BAB I
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Kajian
1.1.1. Kemandirian Gereja, Antara Impian dan Kenyataan Hingga dewasa ini pada kenyataannya kita masih menemukan adanya gereja– gereja yang belum dapat secara penuh mencukupi kebutuhan dana operasional kehidupannya. Beberapa hal yang dapat kita jadikan sebagai indikasinya adalah masih adanya gereja yang mengalami defisit anggaran dalam laporan periodik keuangannya, gereja memiliki kebijakan untuk mengurangi subsidi kepada komisi–komisi dan mengharapkan supaya komisi–komisi berusaha membiayai program kerjanya secara mandiri, gereja meminta bantuan ke donatur, gereja lain, klasis atau sinode untuk mencukupi program kerja (seperti : perayaan tahun gerejawi, pembangunan gedung gereja, persiapan emiritasi pendeta) atau pembayaran Biaya Kebutuhan Hidup (BKH) pendetanya. Jika tidak demikian maka yang terjadi biasanya gereja hanya menjalankan program kerja sebagai rutinitas dan formalitas belaka tanpa merasa tergerak untuk melakukan perubahan atau pengembangan seiring dengan tuntutan jemaat karena alasan tidak cukup dana. Apa yang terjadi di atas dialami beberapa Gereja Kristen Indonesia (GKI), terutama yang berada di daerah-daerah pinggiran dan GKI yang hendak bertumbuh dan berkembang menjadi jemaat induk atau dewasa. Faktor dana biasanya menjadi salah satu penyebab utama bagi susahnya proses pendewasaan yang hendak mereka raih (misalnya bayangan akan besarnya biaya kebutuhan harian pendeta yang harus dibayar gereja dan kebutuhan rutinitas yang tidak sedikit membuat jemaat, pendeta, klasis dan sinode berpikir ulang untuk mendewasakan sebuah jemaat). Sebagai contoh, di GKI Klasis Solo gereja yang masih mengalami kekurangan anggaran adalah GKI Sragen dan GKI Kabangan.1 Tentu saja hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja jika gereja hendak terus berkembang dan bertumbuh seiring dengan perubahan jaman dan tuntutan tugas panggilan gereja.
1
Sebagaimana diungkapkan oleh Pnt. Fransiska Sri sumiyati dan Pnt Umbu, beliau merupakan BPH Majelis Jemaat GKI Klasis Solo
1
Untuk dapat melaksanakan semua itu maka salah satu jalan yang ditempuh adalah terlebih dahulu gereja harus mencapai kemandiriannya. Pdt. Chris Hartono berpendapat bahwa, kemandirian
berarti
berdiri
sendiri,
juga
harus
dikaitkan
dengan
pengertian
dewasa,
bertanggungjawab, merdeka dan berdaya cipta. Dalam hubungannya dengan hal itu maka gereja yang mandiri dan hidup dalam kemandiriannya adalah gereja yang berdiri sendiri dalam berteologi, mengasuh diri, memerintah diri, mengembangkan diri, serta berdiri sendiri dalam wadah 2
organisasi.
Kalau boleh diringkaskan maka kemandirian gereja tersebut berada dalam tataran teologia, daya dan dana. Kemandirian dalam hal berteologia dan daya telah kita lihat hasilnya dengan hadirnya teolog-teolog muda dari sekolah-sekolah teologia lokal yang cukup handal dalam hal ini. Tetapi dalam masalah dana masih menjadi pergumulan yang cukup berat bagi gereja - gereja hingga sekarang. Kemandirian dalam bidang dana harus dipahami sebagai kemampuan gereja untuk menggali sumber-sumber kekayaan dan untuk melipatgandakan, mengamankan dan menggunakan secara tepat guna harta benda yang diberikan oleh Tuhan untuk pelaksanaan misi gereja.3
1.1.2. Kemandirian gereja sebagai sarana menjalankan misi Allah Gereja-gereja dalam keberadaannya di tengah–tengah dunia senantiasa berperan sebagai kepanjangan tangan Allah dalam rangka mewujudkan damai sejahtera di muka bumi. Dalam rangka itulah gereja–gereja merumuskan apa yang menjadi misinya sebagai penjabaran dari misi Allah bagi dunia dan segala isinya. Misi sebagai missio Dei hendaknya dipahami bahwa misi adalah berasal dari hakikat Allah sendiri, bukan hanya sebagai salah satu aktivitas gereja melainkan suatu ciri dari Allah bahwa Allah adalah Allah yang misioner. Bahwa Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus mengutus gereja ke dalam dunia. Dengan demikian, misi dipandang sebagai sebuah gerakan Allah kepada dunia dan gereja dipandang sebagai alat untuk melaksanakan misi tersebut. Gereja ada karena misi dan bukan sebaliknya. Ikut serta dalam misi berarti ikut serta dalam gerakan kasih Allah kepada manusia, karena Allah adalah sumber kasih yang mengutus. Dapat diartikan bahwa, gereja mendapatkan hak istimewa untuk ikut serta dalam misi Allah. 4
2
Chris Hartono, “Mandiri dan Kemandirian”, dalam GEMA STTh Duta Wacana edisi Maret no 23, (Yogyakarta, 1983), p. 48-50 3 Lima Dokumen Keesaan Gereja-PGI, (Jakarta,1996), p. 96 4 David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, (Jakarta, 1999), p. 596-601
2
GKI sebagai salah satu kepanjangan tangan Allah telah merumuskan pemahamannya akan gereja sebagai berikut, yaitu : Gereja adalah persekutuan yang esa dari orang-orang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat dunia, yang dengan kuasa Roh Kudus dipanggil dan diutus Allah untuk berperan serta 5
dalam mengerjakan misi Allah, yaitu karya penyelamatan Allah di dunia ini.
GKI adalah salah satu anggota tubuh Kristus yang juga diundang oleh Allah untuk ambil bagian dalam misi-Nya di dunia ini. Sejalan dengan misi yang dimiliki oleh Allah, GKI telah merumuskan apa yang menjadi misinya sebagai penjabaran dari misi Allah tersebut. GKI memahami misinya sebagai satu kesatuan yang utuh yang terdiri atas persekutuan, kesaksian dan pelayanan. Dalam kenyataannya misi gereja dibagi menjadi dua bagian besar yang tidak dapat dilepaskan satu dari yang lainnya, yaitu gereja dalam perwujudan sebagai persekutuan dan gereja yang melaksanakan kesaksian dan pelayanan. Pada satu sisi, dalam memberlakukan misinya, gereja mewujudkan persekutuan yang memberikan tekanan utama pada keberadaannya. Pada sisi lain, misi gereja itu diberlakukan oleh gereja dengan melaksanakan kesaksian dan pelayanan yang memberikan tekanan utama pada kekaryaannya.6 Secara singkat gereja melaksanakan misinya dalam dua arah yaitu ke dalam gereja itu sendiri dengan tujuan pertumbuhan dan perkembangan gereja ke arah kedewasaan dan kesempurnaan iman sebagaimana Allah harapkan. Kedua adalah misi keluar gereja, yaitu dengan menyaksikan karya Allah kepada semua manusia dalam setiap tutur kata, sikap dan tingkah laku sehari-hari. Untuk dapat mewujudkan apa yang menjadi tujuan dari misinya tersebut secara maksimal
(sebagaimana hal ini juga dilakukan oleh sebuah organisasi atau lembaga
lainnya) maka gereja sebagai sebuah organisasi religius dan sosial (yang harus terus meningkatkan profesionalitasnya) membuat rancangan program kerja dan rencana anggaran pendapatan dan belanja (RAPB) secara periodik. Program kerja merupakan sarana atau alat untuk semakin mendaratkan visi dan misi gereja. Selama ini kebanyakan gereja, terkhusus GKI mengandalkan sumber pemasukan keuangannya hanya pada persembahan-persembahan jemaat. Sehingga untuk dapat memenuhi kebutuhan akan dana yang semakin hari semakin besar tersebut, semakin banyak jenis kantong atau sampul persembahan yang beredar di gereja. Dalam setiap acara gerejawi akan ada kantong persembahan yang diedarkan. Dalam sebuah jemaat penulis
5 6
Badan Pekerja Majelis Sinode GKI, Tata gereja GKI, (Jakarta, 2003), p. 3 Ibid., p. 8
3
menemukan jenis–jenis persembahan sebagai berikut : persembahan mingguan : kas, perawatan, diakonia, kesehatan. Persembahan syukur : bulanan, perjamuan kudus, baptisan dan sidi, pernikahan. Persembahan tahunan : persembahan paskah, natal, pentakosta. Dalam kegiatan PA wilayah beredar 2 kantong untuk kas dan ditambah 1 kantong iuran untuk kesehatan. Persembahan-persembahan di atas belum termasuk iuran lain yang harus ditanggung jemaat yang hendak mengikuti suatu program tertentu. Suatu saat penulis juga pernah diminta untuk melayani kotbah di suatu gereja dengan tema “Memberi dalam kelimpahan dan kekurangan”. Tema ini merupakan bagian dari serangkaian tema tentang memberikan persembahan harta benda kepada Allah lewat gereja. Tema ini bertujuan untuk menggugah hati jemaat supaya mau memberikan persembahannya. Berdasarkan informasi yang penulis dapatkan ketika itu, gereja sedang berupaya menggalang dana untuk memenuhi anggaran program kerjanya. Pertanyaannya adalah apakah dengan gereja mengandalkan sumber pemasukan keuangannya dari persembahan jemaat, gereja sudah mampu memenuhi kebutuhan dananya ? Bukankah dengan jalan yang telah ditempuh ini masih banyak gereja yang tetap belum mampu mencukupi kebutuhannya. Pada sisi lain terkadang anggota jemaat merasakan persembahan sebagai salah satu beban tersendiri ketika mereka hadir di gereja dan mengikuti setiap kegiatan yang dilaksanakan. Padahal kalau kita mau jujur melihat keadaan jemaat sekarang maka kita akan menemukan betapa berat dan susahnya pergumulan yang harus mereka tanggung dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka. Hal ini membuat mereka semakin berpikir keras untuk mencukupi tuntutan kebutuhan mereka atau memberikan persembahan yang layak bagi gereja. Jika gereja menggantungkan kebutuhan anggaran programnya hanya kepada persembahan jemaat maka selamanya akan ada gereja yang tidak dapat menjalankan misinya dengan sempurna. Dengan kata lain karena kemandirian gereja dalam hal dana masih menjadi salah satu kunci utama bagi misi gereja maka sangat perlu untuk segera diwujudkan. Ada baiknya jika gereja mulai menemukan alternatif lain untuk menemukan dan mengembangkan sumber-sumber pemasukan yang inkonvensional (di luar persembahan) ke dalam kas gereja.
1.1.3. Bisnis sebagai salah satu alternatif Secara umum kita memahami bahwa keberhasilan sebuah aktivitas bisnis adalah lewat keberhasilannya untuk mendapatkan laba. Paling tidak hal ini dapat semakin kita
4
pahami dalam definisi mengenai bisnis yang diberikan oleh Robby Candra berikut ini : “bisnis adalah usaha atau proses pertukaran jasa atau produk dalam rangka pencapaian nilai tambah”.7 Apabila demikian pengertian tentang bisnis, maka pertanyaannya adalah mungkinkah gereja terjun ke dalam dunia bisnis sebagai salah satu upaya GKI dalam menggali dan mengembangkan sumber dana di luar persembahan yang cukup konvensional itu ? Gagasan ini muncul dilatarbelakangi oleh beberapa hal berikut ini : 1. Banyak anggota jemaat yang terjun dalam dunia bisnis untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, hal ini berarti bahwa persembahan yang mereka berikan kepada Tuhan melalui gereja sebenarnya juga merupakan hasil dari bisnis. 2. Dalam tata gereja GKI bab XXVIII pasal 103 dinyatakan bahwa harta milik gereja berupa uang dan surat berharga, barang bergerak (kendaraan, mesin– mesin, inventaris kantor, alat musik dan peralatan lainnya) dan barang tidak bergerak (tanah, gedung gereja, pastori, balai pertemuan, kantor tata usaha, bangunan lainnya), serta kekayaan intelektual (hak cipta, hak paten dan merek). Pasal 104 menyatakan bahwa harta milik GKI diperoleh melalui : persembahan anggota yang berdasarkan pada dan didorong oleh kesadaran tentang penatalayanan, sumbangan– sumbangan atau hibah yang tidak mengikat, usaha–usaha lain yang tidak bertentangan dengan firman Tuhan dan tata gereja GKI.8 Jadi selama bisnis dilakukan sesuai dengan firman Tuhan dan tata gereja maka hal itu sah-sah saja. Hal ini semakin didukung pula oleh semakin banyaknya buku-buku yang menulis tentang pentingnya etika dalam dunia bisnis. 3. Dengan bisnis gereja dapat menggali dan mengembangkan berbagai potensi yang dimiliki oleh jemaat (SDA dan SDM), sehingga gereja dapat semakin maksimal dalam melakukan pelayanannya. 4. Terjun ke dalam dunia bisnis bisa dipahami sebagai wujud nyata gereja dalam menyatakan tanggungjawab akan tugas dan panggilannya dalam bidang ini. 5. Telah beredar di pasaran buku yang berisi tentang perlunya gereja menerapkan manajemen perusahaan dalam manajemen gereja. Misalnya dalam hal pemasaran, barang akan diminati konsumen jika didesain dengan menarik dan sesuai dengan kebutuhan pasar. Demikian halnya program dan kegiatan gereja harus didesain 7 8
I. Robby Chandra, Etika Dunia Bisnis, (Jakarta, 1995), p. 42 Badan Pekerja Majelis Sinode GKI, Tata gereja GKI, (Jakarta, 2003), p. 162
5
semenarik mungkin serta disesuaikan dengan kebutuhan jemaat sehingga gereja akan kebanjiran jemaat yang mengikuti program dan kegiatan gereja. Jika demikian dapat diartikan bahwa gereja telah membuka diri terhadap dunia bisnis, pertanyaannya adalah apakah tidak bijaksana apabila kemudian gereja bekerjasama dengan dunia bisnis ?
Meskipun beberapa alasan telah dapat penulis sampaikan di atas, namun tetap saja belum dapat menjawab pergumulan yang dihadapi gereja. Masih banyak pro dan kontra yang beredar dalam jemaat, antara gereja boleh berbisnis atau tidak boleh berbisnis. Kristian Anugerah dalam skripsinya yang berjudul Pandangan dan Sikap Gereja Kristen Jawa Terhadap Bisnis, (Reinterpretasi Terhadap Tata Gereja GKJ pasal 35 ayat 3) telah berusaha membuka arah pemikiran kita ke sana. Tetapi penulis melihat tetap saja ada beberapa hal yang perlu ditambahkan di sana, yaitu pertama dalam hal landasan etis teologis untuk melengkapi bahan pertimbangan gereja dalam mempergumulkan masalah ini. Kedua berangkat dari kenyataan yang ada dalam jemaat dan harapan yang akan dicapai di masa depan gereja bisa menggali dan menemukan potensi apa yang telah dimiliki oleh gereja untuk merencanakan dan mengelola suatu unit usaha atau bisnis.
1.2. Pokok Permasalahan Perdebatan antara gereja boleh berbisnis dan gereja tidak boleh berbinis tetap menjadi permasalahan yang hangat sampai sekarang. Pihak yang pro biasanya mendasarkan pendapatnya pada situasi dan tuntutan kebutuhan jemaat, salah satunya adalah tuntutan mengenai kemandirian jemaat. Sementara itu pihak yang kontra mendasarkan pendapatnya pada pemahaman bahwa bisnis itu duniawi, sekuler, jahat, kotor, serta berbagai konotasi negatif lainnya. Anugerah Kristian berpendapat bahwa gereja (GKJ) tidak mau berbisnis (atau tidak mau mengakui tindakannya sebagai bisnis meskipun apa yang dilakukan telah memenuhi kriteria bisnis) karena dianggap bahwa praktek bisnis akan mengganggu karakter gereja sebagai kehidupan bersama religius. GKJ tidak melakukan bisnis disebabkan oleh dua hal , yaitu pertama, gereja yang terus berkembang perlu mempertahankan hakekat dirinya. Salah satunya dengan tidak melibatkan diri dalam dunia bisnis. Kedua, adanya pengaruh salah satu budaya Jawa yang
6
melihat pekerjaan sebagai pedagang lebih rendah nilainya bila dibandingkan dengan pekerjaan sebagai pejabat atau pegawai pemerintahan.9 Secara umum pro dan kontra ini meliputi beberapa hal berikut ini : 9 Pemahaman yang menganggap bahwa ada perbedaan mendasar pada asas yang dimiliki oleh gereja dan bisnis. Gereja berasaskan kasih dan pelayanan yang sarat dengan pengorbanan sedangkan bisnis berasaskan pencarian laba sebesar-besarnya yang bisa berkonsekuensi mengorbankan orang lain. 9 Kurangnya dasar-dasar etis teologis sebagai dasar sekaligus pegangan bagi gereja dalam merencanakan dan menjalankan suatu unit usaha atau bisnis. 9 Gereja masih dibingungkan dengan model unit usaha atau bisnis yang sesuai dengan keadaan dan kemampuan mereka untuk dibentuk dan dijalankan (paling aman untuk dikelola oleh gereja). Tiga hal di ataslah yang menjadi pokok permasalahan dalam skripsi ini.
1.3. Batasan Permasalahan Mengingat luasnya bahasan mengenai gereja maupun bisnis yang bisa berakibat pada tidak terfokusnya pembahasan skripsi ini sehingga dapat membuat tujuan yang hendak penulis capai menjadi tidak jelas, maka penulis melakukan pembatasan dalam permasalahan dan pembahasan skripsi ini. Skripsi ini terdiri dari dua bagian besar. Bagian pertama adalah pembahasan mengenai dasar–dasar etis teologis bagi pembentukan prinsip–prinsip bisnis gereja yang merupakan hasil dari reinterpretasi terhadap beberapa narasi alkitab dan doktrin- doktrin gereja. Sehingga tataran konseptual bagi perencanan dan pengelolaan bisnis gereja di dasarkan pada nilai–nilai etika kristiani dan bukan filsafat. Bagian kedua adalah upaya untuk menentukan model unit usaha atau bisnis yang kontekstual, maksudnya adalah sesuai dengan potensi dan sumber daya yang dimiliki gereja yang telah digali dan akan terus dikembangkan. Untuk itu gereja yang penulis maksudkan ini terbatas pada GKI. Dalam hal ini penulis mengambil contoh pada GKI Purwodadi.
1.4. Pemilihan dan Alasan Pemilihan Judul 9
Anugerah Kristian, Pandangan dan Sikap GKJ Terhadap Bisnis ( Reintepretasi Terhadap Tata Gereja GKJ pasal 35 ayat 3), Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, 2003, p. 47-50
7
Penulis sebenarnya telah menemukan beberapa gereja yang telah terjun dalam dunia bisnis, misalnya GMIH dengan proyek kebun kelapanya, GKPB dengan bisnis perhotelannya, GKJ Kebon Arum Klaten dengan bisnis koperasinya. Jadi apa yang akan penulis tuliskan ini sebenarnya juga berangkat dari pengalaman yang telah dilakukan gereja - gereja lain sebelumnya. Namun demikian bercermin dari beberapa pengalaman yang telah dimiliki oleh gereja - gereja tersebut, penulis mencoba untuk menerapkannya pada GKI dengan kekhasan tuntutan keadaan dan kebutuhannya. Berdasarkan pada latar belakang kajian permasalahan dan batasan permasalahan yang telah penulis sampaikan di atas, maka penulis merumuskan judul bagi skripsi ini demikian:
GEREJA DAN BISNIS, UPAYA GEREJA DALAM MENGGALI DAN MENGEMBANGKAN SUMBER DANA DI LUAR PERSEMBAHAN
Menurut penulis tema tentang ini masih cukup menarik dan relevan dengan tuntutan kebutuhan jemaat serta bersifat aktual karena dalam lingkup GKI sinode wilayah Jawa Tengah, topik ini pernah menjadi wacana namun belum ditindaklanjuti dengan tindakan yang lebih nyata. Dari judul yang penulis pilih telah termuat apa yang hendak penulis tulis dalam skripsi ini, yaitu : 1. Gereja adalah sebuah lembaga religius dan sosial yang terdiri dari orang-orang percaya yang harus menjalankan misinya di tengah-tengah dunia lewat kemandirian, salah satunya dalam hal dana. 2. Bisnis adalah berbagai kegiatan yang dilakukan oleh lembaga atau perorangan dengan menyediakan barang ataupun jasa untuk melayani masyarakat. Laba dipahami sebagai timbal balik atau wujud kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan. 3. Upaya gereja dalam menggali dan mengembangkan sumber dana di luar persembahan maksudnya adalah berbagai usaha yang dilakukan gereja untuk menemukan dan melipatgandakan potensi dan sumber dayanya, yang dapat digunakan sebagai sarana untuk mencari pemasukan di luar persembahan. Dalam hal ini adalah melalui bisnis.
1.5. Tujuan Penulisan
8
Tujuan dari penulisan ini merupakan usaha untuk menjawab beberapa permasalahan yang telah penulis sampaikan di atas. 1. Menambah dan melengkapi dasar etis teologis yang dapat dijadikan sebagai dasar dan pegangan bagi gereja dalam merencanakan dan mengelola suatu unit usaha atau bisnis. Sehingga bahan pergumulan gereja dalam menjawab permasalahan yang disebabkan oleh karena kesan bahwa ada jarak antara gereja dan bisnispun semakin lengkap. 2. Memberikan gambaran mengenai model suatu unit usaha atau bisnis sebagai hasil dari penggalian dan pengembangan atas potensi dan sumber daya yang dimiliki oleh gereja. Sehingga model unit usaha atau bisnis tersebut sesuai dengan konteks kehidupan jemaat setempat.
1.6. Metode Penulisan Untuk dapat mencapai hasil yang mendekati maksimal maka penulis akan menggunakan dua metode penulisan yaitu studi literatur dan studi lapangan yang akan digunakan secara bersama-sama. Mayoritas studi literatur akan penulis fokuskan pada upaya untuk menemukan landasan etis teologis dengan menemukan makna dan arti dari beberapa narasi Alkitab dan doktrin–doktrin gereja. Sedangkan studi lapangan akan penulis maksimalkan pada upaya untuk menemukan model suatu unit usaha atau bisnis yang kontekstual, dalam arti sesuai dengan kemampuan, potensi dan sumber daya gereja.
1.7. Sistematika Penulisan Berdasarkan pada apa yang telah penulis kemukakan di atas maka penulis membuat sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikut : Bab I
Pendahuluan Pada bagian pertama ini akan dipaparkan apa yang menjadi latar belakang kajian, pokok permasalahan, batasan permasalahan, alasan pemilihan judul, tujuan penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
Bab II
Dasar-dasar Etis Teologis Bagi Gereja Yang Berbisnis Pada bagian ini penulis menyampaikan sedikit latar belakang mengenai pandangan negatif gereja terhadap bisnis sehingga mengakibatkan keengganan gereja untuk berbisnis. Selanjutkan membahas tentang reintepretasi terhadap
9
beberapa narasi alkitab dan doktrin–doktrin gereja untuk menemukan dasar–dasar etis teologis bagi prinsip–prinsip bisnis gereja sehingga diperoleh dasar dan pegangan didalam gereja merencanakan dan mengelola bisnisnya.
Bab III Menentukan Model Unit Usaha atau Bisnis Gereja Pada bagian ini penulis berusaha untuk mengusulkan bentuk suatu unit usaha atau bisnis setelah melakukan penelitian terhadap sebuah jemaat atau gereja (GKI Purwodadi). Sehingga unit usaha atau bisnis yang dimiliki oleh gereja benar– benar sesuai dengan keadaan dan kebutuhan gereja dan jemaat setempat.
Bab IV Kesimpulan dan Penutup Berisi tentang keterkaitan yang menghubungkan antara bab yang satu dengan bab yang lainya. Sehingga akan nampak jelas sinkronisasi antar bagian yang telah penulis paparkan dari bab I sampai bab III.
10