BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang
Setiap karyawan dapat memberikan kontribusi bagi kesuksesan ataupun kegagalan organisasi melalui upaya kontrol terhadap dirinya. Misalnya, karyawan melakukan (1) kontrol pada perilakunya yang berhubungan dengan kinerja, seperti bertanggung jawab dalam menyelesaikan tugas; (2) kontrol pada perilakunya yang berhubungan dengan rekan kerja, seperti berkomunikasi dan bertukar informasi terkait dengan pekerjaan; dan (3) melakukan kontrol agar tidak
berperilaku
merusak dan membahayakan, seperti melanggar prosedur keselamatan kerja, menggunakan obat terlarang di tempat kerja, dan merusak perlengkapan milik perusahaan (Murphy, 1989). Perilaku merusak dan membahayakan yang tidak mampu dikontrol oleh karyawan disebut perilaku kerja kontraproduktif (counterproductive work behavior), yaitu perilaku merugikan dan merusak yang dilakukan karyawan untuk menghalangi organisasi mencapai tujuan (Fox & Spector, 2005). Perilaku kerja kontraproduktif (PKK) berdampak negatif bagi karyawan dan organisasi (Baron & Neuman, 1996; Benminson, 1994; LeBlanc & Kelloway, 2002; Vigoda, 2002; Penney & Spector, 2005). Contoh, perilaku kerja kontraproduktif menyebabkan karyawan mengalami stress dan penurunan kepuasan kerja (Keashly, Trott, & MacLean, 1994; Penney & Spector, 2005) dan menyebabkan organisasi mengalami penurunan produktivitas (Penney & Spector, 1
2
2005). Faktor-faktor penyebab perilaku kerja kontraproduktif penting dipelajari agar dapat mengurangi peningkatan biaya yang ditanggung oleh organisasi (Greenberg, 1990a; Robinson & Bennet, 1995; Bennet & Robinson, 2000). Perilaku kerja kontraproduktif dipicu oleh dua faktor, yaitu situasional dan disposisional (Martinko, Gundlach, & Douglas, 2002). Faktor-faktor situasional pemicu perilaku kerja kontraproduktif meliputi tiga hal (1) sumber penyebab stres, seperti pertentangan peran, penumpukan beban pekerjaan, dan pertentangan antara rekan kerja (Miles, Borman, Spector, & Fox, 2002; Spector, Fox, Penney, Bruursema, Goh, & Kessler, 2006); (2) perubahan di tempat kerja, seperti penataan ulang organisasi, perubahan manajemen, perubahan teknologi, pemotongan gaji, pengingkaran kontrak psikologis, ketidakamanan dalam bekerja, dan pemberian hukuman oleh organisasi (Baron & Neuman, 1996; Marcus & Schuler, 2004; Robinson & Morrison, 2000; Kickul, 2001); dan (3) persepsi ketidakadilan (Stroms & Spector, 1987; Haaland, 2002). Faktor-faktor disposisional pemicu perilaku kerja kontraproduktif meliputi kehati-hatian (conscientiousness) (Bennet & Robinson, 2000), lima dimensi kepribadian (big five personality) (Salgado, 2002), sifat marah (trait anger) (Kwak, 2006), sikap negatif (negative affect) (Dalal, 2005), dan kontrol diri (self control) (Villanueva, 2006). Dari faktor-faktor pemicu perilaku kerja kontraproduktif tersebut, peneliti tertarik mendalami faktor situasional, khususnya mengenai pengingkaran kontrak psikologis. Hal itu didasarkan pada dua alasan, yaitu pertama, hasil uji empiris
3
studi terdahulu diperoleh hubungan antara pengingkaran kontrak psikologis dan perilaku, tetapi hubungan tersebut tidak terlalu kuat (Robinson & Rousseau, 1994; Turnley & Feldman, 1999; Turnley & Feldman, 2000; Kickul, 2001; CoyleShapiro, 2002). Terjadinya hubungan yang seperti itu diduga karena terdapat variabel pengintervensi (Neuman, 2000). Sesuai dengan pendapat Lazarus (1991), kemarahan seseorang akibat pengingkaran kontrak psikologis tidak akan muncul tanpa ada proses berpikir yang mendahului. Pengingkaran kontrak psikologis mendorong seseorang untuk melakukan
proses berpikir,
pengelolaan proses
berpikir ini menghasilkan keputusan untuk berperilaku. Proses berpikir dapat dikatakan sebagai bentuk variabel pengintervensi dalam menjelaskan hubungan antara pengingkaran kontrak psikologis dan perilaku kerja kontraproduktif, hal ini masih memerlukan kajian lebih lanjut (Cantisano, Dominguez, & Depolo, 2008). Kedua, peristiwa hubungan ketenagakerjaan memberikan informasi adanya kasus pengingkaran kontrak psikologis di Indonesia. Misalnya, status sebagai karyawan kontrak yang tidak pasti sehingga menghalangi kesempatan menjadi karyawan tetap (Edwin, 2007); penilaian kinerja dipengaruhi unsur senioritas dan kedekatan dengan pimpinan, bukan atas prestasi atau kontribusi karyawan dalam bekerja (Gunawan & Rizal, 2010). Peristiwa-peristiwa tersebut menyebabkan karyawan mempersepsikan organisasi gagal memenuhi tanggung jawabnya karena tidak berhasil memenuhi bentuk pertukaran yang dijanjikan. Karyawan melampiaskan bentuk pertukaran yang tidak terpenuhi tersebut dengan berperilaku kontraproduktif yang merugikan bagi organisasi (Shore & Tetrick,
4
1994). Berdasarkan dukungan empiris dan fenomena tersebut, studi ini mengkaji pengingkaran kontrak psikologis sebagai pemicu perilaku kinerja kontraproduktif. Menurut Morrison dan Robinson (1997), pengingkaran kontrak psikologis (psychological contract breach) merupakan bentuk pemikiran kognitif karyawan mengenai kegagalan organisasi dalam mewujudkan kewajiban yang dinilai tidak sepadan dengan kontribusi karyawan. Persentase terjadinya pengingkaran kontrak psikologis (PKP) di organisasi berkisar 25% sampai dengan 90% (Turnley & Feldman, 1998; Robinson & Morrison, 2000). Hal ini berarti separuh lebih karyawan mempersepsikan janji organisasi yang disampaikan baik secara eksplisit maupun implisit hilang begitu saja (Zottoli, 2003). Konsekuensi tidak terwujudnya janji berdampak tidak saja pada sikap, tetapi juga pada perilaku karyawan. Namun, jumlah studi sebelumnya yang membahas proses terjadinya perilaku kerja kontraproduktif akibat pengingkaran kontrak psikologis masih sedikit. Studi empiris mengenai proses terbentuknya perilaku kerja kontraproduktif umumnya berupa studi konseptual (O'Leary-Kelly, Griffin, & Glew, 1996; Neuman & Baron, 1998; Martinko et al., 2002; Spector & Fox, 2005; Douglas, Kiewitz, Martinko, Harvey, Younhee, & Jae, 2008). Studi-studi konseptual proses terbentuknya perilaku kerja kontraproduktif diantaranya adalah organization motivated factors (O'Leary-Kelly et al., 1996), theoritical model of workplace aggression
(Neuman
&
Baron,
1998),
causal
reasoning
model
for
counterproductive behavior (Martinko et al., 2002), general affective aggression
5
model (Neuman & Baron, 1998), stressor emotion model of counterproductive work behavior (Spector & Fox, 2005), dan elaboration likelihood model for workplace aggression (Douglas et al., 2008). Studi empiris untuk mendukung konsep-konsep
teoretis
perlu
dilakukan
sehingga
dapat
mengonfirmasi
berjalannya konsep dalam kehidupan organisasi. Pengetahuan tersebut dapat menjadi sumber informasi bagi manajemen untuk melakukan intervensi sebagai upaya meminimisasi dampak negatif perilaku kerja kontraproduktif (Zottoli, 2003). Penelitian ini menggunakan model Douglas et al. (2008) yaitu elaboration likelihood model for workplace aggression (ELM WA) untuk menjelaskan proses terbentuknya perilaku kerja kontraproduktif yang dipicu oleh pengingkaran kontrak psikologis. Keunggulan elaboration likelihood model for workplace aggression dibanding model konseptual lainnya adalah sebagai berikut. Pertama, elaboration likelihood model for workplace aggression menjelaskan perbedaan tahapan kecepatan proses. Sementara itu, model yang lain mengidentifikasi proses tanpa menguraikan perbedaan kecepatan yang terjadi, seperti stressor emotion model of counterproductive work behavior (Spector & Fox, 2005), theoritical model of workplace aggression (Neuman & Baron, 1998), dan causal reasoning model for counterproductive behavior (Martinko et al., 2002). Kedua, studi empiris sebelumnya yang menguji elaboration likelihood model for workplace aggression belum pernah dilakukan. Elaboration likelihood model for workplace
6
aggression khususnya elaborasi proses kognitif, menjelaskan proses kognitif munculnya perilaku kerja kontraproduktif. Elaborasi proses kognitif penting karena (1) menurut Morrison dan Robinson (1997), pengingkaran kontrak psikologis adalah bentuk persepsi subjektif dari diri individu. Persepsi subjektif umumnya dikelola dengan proses kognitif; (2) pengingkaran kontrak psikologis termasuk peristiwa yang mengancam terwujudnya harapan seseorang, sehingga perlu dielaborasi melalui proses kognitif (Morrison & Robinson, 1997; Douglas et al., 2008); dan (3) pengingkaran
kontrak
psikologis
memicu
munculnya
perilaku
kerja
kontraproduktif. Perilaku ini menimbulkan konsekuensi biaya dalam jangka panjang sehingga memerlukan pertimbangan kognitif bagi pelakunya (Morrison & Robinson, 1997). Menurut
Lazarus (1991), kemarahan seseorang akibat pengingkaran
kontrak psikologis tidak akan muncul tanpa ada proses berpikir yang mendahului. Atribusi adalah bagian dari proses kognitif yang dilakukan oleh seseorang untuk mencari tahu pelaku pengingkaran. Menurut Weiner (1986), teori atribusi meliputi atribusi kausal, tanggung jawab, dan kesalahan. Atribusi kausal atau atribusi pelaku berkaitan dengan penentuan pelaku peristiwa. Atribusi tanggung jawab adalah penentuan pihak yang mempertanggungjawabkan peristiwa. Atribusi kesalahan merupakan penentuan pihak yang layak untuk dipersalahkan (Bradbury & Fincham, 1990).
7
Studi-studi
pengingkaran
kontrak
psikologis
terdahulu
umumnya
melibatkan atribusi sebagai variabel pemoderasi. Contoh, atribusi pelaku memoderasi pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap tindakan pelanggaran (violation) (Robinson & Morrison, 1997; Robinson & Morrison, 2000; Kickul, 2001). Atribusi pelaku, atribusi tanggung jawab, atribusi kesalahan mampu menjelaskan pelanggaran kontrak psikologis berkorelasi dengan perilaku menyimpang di tempat kerja (deviant work behavior) (Kickul, Neuman, Parker, & Finkl, 2002; Zottoli, 2003; Bordia, Restubog, & Robert, 2008). Hasil analisis studi-studi terdahulu umumnya menggunakan pendekatan Morrison dan Robinson (1997). Pendekatan tersebut menjelaskan peran atribusi tanggung jawab sebagai pendorong munculnya emosi atau kemarahan akibat pengingkaran kontrak psikologis (Robinson & Morrison, 1997; Robinson & Morrison, 2000; Kickul, 2001; Kickul et al., 2002). Elaboration likelihood model for workplace aggression
menguraikan
atribusi pelaku sebagai variabel pemediasi dan atribusi tanggung jawab sebagai variabel pemoderasi
(Douglas et al., 2008). Peran atribusi tanggung jawab
sebagai variabel pemoderasi dalam elaboration likelihood model for workplace aggression dapat dijelaskan oleh pendekatan Morrison dan Robinson (1997). Beberapa studi sebelumnya juga telah mengonfirmasi dengan melakukan pengujian empiris mengenai hal itu (Robinson & Morrison, 2000; Kickul, 2001; Lester et al., 2002; Wright, 2005). Peran atribusi pelaku sebagai variabel pemediasi justru tidak dijelaskan dalam pendekatan Morrison dan Robinson
8
(1997), tetapi disebutkan dalam elaboration likelihood model for workplace aggression. Belum pernah dilakukannya studi empiris terhadap peran atribusi pelaku sebagai variabel pemediasi khususnya dalam model elaboration likelihood for workplace aggression, dan perlunya kajian lebih lanjut terhadap variabel yang mengintervensi pengaruh pengingkaran kontrak kerja psikologis terhadap perilaku kerja kontraproduktif (Cantisano, Dominguez, & Depolo, 2008), menjadi salah satu perbedaan studi ini dengan studi sebelumnya. Pengingkaran kontrak psikologis yang dilakukan pihak lain memunculkan perasaan emosi atau pelanggaran kontrak psikologis
(psychological contract
violation). Pelanggaran kontrak psikologis (PKP-v) berdampak pada sikap dan perilaku tertentu, diantaranya perilaku kerja kontraproduktif (Douglas et al., 2008). Tidak semua individu segera mengefektifkan emosi atau
pelanggaran
kontrak psikologis menjadi perilaku kerja kontraproduktif. Menurut elaboration likelihood
model
kecenderungan
for
workplace
aggression,
emosi
dipengaruhi
oleh
disposisional seseorang (Douglas et al., 2008). Faktor
disposisional yang pernah digunakan dalam studi pengingkaran kontrak psikologis diantaranya
adalah
(extraversion),
sensitivitas
kehati-hatian
keadilan
(equity
(conscientiousness),
sensitivity),
ekstraversi
ketidakstabilan
emosi
(neuroticism), penghargaan terhadap diri (self-esteem), kepekaan terhadap keadilan (equity sensitivity), kemampuan untuk melakukan kontrol (locus of control), keyakinan diri (self esteem), dan kontrol diri (self control) (Kickul &
9
Lester, 2001; Raja, Johns, & Ntalianis, 2004; Bordia et al., 2008). Kontrol diri digunakan dalam studi ini sebagai pemoderasi pengaruh pelanggaran kontrak psikologis terhadap perilaku kerja kontraproduktif. Kontrol diri telah banyak dibahas dalam berbagai literatur perilaku negatif (Gottfredson & Hirchi, 1990; Done, 2000; Douglas & Martinko, 2001; Marcus & Shculer, 2004; Bordia et al., 2008), namun peran kontrol diri dalam menghambat pengaruh pelanggaran kontrak psikologis terhadap perilaku kerja kontraproduktif belum dilakukan penyelidikan. Douglas et al. (2008) menyebutkan bahwa dalam elaboration likelihood model for workplace aggression, kontrol diri merupakan faktor kepribadian yang dapat mengintensifkan munculnya reaksi agresif. Selain itu, Gottfredson dan
Hirschi (1990)
menyatakan bahwa dalam pendekatan
kriminologi, kontrol diri merupakan faktor disposisional yang paling berpengaruh dalam membentuk perilaku negatif, hal ini semua masih perlu dikonfirmasi. Studi ini diawali dengan menguraikan pengaruh pengingkaran kontrak psikologis
terhadap
perilaku
kerja
kontraproduktif,
dilanjutkan
dengan
mendiskusikan proses kognitif perubahan pengingkaran kontrak psikologis menjadi pelanggaran kontrak psikologis yang dimediasi oleh atribusi pelaku. Peran kontrol diri dalam memperkuat atau memperlemah pengaruh pelanggaran kontrak psikologis terhadap perilaku kerja kontraproduktif selanjutnya juga akan dibahas. Tabel 1.1 memaparkan rangkuman latar belakang dan manfaat penelitian yang dilakukan.
10
Tabel 1.1 Rangkuman Latar Belakang dan Manfaat Penelitian Kriteria Faktor Penyebab Proses Faktor Perilaku Kerja Terjadinya Pengintensif Kontraproduktif Perilaku Kerja Perilaku Kerja Kontraproduktif Kontraproduktif Konstruk yang Pengingkaran Kontrol Diri. Elaboration digunakan. kontrak psikologis Likelihood Model dan pelanggaran for Workplace kontrak psikologis. Aggression. Studi terdahulu. Robinson & Douglas, Kiewitz, Gottfredson & Rousseau (1994); Martinko, Harvey, Hirschi (1990); Turnley & Younhee, & Jae, Done (2000); Feldman (1999); (2008). Douglas & Turnley & Martinko (2001); Feldman (2000); Marcus & Shculer, Kickul (2001); (2004); Bordia et Coyle-Shapiro, al. (2008). (2002). Simpulan studi Hubungan Studi konseptual. Kontrol diri terdahulu. pengingkaran sebagai faktor kontrak psikologis disposisional dengan perilaku utama dalam tidak terlalu kuat. membentuk perilaku kriminalmasih perlu dibuktikan. Kontrol diri sebagai pengintensif munculnya perilaku kerja kontraproduktif akibat pelanggaran kontrak psikologis belum dilakukan penelitian.
11
Lanjutan Tabel 1.1 Kriteria
Faktor Penyebab Perilaku Kerja Kontraproduktif
Penelitian ini
Menguji pengaruh pengingkaran kontrak psikologis dan pelanggaran kontrak psikologis terhadap perilaku kerja kontraproduktif.
Kepentingan penelitian dari sudut pandang manajemen
Meningkatkan pemahaman manajemen mengenai pengingkaran dan pelanggaran kontrak psikologis sebagai pemicu perilaku kerja kontraproduktif.
Kepentingan penelitian dari sudut pandang teori.
Proses Terjadinya Perilaku Kerja Kontraproduktif Studi empiris untuk mengonfirmasi konsep elaboration likelihood model for workplace aggression, khususnya mengenai proses kognitif. Manajemen mendapatkan pengetahuan proses terbentuknya perilaku karyawan.
Mengonfirmasi proses kognitif dalam elaboration likelihood model for workplace aggression. Mengetahui peran atribusi pelaku sebagai pemediasi hubungan pengingkaran dan pelanggaran kontrak psikologis
Faktor Pengintensif Perilaku Kerja Kontraproduktif Menguji peran kontrol diri sebagai pemoderasi dalam mengintensifkan pengaruh pelanggaran kontrak psikologis terhadap perilaku kerja kontraproduktif. Manajemen mengetahui faktor disposisional yang dapat meredam perilaku negatif karyawan.
12
Lanjutan Tabel 1.1 Kriteria
Faktor Penyebab Perilaku Kerja Kontraproduktif
Proses Faktor Terjadinya Pengintensif Perilaku Kerja Perilaku Kerja Kontraproduktif Kontraproduktif untuk mengisi celah dalam literatur pengingkaran kontrak psikologis dan perilaku kerja kontraproduktif. Sumber : Gottfredson & Hirschi, 1990; Robinson & Rousseau, 1994; Turnley & Feldman, 1999; Turnley & Feldman, 2000; Done, 2000; Douglas & Martinko, 2001; Kickul, 2001; Coyle-Shapiro, 2002; Marcus & Shculer, 2004; Bordia et al., 2008; Douglas, Kiewitz, Martinko, Harvey, Younhee, & Jae, 2008.
1.2. Perumusan Masalah Sejak pertengahan tahun 1990, perilaku kerja kontraproduktif dianggap sebagai perilaku yang menarik untuk diteliti, khususnya di Amerika (Fox & Spector, 2005). Penelitian dipicu oleh berita tindakan kekerasan yang terjadi di tempat kerja (Fox & Spector, 2005). Ketertarikan peneliti, manajer, dan publik pada umumnya berkaitan dengan peristiwa kejahatan yang paling ringan, seperti sengaja tidak menyampaikan informasi, menyebarkan berita tidak benar, sampai pada perilaku yang lebih serius seperti pencurian barang milik perusahaan, dan ancaman fisik terhadap rekan kerja (Fox & Spector, 2005). Organisasi perlu
13
mengetahui perilaku kerja kontraproduktif yang dilakukan karyawan karena dapat menjadi petunjuk gejala penurunan kinerja (Rotundo & Sackett, 2002). Fenomena perilaku kerja kontraproduktif di Indonesia ditemui pada peristiwa seperti keterlambatan, ketidakdisiplinan, pencurian barang milik perusahaan, pertengkaran, pemukulan terhadap rekan kerja, dan demonstrasi karyawan (Elqorni, 2010). Studi perilaku kerja kontraproduktif cukup sulit dilakukan karena keengganan pihak-pihak yang terlibat untuk mengungkap keburukan perilaku, padahal hal tersebut penting sebagai bahan evaluasi mengenai hubungan pertukaran yang telah dilakukan selama ini antara organisasi dan karyawannya. Studi sebelumnya mengenai pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap sikap dan perilaku dalam kaitannya dengan hubungan ketenagakerjaan dalam organisasi banyak dilakukan. Contoh, hubungan antara pengingkaran kontrak psikologis dengan niat untuk meninggalkan organisasi (Agee, 2000); pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap perilaku menyimpang karyawan (Kickul, 2001). Hasil yang diperoleh pada studi-studi empiris sebelumnya menjadikan pengingkaran kontrak psikologis sebagai faktor situasional
yang
perlu
diperhatikan
untuk
mencegah
perilaku
kerja
kontraproduktif di dalam organisasi. Meskipun terdapat hubungan pengingkaran kontrak psikologis terhadap sikap dan perilaku pada studi-studi empiris yang dilakukan (Agee, 2000; Kickul, 2001; Lester et al., 2002; Zottoli, 2003; Wright, 2005; Bordia et al., 2008), tetapi
14
hubungan pengingkaran kontrak psikologis dengan sikap lebih kuat dibandingkan dengan hubungan pengingkaran kontrak psikologis terhadap perilaku (Cantisano et al., 2008). Hal ini diduga oleh dua hal, pertama, sikap lebih mampu meramalkan terjadinya pengingkaran kontrak psikologis. Karyawan sebagai korban ingkar memiliki kebebasan untuk mengekspresikan kemarahan. Ekspresi kemarahan dalam bentuk sikap umumnya dipilih korban dibandingkan ekspresi kemarahan dalam bentuk perilaku, karena perilaku dapat terlihat oleh pengelola organisasi (Cantisano et al., 2008). Kedua, hubungan antara ingkar dan perilaku yang bernilai rendah diduga oleh adanya variabel lain yang mengintervensinya (Cantisano et al., 2008). Hubungan
pengingkaran
kontrak
psikologis
dan
perilaku
kerja
kontraproduktif yang rendah memerlukan eksplorasi terhadap proses yang dilaluinya. Studi ini difokuskan pada proses terbentuknya perilaku kerja kontraproduktif. Proses penting dipahami untuk mencegah dampak negatif akibat perilaku kerja kontraproduktif. Elaboration likelihood model for workplace aggression adalah model yang digunakan dalam studi ini untuk menjelaskan proses munculnya perilaku kerja kontraproduktif. Model pada intinya membagi proses terbentuknya perilaku melalui tiga tahap, yaitu (1) proses mulai terbentuknya pemikiran terhadap peristiwa (cognitive initiated processing); (2) proses mulai terbentuknya emosi terhadap peristiwa (affect initiated processing); dan (3) proses mulai terbentuknya sikap terhadap peristiwa (attitude initiated processing) (Douglas et al., 2008). Ketiga proses tersebut direpresentasikan
15
melalui penjelasan atribusi, emosi dan sikap. Studi ini tidak akan menjelaskan keseluruhan proses dalam elaboration likelihood model for workplace aggression, melainkan hanya salah satunya, yaitu mulai terbentuknya pemikiran terhadap suatu peristiwa atau proses kognitif. Pengetahuan mengenai proses kognitif perlu dipelajari karena (1) peristiwa pengingkaran kontrak psikologis adalah bentuk pengingkaran dalam hubungan pertukaran. Peristiwa tersebut penting bagi karyawan, karena menyebabkan kontribusi yang diberikan karyawan tidak sepadan dengan pertukaran yang diterima. Peristiwa tersebut dianggap bernilai karena dapat memengaruhi kepentingan
karyawan.
Sesuatu
yang
dianggap
menganggu
tercapainya
kepentingan tersebut memicu dimulainya proses kognitif dalam diri karyawan (Morrison & Robinson, 1997; Douglas et al., 2008); (2) proses kognitif (cognitive initiated processing) menjadi dasar pemahaman terbentuknya proses selanjutnya yaitu proses mulai terbentuknya emosi (affect initiated processing) dan proses mulai terbentuknya sikap (attitude initiated processing) (Douglas et al., 2008); dan (3) konsekuensi yang akan diterima ketika seseorang melakukan perilaku kerja kontraproduktif menjadi dasar perlunya pertimbangan kognitif sebelum bertindak (Morrison & Robinson, 1997). Psychological contract violation atau pelanggaran kontrak psikologis adalah emosi, perasaan marah korban terhadap peristiwa pengingkaran kontrak psikologis yang dialaminya. Seperti dinyatakan oleh Ortony, Clore, dan Collins (1988), pelanggaran kontrak psikologis dilampiaskan dalam bentuk perasaan
16
seperti kekecewaan, frustrasi, dan kemarahan. Kemarahan seseorang tergantung pada atribusi kausal yang dibuatnya (Morrison & Robinson, 1997; Turnley & Feldman, 1999). Menurut Weiner (1986), peristiwa pengingkaran kontrak psikologis yang diatribusikan pelakunya adalah niat atau kesengajaan dari orang lain akan memicu pelanggaran kontrak psikologis. Faktor disposisional dapat memperkuat atau memperlemah keinginan seseorang yang mengalami pelanggaran kontrak psikologis untuk berperilaku kerja kontraproduktif. Kontrol diri adalah faktor disposisional yang digunakan dalam studi ini. Menurut Gottfredson dan Hirschi (1990), kontrol diri adalah keinginan untuk menghindari tindakan yang biaya jangka panjangnya melebihi keuntungan sesaat. Perilaku kerja kontraproduktif adalah bentuk perilaku yang dapat memberikan kepuasan, tetapi perilaku tersebut memiliki konsekuensi negatif dalam jangka panjang (Fox & Spector, 2005). Dengan demikian, kontrol diri dapat menjadi pertimbangan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku negatif. Selain itu, peran kontrol diri dalam menghambat pengaruh pelanggaran kontrak psikologis terhadap perilaku kerja kontraproduktif belum pernah diselidiki. Douglas et al. (2008) juga menyebutkan bahwa dalam elaboration likelihood model for workplace aggression, kontrol diri merupakan faktor kepribadian yang dapat mengintensifkan munculnya reaksi agresif, hal ini semua masih perlu dikonfirmasi. Pokok masalah yang akan dibahas dalam studi ini adalah sebagai berikut:
17
1. Apakah terdapat pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap perilaku kerja kontraproduktif ? 2. Apakah atribusi pelaku menjadi pemediasi pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap pelanggaran kontrak psikologis? 3. Apakah terdapat pengaruh
pelanggaran kontrak psikologis
terhadap
perilaku kerja kontraproduktif ? 4. Apakah kontrol diri menjadi pemoderasi pengaruh pelanggaran kontrak psikologis terhadap perilaku kerja kontraproduktif ?
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengonfirmasi terbentuknya perilaku kerja kontraproduktif akibat pelanggaran kontrak psikologis yang dipicu oleh pengingkaran kontrak psikologis dengan menggunakan elaboration likelihood model for workplace aggression. Tujuan penelitian dicapai melalui serangkaian pengujian berikut: 1. Pengujian pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap perilaku kerja kontraproduktif. 2. Pengujian pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap pelanggaran kontrak psikologis dimediasi oleh atribusi pelaku. 3. Pengujian pengaruh pelanggaran kontrak psikologis terhadap perilaku kerja kontraproduktif.
18
4. Pengujian peran pemoderasi kontrol diri pada pengaruh pelanggaran kontrak psikologis terhadap perilaku kerja kontraproduktif.
1.4.
Motivasi Penelitian
Studi ini penting karena elaboration likelihood model for workplace aggression
masih merupakan model konseptual, sehingga pengujian empiris
perlu dilakukan untuk mengonfirmasi konsep pada fenomena organisasi. Studi juga memberikan pemahaman mengenai pengingkaran dan pelanggaran kontrak psikologis, serta informasi mengenai peran kontrol diri sebagai peredam dampak negatif perilaku kerja kontraproduktif pada pihak manajemen.
1.5. Kontribusi terbentuknya
teoretis
Kontribusi Penelitian
studi
ini,
pertama
perilaku kerja kontraproduktif
memberikan
penjelasan
dengan menggunakan proses
kognitif dalam model elaboration likelihood for workplace aggression; kedua membedakan konstruk pengingkaran dan pelanggaran kontrak psikologis; dan ketiga mengetahui peran atribusi pelaku sebagai variabel pemediasi pengaruh pengingkaran terhadap pelanggaran kontrak psikologis.
Kontribusi tersebut
diharapkan dapat mengisi celah dalam literatur pengingkaran kontrak psikologis dan perilaku kerja kontraproduktif. Selain itu hasil studi juga akan memberikan kontribusi bagi manajemen, yaitu meningkatkan pemahaman manajemen mengenai pengingkaran dan
19
pelanggaran kontrak psikologis, serta mengetahui peran variabel kontrol diri dalam meredam perilaku kerja kontraproduktif akibat pelanggaran kontrak psikologis.
1.6.
Justifikasi Penelitian
Tindakan seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti kebiasaan, tradisi, dan rutinitas (Jeffrey, 1992). Perilaku kerja kontraproduktif adalah tindakan berisiko dan penuh konsekuensi sehingga perlu pertimbangan proses kognitif.
Proses kognitif dalam model Elaboration likelihood for workplace
aggression meliputi atribusi pelaku, atribusi ini mampu memuaskan rasa ingin tahu korban mengenai siapa, dan apa motif pelaku sehingga korban dapat melakukan pertimbangan sebelum memutuskan bertindak.
1.7.
Keaslian Penelitian
Rangkuman hasil studi-studi sebelumnya dipaparkan berikut ini. Robinson dan Morrison (2000) melakukan studi pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap pelanggaran kontrak psikologis dimoderasi oleh atribusi dan persepsi keadilan. Studi menggunakan variabel kontrol lamanya bekerja (tenure) dan pernah tidaknya karyawan bekerja atau magang di organisasi yang sama di masa lalu. Data dianalisis menggunakan analisis regresi dan moderated regression analysis. Hasilnya, persepsi pengingkaran kontrak psikologis karyawan (dalam hal ini manajer) secara signifikan dibentuk ketika karyawan tidak menerima hasil
20
penilaian kinerja dari organisasi, tidak ada sosialisasi saat awal perekrutan, karyawan baru kurang berinteraksi dengan agen-agen organisasi di saat awal bekerja, karyawan memiliki pengalaman diingkari, dan terdapat banyak tawaran pekerjaan. Atribusi dan persepsi ketidakadilan tidak memoderasi secara signifikan pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap pelanggaran kontrak psikologis namun, ketika atribusi dan persepsi ketidakadilan diinteraksikan, keduanya menjadi variabel pemoderasi yang mampu menjelaskan pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap pelanggaran kontrak psikologis (Robinson & Morrison, 2000). Studi yang dilakukan oleh Agee (2000) membahas pengingkaran kontrak psikologis dan pengaruhnya baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap sikap dan perilaku. Data dianalisis menggunakan multiple regression dengan variabel kontrol, yaitu kepuasan kerja intrinsik (intrinsic job satisfaction), kepuasan terhadap upah (satisfaction with pay), dan peringkat fakultas (faculty rank). Studi dilakukan dengan mengambil sampel pengajar di universitas. Studi menghasilkan pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap civic virtue, terhadap niat untuk memberikan donasi, terhadap komitmen afektif, dan terhadap niat untuk meninggalkan organisasi dimediasi secara penuh oleh kepercayaan. Studi Agee (2000) juga menguraikan peran ketidakadilan prosedural, atribusi kesalahan, harapan yang tidak terpenuhi, dan kepercayaan sebagai variabel pemoderasi pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap sikap dan perilaku. Studi tersebut mengacu pada model Morrison dan Robinson (1997).
21
Hasilnya pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap civic virtue, terhadap niat untuk memberikan donasi, terhadap komitmen afektif, terhadap niat untuk pergi, terhadap partisipasi dalam organisasi, dan terhadap pengembangan profesional tidak dimoderasi oleh ketidakadilan prosedural, tidak dimoderasi harapan yang tidak terpenuhi, dan tidak dimoderasi oleh kepercayaan, tetapi dimoderasi oleh atribusi kesalahan. Studi Kickul (2001) membahas pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap sikap negatif pada organisasi, terhadap perilaku menyimpang di tempat kerja yang dimoderasi oleh keadilan prosedural dan interaksional. Hasilnya keadilan
prosedural dan interaksional memoderasi pengaruh pengingkaran
kontrak psikologis terhadap sikap negatif dan perilaku menyimpang. Pada tahun berikutnya Kickul et al. (2002) juga melakukan studi pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap perilaku
anticitizenship yang dimoderasi oleh
variabel yang sama yaitu keadilan prosedural dan transaksional, dan hasilnya hipotesis studi juga terdukung. Studi Kickul (2001, 2002) dilakukan dengan mengambil sampel pelajar yang sekaligus berprofesi sebagai pekerja. Studi melibatkan penilaian oleh penyelia, khususnya terhadap perilaku menyimpang karyawan. Analisis data studi Kickul (2001, 2002) dilakukan dengan menggunakan regresi hierarkis. Studi berikutnya mengambil sisi berbeda dengan studi sebelumnya, yaitu mencari perbedaan pandangan karyawan dan penyelia ketika mempersepsikan pengingkaran kontrak psikologis (Lester et al., 2002). Sampelnya adalah
22
karyawan tetap yang
sedang melanjutkan sekolah pada progam MBA dan
penyelia karyawan tersebut. Studi Lester et al. (2002) diolah dengan ANOVA dan regresi hierarkis. Studi juga menggunakan variabel kontrol usia, jenis kelamin, dan masa kerja. Hasilnya yaitu persepsi pengingkaran kontrak psikologis dipersepsikan secara berbeda antara karyawan dan penyelia. Karyawan cenderung mengatribusikan pengingkaran kontrak psikologis sebagai peristiwa yang telah diniatkan (reneging) atau karena perbedaan persepsi (incongruence). Sebaliknya, penyelia cenderung mengatribusikan pengingkaran kontrak psikologis karena perubahan faktor ekonomi dan lingkungan sehingga memaksa organisasi tidak dapat memenuhi janjinya (disruption) (Lester et al., 2002). Wright (2005) mendukung hubungan langsung antara pengingkaran kontrak psikologis dan kepuasan kerja, antara pengingkaran kontrak psikologis dan niat untuk meninggalkan organisasi. Studi yang dilakukannya juga mendukung pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap kepuasan kerja, dan terhadap niat untuk meninggalkan organisasi yang dimoderasi oleh niat. Namun, pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap kepuasan kerja, terhadap civic virtue, dan terhadap niat untuk pindah tidak dimoderasi oleh keadilan interaksional. Studi Wright (2005) dilakukan
menggunakan sampel
dosen. Suazo, Turnley, dan Dalton (2005) mengonfirmasi pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap komitmen profesional dan terhadap niat untuk pindah yang dimediasi oleh pelanggaran kontrak psikologis. Namun, studi mereka tidak
23
mengonfirmasi peran pemediasi pelanggaran kontrak psikologis pada pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap perilaku kewargaan organisasi dan terhadap kinerja. Studi mereka menggunakan sampel karyawan yang bekerja pada sektor publik di Mexico. Data dianalisis menggunakan regresi berganda dan lama bekerja dalam organisasi sebagai variabel kontrol (Suazo et al., 2005). Studi selanjutnya, adalah menguji pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap perilaku menyimpang (Bordia et al., 2008). Jenis kelamin, usia, dan lamanya bekerja dalam organisasi sebagai variabel kontrol. Studi Bordia et al. (2008) terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama menjelaskan mengenai pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap perilaku menyimpang karyawan yang ditujukan pada organisasi. Sampelnya adalah karyawan pada perusahaan publik di Philipina. Data dianalisis menggunakan regresi hierarkis. Hasilnya adalah pengingkaran kontrak psikologis berkorelasi signifikan dengan perilaku menyimpang yang ditujukan pada organisasi (Bordia et al., 2008). Bagian kedua menjelaskan dukungan pengaruh pengingkaran kontrak psikologis (khususnya kontrak relasional) terhadap pemikiran untuk balas dendam yang dimediasi oleh pelanggaran kontrak psikologis. Lebih lanjut, pengaruh pelanggaran kontrak psikologis terhadap perilaku menyimpang dimediasi oleh pemikiran untuk balas dendam. Sampelnya adalah tenaga penjual beserta penyelianya di perusahaan farmasi Philipina. Variabel kontrol sama dengan studi bagian pertama yaitu usia, jenis kelamin, dan masa kerja. Datanya menggunakan prosedur dua tahap AMOS (Bordia et al., 2008).
dianalis
24
Bagian ketiga menguji pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap perilaku menyimpang yang ditujukan terhadap organisasi maupun yang ditujukan terhadap interpersonal (Bordia et al., 2008). Studi ini juga memasukkan peran kontrol diri sebagai pemoderasi pengaruh pemikiran balas dendam terhadap perilaku menyimpang. Sampelnya adalah karyawan sebuah bank di Philipina dan juga penyelia untuk menilai perilaku karyawan. Variabel kontrol yang digunakan adalah usia dan jenis kelamin. Model di studi bagian tiga ini dianalisis menggunakan analisis jalur. Hasil studi ketiga mengonfirmasi pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap pemikiran kognitif untuk balas dendam yang dimediasi oleh pelangggaran kontrak psikologis. Selanjutnya, pengaruh pelanggaran kontrak psikologis terhadap perilaku menyimpang ditujukan pada organisasi dan interpersonal dimediasi oleh pemikiran kognitif untuk balas dendam (Bordia et al., 2008). Zottoli (2003) menggunakan entailment model untuk menjelaskan terbentuknya pelanggaran kontrak psikologis melalui proses atribusi. Entailment model terdiri atas atribusi pelaku, atribusi tanggung jawab, dan atribusi kesalahan. Studi menggunakan sampel karyawan yang bekerja di perusahaan asuransi, perusahaan komunikasi, dan kantor pemerintahan. Variabel kontrol dalam studi adalah usia, jenis kelamin, posisi di manajerial, masa kerja di suatu posisi, dan masa kerja di perusahaan. Hasil studi mendukung atribusi pelaku, atribusi tanggungjawab, dan atribusi kesalahan mampu menjelaskan pelanggaran kontrak psikologis. Selanjutnya, pelanggaran kontrak psikologis berkorelasi dengan
25
perilaku menyimpang dan berkorelasi positif dengan sinisme terhadap organisasi (organizational cynicism), lebih lanjut, sinisme terhadap organisasi berkorelasi positif dengan perilaku menyimpang (Zottoli, 2003). Beberapa studi menggunakan faktor disposisional, seperti sensitivitas keadilan
(equity
sensitivity),
ekstraversi
(extraversion),
kehati-hatian
(conscientiousness), ketidakstabilan emosi (neuroticism), penghargaan terhadap diri (self-esteem), kepekaan terhadap keadilan (equity sensitivity), kemampuan untuk melakukan kontrol (locus of control), keyakinan diri (self esteem), dan kontrol diri (self control) sebagai pemoderasi pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap sikap dan perilaku (Kickul & Lester, 2001; Raja et al., 2004; Bordia et al., 2008). Berdasarkan
paparan
hasil
studi-studi
sebelumnya,
maka
dapat
disimpulkan sebagai berikut. Pertama, studi mengenai perilaku negatif yang menggunakan anteseden pengingkaran kontrak psikologis jumlahnya masih sedikit. Bentuk perilaku negatif
yang menggunakan anteseden pengingkaran
kontrak psikologis antara lain pengabaian peran di tempat kerja (Turnley & Feldman, 2000), perilaku menyimpang karyawan di tempat kerja (deviance work behavior) (Kickul, 2001; Zottoli, 2003; Bordia et al., 2008), dan perilaku kerja kontraproduktif (Kickul et al., 2002). Kedua, studi pengingkaran kontrak psikologis umumnya dihubungkan dengan munculnya sikap dibandingkan terhadap perilaku, seperti kepuasan kerja (Kickul & Lester, 200l; Raja et al., 2004; Wright, 2005), komitmen (Agee, 2000;
26
Lester et al., 2002; Raja et al., 2004; Suazo et al., 2005), dan sikap negatif karyawan (Kickul, 2001; Kickul & Lester, 2001). Ketiga, pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap sikap lebih besar dibandingkan terhadap perilaku, hal ini disebabkan oleh hal-hal berikut (1) sikap lebih dapat meramalkan pengingkaran kontrak psikologis dibandingkan perilaku (Cantisano et al., 2008); (2) hubungan pengingkaran kontrak psikologis dan perilaku masih perlu dijelaskan oleh variabel lain (Cantisano et al., 2008); dan (3) kemarahan akibat diingkari akan lebih aman ditunjukkan dalam bentuk sikap dibandingkan dalam bentuk perilaku (Cantisano et al., 2008). Keempat, studi mengenai pengingkaran kontrak psikologis umumnya menggunakan model Morrison dan Robinson (1997) (Agee, 2000; Kickul, 2001; Kickul et al., 2002; Robinson & Morrison, 2000; Wright, 2005). Kelima, variabel pemoderasi yang sering digunakan untuk memperkuat atau memperlemah pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap sikap atau perilaku adalah persepsi ketidakadilan dan atribusi (Robinson & Morrison, 2000; Agee, 2000; Kickul, 2001; Kickul et al., 2002, Wright, 2005). Teori atribusi yang digunakan pada studi
sebelumnya pada umumnya berasal dari model Robinson dan
Morrison (1997). Pengingkaran kontrak psikologis diatribusikan sebagai sesuatu yang telah diniatkan (reneging), karena ada perbedaan persepsi karyawan dan agen organisasi (incongruence), atau karena pengaruh faktor lingkungan (disruption) (Robinson & Morrison, 1997). Beberapa studi menggunakan teori
27
atribusi yang diturunkan dari literatur kepuasan dalam perkawinan, misalnya Zottoli (2003). Keenam, studi yang dilakukan pada umumnya langsung menghubungkan pengingkaran kontrak psikologis dengan pelanggaran kontrak psikologis (Agee, 2000; Kickul, 2001; Kickul et al., 2002; Robinson & Morrison, 2000; Wright, 2005). Ketujuh, studi sebelumnya ada yang menggunakan beberapa variabel disposisional. Contoh, kepekaan terhadap keadilan memoderasi pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap sikap dan perilaku (Kickul & Lester, 2001). Ekstraversi, kehati-hatian, ketidakstabilan emosi, penghargaan terhadap diri, kemampuan untuk melakukan kontrol memoderasi pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap pelanggaran kontrak psikologis (Raja et al., 2004). Kontrol diri memoderasi pengaruh pemikiran untuk balas dendam terhadap perilaku menyimpang yang ditujukan pada interpersonal dan organisasi (Bordia et al., 2008). Kekurangan studi terdahulu sekaligus kelebihan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut. Pertama, pengingkaran kontrak psikologis pada umumnya dibahas dengan menggunakan model Morrison dan Robinson (1997), model ini hanya menjelaskan proses munculnya emosi atau pelanggaran kontrak psikologis (psychological contract violation). Penelitian ini menggunakan elaboration likelihood model for workplace aggression, karena selain dapat menjelaskan proses munculnya emosi, juga menguraikan proses munculnya sikap dan perilaku. Elaboration likelihood model for workplace aggression, juga dapat memasukkan
28
berbagai anteseden pemicu munculnya perilaku negatif selain pengingkaran kontrak psikologis. Kedua, studi terdahulu banyak menggunakan atribusi dan persepsi ketidakadilan sebagai variabel pemoderasi yang memperkuat atau memperlemah pengaruh pengingkaran kontrak psikologis terhadap sikap dan perilaku. Penelitian ini menggunakan atribusi pelaku tidak sebagai variabel pemoderasi, tetapi sebagai variabel
pemediasi
pengaruh
pengingkaran
kontrak
psikologis
terhadap
pelanggaran kontrak psikologis. Peran atribusi sebagai variabel pemediasi diharapkan dapat mengisi celah dalam literatur pengingkaran kontrak psikologis dan perilaku kerja kontraproduktif. Ketiga, tidak banyak studi terdahulu yang menggunakan kontrol diri sebagai variabel pemoderasi yang mengintensifkan perilaku negatif, diantaranya adalah studi yang dilakukan oleh Bordia et al. (2008) yang menghubungkan pemikiran balas dendam dengan perilaku menyimpang karyawan (deviance behavior). Penelitian ini menggunakan kontrol diri sebagai pemoderasi pelanggaran
kontrak psikologis terhadap perilaku kerja kontraproduktif.
Berdasarkan pendekatan kriminologi, kontrol diri dianggap sebagai faktor disposisional yang paling berpengaruh dalam membentuk perilaku negatif (Gottfredson & Hirschi, 1990), hal ini masih perlu dikonfirmasi. Hal penting dalam penelitian ini adalah mengetahui proses munculnya perilaku kerja kontraproduktif. Perilaku ini dijelaskan melalui proses kognitif. Proses kognitif model dalam elaboration likelihood for workplace aggression
29
masih perlu dikonfirmasi secara empiris untuk menjelaskan munculnya perilaku kontraproduktif karyawan dalam organisasi.