategis dalam DK PBB mengajak NATO untuk mengintervensi Libya dengan asumsi sesuai ilustrasi penulis bahwa Amerika Serikat (bersama NATO dengan sekutu lainnya) adalah "kakak kelas” dan Libya adalah “adik kelas”. Amerika Serikat dan NATO sebagai “pemenang” pasca perang dingin yang secara otomatis menjadikan mereka “kakak kelas” karena kemampuan kekuatan (force) telah terbukti. Dalam ilustrasi ini, Amerika Serikat melakukan brute force agar Qaddafi dengan pemerintahan Libya sebagai “adik kelas” takut dan terbukti dengan tumbangnya rezim Qaddafi. Sebagai tindakan nyata, Amerika Serikat bergabung dalam koalisinya yang tergabung dalam NATO dengan mengarahkan pangkalan militer dan udaranya ke wilayah Libya. Bombardir 110 rudal dari pasukan udara bersama dengan pasukan udara Amerika serikat dan Inggris dalam operasi yang bernama “Operation Odyssey Dawn”.31 Amerika Serikat melalui presidennya, Barrack Obama, memerintahkan “aksi militer terbatas” dengan landasan resolusi PBB no 1973. Upaya diplomasi kekerasan ini dilakukan untuk mencegah rezim Libya menggunakan pasukan terhadap rakyatnya sendiri. Namun Amerika Serikat selanjutnya tidak menerjunkan pasukannya di darat karena pertimbangan dalam negerinya. Diplomasi kekerasan yang dilaksanakan Amerika Serikat terhadap Libya menunjukkan sikap Amerika Serikat yang bersebrangan dengan Libya selama ini dalam tatanan internasional. Hal tersebut ditunjukkan dengan sikap Libya yang kerap menentang berbagai kebijakan Amerika Serikat dan pihak barat khususnya dalam isu-isu yang menyudutkan islam dan isu nukir serta senjata pemusnah massal. Dengan diplomasi kekerasan ini maka tujuan 28
Ibid. Ibid. 30 Noam Chomsky. On Libya and the Unfolding Crises (online), 30 Maret 2011, diakses 13 mei 2013. 31 Diakses dari Kompas.com. “110 Rudal Tomahawk Ditembakkan ke Libya”. http://internasional.kompas.com/read/2011/03/20/06070090/110.Rudal.Tomahawk.Ditembakkan.ke.Libya. Pada tanggal 3 september 2015. 29
13
Amerika Serikat dalam merubah kebijakan negara Libya (yang secara tidak langsung juga merubah sistem pemerintahan Libya) tercapai sesuai dengan asumsi tujuan penggunaan diplomasi kekerasan dalam kerangka pemikiran penulis yaitu penggunaan diplomasi kekerasan dalam pelaksanaannya di tatantan internasional dimana diplomasi kekerasan adalah sebuah upaya oleh suatu pihak terhadap pihak lainnya dengan penggunaan kekuatan (force) agar merubah sikap sesuai keinginan dari pengguna kekuatan yang memaksa pihak yang ditekan. Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, menyatakan peristiwa di Libya yang berujung pada kematian Qaddafi membuktikan bahwa pemerintahan tangan besi pasti berakhir dengan merujuk seluruh negara-negara Arabyang rakyatnya memperjuangkan hak-hak mereka dalam fenomena Arab Spring.32 Pergantian kepemimpinan yang diharapkan menjadi titik akhir penghentian rezim yang dianggap bertentangan dengan nilai kemanusiaan di Libya menjadi perhatian Obama dan diharapkan adanya perbaikan kepemimpinan dan tercapainya keinginan masyarakat Libya yang melakukan protes terhadap pemerintahnya dan secara langsung menyelesaikan konflik internal di negara Libya. III.
KESIMPULAN Fenomena Arab Spring telah merubah tatanan negara-negara Timur Tengah
khususnya dalam pola dan tatanan pemerintahan, tak terkecuali di Libya. Konflik Internal yang terjadi di Libya (dan menjadi corak umum Arab Spring) sebagai akibat dari sistem pemerintahan diktator dan abai terhadap kondisi rakyat sipil yang miskin dan diskriminasi terhadap kelompok tertentu khususnya gap antara rakyat yang kaya dan miskin. Kondisi tersebut diperparah dengan penyalahgunaan militer dalam mempertahankan hegemoni dan dinasti kepemimpinan. Perjuangan rakyat yang tidak dapat berbuat banyak karena tertekan dibawah pemerintah yang represif dan bersenjata lengkap sehingga adanya respon internasional terkait pelanggaran HAM yang terjadi mengiringi pergolakan di Timur Tengah. Amerika Serikat sebagai pionir perjuangan demokrasi dan HAM melakukan tindakan terkait kejadian di Timur Tengah dengan melakukan intervensi dengan memanfaatkan posisi di DK Perserikatan Bangsa-Bangsa. Intervensi yang diimplementasikan oleh Amerika Serikat bersama NATO tersebut menggunakan dalih humanitarian intervention yang secara eksplisit menerapkan Coercive diplomacy. Resolusi PBB menjadi “tiket” dalam intervensi Amerika Serikat, Coercive diplomacy yang selama ini dilakukan dalam bentuk embargo dan sanksi dianggap tidak cukup sehingga dalam memanfaatkan momentum fenomena Arab Spring Dan Robinson. Diakses dari voaindonesia.com. “Operasi di Libya, Ujian Utama Strategi Militer Presiden Obama”. Diakses 12 Mei 2013. 32
14
Amerika Serikat ikut intervensi dan merubah sikap dari negara Libya yang kerap bersebrangan dalam tatanan internasional. Penggunaan kekuatan (force) berupa serangan terhadap akses militer pemerintah Libya yang bertindak represif terhadap rakyatnya menjadi alat Amerika Serikat dalam menjalankan coercive diplomacy. Tindakan Amerika Serikat ini dilakukan berlandaskan keanggotaannya dalam NATO juga DK PBB yang memiliki mandat ikut serta dalam konflik internal Libya berdasar resolusi DK PBB no 1973.
15
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan eBook Jemadu, Aleksius. Analisa Konflik Internal dari Perspektif Hubungan internasional (editor)Yulius P. Hermawan. (2007). Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu dan Metodologi. Yogyakarta:Graha Ilmu. Djelantik, Sukawarsini. (2008). Diplomasi antara Teori dan Praktik. Yogyakarta: Garah Ilmu. Jeong, Ho-Won. (2008). Understanding Conflict and Conflict Analysis. Sage Publications:London. Jonsson, Christer dan Martin Hall.(2005).Essence of Diplomacy. New York:Palgrave Macmillan. Ramsbotham, Oliver, Tom Woodhouse dan Hugh Miall. (2011). Contemporary Conflict Resolution; Third Edition, Polity Press Cambridge:AS. Artikel Ohnisi, Ken. The intervention in Libya as coercive diplomacy: why didn’t Gadaffi accept the international comunity’s demand? (2011). The National Institute for Defense Studies News. August-september 2011 (issue 157). Moaddel, Mansoor. (2012). The Arab Spring and Egyptian Rovolutions Maker: Predictor of Participation. Population Studies Center:Amerika Serikat. Slantchev, Branislav L. (2008). National Security Strategy: The Diplomacy of Strategic Coercion. Department of Political Science, University of California. Jentleson, Bruce W. dan Christopher Whytock. (2011). Who “won” libya: The Force Diplomacy debate and its implications for theory and policy. Internet Azra, Azyumari.(2011). Anatomi krisi Libya, Yaman dan Bahrain. Kompas.com. http://internasional.kompas.com/read/2011/02/25/03120395/Anatomi.Krisis.Libya.Ya man.Bahrain. Chomsky, Noam. “Libya and the Unfolding Crises”, 30 Maret 2011, http://www.chomsky.info/interviews/20110330.htm CIA. www.cia.gov/Libya.htm. Ketut. “Resolusi DK PBB1973”. Diakses dari http://www.old.setkab.go.id/berita-1370resolusi-dewan-keamanan-pbb-1973.html. Liputan6.com. http://www.Berita.liputan6.com. “Korban Tewas kerusuhan Libya capai 300 orang”. OPEC.http://www.opec.org/library/Annual%20Statistical%20Bulletin/interactive/2004/FileZ /XL/T33.HTM Patrick, S. Libya and the Future of Humanitarian intervention (online), http://www.foreignaffairs.com/articles/68233/stewart-patrick/libya-and-the-future-ofhumanitarian-intervention?page=2 16