BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kota identik dengan pemukiman penduduk dalam jumlah besar pada suatu kawasan dengan sarana pendukung seperti perkantoran, kawasan industri, sekolah, rumah ibadah, pusat-pusat perbelanjaan, gelanggang olah raga, tempat rekreasi dan kawasan hijau. Perkembangan perkotaan di Indonesia berjalan sangat cepat setelah tahun 1990, ditandai dengan meningkatnya jumlah penduduk akibat arus urbanisasi, membengkaknya jumlah perumahan baru yang dibangun di sekeliling kota, munculnya pusat-pusat industri, pusat belanja, perkantoran, hotel, dan sekolah. Perkembangan ini berbanding terbalik dengan semakin menurunnya luas lahan yang digunakan untuk kawasan hijau seperti hutan kota, yang disebabkan mahalnya harga lahan dan kebijakan penggunaan lahan. Menurunnya kualitas lingkungan seperti polusi udara akibat buangan bahan bakar kendaraan bermotor dan industri, seharusnya memunculkan konsekuensi kebutuhan hutan kota dengan alokasi lahan yang cukup luas. Pembangunan hutan kota merupakan suatu keharusan di tengah semakin menurunnya kualitas lingkungan hidup di perkotaan dan daerah pinggiran. Hutan kota dapat berbentuk barisan pepohonan di sepanjang jalan, bangunan terbuka, lahan-lahan yang terbuka, kawasan luar kota, kawasan perdagangan dan kawasan industri, kelompok vegetasi di taman-taman, danau, empang, jalur hijau sepanjang
1
sungai, padang penggembalaan, dan area lain yang dapat menyambung ke kawasan hutan di luar kota. Luas hutan kota minimum 0,4 hektar. Bila berbentuk jalur, maka lebarnya minimum 30 meter (Dahlan, 2004).
1.2. Perumusan Masalah Ruang terbuka hijau bermanfaat bagi penataan lingkungan, salah satunya adalah memperbaiki kualitas lingkungan. Penataan ruang terbuka hijau harus dilakukan dengan matang agar tidak menyalahi aturan yang terdapat pada pedoman pembangunan ruang terbuka hijau, sehingga fungsi yang diharapkan pada ruang terbuka hijau dapat terlaksana dengan baik. Kawasan ruas Jalan Jogja-Solo km 15-16 dan sekitarnya terdapat banyak fasilitas, seperti Candi Prambanan sebagai tempat wisata, Bong Supit Bogem, Bank Sintha Daya, tempat pendidikan (SMA Negeri 1 Kalasan, SMK Negeri Kalasan, SMK Muda Patria), Hotel (Edotel), dan tempat kuliner yang terkenal (Dawet Kalasan) yang menyebabkan tingkat aktivitas di sekitar tempat tersebut tinggi. Selain itu, Jalan Jogja-Solo merupakan jalan utama penghubung antara D.I. Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah. Menurut sumber dari warga sekitar, penataan di sekitar jalan ini hanya pada batas perawatan pohon saja, seperti pada cabang-cabang yang sudah panjang, cabang dipotong/dikurangi, namun biasanya hanya 1 tahun sekali. Mengingat tingginya aktivitas di ruas Jalan Jogja-Solo km 15-16, pohon-pohon seharusnya dilakukan pemeliharaan lebih intensif, agar cabang-cabang yang kering tidak membahayakan para pengguna jalan yang melewati Jalan Jogja-Solo km 15-16.
2
1.3. Ruang Lingkup Penelitian ini terbatas pada identifikasi pohon, mengukur keliling, tinggi, lebar tajuk, dan evaluasi pohon di tepi jalan pada ruas Jalan Jogja-Solo km 15-16.
1.4. Tujuan Penelitian 1.
Mengidentifikasi jenis pohon yang terdapat pada ruas Jalan Jogja-Solo km 15-16.
2.
Mengevaluasi jenis pohon berdasarkan fungsinya sebagai peneduh di ruas Jalan Jogja-Solo km 15-16.
1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat antara lain: 1. Sumber informasi jenis pohon yang terdapat di ruas Jalan Jogja-Solo km 15-16. 2. Sumber informasi terkait fungsi pohon-pohon yang terdapat di ruas Jalan Jogja-Solo km 15-16. 3. Bahan masukan bagi pemerintah Kabupaten Sleman selaku pihak pengelola dalam perawatan pohon-pohon tepi jalan di Jalan Jogja-Solo km 15-16.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Hutan Kota Hutan kota penting bagi keseimbangan ekologi manusia dalam berbagai hal, seperti kebersihan udara, ketersediaan air tanah, pelindung terik matahari, kehidupan satwa dalam kota, dan juga sebagai tempat rekreasi. Hutan kota dapat mengurangi dampak cuaca yang tidak bersahabat, seperti kecepatan angin, banjir, memberi keteduhan, dan memberikan efek pengurangan pemanasan global. Klasifikasi hutan kota menurut Fandeli dkk. (2004), antara lain: 1.
Klasifikasi hutan kota berdasarkan proses terbentuknya, terdiri atas hutan kota alami, hutan kota buatan, dan buatan kota campuran.
2.
Klasifikasi hutan kota berdasarkan lokasi terdiri dari hutan kota pada wilayah terbangun dan tidak terbangun.
3.
Klasifikasi hutan kota berdasarkan komposisi jenis pohon terdiri dari hutan kota satu jenis dan hutan kota beberapa jenis pohon.
4.
Klasifikasi hutan kota berdasarkan asal pohon terdiri dari hutan kota yang pohonnya berasal dari daerah setempat (indigenous) dan yang didatangkan dari daerah luar (exsote).
Menurut Irwan (2004) dalam Wiryanata (2008), bentuk hutan kota dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: 1. Bergerombol atau menumpuk, yaitu hutan kota dengan komunitas vegetasi terkosentrasi pada suatu areal dengan jumlah vegetasinya minimal 100 pohon dengan jarak tanam rapat yang tidak beraturan. 2. Menyebar, yaitu hutan kota yang tidak mempunyai pola tertentu dengan komunitas vegetasinya tumbuh menyebar terpencar-pencar dalam bentuk rumpun atau gerombol-gerombol kecil. 3. Jalur, yaitu hutan kota dengan komunitas vegetasi tumbuh pada lahan yang berbentuk jalur lurus atau melengkung, mengikuti bentukan sungai, jalan, pantai, saluran, dan sebagainya. Adapun fungsi hutan kota antara lain (Anonim, 2002): 1. Memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika. 2. Meresapkan air. 3. Menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota. 4. Mendukung pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia.
2.2. Komposisi Jenis Vegetasi Komposisi merupakan struktur tegakan berdasarkan jenis penyusunnya. Pada suatu hutan kota biasanya tersusun oleh suatu jenis pohon atau beberapa jenis. Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974) mengemukakan bahwa vegetasi merupakan komunitas tumbuhan. Tumbuh-tumbuhan tertentu terdapat bersamaan di dalam
kelompok-kelompok
tertentu
dalam
membentuk
asosiasi
tumbuh-tumbuhan.
Kelompok-kelompok tersebut disebut dengan komunitas. Komunitas ini paling baik digambarkan dengan menunjukkan ciri dan bentuk pertumbuhan dari jenis yang paling melimpah, jenis terbesar atau jenis yang paling berkarakteristik dari komunitas yang khusus.
2.3. Lingkungan Perkotaan Kota merupakan sebuah sistem, baik secara fisik maupun sosial ekonomi, bersifat tidak statis yang sewaktu-waktu dapat menjadi tidak teratur, sulit dikontrol dan mempunyai pengaruh terhadap lingkungan fisik seperti iklim (Irwan, 2004). Perancangan suatu kota harus dilakukan secara matang agar nantinya dapat memenuhi tujuan pembangunan kota. Tujuan pembangunan kota menurut Irwan (2004): 1. Mencapai kehidupan yang layak dan menghapus kemelaratan. 2. Memperoleh lingkungan yang menyenangkan, nyaman, aman, dan menarik untuk memenuhi kebutuhan penduduk agar dapat bertahan, melanjutkan hidup dan meningkatkan kualitas hidup. Berbagai macam bentuk aktifitas manusia di kota telah menimbulkan berbagai masalah lingkungan seiring dengan perambatan jumlah penduduk. Dengan adanya industralisasi
dan
mobilitas
manusia
yang
terus
meningkat
maka
dapat
mengakibatkan kualitas udara mengalami perubahan suhu yang semakin menurun (Wiryanata, 2008).
2.4. Ruang Terbuka Hijau Ruang Terbuka Hijau (RTH) menurut instruksi Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007 adalah ruang-ruang dalam kota atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk area/kawasan maupun dalam bentuk area memanjang jalur di mana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. RTH dibangun dari berbagai macam vegetasi yang disesuaikan dengan lokasi dan tujuan dibuatnya RTH. Masing-masing lokasi akan memiliki permasalahan yang berbeda dalam keberhasilan dari rencana dan rancangan RTH tersebut. Menurut sifat penggunaanya menurut Fandeli (2004) RTH dibedakan menjadi: a.
Ruang Terbuka Hijau Pasif Ruang terbuka yang dibangun untuk menunjang ekosistem setempat dengan
kegiatan manusia yang relatif kecil, seperti kantong hijau, waduk-waduk, kuburan, hutan buatan, penghijauan tepi sungai, jalur hijau, lapangan terbang, dan sebagainya. b.
Ruang Terbuka Hijau Aktif Umumnya ruang terbuka aktif dipergunakan untuk kegiatan manusia, singga
ruang terbuka ini lebih berdaya guna, misalnya taman-taman kota, camping ground, taman flora kota, taman untuk jalan-jalan, lapangan olahraga, kebun binatang dan sebagainya.
Fungsi RTH menurut Wiryanata (2008) antara lain: 1.
Areal perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistem dan penyangga kehidupan.
2.
Sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian, dan keindahan lingkungan.
3.
Sarana rekreasi.
4.
Pengaman lingkungan hidup perkotaan terhadap berbagai macam pencemaran, baik di darat, perairan maupun di udara.
5.
Sarana penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk kesadaran lingkungan.
6.
Tempat perlindungan plasma nutfah.
7.
Pengaturan tata air.
8.
Sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro. Manfaat RTH menurut Wiryanata (2008) antara lain:
1.
Memberikan kesegaran, kenyamanan, dan keindahan lingkungan.
2.
Memperbaiki lingkungan yang bersih dan sehat bagi penduduk kota.
3.
Memberikan hasil produksi berupa kayu, daun, bunga, dan buah.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1 Lokasi Penelitian ini dilakukan di Jalan Jogja-Solo km 15-16, Dusun Bogem, Kelurahan Tamanmartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (Gambar 1).
Gambar 1. Lokasi penelitian di Jalan Jogja-Solo km 15-16 (Sumber: google earth. com)
3.1.2 Waktu Penelitian ini dilakukan pada Bulan Januari-Agustus 2014.
3.2. Alat dan Bahan Penelitian 3.2.1 Alat 1. Alat tulis dan kertas untuk menulis hasil penelitian. 2. Christen meter untuk mengukur tinggi pohon (Gambar 2). 9
Gambar 2. Penggunaan christen meter
3. Roll meter untuk mengukur lebar tajuk. 4. Pengukuran keliling pohon (Gambar 3).
Gambar 3. Pengukuran keliling pohon 5. Pita meter untuk mengukur keliling pohon. 6. Kamera untuk mendokumentasikan foto pohon. 7. Komputer untuk membuat tugas akhir. 8. Tallysheet untuk mencatat hasil pengukuran di lapangan.
10 10
Gambar 4. Penggunaan tallysheet 3.2.2 Bahan Bahan atau objek dalam penelitian ini adalah pohon-pohon di tepi jalan yang berada di kawasan Jalan Jogja-Solo km 15-16.
3.3. Prosedur Penelitian Pengambilan data dilakukan dengan melakukan survei lapangan, yakni mengamati pohon-pohon yang berada di sepanjang Jalan Jogja-Solo dari km 1516 dengan cara: 1.
Identifikasi jenis pohon. Identifikasi jenis pohon dilakukan dengan cara mengajak orang yang ahli dalam identifikasi jenis atau mengoleksi bagian pohon tersebut untuk di identifikasi di Laboratorium Dendrologi Fakultas Kehutanan UGM.
11 11
2.
Mengukur keliling pohon satu per satu dengan pita meter, tinggi dengan christen meter dan jalon panjang 2 meter, serta panjang tajuk arah utaraselatan-timur-barat dengan roll meter.
3.
Evaluasi jenis pohon berdasar fungsinya. Mengevaluasi data identifikasi jenis yang telah didapat dengan menggunakan
acuan menurut Mukhlison (2010). Mukhlison (2010) menyatakan bahwa kriteria umum jenis pohon yang ditanam pada ruang terbuka hijau adalah: Daya resapan air tinggi Memiliki nilai keindahan Penghasil oksigen tinggi Tahan cuaca dan hama penyakit Memiliki peredam intensif Bentuk morfologi bervariasi Pemeliharaannya tidak intensif 3.4. Analisis Data Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif.
12 12
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Evaluasi Berdasarkan hasil inventarisasi dan identifikasi, ditemukan sebanyak 110 pohon yang terdapat di ruas Jalan Jogja-Solo km 15-16. Data selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Rekapitulasi jenis pohon di tepi jalan pada ruas Jalan Jogja-Solo km 1516 A No 1 2 3 4 B No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Utara Jalan Jenis Mahoni Asem Mangga Ketapang Jumlah Selatan Jalan
Nama ilmiah Swietenia macrophylla King Tamarindus indicus L. Mangifera indica L. Terminalia catappa L.
Jenis Mahoni Nangka Ketapang Gliriside Jambu biji Jambu air Mangga Beringin Tanjung Jumlah
Famili Meliaceae Fabaceae Anacardiaceae
Combretaceae
Nama ilmiah
Famili
Swietenia macrophylla King Artocarpus heterophyllus Lamk Terminalia catappa L. Gliricidia sepium Psidium guajava Syzygium aquea Mangifera indica L. Ficus benjamina L. Mimusops elengi L.
Meliaceae Moraceae Combretaceae Fabaceae Myrtaceae Myrtaceae Anacardiaceae
Moraceae Sapotaceae
Jumlah Pohon 37 3 2 3 45 Jumlah Pohon 56 1 2 1 1 1 2 1 2 67
Lebar Tajuk Rata-rata (m U T S B 4,9 3,8 4,2 3,5 5,3 4,1 5,1 5,3 2,5 2,5 3,2 3 5,3 4,3 5 3,3
Lebar U 3,3 1 8,5 3 2 2 0,7 2 3,2
Tajuk Rata-rata (m) T S B 3,6 3,9 2,9 1 1 1 6,5 7,5 3,5 4 3 1 1 1 2 4 2 1 1 0,5 1,5 1 1 2 2,7 2,5 2
4.1.1. Utara jalan Tabel 1 menunjukkan bahwa terdapat 45 pohon di tepi Jalan Jogja-Solo km 15-16 sisi utara. Pohon yang dominan adalah mahoni sebanyak 37 pohon. Karakteristik tajuk mahoni memiliki tajuk berbentuk kubah, rapat, hijau gelap.
Gambar 5. Mahoni (Swietenia macrophylla King) di ruas Jalan Jogja-Solo km 1516. Daun mahoni majemuk menyirip, tersebar, anak daun berhadapan, bulat telur hingga elips memanjang, dan berwarna hijau tua/gelap (Handoko, 2014). Karakteristik tajuk inilah yang diduga menjadi alasan utama pemilihan mahoni sebagai peneduh jalan. Selain mahoni, tiga jenis lain yang ditemui yaitu asem (3 pohon), mangga (2 pohon), dan ketapang (3 pohon). Jenis tersebut diduga ditanam sebagai pengganti mahoni yang mati. Karakteristik pohon asem bertajuk rindang. Daun berseling, majemuk menyirip genap, anak daun berhadapan 10-15 pasang dan bulat memanjang (Adriyanti dan Wiyono, 2012). Karakteristik tajuk pohon mangga membulat, kerapatan tinggi, bergetah hitam. Daun berbentuk lanset, tebal, licin, hijau gelap, daun muda ungu tua sampai coklat kemerahan, menggantung lemas dan berbau segar jika diremas. Adapun pohon ketapang memiliki tajuk bertingkat seperti pagoda, menggugurkan daun secara periodik. Daun tunggal, tersebar, sebagian besar terkumpul di ujung ranting, ukuran helaian daun besar,
hijau agak kusam, menjelang rontok warna daun menjadi merah terang (Adriyanti dan Wiyono, 2012).
4.1.2 . Selatan jalan Berdasarkan Tabel 1 di muka dapat diketahui bahwa terdapat 67 pohon yang berada di tepi Jalan Jogja-Solo km 15-16 pada sisi selatan jalan. Pohon yang dominan adalah mahoni dengan jumlah mencapai 56 pohon. Selain berfungsi sebagai peneduh, mahoni juga mampu menyerap polutan yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor maupun debu di jalanan (Adriyanti dan Wiyono, 2012).. Adapun jenis lain yang berada di sisi selatan jalan selain mahoni, yaitu nangka (1 pohon), ketapang (2 pohon), gliriside (1 pohon), jambu biji (1 pohon), jambu air (1 pohon), mangga (2 pohon), beringin (1 pohon), tanjung (2 pohon). Karakteristik tajuk pohon nangka memiliki tajuk yang berbentuk bulat, daun tunggal, bentuk bulat telur, elips atau oblong (bulat memanjang). Karakteristik tajuk pohon ketapang adalah memiliki tajuk bertingkat seperti pagoda, menggugurkan daun secara periodik, daun tunggal, tersebar, sebagian besar terkumpul di ujung ranting, ukuran helaian daun besar, hijau agak kusam, menjelang rontok warna daun menjadi merah terang (Adriyanti dan Wiyono, 2012). Karakteristik pohon jambu biji adalah memiliki tajuk yang kurang lebat, daun muda berbulu putih abu-abu, bertangkai pendek, elips sampai oblong (Adriyanti dan Wiyono, 2012). Karakteristik pohon jambu air memiliki tajuk lebat dan pertumbuhan cepat, semakin lebat akan semakin banyak menghasilkan
oksigen. Daun berbentuk bulat telur atau oblong memanjang, pangkal daun sering memeluk batang, berbentuk jantung, jika diremas berbau segar (Adriyanti dan Wiyono, 2012). Pohon selanjutnya adalah gliriside. Jenis ini berdaun majemuk menyirip ganjil, panjang 15-30 cm, ketika muda dengan rambut-rambut halus (Handoko, 2014). Pohon beringin memiliki tajuk yang selalu hijau dan rindang, daun elips, ujung meruncing, sangat mengkilap/licin. Pohon tanjung
memiliki
tajuk yang rimbun, sangat cocok untuk pohon peneduh, daun elips memanjang sampai bulat telur memanjang, duduk tersebar, permukaan bawah daun yang muda berwarna coklat beludru, jika tua berubah menjadi hijau (Adriyanti dan Wiyono, 2012).
4.2.
Deskripsi Jenis dan Evaluasi Fungsi Pohon beringin (Ficus benjamina L.) merupakan anggota dari Famili
Moraceae. Pohon ini terdapat hanya satu di ruas Jalan Jogja-Solo km 15-16 tepatnya berada di sebelah selatan jalan (Gambar 6). Pohon beringin sering dikaitkan dengan makna filosofis dan arti simbolistis, baik di kalangan masyarakat umum maupun bagi sejarah daerah (Handoko, 2014). Beringin tidak tumbuh ke atas namun tumbuhnya melebar, mengembang dan terkadang kembali ke bawah menjuntai. Itulah sebabnya mengapa pohon beringin ini cocok dijadikan sebagai pohon peneduh. Pohon ini juga memiliki kemampuan sebagai pohon konservasi mata air dan penguat lereng alami. Pohon beringin memiliki kriteria vegetasi penyusun yang memiliki perakaran kuat dan dalam, akar lateral yang mencengkeram tanah dengan baik, tahan terpaan angin, tajuk yang selalu hijau dan
rindang, berumur panjang dapat hidup dalam waktu hingga ratusan tahun, tahan serangan hama penyakit dan mampu menyerap polusi udara, beradaptasi dengan bagus pada berbagai kondisi lingkungan (Handoko, 2014).
Gambar 6. Beringin (Ficus benjamina L.) di ruas Jalan Jogja-Solo km 15-16. Pohon mangga (Mangifera indica L.) merupakan anggota dari Famili Anacardiaceae. Pada ruas Jalan Jogja-Solo km 15-16 pohon ini hanya terdapat 4 pohon, sebelah selatan jalan ada 2 pohon dan di utara jalan ada 2 pohon (Gambar 7). Pohon mangga ini memiliki fungsi produksi, akan tetapi pohon ini masih kecil dan belum dapat diambil/dimanfaatkan buahnya. Pohon ini tahan terhadap kekeringan karena memiliki akar tunjang panjang dan dalam hingga 2,5 meter dan kayunya dapat digunakan sebagai bahan bangunan. Pada masa mendatang seiring berjalannya waktu pohon mangga ini akan tumbuh besar dan berbuah. Pohon mangga dapat membahayakan bagi pengendara kendaraan bermotor yang lalu lalang melewati ruas jalan tersebut, karena buahnya yang berjatuhan di Jalan Jogja-Solo km 15-16.
Gambar 7. Mangga (Mangifera indica L.) di ruas Jalan Jogja-Solo km 15-16. Pohon ketapang (Terminalia catappa L.) merupakan anggota dari Famili Combretaceae. Di ruas Jalan Jogja-Solo km 15-16 terdapat 5 pohon ketapang, sebelah selatan jalan terdapat 2 pohon dan di utara jalan terdapat 3 pohon (Gambar 8). Pohon ketapang berfungsi sebagai pohon peneduh, karena memiliki tajuk yang berbentuk pagoda, tajuk rimbun, dan selalu hijau (Handoko, 2014). Kegunaan pohon ketapang yaitu kayunya lunak sehingga dapat dijadikan kayu perkakas dan buahnya dalam hal ini bijinya dapat dimakan, sedangkan bagian luar biji (exocarp) dapat dijadikan bahan kerajinan tangan. Kayu ketapang dikenal rentan terhadap rayap. Pada ruas Jalan Jogja-Solo km 15-16 ini, sebagian besar pohon ketapang kebanyakan sudah agak besar dan cocok menjadi pohon peneduh, sehingga suasana di sekitar ruas Jalan Jogja-Solo km 15-16 terasa teduh. Tetapi, pohon ketapang juga dapat membahayakan bagi pengendara kendaraan bermotor, karena buahnya yang berjatuhan di jalan dan perawatan pohon-pohon di ruas jalan ini juga jarang sekali.
Gambar 8. Ketapang (Terminalia catappa L.) di ruas Jalan Jogja-Solo km 15-16. Pohon nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk.) merupakan anggota dari Famili Moraceae. Di ruas Jalan Jogja-Solo km 15-16 hanya ditemukan 1 pohon nangka yang berada di selatan jalan (Gambar 9). Pohon ini bila dilihat fisiknya sudah besar dan berbuah. Buahnya biasa dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk dikonsumsi. Daunnya pun dimanfaatkan untuk keperluan pakan hewan ternak kambing. Pohon nangka berfungsi baik sebagai pelindung tanah terhadap bahaya longsor atau erosi dan pengendalian tata air (Nidah. 2013). Daun-daun yang gugur kemudian menjadi lapuk dapat menjadi humus yang baik untuk meningkatkan kesuburan tanah. Hama dan penyakit pada pohon nangka ini boleh dikatakan tidak ada. Pohon nangka memiliki tajuk yang berbentuk bulat, sehingga juga dapat dikatakan sebagai pohon peneduh pada ruas jalan tersebut.
Gambar 9. Nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk.) di ruas Jalan Jogja-Solo km 15-16. Pohon mahoni (Swietenia macrophylla King) merupakan pohon utama di ruas Jalan Jogja-Solo km 15-16 dengan total 93 pohon. Di sebelah selatan 56 pohon dan sebelah utara 37 pohon. Menurut warga sekitar, pohon mahoni di sekitar Jalan Jogja-Solo km 15-16 memang sudah ditanam sejak lama, yakni pada tahun 1960-an, dan hal ini sesuai dengan sifat mahoni yaitu mampu tumbuh dan hidup hingga puluhan tahun. Pohon mahoni memiliki tajuk yang berbentuk kubah dan daunnya berwarna hijau gelap dan rapat, lebat (Gambar 10), sehingga pohon ini memiliki fungsi mengurangi polusi udara sekaligus filter udara dan daerah tangkapan air, menyerap partikel timbal serta debu dan meredam kebisingan kendaraan bermotor yang lalu lalang di Jalan Jogja-Solo km 15-16. Daun-daunnya bertugas menyerap polutan-polutan di sekitarnya. Sebaliknya, dedaunan itu akan melepaskan oksigen yang membuat udara di sekitarnya menjadi segar. Ketika hujan turun, tanah dan akar-akar pepohonan itu akan mengikat air yang jatuh,
sehingga menjadi cadangan air (Mukhlison, 2010). Suasana di sekitar Jalan JogjaSolo km 15-16 terasa sejuk dan rindang. Pada pohon yang agak tua, kadangkadang nampak adanya kerusakan yang disebabkan oleh hewan bajing, terutama pada bagian kulit batang dan ranting. Kayu mahoni ini tergolong kayu mewah sehingga bila dijual harganya cukup tinggi. Pohon ini cocok ditanam di pinggir jalan serta pada daerah industri (Nidah. 2013).
Gambar 10. Mahoni (Swietenia macrophylla King) di ruas Jalan Jogja-Solo km 15-16. Pohon asem (Tamarindus indicus L.) merupakan anggota dari Famili Fabaceae. Di ruas Jalan Jogja-Solo km 15-16 terdapat 3 pohon asem, dan hanya terdapat di sebelah utara jalan (Gambar 11). Tajuk pohon asem berwarna hijau dan lebat. Pohon asem ditanam di perkotaan sebagai tanaman pemecah angin, peneduh dan penahan erosi. Pohon asem juga berperan sebagai bahan penghijauan untuk memperbaiki kawasan yang gersang dan tandus (Nidah. 2013). Buah pohon asem
bernilai ekonomi yang cukup tinggi dan sudah banyak digunakan sebagai salah satu bahan baku industri makanan dan jamu.
Gambar 11. Asem (Tamarindus indicus L.) di ruas Jalan Jogja-Solo km 15-16. Pohon tanjung (Mimusops elengi L.) merupakan anggota dari Famili Sapotaceae. Di ruas Jalan Jogja-Solo km 15-16 terdapat 2 pohon tanjung yang terletak di sebelah selatan jalan (gambar 12). Pohon tanjung dapat menyerap partikel timbal, debu, dan debu semen, sehingga sangat cocok ditanam di pinggir jalan ataupun di areal industry (Adriyanti dan Wiyono, 2012) . Bunganya harum, tajuknya rimbun, sangat cocok untuk pohon peneduh atau tanaman pinggir jalan. Pohon tanjung juga berguna sebagai pohon penyerap kebisingan, penyerap polusi udara dan pohon pemecah angin (Dahlan, 2004). Batangnya tidak terlalu besar dan terlalu tinggi, namun pohon ini sangat rindang dengan tajuk luas dan tumbuh secara simetris. Kayu pohon tanjung sangat baik untuk bahan kayu konstruksi, karena kuat dan kokoh.
Gambar 12. Tanjung (Mimusops elengi L.) di ruas Jalan Jogja-Solo km 15-16. Pohon jambu air (Syzygium aquea) merupakan anggota dari Famili Myrtaceae. Di ruas Jalan Jogja-Solo km 15-16 hanya terdapat 1 pohon jambu air dan berada di sebelah selatan jalan (Gambar 13). Pohon jambu air termasuk jenis pohon untuk hutan kota di kawasan permukiman (Mukhlison, 2008). Pohon ini memiliki tajuk lebat dan pertumbuhan cepat. Apabila tajuknya lebat pohon ini akan semakin banyak menghasilkan oksigen, dan bila pohon ini sudah agak besar akan menghasilkan buah yang dapat dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk disantap.
Gambar 13. Jambu air (Syzygium aquea) di ruas Jalan Jogja-Solo km 15-16. Pohon jambu biji (Psidium guajava) merupakan anggota dari Famili Myrtaceae. Di ruas Jalan Jogja-Solo km 15-16 terdapat 1 pohon jambu biji dan terdapat di sebelah selatan jalan (Gambar 14). Pohon jambu biji berfungsi menghasilkan oksigen. Kadang pohon ini juga ditanam sebagai tanaman hias (Adriyanti dan Wiyono, 2012). Daun pohon tidak lebat, sehingga kurang cocok untuk ditanam sebagai pohon peneduh jalan (Mukhlison, 2010). Tetapi, di samping itu pohon jambu biji memiliki buah yang bisa dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk dimakan/diolah berbagai macam makanan atau minuman salah satunya. Manfaat dari buah jambu biji adalah untuk meningkatkan trombosit pada tubuh manusia. Biasanya kekurangan trombosit dialami oleh seseorang yang terkena penyakit demam berdarah. Buah jambu biji ini sangat disarankan oleh dokter untuk dikonsumsi bagi penderita demam berdarah.
Gambar 14 Jambu biji (Psidium guajava) di ruas Jalan Jogja-Solo km 15-16. Pohon gliriside (Gliricidia sepium) merupakan anggota dari Famili Fabaceae. Di ruas Jalan Jogja-Solo km 15-16 terdapat 1 pohon gliriside dan berada di sebelah selatan jalan (Gambar 15). Pohon ini berfungsi sebagai pohon penahan angin (windbreak), serta dapat juga dijadikan tanaman pagar (Nidah, 2013). Kebanyakan gliriside ini dimanfaatkan sebagai kayu bakar dan HMT (Hijau Makan Ternak). Di sekitar Jalan Jogja-Solo km 15-16, warga biasa memotong cabang-cabang yang mulai masuk ke kawasan jalan. Cabang yang telah dipotong tersebut oleh warga dimanfaatkan sebagai kayu bakar. Selain itu, daunnya juga dimanfaatkan sebagai pakan hewan ternak kambing dan sapi. Jadi, gliriside kurang cocok menjadi pohon peneduh di ruas Jalan Jogja-Solo km 15-16 berdasar fungsi nya.
Gambar 15. Gliriside (Gliricidia sepium) di ruas Jalan Jogja-Solo km 1516.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan 1. Pada ruas Jalan Jogja-Solo km 15-16 terdapat 112 batang pohon dari 10 jenis dan 8 famili. 2. Hasil evaluasi jenis pohon menurut fungsi: Semua jenis pohon yang ditemukan di lokasi penelitian yakni 10 jenis telah memenuhi persyaratan sebagai tanaman Ruang Terbuka Hijau, kecuali gliriside
hanya
berfungsi
sebagai
pohon
penahan
angin, sedangkan
buah pohon ketapang berjatuhan di jalan dan membahayakan pengendara kendaraan bermotor yang melewati Jalan Jogja-Solo km 1516 .
5.2
Saran 1. Perlu dilakukan pemeliharaan dan penambahan jenis pohon penyusun vegetasi RTH, khususnya pada utara jalan agar keberadaan RTH dapat berfungsi secara maksimal. 2. Informasi mengenai nama pohon dan tahun tanam perlu dipasang pada pohon-pohon yang terdapat di Jalan Jogja-Solo km 15-16 untuk memudahkan mengidentifikasi pohon dan proses pendidikan kepada yang melewati Jalan Jogja-Solo km 15-16.